Friday, July 20, 2012

PARA FILOSOF BERTUTUR TENTANG TUHAN [1]

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

PARA FILOSOF BERTUTUR TENTANG TUHAN [1]



Dalam perjalanan sejarah umat manusia, tema yang sering dan acapkali menjadi obrolan dan perbincangan adalah perbincangan tentang Tuhan dengan pelbagai pendekatan dan metodologi. Di setiap masa dan tempat, semenjak kaum awam hingga kaum cerdik pandai (baca: filosof), masyarakat dari berbagai strata -dengan ragam ekspresi- bertutur ihwal Sang Pencipta.
Perbincangan ini tidak pernah sepi dan hening dari kehidupan manusia. Fitrah yang bersemayam dalam lubuk hati manusia senantiasa terketuk dan berdenyut untuk membahas dan membincangkan argumen (burhan) dalam membuktikan wujud dan eksistensi Tuhan.
Pemikiran-pemikiran beradu dan berpadu. Para filosof silih berganti muncul untuk mengubah pandangan manusia. Semua itu melukiskan kembara tiada ujung ide manusia ihwal Tuhan. Terbentang dari filosof belahan dunia Barat hingga Timur, berupaya menyuguhkan argumen paling rasional dalam membuktikan wujud Tuhan.
Dalam tulisan ini, yang akan dibagi menjadi dua bagian, akan kita bahas gagasan dan tuturan yang disajikan oleh filosof-filosof semisal Socrates, Plato, Aristoteles, Santo Thomas Aquinas, Santo Anselm, Leibniz, Rene Descartes, Spinoza, Immanuel Kant yang merupakan filosof-filosof unggul dunia Barat.
 
Socrates
Socrates (380-450 SM), filosof Yunani, yang secara mendalam mempengaruhi filsafat Barat lewat pengaruhnya terhadap Plato.
Tuhan dalam pandangan Socrates -sebagaimana manusia- memiliki kekuatan berpikir. Artinya bahwa dalam tatanan semesta juga terdapat kekuatan sedemikian. Khususnya kita lihat bahwa alam semesta ini memiliki tatanan dan sistemik, dan bukan tanpa tatanan dan non-sistemik. 
        Socrates menegaskan bahwa setiap perkara itu memiliki tujuan, dan dzat Tuhan adalah tujuan keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu, alam semesta ini pastilah tidak bersumber dari perkara aksidental dan sebuah benturan (big bang).
        Lantaran alam semesta ini memiliki aturan, maka urusan mondial dan duniawi juga memiliki aturan-aturan natural, dimana manusia harus menjalankan aturan-aturan tersebut. Atas alasan ini, Socrates -dalam ranah politik- tidak berkeyakinan bahwa politik itu harus keras dan koersif. Dengan kata lain, bahwa politik itu juga bersandar pada hikmat dan kebijaksanaan. (Seir Hikmat dar Urupa, hal)
 
Plato
        Plato (428/427-348/347 SM)  yang merupakan murid jenius Socrates -sedemikian jeniusnya sehingga terkadang jika Plato datang ke Academia Socrates, sang guru berkata "Sang akal telah datang"-  merupakan filosof kawakan yang ajarannya banyak dijadikan sebagai landasan filosofis filosof-filosof Barat. Para pengikutnya ini biasanya disebut sebagai Platonis.
        Ajaran Plato tentang Tuhan kebanyakan disampaikan dalam terma-terma mistis, yang menegaskan kebaikan Tuhan (sebagaimana dalam Republic dan Timaeus) dan kebaikannya kepada manusia (sebagaimana dalam Phaedo); Tetapi dalam Phaedrus, dan lebih jelasnya dalam Laws, ia menghadirkan sebuah argumen yang lebih rigoris yang berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu itu berubah (change) dan bergerak (in motion). Segala yang berubah itu tidak selamanya bersumber dari luar (eksternal), sebagian dari perubahan tersebut bersifat spontan dan bersumber dari "jiwa". Dan akhirnya berujung pada sebuah jiwa yang suprim dan paripurna. (Britannica Encylopaedia, 2006)
Dalam Timaeus, sebagaimana dinukil dalam kitab Faidh wa Fâ'iiliyyat Wujudi Az Aflatun tâ Mulla Shadra, penciptaan alam semesta dan pengerangka kosmos dinisbahkan kepada demiurege (shâne', pencipta) yang mewujudkan kosmos ini dari keadaan yang tak tertata dan non-sistemik, menjadi sebuah kosmos yang tertata dan sistemik. Dalam perkara ini, mundus imaginalis (alam ide) dapat dijadikan sebagai satu contoh dan setelah mencipta alam ide, Tuhan mengadakan jiwa universal.
       
Aristoteles
          Aristoteles (384-322 SM), filosof dan ilmuwan ternama Yunani. Dalam Metafisika-nya, Aristoteles berargumentasi dalam menetapkan keberadaan satu wujud Ilahiah, yang dijelaskan sebagai Prime Mover (penggerak agung), yang bertanggung jawab bagi  kesatuan dan kebertujuan alam semesta.
Tuhan merupakan sosok paripurna. Oleh karena itu, Dia merupakan aspirasi segala sesuatu di kosmos ini, lantaran segala sesuatu berhasrat untuk berbagi kesempurnaan. Di alam kosmos ini terdapat penggerak-penggerak yang lain - penggerak-penggerak cerdas dari planet-planet dan bintang-bintang (Aristoteles menyangka bahwa jumlah dari penggerak cerdas ini adalah “55 atau 47”). Kendati Penggerak Agung (The Prime Mover), atau Tuhan, yang dijelaskan oleh Aristoteles tidak cukup sesuai dengan tujuan-tujuan religius. Betapapun, Aristoteles membatasi "teologinya” pada apa yang ia percayai sesuai dengan tuntutan ilmiah dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
  
St. Anselm
Santo Anselm (1033-1109), teolog, filosof, dan pemimpin gereja, mengajukan sebuah argumen untuk menetapkan keberadaan Tuhan yang hingga saat ini masih diperdebatkan.
Santo Anselm menyusun Monologium (Soliloquy, 1077) yang di dalamnya merefleksikan pengaruh Santo Augustine yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan wujud tertinggi dan mengurai sifat-sifat Tuhan. Pada tahun 1078, ia melanjutkan proyeknya mencari pemahaman tentang iman. Dia menyelesaikan Proslogium (Discourse), yang pasal keduanya menghadirkan the original statement yang menjadi popular sebagai ontological argument pada abad ke-18.
Santo Anselm berargumen bahwa bahkan mereka yang meragukan eksistensi Tuhan akan memiliki pengertian atas apa yang mereka ragukan: yaitu mereka akan memahami bahwa Tuhan adalah satu wujud yang tidak ada wujud yang lebih besar dari-Nya.
Anselm berkata bahwa seluruh eksistensi, kurang-lebihnya senantiasa akan berhadapan dengan kesempurnaan. Oleh karena itu, konsepsi yang menggambarkan adanya sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lebih sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis. Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus riil. Karena jika Tuhan hanya merupakan gambaran dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh karena itu dan berdasarkan perhitungan logika, maka mau tidak mau harus diterima bahwa realitas dan eksistensi yang  kesempurnaannya mutlak betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”. (Mabani wa Tarikh-e Falsafeh-ye Gharbi, hal. 125)
 Anselm sepakat bahwa setiap orang yang memahami apa maksud lafadz-lafadz Tuhan atau maujud transendental, maka dia akan menemukan bahwa eksistensi semacam ini harus riil dan ada. Tuhan adalah sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan. Dan karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya. Lebih dari itu aku bisa menggambarkan Tuhan sehingga tidak saja dia merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan pikiranku.
Setelah diketahui bahwa keberwujudan sebagai sebuah persepsi dan juga sebagai sebuah realitas lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti Tuhan harus riil dalam hakikat dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa lagi digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil. Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan tersebut atau melalui wujud yang superior dan sempurna”. (Kulliyat-e Falsafeh, hal. 238)     
 Thomas Aquinas
Santo Thomas Aquinas (1225-1274), yang terkadang dipanggil sebagai Doktor Angelic dan Pangeran Skolastik, adalah seorang filosof dan teolog berkebangsaan Italia. Dengan karya-karyanya, ia menjadi figure yang paling penting dalam filsafat Skolastik dan seorang teolog Roman Katolik yang unggul.     
Aquinas beranggapan bahwa seluruh burhan (argumen) untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah burhan apriori (inni). Lantaran ia percaya bahwa tiada satupun yang dapat menduduki posisi sebab bagi Tuhan. Dan Tuhan adalah wujud yang seutuhnya tanpa sebab. jika Tuhan eksis, maka selain-Nya merupakan akibat dari keberadaan-Nya. Tuhan secara mutlak ada (yakni secara esensial bukan non-esensial).
Aquinas mengemukakan lima jalan dan argumen apriori (inni) untuk mengitsbat dan membuktikan wujud Tuhan, dimana seluruhnya adalah makhluk-makhluk yang menjadi media untuk membuktikan wujud Tuhan. Kelima argumen apriori tersebut antara lain:
  1. Argumen gerak
  2. Argumen sebab pelaku
  3. Argumen kontingen dan wujub (necessity)
  4. Arguman gradasi kesempurnaan
  5. Argumen keteraturan
Dalam Summa Theologica, pertanyaan ke-12, Aquinas menuturkan pendapatnya tentang bagaimana kita mengenal Tuhan. Ia dengan mengajukan pertanyaan retoris menyampaikan; dapatkah kita mengenal Tuhan dalam kehidupan ini melalui akal natural?  Ia berkata, pengetahuan natural kita berasal dari indera dan persepsi. Oleh karena itu, pengetahuan natural kita hanya dapat diperluas sepanjang dapat dituntun oleh objek kendriya dan persepsi. Pada basis sensor objek intelek, kita tidak dapat beranjak jauh untuk melihat  esensi Tuhan. Lantaran alat sensor dan kendriya kita merupakan kreasi Tuhan yang tidak selevel kekuatannya. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui secara utuh kekuasaan Tuhan dengan bersandar pada objek dan alat indera dan kendriya kita. Namun, karena mereka merupakan kreasi-kreasi yang bergantung kepada sebuah sebab, kita dapat dituntun untuk mengetahui bahwa Tuhan itu eksis dan ada. Dan untuk mengetahui karakteristik yang Dia harus miliki sebagai sebab pertama dari segala sesuatu yang disebabkan oleh-Nya. Oleh karena itu, kita tahu ihwal hubungan-Nya kepada makhluk-Nya, bahwa Dialah penyebab keberadaan seluruh makhluk. Dan bahwa makhluk-makhluk berbeda dengan-Nya. Karena ia bukan bagian dari yang diciptakannya. Dan bahwa kreasi-kreasi Tuhan terpisah dari-Nya bukan karena kekurangan yang dimlikinya, tetapi lantaran transenden-Nya. (Encarta Encylopaedia, 2006)
 
René Descartes
René Descartes (1596-1650) adalah filosof berkebangsaan Prancis. Di samping ia dikenal sebagai filosof, ia juga adalah ilmuan dan matematikawan dan terkadang ia disebut sebagai bapak filsafat modern.
Langkah awal yang digunakan oleh Descartes untuk mencapai keyakinan adalah kita harus melihat apakah kita dapat ragu pada segala hal atau tidak. Ragu terhadap memori ingatan, pada penentuan indera dan persepsi, terhadap eksistensi dunia dan terhadap wujud ragawi orang tersebut.
Seperti yang disebutkan dalam "Discourse on Methods", Descartes mengatakan bahwa postulat "Aku berfikir, karena itu Aku ada" adalah sedemikian kukuh dan niscaya, sehingga kaum Skeptis tidak lagi dapat menggoyahkannya. Postulat "Aku berpikir atau Aku ragu", yakni jika seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang meragukan ini bagi Descartes merupakan kepastian. Karena aku mengerti hal itu dengan ‘jelas dan khas’ (clear and distinc). Aku ada, aku eksis; pernyataan ini merupakan sebuah keyakinan. Oleh karena itu, aku ada sejatinya menunjuk kepada satu maujud yang berpikir.
Argumen Descartes dalam membuktikan wujud Tuhan ada dua. Pertama, dengan menerima pandangan di atas yang bersandar pada metode skeptiknya. Dia menganggap dirinya sebagai maujud yang tidak sempurna. Dengan demikian ia menerima bahwa wujud Tuhan merupakan wujud yang sempurna. Descartes berpandangan bahwa memikirkan satu wujud yang sempurna, hanya dapat bersumber dari satu wujud yang sempurna; thus Tuhan sebagai sumber wujud tersebut haruslah wujud. Argumen yang merupakan argumen kosmologikal ini secara asasi bersandar pada prinsip filsafat Skolastik yang berdiri di atas ukuran realitas tersebut yang terdapat pada sebab juga terdapat pada akibatnya. Artinya jika satu pikiran sempurna, dalam keadaan ini sebabnya juga akan sempurna. (Fifty Major Philosophers: A reference guide, hal. 136)
Argumen kedua, popular sebagai argumen ontologis yang juga berkaitan dengan prinsip filsafat Skolastik.
Dalam pandangan dunia Descartes, Tuhan adalah dzat nir-batas dan abadi serta tidak berubah dan mandiri, mahatahu dan omnipotency, dimana aku dan segala sesuatu yang lain yang maujud adalah akibat dan makhluk-Nya.
Argumen ontologi Descartes dituangkan dengan uraian yang lebih jelas, sebagai berikut:
“Dengan melalui analisa yang sederhana kita ketahui bahwa segitiga secara niscaya mempunyai tiga sudut dan tiga siku. Maka gambarkanlah Tuhan dalam diri kalian dengan cara yang demikian pula. Dzat Tuhan kita definisikan sebagai kesempurnaan mutlak.
Pada hakikatnya kesempurnaan mutlak adalah sebuah majemuk dari seluruh kesempurnaan yang bisa digambarkan. Tetapi wujud merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu kesempurnaan mutlak jika tidak mempunyai wujud, berarti bukan mutlak. Dan konklusinya: wujud mempunyai keterkaitan dengan kesempurnaan sebagaimana  mestinya segitiga yang mempunyai keterkaitan dengan tiga sudut dan tiga sikunya”. (Andrew Crisson, Falâsife-ye Buzurgh, jil. 2, hal. 28) 

Baruch Spinoza
Spinoza, Baruch atau Spinoza, Benedict (1632-1677), merupakan filosof rasionalis dan pemikir religius Belanda yang dipandang sebagai penyokong utama ajaran pantheisme.
Spinoza dalam karya besarnya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (1677 Akhlak yang dibuktikan dengan Aturan Geometris) memandang bahwa alam ini identik dengan Tuhan, yang merupakan substansi yang tidak tersebabkan dari segala sesuatu. Konsep substansi yang diadopsi oleh Spinoza dari filosof-filosof Scholastic, bukanlah sebuah realitas material, tetapi sebuah entitas metafisikal. Sebuah realitas yang komprehensif dan swadaya (self-sufficient) yang menjadi dasar seluruh realitas.
Tuhan di mata Spinoza adalah substansi yang nir-batas secara mutlak dan sebab bagi dirinya sendiri (causa sui).
Sekarang kita akan membaca teks dari argumen Spinoza yang tertulis di dalam kitab “Akhlak” nya yang terkenal, sebagai berikut:
(Proposisi 11: Tuhan adalah jauhar [substansi] yang diperkuat oleh sifat-sifat tak terbatas dimana setiap sifatnya merupakan eksplanasi dari dzat tak terbatas dan dzat abadi yang secara dharuri [niscaya] harus eksis).
Argumen: jika Anda tidak menerima proposisi ini dan  keadaan memungkinkan, maka misalkanlah bahwa Tuhan tidak ada dalam keadaan ini. Jika demikian berarti dzatnya tidak meniscayakan adanya wujud. Tetapi hal ini tidak rasional. Dengan demikian,Tuhan secara dharuri ada, relevansinya terbukti.
Selain argumen yang telah tersebut, dalam kitab “Akhlak” Spinoza ini terdapat pula dua teori lain untuk membuktikan proposisi di atas. Teori ketiga adalah teori yang terdapat dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”. Di sana pula -dalam catatan kaki- diisyaratkan bahwa argumen ini adalah apa yang disebut sebagai argumen ontologi Anselm dan Descrates. Teks argumen ketiga dalam kitab “Akhlak” Spinoza adalah sebagai berikut:
“Ketiadaan kekuatan untuk eksis merupakan dalil kelemahannya dan sebaliknya kekuatan untuk eksis, merupakan dalil terhadap adanya kekuatan, sebagaimana yang terlihat jelas. Dengan demikian, jika yang eksis secara niscaya (dharuri) sekarang ini hanya benda-benda terbatas, maka keniscayaannya adalah bahwa benda-benda terbatas lebih kuat dari eksistensi yang secara mutlak tak terbatas. Dan ini jelas tidak rasional. oleh karena itu, kita harus mengambil salah satu dari dua pilihan yaitu “sesuatu tidak eksis (tidak ada)” atau “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas tersebut itu eksis secara niscaya (dharuri)”. Tetapi kita ada dan eksis, baik dalam diri kita sendiri ataupun dalam benda lain yang eksis secara niscaya (dharuri). Dengan demikian, “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas”, yaitu Tuhan, secara dharuri adalah eksis, relevansinya terbukti.
Argumen awal Spinoza lebih mendekati argumen ontologi Anselm. Khususnya jika kita mengetahui bahwa argumen ontologi Anselm termasuk dalam burhan limmi (a priori argumen, pembuktikan rasional dari sebab ke akibat), maka kekhususan ini dalam argumen awal Spinoza akan terlihat dengan sebuah makna. Spinoza sendiri menegaskan bahwa teori ini merupakan burhan inni (a posteriori argument, pembuktian rasional dari akibat ke sebab). (Kuliyyat-e Falsafah, hal. 238)
 
Leibniz
          Gottfried Wilhelm Leibniz, juga Leibnitz, Baron Gottfried Wilhelm von (1646-1716) yang merupakan filosof, matematikawan dan negarawan Jerman ini dipandang sebagai salah satu dari supreme intellects abad ke-17. Ia menyuguhkan beberapa argumen filosofis tentang Tuhan. Warna filsafat Leibniz boleh disebut sebagai filsafat theocentric. Kalimat ini tentu saja tidak hanya menyiratkan makna bahwa Tuhan dalam filsafat Leibniz sangat signifikan. Namun juga bermakna, bahwa seluruh alam semesta memiliki satu sentral. Sentral ini memiliki spirit yang paling paripurna. Spirit atau ruh tersebut itu adalah Tuhan.
Tuhan di mata Leibniz merupakan ruh keseluruhan untuk keseluruhan alam semesta. Keberadaan semesta bersumber dari titik sentral ini. Tetapi poin ini dengan sendirinya merupakan sebab bagi dirinya.
Leibniz mengkonsepsikan Tuhan sebagai sentral alam. Dan konsepsi ini kurang-lebihnya ia adopsi dari Ramon Laul dan Spinoza. Dalam definisi ini, makhluk-makhluk Tuhan merupakan hasil dari sifat penciptaan, yang bersumber dari kekayaan Tuhan Sang Pencipta. Bahkan Leibniz tidak mengelak untuk berkata bahwa Tuhan itu adalah substansi dan makhluk itu adalah aksiden. Dia juga berkata:
"Makrifat kepada Tuhan merupakan awal dari filsafat, dan realitas-realitas azali itu adalah sifat Tuhan. Sifat inilah yang membentuk tatanan hikmah yang benar. Makrifat atau hikmat merupakan satu cahaya esensial kalimat Allah yang perennial dan eternal. Dan merupakan sumber dari segala hikmat dan segala cahaya dan sejatinya sumber segala wujud dan keberadaan serta seluruh fenomena.
Tanpa adanya iluminasi dari cahaya ini, tidak seorangpun yang dapat meraup iman yang hakiki. Dan tanpa iman hakiki kebahagiaan mustahil dapat dicapai. (Falsafeye Leibniz, hal. 430)
Mengenal Tuhan merupakan perkara yang paling mudah dan sekaligus paling pelik. Dalam perjalanan cahaya ini, pengenalan pertama ini merupakan pengenalan yang mudah. Dan pada lintasan bayangan-bayangan akhir ia merupakan pengenalan yang paling akhir dan paling sukar. Kebanyakan pengenalan kita melalui bayang-bayang ini; dari sisi sejarah, bahasa, kebiasaan manusia dan kebiasaan semesta. Ada beberapa  argumen yang didemonstrasikan oleh Leibniz dalam mengitsbat (membuktikan) wujud Tuhan. Namun di sini kita hanya menunjukkan beberapa dari argumen tersebut:
1.    Bukti gerak (Penggerak dan yang digerakkan)
    Dalil ini merupakan dalil yang digunakan Aristoteles dalam mengitsbat wujud Tuhan yang dikenal oleh Leibiniz lewat Thomas Aquinas. Ia berkata: "Materi sebagaimana ia materi, tidak memiliki tuntutan untuk bergerak. Dan kekuatan yang tersimpan dalam materi (matter) tidak memiliki preferensi untuk bergerak. Dengan kehadiran gerakan yang menjadi akibat atas gerakan sebelumnya, dan gerakan yang akan datang menjadi akibat atas gerakan sekarang, silsilah ini, ujung-ujungnya harus berakhir pada satu tempat. Dan jika tidak dalil untuk bergerak maka gerakan belumlah menjadi jelas. Oleh karena itu, dimensi yang lengkap seluruh maujud haruslah maujud yang wajib, bukan maujud-maujud natural. Dan maujud wajib ini merupakan dalil pamungkas atas seluruh maujud yang disebut sebagai Tuhan.
 
2.    Bukti wujub (necessity) dan imkan (contingen)
Realitas ini menegaskan bahwa sesuatu yang ada tersimpan sebuah keharusan. [lantaran kontingen relasi antara ada dan tiadanya adalah setara. Dan jika ia tidak menjadi wajib, maka ia tidak akan pernah mengada]. Oleh karena itu, apakah seluruh maujud bersifat mesti (dharuri) atau sebab pamungkasnya yang bersifat mesti (dharuri). Oleh karena itu, pastilah satu dari sekian maujud yang ada ini yang bersifat mesti, dan wujud tersebut adalah Tuhan.
 
3.    Bukti yang bersandar pada realitas-realitas primordial
Leibniz menulis bahwa: "jika pada setiap esensi atau kontingen atau realitas primordial (azali) bersemayam sebuah hakikat, maka hakikat ini harus bersandar pada maujud yang aktual. Artinya ia bersandar pada sebuah maujud yang mesti, dimana di dalamnya esensi menjadi inherensi wujud atau kontingenannya maujud tersebut, yang menjadikannya mesti mengaktualkannya.
 
4.    Argumen wujud
Leibniz mendukung argumen wujud dan menerapkannya dalam membuktikan wujud Tuhan; lantaran proposisi bahwa "Tuhan itu ada" merupakan sebuah proposisi yang mesti (dharuri). Karena, sebagaimana Descartes dan Santo Anselm, Leibniz memandang bahwa wujud itu bersumber dari kesempurnaan. Kendati ia berbeda dengan Descartes dalam memaparkan argumen ini. Ia menulis bahwa, "Kita tidak dapat mengambil sebuah konklusi dari konsepsi kita ihwal sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan dan pure sempurna bahwa maujud seperti ini haruslah ada. Lantaran pemahaman-pemahaman yang tersimpan dalam benak kita boleh jadi bersifat mubham (kabur). Oleh karena itu kita tidak dapat bersandar pada dalil ini yang menkonsepsikan sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan." Tetapi, Leibniz berkata bahwa wujud  atau ada itu tidak memiliki predikat esensial. Tetapi proposisi bahwa "Tuhan itu ada"  merupakan perkara eksepsional (pengecualian).
 
Immanuel Kant
Immanuel Kant (1724-1804) adalah salah seorang filosof besar Barat. Kant memberikan empat batasan metodelogi untuk membuktikan wujud Tuhan. Kendati ia mengajukan kritik terhadap argumen-argumen yang mengitsbat eksistensi Tuhan dalam ranah theoretical reason (akal teoritis), namun sepenuhnya percaya pada argumen-argumen moral (practical reason) dalam membuktikan wujud Tuhan.
Kant dalam domain akal teoritis membagi argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan menjadi tiga bagian:
  1. Argumen natural – teologikal atau teleologikal: Dalam argumen ini bertitik-tolak pada eksperimentasi tipikal dan tertentu dari fitrah khusus alam kendriya (inderawi) dan sesuai dengan hukum kausalitas dalam membuktikan wujud Tuhan. Atau dengan ungkapan lain, Tuhan dapat dipahami dan diketahui melalui sistemik dan tertatanya alam semesta bahwa Dia adalah Sebab Pertama.
  2. Argumen kosmologikal: dalam argumen ini melalui pengalaman-pengalaman yang tidak tipikal dan khusus yaitu huduts (baru) dan imkan (kontingen) alam semesta atau segala sesuatu yang ada di alam semesta, setidaknya  keberadan seseorang dan kemudian dapat diketahui keberadaan wajib al-wujud
  3. Argumen ontologikal: Dalam argumen ini wujud Tuhan dapat dibuktikan dengan menganalisa pahaman kesempurnaan mutlak.
   Argumen yang diintrodusir oleh Kant merupakan argumen yang dapat menuai hasil dalam membuktikan wujud Tuhan.  Dalam argumen moral ini, melalui pahaman "harus" moral "eksis" dan "ada" wujud Tuhan dapat dibuktikan

No comments: