أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda .
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, antara lain
Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi :
“Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan atau kepercayaan Anda itu yang paling benar sendiri”.*
Sidang para Wali :
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.
Kinanti :
Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani .
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam selama ini.
"Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya, Sabtu.
Ia mengungkapkan hal itu untuk meluruskan stigma jelek terhadap sosok Syekh Siti Jenar dalam bedah buku bertajuk "Susuk Malang Sungsang" yang berjumlah tujuh jilid di Toko Buku (TB) Togamas Surabaya.
Bedah buku karya Agus Sunyoto itu menampilkan pembahas Mohammad Sobary (mantan PU LKBN ANTARA/LIPI), Prof DR Setyo Yuwono Sudikan (budayawan/guru besar Universitas Negeri Surabaya), dan KH Agus Ali Masyhuri (PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo).
Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) dan tidak mengajarkan "sasahidan" atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
"Jadi, para pengikut beliau menganggap persepsi orang tentang Syekh Siti Jenar selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan," katanya.
Ajaran manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia), katanya, merujuk pada Al-Qur’an (firman Allah SWT) bahwa Allah SWT ada di mana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu atau Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
"Ketika Nabi Muhammad SAW membangun ka’bah bukan berarti Tuhan itu ada di ka’bah tapi di tengah-tengah ka’bah ada ruang kosong. Nah, Tuhan selalu ada di dalam setiap ruang kosong, apakah di Timur Tengah, Indonesia, atau alam semesta ini," katanya.
Membedah buku karya Agus Sunyoto itu, budayawan Prof DR Setyo Yuwono Sudikan yang juga guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan, Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi sosok Syekh Siti Jenar melalui buku.
"Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya," katanya.
Senada dengan itu, budayawan Mohammad Sobary menyatakan, karya Agus Sunyoto membuktikan bahwa sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final.
"Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada, bahkan Agus Sunyoto juga berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar," katanya.
Namun, katanya, karya Agus Sunyoto akan lebih hebat lagi jika tidak hanya berhenti pada penampilan sosok Syekh Siti Jenar secara lebih adil, melainkan juga mendorong pembaca tertarik meneladani Syekh Siti Jenar dan akhirnya sujud kepada Allah SWT yang menciptakan tokoh seperti Syekh Jenar.
Catatan serupa juga dikatakan pengasuh Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, KH Agus Ali Masyhuri. "Agus Sunyoto memang mampu menjebol stigma jelek tentang sosok Syekh Siti Jenar," katanya.
Bahkan, katanya, pandangan bahwa Syekh Siti Jenar itu mampu mengubah diri seperti cacing atau anjing telah dibantah, karena pandangan seperti itu sama halnya dengan rekayasa untuk memojokkan seorang wali.
Note : Penulis Agus Sunyoto tercatat sebagai pengamal tarekat akmaliyah yang konon merupakan tarekat dari syaikh siti jenar. Kini banyak orang yang juga dikenal sebagai pengamal tarekat akmaliyah. Penyebutan tarekat akmaliyah sendiri juga bisa mengacu pada tarekat yang didirikan oleh syaikh siti jenar, atau juga ada tarekat haqqmaliyah yang mengacu pada syaikh abdul muhyi, wali yang legendaris dari pamijahan atau tarekat lain yang memakai nama 'akmaliyah' yang artinya sempurna. Sedang secara tertulis nama tarekat akmaliyah belum terdaftar dalam daftar tarekat - tarekat yang di akui sebagai tarekat yang mu'tabar di JATMAN. Walupun demikian banyak juga pengamal tarekat akmaliyyah yang juga dikenal sebagai pengamal tarekat lainnya yang diakui kemu'tabarannya di JATMAN. Dewasa ini memang banyak pengamal tarekat yang menjalankan tarekat lebih dari satu.
KONSEP SURGA DAN NERAKA MENURUT SYEHK SITI JENAR
Sumber :http://bajurombeng.blogspot.com/
Patekadan Kang Kanjeng Siti Jenar
Posted by Bajurombeng in Diary Teman
(Meunang Nyutat ti Blog dulur six4sep.multiply.com)
PANGKUR-PANGKURANG-KURANGNA RASA
I.
Barabat pada disada,
Hening jati tigin sirotol mustaqim,
Pada boga undak usuk,
Parangkat luhur handapan,
Pangluhurna mah tepi ka hakkan hakkun,
Patekadan Lemah Abang,
Dihukum ku alam biwir.
Jadi pamuntangan sara
Ulah muka rasiah rabul alamin
Meletik bijil ti sungut
tangtuna di hukuman
bongan salah jeung sungut batur batur
di nagara pakalaman
nungtik pakalaman deui
II.
WAHDAT AL WUJUD(MANUNGGALING/ GULUNGNA KAULA GUSTI)
Wahdatul Wujud di Indonesiakeun jadi kesatuan eksistensial (numutkeun Nurcholis Madjid). Di jawa mah dijelaskeun ku kecap manunggaling kawula gusti, tapi di sunda kampung mah istilahna teh (leuwih merenah jeung leuwih nunjukeun kana hasil) nyaeta: Gulung na abdi jeung gusti nepi ka ngagalunggung.
Sabenerna keur di sunda mah, ieu penjelasan wahdatul wujud ku kecap manunggaling kawula gusti -nu (ditambahan) sing nepi ka ngagalunggung- teh ‘mere arahan’ kana kumaha sabenerna ahlak jelema dina tohid (tauhid).
Manunggaling kaula (abdi) gusti –mimitina kudu aya dua (alam midua) nyatana aya abdi aya gusti.
Jadina teh...
Alus gusti sabab abdina alus, goreng gusti sabab abdina ge goreng.
Alus abdi sabab gustina alus, goreng abdi sabab goreng gustina.
Pan cenah ge kalahutan bijil lamun kanasutan na enya. Lahut ngaridoan mere hidayah berkah jeung rohmat sabab nasutna aslamtu. Lahut kejem ngantep ngahukuman sabab nasutna nolak nambalang (kafir).
Pan cenah ge loba kapanggih abdi rujit sabab salah muhit nu jadi gustina. Loba nu ngajadikeun hawa nafsu jadi (ilah) gustina.
Matakna....
Kudu hurip gusti waras abdi. Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak sabobot sapihanean.
Kudu daek jadi abdi meh loba gusti keur maneh,... tong embung jadi gusti ngeunah jadi lawang kahadean lamun loba abdi nu butuheun..
Pek pambrih pek nuhun lamun perlu; Pek bere pek cekel lamun boga (tingal dongeng Sang Sulaeman dina qur’an)
Lain kitu gawena kahadean?
TAPI,
TONG NGAKU gusti bisi keur teu kaseundeuhan (kawas nu ngaku turunan menak (lain menak)...ari hirup walurat) ...nu cilaka diera-era mah maneh....
TONG NGAKU ngaku abdi agul boga gusti.... bisi keur teu diaku (pamenta keur teu dikabul)...nu era belehem mah maneh...dinaha- naha.
Sing boga tata titi duduga peryoga; migawe haphap ngendag-ngendag memeh luncat nuturkeun alam batur, tulaten nurutan sireum tarapti kawas titinggi meh seukeut duduga miyuni gagak dina nempatkeun kaabdian kagustian. Ulah melengkung bekas nyalahan sarosopan teu pantes mernahna.
...nu era cilaka mah maneh keneh maneh keneh....da maneh nu nandangan.
III.
Urang buka saeutik lalangsena, .....
Lamun urang ningal dina basa sapopoe. Kecap abdi dipake dina alam tata alam semu, pihak “abdi” nempatkeun sahandapeun (jauh-anggang ti) pihak ka dua nu dianggap ‘gusti’ na. Gawe kitu sabab:
• Pihak ka hiji ku ngaku nempatkeun jadi ‘abdi’ teh ngarepkeun /boga pamrih ‘kagustian’ bijil ti pihak ka dua.
Ari kagustian nyatana gambaran /’manifestasi’/perwujudan Asmaul Husna nu rupa rupa-kayaning ngabulkeun pamenta, berehan, nganteur kahayang, tempat nyalindung, tempat kanyaho,.. jrrd.
Ari kaabdian kudu sabar, kudu daek menta, teu guminter, kudu tawakal (nyanggakeun kumaha gusti),..tungtungna ning sok ngaromong sadaya-daya. Shalatna (do’ana/pamenta na) ge sok disarebut sembahyang.. .nyembah ka hyang... da rumasa jadi abdi ( tingal –“shalat kami aya 4”). Migawe sabab geus kuduna kitu/ sabab sieun/sabab era/sabab asa katitah ku gusti nu salilana moncongok bae.
Ari ka abdian kudu handap asor, nyarita kudu lemes, jrrd..jrrd. Ari ka gustian cenah kudu balabah, berehan, murah congcot hambur bacot, jrrd..jrrd. Lamun manggih abdi teu boga adeuh sok tara dekeut jeung gusti. Mun gusti kored keked moal loba aya abdi nu deukeut jst..jst..jst.
(Undak usuk basa lemes kasar nu lengkep pakeun mernahkeun maneh dina ‘komunikasi’ ku, misalna, basa lemes heula ka nu anyar pinanggih/nyaluyuke un jeung alam nu diajak komunikasi di sunda sabenerna cara maju- ‘highly civilised’ hiji budaya)
Nu parerceka tarapis dina ngolah nempatkeun budi basa rasa rumasa... loba meunangna. ..lamun ka jelema urang handap asor (jadi abdi)...sok kaluar ti manehna (lawan komunikasi) teh kagustianana. .. Meureun resep meureun ngeunah meureun betah loba nu mere maweh disebut jelema bageur pikanyaaheun batur.... tah kagustian batur bijil keur maneh ari maneh bisa jadi abdi.
Kitu oge sabalikna... .
Tong nolak mun aya abdi sumolondo... sabab karek mun aya abdi.... ka gustian bijil ti maneh...tungtungna pada ngamulya-mulya kunu ngarasa kahutangan kunu ngarasa meunang kahadean ti kagustian maneh.
Ka handap asoran... oge dipake ‘nguji’ kawas haphap...ieu jelema nu disangharepan jalma perceka nu kawaris sifat kagustian atawa henteu?...sabab di handap asoran teh aya ge nu jadi mancangah... cirining. .jelema teu baleg teu kawaris kagustian..
..beuki handap urang..lamun itu (batur) teu bisa ngahandapan. ..cirining rek robah laku.... itu eleh duduga urang jadi gustina itu nu ngaabdi-abdi. .pek bae cobaan mun cacarita jeung menak...teu percaya mah. (menak ayeuna mah leuwih dimaksudkeun kana diantarana ‘educated’ luhung elmuna ‘wise’ jembar panalar ‘leader’ lulugu/ kokolot /pananyaan panannggeuhan umat- nu boga gelar raden ayeuna mah saukur nu pastina turunan menak-jadi henteuna menak mah wallahu alam)
Tapi, Mun teu bisa teu tapis .... loba menak (gusti) kaperdaya ku pamuji abdi (feodal) jadi mere tapi awuntah ...loba somah (abdi) heurin ku letah teu wasa sieun teu nyaho basa...saukur bisa kumaha anu dibendo (nu jadi gustina).
Dasar hirup di alam pamrihan.... nu dipambrih kasalametan kahadean. Matak kudu tapis mernahkeun maneh.
IV.
Pek pecakan ka Rabb Gusti nu murbeng alam...Sarua. ....
Ku nempatkeun ‘ka abdian’ teh ngarepkeun ka gustian ti nu dipenta, pan dipapatahan ku Qur’an:
Ari ngadu’a (menta neneda) keur abdi mah tarik teuing ulah laun teuing ulah..pan cenah ngadu’a teh kudu sineger tengah sorana ari ka Gusti (rabb) mah;
Kudu daek menta/ngadu’a ..ulah api lain..pan cenah Rabb teh teu resepeun ka (abdi) nu tara ngadu’a/menta;
Kudu narima dina kalaipan/dina katunaan/dina kakurangan/dina kasalahan (pek tengetan du’a du’a nu diawalan ku Rabb). ... eta teh ameh bijil gustina sabab nu datang abdina nu boga rasa rumasa.
Ari ka gusti kudu sabar bae jeung tetep kudu menta (do’a/shalat) bae pan cenah ceuk qur’an “menta tulung ka kami ku sabar jeung shalat” (kajeun can dibere kudu tetep menta) da wayahna jadi abdi nunggu-nunggu di kabul gusti.
Jeung ,....
Ceuk qur’an ge cenah kudu jejem yakin arek dikabul pamenta. ...Lamun henteu? he..he..he.. kumaha deui? rek menta deui ka salian ti gusti?.... euweuh...euweuh deui nu bisa iwal ti gusti...pan maneh mah abdi.
Jst..jst...jst. .
Tah..hirup di alam pamrihan... nu dipambrih kasalametan kahadean. Matak kudu tapis mernahkeun maneh.
KUMAHA SUPAYA GULUNG ?
Naha kudu gulung?
Alam abdi-gusti mah alam anggang...sadeukeut na ge ka gusti...para abdi mah teu bisa deukeut sabab beda pangkat beda kabiasaanana. Tara gusti satata jeung abdi..sabab lamun satata leungit kagustianana.
Hayang deukeut mah nya gusti jeung gusti deui....abdi jeung abdi deui. ngan lamun abdi-jeung abdi, gusti jeung gusti. Leungit kagustian leungit ka abdian...pan basa nage jeung sasama mah pa dewek-dewek pa aing aing. Ngan kade mun keur aya abdi ulah gusti padewek dewek pa aing aing meureun abdi bisa ngunghak? Sabalikna mun keur aya gusti abdi tong sambewara... bisi tideuha.. naha bet aya abdi cumantaka?
Alam abdi-gusti mah alam tata alam semu....tara dicaritakeun sajalantrahna. .. Strategy jeung kaayaan presiden (gusti) tara dijelaskeun kabeh ka sakabeh rakyat (abdi).... cenah ge kapaksa kudu ‘white lie’ sabab mun dicaritakeun sajalantrahna mah bisi kuciwa...bisi putus asa...bisi CAN BISA NARIMA..bisi mancangah ..jrrd.
Pan kongas dina agama oge...loba nu disumputkeun ..saur Gusti teh dina qur’an...”nu nyaho eta mah ngan saukur kami jeung nu dikersakeun ku kami..maraneh mah para abdi moal..moal kabeh nyaho (nu saenyana) aya ge ngan saukur nyangka”....ari nyangka tara pas ka enya...malah, saur gusti dina qur’an, nyangka ngeunaan gusti mah pagawean abdi nu ditundung (setan)”.
Hayang nyaho nu saenyana mah kudu pindah ka alam gusti jeung alam nu daralit (qarib/qurbah) sabab kapeto kapilih dikersakeun ku gusti.
V.
Kumaha carana?
Kudu daek saalam sakabeuki jeung gusti. Engke nyaho kumaha ari gusti sapopoena usik malikna.
Didieu para ulama mere tuduh, dumasar beja ti gusti dina qur’an, yen gusti Allah teh boga sifat 20 siki.
Aya (wujud), mimiti (qidam), langgeng (baqa), nangtung sorangan (qiyamuhu binafsihi - tingali “lingga kabuyutan jeung sirotol mustaqim/nangtung sorangan”), beda jeung nu anyar (mukhlafah lil hawadis), wahdaniat (gulung).
Cik atuh lalanyah diajar kawas kitu....
Pan saur Sang Sri Uswatun Hasanah tedak quraysh ge... “akhlak maneh sing kawas akhlak Allah”
Bisa wanoh kanu 6 diluhur teh kudu bisa wani daek nyaho jeung hirup (keneh). Maneh nu nandangan (nu daek nu wani nu bisa nu nyaho nu hirupna).
Hirup (hayat) jeung (hayan) nu hirupna, Bisa (qudrat) jeung (qadiran) nu bisana, Daek (iradat) jeung (muridan) nu daekna, nyaho (ilmu) jeung (aliman) nu nyahona....atuh kudu sagala ku sorangan di sorangan lain euceuk lain cenah.
Ngucap (kalam) jeung (mutakaliman) nu ngucapna tapi teu make sungut.... atuh diajar nyarita teu ku sungut
Ningal (basar) jeung (basiran) nu ningalina tapi teu make mata.... atuh diajar ningali teu kumata
Denge (sama) jeung (samian) nu ngadenge tapi teu make ceuli... atuh diajar ngadenge teu ku ceuli
Teori na mah loba tinggal leukeun daraek diajarna...diantara na aya nu boga pamanggih:
cenah, kudu asup tareqat..tong sareat wae.... (kade loba nu ‘kabodokeun’ ku guruna, kasiksa/kapager ku ‘labelling’ brotherhood tarekat/ sareat jeung golongan/aliran, komo kana tareqat nu sok ninggalkeun sareat),...
cenah, kudu ngaliwatan tobat, zuhud, wara, faqir, sabar, tawakal rido ikhlas (kade ulah lieur ku metoda)... jrrd cenah pamanggih jelema.
..klise lamun dituluy keun.
Ari ceuk kami mah:
Prak teangan Ajarna ulama ahli waris nabi nu bisa ngajarkeun nyarita teu ku sungut, ningali teu ku mata, ngadenge teu kuceuli, hirup teu bari ngarenghap. Nungtun kawani kabisa kadaek jeung kanyaho nu aya di sorangan.
Tah engkena tara kaeuweuhan da aya wujud maujud tara neangan nu euweuh, langgeng baqa da mapay nu jadi mimiti maneh (qiyam) memeh awang-awang uwung-uwung, nangtung sorangan bi nafsih, beda jeung batur-batur nu anyar nu pandeuri (mukhalafah lil hawadis). Gulung gumulung...sagulung sagalang...meureun teu kudu kararagok..da jeung sobat dalit. Sab geus sakabeuki sakanyaho sakadaek sakabisa sakawani.
Tah engkena nu disebutkeun ku teori-teori katasawufan jadi sorangan.
VI.
Gulung dina Patekadan Lemah Abang
Lamun geus geus loma/dalit, euweuh gusti euweuh abdi babar sapisan jadi sobat (wali).
Tapi, dina tohid bisa na qurbah (qarib=dalit) nunggal ngahiji gulung teh ku modal islam (aslamtu sumerah) nepikeun ka jiwa ragana teu ngaboga boga nepikeun ka teu ku maneh maneh acan (da teu daya teu upaya).
Ayeuna lamun ka-maneh-an geus aya deui, tuluy bareng jeung batur batur, tuluy nyarita meletus bijil ti sungut, make basa maneh (sedengkeun lain gusti mah nyaritana ge teu make sungut? ari ieu bijil ti sungut), ceuk batur nu ningali mah maneh teh keur fana (rusak). Ari nu rusak euweuh nu pantes nurutkeun alam tata alam semu.
Meureun batur salembur leueleutikanna pada heran pada teu ngarti,... gorengna pada nyalahkeun,. ... ceuk batur teh naha ari aing henteu, boa si itu nurustunjung jelema gelo...nu kitu teu sarua jeung fiqh (asal kecap fiqh = pamahaman, tapi ahirna jadi hukum) batur-batur.
Ieu kajadian geus loba, di jawa mah kajantenan ka Syech Siti Jenar (SSJ)..
Aya cariosan SSJ nu kadugikeun kanu sejen (utusan) nu beda tingkat pamahamanna (beda alam) ngeunaan ageman - nyatana waktos para wali miwarangan ngulem SSJ, caritana nu katepikeun mah kieu:
----
Kahiji, waktos kaleresan SSJ nuju dina ‘kafanaan’, Utusan wali nepangan: “Kangjeng Syech,.... dipundut sumping ku Kangjeng Sunan... sun”
SSj: “Euweuh sitijenar mah, aya ge Allah”.
Dasar ka jalmi nu dipercaya luhung sanajan ucapan na’aheng’, nu dipiwarang teu wantun mindo catur teras wangsul deui pupulih ka para wali teu tiasa ngangkir SSJ margi nuju suwung nu aya ge ngangkenna Allah.
Para wali mah maphum teras we mindo (kaduana), miwarang utusan supados nu diulemna teh Allah, ngan kaleresan pas tepang teh SSJ tos dina ‘biasa’ deui.
”sun...dipiwarang ku Kangjeng Sunan supados ngulem Allah”.
..atuh waler SSJ teh: “tong ngangkir Allah ka kami da kami mah SJ”.
Atuh ki utusan mulih deui ka Para Wali wawartos yen teu tiasa ngulem Allah da nu kasampak mung SSJ.
Para wali, ahirna, mutus supados ngutus nu cekap ngilmina (sa alam) pakeun ngangkir SSJ. Sanggemna ieu utusan teh :
“Ieu kami... menta Sj Kalawan Allahna supaya hadir ayeuna keneh”.
Sakedet netra SSJ nu tos ras jlig... tos dugi ka riungan wali.
Ngan,.... nyebut Allah ka nu sejen ieu nu engkena jadi label ‘hukuman’ ka SSJ..., ti ieu beja nu nepi ka utusan teh, tuluy nyebar ka bala rea SSJ teh jalma nu ngaku Allah.
Naha sesebatan lain SSJ teh Lemah Abang?
Ari lemah hartina taneuh ari abang hartina beureum. Di sunda mah lamun aya jelema nu anyar paeh sok disebutkeun cirina taneuhna ge beureum keneh. “puguh ki anu the maotna kamari tuh taneuh na ge beureum keneh”. Taneuh beureum dibasakeun kana pajaratan anyar: Padahal teu kabeh taneuh beureum, siga nu dikuburna di lembang mah kajeun anyar ge teu beureum da taneuh na hideung.
Ari pajaratan anyar mah salian ti paesan (nisan) teh taneuh na ge melendung keneh...cirining can kabeh sirna...matak sok ditahlilan sok direwahkeun. .. can jadi paesan jati pisan da katambahan keneh sesa bangkarak.
Ari nu ngulik kasampurnaan mah kudu bisa paeh heula samemeh paeh ceuk batur/jamak (tingali-paeh samemeh paeh) sabab kongas aya ayat qur’an: “Jeung jalma jalma nu geus paeh, tuluy dihirupkeun deui, terus dibere sunda, nu ku Sunda (nur) eta maranehna bisa lumampah hirup diantara manusa, naha sarua jeung nu aya dinu poek mongkleng anu manehna henteu bisa kaluar tidinya (6:122)’.
Kajadian SSJ meletus cariosan kasaksi ku batur ngangken Allah, sabab masih keneh anyar (kafanaan keneh teu acan pulih) lumampah saatos ‘paeh samemeh paeh’ -sanajan tos kapasihan sunda (nur) ti nu murbeng alam benten jeung jalmi biasa. (tingali-panaekan warnaning tangtung).
(....Enya kitu??..pikiraneun )
VII.
Kumaha gulung supaya ngagalunggung? ?
Diulemna SSJ kana gempungan Wali Sanga mah, sabenerna, pakeun ngabahas kaayaan umat kusabab ayana pamahaman murid-murid SSJ (ngaku tina ajaran/pangwuruk SSJ) ngeunaan syariat agama – nu aya imbasna ka masarakat umum (malah nepi kana ranah politik –ki kebo kenanga, ki Ageng Pengging jrrd).
Tangtu geus pada nyaho yen pamanggih murid can tangtu bener ngawakilan (teu kabeh bisa ngawakilan) pamanggih guru sanajan loba oge murid nu leuwih pinter/jero/ bener pamanggihna ti guru. Tapi lamun muridna salah –migawe salah- guruna sok dipenta bantuanana/pamanggi hna/ ‘advisna’ pakeun ngomean muridna jeung ngomean ‘akibat’ tina kalakuan murid. Kasalahan murid lain kasalahan guru- iwal ti lamun memang kabukti guruna nitah murid supaya migawe salah. Ieu kabeh alesan diulemna SSJ kana riungan Wali.
SSJ pupus dina eta riungan (Pajemuhan Wali Sanga), atuh jadi katurug katutuh, ngajadi ‘bukti’ yen SSJ kenging ‘hukuman’ dugi ka pupusna. Aya nu nyebat ku para wali dihukum pati (diantawisna kadugikeun ku kang Mrachmatrawyani- haturan); Aya oge nu nyebatkeun yen SSJ milih pupus nyalira dina riungan wali – ‘Serat Siti Jenar” Bratasekawa) ;
Padahal (nurutkeun ieu dadaran mah) anjeuna pupus cilaka ku ‘polah’ nyalira. Matakna ieu dadaran, insya Allah, arek nepi kana kumaha supaya salamet gulung na abdi gusti teh jadi ngagalunggung.
Saacanna urang dongengkeun gambaran kajadian pupusna SSJ dina riungan wali:
Dina pamadegan yen sakabeh wujud jeung nu maujud dialam dunya teh teu aya deui iwal ti Allah. Laa maujuda ilallah laa wujudika ilallah...dicobi ku keris duhung (keris “Kantanaga” kagungan Sunan gunung jati) ..ku kangjeng sunan kalijaga.
Barang dicobi teh.... eta keris teu teurak...teu tiasa antel antel acan
(kawas ajian batara karang panta/level batu- tingal kaadaman + Batara karang).
---------
Kabiasaan nguji kamampuh patekadan kasampurnaan dina tohid nepikeun ka ayeuna masih keneh aya.... jeung bakal terus dipake Sabab patekadan / kayakinan teh kudu kaharti karasa tur bukti.
Lolobana mah nu jauh keneh kana alam tohid sok sarieun mun diajak ngukur kasampurnaan sabab sieun kabawa paeh. Nu kapikirna teu bisa baralik deui. Lebareun keneh ku kahirupan dunya.
Padahal cenah ceuk nu geus paeh samemeh paeh...he... he..he.. lamun paeh (nyawana) nu aya (nyesa) hirup mungkul usik malik pan kongas dina qur’an Allah nyanggem “nu paeh dijalan Allah sabenerna hirup masih barang hakan barang pake ngan batur-batur teu apaleun” (tingali paeh samemeh paeh).
------------ -
urang tuluykeun deui:
“Enya...enyana mah tapi wujud (af’al) Allah (awak) nu ngajentul ieu mah lamun ditewek lumrahna kudu teurak....”
Nguping kitu..teras we eta keris teh nanceb...tapi teu bijil getih...biasa wae teu reg rog
(kawas ajian batara karang panta/level taneuh- tingal kaadaman + Batara karang)
“... lumrahna wujud (af’al) Allah/awak nu ngajentul mah mun katewek bijil getih.”
Teras we tina salira SSJ bijil getih tapi bodas...
(kawas ajian batara karang panta/level taneuh/cai (Jannah) - tingal kaadaman + Batara karang)
“.... lumrahna mun getih tina wujud (af’al) Allah/awak nu ngajentul mah... bijilna beureum”
Teras eta getih jadi beureum ngaberebey.. . bari salirana tetep seger tur teras sila.
(Tah ngawitan ti dieu SSJ katideresa ku polah nyalira “nyebut Allah kanu sejen...” rido nu maujudna jadi awak ‘jelema biasa’ nu getihna beureum...sanes wujud ‘manusa’ af’alna Allah..... bari nuju ditakonan ku si “kantanaga” nu maunatna teh mun dipake moal bisa dibalikan deui)
“Aeh...naha bet jadi kitu?
...lumrahna mah nu bijil getih terus moal hirup tapi tuluy paeh.”
....Tuluy eta awak-awakan. ..teh ngagoler.
SSJ nyarios...”sok hayang ditembongkeun naon deui?”
Ditempas “... teu lumrah aya mayit masih keneh nyarita...”
Saharita...SSj. .nyarios kieu...”heug atuh kula moal deui cacarita... ninggalkeun ieu alam...ngan engke sing waspada bakal daratang munding bule....
bakal aya....
bakal aya ...
(nu sabagaian seueur tos kabuktos ieu cariosan SSJ teh)
Saatos nyarios kitu badan SSJ sirna kagentos ku hiji tangkal nu seungit ngadalingding.
Naha bet kajadiana kitu?? Naon maksudna??
(Urang teraskeun upami pareng)
Historisitas sosok Syekh Siti Jenar yang banyak dimitoskan orang kini pelan-pelan terkuak. Beberapa penelitian serius telah menyingkap sosok dan aspek-aspek ajarannya. Benarkah ia sosok yang murtad dari sudut pandang agama? Selasa lalu (15/5) Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berbincang-bincang dengan Agus Sunyoto, penulis tujuh jilid buku fiksi sejarah tentang tokoh kontroversial tersebut.
Mas Agus, bagaimana riwayat ketertarikan Anda meneliti sosok Syekh Siti Jenar?
Kakek saya dari pihak ibu adalah orang Jombang. Dia mengaku orang yang mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ketika saya tanya darimana memperoleh pengetahuan itu, dia jawab, ”Lho, saya kan santri Tebu Ireng angkatan pertama!” Dia meninggal tahun 1995 dalam usia 105 tahun. Satu-satunya guru yang dia ikuti ajarannya sampai saat itu adalah almarhum KH Hasyim Asyari. ”Berarti Mbah Hasyim mengajarkan soal ini, dong?” tanya saya. ”Lha, iya!” katanya. Saya berpikir, darimana dia dapat itu kalau bukan dari Mbah Hasyim langsung. Tapi saya masih ragu: masak Mbah Hasyim mengajarkan itu?! Dari beberapa sumber lain, saya mendapat jawaban yang sama. Jadi saya berkesimpulan bahwa benar bahwa Mbah Hasyim mengajarkan itu.
Apakah ajaran-ajaran Siti Jenar masih berjejak dalam masyarakat Jawa saat ini?
Ada. Itu terlihat dari adanya guru-guru tarekat atau kebatinanan dari kalangan pribumi. Sebelum Siti Jenar, masyarakat pribumi tidak boleh menjadi guru (tarekat). Setelah itu baru boleh.
Unsur-unsur apa dari ajaran Siti Jenar yang masih tampak dalam tarekat yang mengklaim tersambung dengan dirinya?
Dalam hal egalitaranisme. Mereka egaliter sekali. Tarekat mereka tidak mengenal adanya mursyid-mursyid yang diagungkan. Kalau mereka berdiskusi soal-soal teologis, maka kedudukan guru tidak ada sama sekali. Semua orang adalah lawan bicara. Jadi tidak ada kultus mursyid. Ciri lainnya, cara mereka menuju Tuhan sangat individualistik. Toh, Nabi Muhammad ketemu Tuhan dengan cara sendirian di Gua Hira. Mereka tidak rame-rame. Kalau dilakukan rame-rame, itu namanya demonstrasi, bukan mencari Tuhan. Ketiga, masing-masing pengikut tarekat ini tidak saling kenal, dan ajaran-ajarannya disampaikan secara rahasia.
Doktrin apa yang tampak paling mencolok dari tarekat mereka?
Yang utama soal tauhid. Pemahaman tentang ini agak beda dengan pemahaman awam. Tuhan bagi mereka adalah sesuatu yang tidak terdefenisikan. Laitsa kamitslihi syai’un atau Dia adalah yang tidak bisa digambarkan. Siti Jenar juga mengatakan bahwa ke-99 sifat Tuhan di dalam asma’ul husna itu juga ada potensi-potensinya dalam diri semua manusia.
Manusia punya sifat sabar, karena Allah punya sifat as-Shabûr (Mahasabar). Manusia sombong karena memang ada sifat al-mutakabbir (Mahasombong) pada Allah. Ada juga sifat ad-Dhâr, Yang Maha membuat bahaya. Lah, manusia itu kan seringkali melakukan hal yang membahayakan orang lain maupun dirinya. Jadi, bagi Siti Jenar, tanpa adanya manusia, tidak ada asma’ul husna, karena dia juga mengejawantah di dalam diri manusia.
Pandangan teologis Siti Jenar itu qadariyah, jabariyah, atau apa?
Tidak itu semua. Bagi dia, orang yang mengamalkan ajarannya haruslah hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari situ dapat dibuktikan bagaimana citra insan kamil (manusia sempurna) itu mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan. Artinya, manusia adalah cerminan Tuhan. Karena itu, manusia harus mengamalkan watak as-Shabûr, al-`Âdil, al-Hakîm, dan watak-watak Tuhan lainnya.
Siti Jenar punya struktur berpikir yang sederhana. Misalnya dia bicara soal al-khâliq, Mahapencipta atau Sang Pencipta. Kata ini terdiri dari tiga huruf: kha’, lam, qaf. Dari kata khâliq itu justru ada ciptaan atau al-khalq. Jadi ada pencipta dan ada ciptaan. Karena itu, munculnya khalq atau ciptaan berasal dari kha-la-qa dan al-khâliq. Hurufnya masih sama: kha’, lam, dan qaf. Nah, bagaimana cara si khalq menuju khâliq?
Ada perantara bernama khuluq, budi pekerti. Khuluq-nya siapa? Khuluq yang karim (budi pekerti yang mulia). Semakin seseorang tak bisa mengejawantahkan khuluq itu, makin jauh dia dari Tuhan. Kalau khuluq-nya jelek, ya mesti jauh dari khâliq. Kalau mau dekat, ya harus mencerminkan perilakunya sang khâliq.
Apa standar khuluq-nya di situ?
Ya, perbutan sehari-hari. Ritual salat misalnya, (yang penting) efeknya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (menjauhkan dari perbuaran keji dan munkar, Red). Khuluq itu ada dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, orang tidak boleh mengasingkan diri dari kehidupan dan masyarakat. Khairun nas anfa`uhum lin nas (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Red). Makin banyak manfaatnya akan makin bagus; makin mulia. Makin banyak mudaratnya, makin jelek orangnya.
Lalu fungsi ritual agama seperti apa?
Kalau kembali ke syariat, satu-satunya agama yang mensyaratkan uji empiris adalah Islam. Semuanya empiris, dan yang tidak empiris tidak diakui. Orang yang beriman harus jelas: diyakini di dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan. Pengujinya apa? Perbutan! Kalau ucapanmu tak sesuai dengan tindakanmu, maka stempelmu adalah munafik. Itu empiris! Jadi, dasar pertama adalah uji empiris. Sampai menyangkut soal salat. Untuk menandai kamu Islam, ya salat. As-salâtu `imadud dîn, salat itu tiang agama. Jadi, ujinya empiris.
Lantas di mana titik polemis antara Siti Jenar dengan para wali lainnya?
Memang tidak ada (dalam soal itu). Tapi Siti Jenar juga mengajarkan unsur tarekat yang di dalamnya terkandung pengetahuan-pengetahuan spiritual. Yang namanya spiritualitas itu kan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Sementara, bagi ulama yang berpikiran fiqih atau syariat-sentris, pengalaman spiritual itu bersifat sangat pribadi. Bagaimana membuktikannya?!
Kalau sudah fana ketemu Tuhan, apa tandanya? Karena itu, susah memahami ungkapan sosok seperti al-Hallaj, wamâ fî jubbatî illalLâh, tidak ada lain dalam jubahku kecuali Allah. Atau ungkapan anal haq! (akulah Sang Kebenaran) dan ungkapan lainnya. Semua itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Makanya, itu dianggap salah. Karena standar ujinya empirisisme.
Apa beda teori penciptaan Siti Jenar dengan teori pancaran atau emanasi (nazariyyatul faidl) dari Ibu Sina?
Dalam pandangan Siti Jenar, munculnya segala makhluk berasal dari itu tadi: khâliq menjadi khalq. Kemudian ada juga istilah ma`bûd (sembahan) dengan `âbid (penyembah). Hurufnya sama. Bagi Siti Jenar, ada tuan dan ada hamba. Di antara keduanya ada yang bernama `ibâd (kawulo). Dari sini juga muncul kata ibadah. Jadi, hubungannya lurus; harus lurus. Kalau hubungan `ibâd dengan ma`bûd makin tidak lurus, itulah yang dinamakan bid’ah.
Jadi, bid’ah tak dimaknai sebagai sesuatu yang ditambahi-tambahi dalam agama. Standarnya tidak fikih. Kalau sesuatu menyimpang dari tauhid, itu baru bid’ah. Kalau orang melakukan ibadah, misalnya sedekah, untuk pamer-pamer, bukan untuk ma`bûd-nya, itu bid’ah, pamer! Ayo tivi, shooting saya yang nyantuni anak yatim! Itu bid’ah namanya. Itulah pemaknaan Siti Jenar.
Untuk memperantarai hubungan khâliq dengan khalq, ada konsep nur muhammad. Anda memaknainya sebagai ”cahaya yang terpuji”, bukan cahaya Nabi Muhammad. Mengapa?
Itu pemaknaan Siti Jenar. Nama muhammad itu kan terhitung baru. Sebelum Islam, tak ada orang Arab bernama Muhammad. Dan yang menyampaikan konsep nur muhammad juga bukan Nabi Muhammad. Ini konsep perantara untuk penciptaan awal. Nur muhammad inilah yang oleh Siti Jenar dianggap sebagai cara pemunculan hakikat muhammadiyah.
Ceritanya begini. Taruhlah nur muhammad itu biji nangka yang sudah ada konsep buah, daun, batang, dan lainnya. Itu sudah ada. Tapi dia dibungkus dalam biji nangka. Nah, hakeket muhammadiyah baru ada kalau buah itu ditanam, tumbuh, dan betul-betul menunjukkan ada konsep daun, batang, akar, dan lain sebagainya. Jadi, konsep nur muhammad itu tidak bermakna eksklusif bahwa penciptaan harus lewat jalur Nabi Muhammad. Menurut Siti Jenar, seluruh makhluk, apapun agama dan jenisnya, berasal dari konsep nur muhammad itu.
Bagaimana sikap Siti Jenar terhadap keragaman budaya lokal di Jawa?
Dia justru mengakomodasi itu semua. Karena itu, terhadap agama Kapitayan, agama tauhid pra-Hindu, dia langsung ambil-alih. Bagi dia, untuk menyebarkan Islam, ini sama saja. Tapi dia juga memodifikasi. Kalau untuk menyembah Tuhan, bagi dia tak usah pakai istilah salat. Sebab, agama Kapitayan sudah pakai istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi artinya dewa.
Bagaimana memodifikasi Hyang sebagai dewa jadi Hyang sebagai Allah?
Begini! Ajaran Kapitayan itu memuja dewa utama bernama Sang Hyang Toyo. Dalam bahasa Jawi, Toyo itu berarti kosong, hampa, suwung. Dia tan kena kinaya; tak bisa diapa-apakan. Dinalar nggak bisa, dilihat nggak bisa, didefenisikan juga nggak bisa. Itu sama dengan ungkapan laitsa kamitslihi syai’un. Nah, kalau begitu, bagaimana orang bisa tahu Sang Hyang Toyo kalau Dia tidak bisa didefenisikan?
Dalam Kapitayan disebutkan, Dia muncul dalam bentuk pribadi yang disebut tu atau to. Artinya kekuatan yang punya daya sakti. Daya sakti dari kekuatan Hyang Toyo inilah yang sudah dikenal sifatnya. Ada dua sifat, yaitu baik dan buruk. Sifat baik disebut tu, lalu menjadi Tuhan; sementara yang jelek disebut hantu. Karena itu, dalam asumsinya orang-orang, hantu mesti jelek, dan Tuhan mesti baik. Itu dari Kapitayan dan bahasa Kawi.
Tapi orang juga mikir, di mana tempatnya Sang Hyang, yaitu hantu dan tuhan ini? Wong dia juga masih abstrak dan hanya ada sifatnya! Lalu diyakini, tu bisa muncul pada sesuatu. Sesuatu yang disebut tu: watu, tugu, tuban (air terjun), tuk (mata air), tunggul, tunggak, tumbak, tulang. Semua ada di situ dalam bentuk kekuatannya.
Bagaimana membedakannya dengan paham animisme, misalnya?
Beda. Ini sesuatu yang dianggap ada rohnya. Kalau animisme dan dinamisme, semuanya benda saja. Ini tidak begitu; dia hanya berwujud kekuatan gaib. Ini juga ada ujungnya, yaitu Tuhan yang tidak bisa didefenisikan itu. Toyo tadi.
Kaum animis pun menganggap barang-barang sembahan itu hanya medium penyembahan saja?!
Tapi dalam animisme dan dinamisme, tidak ada konsep satu Tuhan yang abstrak. Sang Pencipta macam-macam, itu tidak ada. Dari situlah orang melakukan sesaji dengan tumpeng, tukung, tumbu, dan seterusnya. Bahkan untuk upacara tertentu yang bersifat rahasia untuk mewujudkan keinginan yang besar, biasanya ada sesembahan khusus yang bernama tumbal.
Bagaimana Siti Jenar menyikapi sesaji itu?
Dia melihat ujungnya adalah tauhid. Nah, masyarakat di luar Keraton waktu itu adalah pengikut ajaran ini, bukan ajaran Hindu. Agama Hindu itu hanya dianut orang-orang Keraton. Jadi mereka masih ke arah ini (tauhid). Dan masyarakat juga masih dibiarkan membikin tumpeng, sesaji, dan semacamnya.
Jadi dia tidak lakukan konfrontatif. Karena itu, tempat ibadahnya orang-orang Kapitayan yang namanya sanggar, bentuknya diambil-alih kemudian. Tapi namanya bukan lagi sanggar, tapi langgar. Karena itu langgar di Jawa itu berbeda dengan langgar di tempat lain. Yang namanya mihrab itu adalah ruang kosong yang menjorok ke dalam. Itu dulu punya orang Kapitayan. Tempatnya seperti gentong yang masuk ke dalam. Itulah namanya kosong, suwung. Bentuknya sama persis dengan mihrab sekarang.
Kemudian ada juga ibadah Kapitayan yang mirip seperti orang-orang Islam, yaitu tidak makan sehari. Tapi namanya bukan shaum, melainkan pawasa atau puasa. Itu artinya juga tidak makan sehari, dari bahasa Kawi. Kemudian juga cerita soal surga-neraka. Bagi Siti Jenar, tidak usah pakai istilah jannatul firdaus, jannatu adn, dan sebagainya. Masyarakat tidak mengerti. Maka dipakailah kata suwarga dan neraka yang orang-orang sudah mengerti. Kosa kata itu sudah digunakan sejak lama. Termasuk ketika menyebut penghuni surga. Tidak usah pakai hûrin `în segala. Orang tidak akan tahu. Pakai saja istilah bidadari.
Ajaran apa dari Siti Jenar yang dianggap mengkhawatirkan kekuasaan?
Ketika dia mengubah konsep kawulo menjadi masyarakat. Terutama ajaran tentang manunggaling kawulo gusti. Artinya, kesetaraan antara rakyat dengan penguasa. Masyarakat itu berarti orang yang punya hak sama, dari kata musyârakah (Arab: berpartisipasi dan bekerjasama). Pengikut-pengikutnya tak dibolehkan memakai kata kulo atau kawulo, tapi pakai kata ingsun. Makanya, orang Cirebon sampai sekarang menyebut aku, ya ingsun. Itu membuat marah raja. Dalam tatanan sosial-budaya saat itu, kata ingsun hanya berhak digunakan raja. Kok banyak orang desa menyebut dirinya ingsun?! Ini dianggap merusak tatanan.
Juga ajarannya bahwa pemimpin harus dipilih. Karena itu, demokrasi pertama itu ada pada ajaran Syekh Siti Jenar. Dia yang memelopori kepemimpinan ki ageng. Kota Cirebon saat itu disebut garade (negara gede). Sebab, saat itu yang berkuasa orang-orang gede. Negaranya para orang gede. Maksudnya bukan negara yang besar. Tapi negaranya orang-orang besar.
Sekarang kita menerima kata masyarakat secara taken for granted. Kita tak tahu konsepsi apa di balik kata itu. Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.
Apakah ajaran Siti Jenar atau tarekatnya sekarang mungkin berkembang?
Mungkin saja. Tapi ajarannya itu sebenarnya tertutup. Ada beberapa pejabat aneh yang saya curigai menganut ajaran ini. Setelah saya dekati dan ajak ngobrol, ternyata benar. Masak pejabat tidak mau terima suap, tidak korupsi, dan sebagainya?! Ini kan aneh. Mengidentifikasi mereka itu gampang.
Mereka biasanya aneh dan tak mau ikut orang kebanyakan. Ada pejabat yang dalam kondisi sekarang kok jujur, tidak korupsi, tidak dekat-dekat wartawan. Pokoknya tak mau ikut kebiasaan para pejabat umumnya. Setelah saya dekati, biasanya dia mengaku pengikut Siti Jenar. Ada seorang pejabat yang tiap kali gajian justru membeli sembako untuk para tetangganya yang miskin. Padahal, hidupnya biasa-biasa saja. Ternyata, orang itu mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Pokoknya, orangnya aneh-aneh.
Jadi jauh dari kesan negatif yang dicitrakan selama ini, dong?!
Ya. Soalnya, babad-babad yang ditulis tentang Siti Jenar itu adalah tulisan orang Keraton semua. Mereka merasa sebagai pihak yang dirugikan oleh Siti Jenar. Karena itu, sikap orang Keraton Mataram sangat ambigu terhadap Siti Jenar. Di satu sisi mereka memitoskan hal-hal yang baik dari Siti Jenar, di sisi lain merasa dia membahayakan kedudukan raja. Dalam ajaran Siti Jenar tidak boleh ada kedinastian.
Aspek lain yang dianggap mengancam adalah soal pemimpin yang harus dipilih. Dulu tidak begitu. Pemimpin seperti jabatan dari Tuhan. Selain itu juga ajaran untuk menahan pajak sebagai penentangan terhadap pemimpin. Bagi Siti Jenar, kalau anda tak suka kekuasaan, ya apa yang mendukung kekuasaan itu dipotong saja. Jadi, perlawanannya taktis. Kalau diperintah sesuatu, bilang ”ya” saja, tapi jangan dilakoni. Makanya, para penguasa jengkel. Bagi pemerintah saat itu, apa yang dikatakan itu serius sekali. Siti Jenar dianggap provokator yang membangkitkan kesadaran orang atas hak-haknya.
Saat Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda .
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para Wali. Siti Jenar dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah (ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh, ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang, Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie (1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri. Namun menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R. Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581, putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang I.
Keberadaan Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari kita coba menyoroti falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, antara lain
Siti Jenar yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang Widi sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi, kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti Jenar menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah;
Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci, sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pancaindera;
Kehendak angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi, bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti bintang bersinar cemerlang yang berwujud samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku sebagai Tuhan;
Sedangkan mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian, bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
Jiwa yang bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu Satmata;
Ia menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran, kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan bahwa Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia, menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses intuitif). Menurut Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal tak berakhir di kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai bersatunya manusia dengan Tuhan (Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada, sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah penyebaran Islam).
Dengan sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa jadi pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas, perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir. Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat. Pengalaman tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran, yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya, Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat berikut yang berbunyi :
“Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang lain, sebab belum tentu kalau keyakinan atau kepercayaan Anda itu yang paling benar sendiri”.*
Sidang para Wali :
Sunan Giri membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad. Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada hanya Syeh Siti Jenar. Mereka kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa mbibingung,
Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika,
Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan,
Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae pinulung,
Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta,
Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha,
Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu? Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana. Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa ing panggawe
Iguh dhaya pratikele
Nukulaken nanem bibit
Ono saben galengane
Mili banyu sumili
Arerewang dewi sri
Sumilir wangining pari
Sêrat Niti Mani
. . . Wontên malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang. Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng jaja sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.
Kinanti :
Wau kang murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad, santa-santosaning kapti.
Nora saking anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga runggi.
Marmane sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani .
Sajati-jatining ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng kaanan ênêng êning.
Syekh Siti Jenar yang merupakan wali kontroversial ternyata tidak wafat dieksekusi seperti dipersepsikan masyarakat Islam selama ini.
"Saya meneliti sejarah Syekh Siti Jenar dari sekitar 300 pustaka kuno yang tidak ada di perpustakaan, ternyata persepsi tentang Syekh Siti Jenar seperti selama ini tidak benar," kata Agus Sunyoto selaku penulis buku di Surabaya, Sabtu.
Ia mengungkapkan hal itu untuk meluruskan stigma jelek terhadap sosok Syekh Siti Jenar dalam bedah buku bertajuk "Susuk Malang Sungsang" yang berjumlah tujuh jilid di Toko Buku (TB) Togamas Surabaya.
Bedah buku karya Agus Sunyoto itu menampilkan pembahas Mohammad Sobary (mantan PU LKBN ANTARA/LIPI), Prof DR Setyo Yuwono Sudikan (budayawan/guru besar Universitas Negeri Surabaya), dan KH Agus Ali Masyhuri (PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo).
Menurut Agus Sunyoto, Syekh Siti Jenar juga tetap menjalankan syariat (hukum dan amal dalam beragama) dan tidak mengajarkan "sasahidan" atau ajaran yang sesat dan menyesatkan seperti dipersepsikan orang selama ini.
"Jadi, para pengikut beliau menganggap persepsi orang tentang Syekh Siti Jenar selama ini merupakan kebohongan, bahkan dalam soal tauhid (keimanan) pun, Syekh Siti Jenar tidak menganggap dirinya adalah Tuhan," katanya.
Ajaran manunggaling kawula-Gusti (kesatuan Tuhan dan manusia), katanya, merujuk pada Al-Qur’an (firman Allah SWT) bahwa Allah SWT ada di mana-mana tanpa dibatasi ruang, gerak, dan waktu atau Tuhan selalu ada dalam setiap ruang kosong.
"Ketika Nabi Muhammad SAW membangun ka’bah bukan berarti Tuhan itu ada di ka’bah tapi di tengah-tengah ka’bah ada ruang kosong. Nah, Tuhan selalu ada di dalam setiap ruang kosong, apakah di Timur Tengah, Indonesia, atau alam semesta ini," katanya.
Membedah buku karya Agus Sunyoto itu, budayawan Prof DR Setyo Yuwono Sudikan yang juga guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengatakan, Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi sosok Syekh Siti Jenar melalui buku.
"Agus Sunyoto telah melakukan dekonstruksi ketokohan dan ajaran Syekh Siti Jenar. Dari zaman ke zaman, negara memang telah menguatkan hegemoni terhadap ulama, pujangga, dan tokoh masyarakat yang dianggap kritis dan berbahaya," katanya.
Senada dengan itu, budayawan Mohammad Sobary menyatakan, karya Agus Sunyoto membuktikan bahwa sejarah itu tidak pernah selesai dan kebenaran sejarah juga tak selalu final.
"Paling tidak, Agus Sunyoto telah menampar wajah para ilmuwan yang selama ini merasa puas dengan sejarah yang sudah ada, bahkan Agus Sunyoto juga berhasil membongkar tabir mitos yang selama ini melingkupi Syekh Siti Jenar," katanya.
Namun, katanya, karya Agus Sunyoto akan lebih hebat lagi jika tidak hanya berhenti pada penampilan sosok Syekh Siti Jenar secara lebih adil, melainkan juga mendorong pembaca tertarik meneladani Syekh Siti Jenar dan akhirnya sujud kepada Allah SWT yang menciptakan tokoh seperti Syekh Jenar.
Catatan serupa juga dikatakan pengasuh Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, KH Agus Ali Masyhuri. "Agus Sunyoto memang mampu menjebol stigma jelek tentang sosok Syekh Siti Jenar," katanya.
Bahkan, katanya, pandangan bahwa Syekh Siti Jenar itu mampu mengubah diri seperti cacing atau anjing telah dibantah, karena pandangan seperti itu sama halnya dengan rekayasa untuk memojokkan seorang wali.
Note : Penulis Agus Sunyoto tercatat sebagai pengamal tarekat akmaliyah yang konon merupakan tarekat dari syaikh siti jenar. Kini banyak orang yang juga dikenal sebagai pengamal tarekat akmaliyah. Penyebutan tarekat akmaliyah sendiri juga bisa mengacu pada tarekat yang didirikan oleh syaikh siti jenar, atau juga ada tarekat haqqmaliyah yang mengacu pada syaikh abdul muhyi, wali yang legendaris dari pamijahan atau tarekat lain yang memakai nama 'akmaliyah' yang artinya sempurna. Sedang secara tertulis nama tarekat akmaliyah belum terdaftar dalam daftar tarekat - tarekat yang di akui sebagai tarekat yang mu'tabar di JATMAN. Walupun demikian banyak juga pengamal tarekat akmaliyyah yang juga dikenal sebagai pengamal tarekat lainnya yang diakui kemu'tabarannya di JATMAN. Dewasa ini memang banyak pengamal tarekat yang menjalankan tarekat lebih dari satu.
KONSEP SURGA DAN NERAKA MENURUT SYEHK SITI JENAR
Menurut Syehk Siti Jenar Surga dan Neraka terdiri dari dua wujud yang terjadinya dari keadaan “ Anal Jannatun wa Nara katannalil al anna “
artinya Wujud Mahluk itu dari kejadian surga dan neraka . adanya surga
sekarang ini berdasar pada kejadian di dunia , surga yang luhur
terletaka pada perasaan hati yang senang .
Syehk
Siti Jenar meyakini surga dan neraka itu tidak perlu menunggu hari
kiamat . di dunia seseorang sudah bisa merasakan keadaan alam kubur,
siksa neraka atau kenikmatan surga . di dalam Qalbu itulah seseorang
dapat mersakan siksa kubur, surga dan neraka . sesungguhnya konsep
tersebut sudah di pahami Siti Jenar dan orang orang khusus, sedangkan
pemahaman orang awam surga dan neraka setelah hari Kiamat karena
perbedaan tersebut maka teori/konsep Siti Jenar dianggap sesat.
Berbeda dengan toko Sufi Syehk Khaled Bentounes ia lebih bijak dalam menjelaskan surga dan neraka dari sudut ke sufian . Syehk Khaled Bentounes tidak
mengesampingkan bahwa setelah kematian ruh akan tinggal di alam
Bardzakh selama beberapa waktu. Ulam lain mengatakan setelah kematian
ruh akan terbebas dari unsure negative yang diterimanya dalam kehidupan
ini, karena ruh tidak dapat meneruskan perjalanan yang lebih tinggi
kecuali dengan kondisi bersih. Syehk Khaled Bentounes juga
berpendapat kehidupan setelah kematian adalah kehidupan baru pada tahap
kehidupan ini muncullah gambaran tentang surga dan neraka, yang
sesungguhnya merupakan tahapan untuk mencapai realitas tertinggi.
Ruh
manusia yang menempuh kehidupan lurus terpuji dan mulia akan memasuki
surga yaitu tempat merka yang dapat melampaui jarak yang memisahkan
mereka dari pengetahuan sempurna, yaitu memandang wajah ALLOH. Sedangkan
neraka terletak di awab yang menampung ruh mereka yang hidup dalam ke
alpaan terhadap Tuhannya . dengan api penyuci itulah ruh-ruh tersebut
akan mengakui “ Tidak ada Tuhan kecuali Alloh “
Bagaimanapun
menurut perkataan orang bijak besar di sebutkan bahwa neraka adalah
sebuah rahmat sebagaimana surga hal ini dapat kita pelajari dari hadist
nabi Muhammad SAW.
“ Penduduk Surga berkelu kesah sebagaiman penduduk neraka “
hal
tersebut memberitahukan jiwa akan tersisa bila berpisah denganNYA ,
tampaknya hal itu berarti bahwa surga itu juga sebuah tahap, sebuah
batas jika jiwa juga tidak bersua dengan Ilahi , sang Maha Mutlak.
Dikatakan
pulah dalam jiwa manusia neraka terasa mengerikan namun neraka
diciptakan sebagai penyuci dan penghapus pikiran negative yang menyesaki
jiwa sesungguhnya dua tahapan tersebut tidak lain sebua kasih sayang
yang tidak terkira besarnya dari sang Khaliq kepada ciptaannya.
Konsep Syehk Siti Jenar Merasakan Kematian sebelum mati
Hukum kebiasaan yang
menjerat fikiran dan anagan angan bagaimana seorang menyikapi kematian.
Secara awam kematian merupakan suatu peristiwa yang sangat ditakuti ,
meskipun itu tidak dapat dihindari. Ketakutan tersebut karena mental (
fikiran dan angan angan ) yang tidak sanggup membayangkan , karena
mereka berfikir kalau kematian datang akan lenyap jiwa dan raganya, akan
memisahkan kita dari apa yang di cintainya seperti keluarga, pangkat ,
jabatan, harta dll sehingga mereka merasa ngeri kalau mengingat kematian.
Berbeda
dengan Konsep Siti Jenar / Konsep Sufi kengerian akan kematian itu
sudah hilang , karena mereka telah berhasil melenyapkan / melepaskan
mentalnya dari hokum kebiasaan mereka telah menemukan keyakinan bahwa
kematian merupakan proses dari perjalanan spiritual yang berkelanjutan.
Karena mereka mempunyai tujuan setelah kematian maka perasaan akan takut
kematian sudah sirna . tujuan mereka adalah bertemu Tuhan yang telah di
rindukannya.
Kematian sebelum kematian artinya seseorang yang dapat mematikan Ego, Emosional, Nafsu, dan fikiran fikiran yang menjerat untuk selamanya .
Kematian Ego dapat membebaskan manusia , seorang dapat merasakan kelahiran ke dua
Kelahiran
ke dua tersebut membuka jalan baginya dalam menuju totalitas dan
keabadian , karena kematian ego memungkinkan seorang untuk menempuh
jalan Tuhannya . Potensi tersebut sebenarnya ada pada setiap diri
manusia [ kemampuan untuk keluar dari dunia yang penuh batasan ] tetapi
kebanyakan manusia belum dapat memahami dan belum menemukanya karena
kita masih dibatasi oleh fikiran , budi Cipta dan karsa yang sangat
membatasi kita. Jika seorang bisa terbebas dari itu semua maka akan
terbuka Cakrawala terhadap segala hal yang tak terbatas yaitu kabadian
yang hadir dalam kalbunya. Itulah yang disebut pengalaman batin yang
bersifat pribadi. Tidak semua orang mampu melepaskan diri dari hukum
kebiasaan .
Oleh karena Syehk Siti Jenar
kurang bijak untuk membuka pengalaman spiritual nya kepada murid
muridnya atau kepada wali Syariat karena persepsi yang tidak sama maka
Syehk Siti Jenar harus menerima Konsekwensi dengan hukuman mati.
Syehk Khaled Bentounes
[ tokoh sufi ] kita tidak boleh sembrono untuk membicarakan pengalaman
batin kita pada sesama kita yang masih hidup dalam batasan batasan ,
konsekwensinya kita harus berfikir dan berbicara dalam dua bahasa dan
dua fikiran yang berbeda . artinya pada orang yang pada tahapan sama
kita dapat berdialog tentang hal itu karena mereka ada dalam gelombang
atau chanel yang sama, tetapi jangan sekali kali berdialog dengan orang
orang yang belum mencapai kondisi batin tersebut karena hal itu dapat
mengacaukan atau membingungkan jalan fikira n mereka.
Syehk Khaled Bentounes Kondisi Ma’rifat sungguh
sungguh memang ada dan tidak ada penjelasan secara rasional masing
orang yang mengalami kodisinya juga berbeda tergantung pada penyerapan
dan kedalaman untuk memahaminya, sedangkan untuk mencapai hal tersebut
seseorang yang menempuh jalan ma’rifat sebelumnya harus dapat mematikan
Ego kemanusiannya dengan cara menjalankan amalan amalan atau latihan
yang bertujuan untuk menyatukan perasaan dan keinginannya hanya kepada Tuhannya atau di sebut dengan IRADAH. Dari
amalan tersebut maka akan timbul kerinduan dalam hati , hakikatnya
adalah perwujutan kebangkitan hati dalam pencarian Tuhan .
Pengalaman
batin tentang Iradah juga dialami Siti Jenar , Siti Jenar senantiasa
dalam kegelisahan karena rasa rindu dan cintanya kepada Tuhan yang
begitu besar, ia ber usaha melenyapkan sifat yang terikat dengan hukum
kebiasaan sampai sampai ia menganggap dirinya sendiri tiada berarti .
“
Saya ini bukan Budi, Bukan angan angan hati, bukan fikiran yang sadar,
bukan niat , bukan udara , bukan angin, bukan panas, bukan kekosongan ,
bukan kehampaan , wujud saya ini adalah Jasad yang akhirnya mati menjadi
jenasa , busuk bercampur tanah, dan debuh nafas saya mengelilingi dunia
, tanah, air, api dan udara kembali ketempat
asalnya, sebab semua barang baru , bukan asli maka saya ini dzat yang
sejiwa menyukma dalam Hyang Widi, Pangeran saya bersifat Jalal dan Jamal
[ Maha Mulia dan maha Indah ] ia tidak mau sholat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintahkan untuk sholat kepada siapapun “
Sabda Rosululloh Muhammad SAW : “ Rasakan Kematian sebelu datang kematian “
Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar merupakan nama yang menyimpan
sejuta misteri. Hingga kini teka teki tersebut belum pernah terjawab.
Apakah Syekh Siti Jenar itu memang benar benar ada sebagai Wali Ma’rifat
atau hanya sekedar pitutur luhur simbol-simbol ajaran kearifan
masyarakat Jawa. Namun dalam ringkasan ini kami tidak mengkaji sisi
historisnya tetapi kami mengkritisi ajarannya yang tersirat dalam sastra
Jawa yang disugukan pada acara MOCOPAT
Widhatul Wujud / Manunggaling Kawulo Gusti
Apabila
diakui bahwa Syekh Siti Jenar itu seorang wali ma’rifat, maka ajaran
Ma’rifat yang dikembangkanya bukanlah suatu ajaran baru danbanyak
dipengaruhi toko Sufi sebelumnya yang berasal dari dataran Arab yaitu Mansyur Al Hallaj. teori dari mansyur al Hallaj yang terkenal Al Hulull ( Tuhan mengambil tempat pada diri manusia ), kalau pada teori Siti Jenar adalah
Widhatul Wujud , ( pada saat tertentu manusia bisa menyatu dengan
Tuhannya ) , jadi kalau dilihat dari kedua teori tersebut sepertinya ada
kesamaan bahwa pada saat saat tertentu manusia seolah olah merasakan
dapat bersatu dengan Tuhannya .
Sesungguhnya konsep tesebut tidak dikenal
dalam ajaran Islam , konsep tersebut hanyala pengaruh dari tradisi
pemikiran yang ada , namun para sufi berkayakinan bahwa kita bisa
memperoleh pengetahuan bukan hanya dari panca indra seperti yang
ditempuh oleh para Filsuf dan Teolog . melaikan dengan hati nurani.
Konsep Kematian Syekh Siti Jenar
Menurut
pandangan yang diyakini bahwa dunia ini alam kematian, setelah jasad
ditinggal nyawa itulah awal kehidupan yang sebenarnya. Amat megherankan
jika manusia berfikir siang dan malam dalam alam kematian itu mengharap
permulaan hidup, sesungguhnya manusia hidup di dunia ini banyak
mengalami neraka kesengsaraan, kepanasan, kedinginan , serta kesedihan
tidak demikian apabila manusia hidup sesudah mati manusia akan hidup
mulia mandiri tidak memerlukan media ayah ibu ia berbuat menurut
keinginannya sendiri tiada berasal dari angina ,
air ,tanah , api atau semua yang serba jasad. Ia tidak menginginkan atau
dikenai kerusakan apapun , karena itu apa yang disebut dengan Allah ( nama ) ialah barang baru yang direka reka menurut pikiran manusia
Sumber :http://bajurombeng.blogspot.com/
Patekadan Kang Kanjeng Siti Jenar
Posted by Bajurombeng in Diary Teman
(Meunang Nyutat ti Blog dulur six4sep.multiply.com)
PANGKUR-PANGKURANG-KURANGNA RASA
I.
Barabat pada disada,
Hening jati tigin sirotol mustaqim,
Pada boga undak usuk,
Parangkat luhur handapan,
Pangluhurna mah tepi ka hakkan hakkun,
Patekadan Lemah Abang,
Dihukum ku alam biwir.
Jadi pamuntangan sara
Ulah muka rasiah rabul alamin
Meletik bijil ti sungut
tangtuna di hukuman
bongan salah jeung sungut batur batur
di nagara pakalaman
nungtik pakalaman deui
II.
WAHDAT AL WUJUD(MANUNGGALING/ GULUNGNA KAULA GUSTI)
Wahdatul Wujud di Indonesiakeun jadi kesatuan eksistensial (numutkeun Nurcholis Madjid). Di jawa mah dijelaskeun ku kecap manunggaling kawula gusti, tapi di sunda kampung mah istilahna teh (leuwih merenah jeung leuwih nunjukeun kana hasil) nyaeta: Gulung na abdi jeung gusti nepi ka ngagalunggung.
Sabenerna keur di sunda mah, ieu penjelasan wahdatul wujud ku kecap manunggaling kawula gusti -nu (ditambahan) sing nepi ka ngagalunggung- teh ‘mere arahan’ kana kumaha sabenerna ahlak jelema dina tohid (tauhid).
Manunggaling kaula (abdi) gusti –mimitina kudu aya dua (alam midua) nyatana aya abdi aya gusti.
Jadina teh...
Alus gusti sabab abdina alus, goreng gusti sabab abdina ge goreng.
Alus abdi sabab gustina alus, goreng abdi sabab goreng gustina.
Pan cenah ge kalahutan bijil lamun kanasutan na enya. Lahut ngaridoan mere hidayah berkah jeung rohmat sabab nasutna aslamtu. Lahut kejem ngantep ngahukuman sabab nasutna nolak nambalang (kafir).
Pan cenah ge loba kapanggih abdi rujit sabab salah muhit nu jadi gustina. Loba nu ngajadikeun hawa nafsu jadi (ilah) gustina.
Matakna....
Kudu hurip gusti waras abdi. Ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak sabobot sapihanean.
Kudu daek jadi abdi meh loba gusti keur maneh,... tong embung jadi gusti ngeunah jadi lawang kahadean lamun loba abdi nu butuheun..
Pek pambrih pek nuhun lamun perlu; Pek bere pek cekel lamun boga (tingal dongeng Sang Sulaeman dina qur’an)
Lain kitu gawena kahadean?
TAPI,
TONG NGAKU gusti bisi keur teu kaseundeuhan (kawas nu ngaku turunan menak (lain menak)...ari hirup walurat) ...nu cilaka diera-era mah maneh....
TONG NGAKU ngaku abdi agul boga gusti.... bisi keur teu diaku (pamenta keur teu dikabul)...nu era belehem mah maneh...dinaha- naha.
Sing boga tata titi duduga peryoga; migawe haphap ngendag-ngendag memeh luncat nuturkeun alam batur, tulaten nurutan sireum tarapti kawas titinggi meh seukeut duduga miyuni gagak dina nempatkeun kaabdian kagustian. Ulah melengkung bekas nyalahan sarosopan teu pantes mernahna.
...nu era cilaka mah maneh keneh maneh keneh....da maneh nu nandangan.
III.
Urang buka saeutik lalangsena, .....
Lamun urang ningal dina basa sapopoe. Kecap abdi dipake dina alam tata alam semu, pihak “abdi” nempatkeun sahandapeun (jauh-anggang ti) pihak ka dua nu dianggap ‘gusti’ na. Gawe kitu sabab:
• Pihak ka hiji ku ngaku nempatkeun jadi ‘abdi’ teh ngarepkeun /boga pamrih ‘kagustian’ bijil ti pihak ka dua.
Ari kagustian nyatana gambaran /’manifestasi’/perwujudan Asmaul Husna nu rupa rupa-kayaning ngabulkeun pamenta, berehan, nganteur kahayang, tempat nyalindung, tempat kanyaho,.. jrrd.
Ari kaabdian kudu sabar, kudu daek menta, teu guminter, kudu tawakal (nyanggakeun kumaha gusti),..tungtungna ning sok ngaromong sadaya-daya. Shalatna (do’ana/pamenta na) ge sok disarebut sembahyang.. .nyembah ka hyang... da rumasa jadi abdi ( tingal –“shalat kami aya 4”). Migawe sabab geus kuduna kitu/ sabab sieun/sabab era/sabab asa katitah ku gusti nu salilana moncongok bae.
Ari ka abdian kudu handap asor, nyarita kudu lemes, jrrd..jrrd. Ari ka gustian cenah kudu balabah, berehan, murah congcot hambur bacot, jrrd..jrrd. Lamun manggih abdi teu boga adeuh sok tara dekeut jeung gusti. Mun gusti kored keked moal loba aya abdi nu deukeut jst..jst..jst.
(Undak usuk basa lemes kasar nu lengkep pakeun mernahkeun maneh dina ‘komunikasi’ ku, misalna, basa lemes heula ka nu anyar pinanggih/nyaluyuke un jeung alam nu diajak komunikasi di sunda sabenerna cara maju- ‘highly civilised’ hiji budaya)
Nu parerceka tarapis dina ngolah nempatkeun budi basa rasa rumasa... loba meunangna. ..lamun ka jelema urang handap asor (jadi abdi)...sok kaluar ti manehna (lawan komunikasi) teh kagustianana. .. Meureun resep meureun ngeunah meureun betah loba nu mere maweh disebut jelema bageur pikanyaaheun batur.... tah kagustian batur bijil keur maneh ari maneh bisa jadi abdi.
Kitu oge sabalikna... .
Tong nolak mun aya abdi sumolondo... sabab karek mun aya abdi.... ka gustian bijil ti maneh...tungtungna pada ngamulya-mulya kunu ngarasa kahutangan kunu ngarasa meunang kahadean ti kagustian maneh.
Ka handap asoran... oge dipake ‘nguji’ kawas haphap...ieu jelema nu disangharepan jalma perceka nu kawaris sifat kagustian atawa henteu?...sabab di handap asoran teh aya ge nu jadi mancangah... cirining. .jelema teu baleg teu kawaris kagustian..
..beuki handap urang..lamun itu (batur) teu bisa ngahandapan. ..cirining rek robah laku.... itu eleh duduga urang jadi gustina itu nu ngaabdi-abdi. .pek bae cobaan mun cacarita jeung menak...teu percaya mah. (menak ayeuna mah leuwih dimaksudkeun kana diantarana ‘educated’ luhung elmuna ‘wise’ jembar panalar ‘leader’ lulugu/ kokolot /pananyaan panannggeuhan umat- nu boga gelar raden ayeuna mah saukur nu pastina turunan menak-jadi henteuna menak mah wallahu alam)
Tapi, Mun teu bisa teu tapis .... loba menak (gusti) kaperdaya ku pamuji abdi (feodal) jadi mere tapi awuntah ...loba somah (abdi) heurin ku letah teu wasa sieun teu nyaho basa...saukur bisa kumaha anu dibendo (nu jadi gustina).
Dasar hirup di alam pamrihan.... nu dipambrih kasalametan kahadean. Matak kudu tapis mernahkeun maneh.
IV.
Pek pecakan ka Rabb Gusti nu murbeng alam...Sarua. ....
Ku nempatkeun ‘ka abdian’ teh ngarepkeun ka gustian ti nu dipenta, pan dipapatahan ku Qur’an:
Ari ngadu’a (menta neneda) keur abdi mah tarik teuing ulah laun teuing ulah..pan cenah ngadu’a teh kudu sineger tengah sorana ari ka Gusti (rabb) mah;
Kudu daek menta/ngadu’a ..ulah api lain..pan cenah Rabb teh teu resepeun ka (abdi) nu tara ngadu’a/menta;
Kudu narima dina kalaipan/dina katunaan/dina kakurangan/dina kasalahan (pek tengetan du’a du’a nu diawalan ku Rabb). ... eta teh ameh bijil gustina sabab nu datang abdina nu boga rasa rumasa.
Ari ka gusti kudu sabar bae jeung tetep kudu menta (do’a/shalat) bae pan cenah ceuk qur’an “menta tulung ka kami ku sabar jeung shalat” (kajeun can dibere kudu tetep menta) da wayahna jadi abdi nunggu-nunggu di kabul gusti.
Jeung ,....
Ceuk qur’an ge cenah kudu jejem yakin arek dikabul pamenta. ...Lamun henteu? he..he..he.. kumaha deui? rek menta deui ka salian ti gusti?.... euweuh...euweuh deui nu bisa iwal ti gusti...pan maneh mah abdi.
Jst..jst...jst. .
Tah..hirup di alam pamrihan... nu dipambrih kasalametan kahadean. Matak kudu tapis mernahkeun maneh.
KUMAHA SUPAYA GULUNG ?
Naha kudu gulung?
Alam abdi-gusti mah alam anggang...sadeukeut na ge ka gusti...para abdi mah teu bisa deukeut sabab beda pangkat beda kabiasaanana. Tara gusti satata jeung abdi..sabab lamun satata leungit kagustianana.
Hayang deukeut mah nya gusti jeung gusti deui....abdi jeung abdi deui. ngan lamun abdi-jeung abdi, gusti jeung gusti. Leungit kagustian leungit ka abdian...pan basa nage jeung sasama mah pa dewek-dewek pa aing aing. Ngan kade mun keur aya abdi ulah gusti padewek dewek pa aing aing meureun abdi bisa ngunghak? Sabalikna mun keur aya gusti abdi tong sambewara... bisi tideuha.. naha bet aya abdi cumantaka?
Alam abdi-gusti mah alam tata alam semu....tara dicaritakeun sajalantrahna. .. Strategy jeung kaayaan presiden (gusti) tara dijelaskeun kabeh ka sakabeh rakyat (abdi).... cenah ge kapaksa kudu ‘white lie’ sabab mun dicaritakeun sajalantrahna mah bisi kuciwa...bisi putus asa...bisi CAN BISA NARIMA..bisi mancangah ..jrrd.
Pan kongas dina agama oge...loba nu disumputkeun ..saur Gusti teh dina qur’an...”nu nyaho eta mah ngan saukur kami jeung nu dikersakeun ku kami..maraneh mah para abdi moal..moal kabeh nyaho (nu saenyana) aya ge ngan saukur nyangka”....ari nyangka tara pas ka enya...malah, saur gusti dina qur’an, nyangka ngeunaan gusti mah pagawean abdi nu ditundung (setan)”.
Hayang nyaho nu saenyana mah kudu pindah ka alam gusti jeung alam nu daralit (qarib/qurbah) sabab kapeto kapilih dikersakeun ku gusti.
V.
Kumaha carana?
Kudu daek saalam sakabeuki jeung gusti. Engke nyaho kumaha ari gusti sapopoena usik malikna.
Didieu para ulama mere tuduh, dumasar beja ti gusti dina qur’an, yen gusti Allah teh boga sifat 20 siki.
Aya (wujud), mimiti (qidam), langgeng (baqa), nangtung sorangan (qiyamuhu binafsihi - tingali “lingga kabuyutan jeung sirotol mustaqim/nangtung sorangan”), beda jeung nu anyar (mukhlafah lil hawadis), wahdaniat (gulung).
Cik atuh lalanyah diajar kawas kitu....
Pan saur Sang Sri Uswatun Hasanah tedak quraysh ge... “akhlak maneh sing kawas akhlak Allah”
Bisa wanoh kanu 6 diluhur teh kudu bisa wani daek nyaho jeung hirup (keneh). Maneh nu nandangan (nu daek nu wani nu bisa nu nyaho nu hirupna).
Hirup (hayat) jeung (hayan) nu hirupna, Bisa (qudrat) jeung (qadiran) nu bisana, Daek (iradat) jeung (muridan) nu daekna, nyaho (ilmu) jeung (aliman) nu nyahona....atuh kudu sagala ku sorangan di sorangan lain euceuk lain cenah.
Ngucap (kalam) jeung (mutakaliman) nu ngucapna tapi teu make sungut.... atuh diajar nyarita teu ku sungut
Ningal (basar) jeung (basiran) nu ningalina tapi teu make mata.... atuh diajar ningali teu kumata
Denge (sama) jeung (samian) nu ngadenge tapi teu make ceuli... atuh diajar ngadenge teu ku ceuli
Teori na mah loba tinggal leukeun daraek diajarna...diantara na aya nu boga pamanggih:
cenah, kudu asup tareqat..tong sareat wae.... (kade loba nu ‘kabodokeun’ ku guruna, kasiksa/kapager ku ‘labelling’ brotherhood tarekat/ sareat jeung golongan/aliran, komo kana tareqat nu sok ninggalkeun sareat),...
cenah, kudu ngaliwatan tobat, zuhud, wara, faqir, sabar, tawakal rido ikhlas (kade ulah lieur ku metoda)... jrrd cenah pamanggih jelema.
..klise lamun dituluy keun.
Ari ceuk kami mah:
Prak teangan Ajarna ulama ahli waris nabi nu bisa ngajarkeun nyarita teu ku sungut, ningali teu ku mata, ngadenge teu kuceuli, hirup teu bari ngarenghap. Nungtun kawani kabisa kadaek jeung kanyaho nu aya di sorangan.
Tah engkena tara kaeuweuhan da aya wujud maujud tara neangan nu euweuh, langgeng baqa da mapay nu jadi mimiti maneh (qiyam) memeh awang-awang uwung-uwung, nangtung sorangan bi nafsih, beda jeung batur-batur nu anyar nu pandeuri (mukhalafah lil hawadis). Gulung gumulung...sagulung sagalang...meureun teu kudu kararagok..da jeung sobat dalit. Sab geus sakabeuki sakanyaho sakadaek sakabisa sakawani.
Tah engkena nu disebutkeun ku teori-teori katasawufan jadi sorangan.
VI.
Gulung dina Patekadan Lemah Abang
Lamun geus geus loma/dalit, euweuh gusti euweuh abdi babar sapisan jadi sobat (wali).
Tapi, dina tohid bisa na qurbah (qarib=dalit) nunggal ngahiji gulung teh ku modal islam (aslamtu sumerah) nepikeun ka jiwa ragana teu ngaboga boga nepikeun ka teu ku maneh maneh acan (da teu daya teu upaya).
Ayeuna lamun ka-maneh-an geus aya deui, tuluy bareng jeung batur batur, tuluy nyarita meletus bijil ti sungut, make basa maneh (sedengkeun lain gusti mah nyaritana ge teu make sungut? ari ieu bijil ti sungut), ceuk batur nu ningali mah maneh teh keur fana (rusak). Ari nu rusak euweuh nu pantes nurutkeun alam tata alam semu.
Meureun batur salembur leueleutikanna pada heran pada teu ngarti,... gorengna pada nyalahkeun,. ... ceuk batur teh naha ari aing henteu, boa si itu nurustunjung jelema gelo...nu kitu teu sarua jeung fiqh (asal kecap fiqh = pamahaman, tapi ahirna jadi hukum) batur-batur.
Ieu kajadian geus loba, di jawa mah kajantenan ka Syech Siti Jenar (SSJ)..
Aya cariosan SSJ nu kadugikeun kanu sejen (utusan) nu beda tingkat pamahamanna (beda alam) ngeunaan ageman - nyatana waktos para wali miwarangan ngulem SSJ, caritana nu katepikeun mah kieu:
----
Kahiji, waktos kaleresan SSJ nuju dina ‘kafanaan’, Utusan wali nepangan: “Kangjeng Syech,.... dipundut sumping ku Kangjeng Sunan... sun”
SSj: “Euweuh sitijenar mah, aya ge Allah”.
Dasar ka jalmi nu dipercaya luhung sanajan ucapan na’aheng’, nu dipiwarang teu wantun mindo catur teras wangsul deui pupulih ka para wali teu tiasa ngangkir SSJ margi nuju suwung nu aya ge ngangkenna Allah.
Para wali mah maphum teras we mindo (kaduana), miwarang utusan supados nu diulemna teh Allah, ngan kaleresan pas tepang teh SSJ tos dina ‘biasa’ deui.
”sun...dipiwarang ku Kangjeng Sunan supados ngulem Allah”.
..atuh waler SSJ teh: “tong ngangkir Allah ka kami da kami mah SJ”.
Atuh ki utusan mulih deui ka Para Wali wawartos yen teu tiasa ngulem Allah da nu kasampak mung SSJ.
Para wali, ahirna, mutus supados ngutus nu cekap ngilmina (sa alam) pakeun ngangkir SSJ. Sanggemna ieu utusan teh :
“Ieu kami... menta Sj Kalawan Allahna supaya hadir ayeuna keneh”.
Sakedet netra SSJ nu tos ras jlig... tos dugi ka riungan wali.
Ngan,.... nyebut Allah ka nu sejen ieu nu engkena jadi label ‘hukuman’ ka SSJ..., ti ieu beja nu nepi ka utusan teh, tuluy nyebar ka bala rea SSJ teh jalma nu ngaku Allah.
Naha sesebatan lain SSJ teh Lemah Abang?
Ari lemah hartina taneuh ari abang hartina beureum. Di sunda mah lamun aya jelema nu anyar paeh sok disebutkeun cirina taneuhna ge beureum keneh. “puguh ki anu the maotna kamari tuh taneuh na ge beureum keneh”. Taneuh beureum dibasakeun kana pajaratan anyar: Padahal teu kabeh taneuh beureum, siga nu dikuburna di lembang mah kajeun anyar ge teu beureum da taneuh na hideung.
Ari pajaratan anyar mah salian ti paesan (nisan) teh taneuh na ge melendung keneh...cirining can kabeh sirna...matak sok ditahlilan sok direwahkeun. .. can jadi paesan jati pisan da katambahan keneh sesa bangkarak.
Ari nu ngulik kasampurnaan mah kudu bisa paeh heula samemeh paeh ceuk batur/jamak (tingali-paeh samemeh paeh) sabab kongas aya ayat qur’an: “Jeung jalma jalma nu geus paeh, tuluy dihirupkeun deui, terus dibere sunda, nu ku Sunda (nur) eta maranehna bisa lumampah hirup diantara manusa, naha sarua jeung nu aya dinu poek mongkleng anu manehna henteu bisa kaluar tidinya (6:122)’.
Kajadian SSJ meletus cariosan kasaksi ku batur ngangken Allah, sabab masih keneh anyar (kafanaan keneh teu acan pulih) lumampah saatos ‘paeh samemeh paeh’ -sanajan tos kapasihan sunda (nur) ti nu murbeng alam benten jeung jalmi biasa. (tingali-panaekan warnaning tangtung).
(....Enya kitu??..pikiraneun )
VII.
Kumaha gulung supaya ngagalunggung? ?
Diulemna SSJ kana gempungan Wali Sanga mah, sabenerna, pakeun ngabahas kaayaan umat kusabab ayana pamahaman murid-murid SSJ (ngaku tina ajaran/pangwuruk SSJ) ngeunaan syariat agama – nu aya imbasna ka masarakat umum (malah nepi kana ranah politik –ki kebo kenanga, ki Ageng Pengging jrrd).
Tangtu geus pada nyaho yen pamanggih murid can tangtu bener ngawakilan (teu kabeh bisa ngawakilan) pamanggih guru sanajan loba oge murid nu leuwih pinter/jero/ bener pamanggihna ti guru. Tapi lamun muridna salah –migawe salah- guruna sok dipenta bantuanana/pamanggi hna/ ‘advisna’ pakeun ngomean muridna jeung ngomean ‘akibat’ tina kalakuan murid. Kasalahan murid lain kasalahan guru- iwal ti lamun memang kabukti guruna nitah murid supaya migawe salah. Ieu kabeh alesan diulemna SSJ kana riungan Wali.
SSJ pupus dina eta riungan (Pajemuhan Wali Sanga), atuh jadi katurug katutuh, ngajadi ‘bukti’ yen SSJ kenging ‘hukuman’ dugi ka pupusna. Aya nu nyebat ku para wali dihukum pati (diantawisna kadugikeun ku kang Mrachmatrawyani- haturan); Aya oge nu nyebatkeun yen SSJ milih pupus nyalira dina riungan wali – ‘Serat Siti Jenar” Bratasekawa) ;
Padahal (nurutkeun ieu dadaran mah) anjeuna pupus cilaka ku ‘polah’ nyalira. Matakna ieu dadaran, insya Allah, arek nepi kana kumaha supaya salamet gulung na abdi gusti teh jadi ngagalunggung.
Saacanna urang dongengkeun gambaran kajadian pupusna SSJ dina riungan wali:
Dina pamadegan yen sakabeh wujud jeung nu maujud dialam dunya teh teu aya deui iwal ti Allah. Laa maujuda ilallah laa wujudika ilallah...dicobi ku keris duhung (keris “Kantanaga” kagungan Sunan gunung jati) ..ku kangjeng sunan kalijaga.
Barang dicobi teh.... eta keris teu teurak...teu tiasa antel antel acan
(kawas ajian batara karang panta/level batu- tingal kaadaman + Batara karang).
---------
Kabiasaan nguji kamampuh patekadan kasampurnaan dina tohid nepikeun ka ayeuna masih keneh aya.... jeung bakal terus dipake Sabab patekadan / kayakinan teh kudu kaharti karasa tur bukti.
Lolobana mah nu jauh keneh kana alam tohid sok sarieun mun diajak ngukur kasampurnaan sabab sieun kabawa paeh. Nu kapikirna teu bisa baralik deui. Lebareun keneh ku kahirupan dunya.
Padahal cenah ceuk nu geus paeh samemeh paeh...he... he..he.. lamun paeh (nyawana) nu aya (nyesa) hirup mungkul usik malik pan kongas dina qur’an Allah nyanggem “nu paeh dijalan Allah sabenerna hirup masih barang hakan barang pake ngan batur-batur teu apaleun” (tingali paeh samemeh paeh).
------------ -
urang tuluykeun deui:
“Enya...enyana mah tapi wujud (af’al) Allah (awak) nu ngajentul ieu mah lamun ditewek lumrahna kudu teurak....”
Nguping kitu..teras we eta keris teh nanceb...tapi teu bijil getih...biasa wae teu reg rog
(kawas ajian batara karang panta/level taneuh- tingal kaadaman + Batara karang)
“... lumrahna wujud (af’al) Allah/awak nu ngajentul mah mun katewek bijil getih.”
Teras we tina salira SSJ bijil getih tapi bodas...
(kawas ajian batara karang panta/level taneuh/cai (Jannah) - tingal kaadaman + Batara karang)
“.... lumrahna mun getih tina wujud (af’al) Allah/awak nu ngajentul mah... bijilna beureum”
Teras eta getih jadi beureum ngaberebey.. . bari salirana tetep seger tur teras sila.
(Tah ngawitan ti dieu SSJ katideresa ku polah nyalira “nyebut Allah kanu sejen...” rido nu maujudna jadi awak ‘jelema biasa’ nu getihna beureum...sanes wujud ‘manusa’ af’alna Allah..... bari nuju ditakonan ku si “kantanaga” nu maunatna teh mun dipake moal bisa dibalikan deui)
“Aeh...naha bet jadi kitu?
...lumrahna mah nu bijil getih terus moal hirup tapi tuluy paeh.”
....Tuluy eta awak-awakan. ..teh ngagoler.
SSJ nyarios...”sok hayang ditembongkeun naon deui?”
Ditempas “... teu lumrah aya mayit masih keneh nyarita...”
Saharita...SSj. .nyarios kieu...”heug atuh kula moal deui cacarita... ninggalkeun ieu alam...ngan engke sing waspada bakal daratang munding bule....
bakal aya....
bakal aya ...
(nu sabagaian seueur tos kabuktos ieu cariosan SSJ teh)
Saatos nyarios kitu badan SSJ sirna kagentos ku hiji tangkal nu seungit ngadalingding.
Naha bet kajadiana kitu?? Naon maksudna??
(Urang teraskeun upami pareng)
Siti Jenar Dianggap Provokator Kesadaran
Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.Historisitas sosok Syekh Siti Jenar yang banyak dimitoskan orang kini pelan-pelan terkuak. Beberapa penelitian serius telah menyingkap sosok dan aspek-aspek ajarannya. Benarkah ia sosok yang murtad dari sudut pandang agama? Selasa lalu (15/5) Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) berbincang-bincang dengan Agus Sunyoto, penulis tujuh jilid buku fiksi sejarah tentang tokoh kontroversial tersebut.
Mas Agus, bagaimana riwayat ketertarikan Anda meneliti sosok Syekh Siti Jenar?
Kakek saya dari pihak ibu adalah orang Jombang. Dia mengaku orang yang mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Ketika saya tanya darimana memperoleh pengetahuan itu, dia jawab, ”Lho, saya kan santri Tebu Ireng angkatan pertama!” Dia meninggal tahun 1995 dalam usia 105 tahun. Satu-satunya guru yang dia ikuti ajarannya sampai saat itu adalah almarhum KH Hasyim Asyari. ”Berarti Mbah Hasyim mengajarkan soal ini, dong?” tanya saya. ”Lha, iya!” katanya. Saya berpikir, darimana dia dapat itu kalau bukan dari Mbah Hasyim langsung. Tapi saya masih ragu: masak Mbah Hasyim mengajarkan itu?! Dari beberapa sumber lain, saya mendapat jawaban yang sama. Jadi saya berkesimpulan bahwa benar bahwa Mbah Hasyim mengajarkan itu.
Apakah ajaran-ajaran Siti Jenar masih berjejak dalam masyarakat Jawa saat ini?
Ada. Itu terlihat dari adanya guru-guru tarekat atau kebatinanan dari kalangan pribumi. Sebelum Siti Jenar, masyarakat pribumi tidak boleh menjadi guru (tarekat). Setelah itu baru boleh.
Unsur-unsur apa dari ajaran Siti Jenar yang masih tampak dalam tarekat yang mengklaim tersambung dengan dirinya?
Dalam hal egalitaranisme. Mereka egaliter sekali. Tarekat mereka tidak mengenal adanya mursyid-mursyid yang diagungkan. Kalau mereka berdiskusi soal-soal teologis, maka kedudukan guru tidak ada sama sekali. Semua orang adalah lawan bicara. Jadi tidak ada kultus mursyid. Ciri lainnya, cara mereka menuju Tuhan sangat individualistik. Toh, Nabi Muhammad ketemu Tuhan dengan cara sendirian di Gua Hira. Mereka tidak rame-rame. Kalau dilakukan rame-rame, itu namanya demonstrasi, bukan mencari Tuhan. Ketiga, masing-masing pengikut tarekat ini tidak saling kenal, dan ajaran-ajarannya disampaikan secara rahasia.
Doktrin apa yang tampak paling mencolok dari tarekat mereka?
Yang utama soal tauhid. Pemahaman tentang ini agak beda dengan pemahaman awam. Tuhan bagi mereka adalah sesuatu yang tidak terdefenisikan. Laitsa kamitslihi syai’un atau Dia adalah yang tidak bisa digambarkan. Siti Jenar juga mengatakan bahwa ke-99 sifat Tuhan di dalam asma’ul husna itu juga ada potensi-potensinya dalam diri semua manusia.
Manusia punya sifat sabar, karena Allah punya sifat as-Shabûr (Mahasabar). Manusia sombong karena memang ada sifat al-mutakabbir (Mahasombong) pada Allah. Ada juga sifat ad-Dhâr, Yang Maha membuat bahaya. Lah, manusia itu kan seringkali melakukan hal yang membahayakan orang lain maupun dirinya. Jadi, bagi Siti Jenar, tanpa adanya manusia, tidak ada asma’ul husna, karena dia juga mengejawantah di dalam diri manusia.
Pandangan teologis Siti Jenar itu qadariyah, jabariyah, atau apa?
Tidak itu semua. Bagi dia, orang yang mengamalkan ajarannya haruslah hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dari situ dapat dibuktikan bagaimana citra insan kamil (manusia sempurna) itu mengejawantahkan sifat-sifat Tuhan. Artinya, manusia adalah cerminan Tuhan. Karena itu, manusia harus mengamalkan watak as-Shabûr, al-`Âdil, al-Hakîm, dan watak-watak Tuhan lainnya.
Siti Jenar punya struktur berpikir yang sederhana. Misalnya dia bicara soal al-khâliq, Mahapencipta atau Sang Pencipta. Kata ini terdiri dari tiga huruf: kha’, lam, qaf. Dari kata khâliq itu justru ada ciptaan atau al-khalq. Jadi ada pencipta dan ada ciptaan. Karena itu, munculnya khalq atau ciptaan berasal dari kha-la-qa dan al-khâliq. Hurufnya masih sama: kha’, lam, dan qaf. Nah, bagaimana cara si khalq menuju khâliq?
Ada perantara bernama khuluq, budi pekerti. Khuluq-nya siapa? Khuluq yang karim (budi pekerti yang mulia). Semakin seseorang tak bisa mengejawantahkan khuluq itu, makin jauh dia dari Tuhan. Kalau khuluq-nya jelek, ya mesti jauh dari khâliq. Kalau mau dekat, ya harus mencerminkan perilakunya sang khâliq.
Apa standar khuluq-nya di situ?
Ya, perbutan sehari-hari. Ritual salat misalnya, (yang penting) efeknya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (menjauhkan dari perbuaran keji dan munkar, Red). Khuluq itu ada dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, orang tidak boleh mengasingkan diri dari kehidupan dan masyarakat. Khairun nas anfa`uhum lin nas (sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain, Red). Makin banyak manfaatnya akan makin bagus; makin mulia. Makin banyak mudaratnya, makin jelek orangnya.
Lalu fungsi ritual agama seperti apa?
Kalau kembali ke syariat, satu-satunya agama yang mensyaratkan uji empiris adalah Islam. Semuanya empiris, dan yang tidak empiris tidak diakui. Orang yang beriman harus jelas: diyakini di dalam hati, lalu diucapkan dengan lisan. Pengujinya apa? Perbutan! Kalau ucapanmu tak sesuai dengan tindakanmu, maka stempelmu adalah munafik. Itu empiris! Jadi, dasar pertama adalah uji empiris. Sampai menyangkut soal salat. Untuk menandai kamu Islam, ya salat. As-salâtu `imadud dîn, salat itu tiang agama. Jadi, ujinya empiris.
Lantas di mana titik polemis antara Siti Jenar dengan para wali lainnya?
Memang tidak ada (dalam soal itu). Tapi Siti Jenar juga mengajarkan unsur tarekat yang di dalamnya terkandung pengetahuan-pengetahuan spiritual. Yang namanya spiritualitas itu kan tidak bisa dibuktikan secara empiris. Sementara, bagi ulama yang berpikiran fiqih atau syariat-sentris, pengalaman spiritual itu bersifat sangat pribadi. Bagaimana membuktikannya?!
Kalau sudah fana ketemu Tuhan, apa tandanya? Karena itu, susah memahami ungkapan sosok seperti al-Hallaj, wamâ fî jubbatî illalLâh, tidak ada lain dalam jubahku kecuali Allah. Atau ungkapan anal haq! (akulah Sang Kebenaran) dan ungkapan lainnya. Semua itu tidak bisa dibuktikan secara empiris. Makanya, itu dianggap salah. Karena standar ujinya empirisisme.
Apa beda teori penciptaan Siti Jenar dengan teori pancaran atau emanasi (nazariyyatul faidl) dari Ibu Sina?
Dalam pandangan Siti Jenar, munculnya segala makhluk berasal dari itu tadi: khâliq menjadi khalq. Kemudian ada juga istilah ma`bûd (sembahan) dengan `âbid (penyembah). Hurufnya sama. Bagi Siti Jenar, ada tuan dan ada hamba. Di antara keduanya ada yang bernama `ibâd (kawulo). Dari sini juga muncul kata ibadah. Jadi, hubungannya lurus; harus lurus. Kalau hubungan `ibâd dengan ma`bûd makin tidak lurus, itulah yang dinamakan bid’ah.
Jadi, bid’ah tak dimaknai sebagai sesuatu yang ditambahi-tambahi dalam agama. Standarnya tidak fikih. Kalau sesuatu menyimpang dari tauhid, itu baru bid’ah. Kalau orang melakukan ibadah, misalnya sedekah, untuk pamer-pamer, bukan untuk ma`bûd-nya, itu bid’ah, pamer! Ayo tivi, shooting saya yang nyantuni anak yatim! Itu bid’ah namanya. Itulah pemaknaan Siti Jenar.
Untuk memperantarai hubungan khâliq dengan khalq, ada konsep nur muhammad. Anda memaknainya sebagai ”cahaya yang terpuji”, bukan cahaya Nabi Muhammad. Mengapa?
Itu pemaknaan Siti Jenar. Nama muhammad itu kan terhitung baru. Sebelum Islam, tak ada orang Arab bernama Muhammad. Dan yang menyampaikan konsep nur muhammad juga bukan Nabi Muhammad. Ini konsep perantara untuk penciptaan awal. Nur muhammad inilah yang oleh Siti Jenar dianggap sebagai cara pemunculan hakikat muhammadiyah.
Ceritanya begini. Taruhlah nur muhammad itu biji nangka yang sudah ada konsep buah, daun, batang, dan lainnya. Itu sudah ada. Tapi dia dibungkus dalam biji nangka. Nah, hakeket muhammadiyah baru ada kalau buah itu ditanam, tumbuh, dan betul-betul menunjukkan ada konsep daun, batang, akar, dan lain sebagainya. Jadi, konsep nur muhammad itu tidak bermakna eksklusif bahwa penciptaan harus lewat jalur Nabi Muhammad. Menurut Siti Jenar, seluruh makhluk, apapun agama dan jenisnya, berasal dari konsep nur muhammad itu.
Bagaimana sikap Siti Jenar terhadap keragaman budaya lokal di Jawa?
Dia justru mengakomodasi itu semua. Karena itu, terhadap agama Kapitayan, agama tauhid pra-Hindu, dia langsung ambil-alih. Bagi dia, untuk menyebarkan Islam, ini sama saja. Tapi dia juga memodifikasi. Kalau untuk menyembah Tuhan, bagi dia tak usah pakai istilah salat. Sebab, agama Kapitayan sudah pakai istilah sembah Hyang. Kata itu lalu dipakai. Hyang itu dalam bahasa Kawi artinya dewa.
Bagaimana memodifikasi Hyang sebagai dewa jadi Hyang sebagai Allah?
Begini! Ajaran Kapitayan itu memuja dewa utama bernama Sang Hyang Toyo. Dalam bahasa Jawi, Toyo itu berarti kosong, hampa, suwung. Dia tan kena kinaya; tak bisa diapa-apakan. Dinalar nggak bisa, dilihat nggak bisa, didefenisikan juga nggak bisa. Itu sama dengan ungkapan laitsa kamitslihi syai’un. Nah, kalau begitu, bagaimana orang bisa tahu Sang Hyang Toyo kalau Dia tidak bisa didefenisikan?
Dalam Kapitayan disebutkan, Dia muncul dalam bentuk pribadi yang disebut tu atau to. Artinya kekuatan yang punya daya sakti. Daya sakti dari kekuatan Hyang Toyo inilah yang sudah dikenal sifatnya. Ada dua sifat, yaitu baik dan buruk. Sifat baik disebut tu, lalu menjadi Tuhan; sementara yang jelek disebut hantu. Karena itu, dalam asumsinya orang-orang, hantu mesti jelek, dan Tuhan mesti baik. Itu dari Kapitayan dan bahasa Kawi.
Tapi orang juga mikir, di mana tempatnya Sang Hyang, yaitu hantu dan tuhan ini? Wong dia juga masih abstrak dan hanya ada sifatnya! Lalu diyakini, tu bisa muncul pada sesuatu. Sesuatu yang disebut tu: watu, tugu, tuban (air terjun), tuk (mata air), tunggul, tunggak, tumbak, tulang. Semua ada di situ dalam bentuk kekuatannya.
Bagaimana membedakannya dengan paham animisme, misalnya?
Beda. Ini sesuatu yang dianggap ada rohnya. Kalau animisme dan dinamisme, semuanya benda saja. Ini tidak begitu; dia hanya berwujud kekuatan gaib. Ini juga ada ujungnya, yaitu Tuhan yang tidak bisa didefenisikan itu. Toyo tadi.
Kaum animis pun menganggap barang-barang sembahan itu hanya medium penyembahan saja?!
Tapi dalam animisme dan dinamisme, tidak ada konsep satu Tuhan yang abstrak. Sang Pencipta macam-macam, itu tidak ada. Dari situlah orang melakukan sesaji dengan tumpeng, tukung, tumbu, dan seterusnya. Bahkan untuk upacara tertentu yang bersifat rahasia untuk mewujudkan keinginan yang besar, biasanya ada sesembahan khusus yang bernama tumbal.
Bagaimana Siti Jenar menyikapi sesaji itu?
Dia melihat ujungnya adalah tauhid. Nah, masyarakat di luar Keraton waktu itu adalah pengikut ajaran ini, bukan ajaran Hindu. Agama Hindu itu hanya dianut orang-orang Keraton. Jadi mereka masih ke arah ini (tauhid). Dan masyarakat juga masih dibiarkan membikin tumpeng, sesaji, dan semacamnya.
Jadi dia tidak lakukan konfrontatif. Karena itu, tempat ibadahnya orang-orang Kapitayan yang namanya sanggar, bentuknya diambil-alih kemudian. Tapi namanya bukan lagi sanggar, tapi langgar. Karena itu langgar di Jawa itu berbeda dengan langgar di tempat lain. Yang namanya mihrab itu adalah ruang kosong yang menjorok ke dalam. Itu dulu punya orang Kapitayan. Tempatnya seperti gentong yang masuk ke dalam. Itulah namanya kosong, suwung. Bentuknya sama persis dengan mihrab sekarang.
Kemudian ada juga ibadah Kapitayan yang mirip seperti orang-orang Islam, yaitu tidak makan sehari. Tapi namanya bukan shaum, melainkan pawasa atau puasa. Itu artinya juga tidak makan sehari, dari bahasa Kawi. Kemudian juga cerita soal surga-neraka. Bagi Siti Jenar, tidak usah pakai istilah jannatul firdaus, jannatu adn, dan sebagainya. Masyarakat tidak mengerti. Maka dipakailah kata suwarga dan neraka yang orang-orang sudah mengerti. Kosa kata itu sudah digunakan sejak lama. Termasuk ketika menyebut penghuni surga. Tidak usah pakai hûrin `în segala. Orang tidak akan tahu. Pakai saja istilah bidadari.
Ajaran apa dari Siti Jenar yang dianggap mengkhawatirkan kekuasaan?
Ketika dia mengubah konsep kawulo menjadi masyarakat. Terutama ajaran tentang manunggaling kawulo gusti. Artinya, kesetaraan antara rakyat dengan penguasa. Masyarakat itu berarti orang yang punya hak sama, dari kata musyârakah (Arab: berpartisipasi dan bekerjasama). Pengikut-pengikutnya tak dibolehkan memakai kata kulo atau kawulo, tapi pakai kata ingsun. Makanya, orang Cirebon sampai sekarang menyebut aku, ya ingsun. Itu membuat marah raja. Dalam tatanan sosial-budaya saat itu, kata ingsun hanya berhak digunakan raja. Kok banyak orang desa menyebut dirinya ingsun?! Ini dianggap merusak tatanan.
Juga ajarannya bahwa pemimpin harus dipilih. Karena itu, demokrasi pertama itu ada pada ajaran Syekh Siti Jenar. Dia yang memelopori kepemimpinan ki ageng. Kota Cirebon saat itu disebut garade (negara gede). Sebab, saat itu yang berkuasa orang-orang gede. Negaranya para orang gede. Maksudnya bukan negara yang besar. Tapi negaranya orang-orang besar.
Sekarang kita menerima kata masyarakat secara taken for granted. Kita tak tahu konsepsi apa di balik kata itu. Makanya para pengikut Siti Jenar itu kemudian dikelompokkan sebagai golongan abangan. Artinya, pengikut ajaran Lemah Abang (nama lain Siti Jenar, Red). Ketika membuat dikotomi santri-abangan, Clifford Geertz (antropolog Amerika) tidak tahu hal itu. Kalau golongan abangan diidentifikasi dengan selamatan, itu kekeliruan yang sangat fatal.
Apakah ajaran Siti Jenar atau tarekatnya sekarang mungkin berkembang?
Mungkin saja. Tapi ajarannya itu sebenarnya tertutup. Ada beberapa pejabat aneh yang saya curigai menganut ajaran ini. Setelah saya dekati dan ajak ngobrol, ternyata benar. Masak pejabat tidak mau terima suap, tidak korupsi, dan sebagainya?! Ini kan aneh. Mengidentifikasi mereka itu gampang.
Mereka biasanya aneh dan tak mau ikut orang kebanyakan. Ada pejabat yang dalam kondisi sekarang kok jujur, tidak korupsi, tidak dekat-dekat wartawan. Pokoknya tak mau ikut kebiasaan para pejabat umumnya. Setelah saya dekati, biasanya dia mengaku pengikut Siti Jenar. Ada seorang pejabat yang tiap kali gajian justru membeli sembako untuk para tetangganya yang miskin. Padahal, hidupnya biasa-biasa saja. Ternyata, orang itu mengamalkan ajaran Syekh Siti Jenar. Pokoknya, orangnya aneh-aneh.
Jadi jauh dari kesan negatif yang dicitrakan selama ini, dong?!
Ya. Soalnya, babad-babad yang ditulis tentang Siti Jenar itu adalah tulisan orang Keraton semua. Mereka merasa sebagai pihak yang dirugikan oleh Siti Jenar. Karena itu, sikap orang Keraton Mataram sangat ambigu terhadap Siti Jenar. Di satu sisi mereka memitoskan hal-hal yang baik dari Siti Jenar, di sisi lain merasa dia membahayakan kedudukan raja. Dalam ajaran Siti Jenar tidak boleh ada kedinastian.
Aspek lain yang dianggap mengancam adalah soal pemimpin yang harus dipilih. Dulu tidak begitu. Pemimpin seperti jabatan dari Tuhan. Selain itu juga ajaran untuk menahan pajak sebagai penentangan terhadap pemimpin. Bagi Siti Jenar, kalau anda tak suka kekuasaan, ya apa yang mendukung kekuasaan itu dipotong saja. Jadi, perlawanannya taktis. Kalau diperintah sesuatu, bilang ”ya” saja, tapi jangan dilakoni. Makanya, para penguasa jengkel. Bagi pemerintah saat itu, apa yang dikatakan itu serius sekali. Siti Jenar dianggap provokator yang membangkitkan kesadaran orang atas hak-haknya.
No comments:
Post a Comment