أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Mukadimah
Terkadang dan
biasanya, keraguan (as-Syak) diartikan sebagai lawan dari
keyakinan (al-Yaqin). Dan terkadang pula, ia diartikan dengan
as-Syubhat yang berarti al-Isykal (kritikan).
Keraguan dengan kedua maknanya itu, dapat diterapkan pada
tulisan dan kajian kita kali ini.
Orang bilang;
keraguan dan keyakinan,-sebagai makna yang pertama- laksana
minyak dengan air, selamanya tidak akan pernah bersatu dan
berkumpul dalam satu majlis hati. Rasa ragu dan yakin, adalah
dua hal yang senantiasa menyertai setiap hati manusia -secara
bergantian- selama hayatnya di kandung badan, atau selama ruh
itu setia mengontrol dan membimbing jasadnya. Setelah ajal dan
kematian tiba, atau setelah berpisahnya ruh dengan fisik dan
kepompongnya, keraguan tidak lagi memiliki hak untuk mengikuti
hati yang merupakan bagian ruh seseorang. Di sini, dan pada
pringkat ini, hanyalah terdapat keyakinan sejati yang sama
sekali tidak terusik, tersentuh dan terganggu oleh keraguan.
Kematian merupakan perapatan, ujung jalan dan tempat berpisahnya
antara keraguan dengan hati ruh seseorang. Ketika seseorang
meninggal dunia, hati dan ruhnya berkata:
"Selamat tinggal
wahai keraguan untuk selamanya. Aku pergi jauh dan tak kan
pernah kembali lagi bersama keyakinan yang akan senantiasa
menyertaiku dengan penuh setia setiap saat".
Manusia,
selama hidup di dunia fana ini, sering kali mengalami keraguan
dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk persoalan agama
dan keyakinan. Keraguan yang paling besar di sepanjang sejarah
hidup umat manusia, adalah keraguan terhadap Sang Pencipta diri
mereka dan alam semesta ini. Apakah Tuhan Pencipta itu memang
betul-betul ada, ataukah tidak? Apakah manusia dan alam raya
ini terwujud dengan sendirinya, ataukah ada yang mengadakannya,
yaitu Tuhan Yang Mahakuasa? Atas dasar keyakinan atau keraguan
terhadap wujud Tuhan Pencipta inilah, tingkah laku, sikap dan
gaya hidup umat mansuia berbeda-beda. Keadilan dan kezaliman
terhadap sesama umat manusia itupun, tidak lepas dari dasar
keyakinan atau keraguan terhdapap wujud Tuhan Pencipta jagat
raya ini.
Tiga golongan para
peragu
Dapat dikatakan,
bahwa orang-orang yang mengalami dan dijangkiti firus keraguan
hati tehadap wujud Tuhan Pencipta, -dari satu sisi- dibagi
menjadi tiga golongan. Segolongan dari mereka, merasa bangga dan
dengan terus terang meneriakkan keraguan hatinya kepada semua
orang, tanpa merasa dosa sedikitpun. Golongan kedua, dengan
tenang hati dan secara diam-diam menikmati keraguan tersebut.
Mereka tidak berteriak dan tidak merasa peduli, baik terhadap
sentilan-sentilan telinga yang disampaikan oleh kaum agamawan,
maupun terhadap sorak sorai kaum peragu yang berterus terang,
dan bahkan berusaha mempertahankan keraguannya tersebut.
Sementara golongan ketiga, bisa jadi keraguan hatinya itu
merupakan prolog dan langkah awal untuk menemukan dan mendaptkan
keyakinan atas wujud Tuhan Pencipta. Golongan ketiga inilah yang
penyakit keraguan hatinya itu, agak mudah diobati dan
disembuhkan. Barangkali pembaca setia situs Al-Balagh
sependapat dengan keyakinan hati kami, bahwa missi Al-Balagh
-yang berusaha menebarkan benih-benih Tauhid berdasarkan logika
dan filsafat- sangat bermanfaat buat para peragu terhadap wujud
Tuhan yang termasuk kepada golongan ketiga tersebut. Adapun
golongan pertama, dimana keraguannya itu mereka jadikan dasar
untuk mengingkari wujud Tuhan Pencipta, dan bahkan hal itu
menjadi akidah dan keyakinan mereka, kita tunggu saja
detik-detik ajal dan kematian mereka. Pada saat itu, tidak ada
lagi yang namanya keraguan. Yang eksis dalam hati mereka
hanyalah keyakinan. Pada saat itu,
tabir
keraguan akan terangkat, maka kalbu-kalbu mereka menjadi sangat
tajam dan sangat terang.
Keraguan terhadap
realitas non inderawi
Para peragu yang
meneriakkan dan melontarkan isi hati dan pandangan mereka
seputar keimanan kepada Tuhan Pencipta berkata:
"Bagaimana
mungkin kita dapat beriman kepada realitas yang tidak dapat
diindera, yang kita tidak mungkin mengetahuinya dengan perantara
indera?"
Keraguan
semacam ini, timbul dari orang-orang yang merasa heran dengan
adanya "Maujud" yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan
persepsi. Bahkan sebagian ilmuwan yang melandaskan pemikirannya
dengan otentisitas indera, juga mengingkari realitas yang tak
bisa diindera tersebut. Atau minimalnya, mereka mempunyai
pandangan, bahwa "Maujud" ini tidak bisa diketahui secara yakin
dan pasti. Kepada para peragu terhadap segala sesuatu, para
filosof Ilahi mengatakan:
"Ketika Anda
merasa ragu terhadap sesuatu, sebenarnya pada saat yang
bersamaan, Anda tidak merasa ragu -sama sekali- bahwa Anda
sedang ragu".
Di sini,
dapat berkumpul dan bersatu -pada saat yang sama di dalam hati
seseorang-, antara rasa ragu terhadap sesuatu, dengan rasa yakin
terhadap wujud ragu tersebut. Karena objeknya memang berbeda.
Yang jelas, hal itu menunjukkan bahwa di dalam diri setiap insan
terdapat suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri sama sekali.
Karenanya, mereka itu tahu kalau mereka itu ragu.
Jawaban yang
dapat diberikan atas keraguan yang dilontarkan oleh orang-orang
yang hanya meyakini hal-hal yang dapat diindera semata ialah,
bahwa pengetahuan-pengetahuan inderawi itu, bisa diperoleh
hanya dengan adanya hubungan antara anggota-anggota badan dengan
materi. Masing-masing indera kita, dapat mengetahui
fenomena-fenomena materi yang sesuai dengan kodrat indera itu
sendiri, dan di bawah syarat-syarat tertentu. Sebagaimana kita
yakin bahwa mata kita tidak mungkin dapat melihat suara, dan
telinga kita tidak mungkin dapat menangkap warna, maka begitu
pula, kita harus mengerti bahwa indera kita tidak akan mampu
mengetahui seluruh makhluk yang ada di alam ini. Karena,
terdapat sebagian realitas materi di alam raya ini, yang memang
tidak mungkin dapat dijangkau oleh indera. Misalnya, indera kita
tidak akan mampu menjangkau pancaran sinar ultraviolet atau
infra merah, atau gelombang-gelombang magnetis listrik dan
sebagainya.
Indera, bukan
segala-galanya untuk mencapai suatu keyakinan. Setiap orang di
dalam kehidupan di dunia ini, mampu mengetahui dan meyakini
berbagai hakikat dan realitas tanpa melalui indera lahiriah.
Bahkan lebih dari itu, mereka meyakininya dengan mantap, padahal
hakikat tersebut tidak dapat dijangkau oleh indera. Misalnya,
setiap orang -pada saat-saat tertentu- merasakan adanya rasa
takut, cinta atau keinginan dalam diri mereka. Dan mereka pasti
meyakini hakikat dan keberadaan hal tersebut. Padahal itu semua
termasuk kondisi jiwa –seperti ruh itu sendiri– yang tidak
mungkin dapat dipersepsi dan dilihat oleh indera kita. Bahkan
idrak (persepsi) itu sendiri merupakan perkara nonmateri
yang tidak dapat diindera.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan abhwa, tidak terjangkaunya sesuatu melalui
indera, bukan merupakan dalil atas ketiadaannya. Bahkan tidak
selayaknya hal ini membuat kita heran dan merasa aneh.
Rasa takut dan
kebodohan melahirkan keimanan
Takut dan
khawatir, merupakan perasaan hati dan kondisi jiwa yang dapat
dipastikan -sedikit banyaknya dan pada kondisi tertentu- setiap
insan merasakannya dalam hidup di dunia ini. Adakah hubungan
erat antara rasa takut dan khawatir dengan munculnya keimanan
terhadap wujud Tuhan Pencipta? Atau, betulkah apa yang dikatakan
sebagian ilmuan bahwa rasa takut dan khawatir itu melahirkan
keimanan? Sebagian sosiolog melontarkan sebuah keraguan. Mereka
berkata bahwa:
"Iman kepada
wujud Tuhan itu lahir akibat rasa takut dari berbagai bahaya dan
ancaman, seperti bahaya gempa, halilintar dan bencana alam
lainnya. Demi menenangkan hati, manusia menciptakan realitas
khayalan yang dinamakan Tuhan. Kemudian, Tuhan khayalan itu
mereka sembah. Oleh sebab itu, -ujar sosiolog tersebut- semakin
banyak diketahui sebab-sebab alami dan cara penanggulangannya,
iman mereka semakin bertambah lemah".
Bahkan sebagian orang marxis merumuskan pandangan ini
dengan penuh antusias. Mereka menilai bahwa hal itu merupakan
sebuah pandangan sosiologi, yang kemudian sanggup memikat
pikiran orang.
Jawab:
Pertama:
Sesungguhnya dasar keraguan semacam ini, adalah merupakan asumsi
yang dilontarkan oleh sebagian sosiolog yang tidak didukung oleh
argumen ilmiah.
Kedua:
Dewasa ini, banyak para ilmuwan yang telah mengenal sebab-sebab
di balik berbagai peristiwa dan fenomena tersebut. Namun
demikian, mereka mengimani adanya Tuhan Yang Bijak secara mutlak.
Dengan demikian, iman kepada Tuhan, bukan timbul dari rasa
takut dan kebodohan.
Ketiga:
jika kondisi jiwa seperti; rasa takut terhadap sebagian
bencana atau ketidaktahuan akan sebab-sebab alami pada sebagian
fenomena, menjadi faktor yang mendorong seseorang untuk mengenal
Tuhan, hal itu tidak berarti bahwa Tuhan adalah sebagai
penyebab timbulnya rasa takut dan kebodohannya. Karena
seringkali kita dapati, betapa motif jiwa –seperti cinta
kelezatan, ingin tenar dan sebagainya– mendorong seseorang untuk
serius melakukan kajian ilmiah, seni dan filsafat. Sementara
usaha semacam itu tidak dinilai buruk sama sekali.
Keempat:
jika
ditemukan sebagian individu yang meyakini bahwa Tuhan adalah
sebab terjadinya berbagai peristiwa yang tidak diketahui
sebab-sebabnya, kemudian dengan terungkap sebab-sebab alaminya
itu iman mereka menjadi lemah, justru kita harus menilai, bahwa
hal itu merupakan bukti atas lemahnya pemahaman dan iman mereka,
bukan bukti atas irrasionalitas iman kepada Tuhan. Karena, Tuhan
sebagai sebab fenomena-fenomena alam ini tidak sejajar secara
horizontal dengan sebab-sebab alami. Tetapi, Dia berada di atas
garis vertikal bagi seluruh sebab-sebab materi maupun nonmateri.
Dan tahu atau tidaknya akan sebab-sebab alami, sama sekali tidak
berpengaruh pada penetapan maupun penafian wujud Tuhan.
Invaliditas
hukum kausalitas
Para filosof
Ilahi berpandangan bahwa, Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan alam
jagat raya ini dengan meletakkan hukum kausalitas (sebab akibat)
di dalamnya. Di dalam kitab suci Islam, hukum kausalitas itu
dikenal dengan istilah "Sunnatullah" atau "Sunnah Ilahiyyah",
yang tidak akan mengalami pergantian dan perubahan sama sekali.
Pengertian dari hukum kausalitas tersebut -secar ringkas- ialah
bahwa setiap akibat, pasti memiliki sebab dan bersumber darinya.
Dan sebaliknya setiap sebab (illat), jika
mukadimah-mukadimahnya telah terpenuhi, pasti akan melahirkan
akibat. Kajian secara mendalam mengenai hal ini, memerlukan
pembahasan tersendiri. Yang perlu kami singgung -sehubungan
dengan keraguan dan kritikan yang dilontarkan oleh sebagian
orang- adalah bahwa hukum kausalitas yang diyakini oleh para
filosof Ilahi itu, berlaku umum dan tidak menerima pengecualian
yang berlaku di alam raya ini. Dengan kata lain, ia berlaku bagi
seluruh maujud yang bersifat mumkinul wujud. Dan tidak
berlaku bagi wajibul wujud. Karena hal itu akan
melahirkan tasalsul (mata rantai) yang tidak berujung
pangkal. Dan hal itu mereka pandang sebagai sesuatu yang
mustahil. Sementara sebagian orang, terutama sebagian ilmuan
Barat, tidak memahami arti hukum kausalitas yang dimaksudkan
oleh para filosof Ilahi. Sehingga mereka melontarkan keraguan
dan kritikan atas hukum kausalitas tersebut.
Mengkritisi
atas hukum kausalitas ini, sebagian ilmuwan Barat mengatakan
bahwa:
"jika memang
hukum kausalitas itu berupa konsep yang universal, tentunya
hukum ini juga berlaku pada Tuhan Pencipta! Jika demikian –lanjut
mereka-, kita mesti berasumsi bahwa Tuhan pun memiliki sebab
juga. Padahal mereka (para filosof Ilahi) telah membuktikan
bahwa Tuhan Pencipta, merupakan sebab utama yang tidak memiliki
sebab apapun selain-Nya. Dengan demikian, maka iman kepada Tuhan
yang tidak memiliki sebab, justru menggugurkan Hukum Kausalitas
itu sendiri. Di samping itu juga, menunjukkan bahwa hukum itu
tidak bersifat universal. Jika kita mengingkari universalitasnya,
maka kita tidak mungkin dapat membuktikan Tuhan -sebagai
wajibul wujud- dengan berlandaskan pada hukum ini. Sebab, bisa
jadi seseorang menganggap, bahwa asal materi atau energi itu
terwujud dengan sendirinya, yakni tanpa memerlukan sebab. Dan
dengan berubahnya asal materi dan energi tersebut, muncullah
semua fenomena dan makhluk. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa
hukum kausalitas tersebut batil. Karena ia tidak dapat
membuktikan wujud Tuhan yang tidak memiliki sebab dan illat di
atas-Nya".
Sebagaimana
telah kami singgung di atas, bahwa keraguan ini muncul lantaran
penafsiran yang keliru tentang Hukum Kausalitas. Mereka mengira
bahwa maksud hukum ini ialah: "Bahwa segala sesuatu butuh
kepada sebab". Padahal maksud yang benar adalah bahwa: "Setiap
sesuatu yang mumkinul wujud, atau setiap wujud rabith
(yang bergantung), butuh kepada sebab". Hukum ini bersifat
umum, pasti (dharuri) dan tak terkecualikan, bagi
mumkiniul wujud itu. Adapun asumsi bahwa materi dan energi
utama bisa terwujud tanpa sebab, dan bahwa perubahannya
merupakan sebab wujudnya segala sesuatu di alam ini, adalah
sumsi yang dapat dikritisi dengan berbagai catatan. Dan hal ini
akan kami bahas pada kesempatan lainnya.
Ketiadaan tidak
melahirkan keberadaan
Ilmu
pengetahuan umat manusia dan teknologi, setiap saat mengalami
perubahan, perkembangan dan kemajuan yang amat pesat. Sejalan
dengan kemajuan dan perkembangan tersebut, semakin pesat pula
berbagai isykal, keraguan dan kritikan yang dilontarkan ke atas
kaum teolog dan filosof Ilahi. Keraguan lain yang layak diamati
ialah adanya sekelompok ilmuan Barat yang mengatakan bahwa:
"Meyakini wujud
pencipta alam dan manusia, tidak sesuai dengan sebagian hasil
penelitian ilmu modern. Misalnya dibuktikan dalam ilmu Kimia,
bahwa kuantitas materi dan energi senantiasa ada. Atas dasar ini,
dapat dikatakan bahwa tidak mungkin setiap sesuatu itu muncul
dari ketiadaan dan tidak mungkin pula maujud apa pun mengalami
ketiadaan. Sedangkan orang mukmin meyakini bahwa Tuhan mereka
telah menciptakan makhluk-Nya dari ketiadaan. Begitu pula telah
dibuktikan di dalam ilmu Biologi, bahwa makhluk hidup lahir dari
benda-benda mati, lalu ia mengalami perkembangan (evolusi)
secara bertahap, sampai akhirnya menjadi manusia yang hidup
akibat perkembangan tersebut. Padahal orang mukmin meyakini,
bahwa Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan cara yang
mandiri".
Jawaban yang dapat diberikan atas isykal dan keraguan tersebut
adalah:
Pertama:
Hukum keutuhan materi dan energi adalah hukum ilmiah empiris,
yang hanya bisa dijadikan sebagai landasan bagi hal-hal yang
tunduk kepada eksperimen saja. Dan tidak mungkin dapat mengatasi
masalah-masalah filosofis seperti: apakah materi atau energi itu
bersifat abadi atau tidak?
Kedua:
Bahwa keutuhan kuantitas totalitas materi dan energi, tidak
berarti bahwa ia tidak membutuhkan kepada pencipta. Bahkan,
semakin panjang usia alam materi, ia semakin butuh kepada
pencipta. Karena, tolok ukur butuhnya akibat kepada
sebab adalah sifat substansialnya, yakni imkan dan
fakir dzati (ketergantungan substansial). Dan bukan
huduts (kejadian) dan masanya yang terbatas. Artinya, materi
dan energi merupakan sebab material bagi alam ini dan –sama
sekali– bukan sebab pelaku baginya. Dan keduanya itu (yakni
materi dan energi) pada gilirannya membutuhkan sebab pelaku
pula. Ketiga: Bahwa tetapnya kuantitas materi
dan energi, tidak melazimkan ternafikannya kemunculan berbagai
fenomena yang baru atau bertambah dan berkurangnya fenomena
tersebut.
Keempat:
Sesungguhnya realitas seperti ruh, hidup, rasa, kehendak dan
lain-lain, tidaklah seperti materi dan energi, dimana bertambah
atau berkurangnya dapat menafikan hukum keutuhan materi dan
energi.
Kelima:
Bahwa teori evolusi – di samping bahwa hal itu tidak mendapatkan
pengakuan nilai ilmiah yang cukup, teori ini pun telah ditolak
oleh kebanyakan ilmuan besar – tidak bertentangan
Keenam:
Dengan iman kepada Tuhan Pencipta, maksimalnya teori evolusi ini
hanya menetapkan sebab penyiap di antara makhluk-makhluk hidup,
dan sama sekali tidak menafikan hubungan mereka dengan Tuhan.
Bukti atas hal ini adalah, bahwa mayoritas pendukung teori ini
beriman kepada Tuhan Pencipta alam dan manusia.
No comments:
Post a Comment