أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
BAB III
Al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa Penyucian jiwa/tazkiyat an-nafs ( تزكيةالنفس ) artinya seseorang harus melakukan penyucian jiwa terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat.[123]
KONSEP MA’RIFATULLAH MENURUT
AL-GHAZALI
Pertama sekali Imam Al-Ghazali beranjak dengan menjelaskan
tentang hakikat hidup manusia adalah untuk beribadah
kepada Allah Swt, Sang Maha Pencipta sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an
Surat Al-Baqarah ayat 21 yaitu:
Artinya: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa”.(QS.Al-Baqarah:21).[51]
Tidak mungkin
terjadi penyembahan kepada sesuatu yang belum dikenal, maka rasa mengenal Allah
sering dikenal dengan sebutan ma’rifatullah, yang mempunyai arti senantiasa
taat kepada Allah Swt. Dan menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk
mengabdikan diri kepada-Nya. Mengenal Allah adalah tujuan yang paling tinggi
dari semua tingkatan dan merupakan puncak tertinggi dari tingkat pendakian
jiwa, tidak ada lagi tingkatan sesudahnya kecuali hanya buah-buah dari cinta
kepada-Nya. Manusia diciptakan oleh Allah Swt, supaya mereka mau taat dan
mengabdi kepada-Nya. Dan Dia menciptakan alam jagat raya ini dengan segala
isinya adalah untuk makhluk semua, artinya manfaat sebesar-besarnya adalah
untuk makhluk itu sendiri.
“Mencintai Allah merupakan pertanda bahwa
hatinya hidup, merupakan makanan hati, tidak ada kenikmatan dan kelezatan di
dunia ini tanpa adanya ma’rifatullah kepada sang Khaliq yaitu Allah Swt”.[52]
Orang
yang memperoleh ma’rifat, tidak sama dengan orang yang tidak memperolehnya. Ada
tanda-tanda tertentu dari orang yang memperoleh ma’rifat, tanda-tanda seseorang
yang sudah menjadi ‘arif adalah : “Sesungguhnya ada tiga, cahaya
al-ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya, dia tidak berkeyakinan bahwa
ilmu batin merusak hukum lahir, dan banyaknya nikmat Tuhan tidak mendorongnya
menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan”.[53]
Seorang
‘arif yang sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya
kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalam kondisi apapun dan semakin dekat serta
menyatu kepada Allah.
“Adapun Ma’rifatullah menurut konsep
Al-Ghazali adalah berupaya untuk mengenal Allah
sedekat-dekatnya yang di awali dengan pensucian jiwa dan berdzikir
kepada Allah secara terus menerus, sehingga pada akhirnya akan mampu melihat
Allah dengan hati nuraninya”.[54]
Imam Al-Ghazali dalam buku Keajaiban
Hati menjelaskan; “kemuliaan dan kelebihan manusia atas semua makhluk lain
karena manusia diciptakan ke dunia ini untuk berma’rifat kepada Allah, sebagai
kesempurnaannya di Akhirat nantinya. Untuk berma’rifat kepada Allah Swt manusia
haruslah membersihkan diri dan hatinya, keadaan itu semua manusia akan dapat
kemudahan dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt.[55]
Tingkatan
ma'rifatullah menurut Al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman
seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan
tingkatan iman seseorang. Ketiga tingkatan tersebut yaitu:
a. Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.
a. Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman dasar taklid.
b. Imannya para mutakallimin (teolog),
atas dasar campuran (taklid) dengan sejenis dalil. Tingkatan ini masih
dekat dengan golongan awam.
c. Imannya para arifin (sufi)
atas dasar pensaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin.[56]
Dalam pandangan Al-Ghazali,
ma’rifat adalah mengenal Allah, tidak ada yang wujud selain Allah dan Perbuatan
Allah. Menurut Al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Alam
semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya. Ma’rifat adalah ilmu
yang tanpa keraguan ketika objek ilmu itu adalah Allah dan sifatNya. Dalam ungkapan
lain, ma’rifat menurut Al-Ghazali adalah tauhidnya para shiddiqin yang tidak
melihat selain ke-Esaan Allah dalam seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan
hak-hak atas diri mereka.
Perjalanan seseorang menuju ma’rifat
berangkat dari keyakinan seseorang yang kemudian melalui upaya-upaya yang tidak
mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan positif dalam kondisi
internalnya dalam bentuk maqam/stage (tempat berdiri / kedudukan), Keyakinan
seseorang mengindikasikan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, surga dan
neraka. Setelah keyakinan ini seseorang naik kepada stage berikutnya yaitu khauf
dan raja’.
Berikutnya tahap Shabr, yang menghantar kepada
satu tahap diatasnya yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur.
Dzikir mengantarkan kepada tahap uns (intim/sukacita). Tafakkur
menghantarkan kepada sempurnanNya ma’rifat. Sempurnanya ma’rifat dan uns
menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan seseorang atas
segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan pertolongannya (tawakkal).
“Ma’rifat hakiki terdapat dalam maqam ru’yat wa
al–musyahadah bi sirr al-qalb(مقام رؤية والمشاهدة
بسر القلب). Orang yang
ma’rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma’rifat yang hakiki
ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah hanya membuka sebagian hijab sehingga
memungkinkan hambanya untuk mengenali–Nya”.[57]
Tanda adanya ma’rifat hakiki pada diri seseorang
adalah jika di hatinya tidak di jumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat
kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat
ma’rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa
perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran.
Potret dan contoh figur yang telah sampai pada
tingkatan ma’rifat, sebagaimana dicontohkan oleh Al-Ghazali, misalnya Ali bin
Abi Thalib, Ja’far Al Shadiq. “
Ketika
Ali ditanya oleh seseorang, “Wahai Amir al-Mu’minin, apakah engkau menyembah
sesuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?”, Ali menjawab,
“Tidak, bahkan aku menyembah Dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku,
tetapi dengan mata hatiku”. Demikian juga ketika Ja’far al-Shadiq r.a. ditanya
“Apakah engkau melihat Allah ?”, ia menjawab, “Apakah aku menyembah tuhan yang
tidak bisa aku lihat”. Lalu ia ditanya lagi, “Bagaimana engkau dapat melihatnya
padahal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh penglihatan”.
Ja’far Shadiq menegaskan, “Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya,
tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat
diindera oleh pancaindera dan dipersamakan dengan manusia”. [58]
Dalam pandangan Al-Ghazali, rahasia serta “ruh”
yang terkandung dalam ma’rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat kalam Allah
dari penyerupaan.
A. Biografi Al-Ghazali
1.
Sejarah Kehidupan Al-Ghazali
Nama Al-Ghazali
sudah sangat dikenal didunia Islam sampai dewasa ini. la adalah salah seorang
tokoh dari sekian banyak tokoh Islam yang telah berjasa dalam
memperjuangkan kemurnian Islam, la di lahirkan pada tahun 450 H bertepatan
dengan tahun 1058 M di sebuah desa kecil Ghazalah, Kabupaten Thus, Propinsi
Khurasan (Iran). Ayahnya adalah seorang penenun yang mempunyai toko tenun dikota
tersebut, namun penghasilannya tidak dapat memenuhi segala kebutuhan
keluarganya. Jadi keluarga Al-Ghazali adalah keluarga miskin, akan tetapi cinta
kepada ilmu pengetahuan dan bercita-cita tinggi. Ayahnya telah membina
kehidupan keluarga yang sejahtera dan selalu berdo'a semoga Allah menganugerahinya
putra-putra yang alim dan berpengetahuan yang luas. Do'a Ayah yang tulus
ikhlas ini di kabulkan oleh Allah Swt, dengan dianugerahi dua putra yang
kemudian sangat berjasa dalam kepentingan Islam.[59]
Adapun nama kecilnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin
Muhammad Bin Ahmad Al-Ghazali ath Thusi. Namun sesudah berumah tangga
ia mempunyai seorang putra yang bernama Hamid, maka Al-Ghazali di
panggil dengan sebutan "Abu Hamid " (Bapak Hamid ).[60] Menurut pendapat
para ahli sejarah sebutan Al-Ghazali yang sangat dikenal ia merupakan
sebutan yang dibangsakan kepada nama desa kelahirannya yaitu Ghazalah. Sebab
itulah pangilannya dengan satu “Z” Al-Ghazali, tapi ada juga sebutan
Al-Ghazali dengan dua "Z" Al-Ghazzali, itu dibangsakan kepada
pekerjaan Ayahnya
sebagai tukang tenun yaitu " Ghazzali".[61]
Kedua pendapat di atas baik di bangsakan kepada
nama tempat lahirnya atau pun di hubungkan dengan mata pencaharian Ayahnya Al-Ghazali,
memiliki makna yang tersendiri. Tetapi untuk lebih memudahkan, penulis selalu
memakai nama Al-Ghazali dengan satu ("Z") dalam penulisan skripsi
ini.
2.
Pendidikan Al-Ghazali
Setelah Ayahnya meninggal Al-Ghazali beserta
saudaranya dititipkan pada sahabat karib Ayahnya. dengan wasiat untuk terus
mendidik keduanya. Ayahnya berpesan:
"Nasib saya sangat malangnya,
karena tidak mempunyai ilmu pengetahuan, saya ingin supaya kemalangan saya
dapat di tebus oleh kedua anakku ini. peliharalah mereka dan pergunakanlah
sampai habis harta warisan yang aku tinggalkan ini untuk mengajari mereka.”[62]
Ayah Imam Al-Ghazali
bukanlah seorang kaya, setelah beberapa lama sahabat yang setia itu menjaga
dan mendidik mereka, maka kedua anak yatim tersebut di asramakan supaya mereka
dapat melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Maka semenjak
itu pula terlihat pada diri Al-Ghazali bakat dan kecerdikannya, yang mana
telah menjadikan ia sebagai pencinta ilmu pe ngetahuan sejak usia muda.
Pada mulanya Al-Ghazali belajar di Thus sampai usia
20 tahun. Di sini ia mempelajari Ilmu Fiqh secara mendalam pada Syekh
Razakini Ahmad Bin Muhammad, Ilmu Tasawuf dari Yusuf en Nassaj, Ahli sufi
yang terkenal. Kemudian
Al-Ghazali pindah ke Jurjan tepatnya tahun 473 H.
Pada tahun 478 H, Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya ke kota Naisabur yaitu sekolah tinggi "Mzamiy".
Disana ia berguru kepada Abu Ma'ali Dhiauddin
al Juwaini atau yang lebih di kenal dengan Imam Al-Haramain. Pada Imam Al
Haramain inilah Al-Ghazali mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan baik ilmu agama seperti Fiqh, Theologi
(Ilmu kalam), serta ilmu filsafat seperti logika (Manthiq) Rethorika.
Begitulah kisah pertualangan Imam Al-Ghazali
dalam menuntut ilmu, sampai akhimya ia menjadi guru besar dan ulama yang
sangat terkenal di kalangan
tokoh-tokoh Islam lainnya.
3.
Perjuangan Al-Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang filosof Islam yang sangat
terkenal dan telah berjasa dalam membela kemurnian agama Islam. Sepanjang
hidupnya ia curahkan pikiran serta tenaga untuk tujuan ini, sehingga mendapat
gelar Hujjatul Islam, perjuangan ia mencakup segala bidang ilmu yang di bawah
ini penulis hanya menjelaskan
yang terpenting saja di antara nya :
1. Bidang Aqidah
Pada zaman hidup Al-Ghazali telah tumbuh berbagai
macam faham, aliran dan i'tikad, sesuai dengan perkembangan pikiran yang
amat meluas, sehingga kekacauan di bidang aqidah mulai nampak mempengaruhi
masyarakat pada saat itu. Aliran-aliran yang timbul saling bertentangan antara
satu dengan yang lainnya, diantaranya aliran Bathiniyah, Aliran
Dhahiriyah, Aliran Filsafat, Aliran Ahli ilmu kalam, Mistik serta Aliran
Zindik dan Atheis. Jiwa kelslaman pun mulai merosot jauh di bandingkan masa-masa
sebelumnya, telah bercampur baur dengan aliran-aliran yang berasal dari India
maupun Barat terutama Yunani Kuno.
Pada masa itu cukup banyak orang Islam yang
terpengaruh dengan Filsafat Yunani yang terlebih dahulu maju. mereka terpengaruh
dengan jalan pikiran Aristoteles, Plato, Socrates dan lain sebagainya,
kemurnian agama Islam ternoda oleh aliran tersebut, yang akhirnya dapat membuat
orang lupa akan kemurnian ajaran Islam. Akibat hal yang demikian telah
menumbuhkan kesadaran Al-Ghazali untuk mengembalikan Umat kepada
"Aqidah Islamiyah" yang murni serta menjalin masyarakat kepada persatuan dan kesatuan.
Untuk mencapai harapan-harapan itu, ia
mengkaji ilmu kalam dan aliran kebatinan, kemudian ia beralih kepada
pandangan-pandangan Filsafat dan Sufisme. Selanjutnya ia mengadakan
pengkajian dan penganalisaan yang tajam dengan penelitian, dengan maksud untuk
mencapai haqqul yaqin (keyakinan yang hakiki) untuk tujuan ini ia mengarang
kitab al-munqiz Minal Dlalal dan Tahafutul Falasifah. Ia bertualang
dari suatu tempat ketempat lain dan tak jarang pula ia mendapat tantangan dan kesukaran
dalam menempuh harapannya itu untuk membela kebenaran Islam. Berkat ketabahan
hati, perjuangannya berhasil dengan baik. Tentang usaha dan perjuangan dalam
mencari kebenaran Islam di lukiskan oleh Arif Mudatsir yang dikutip dari kitab
al-Munqiz Minal Dlalal, dia mengatakan:
"Sejak usia muda, ketika saya menginjak remaja
sebelum berumur dua puluh tahun hingga saat ini mencapai usia lebih dari lima
puluh tahun, saya pernah melemparkan diri secara sembrono ketengah-tengah
samudra yang dalam. Saya naik kapal dengan gagah berani di atas laut yang luas sambil membuang jauh-jauh rasa takut. Saya telah
merenungkan semua itu di dalam ruang kapal yang gelab; saya telah
mengkaji semua persoalan; saya telah
menjatuhkan diri kedalam jurang-jurang yang dalam; saya telah meneliti
syahadat dari tiap-tiap golongan kepercayaan, saya telah berusaha menjabarkan
tiap-tiap dokrin (aliran/pemikiran) yang paling rahasia dari tiap-tiap kelompok
masyarakat. Semua itu telah saya lakukan untuk dapat membedakan hal-hal yang benar dan hal-hal yang salah, membedakan
tradisi-tradisi warisan yang di perbaharui. Apabila saya seorang
Bathiniyah, saya ingin mempelajari
syahadatnya, apabila saya bertemu dengan seorang filsafat, saya ingin
mengetahui dasar-dasar utama filsafatnya; apabila saya bertemu ahli
Theologi, saya akan menyibukkan diri untuk meneliti paham Theologinya; apabila
ia seorang Sufi saya ingin sekali mengukur kedalaman rahasia Mistiknya; apabila
ia dari faham kepercayaaan (Muta'abbid), saya akan meneliti dasar
praktek-paraktek kepercayaannya; apabila ia seorang Zanaqid atau Mu'athihilah,
saya akan melihat sisi dari faham nya untuk mengetahui sebab-sebab ia menerima
secara mutlak syahadatnya itu “.[63]
Setelah ia memahami
aliran-aliran yang ada, mulailah ia menyebar luaskan kebenaran yang hakiki dari ajaran
Islam, perjuangan ini ditempuhnya melalui karangannya yang cukup banyak akan tersebut satu persatu dalam uraian selanjutnya. Di dalamnya ia
menguraikan berbagai aliran dan faham yang salah, serta menjelaskan ajaran yang
benar. Di samping itu ia tempuh juga melalui pengajaran dan pendidikan yang
dilaksanakanya pada beberapa tempat. Selain itu perjuangannya yang tidak kalah
pentingnya di bidang aqidah adalah mengadakan perdebatan-perdebatan
antara ulama-ulama serta golongan yang ia temui, disitulah ia
mengemukakan faham ajaran yang benar. Dalam setiap perdebatan selalu di tempuh
oleh Al-Ghazali dengan tetap berlandaskan pada satu tujuan yaitu menghidupkan
kembali ajaran Islam yang murni yang telah ternoda oleh berbagai macam aliran
serta pemikiran-pemikiran yang salah. Al-Ghazali juga menempuh jalan tasauf dalam
perjuangannya, akan tetapi Al-Ghazali menentang tingkah laku ulama tasauf dan ilmu kalam yang telah menyimpang
dari ajaran Islam.
Dalam hal ini Hanafi, MA menulis :
"Al-Ghazali juga mengambil jalan tasauf, tetapi
membebaskan tasauf dari setiap tindakan yang dapat menjauhi dari Islam, seperti
pikiran"Hulul" (bertempatnya Tuhan dalam pikiran manusia),
"Ijtihad"(menunggalnya manusia dengan
Tuhan), "Wihdatul Wujud "(kesatuan wujud-wujud itu hanya satu Tuhan).
Al-Ghazali juga dengan keras menentang pikiran-pikiran tasawuf apabila
tingkat Ma'rifat tidak lagi mengenal batas larangan dan sudah bebas dari
ikatan-ikatan syara.[64]
2.
Bidang Ibadah
Di zaman hidup Al-Ghazali juga berkembang berbagai mazhab dalam bidang fiqh di mana antara penganut mazhab-mazhab
tersebut menyatakan hanya mazhab yang dianutnya yang benar sementara
mazhab yang lain salah, bahkan sering sekali di antara mereka mengkafirkan yang
lain. Di antara mazhab-mazhab tersebut adalah:
a. Mazhab
Hanafi
b. Mazhab
Maliki
c. Mazhab
Syafi'i
d. Mazhab
Hambali
Perselisihan dan pertengkaran fisik
antara pengikut mazhab telah membuat hati Al-Ghazali tergugah untuk
mempersatukan kembali ummat Islam yang telah berkelompok-kelompok itu.
Masing-masing fuqaha mazhab membahas masalah ibadah hanya menyangkut dengan
syari'at, rukun, sah batal, sunnat, wajib. Apabila seseorang sudah menjalankan
ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, sesuai dengan rukun syari'at maka sudah
terlepas kewajibannya kepada Allah.
Tetapi menurut Al-Ghazali caranya harus menyadari
dan memahami hikmah,
manfaat dan rahasia amal ibadah itu.
Dalam hal ini Al-Ghazali telah menjelaskan secara
panjang lebar masalah ibadah dalam kitabnya yang terkenal "Ihya'
'Ulumuddin", dan memandang syari'at itu tidak boleh terpisah dari nilai-nilai
kerohaniaan. Dalam pelaksanaannya tidak
boleh terlepas dari adab, tata tertib, kesopanan, hikmah dan rahasia-rahasianya. Misalnya masalah thaharah
secara mendalam ia telah menulis adab
dan rahasianya, baik dalam wudhu', buang air, mandi, tayamum dan sebagainya.
Tujuan thaharah menurut Al-Ghazali tidak hanya
terbatas pada kesucian anggota badan dari kotoran-kotoran yang melekat, tetapi
kesucian mempunyai empat tingkat, yaitu:
"Membersihkan
anggota lahir dari hadas dan kotoran sebagai tingkat yang pertama. Membersihkan
anggota dari kejahatan sebagai tingkat kedua. Menyucikan hati dari
akhlak-akhlak tercela sebagai tingkat ketiga. Dan tingkat keempat membersihkan rahasia
batiniyah dari segala sesuatu selain
Allah".[65]
Begitu juga dalam ibadah shalat, ia sangat mengutamakan
kekhusyu'kan dalam menunaikannya, sehingga khusyu' ini sudah menjadi suatu syarat
lain bagi sahnya shalat, di samping syarat-syaratnya yang telah ditentukan dalam
fiqh. Al-Ghazali menambahkan:
حضور
القلب هو روح الصلاة
Artinya: Sepenuh
hati adalah ruh shalat.
Maksudnya: " Ringkas kata sepenuh hati adalah ruh
shalat.[66]
Adapun usaha-usaha untuk memperoleh khusyu' dalam
shalat Al-Ghazali menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama: kehadiran hati maksudnya
adalah supaya hati itu tidak di kosongkan dari segala sesuatu yang tidak ada
hubungannya atau sangkut pautnya dengan amalan yang sedang di kerjakan, dan jangan pula hatinya
itu mengingatkan sesuatu
selain dari pada amalan dalam shalat. Jadi ilmu dan amalan itu harus dengan perbuatan dan hati.
Kedua: mempunyai pengertian yang
mantap tentang apa makna yang menjadi
ucapan tadi. Ini adalah suatu hal
yang harus ada di balik kehadiran hati yakni
hati atas ilmu dengan pengertian lafaznya.
Bukankah banyak sekali arti-arti yang
halus dan dapat dimengerti. Qleh seseorang di waktu sembahyangnya itu dapat
mencegahnya perbuatan keji dan kemungkaran.
Ketiga: Mengagungkan adalah di
balik kehadiran hati dan pengertian maknanya.
Keempat: Ketakutan dan ini
adalah melebihi dari Memaha Agungkan, sebab mengandung pengertian takut atau takwa yang bersumber
Memaha Agungkan serta
memaha sucikan.
Kelima:
Pengharapan yakni berhati tamak
pada pahala yang akan di karuniakan oleh Allah Ta'ala dan takut dari
siksa-Nya, sehingga tidak akan berlengah-lengah
untuk melaksanakan sesuatu apa yang diperintahkan.
Keenam: Malu yang
di timbulkan karena masih ada rasa bahwa dirinya kurang sempurna untuk
mengerjakan segala perintah Allah Ta'ala dan merasa bahwa masih ada dosa-dosa dalam dirinya.[67]
Dari kutipan di atas, dapat penulis
menyimpulkan tentang usaha khusyu' dalam shalat sebagai mana yang
diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali, bahwa bermula dasar khusyu' dalam shalat adalah
"Kehadiran hati". Yaitu hati harus mampu mengikuti dan memperhatikan apa yang
diucapkannya dalam shalat dari awal hingga akhir shalat.
Dalam hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT;
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ß™ 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? .....(النساء:ÇÍÌÈ)
Artinya : "
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang
kamu ucapkan ". (QS.An-Nisa’:43).[68]
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa Allah
sangat melarang mengerjakan shalat dalam keadaan mabuk, karena mabuk itu tidak
mampu mengingat apa yang diucapkan, hati tertutup untuk mengikuti makna apa
yang diucapkan dalam shalat.
Demikianlah perjuangan Al-Ghazali dalam
bidang ibadah, ia berusaha untuk mengarahnya sesuatu yang sangat sempurna,
untuk itu ia memilih kitab-kitab yang sangat terkenal yaitu Ihya' Ulumuddin, al-Basith,
al-Wasith, al-Wajiz, disamping itu, ia juga
berdebat dengan Ulama lain, untuk mencapai maksudnya.
3. Bidang Politik
Sejarah telah
memperlihatkan bukti yang nyata tentang kemampuan Al-Ghazali yang
luar biasa dalam bidang politik. pertama sekali ia turun ke dunia politik ketika
la menjadi guru besar juga penasehat agung bagi perdana menteri Nizamul Mulk
sehingga
pengaruhnya sangat besar bagi arah politik pemerintah pada waktu itu,
karena Al-Ghazali telah mampu menghapus pengaruh aliran Mu'tazilah dan
Filsafat Yunani dari pemerintah Daulah Abbasiyah pada masa Khalifah
Al-Ma'mun untuk kembali kepada ajaran Islam yang murni. Di bidang aqidah ia
menginginkan di ikuti faham al-Asy'ary, dan di bidang akhlak di perkuat dengan ilmu tasauf.[69]
Dalam bidang politik Al-Ghazali menulis tentang konsepsi
kenegaraan dan moral pemerintahan untuk dikirim kepada penguasa-penguasa
pada waktu itu, di antara
buku-buku yang dikarangnya untuk tujuan ini yaitu:
1.
Al-Mustadh-hiri, dikarang sewaktu Ia di
Baghdad dalam memenuhi permintaan Khalifah al-Mustadh-hiri yang isinya
bertujuan untuk prinsip-prinsip yang berbahaya dari partai yang terlarang yaitu
golongan Bathiniyah.
2.
Al-Qisthasul Mustaqim, untuk menjelaskan
prinsip seorang Khalifah menurut Islam dalam teori kenegaraan,
3.
Al-Tibrul Masbuk Fi Nashiehatil Muluk,
dikarang untuk menjadi pegangan bagi Sultan Gyastuddin yang menggantikan
ayahnya yaitu Sultan Malik Syah.
4.
Sirrul 'Alamin, buku ini sebagai
petunjuk kepada penguasa dan raja-raja pada waktu itu.[70]
4. Bidang Pendidikan
Di samping sebagai seorang tokoh agama
dan politik Al-Ghazali juga dikenal sebagai seorang tokoh pendidikan yang sangat
terkenal di kalangan umat Islam. la telah banyak menulis tentang
masalah-masalah pendidikan, karyanya yang terpenting tercakup dalam sejumlah karangannya,
yaitu Ihya' Ulumuddin, Fatihah al-‘Ulum dan Ayyuhal Walad. Di dalam karangan itulah termuat
pendapat-pendapatnya yang terpenting mengenai pendidikan dan akhlak.[71]
Sekarang ini ide-ide atau pendapat Al-Ghazali
telah banyak diterjemahkan oleh para ahli pendidikan, baik ahli pendidikan
barat maupun ahli pendidikan lainnya. Diterjemah kedalam berbagai macam
bahasa, termasuk kedalam bahasa Indonesia.
Berkenaan dengan hal tersebut Al-Ghazali
mengatakan bahwa pendidikan nempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan
ini, menurutnya bahwa pendidikanlah yang akan menentukan corak kehidupan suatu
bangsa dan pemikirannya.[72]
Setelah menjelaskan tentang peranan
pendidikan dalam kehidupan suatu bangsa, selanjutnya Al-Ghazali
menjeiaskan tentang tujuan pendidikan. Menurut la tujuan pendidikan adalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt,
bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan, kegagahan atau mendapatkan pangkat dan menghasilkan
uang.[73]
Jadi jelas sekali bahwa tujuan pendidikan itu
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
4.
Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali
adalah seorang ulama dan ahli pikir Islam yang sangat dalam ilmunya serta cukup
banyak hasil karyanya. Karyanya mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti ilmu kalam, fiqh, akhlak, tasauf, politik dan Iain-lain. Sebagian besar
dari karangannya berbahasa Arab dan sebagian lagi berbahasa Persi.
Walaupun demikian, belum ada kata sepakat secara khusus dari
para penulis sejarahnya tentang berapa jumlah karangan Al-Ghazali yang
sesungguhnya. Namun dari beberapa buku yang penulis baca menunjukkan jumlah
yang berbeda.
Menurut
Abdurrahman Badawi dalam bukunya Mu'allafat Al-Ghazali tentang
pengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan karya Al-Ghazali
dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dipastikan sebagai karya Al-Ghazali
terdiri atas 72 kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karya Al-
Ghazali terdiri atas 22 kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan
bukan karya Al-Ghazali terdiri atas 31 kitab.[74]
Sedangkan menurut catatan Sulaiman Dunia, karangan Al-Ghazali
mencapai 300 buah akan tetapi sayangnya tidak di temui lagi, sebab dalam abad
ke-13M Bangsa Mongol membakar perpustakaan beserta isinya secara ganas di
samping penguasa Andalusia telah membuangnya kelaut secara besar-besaran.[75]
Jumlah karya-karya Al-Ghazali
yang dikemukakan pada bagian ini, yang di klasifikasikan kedalam bidang-bidang
ilmu pengetahuan yang di geluti Al-Ghazali, meliputi : filsafat, akhlak,
tasauf, keagamaan dan metafisika serta fiqh.
Diantara jumlah karya-karya
Al-Ghazali menurut Ahmad Badawi Thabanah dalam bukunya “Muqaddimah Al-Ghazali
Wa Ihya’ ‘Ulum al-Din” ada 47 buah, nama-nama kitab yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
A. Filsafat.
1. Al-Ma’arif al-‘Aqliyyah
wa al-Hikmah al-Ilahiyyah (mengenal akal dan hikmah keTuhanan)
2. Maqashid al-Falasifah
(tujuan-tujuan para filosof)
3. Tahafut al-Falasifah
(kerancuan para filosof)
4. Al-Munqidz min
al-Dhalal (pembebas dari kesesatan)
5. Al-Madhnun Bihi ‘ala
Ghairihi Ahlih (yang tersembunyi atas orang-orang yang bukan ahlinya)
6. Fatihah al-‘Ulum
(pembuka ilmu-ilmu)
7. Haqa’iq al-‘Ulum li Ahl
al-Fahum (rahasia-rahasia ilmu untuk orang-orang yang berpaham)
8. Makasyifah al-Qulub
al-Mathrabah ila’ ‘Allam al-Ghutub (penyingkap hati yang sempit untuk
mendapatkan pengetahuan yang ghaib)
9. Mi’yar al-‘Ilm
(kriteria ilmu)
10. Mihakk al-Nazhr (pertentangan pendapat)
11. Ma’arij al-Quds fi
Madarij Ma’rifah al-Nafs (tangga-tangga kesucian menuju kepada jalan mengenal
jiwa)
B. Akhlak dan Tasawuf
1. Jam’u al-Haqa’iq Fi
Tajrid al-‘ala’iq (menghimpun hakikat-hakikat melalui pengosongan
ketergantungan-ketergantungan duniawi)
2. Ihya’ ‘Ulum al-Din
(menghidupkan ilmu-ilmu agama)
3. Bidayah al-Hidayah
(permulaan petunjuk)
4. Kitab Mizan al-‘Amal (kitab
timbangan amal)
5. Al-Qisthas al-mustaqim
(teraju yang lurus)
6. Kimiya’ al-Sa’adah
(kimia kebahagiaan)
7. Kitab al-Tabarr
al-Masbuk min Nashihah al-Muluk (nasehat-nasehat kepada raja-raja)
8. Kitab Sirr al-A’lam Wa
Kasyf ma Fi al-Darain (tentang pemerintahan)
9. Kitab Ayyuh al Walad
(kitab wahai anakku)
10. Kitab Mu’arik
al-salikin (prajurit orang-orang yang menapaki jalan Tuhan)
11. Misykah al-Anwar
(pancaran cahaya-cahaya)
12. Nur al-Syam’ah (cahaya
lilin)
13. Kittab Mad Akhil
al-Suluk ila manazil al-Muluk (kitab pengantar suluk kedalam singasana Tuhan)
14. Kitab al-Zuhd al-Fatih (kitab
kezuhu dan dan sebagai kunci)
15. Kitab Minhaj al-Abidin
(kitab jalan para pengabdi)
C. Keagamaan dan
Metafisika
1. Kitab Jawahir Al-Qur’an
(kitab permata-permata Al-Qur’an)
2. Kitab Fadha’il
Al-Qur’an (kitab keutamaan-keutamaan Al-Qur’an)
3. Kitab al-‘qidah (kitab
tentang aqidah)
4. Kitab al-Durrah
al-Fakhirah Fi Kasyf ‘ulum al-Akhirah (kitab mutiara indah dalam menyingkap
ilmu-ilmu akhirat)
5. Fayshal al-Tafriqqah
Bayna al-Islam Wa al-Zandaqah (wasit pemisah antara Islam dan Zindiq)
6. Kitab al-Ajwibah
al-Ghazaliyyah Fi al-Masa’il al-Ukhrawiyyah (kitab jawaban-jawaban al-Ghazali
tentang masalah-masalah akhirat)
7. Fadha’ih al-Bathiniyyah
wa Fadha’il al-Mustazh Hirriyah (kejelekan paham Bathiniyyah dan keutamaan
paham al-mustazh hirriyah bi Allah)
8. Al-Iqtishad fi
Al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah)
9. Al-Risalah al-Qudsiyyah
(risalah untuk penduduk kota al-Quds)
10. Qawa’id al-‘Aqa’id (kaidah-kaidah
tentang aqidah)
11. Al-maqsad Al-asna Syarh
Asma’ Allah al-Husna (tujuan yang maha tinggi penjelasan tentang nama Allah
yang maha indah)
12. Kitab Al-Arba’in Fi
Ushul al-Din (kitab 40 mengenai pokok-pokok agama)
13. Qanun al-Ta’wil (aturan
pentakwilan)
14. Al-Risalah
al-Ladunniyyah (risalah tentang ilmu ladunni)
15. Al-Risalah
al-Wa’zhiyyah (risalah tentang nasehat)
16. Al-Radd al-Jamil ‘ala
al-wahiyyah al-Masih (bantahan indah terhadap mutiara al-masih)
D. Fiqh
1. Kitab al-Mankhul Fi
‘ilm al-Ushul (kittab pilihan tentang ilmu ushul fiqih)
2. Kitab al-Basith (kitab
sederhana)
3. Kitab al-Wasith (kitab
pertengahan)
4. Kitab al-Wajiz
(ringkasan)
5. Kitab al-Mustashfa min
‘ilm al-Ushul (tempat pembersihan dari ilmu ushul fiqih).[76]
Demikianlah sejarah kehidupan Al-Ghazali dan
karya-karyanya sebagai seorang tokoh Islam yang sangat terkenal di dunia Islam
dan telah berjasa dalam membela kemumian agama Islam. Sepanjang hidupnya ia
curahkan pikiran serta tenaga untuk tujuan ini, sehingga mendapat gelar yaitu: Hujjatul
Islam.
B.
Pemahaman Al-Ghazali Tentang Ma’rifatullah
“Kebenaran
merupakan terminal akhir yang ingin dituju manusia. Jalan menuju kepadanya
sangat sulit dan berliku-liku, dan tidak jarang orang akan tersesat dan tidak
sampai kepada kebenaran yang ditujunya itu. Konsep kebenaran tersebut tidak
hanya terbatas pada kebenaran indrawi (konkrit), tetapi dibalik kebenaran yang
nyata itu terselip suatu kebenaran abstrak yang tidak diragukan lagi kebenarannya”.[77]
Kebenaran konkrit adalah kebenaran yang dapat dipantau
melalui panca indra; dapat dilihat dengan mata, didengar dengan telinga,
dirasakan dengan lidah, diraba dengan tangan dan dapat dicerna serta dipikirkan
dengan akal.
“Berbagai bentuk kebenaran tersebut merupakan kebenaran
(pengetahuan) “mu’amalah”. Pengetahuan muamalah merupakan pengetahuan yang
dapat ditulis secara sistematis dan berhubungan dengan kata-kata, yakni hal-hal
yang dapat diterima dan dipelajari dari orang lain”.[78]
Sehubungan
dengan itu, Shadiq ibn Hasan al-Qanujiy dalam penjelasannya menyangkut ma’rifat
mungungkapkan bahwa ma’rifat itu ada dua jenis:” pertama pengetahuan yang
diperolehnya dengan jalan nalar (nadzari/النظر) dan pengetahuan jenis ini tidaklah pada
tahap sempurna. Ilmu jenis pertama diperolehnya dengan cara belajar dan
berulang-ulang. Sedang yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
cara atau metode amal yang tujuannya ma’rifat kepada Allah.[79]
Menurut
Al-Ghazali, kebenaran abstrak berada di alam ide, dan nyata adanya, ia disebut
pengetahuan (mukasyafah/مكشفة). Pengetahuan ini sulit ditembus dengan
kata-kata, dan tidak dapat di ungkap dengan pembicaraan, tidak mampu indrawi
menjamahkan dan tidak kuasa akal meluluskannya.[80] Sementara
dalam pandangan Shadiq ibn Hasan al-Qanujiy, “ilmu mukasyafah dinamakan juga
dengan ilmu batin yakni ungkapan tentang cahaya (النر) yang muncul dalam hati (qalb/القلب)
ketika telah suci dan bersih dari sifat-sifat tercela (al-mazmumah/المزممة)
dan tersingkaplah dari cahaya itu persoalan yang banyak (umur kathirah/عمر كثيرة)
yang didengarnya atau didapatinya melalui hati”.[81]
Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah jalan tariqah (طريقة) untuk memahaminya, karena mukasyafah merupakan kebenaran yang
bersifat vertikal, dari langit dan bermuara langsung pada Allah. Bahkan
kebenaran mukasyafah itu adalah kebenaran tentang Allah itu sendiri, Artinya
dengan sampai pada tingkat mukasyafah berarti manusia telah mendekati pemahaman
tentang Ilahi.
Lebih jauh Al-Ghazali di
dalam Ihya’nya memberikan definisi tentang pengetahuan mukasyafah ini adalah
“ilmu yang hanya untuk mengetahui apa yang perlu untuk di ketahui dan tidak
perlu diamalkan”.[82]
Artinya peran utama
memahami ilmu itu terletak pada hati yakni keyakinan yang mampu menerimanya
dengan bantuan Allah. Dengan demikian dapat di artikan juga bahwa ilmu
mukasyafah itu merupakan ilmu tentang keyakinan kepada pencipta. Yang
mengetahui segala bentuk ilmu dan yang memiliki ilmu itu sendiri.
Di wilayah mukasyafah
terletak kepercayaan, sebab kepercayaan tidaklah semata-mata berdasarkan
penelitian, melainkan umumnya terjadi karena bisikan, ketukan hati yang
datangnya bukan dari manusia, akan tetapi ia berasal dari kekuatan Sang Maha
Pencipta dalam bentuk “ilham”. Ilham merupakan“ pengetahuan yang di
peroleh dalam kebangkitan”.[83]
Ia merupakan pengungkapan
kepada manusia secara pribadi atau perorangan yang disampaikan kepadanya oleh
Allah, pemilik ilmu itu melalui batinnya, melalui pendayagunaan batin (القلب)
secara maksimal manusia akan sampai pada tingkat mukasyafah (المعرفة).
“Disinilah letak
perbedaan antara Al-Ghazali dengan filosof muslim yang sebagian besarnya
mengandalkan peranan akal. Bahkan mereka yakin bahwa akal bisa sampai pada
pengetahuan tentang Ilahi yang mereka sebut dengan teori metafisikanya”.[84] Al-Farabi dan Ibnu Sina sepakat melahirkan
teori metafisikanya yang terkenal dengan istilah teori intelegensia (akal
sepuluh), yang merupakan perpaduan
antara teori Aristoteles dan Neo Platonisme dengan Islam.
“Hal ini merupakan upaya
merasionalisasikan semua ajaran agama termasuk masalah rahasia-rahasia
kebenaran Ilahi. Padahal pada prinsipnya tidak semua kebenaran itu mampu di
jangkau dengan akal. Tetapi semua anasir itu tetap bisa diterima oleh akal”.[85]
Sehubungan dengan itu,
Yusuf Al-Qardawi mengatakan sebagai berikut :
“Akal mempunyai peranan yang tidak terlalu besar dan
sekedar berfungsi menghindarkan manusia dari kesesatan, menghilangkan keraguan
dan kebimbangan yakni persoalan-persoalan yang mengandung beberapa kekaburan”.[86]
“Ilmu itu juga untuk
mengabdikan kepada Allah, yang menurut Al-Ghazali disebut ilmu mu’amalah. Ilmu
mu’amalah adalah jalan hamba menuju kepada ilmu mukasyafah”.[87]
Pendapat-pendapat
Al-Ghazali lebih cenderung kepada pendidikan Rohaniah. Kecenderungan ini
sejalan dengan filsafatnya yang sufi. Jadi menurut Al-Ghazali, tujuan
pendidikan ialah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia dapat
mencapai kesempurnaan melalui pencaharian keutamaan dengan menggunakan ilmu, keutamaan
itu akan memberinya kebahagiaan di dunia serta mendekatkan kepada Allah.
Sehingga dia akan mendapatkan pula kebahagiaan akhirat.[88]
Keadaan Al-Ghazali
sebagai orang yang taat beragama dan ahli tasauf telah mempengaruhi
pandangannya tentang hidup dan nilai-nilai hidup. Keadaan ini juga mendorong
dia untuk menjadikan pendekatan diri kepada Allah dan pencapaian kebahagiaan
akhirat sebagai tujuannya.
“Meskipun demikian,
keadaan tidak membuat dia lupa akan pentingnya menuntut ilmu yang murni (pure
science). Ilmu itu sendiri memiliki beberapa keistemawaan dari kebaikan”.[89]
Adapun yang di maksud
oleh Al-Ghazali dengan ilmu ma’rifah adalah, orang harus mengenal empat perkara
yaitu:
1. Mengenal dirinya.
2. Mengenal Tuhannya.
3. Mengenal dunia.
4. Mengenal akhirat.
Mengenal
dirinya, maksudnya merasa bahwa dirinya adalah hamba Allah yang lemah dan
membutuhkan segala sesuatu, arti mengenal Tuhannya ialah mengetahui dengan
sebenarnya dan yakin bahwa Allah yang berhak disembah, Yang Agung dan Yang
Berkuasa. Selanjutnya ia merasa bahwa di dunia ini hanyalah padang pengembara
menuju tempat kembali, yakni akhirat.
Apabila
seseorang telah mengenal dirinya dan Tuhannya dunia dan akhirat tentu akan
timbul kecintaan terhadap Allah sebagai hasil ma’rifah kepada-Nya. Dengan
mengenal akhirat akan menimbulkan rasa rindu terhadap akhirat. Dengan
mengetahui dunia seseorang tidak akan tertarik olehnya. Kemudian bagi mereka
yang terpenting adalah segala yang dapat mengantarkan mereka kepada keridhaan
dan rahmat Allah, dan segala yang bermanfaat untuk hidup di akhirat.
Al-Ghazali menegaskan
bahwa ilmu adalah cara-cara atau jalan yang di tempuh menuju keridhaan Allah.
Dan yang dapat mendekatkan seseorang kepada-Nya, serta segala yang menjauhkan
seseorang kepada-Nya. Ilmu itu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah. Dengan
ilmu seseorang dapat mengenal Allah dengan sebenar-benarnya, sehingga pada
orang tersebut timbul rasa kecil pada dirinya dan merasa takut kepada Allah
sebagai Pencipta Yang Maha Berkuasa, pada tahap selanjutnya ia akan menghormati
dan mengagungkan-Nya. Jadi ilmu yang diberkati Allah akan membuahkan kekuatan
dan mampu mencegah perbuatan maksiat. Oleh karena itu bagi yang menginginkan
kehidupan akhirat akan mendahulukan menuntut ilmu sebelum mengerjakan urusan
lainnya.
Dalam kitab Ihya’ ‘Ulum
al-Din, Al-Ghazali juga mengistilahkan ilmu ma’rifah dengan ilmu mukasyafah,
yaitu ilmu batin dan itu menurutnya adalah puncak segala ilmu. Barangsiapa yang
tidak memilih bagian dari ilmu ini, maka dikhawatirkan ia akan buruk kesudahannya.
Dan dialah ilmunya para siddiqin dan muqarrabin, menurutnya yang di maksud
mukasyafah adalah ungkapan mengenai cahaya yang terlihat dalam ketika hal itu
dibersihkan dan disucikan sifat-sifat tercela.[90]
Tersingkaplah dari cahaya
itu beberapa hal yang banyak nama-namanya yang global dan tidak jelas, maka
ketika itu menjadi jelas sehingga tercapailah ma’rifah yang hakiki mengenai
Dzat Allah Yang Maha Suci. Dari segi pengaturannya bagi akhirat lebih tinggi
dari pada dunia, mengetahui makna, kenabian, makna wahyu, makna syaitan, makna
malaikat, cara syaitan memusuhi manusia, cara penampakan malaikat, bagi cara
Nabi dan cara disampaikan wahyu kepada mereka.[91]
“Adapun yang dimaksudkan
dengan ilmu mukasyafah adalah hilangnya tutup sehingga jelas baginya kejelasan
Allah, suatu kejelasan yang berjalan seperti jelasnya pandangan nyata yang
tidak diragukan. Hal ini mungkin saja didalam jauhar (الوجود) manusia, seandainya cermin hatinya tidak
bertumpuk-tumpuk karat dan tidak di kotori oleh kotoran-kotoran dunia”.[92]
“Terdapat beberapa maqam
(station) yang berbeda untuk sampai kepada perjumpaan dengan Allah Swt”.
Diantaranya bahwa seluruhnya itu adalah perumpamaan-perumpamaan. Dan sesuatu
yang di janjikan oleh Allah bagi hamba-hambaNya yang shaleh yaitu sesuatu yang
tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga dan tidak tergores oleh
hati manusia dan bahwasanya tidak ada syurga bersama makhluk kecuali
sifat-sifat dan nama-nama. Adapun yang lainnya adalah sebahagiannya itu perumpamaan-perumpamaan
dan sebahagiannya sesuai dengan hakikat-hakikat yang dipahami oleh
lafadh-lafadhnya.[93]
Menurut Al-Ghazali
maqam-maqam ma'rifatullah itu yaitu "pertama, mukhasyafah (pembuka hijab),
dengan wahyu (dalil) Allah Swt dan yang ketiga akal pikiran.[94]
Berma'rifatullah ini sebenarnya
telah dilakukan oleh manusia sejak dalam alam roh (alam arwah) yaitu diwaktu
manusia masih dalam kandungan ibunya, roh tersebut telah diajak berdialog oleh
Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-A'raf ayat 172:
Artinya: "Bukankah
Aku Ini Tuhanmu?" mereka (roh) menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami),
kami menjadi saksi"…. (QS. Al-A’raf:172).[95]
Dari
penjelasan ayat di atas dapat dimengerti bahwa, manusia sejak dalam rahim sang
ibu, telah beragama (ber-Tuhan) dalam arti berma'rifatullah, manusia telah
membuat suatu perjanjian dengan Allah Swt, tetapi mengapa ada sebagian manusia
tidak mau beriman juga kepada-Nya, alangkah tolol dan bodohnya manusia seperti
itu.
“Manusia
apabila telah mengenal dirinya maka manusia tersebut akan mengenal Allah Swt,
dan akan bertambah lebih keimanan serta ketakwaanya kepada Allah, ini berarti
manusia akan memperoleh nur (cahaya) Ilahi Rabbi, yakni nur ma'rifat kepada
Allah dalam dadanya, sehingga akhirnya dapat mema'rifati Dzat-Nya,
sifat-sifat-Nya merupakan kenikmatan dan kelezatan dambaan semua manusia”.[96]
Adapun
maqam yang tertinggi dan termulia dari berma'rifat kepada Allah Swt adalah
suatu ma'rifat yang dilakukan melalui jalan mukhasyafah (pembuka hijab), dimana
lewat jalan ini manusia akan mencapai kebenaran yang hakiki yaitu Allah Swt
dengan segala rahasia-rahasia-Nya.
Selanjutnya
berma'rifat dengan dalil (bukti) yakni memperhatikan dan mempelajari serta
memahami isi kandungan Al-Qur'an dengan seksama dan penuh konsentrasi, apa yang
tersurat di dalamnya. Jelasnya manusia harus menggunakan akal pikiran untuk
mengetahui dan mengenal bukti adanya Sang Pencipta jagat raya ini.
Selanjutnya
akal (pikiran), merupakan alat untuk mengadakan ijtihad dalam menggali hukum-hukum
Allah Swt yang telah ditetapkan dalam syari'at Islam yaitu Al-Qur'an dan
As-Sunnah Rasulullah Saw. Menurut Al-Ghazali: "berpikir itu adalah
menghadirkan dua ma'rifat dalam hati (qalbu) agar timbul ma'rifat yang ketiga
(hakikat kebenaran)”.[97]
Penjelasan
pendapat Al-Ghazali adalah mengetahui bahwa yang kekal itu yang lebih utama
(ma'rifat pertama) dan bahwa Allah Swt lebih kekal dari semua ciptaan-Nya
(ma'rifat kedua) dengan demikian lahir ma'rifat yang ketiga yaitu Allah Swt
lebih utama dari segalanya, jadi berpikir itu berarti manusia pada dasarnya
telah menghadirkan dua macam ma'rifat untuk sampai kepada ma'rifat ketiga yakni
Allah Swt.
Menghadirkan
dua ma'rifat dalam hati untuk mencapai ma'rifat yang ketiga, ini sering
dinamakan bertafakkur. Hasil dari tafakkur itu adalah ilmu pengetahuan, keadaan
dan amal. Ilmu merupakan suatu hasil atau pemikiran, berarti manusia telah
menyalurkan pada tempat yag berguna terarah, dan terfokus pasti akan
mendapatkan mungkin tentang sebab akibat alam ini. Oleh karena itu jelaslah
bahwa dengan mema'rifati dalil (wahyu) manusia akan menemukan suatu bukti nyata
akan adanya Sang Pencipta.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ma’rifah adalah pengetahuan hakiki
tentang Tuhan, Alat untuk sampai kepada pengetahuan tersebut adalah hati
sanubari.
Menurut Al-Ghazali ma’rifah inilah
setinggi-tingginya tingkat yang dapat di capai seorang sufi, dan pengetahuan
yang diperoleh dengan akal.[98]
“Al-Ghazali
juga mengatakan bahwa tujuan daripada ilmu mu’amalah adalah mukasyafah
(ma’rifah), sedangkan tujuan dari mukasyafah adalah mengetahui / mengenal Allah
Ta’ala. Katanya pula, secara global semulia-mulia ilmu yang tujuannya adalah
mengenal Allah”.[99]
C. Fungsi Ma’rifatullah
Bagi Seorang Muslim
Sebagai
ilmu yang paling tinggi dan mulia derajatnya dibandingkan dengan
pengetahuan-pengetahuan yang ada di dunia ini, maka ma'rifatullah ini kiranya
dapat menjadi pondasi dan komitmen pokok yang harus dihayati dan diperhatikan
oleh setiap orang muslim, yang hasilnya nanti akan mengantarkan manusia kepada
kebahagiaan, keselamatan, ketentraman dan ketenangan jiwa raga, serta kelezatan
dan kenikmatan beribadah kepada Allah Azza Wajalla.
Al-Qur'an
yang mulia sebagai sumber utama dalam masalah ini mengisyaratkan kepada kita
tentang pentingnya ma'rifatullah ini, sebagaimana bunyinya dalam surat
Al-Zaariyat: 56:
Artinya :
“Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku”.(QS.Al-Zaariyat:56).[100]
Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa jin dan manusia itu hanya dijadikan
oleh Allah Ta'ala untuk mengabdi dan mengenal-Nya semata. Akan tetapi apabila
manusia itu masih menutup mata kepala dan mata hatinya tidak mau mengerti akan
eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah Azza Wajalla, maka hal tersebut
sungguh keterlaluan.
Adapun
cara-cara manusia mengenal Allah ada dua cara yaitu dengan menggunakan akal
pikiran memeriksa apa saja hasil ciptaan Allah Swt secara teliti dan seksama,
terhadap isi alam ini, dan kedua dengan ma'rifat asma Allah, dan sifat-sifat-Nya.[101]
Dengan
kedua cara tersebut itulah manusia akan dapat mengetahui dan mengenal Sang
Pencipta alam ini, dan manusia akan lebih dekat kepada Allah Swt. Oleh karena
itu salah satu cara mengenal Allah Swt yaitu dengan mengenal dan menganalisa
terhadap existensi benda-benda yang ada di alam raya ini.
Sebagaimana
dijelaskan dalam surat Yunus ayat 101:
Artinya :
“Katakanlah, periksalah olehmu sekalian apa-apa yang ada dilangit dan
dibumi....” (QS.Yunus:101).[102]
Dari
ayat diatas Allah menganjurkan kepada manusia untuk berpikir tentang
penciptaanNya, seperti isi alam jagat raya. Karena pemikiran merupakan hasil
(buah) yakni buah kajian dan perasaan otak yang sangat berharga sekali.
Berma'rifat dengan akal pikiran ini sering disebut dengan berbicara dalam batin
(suara hati). Berpikir adalah suatu jalan menuju kepada Allah Ta'ala lewat
berfikir, manusia akan teratur dan tersalurkan ilmunya dan ini disebut juga
bertafakkur; jadi lewat bertafakkur manusia akan dekat dengan Tuhannya.
Berpikir sejenak lebih utama dari sekedar mengingat Allah, sebab jangkauan
tafakkur dan zikir atau mengingat Allah, sungguhpun demikian zikir itu lebih
utama dalam hati manusia. Hal inilah yang dikatakan pemikiran merupakan hasil
buah dan hasil dari akal yakni berpikir. Bertafakkur sesaat lebih baik dari
pada beribadah setahun, yaitu menambah rasa cinta dan rindu kepada Allah Swt.
Berpikir tentang hasil ciptaan Allah akan menambah keimanan dan ketakwaan
manusia kepada Sang Khalik dan bertambah dekat kepada-Nya. Jadi jelaslah bahwa
pengertian ayat tersebut kita semua diperintahkan untuk menggunakan akal
pikiran untuk menyelidiki segala yang telah diciptakan Allah Swt dilangit dan
bumi ini.
Al-Qur'an
yang mulia menghendaki akal pikiran itu selalu bergerak (dinamis), bekerja dan
melepaskan diri dari kekangan yang selalu mengekang manusia untuk merenung
(bertafakur) dan berpikir akan ciptaan Sang Pencipta.
Allah
Swt menghendaki agar akal pikiran dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
berpikir (memikirkan) segala sesuatu. Kalau tidak dikembangkan akal itu,
manusia akan menjadi bodoh (tolol), maka Allah Ta'ala menganggap (manusia)
seperti binatang ternak saja, tak beda sedikitpun dan bahkan lebih jelek
(buruk) dari hewan tersebut.[103]
Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-A’raf:179:
Artinya:
“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai”.(QS.Al-A’raf:179).[104]
Jadi jelaslah
bahwa manusia telah diberikan akal pikiran oleh Allah Swt, untuk melakukan
penelitian ilmiah, akhirnya tentang alam raya ini yang nanti pada akhirnya
manusia akan mengetahui kebesaran Allah Swt sebagai Pencipta, ia manusia itu
adalah makhluk yang sangat kecil dan lemah sekali, juga sepatutnya manusia
menyembahNya dan meminta pertolongan kepada-Nya.
Akal
pikiran memang salah satu cara untuk mengetahui dan mengenal Sang Pencipta
alam, tetapi jangkauannya sangatlah terbatas, hanya dapat memikirkan hasil
ciptaan-Nya saja. Sedangkan hakikat penciptaan Allah, tidak dapat dipikirkan
secara pasti dari mana asal usul kejadiannya, kecuali beberapa makhluk saja,
seperti jin dan manusia. Al-Qur'an sangat menganjurkan kepada ummat manusia
supaya untuk selalu berpikir segala yang telah diciptakan Allah Swt, dan
melarang manusia berpikir tentang Zat Tuhan itu sendiri, yang tidak sanggup
dijangkau akal. Hal ini dalam Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 186 yang
bunyinya:
Artinya :
"Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadaMu (wahai Muhammad) tentang Aku,
maka sesungguhnya Aku dekat. Aku perkenankan do'a orang yang meminta pada
diri-Ku, maka ia haras mengikuti perintah-Ku, serta beriman kepada-Ku,agar
mereka memperoleh kebenaran".(QS.Al-Baqarah:186).[105]
Jadi
maksud ayat diatas kalau sekiranya manusia mau melaksanakan seruan Allah tersebut,
maka manusia akan memahami rahasia-rahasia alam dan mampu memfaatkannya, dan
begitu pula apabila manusia ada yang mengingkari kenikmatan akal dan tidak suka
menggunakannya untuk sesuatu yang semestinya dikerjakan akal pikiran, bahkan
melalaikan nash-nash dan bukti-bukti tentang adaNya Allah dan kemahakuasaanNya
Allah Swt, maka orang-orang semacam ini patut sekali mendapat cemoohan dan
hinaan.[106]
Al-Qur'an
sebagai petunjuk yang nyata bagi manusia untuk mendapat apa yang dicarinya,
yaitu kebenaran hakiki. Apabila manusia mengkaji lebih dalam tentang isi
kandungan Al-Qur'an tersebut.
Al-Qur'an
sangat mengharapkan kepada manusia supaya menggunakan akal pikiran untuk bertafakur
dan berpikir tentang segala sesuatu, baik tentang dunia ini, dirinya, tuhan-Nya
maupun tentang hari akhir yang akan datang ma'rifat Allah Swt dengan akal
pikiran, akan menghasilkan kebenaran yang selanjutnya mendapat petunjuk kepada kebenaran
yang hakiki.
Sedangkan
cara yang kedua yaitu mema'rifati nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta'ala yang
mulia dan tinggi, Cara inipun manusia bisa memperoleh kebenaran yang sebenarnya
yakni ma'rifatullah dan cara ini dianggap sebagai pembuka mata hati manusia
untuk mengenal Sang Penguasa secara pasti dan lebih dekat kepada-Nya.
Berma'rifat
dengan cara ini, manusia dapat menemukan hakikat-hakikat yang dicarinya, dan
salah satu pembuka jalan rahasia-rahasia yang terselubung oleh tirai dalam
dunia ini, untuk mencapai akhirat nanti. Semua yang belum terungkap (tersembunyi)
oleh kajian sains dan mata kepala akan dapat dicapai dengan cara berma'rifat
terhadap Allah Swt, orang-orang yang sudah dapat mencapai tingkat ini, seolah-olah
ia telah memandang Dzat Allah. Hal ini akan memberi kenikmatan, kepuasan, jiwa
yang luar biasa.
Adapun
nama-nama Allah Ta'ala yang baik itu, yang sering disebut dengan Asmaul Husna
adalah 99 buah nama yang memiliki makna yang berbeda-beda dengan
sifat-sifatNya.
Dalam surat Al-Isra' ayat 110 Allah
berfirman:
Artinya
: Katakanlah: "Serulah Allah atau Serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana
saja kamu seru, dia mempunyai Al Asmaul husna (nama-nama yang terbaik)… ".(QS.Al-Isra’:110).[107]
Kemudian
dalam surat yang lain lagi, yaitu surat Al-A'raf ayat 180 Allah berfirman:
Artinya:
“Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul
Husna itu….. ”( QS.Al-A’raf:180).[108]
Dari
pengertian kedua ayat tersebut di atas itu, kita dapat memahami bahwa yang
mempunyai nama-nama yang baik lagi indah itu hanyalah Allah saja, sedangkah
ciptaan-Nya tidak ada.
Dengan
mema'rifati nama-nama tersebut secara benar dan baik, maka manusia akan lebih
dekat kepada Allah Swt, yang akhirnya akan mengenal-Nya secara pasti. Dalam
mema'rifati nama yang baik itu selalu diikuti oleh sifat-sifat-Nya yang mulia.
Jadi jelaslah bagi manusia bahwa dengan ma'rifatullah cara ini akan membuka
pintu bathin (qalbu) nya untuk mengetahui sesuatu yang dibalik tabir, yang
selama ini selalu terhijab tidak pernah mengenal Tuhannya secara dekat.
Pentingnya
ma'rifatullah ini bagi seseorang muslim merupakan azas pokok yang di atasnya
didirikan segala aspek kehidupan, baik rohani maupun jasmaniah yang harus
dipenuhi oleh setiap insan yang bertaqwa dan beriman kepada Allah. Dengan kita
mengenal Allah Ta'ala berarti kita telah benar-benar menjalankan ajaran agama
Islam yakni mematuhi Al-Qur'an dan As-Sunnah Nabi Saw.
Prinsip
Al-Qur'an dalam ma'rifatullah ini adalah
memenangkan akal pikiran dan selalu kembali kepada Al-Qur'an dan Al-Hadits
Rasulullah Saw, yang tujuan akhirnya dapat memperoleh segala yang didambakan
yakni kebahagiaan, keselamatan, ketenangan dan ketentraman jiwa raga di dunia
dan di akhirat.
Berhubungan
dengan hal ini Nabi Saw bersabda:
عن عائشة رضى الله عنها قالت:كان رسول
الله صلى الله عليه و سلّم إذا أمرهم من الأعمال بما يطيقون, قالوا : إنا لسنا كهيئتك
يا رسول الله, إن الله قد غفر لك ما تقدم من ذمبك وما تأخر, فيغضب حتى يعرف الغضب
في وجهه, ثم يقول : (إن أتقاكم وأعلمكم
بالله أنا) (رواه بخارى)
Diriwayatkan
dari Aisyah r.a. dia berkata: Rasulullah Saw. senantiasa memberikan perintah
kepada kaum muslim menurut kemampuan mereka, lalu suatu ketika mereka
mengatakan: "kami tidak seperti Anda Ya Rasulullah! karena Allah telah
mengampuni dosa Anda yang lalu dan yang akan datang". Maka Rasulullah Saw.
marah sehingga kemarahan tersebut tampak diwajah beliau, kemudian beliau
bersabda: "Sesungguhnya orang yang paling takwa dan paling mengenal Allah
adalah Aku. (HR. Bukhari).[109]
Dari
hadist tersebut di atas, orang yang paling dekat mengenal Allah adalah
Rasulullah Saw, yang selalu mengingat, beribadah kepada Allah untuk mengharap
keridhaan-Nya. Begitu juga manusia biasa sebagai makhluk ciptaan Allah juga
sangat dituntut untuk selalu mengenal dan beribadah kepada Sang Khalik. Supaya
manusia nanti di akhirat kelak dapat memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya
yakni kebahagiaan yang hakiki.
D. Tujuan Ma’rifatullah
Adapun
tujuan yang diinginkan dari
berma’rifatullah adalah:
1.
Untuk kemerdekaan jiwa raga dari belenggu (kekangan) manusia
lain.
karena
dengan keimanan sajalah manusia dapat memberikan kemantapan jiwa dan bebas dari
tekanan orang lain. Hanya Allah Swt saja yang memberikan hidup dan kematian,
yang memberikan manfaat dan mudharat kepada seseorang.[110]
2.
“Dapat memberikan keberanian dan ingin maju dalam membela
kebenaran agama”.[111]
Ma'rifat dan keimanan yang mantap dan bagus bagi seseorang
dapat membangkitkan keberanian yang luar biasa untuk membela kebenaran agama,
berani menghadapi tantangan hidup serta yang terakhir berani menghadapi maut.
3.
“Ma'rifat itu sebagai sumber kenikmatan dan keselamatan”.[112]
Setiap orang ingin hidupnya bahagia dan selamat dunia dan
akhirat nantinya dan itu dapat diperoleh manusia setelah berma'rifatullah.
Keimanan kepada Allah Swt itu merupakan suatu tali penghubung yang kuat dan
semesra-mesranya cinta kasih sebagai nikmat iman dan Islam, bagi siapa yang
beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
4.
Untuk mendapatkan ketenangan jiwa raga dan ketentraman batin
(kalbu) yang dapat dialami di dunia dan akhirat nanti. Jika kalbu sudah tenang
dan tentram manusia akan merasakan sesuatu yang lezat dan nikmat dalam rohani
dan jasmani.[113]
Hal ini sejalan seperti yang diungkapkan oleh Al-Qur'an dalam
surat Al-Fath, ayat:4 yang berbunyi:
Artinya:
"Dia-lah yang memberikan ketenangan dalam hati orang-orang yang beriman
supaya keimanan mereka itu bertambah dari keimanan yang telah ada..."(QS.Al-Fath:4).[114]
5.
“Untuk membentuk pribadi yang luhur”.[115]
Ma'rifat dan penuh keimanan akan menghantarkan manusia kepada
kemuliaan hidup dan kehidupannya menjadi berarti dan bermakna, disebabkan oleh
adanya akhlakul karimah.
6.
“Untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik”.[116]
Dengan mengenal Sang Pencipta alam, manusia ini akan
merelakan bahwa dirinya sangat kecil sekali,tidak memiliki kemampuan apapun.
7.
“Untuk membina ikatan ukhuwah islamiyah antar sesame muslim
yang mendiami bumi Allah ini”.[117]
Orang yang beriman dengan mengenal Allah Swt selalu mengikat
tali siiaturahmi antar sesamanya, dan akhirnya persaudaraan akan tercipta di
kalangan kaum muslimin dengan gemilang dan sukses, karena keyakinan umat Islam
tertanam dan terikat dalam satu wadah yaitu wadah Islam.
8.
“Untuk mencukupkan yang telah ada”.[118]
Ini yang sering dialami oleh manusia semua dalam kehidupan
sehari-hari yang tidak pernah mendapatkan kecukupan. Walaupun semuanya telah
diberikan oleh Allah Swt kepadanya. Tetapi lewat berma'rifatullah tersebut
segala akan mudah dan cukup semua, tak ada yang kurang dan tak pernah mengeluh
dengan kekurangan-kekurangan serta keyainan bahwa Allah itu Maha Adil dan Maha
Menentukan nasib manusia.
9.
Untuk mengangkat martabat manusia, dimana manusia selalu
dililit dosa yang banyak, keimanan yang kokoh kepada Allah Swt akan
menghubungkan seseorang dengan Dzat yang Maha Kuasa yang memberikan kebaikan
dan kemuliaan bagi manusia itu sendiri, sehingga manusia lebih dari segala
makhluk lain.
10.
“Untuk menjaga kefitrahan manusia dari kekotoran-kotoran
dunia”.[119]
Hal ini harus benar-benar dipahami dan diperhatikan oleh
manusia untuk dapat sampai kepada Allah Swt. Kalau hal ini diabaikan oleh
manusia, maka manusia akan dipenuhi oleh dosa-dosa. Dengan demikian manusia
tidak akan sampai kepada Tuhannya.
Menurut poin-poin diatas penulis
dapat menyimpulkan bahwa, seorang muslim harus mengenal Allah karena akan
mendapat dan merasakan faedah-faedah yang banyak, salah satunya diberikan Allah
kebaikan dunia dan akhirat.
Demikian
juga beberapa tujuan ma'rifatullah yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali, yang
menurutnya dengan mencapai tujuan ini, manusia akan mencapai tujuan akhirnya
yaitu bahagia yang abadi diakhirat kelak, seseorang yang berma'rifat akan
merasa dirinya dalam pengawasan dan perlindungan llahi Rabbi selalu merasa
dirinya tenang, tentram, berbudi luhur dan selalu membina ukhuwah islamiyah
antar sesama muslim, serta senantiasa cinta dan rindu kepada Allah dan Rasulnya
yang merupakan manifestasi dari berma'rifatullah.Tidak ada yang dapat diperbuat
oleh hamba Allah, selain mensucikan diri dari siraman taubat dan takwa serta
amal kepada Allah. Tujuan ma'rifatullah merupakan memerdekakan diri,
ketentraman hati, kesenangan hidup dan ketenangan batin. Jadi beruntunglah
orang-orang yang mengenal dan mengetahui Allah.
E. Macam-Macam
Ma’rifatullah
Ma’rifat
sudah dipastikan memiliki macam-macamnya, Ma’rifat dapat dibagi kedalam dua
kategori : pertama, Ma’rifat Ta’limiyah, dan kedua Ma’rifat Laduniyah.[120]
1.
Ma’rifat Ta’limiyah
Ma’rifat
Ta’limiyah merupakan Ma’rifat yang di lontarkan oleh Al-Ghazali, dapat di definisikan
sebagai Ma’rifat yang dihasilkan dalam usaha memperoleh Ilmu. ta’limiyah
berasal dari kata ta’lama, yuta’limu, ta’liman-ta’limatan(تعلم يتعلم تعلمة أو تعليما )
yang berarti mencari pengetahuan atau dalam arti lain memperoleh ilmu
pengetahuan. Sedangkan orang yang yang sedang mencari ilmu disebut muta’alim (متعلم). Oleh
karena itu Ma’rifat ta’limiyah yaitu berjalan untuk mengenal Allah dari jalan
yang biasa, “mulai dari bawah hingga keatas”. Di sisi teori yang lain Ma’rifat
ta’limiyah dapat disebut juga dengan Ma’rifat orang salik Pada mulanya salik
mengenal alam sebagai ciptaan Tuhan, kemudian mengenal nama-nama-Nya, kemudian
mengenal sifat-sifat-Nya dan pada akhirnya mengenal Dzat Pencipta alam Allah
Azza wa jalla. Adapun penjelasan mengenai Ma’rifat terhadap Asma, Sifat, dan
Dzat Tuhan, diuraikan dalam 99 Nama-nama Tuhan, dalam istilah popular disebut
Asmaul Al-Husna, Bahwa Asma al-Husna adalah Nama-nama Allah yang terbaik dan
yang Agung, yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, yang jumlahnya ada 99
(sembilan puluh sembilan) Nama.[121]
Karena
itu, adannya alam semesta menunjukkan adanya Nama-nama Tuhan, Nama-nama Tuhan
itu menunjukkan sifat-sifat-Nya. Nama-nama Tuhan itu ada hubungannya dengan
Dzat-Nya, Ilmu-Nya, Keagungan-Nya dan tiada batasnya. Sifat-sifat tersebut itu
selalu berdiri sendiri dan bergantung pada Dzat-Nya sebab tidak mungkin kalau
ada sifat tetapi tidak ada yang disifati. Adapun yang disifati dengan
sifat-sifat yang sempurna adalah Allah Azza wa Jalla.
Ma’rifat
ta’limiyah secara lebih luas dapat didefinisikan sebagai proses bagaimana cara
mengenali Tuhan (Ma’rifat), artinya salik (muta’alim) memerlukan metode
untuk meraih Ma’rifat baik metode yang dilakukan secara khusus misalnya menjadi
murid untuk melakukan proses perjalanan ruhani (suluk), maupun metode
yang dilakukan secara umum atau tarekat yang secara langsung mengkaji dari
sumber-sumber Tasawuf atau mengikuti jejak langkah yang dilakukan oleh
Rasulullah Saw, Para sahabat, Tabi’, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan sampai kepada ulama
sekarang yang sejalan dengan Al-Quran dan Al-Hadits.
Hakikat
cara (suluk), ialah mengosongkan diri dari sifat-sifat mazmumah/buruk (dari
maksiat lahir dan dari maksiat batin) dan mengisinya dengan sifat-sifat
terpuji/mahmudah ( محمدة) dengan taat lahir dan batin. Tujuan dari pada suluk, bukan
sekedar untuk maksud mendapat nikmat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh
limpahan-limpahan karunia Allah, atau mendapatkan sorotan cahaya (النر), dan
sebagainya, sehingga salik (muta’alim) dapat mengetahui suratan nasib. Tetapi
suluk bertujuan untuk Allah semata.[122]
Al-Ghazali menyebutkan cara tersebut berupa Penyucian jiwa/tazkiyat an-nafs ( تزكيةالنفس ) artinya seseorang harus melakukan penyucian jiwa terlebih dahulu. Perolehan Ma’rifat yang merupakan hasil dari kegiatan penyucian jiwa, harus terlebih dahulu dengan metode mujahadah dan riyadhah. Setelah mendaki stasiun demi stasiun menuju Tuhan, salik (pelaku tazkiyat an-nafs) hampir dapat dipastikan bahwa telah memperoleh jiwa yang bersih dari segala kejahatan dan dosa, yang diakibatkan dari akhlak-akhlak tercela. Jiwa seperti ini akan bercahaya dengan segala sifat yang terpuji sehingga dapat menangkap gambar suatu informasi atau pengetahuan yang tertera di lauh al-Mahfudh, yang langsung diberikan oleh Allah kepadanya dalam kondisi Ma’rifat.[123]
Adapun
fase-fase yang harus ditempuh kearah mencapai hakikat, salik (muta’alim)
dapat melakukan amal ibadat cara menuju kepada Tuhan dengan menempuh empat fase
:
1.
Disebut dengan murhalah amal lahir. Artinya : berkenalan
melakukan amal ibadat yang difardhukan dan sunnat, sebagai mana yang dilakukan
Rasulullah Saw.
2.
Disebut amal batin atau muraqabah (mendekatkan diri pada
Allah) dengan jalan menyucikan diri dari maksiat lahir dan batin (takhalli),
memerangi hawa nafsu, dibarengi dengan amal yang terpuji (mahmudah) dari taat
lahir dan batin (tahalli) yang semuanya itu merupakan amal qalb (hati). Setelah
hati dan ruhani telah bersih dan diisi dengan amalan batin (dzikir), maka pada
fase ini salik didatangkan nur dari Tuhan yang dinamakan nur kesadaran.
3.
Disebut murhalah riadhah/melatih diri dan mujahadah/mendorong
diri. Maksud dari pada mujahadah yakni melakukan jihad lahir dan batin
untuk menambah kuatnya kekuasaan ruhani atas jasmani, guna membebaskan jiwa
kita dari belenggu nafsu duniawi, supaya jiwa itu menjadi suci, Imam ghazali
mengumpamakan seperti kaca cermin yang dapat menangkap sesuatu apapun yang
bersifat suci, sehingga salik dapat menerima informasi hakiki tentang Allah.
4.
Disebut murhalah “fana kamil” yaitu jiwa salik telah
mencapai pada martabat menyaksikan langsung yang haq dengan al-haqq
(syuhudul haqqi bil haqqi (الشهود الحق بالحق). Sebagai puncak segala perjalanan, maka
didatangkan nur yang dinamakan “nur kehadiran”.[124]
2.
Ma’rifat
Laduniyah
Ma’rifat
laduniyah yaitu Ma’rifat yang langsung dibukakan oleh Tuhan dengan keadaan mengenal
kepada-Nya (kasf/كشف). Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat yang
Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kembali
bergantung kepada nama-nama-Nya.
Ibnu
‘Atha’illah memberi istilah lain terhadap Ma’rifat laduniyah dengan sebutan
Ma’rifat orang mahdjub (محجوب). Ma’rifat orang mahdjub yang diungkapkan
oleh Ibnu ‘Atha’illah merupakan sebuah Ilmu yang diberikan secara langsung oleh
Tuhan kepada manusia yang ada sisi kesamaannya dengan Ma’rifat Laduniyah. Bahwa
orang yang telah mengenal Allah, juga akan dianugrahi Ilmu laduni. Ilmu laduni
merupakan ilmu yang di ilhamkan oleh Allah Swt. Kepada hati hamba-Nya tanpa
melalui suatu perantara (wasitaha), sebagaimana perantara yang pada
umumnya dibuat untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Akan tetapi tidak sama dengan
ilmu pengetahuan yang diperoleh secara biasa (Ma’rifat ta’limiyah), ilmu laduni
bersifat tetap dan tidak dapat hilang atau terlupakan. Seseorang yang telah
dianugrahi ilmu laduni disebut dengan ‘alim sejati’ (alim yang sebenarnya). Sebaliknya,
seseorang yang tidak memperoleh dari ilmu laduni, belum bisa disebut sebagai
alim sejati.
Seorang
yang alim (ma’rifat laduniyah) adalah orang yang memperoleh ilmunya langsung
dari Allah menurut waktu yang dikehendaki-Nya, dengan tidak melalui hafalan dan
pelajaran.
Dengan
demikian Ma’rifat laduniyah juga dapat disebut Ma’rifat orang Mahdjub juga
dapat disebut ‘alim Rabbani’ yaitu orang yang langsung dibukakan oleh Tuhan
untuk mengenal kepada-Nya. Jalannya langsung dari atas dengan menyaksikan Dzat
yang Suci, kemudian turun dengan melihat sifat-sifat-Nya, kemudian kembali
bergantung kepada nama-nama-Nya.
Firman Allah dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Kahf: 65:
Artinya
: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang
Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami”.(QS.Al-Kahf:65).[125]
Ma’rifat
laduniyah tidak jauh bedanya dengan ‘alim Rabbani yang berbeda dengan Ilmu yang
dipelajari para Ilmuwan, dalam istilah Al-Ghazali disebut dengan Ilmu ta’limiyah.
Namun, keduanya tetap berhubungan. Hubungan antara keduanya, menurut Al-Ghazali
laksana naskah asli dengan duplikatnya.
Ilmu
laduniyah, ‘alim Rabbani, ‘alim sejati, dan Ma’rifat orang mahjdub dapat
dicapai oleh para sufi dalam keadaan penghayatan Kasyf (tersingkapnya mata
dengan penglihatan), sedang ilmu ta’limiyah hanya dapat dipelajari oleh para
ilmuwan setapak demi setapak dengan susah payah. Oleh karena itu, para sufi
tidak tertelan belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara
radikal terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Para sufi
menginginkan jalan pintas untuk memperoleh sumber asli dari segala ilmu
yang tersurat di lauh mahfudz.
Penghayatan
Kasyf itu berada dalam kondisi Ma’rifat, karena Ma’rifat memiliki hubungan yang
erat dengan musyahadah dan mukasyafah. Ma’rifat itu sendiri merupakan ajaran
Tasawuf, yang pada garis besarnya merupakan ajaran kesucian jiwa, yaitu
semata-mata untuk memasuki hadharah al-qudsiyah (hadirat kesucian) atau
hadharah Rububiyah (hadirat ketuhanan), akan tetapi dalam hal ini, Ma’rifat
lebih signifikan karena keberadaan musyahadah dan mukasyafah bergantung pada Ma’rifat
dan dengan Ma’rifat pula ilmu laduni
ikut menyertainya. Tuhan menampakan keluhuran dan keagungan Dzat-Nya didalam
hati seseorang, setelah itu Allah menunutut persaksian kepadanya mengenai
kebesaran dan keluhuran-Nya dengan melakukan dzikir dan Ibadah. Ibadah
yang dilakukan dengan anggota lahir sebagai persaksian mengenai keagungan
dan keluhuran-Nya, dan dzikir yang dilakukan dalam hati sebagai pengakuan dari
sifat-sifat ke-Esaan-Nya. [126]
BAB
IV
NILAI-NILAI
PENDIDIKAN DALAM KONSEP MA’RIFATULLAH MENURUT AL-GHAZALI
Nilai-nilai Pendidikan dalam konsep ma’rifatullah
adalah hal yang terpenting dalam kehidupan ini, karena tanpa pendidikan ini seseorang
tidak akan mampu mengenal dan dekat dengan Allah. Namun akhir-akhir ini
pendidikan ma’rifah kurang diperhatikan tujuan dari pendidikan tersebut.
Pendidikan belakangan ini kurang mengarah kepada pembentukan insan kamil,
padahal tujuan dari pendidikan tersebut tidak lain adalah untuk membentuk insan
kamil atau sempurna. Sehingga pendidikan saat ini bukanlah membentuk manusia
utuh atau sempurna yang layak untuk menjadi khalifah dibumi melainkan manusia
yang individualis, materialis dan pragmatis. Hal ini sangatlah berakibat fatal
karena yang kuat menindas yang lemah, tanpa ingat dosa.
Nilai-nilai
pendidikan dalam
konsep ma’rifatullah menurut Al-Ghazali merupakan salah satu upaya terwujudnya kearah sikap rohaniah yang mampu
mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dan benar dari seseorang.
Dalam pendidikan
ini, kriteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk
kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai
sumber tertinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan ma’rifah
dapat dikatakan sebagai pendidikan penting dalam pendidikan agama Islam.
menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan ma’rifah adalah terbentuknya
karakter positif dalam kehidupan manusia. Karakter positif ini tiada lain
adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Allah dalam kehidupan manusia.
Kondisi
senantiasa bahagia dalam situasi apapun, inilah. yang senantiasa dikejar oleh
manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan
sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja
keras untuk menghimpun banyak harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang
berlimpah itu terdapat kebahagiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta,
kerajaan, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan.
Sebab menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam
kehidupan. Dengan kekuasaan seseorang dapat berbuat banyak. Orang sakit
menyangka bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka bahagia
terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada
kekuasaan.
Islam
menyatakan bahwa "Kesejahteraan” dan "kebahagiaan" itu bukan
merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani (hewan)
sifat basyari (manusia), dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan
yang hanya dapat dinikmati dalam alam pikiran belaka. Kesejahteraan dan
kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak
yang dicari-cari itu, yakni: keyakinan akan Hak Allah Ta'ala dan penuaian
amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah
batinnya. Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi
dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu.
Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan ma’rifah adalah
untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, puncak kebahagiaan pada manusia adalah
jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah, telah mengenal Allah Swt. karena manusia dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan bukan untuk
mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan
uang atau harta. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan
permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud Al-Ghazali
terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup dengan apa yang ada), dan
banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak
dari segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh
manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi nilainya dari kemuliaan Allah. Dan
oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.
Nilai ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia
kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah ((لااله الاﷲ. Untuk itulah, maka untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi,
manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat
kauniyah maupun ayat qauliyah (wahyu).
Pendidikan
ma’rifah inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program
pendidikan berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan
diukur dari berapa mahalnya uang bayaran sekolah, berapa banyak yang diterima
di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu
melahirkan manusia-manusia yang beradab, yang berakhlak mulia, yang mengenal Tuhannya
dan beribadah kepada Penciptanya. Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah
yang hidupnya bahagia dalam keimanan dan keyakinan, yang hidupnya tidak
terombang-ambing oleh keadaan duniawi. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia,
karena dia mengenal Allah, ridha dengan keputusan-Nya dan berusaha
menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan
melalui utusan-Nya yaitu nabi Muhammad Saw.
Sebagai
orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacam itu, hidup dalam
keyakinan, mulai dengan mengenal Allah dan ridha, menerima
keputusan-keputusan-Nya, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita
mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita merasa bahagia
dengan mampu menunaikan zakat, kita bahagia dengan bersedekah, kita bahagia untuk
menolong orang lain, dan kita pun bahagia dalam menjalankan tugas amar ma'ruf
nahi munkar. Sesungguhnya penyucian hati dan jiwa hanya dapat terlaksana dengan
banyak ibadah dan amal. Jika seseorang mengerjakannya dengan sempurna, maka
saat itu hatinya menjadi kuat dengan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan
akan tampak pengaruh serta hasilnya pada seluruh anggota tubuhnya. Hasil yang
paling tampak dari jiwa yang suci adalah adab yang baik dalam berinteraksi
dengan Allah dan sesama manusia. Terhadap Allah dengan cara melaksanakan
hak-hakNya, termasuk di dalamnnya mecurahkan jiwa untuk berjihad di jalan-Nya,
dan terhadap manusia sesuai dengan apa yang biasa berlaku, sesuai juga dengan
tuntutan keadaan dan pembebanan Allah.
“Penyucian jiwa memiliki berbagai sarana,
seperti shalat, infak, puasa, haji, zikir, berpikir, membaca Al-Qur’an,
intropeksi diri, keimanan, tasauf, ibadah, muamalah, akhlakul karimah dan mengingat mati dengan
syarat dikerjakan dengan baik dan sempurna”.[127]
Firman
Allah dalam Al-Qur’an surat Asy-Syam ayat 9:
Artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”.(QS.Asy-Syam:9).[128]
A. Keimanan dan Tasauf
1.
Keimanan
Iman
menurut bahasa artinya percaya atau mempercayai, akan tetapi bila ditinjau dari
segi agama artinya lebih dari sekedar percaya, dikatakan lebih dari sekedar
percaya karena disamping percaya juga ada hubungan batin secara vertikal dengan
yang dipercayainya, hubungan tersebut berbentuk ritual sakral, seperti shalat,
puasa, doa, dan ibadah-ibadah yang lain.[129]
Iman
menurut istilah syariat adakalanya disamakan dalam arti islam. Ada yang berbeda
dan ada yang bersifat mengisi dan melengkapi istilah islam. Arti disamakan
dengan islam dikuatkan dalam firman Allah surat Yunus ayat 84 yang berbunyi:
Artinya:
Berkata Musa: "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, Maka
bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri."(QS.Yunus:84).[130]
Kata
iman yang tidak sama dengan islam dikuatkan dalam firman Allah surat Al-Hujurat
ayat 14:
Artinya:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah
olehmu (Muhammad): "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah
tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”…. (QS.Al-Hujurat:14).[131]
Dari
arti iman dalam bentuk bahasa dan istilah diatas baik yang ada persamaannya
dengan islam atau tidak, penulis dapat menggambil kesimpulan umum bahwa
tingkatan iman itu ialah:
1. Iman dalam hati
2. Dinyatakan dalam bentuk
lisan/ucapan, dan
3. Diwujudkan dalam bentuk
perbuatan sehari-hari.
“Menurut
Imam Al-Ghazali yang dimaksud dengan kesempurnaan iman adalah membenarkan ke
Esaan Allah Swt. Dan apa yang dibawa oleh para Rasul-Nya dengan
bertambah-tambahnya amal”.[132]
Dari
hadist yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Ba’tsu dari hadist Umar,
Beliau bersabda:
عن عمر رضي الله قال ، قال رسو ل الله صلعم الايما ن ا ن تومن با الله وملائكته وكتبه
ورسله وتومن بلجنة والنار والميزان. (رواه بيهقي )
Artinya:
“ Iman itu adalah kamu beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, dan kamu beriman kepada
syurga, neraka timbangannya.[133]
Hadist
yang diriwayatkan oleh Baihaqi tersebut, memberikan gambaran tentang iman yang
benar. Dimana iman yang benar tersebut harus mencakup keyakinan yang menyeluruh
yang telah dijelaskan oleh Allah dan rasul-Nya. Iman kepada Allah akan
melahirkan sifat untuk tunduk dan patuh. Sehingga dengan keinginan dan kemauan
tunduk dan patuh kepada Allah maka iman kepada rasul-rasul, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, syurga, neraka dan timbangan amal pasti akan menyertainya.
Allah
Swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 15:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya
(beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan
mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka
Itulah orang-orang yang benar”.(QS.Al-Hujurat:15).[134]
Dari ayat di atas tadi penulis dapat menyimpulkan
bahwa dengan iman umat Islam generasi pendahulu telah mencapai kejayaan yang
luar biasa, telah berhasil merubah keadaan dunia dari kegelapan iman, islam dan
amal menjadi terang benderang. Dengan iman masyarakat mereka menjadi masyarakat
adil dan makmur. Para umara’ melaksanakan perintah Allah para ulama beramar
ma’ruf dan nahi mungkar dan rakyat saling tolong-menolong atas kebajikan dan
kebaikan. Kalimatul Haq mereka junjung tinggi tiada yang mengikat antar mereka
selain tali persaudaraan iman. Namun setelah redup cahaya iman kita melihatnya
pada zaman sekarang dihati manusia lenyaplah nilai-nilai kebaikan diantara
kita. Masyarakat kita pun menjadi masyarakat yang penuh dengan kebohongan,
kesombongan, kekerasan, individualisme, keserakahan, kerusakan moral dan
kemungkaran. Maka dengan imanlah dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
“Iman dalam Agama Islam menempati posisi amat penting
dan strategis sekali. Karena iman adalah asas dan dasar bagi seluruh amal
perbuatan manusia. Tanpa iman tidaklah sah dan diterima amal
perbuatannya”.[135]
Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ 124:
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka
itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun”.(QS.An-Nisa’:124).[136]
Allah juga berfirman dalam surah Al-Isra’ ayat 19:
Artinya: ”Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS.Al-Isra’
: 19).[137]
Berdasarkan kedua ayat di atas Allah memberikan
pandangan dan persepsi bagi kita dalam melakukan kebaikan bahwa tidak ada
perbedaanpun dalam hal menerima imbalan berupa pahala dari Allah baik laki-laki
maupun perempuan. Dalam hal ini Allah memberi kunci kepada manusia untuk
mendapat pahala tersebut harus didasari dengan keimanan yang benar. Tanpa iman
maka seluruh amal kebaikan yang kita lakukan itu sia-sia. Oleh sebabnya iman
itu harus kita tanam betul-betul untuk kita jadikan sarana agar memperoleh
imbalan pahala dari Allah. Sehingga dengan iman yang benar akan melahirkan amal
shaleh yang pada akhirnya akan mendapat tempat kebahagiaan di akhirat yaitu
syurga, yang di janjikan oleh-Nya.
Menurut Al-Ghazali iman kepada Allah itu mempunyai
empat rukun, yaitu:
1.
Rukun pertama adalah mengenai ma’rifah (mengenal) Dzat
Allah Ta’ala. Atas sepuluh pokok yaitu: ilmu mengetahui wujud Allah, qidam (dahulu
tanpa permulaan)Nya, baqa’ (kekal) Nya, sesungguhnya Dia
bukan Jauhar (materi), bukan jisim (tubuh), bukan ‘ardh (sifat
dari jauhar), sesungguhnya Dia Maha Suci, tidak tertentu dengan
arah dan tidak menetap pada suatu tempat, sesungguhnya Dia melihat dan
sesungguhnya Dia itu maha Esa.
2.
Rukun kedua adalah mengenai sifat-sifat-Nya dan memuat atas
sepuluh dasar yaitu ilmu (mengetahui) bahwasanya Dia itu hayyan (Yang
Maha Hidup), ‘aliman (Yang Maha Mengetahui),
qadiran (Yang Maha Kuasa), muridan (Berkehendak),
sami’an (Mendengar), bashiran (Melihat), mutakalliman (Berfirman),
Maha Suci dari ketempatan barang baru (makhluk), dan sesungguhnya Dia
itu Qadim (kekal) firmanNya, ilmu dan kehendakNya.
3.
Rukun ketiga adalah mengenai perbuatan-perbuatanNya, atas
sepuluh dasar yaitu : Bahwasanya perbuatan-perbuatan hamba itu diciptakan oleh
Allah Swt, dan perbuatan-perbuatan itu diusahakan oleh hamba, dan dikehendaki
oleh Allah, Dia berlebih dengan membuat dan mencipta, sesungguhnya Dia berhak
untuk membebani sesuatu yang diluar kemampuan makhluk, sesungguhnya Dia berhak
untuk menyakiti orang yang besih (dari dosa), tidak wajib atasNya
memelihara yang lebih baik, sesungguhnya tidak ada kewajiban kecuali dengan
syara’ (perintah syara’), sesungguhnya pengutusan para Nabi itu
jaiz (boleh hukumnya), dan sesungguhnya kenabian Nabi kita
Muhammad itu tetap dan dikuatkan dengan mukjizat-mukjizat.
4.
Rukun keempat adalah mengenai sam’iyyat (apa-apa yang di
dengar dari Al-Qur’an dan Al-Hadist), ada sepuluh dasar/pokok, yaitu:
menetapkan adanya hasyr (dikumpulkan dipadang Mahsyar setelah dihiduupkan lagi
dari mati), adanya pertanyaan munkar dan nankir, siksa kubur, mizan (timbangan
amal), shirath (jembatan), kejadian syurga dan neraka,
hokum-hukum imamah (kepemimpinan), dan seutamma-utama sahabat adalah
menurut urutan-urutan mereka (Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali), dan
syarat-syarat imamah.[138]
Adapun menurut Muchtar
Adam dan Fadlullah Muh. Said dalam bukunya “Ma’rifatullah” menjelaskan
ada 77 cabang iman itu, adalah sebagai berikut:
1. Beriman kepada Allah
2.
Beriman kepada para rasul
3.
Beriman kepada Malaikat
4.
Beriman kepada kitab-kitab
5. Beriman
kepada hari kemudian
6. Beriman
kepada takdir
7. Beriman
kepada ba’ats (hidup yang kedua sesudah mati)
8.
Beriman kepada hasyr (berkumpul semua mahluk sesudah bangun
dari kubur)
9.
Beriman kepada tempat orang
mukmin di surga dan tempat orang kafir dineraka
10.
Mahabbah (cinta) kepada Allah
11.
Khauf (takut kepada Allah)
12.
Raja’ (mempunyai harapan akan belas kasih
dari Allah)
13.
Tawakkal (menyerah kepada Allah)
14.
Mahabbah (cinta) kepada junjungan Nabi
besar Muhammad Saw
15.
Ta’dzim (memuliakan) kepada junjungan
Nabi besar Muhammad Saw
16. Yakin
kepada kebenaran Islam. Lebih baik masuk ke dalam api daripada menjadi kafir
17.
Menuntut ilmu pengetahuan
18.
Mengajarkan ilmunya
19.
Ta’dzim (memuliakan) Al-Qur'an
20.
Bersuci
21.
Mendirikan sholat lima waktu
22.
Membayar zakat
23.
Puasa bulan Ramadhan
24.
I’tikaf (berhenti di dalam masjid
sementara waktu)
25.
Haji (ziarah ke baittullah)
26.
Jihad fi sabilillah (membela agama Allah)
27.
Waspada (murabathah menjaga musuh)
28.
Waktu berperang, tetap di muka musuh
29.
Menyerahkan seperlima harta untuk imam
30.
Memederkakkan hamba (budak)
31.
Menjalankan kifarat (tebusan) bagi yang
berkewajiban
32.
Menepati janji
33. Mengingat-ingat
betapa banyaknya kemurahan dan kenikmatan Tuhan yang melimpah-limpah dan
bersyukur
34.
Menjaga mulut dari yang tak ada faedah
35.
Menjaga farji (kemaluan) jangan sampai
mendatangi larangan agama
36. Menyampaikan amanat (titipan)
37.
Menjaga jangan sampai melukai atau
membunuh orang lain
38.
Menjaga tangannya dari pada mengambil
yang bukan haknya
39. Berhati-hati
dari makanan dan minuman yharam, pula harus menjauhi barang yang tidak halal
40. Menjaga
jangan samapai memakai pakaian atau perhiasaan serta memakai tempat-tempat yang haram
41. Jangan
sampai bermain-main yang tidak berguna sehingga melanggar larangan agama
42.
Harus hemat dan cermat atas harta
bendanya, jangan sampai mubadzir
43.
Harus menjauhi rasa tak enak dalam hati
serta dengki
44.
Menjaga keperwiraan (wira’i)
45.
Ikhlas dan meninggalkan perilaku congkak
46. Gembira
di waktu menerima kebajikan, susah manakala menderita keburukan
47.
Taubat dari segala dosa
48.
Menjalankan qurban (udhiyah, aqiqah, dan
nadzar)
49.
Taat kepada ulul amri
50.
Percaya kepada perkara yang sudah
dimufakati para alim ulama (ijma)
51.
Berlaku adil
52.
Amar ma’ruf nahi mungkar
53.
Tolong menolong pada laku ibadah berdasar
taqwa (takut kepada Allah)
54.
Haya’ (malu)
55.
Ta’at kepada dua orang tua
56.
Silaturahmi (menyambung persaudaraan)
57.
Budi perangai yang utama
58.
Berbuat baik kepada budak
59.
Menepati hak-hak budak
60.
Menepati hak-hak anak istri
61. Bersaudara
kepada semua orang Islam, memberi salam jika bertemu dan bersalaman
62.
Menjawab salam
63.
Menengok orang sakit
64. Menyalatkan mayat orang Islam
65.
Mendoakan orang bersin, bilamana ia
memuji (tahmid) Tuhan
66. Menjauhkan
diri berkawan atau bersahabat dengan orang kafir atau orang yang senang berbuat
kerusakan dan supaya bersikap keras kepada mereka
67.
Memuliakan tetangga
68.
Memuliakan tamu
69.
Menutup rahasia orang lain
70.
Sabar dalam cobaan
71. Zuhud
(tidak menggantungkan diri kepada keduniaan, menjauhi panjang angan-angan)
72.
Bergairah dalam menegakkan agama
73.
Berpaling dari barang sesuatu yang
sia-sia
74.
Bermurah hati
75.
Belas kasih kepada anak-anak dan
memuliakanorang tua
77. Cinta kasih
kepada saudaranya, cinta kasih kepada dirinya sendiri, termasuk cinta kasih
bila menyingkirkan barang berbahaya yang ada di jalan.[139]
Pemaknaan ma’rifatullah
yang terinternalisasi dalam jiwa seseorang dengan benar, otomatis akan
memberikan dampak atau pengaruh dalam hidupnya, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik spiritual, intelektual, maupun moral dan ideologis. Itulah
sebabnya, Rasulullah Saw membagi tiga pilar utama (rukun) iman, yaitu
membenarkan dengan hati (tasdiqun bilqalbi), mengucapkan dengan
lisan (iqrarun billisan), dan merefleksikannya dengan amal
perbuatan (wa amalun bil arkan). Paling tidak dari
sini ma'rifatullah bisa menjadi karakter kepribadian seseorang dalam mempengaruhi
hidup.[140]
2.
Tasauf
Al-Ghazali
sebagai seorang ahli tasauf yang terkemuka, tentu saja orientasi pemikirannya
tertumpu dalam masalah muamalah dan ibadah yang bersendikan pada ajaran Islam.
Untuk itu Al-Ghazali telah banyak mengarang kitab yang berkenaan dengan kedua
hal tersebut seperti: Ihya'ulumiddin, Mizan al-‘Amal, Kimiya’ al-Sa'adah,
Misykah al-Anwar, Kitab al-zuhd al-Fatih, Ayyuh al'-walad dan lainnya.
Bidang
tasauf ini ditempuhnya setelah la tidak mendapat kepuasan dirinya, dalam
menguasai ilmu-ilmu lain dalam filsafat. Oleh karena itu Al-Ghazali dalam
pengembaraannya berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya belumlah mendapatkan
kepuasan dirinya, bahkan berupaya untuk menemukan hakikat kebenarannya. oleh
karena itu Al-Ghazali menempuh jalan yang terakhir yaitu, menjalani kehidupan
sufi.[141]
Al-Ghazali
dalam menjalani kehidupan tasauf ini, yakin bahwa hanya para sufilah yang
betul-betul mendapatkan kebenaran di antara para pencari kebenaran. Al-Ghazali meninggalkan
karirnya sebagai fiqih, serta melepaskan diri dari kekangannya, kemudian
dorongan untuk mengkaji ilmu-ilmu tasauf. Al-Ghazali mengabdikan dirinya dengan
latihan-latihan sufi, yaitu hidup menyendiri, memurnikan jiwanya dari kekejian,
memperindahkannya dengan kebaikan-kebaikan serta memperbanyak zikir kepada
Allah Swt. Dengan latihan-latihan jiwa yang berat selama sepuluh tahun di
Damaskus, Jerussalem, Hijaz, Thus. Sehingga ia sangat yakin bahwa jalan sufilah
jalan yamg terbaik, dan yang pantas dilalui oleh manusia.[142]
Dalam
hal ini Hamka menuturkan bahwa yang sangat menarik bagi Al-Ghazali dalam tasauf
adalah latihan-latihan jiwanya, yaitu mempertinggi sifat-sifat terpuji,[143] Dari
sinilah dapat terbentuk dan terwujud jiwa yang bersih, sanubari yang bersih,
karena dengan cara inilah manusia dapat mendekati Allah yaitu dengan
memperbanyak zikir.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa Al-Ghazali menempuh jalan kehidupan sufi, karena
dengan jalan sufi inilah Al-Ghazali dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan
jiwa. Dengan kehidupan sufi ini pula Al-Ghazali merasakan keakraban dengan
Allah, bahkan sampai ketingkat ma'rifat. Sekaligus yang menjadi tujuan pokok
atau akhir ajaran tasauf, yang berarti bahwa seorang sufi itu sanggup melihat
Tuhan dengan hati sanubarinya,[144]
Adapun
corak tasauf Al-Ghazali yang dianutnya berlainan dengan tasauf yang dianut oleh
lainnya, di mana Al-Ghazali tidak melibatkan diri dalam aliran tasauf wahdatul
wujud.[145]
Sistern atau metode yang dianut Al-Ghazali ialah bertumpu pada dasar ilmu dan
amal, di mana keduanya berisikan suatu hasil kenyataan bagi pembersihan diri
manusia dari godaan-godaan hawa nafsu, karena dengan diri yang bersih, manusia
dapat memusatkan renungannya kepada Allah.[146]
Penekanan
Al-Ghazali tentang ilmu dan amal adalah ketaatan untuk menuju kepada kesuksesan
dan kebahagiaan, maka ilmu dan amal itu pula merupakan syarat pokok kesejahteraan
dan kebahagiaan. Tanpa ilmu dan amal, kebahagiaan tidak dapat diperoleh di dua
tempat dunia dan akhirat. Pandangan ini di pertahankan Al-Ghazali sepanjang
hidupnya, baik sebelum menjalankan tasauf maupun sesudah menjalankan tasaufnya.
Menyangkut
masalah amal Al-Ghazali menjelaskan bahwa amal itu adalah seluruh perbuatan
yang baik, yang menyangkut perbuatan lahir dan batin dan di antara keduanya
harus seimbang. Amal lahir dimaksudkan adalah harus dilakukan dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan amal bathin berhubungan dengan jiwa dari sifat atau watak
tercela dan sifat tersebut harus diisi dengan sifat-sifat baik[147]
Dengan
memperhatikan uraian-uraian di atas maka dapat dipahami, bahwa corak tasauf Al-Ghazali
lebih menekankan kepada praktek atau pengamalan lahiriah serta latihan-latihan
batiniah dalam upaya pembersihan jiwa serta bertaqarrub kepada Allah yang
dilakukan secara terus menerus. Menurut Al-Ghazali tasauf merupakan
satu-satunya jalan yang ditempuh untuk menemukan hakekat kebenaran, yaitu
ma'rifat kepada Allah Swt.
Imam Al-Ghazali
mengemukakan pendapat tentang tasawuf yang mengatakan:
“Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang
memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu
dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena
sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan Ahli Zuhud
yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlak (terpuji),
karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya”. [148]
Apa yang telah diupayakan
Al-Ghazali dengan rumusan tasawufnya telah menandai satu titik puncaknya dengan
keberhasilan gemilang yang telah diraihnya. karena telah mengembalikan tasawuf
pada landasan Al-Quran dan Al-Hadits. Selain itu, Al-Ghazali juga telah
menawarkan teori tasawuf baru (ma`rifat) sebagai pendekatan diri kepada
Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya yang mana itu telah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan tasawuf sesudahnya, sehingga Al-Ghazali dikatakan seorang sufi
yang bisa meredan perseteruan yang tidak harmonis antara ilmu kalam, fiqih, dan
filsafat.[149]
B. Fiqh
Al-Ghazali
selain dikenal sebagai tokoh tasauf juga dikenal sebagai seorang ahli fiqh,
keutamaan Al-Ghazali dalam karangannya, bukan saja karena keahliannya dan
kesanggupan membicarakan segala persoalan sampai kepada perinciannya dengan
teliti, tetapi ia juga terkenal dengan keberanian, tegas dan terus terang,
dalam menerima atau membahas suatu masalah. Namun dalam setiap masalah yang dijelaskan
tetap berpegang pada Al-Qur'an dan Al-Hadits serta pendapat para ulama terdahulu
atau para sahabat Rasulullah.[150]
Al-Ghazali
mendalami ilmu fiqh ketika Al-Ghazali belajar pada gurunya yang bernama
Razakini di Thus. menurutnya mendalami ilmu fiqh sebagai langkah awal untuk
menemui jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana sempurna imannya
apabila seseorang tidak mengerti cara-cara bersuci yang benar, sedangkan suci
itu syarat utama melakukan ibadah. Dan bagaimana mungkin bisa menjalankan
syari'at sekiranya tidak tahu batas hak dan batil, antara halal dan haram.
Karena kesemuanya ini adalah hal yang menyangkut dengan ilmu fiqh.
Pembahasan
Al-Ghazali dalam setiap kitab yang dikarangnya tidaklah sia-sia, karena
uraiannya mendalam dan jelas, mulai hal-hal yang pokok sampai sedetil-detilnya,
baik yang menyangkut dengan thaharah, ibadah, muamalah, maupun yang menyangkut
dengan pekerjaan sehari-hari.
Selanjutnya
Al-Ghazali menjelaskan pendapatnya dalam bidang fiqh, umpamanya sejumlah harta
yang haram telah bercampur menjadi satu dengan yang halal. Dalam keadaan yang
demikian, apabila keharamannya lebih sedikit dan di perkirakan pada saat itu
tidak dapat dipastikan ada keharaman tadi, maka dibolehkan memakannya, hanya
saja bertanya mengenai itu adalah perlu dan dianggap lebih berhati-hati. Namun
demikian meninggalkan harta yang sedemlkian tadi adalah termasuk kewara'an.
Barang
siapa memperoleh harta pusaka dan ia tidak mengetahui sama sekali dari mana
didapatkannya harta tadi, oleh orang yang diwariskannya (yang telah wafat),
asalnya dari harta haram atau halal, sedangkan petunjuk-petunjuk untuk
memastikan itu sama sekali tidak dapat ditemukan, maka hukum harta pusaka yang
dimilikinya itu adalah halal. Andaikata ia mengetahui dengan pasti bahwa
diantara yang halal itu dengan yang haram, maka ia wajib mengeluarkan berapa
jumlah yang dianggapnya haram itu dengan jalan mengira-mengira dan
berhati-hati, maka wajiblah ia mengeluarkan sejumlah yang dianggapnya haram
tadi dengan jalan ijtihad.[151]
Berikut
ini dapat pula dijelaskan pendapat Al-Ghazali dalam bidang fiqh mengenai harta
syubhat, misalnya sesuatu yang sudah dimaklumi perihal kehalalannya, kemudian
diragu-ragukan mengenai keharamannya sebab ada bukti-bukti yang dapat
ditunjukkan untuk mengarah kesitu, maka yang demikian dapat di tetapkan halal
hukumnya. Selanjutnya sesuatu yang pada awalnya dapat dimaklumi keharamannya
kemudian timbullah suatu keragu-raguan perihal bukti-bukti yang dapat digunakan
untuk menghalalkannya, maka hal yang demikian seseorang wajib menjahuinya dan
hukumnya dapat ditetapkan adalah haram.[152]
Al-Ghazali
juga berpendapat mengenai persoalan hukum 'azal. Ada sebagian ulama berpendapat
hal itu adalah mubah secara mutlak, dan sebagian ulama berpendapat halal
hukumnya apabila disetujui oleh siisteri dan haram hukumnya jika tidak
disetujuinya. Namun menurut Al-Ghazali hukumnya mubah secara mutlak sekalipun
isteri tidak menyetujuinya.[153]
C. Ibadah dan Mu’amalah
1.
Ibadah
Ibadah
salah satu yang diyakini paling tinggi dan paling mantap dalam mencapai
ma'rifatullah, Al-Ghazali mengatakan bahwa ibadah merupakan pokok iman, bukan
merupakan upacara agama yang merupakan abstraks.[154]
Firman
Allah dalam surat Al-Hijr ayat 99:
Artinya:
“Dan sembahlah Tuhan-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”.(QS.Al-Hijr:99).[155]
Penjelasan
di atas dapatlah dipahami bahwa ibadah adalah iman. Apabila iman telah mantap
seseorang akan menuruti apa yang akan diperintahkan oleh Allah, tanpa
membantah, dan meninggalkan segala yang dilarang. Jadi secara umum yang
dikatakan ibadah adalah melaksanakan amar ma'ruf dan meninggalkan nahi munkar.
Dalam hal ini ibadah yang disuruh oleh agama Islam adalah mengikuti aturan yang
digariskan oleh Allah Swt, sejak aqil baliqh sampai meninggal dunia. Ibadah ini
pula harus dilaksanakan sepanjang waktu sesuai dengan petunjuk. Dalam setiap
perbuatan dan setiap bentuk pekerjaan ibadah kepada Allah Swt harus
dilaksanakan.
Dengan
demikian, unsur pertama ibadah adalah taat dan tunduk kepada Allah, yaitu
merasa berkewajiban melaksanakan peraturan Allah yang dibawakan oleh rasul-Nya,
baik yang berupa perintah maupun larangan, ketentuan halal maupun haram. Sang
sufi tidak dikatakan dalam status melaksanakan ibadah bila dirinya belum mau
tunduk terhadap perintah-Nya, tidak mau mengikuti aturan-Nya dan mengakui bahwa
Allah adalah pencipta dan yang memberikan rezeki kepada semua makhluk.
Untuk
kita memahami bagaimana akhlak, ini mempunyai kaitannya dengan ibadah, di sini
penulis berikan uraian-uraian Al-Ghazali telah membatasinya empat jenis ibadah
yang pokok yaitu shalat, zakat, puasa dan haji.
“Al-Ghazali
menjelaskan tentang hakikat shalat yaitu membersihkan jiwa raga dari perbuatan
keji yang membawa kepada kehinaan dan mensucikan diri dari perkataan kotor”.[156]
Shalat
juga akan menjadikan seluruh orang muslim berkumpul dengan satu panggilan, ini
bermakna apabila mendengar suara azan, semua kaum muslim akan mendirikan shalat
dengan tujuan yang satu, yaitu menyembah Allah Swt. Mereka shalat berjamaah
mengikuti seorang imam, tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Mereka sama-sama ruku'dan sujud menghadap Allah Swt.
Zakat
memberikan sebagian dari harta kepada orang-orang yang patut diberikan, zakat
ini akan menimbulkan rasa solidaritas sesama Islam. Dengan ini nasib
orang-orang miskin akan ringan. zakat juga merupakan suatu bentuk ujian
kekuatan moral, di sini diuji dan diperiksa apakah orang Islam itu cukup
kekuatannya untuk berjihad dengan harta di jalan Allah Swt.
Al-Ghazali
mengatakan bahwa ibadah zakat pada hakikatnya bukan merupakan pajak yang diambil
dari kantong, tetapi merupakan pembinaan, menumbuhkan rasa kasih sayang yang
tulus dan mendekatkan hubungan ukhuwah yang baik di antara lapisan masyarakat,
serta membersihkan jiwa dan mengangkat derajat manusia ke jenjang yang lebih
mulia.[157]
Dengan
zakat juga akan menjadikan manusia itu sendiri bahwa kesejahteraan individu
yang terletak dalam kesejahteraan masyarakat. Seandainya golongan kaya membantu
yang miskin tidak ada lagi sifat iri hati dari golongan miskin. Dengan ini
hubungan antara orang kaya dengan orang miskin juga dapat berjalan dengan baik.
Ibadah
puasa menurut Al-Ghazali bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum
dalam waktu yang terbatas, tetapi lebih dari itu merupakan latihan menahan diri
dari keinginan melakukan perbuatan keji yang dilarang.[158]
Sejalan
dengan hal tersebut, ibadah puasa telah disyari'atkan kepada para Nabi dan
Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. Disamping yang sama seperti dalam shalat,
latihan penghambaan, dan kekuatan iman dan puasa, ini adalah latihan kepatuhan
dan kesabaran. Disinilah akan nampak bagaimana Al-Ghazali mendidik manusia. Puasa
mempunyai keikhlasannya yang tersendiri jika dibandingkan dengan ibadah shalat,
zakat dan haji.
Zakat
hanya sekali dalam setahun, haji hanya sekali dalam seumur hidup, sedangkan
puasa sebulan dalam setahun dan berlipat ganda ditambah pahala bagi yang
mengerjakan ibadah-ibadah sunat lainnya.
Jadi puasa
yang telah dilakukan oleh Al-Ghazali adalah seperti mencegah diri dari dusta,
iman dan introspeksi diri, menahan diri dari dosa. Rangsangan untuk berbuat
kebaikan dan juga pahala kesederhanaan dalam berbuka.
Sedangkan
ibadah haji menurut Al-Ghazali merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan
dengan penuh kesadaran dan keikhlasan hati sebagai perwujudan iman dan takwanya
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan sungguh amat keliru bila orang beranggapan
bahwa perjalanan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah merupakan
perjalanan wisata yang tidak mempunyai nilai moral.[159]
Ibadah
haji merupakan suatu ibadah yang kolektif, seluruh ummat Islam berkumpul pada
tempat yang satu dengan tujuan yang satu, yaitu suatu kesempatan untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan. Dengan menunaikan haji akan mengurangkan
rasa tinggi diri, misalnya dalam berpakaian ihram, semua manusia adalah sama
tidak ada istilah kaya ataupun miskin. Dengan menunaikan haji juga akan
menimbulkan rasa ketakwaan dan semangat yang kuat untuk beramal kepada Allah
Swt.
Menurut
Al-Ghazali dari bentuk-bentuk ibadah berupa shalat, zakat, puasa, dan
haji.Serta ajaran -ajaran Islam yang lain merupakan tingkatan kesempurnaan yang
harus di capai manusia sebagai sarana membersihkan jiwa dan memelihara
kehidupannya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaannya melalui ibadah yang
sangat mulia.
2. Mu’amalah
Fiqih merupakan salah satu khazanah keislaman dengan bidang kajian sangat
luas. Secara garis besar, kajian fiqih Islam mencakup tiga dimensi, yaitu
dimensi hubungan vertikal ('alâqatul insan birabbihi), dimensi hubungan
internal ('alâqatul insan binafsihi), dan dimensi hubungan sosial ('alâqatul
insan bimujtama'ihi). Secara spesifik, disini penulis akan mengkaji dimensi hubungan sosial dalam fiqh, yang
sering disebut dengan fiqih muamalah.
Fiqih muamalah dibagi beberapa
bagian, yaitu sebagai berikut:
1. Hukum
Perdata (Al-Ahwal Asy-Syakhsiyah) yang membahas masalah keluarga,
pernikahan, perceraian, nafkah, hak waris, dan sejenisnya. Fiqih di sini
berfungsi mengatur hubungan antar suami istri dan keluarga.
2. Hukum
Sipil (Al-Qanun Al-Madani) yang membahas interaksi dan transaksi antar
individu, seperti jual beli, ijarah, rahn, kafalah, dan sejenisnya. Fiqih di
sini berfungsi mengatur interaksi ekonomi masyarakat dan menjaga terpenuhinya
hak-hak ekonomi masyarakat.
3. Hukum
Pidana (Al-Qanun Al-Jina'i) yang membahas tentang perilaku-perilaku
kriminal dan sanksi-sanksinya. Fiqih di sini berfungsi melindungi nyawa, harta,
kehormatan, dan hak setiap muslim, serta menjaga stabilitas keamanan.
4. Hukum
Acara Perdata dan Pidana (Al-Ahkam Al-Murafa'at Al-Madaniyyah Wa
Al-Jinaiyyah) yang membahas tentang tata cara pengaduan, peradilan, dan
sejenisnya. Fiqih di sini berfungsi menegakkan keadilan di antara umat manusia.
5. Aturan
Perundang-Undangan (Al-Ahkam Ad-Dusturiyyah) yang membahas tentang
dasar dan sistem hukum negara Islam. Fiqih di sini berfungsi menentukan
hubungan antara penguasa dan rakyat, serta menentukan hak dan kewajiban
masyarakat.
6. Aturan
Hukum Internasional (Al-Ahkam Ad-Dualiyyah) yang membahas tentang
hubungan negara Islam dengan negara lain ketika damai dan saat perang, hubungan
warga non muslim dengan warga muslim, termasuk tentang jihad dan perjanjian.
Fiqih di sini berfungsi untuk menetapkan jenis hubungan, kerja sama dan sikap saling
menghormati antar negara.
7. Undang-Undang
Ekonomi Dan Moneter (Al-Ahkam Al-Iqtishadiyyah Wal Maliyah) yang
membahas tentang hak dan kewajiban ekonomi masyarakat, hak dan kewajiban
ekonomi negara, dan mengatur anggaran pendapatan dan belanja. Fiqih di sini
berfungsi mengatur hubungan ekonomis antara pihak kaya dan pihak miskin, serta
antara negara dan masyarakat.
8. Hukum
Etika Dan Sopan Santun (Al-Akhlaq Wa Al-Adab).[160]
Konsep
keuangan Al-Ghazali merupakan konsep yang unik karena aspek sufistik terkandung
dan berpengaruh di dalamnya. Konsep ini dapat ditemukan dalam kitab Ihya
'Ulumiddin, di mana di dalam salah satu sub babnya Al-Ghazali membicarakan
masalah uang yang dipergunakan manusia sebagai nikmat dari Allah.[161]
Sejarah perkembangan uang, menurut Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawadhah)
hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu emas dan perak. Barter dilakukan
dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Kegiatan tukar menukar
barang ini dengan jalan "tukar ganti", yakni memberikan suatu barang
yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang
dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang, barang-barang
diperdagangkan dengan barter ini.
Al-Ghazali
menulis bahwa dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan
kegiatan bisnis melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan
atau jual beli telah dikenal banyak orang. Akan tetapi, cara sederhana yang
mereka pergunakan adalah dengan saling tukar menukar barang dengan barang yang
dimiliki oleh orang lain, meskipun pada dasarnya sistem barter ini terbatas
pada beberapa jenis barang saja.
Lama
kelamaan, setelah masyarakat mengenal spesialisasi dan perdagangan semakin
luas, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali menemukan
pihak lain yang kebetulan mempunyai barang yang sama dengan yang kita butuhkan,
dan dia pun membutuhkan apa yang kita tawarkan kepadanya dengan nilai yang
kira-kira sama atau dapat dibandingkan, dan ia bersedia menukarnya. Untuk itu,
melihat semakin besarnya jangkauan perdagangan, sistem barter tersebut perlu
direvisi dan diganti dengan menciptakan sesuatu yang nilainya disepakati
bersama, yaitu uang. Kebutuhan akan adanya uang ini juga mengkonsekwensikan
adanya lembaga khusus yang mengurusnya. Untuk itu, menurut Al-Ghazali
dibutuhkan lembaga keuangan yang kemudian mengurus pembuatan dan percetakan
uang, yang disebut dengan Dar al-Darb wa ash-Shayarifah (lembaga
pencetakan dan penukaran), sebagai pengendali aktivitas moneter terpusat, guna
mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.
Gagasan
Al-Ghazali dengan teori evaluasi uangnya dapat memberikan gambaran jelas
tentang terjadinya perpindahan (transformasi) dari sistem perekonomian (transaction)
barter menuju perekonomian yang menggunakan sistem mata uang logam, yaitu dinar
dan dirham.
Menurut
Al-Ghazali fungsi uang adalah sebagai medium of Exchange (alat tukar)
dan unit of account (satuan pengukur). Uang sebagai alat tukar berarti
uang dapat mengubah suatu barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain.
Dalam liquiditasnya, uang dapat menjadi alat untuk memudahkan, yaitu sebagai
alat untuk pembayaran dalam semua bentuk transaksi. Sedangkan uang sebagai
satuan pengukur adalah, uang berfungsi menjadi pengukur terhadap pertukaran
barang lain. Misalnya, untuk mengetahui apakah lima buah baju sama dengan satu
kue maka perlu diketahui harga lima baju dan satu kue tersebut. Inilah fungsi
uang di dalam Islam. Uang tidak memiliki harga tetapi uang dapat merefleksikan
semua harga, sebagaimana huruf dalam kalimat dan cermin terhadap warna,
keduanya hanya merefleksikan.[162]
Dalam
hal ini, penulis
menyimpulkan sedikit kalau kita melihat sejenak fungsi uang di mata
ekonomi konvensional, kita akan menemukan fungsi ketiga selain dua fungsi di
atas, yaitu uang berfungsi sebagai penyimpan nilai yang merupakan konsekuensi logis
dari pengakuan teori konvensional terhadap adanya motif money demand for
speculation. Tapi islam secara tegas menolak fungsi tersebut. Islam hanya
memperbolehkan uang dipergunakan untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga, dan
menolak penggunaan uang untuk motif spekulasi.
Adapun
syarat-syarat keabsahan muamalah menurut Al-Ghazali adalah: jual beli itu
mempunyai tiga rukun, yaitu: orang yang melakukan akad, barang yang diakadkan
dan lafadh akad. Ada
empat orang yang tidak boleh melakukan muamalah, yaitu anak kecil, orang gila,
hamba sahaya, dan orang buta. Tidak dilarang menjual (bertransaksi) dengan
orang kafir. Akan tetapi, tidak diperbolehkan menjual mushaf atau budak yang
muslim kepadanya. Juga tidak diperbolehkan menjual senjata kepada orang kafir
yang tengah memberontak (kafir harbi).[163]
Tidak diperbolehkan menjual atau
membeli khamar dan lemak dari hewan yang najis. Akan tetapi, tidak dilarang
menjual lemak yang hanya terkena benda najis diluarnya saja (bukan berasal dari
lemak hewan yang najis). Juga dilarang menjual anjing, serangga dan alat-alat
musik. Barang yang diperjual belikan harus ada (berwujud), bias diserahkan dan
bisa dilihat oleh mata. Jual beli harus dilakukan dengan kalimat ijab kabul
atau timbang terima.[164]
Ketahuilah bahwa sesungguhnya
bentuk-bentuk muamalah yang sudah dinyatakan sah (boleh) oleh seorang mufti
(petugas yang berwenang), berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, akan
tetapi dalam praktiknya disusupi oleh unsure kezaliman yang membuat pelakunya
terkena murka Allah Ta’ala. Cohtohnya: pedagang yang berusaha menimbun makanan
yang dihalalkan, dimana peelakunya pasti dilaknat oleh Allah, atau
menyembunyikan cacat (kekurangan) yang terdapat pada barang dagangan. Hal ini
merupakan bentuk kecurangan yang dinilai sebagai tindakan zalim. Termasuk
kecurangan yang lain ialah, merubah posisi timbangan menjadi lebih berat pada
posisi yang lebih menguntungkan pedagang.
Dan mengenai hal ini, Allah berfirman
dalam surat Al-Muthaffifin:1:
Artinya: “Celakalah bagi orang-orang
yang curang (dalam menakar dan menimbang)” .(QS.Al-Muthaffifin:1).[165]
Maksud dari ayat di atas adalah bahwa
semua jenis penipuan dan penyelewengan itu dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Jangan berlaku curang didalam
muamalah (jual beli).
Dalam praktik muamalah, seseorang
harus senantiasa berlaku bijak dan tidak dibenarkan menipu orang lain dengan
alasan apapun, mempermudah dalam jual beli itu sangat dianjurkan. Seorang
muslim harus selalu mengawasi dan mengontrol muamalahnya dengan baik, supaya
dihari perhitungan amal kelak ia tidak mendapatkan kesulitan. Sebab, muamalah
yang ia jalankan pasti akan di hisab oleh Allah Swt, bahkan niat dalam muamalah
juga akan dihisab. Demikian pula dengan persoalan yang menyangkut hak-hak orang
lain, apakah ia telah menjaga atau justru mengabaikannya.[166]
Pada
akhirnya, Al-Ghazali berkesimpulan bahwa menggunakan uang sebagaimana yang
disyariatkan agama, yakni dengan cara bermuamalah yang baik adalah salah satu
bentuk syukur nikmat. Sebaliknya, jika uang digunakan tidak sesuai yang
disyariatkan agama maka ia berbuat zalim, bahkan kufur nikmat.[167]
D. Akhlakul Karimah
Agama Islam diturunkan oleh Allah Swt melalui
Rasulullah untuk menjadi pedoman bagi ummat manusia pada umumnya dan ummat
Islam khususnya, guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat kelak. Salah satu ajarannya adalah akhlaq
yang merupakan intisari ajaran Islam. Akhlaq menurut ajaran Islam adalah sikap
rohaniyah yang melahirkan tingkah laku, perbuatan dalam berhubungan dengan Sang
Khaliq, berhubungan dengan sesama manusia, dan berhubungan dengan alam
sekitarnya.
Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa
akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa
memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka
suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling
berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya,
mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah
satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian.
Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan
"kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam).
Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau
kondisi, di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya menahan
atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan
bentuknya yang bathiniah".[168]
“Al-Ghazali
memberikan pengertian akhlaq sebagai ilmu keakhiratan yang disebut pula dengan
ilmu sifat hati dan ilmu rahasia hubungan keagamaan yang kemudian menjadi
pedoman untuk akhlaq nya orang-orang yang baik”.[169]
Dari
ungkapan di atas Al-Ghazali menjelaskan bahwa, akhlaq adalah kebiasaan jiwa
yang tetap, yang terdapat dalam diri manusia dengan mudah tanpa berpikir lebih
dahulu dalam melakukan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku. apabila lahir
tingkah laku yang baik dan terpuji, dinamakan akhlaq yang baik. Dan apabila
yang lahir akhlaq yang keji, dinamakan akhlaq yang buruk.
Selanjutnya
Al-Ghazali menjelaskan masalah akhlaq adalah mengubah bentuk jiwa dari
sifat-sifat yang buruk kepada sifat-sifat yang baik sebagaimana perangai ulama,
syuhada, dan para Nabi. Bagi Al-Ghazali akhlaq yang baik itu, dapat mengadakan
keseimbangan antara dua kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan berpikir
dan kekuatan hawa nafsu. Akhlaq yang baik seringkali menentang apa yang
digemari manusia.
Selanjutnya
Al-Ghazali menjelaskan pula akhlaq itu berat untuk menjadi pedoman bagi
orang-orang suluk (ahli tarekat), dan harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran
syari'at Islam seperti yang sudah digariskan oleh para fuqaha. ilmu tentang
akhlaq bagi Al-Ghazali lebih dipopulerkan dengan nama ilmu tasauf. Yang dibentuk
dari syari'at Islam yang telah mengikuti jalan para ulama.[170]
Menurut
Al-Ghazali pada umumnya, akhlak dapat dibagi menjadi dua macam yaitu;
1. Akhlaq atau sikap jiwa
yang baik dimana sikap ini mengatur hubungan dengan Allah, hubungan dengan
sesama manusia dan hubungan dengan alam sekitar, sehingga terbentuk suasana
kesejahteraan hidup pribadi dan masyarakat.
sifat-sifat
utama dari akhlak semacam ini berciri:
a.
Amanah, yaitu lurus dan benar, jujur, suci dan ikhlas dapat
di percaya segala ucapan dan perbuatannya.
b.
Adil, yaitu mendudukkan sesuatu pada tempatnya, berlaku sama dalam
menghukum, menimbang sama berat mengukur sama panjang dalam melaksanakan
sesuatu.
c.
l'tidal, yaitu sederhana dalam segala hal, tidak melewati
batas atau tidak berlebih-lebihan dan menerima apadanya.
d.
Syajaah, yaitu berani karena benar, pantang mundur dalam
membela kebenaran.
2. Akhlaq atau sikap jiwa
yang busuk, yaitu lewat dari yang baik dan mulia, tidak mampu melaksanakan dan
mengatur hubungan dengan Allah dan sesama manusia serta lingkungan sekitarnya.
Konsekwensinya sikap dan tindakannya tidak mewujudkan kesejahteraan pribadi dan
masyarakat. Kedamaian menjadi sirna, penuh kebiadaban dan kekacauan dalam
hubungan sosial, norma adat dan agama tidak diperdulikan sehingga hidup menjadi
susah.[171]
Sifat-sifat yang diwujudkan melalui sikap batin ini antara
lain:
a. Khianat, yaitu curang
dalam tingkah laku perbuatan, penipu, keras kepala, tidak punya pendirian, iri
hati dan syirik kepada Allah.
b. Zhalim, yaitu tidak
menempatkan sesuatu pada tempatnya, kejam, suka menyakiti orang, suka
memaksakan kemauan sendiri, tamak, kikir, angkuh, pemarah, dendam, dan tidak
mau bersyukur kepada Allah Swt.
c. Hirshah, yaitu sangat
terpengaruh pada harta benda dan kesenangan jasmaniah, suka berfoya dan boros.
d. Al-jubnu, yaitu
pengecut, tidak mempunyai keyakinan, tidak percaya pada diri sendiri, tidak
tabah menghadapi kesulitan, berjiwa kecil dan tidak menghargai orang lain.[172]
Dari
pembagian jenis akhlaq ini, akhlaq yang dilandasi dengan sikap yang baik
merupakan perilaku yang disinari oleh ajaran agama. Dan ini pulalah yang
menjadi cita-cita dan dambaan setiap insan. Karena akhlaq inilah yang
menentukan kemuliaan manusia, baik dalam pandangan Tuhan maupun manusia
lainnya.
Menurut
Hasby Ash-Shiddieqy masalah akhlaq terpancar dari dua prinsip pokok yaitu,
manusia dan kemuliaan. Dialah yang menjadi ruh yang mengalir disetiap batu-bata
yang membangunkan sebuah tembok. Akhlaq adalah perangai utama dalam syari'at
itu. maka hubungan antara Allah dan manusia, hubungan manusia dengan alam
adalah hubungan yang bersih.[173]
Manusia
jelas jika tidak mempunyai akhlaq yang mulia, seakan-akan di hadirkan kedunia
ini menjadi pengacau, meskipun suara hati mereka senantiasa membisikkan bahwa
mereka sebenarnya telah menentang kodrat, hanya karena tipisnya kesadaran
mereka dan juga karena menipu Allah dan menipu dirinya sendiri. Manusia seperti
inilah yang selalu menyebarkan fitnah, khianat, dengki dan sifat-sifat buruk
lainnya.
Di
sinilah perlunya penanaman keimanan pada jiwa manusia. Karena iman itu sangat
besar pengaruhnya dan merupakan modal keteguhan bathin yang menjadi sumber
jalan melahirkan akhlaq yang mulia. Iman bukanlah semata-semata ucapan lisan
saja tetapi tertanam dalam diri hati serta diwujudkan perilaku mulia.
Pembinaan
akhlaq bagi manusia dan generasi muda merupakan landasan pokok dalam pendidikan
Islam, yang mencakup pendidikan jiwa akal dan jasmani, semuanya dimaksudkan
untuk penataan perilaku hidup bagi manusia itu sendiri.
Zainal
Abidin Ahmad menyatakan bahwa pendidikan Islam itu bertolak dari tiga faktor,
yaitu:
1. Tarbiyatul Ruh,
pendidikan jiwa atau disebut mental spritual.
2. Tarbiyatul aqli,
pendidikan akal atau disebut dengan ilmu pengetahuan.
3. Tarbiyatul jismi,
pendidikan jasmani atau disebut dengan kesehatan badan.[174]
Tiga
faktor di atas sudah mencakup semua unsur pribadi manusia, yang pada dasarnya
menjadi petunjuk bagi kita, apakah manusia berpribadi dan berakhlaq terpuji
atau tidak. Berakhlak baik adalah ciri manusia yang ideal. Apabila akhlaq sudah
terbina pada masing-masing individu, maka terbentuklah masyarakat yang penuh
kedamaian, persaudaraan dan ketentraman masing-masing individu senantiasa
menjaga kesusilaan dan hidup saling membantu untuk mengharap keridhaan Allah.
E. Budaya dan Seni
1. Budaya
Budaya atau kebudayaan
dipahami sebagai tripotensi manusia, yakni berfikir, berkemauan dan berperasaan
yang terjelma dalam kumpulan ilmu pengetahuan, kaidah-kaidah sosial. Dalam
pengertian ini tergambar adanya proses yang menjadikan manusia individu dan
masyarakat sebagai wadah pembentukan potensi yang dijelmakan dalam bentuk
logika, etika dan estetika. Sedang inspirasi dan
apresiasi Islam dimaksudkan bagaimana nilai-nilai Islami memberi ilham dan
semangat dalam budaya.
Manusia
sebagai makhluk sosial terikat dengan lingkungannya. Ikatannya adalah kebudayaan
yang diperoleh melalui proses belajar. Proses belajar dimungkinkan karena dalam
kebudayaan terdapat sejumlah kaidah, aturan dan kategori, yang dapat diketahui
melalui pengalaman dan pengamatan terhadap lingkungan sosial. Nilai-nilai budaya dalam keyakinan umat Islam sumber utamanya
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan
kepada Muhammad sebagai petunjuk bagi manusia untuk kebahagiaan hidupnya dunia
dan akhirat. Al-Qur’an mensinyalir tentang corak hidup dan kehidupan manusia
didunia ini.
Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
Artinya: “Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (teliti)”.(QS.Al-Hujarat:13).[175]
Dalam ayat di
atas Allah mensinyalir kepada manusia supaya saling kenal mengenal baik
laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku saling mencintai dan
menyayangi dalam kehidupan duniawi, tetapi ingat bahwa mmanusia-manusia yang
tinggi takwanyalah yang sangat mulia disisi Allah.
Dan juga Islam menyeru dan mengajak kaum
muslimin melakukan pergaulan yang baik di antara kaum muslimin, sehingga
membentuk suatu ikatan yang baik dan utuh dalam pergaulan, manusia dapat saling
isi mengisi kebutuhannya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur,
kemaslahatan tersebut tidak akan terwujud, kecuali dengan kebagusan pergaulan
antara sesama anggota masyarakat atau budaya.[176]
Kecendrungan
untuk saling mengenal dalam pengertian yang luas di antara sesama manusia dalam
kehidupannya, sangat ditentukan dalam ajaran Islam.
Dalam
hal pergaulan hidup, Al-Ghazali menjelaskan yaitu; "Ketahuilah, bahwa
setengah dari pada maksud-maksud keagamaan dan keduniaan, ialah apa yang
diperoleh faedahnya dengan mendapatkan pertolongan orang lain, dan tidaklah
berhasil yang demikian itu, selain dengan bercampur baur (pergaulan) maka
tiap-tiap yang diperoleh faedahnya dari pada bergaul, akan hilang dengan
mengasingkan diri.[177]
Berdasarkan
keterangan di atas jelas bahwa menurut konsep pikiran Al-Ghazali bergaul dengan
masyarakat lebih baik dari pada mengasingkan diri atau menjauhkan diri dari keramaian
manusia. Karena menurut Al-Ghazali pergaulan hidup ini dapat memberi faedah
seperti mengajar dan belajar, memberi mamfaat dan mengambil mamfaat. Mengajar
adab sopan santun dan Memperoleh kejinakan hati dan menjinakkan hati.
Memperoleh pahala dan menghasilkan pahala. Pada menegakkan hak-hak orang.
Membiasakan kerendahan hati. Dan mengambil faedah dari pengamalan-pengamalan
yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.[178]
Suatu
hal yang tidak dipungkiri, hidup bermasyarakat atau berbudaya dengan mengisi
pergaulan yang baik sesamanya banyak keuntungan yang dapat diperoleh. Karena
melalui bergaul inilah dapat mengembangkan diri, dalam berbagai segi kehidupan
dan sebagai jalan berbakti pada sesama manusia yang sekaligus sebagai upaya
pembangunan negara dan bangsa. Tidak mungkin seseorang dapat hidup secara
sempuma tanpa adanya hubungan dengan manusia lainnya, sebab manusia adalah
makhluk yang saling bergantungan dalam memenuhi segala kebutuhan.
Selanjutnya
Al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam pergaulan itu perlu "memandang
saudaranya dengan pandangan yang sewajarnya", dengan menetapkan: Tingkat
pertama, mereka yang umumya lebih tua dari pada kita, atau yang lebih banyak
ilmunya, atau banyak ibadahnya. Maka hendaknya dalam memandang mereka kita
berperasaan bahwa mereka mempunyai keutamaan, dan kepada merekalah kita
memberikan yang semestinya.
Tingkat
kedua, mereka yang umumya setara dengan kita mereka harus kita hormati,
walaupun umumya setara. Karena mungkin mereka lebih tinggi akhlaqnya dengan
kita, amalnya lebih banyak dari kita, dan dosanya lebih sedikit dari kita. Tingkat
ketiga, mereka yang lebih muda umurnya dari pada kita. Golongan inipun harus
kita hormati menurut sepatutnya, karena mereka lebih muda dan lebih kurang
keburukannya dari pada kita, dibandingkan dengan kita yang sudah lanjut
umurnya.[179]
Menurut
Al-Ghazali dalam bergaul seseorang tidak boleh sombong, angkuh, ria, serta
tingkah laku dan tutur kata yang tidak menyenangkan orang lain. Dengan
menghormati dan menghargai orang lain, pasti seseorang akan di segani dan di
sayang pula.
Apabila
menjumpai orang-orang yang bergelimangan dengan dosa, janganlah memperbesarkan
diri dari mereka, karena walaupun sekarang dalam keadaan baik dan sempuma,
belum tentu bahwa akan memperoleh husnul khatimah (baik kesudahan). Mungkin
pada saat-saat terakhir kita menjadi orang yang buruk, dan sebaliknya mereka
yang di pandang penuh dengan dosa, akhimya menjadi orang yang baik.
Al-Ghazali
menegaskan kepada manusia untuk selalu memandang kepada siapa saja dengan
pandangan yang terhormat, dan menghadapi mereka dengan muka yang jernih.
Hendaknya dalam segala keadaan kita berlaku tentram dan damai.
Berdasarkan
beberapa petunjuk di atas dapat disimpulkan bahwa, menurut konsep Al-Ghazali,
bergaul atau bermasyarakat lebih baik dari pada menyendiri ('uzlah),
karena melalui pergaulan ini banyak faedah yang dapat diperoleh, terutama dalam
hal memenuhi keperluan hidup, baik yang bersifat materil, agama maupun
kebutuhan rohaniah lainnya, yang sangat bermamfaat bagi kebahagiaan akhirat
yaitu kebahagiaan yang hakiki. Dalam pergaulan hidup harus selalu memelihara
perasaan dan kehormatan orang lain, kecuali terhadap orang-orang yang murka
kepada Allah harus ada batas-batas tertentu dalam mengikat hubungan dengan
mereka.
2. Seni
Seni adalah keindahan. Ia merupakan
ekspresi ruh dan
budaya manusia yang mengandung
dan mengungkapkan keindahan. Ia lahir dari sisi terdalam manusia didorong oleh
kecenderungan seniman kepada yang indah, apapun
jenis keindahan itu. Dorongan tersebut merupakan
naluri manusia, atau
fitrah yang dianugerahkan Allah
kepada hamba-hamba-Nya.
Di sisi lain, Al-Quran memperkenalkan agama yang lurus sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Allah berfirman dalam surat Ar-Ruum:30:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$# ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada ciptaan Allah (fitrah). (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(QS.Ar-Ruum:30).[180]
Ayat diatas Allah memberi pengetahuan kepada manusia, bahwa manusia
diciptakan Allah pada dasarnya adalah
bersifat fitrah (ciptaan Allah), manusia diciptakan Allah berpotensi dan suci,
juga mempunyai naluri.
Kemampuan berseni merupakan salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lain. Jika demikian halnya maka Islam pasti mendukung kesenian selama penampilan lahirnya mendukung fitrah manusia yang suci itu, karena itu pula Islam bertemu dengan seni dalam jiwa manusia, sebagaimana seni ditemukan oleh jiwa manusia di dalam Islam.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa:
“Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati”.[181]
Al-Ghazali di dalam kitab Ihya
Ulumiddin. Beliau berkata: "Nash nash syara' telah menunjukkan bahwa
menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan
senjata-senjata perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti
itu adalah hari untuk bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan
untuk hari-hari lain, seperti khitanan dan semua hari kegembiraan yang memang
dibolehkan syara'. Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi'i yang
mengatakan bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama
Hijaz yang benci mendengarkan nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di
dalamnya mengandung hal-hal yang tidak baik. Maksud ucapan tersebut adalah
bahwa macam-macam nyanyian tersebut tidak lain nyanyian yang bercampur dengan
hal-hal yang telah dilarang oleh syara'.[182]
Baik dan buruknya
pengaruh sebuah kesenian terhadap moral bangsa/masyarakat sangat tergantung
dari mana kesenian itu berasal. Kalau kesenian itu tumbuh dari nilai-nilai
keislaman dan keimanan, maka ia akan tumbuh menjadi pilar keimanan. Akan tetapi
sebaliknya kalau seni itu tumbuh dari bibit nafsu dan kekufuran, maka iapun
akan tumbuh menjadi sumber kekufuran dan pengobar api kemaksiatan. Pendek kata,
Islami tidaknya sebuah seni harus dikembalikan pada pesan-pesan moral yang bisa
disampaikan.
Allah berfirman dalam
surat As-Syu’ara ayat 224-227:
Artinya: “Dan
penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat
bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah. Dan bahwasanya mereka suka
mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya). Kecuali orang-orang
(penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan
mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. dan orang-orang yang zalim itu
kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali”.(QS.As-Syu’ara:224-227).[183]
Dari ayat di atas dapat
dipahami bahwa ada sebagian seniman-seniman yang hidupnya tidak teratur dan
tidak mau diatur, penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak
mempunyai tujuan yang baik dan tidak punya pendirian. Mereka suka mengatakan
tetapi tidak pernah mereka kerjakan. Tetapi Allah juga menjelaskan bahwa tidak
semua seniman demikian halnya. Masih ada seniman yang baik, beriman dan beramal
shaleh. Tidak semua seniman buruk, tetapi tidak banyak seniman yang baik.
Imam Al-Ghazali mengatakan
”untaian syair sama kedudukannya
dengan kata-kata maupun ucapan biasa, yang baik darinya dianggap baik dan
yang buruk juga dianggap buruk,” karena itu bisa saja kegiatan seni budaya
suatu bangsa menjadi bagian dari ibadah , kalau diniatkan karena Allah.”
Imam Al-Ghazali menjelaskan
bahwa ada lima faktor yang dapat mengalihkan dengan mendengarkan musik atau
lagu dari yang mubah menjadi haram yakni:
1.
Faktor yang ada pada penyanyi, yaitu seorang wanita yang
tidak halal untuk dipandang dan dikhawatirkan menjadi fitnah apabila
mendengarkannya. Jadi titik tekannya adalah pengharam takut kalau terjadi
fitnah.
2.
Faktor yang ada pada alat musik tersebut, yaitu apabila
menunjukkan lambang para banci alat tersebut yakni seruling, guitar dan gendang
kecil.
3.
Faktor yang ada pada isi lagu, bila di
dalamnya terkandung kata-kata mencaci maki dan kata-kata kotor, dusta.
4.
Faktor yang ada pada pendengar, yakni ketika mendengarkan
lagu atau nyanyian tersebut dapat mendatangkan syahwat.
5.
Apabila orang yang mendengar lagu tersebut mengalahkan
cintanya pada Allah.[184]
Pandangan
Imam Al-Ghazali yang berhubungan dengan seni musik yaitu:
a. tidak terdapat
keterangan yang jelas dari sunnah Rasulullah yang melarang penggunaan alat-alat
musik.
b. sebahagian instrumen
musik yang mempunyai bunyi yang baik tidak dilarang.
c. seni musik yang
dilarang ialah seni musik yang berada di dalam keadaan yang bersekongkol dengan
kumpulan pemabuk, perzinaan dan perbuatan dosa yang lain.
d. mendengar lagu itu ada
5 hukum yaitu harus, sunat, wajib, makruh dan haram.
e. Imam al-Ghazali
mengklasifikasikan lagu-lagu kepada 7 jenis yaitu :
1) Lagu-lagu yang
membangkitkan kerinduan untuk menziarahi tempat-tempat suci seperti Mekah dan
Madinah
2) Lagu yang mengobarkan
semangat untuk berjuang mempertahankan aqidah dan negara
3) Lagu yang memperihalkan
pertarungan dan sikap kelelakian yang pantang mengalah di saat-saat genting
4) Lagu yang mengenang
peristiwa lampau yang menimbulkan kesedihan yang positif. Mengingatkan diri
terhadap hakikat hidup yang sebenarnya.
5) Lagu yang menunjukkan keadaan
ketika rela dan sukacita untuk menghargai suasana tersebut dan menikmati
kenangannya selama yang mungkin
6) Lagu bercorak yang
sopan : memperihalkan kisah cinta dan membayangkan harapan untuk bertemu dan
pertautan yang lebih erat di masa yang akan datang
7) Lagu yang memperihalkan
keagungan sifat-sifat Tuhan, memuji serta mentahmidkan kebesaranNya.[185]
F. Metode Pendidikan
Ma’rifatullah
Pendidikan
menurut Al-Ghazali adalah tugas yang harus di laksanakan dengan sebaik-baiknya,
pendidikan adalah tugas yang sangat mulia dan utama dari semua pekerjaan yang
dapat dilakukan oleh manusia. Sebab hanya dengan pendidikan dan pengajaranlah
manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jadi pendidikan menurut
pandangan Al-Ghazali termasuk ibadah dan sarana perbaikan sosial, sehingga
dapat di tempuh melalui perdidikan dan pengajaran yang benar.[186]
Disini
Al-Ghazali menjelaskan beberapa tujuan dalam bidang pendidikannya yaitu:
a. Tujuan pendidikan
Manusia
yang hidup sebagai makhluk yang tertinggi nilainya dari makhluk-makhluk Allah
yang lain, tidak boleh terlepas dari pemberian pendidikan dan pengajaran karena
hanya dengan ilmu pengetahuanlah manusia akan mencapai kemajuan. Menurut Al-Ghazali
Ilmu apapun yang dipelajari dan metode manapun yang diikuti, namun tujuan dasar
dari pendidikan harus benar-benar dipegang
kuat. Karena bila tujuan-tujuan dasar itu tidak tercapai, maka kebahagiaan
yang dicari oleh manusia dari segi pendidikan itu tidak berarti apa-apa.
Tujuan
utama dan akhir dari suatu pendidikan menurut Al-Ghazali ada dua yaitu:
1.
Kesempurnaan manusia yang tujuan akhirnya adalah pendekatan
diri dengan Allah Swt.
2.
Kesempurnaan manusia yang akhirnya dapat membawa kepada
kebahagiaan yang hakiki.
Pendidikan
yang benar adalah pendidikan Islam, karena ia bercorakkan pada agama, dan
moral, yang jelas terlihat dalam tujuan dan sarannya. Di samping itu pendidikan
Islam tidak mengesampingkan kepentingan-kepentingan dunia. Pendidikan menurut Al-Ghazali
bertujuan untuk kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat. Manusia akan sampai
kepada kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu pengetahuan.
Keutamaan tersebut akan membahagiakan hidupnya di dunia dan mendekatkan dirinya
kepada Allah. Sehingga mendapat kebahagiaan di akhirat yaitu kebahagiaan yang
hakiki dan abadi.[187]
Oleh
karena itu anak harus dibimbing oleh orang tua dengan mengajarkan adab
kesopanan atau akhlaq Islamiyah yang luhur dan membiasakan bersikap dengan
Islamiyah tersebut. Dalam membimbing anak kearah ini Al-Ghazali menjelaskan
pendidikan bagi pembimbing lansung haruslah orang yang baik dan beragama.
Karena anak-anak itu kebanyakan terpengaruh dengan segala tingkah laku yang
dilihat pada pembimbing atau pendidiknya. Ringkasnya anak itu harus diarahkan
kepada kebaikan dan kesempurnaan dengan membiasakan dan melatih
perbuatan-perbuatan terpuji serta didukung oleh contoh tauladan para pendidik
dan orang tuanya.[188]
b. Pembahagian Pendidikan Menurut
Al-Ghazali
Pendidikan
menurut Al-Ghazali harus dititik beratkan pada pendidikan jiwa dan rohani.
Tetapi Al-Ghazali tidak menutup mata tentang pendidikan jasmani. Kalau kita
teliti Pendapat Al-Ghazali mengenai pendidikan secara luas, maka kita dapat
membagikan pendidikan menurut Al-Ghazali, kepada tiga jenis yaitu; pendidikan
akal, akhlaq dan jasmani.
Agar
pendidikan anak jadi baik, maka anak semenjak lahir harus benar-benar
diperhatikan, diawasi dan diasuh dengan tata akhlak Islam. Makanan dan pakaian
yang di berikan harus "halal dan wanita pengasuhnya harus yang shalih dan
sopan. Di samping itu anak tidak boleh dimanjakan dengan kemewahan, makanan dan
pakaian, sebab anak yang dimanjakan demikian akan menjadi rakus, sombong dan
malas bekerja yang mengakibatkan ia akan mengalami kesukaran dalam hidupnya.
Mulai pertama anak harus di didik oleh ibu bapanya dalam rumah tangga dan
apabila umurya sudah meningkat, maka harus dimasukkan ke pesantren untuk
diajarkan Al-Qur'an, Al-Hadits, Kisah-kisah Rasul dan Syair-syair, serta sanjak-sanjak
yang indah yang tidak merusak akhlaqnya. Semuanya ini dilakukan agar
perkembangan akal anak harus sesuai dengan nilai-nilai agama. Kemudian agar
akhlak anak baik, maka anak harus dibiasakan dan dilatih dengan sifat-sifat
terpuji didalam hidupnya sehari-hari melalui pengajaran dan contoh tauladan
dari pendidik. Sedangkan di bidang pendidikan jasmani Al-Ghazali menganjurkan
agar anak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat menguatkan anggota badan dan
otot-ototnya. Di samping untuk menguatkan tubuhnya, agar badan itu dapat
menghilangkan kebosanan anak dalam menghadapi pelajaran.
Dalam
hal ini Al-Ghazali menjelaskan yaitu:
1.
Biasakan anak-anak berjalan kaki, gerak badan dan berolah
raga agar mereka jangan diliputi kebosanan.
2.
Anak-anak bila selesai belajar hendaklah diizinkan untuk
bermain-main dan apabila dipaksakan akan melumpuhkan kecerdasannya dimana
akhirnya anak-anak menjadi mencari tipu daya untuk meninggalkan pelajarannya.[189]
Yang
sangat menyedihkan bagi kita tentang pendapat Al-Ghazali ini tidak dipraktekkan
oleh pendidik Islam.Tetapi sebaliknya dipraktekkan oleh orang-orang dari luar
Islam. Umpamanya saja di Inggris dan di Jepang dimana mereka tidak memanjakan
anak, dan anak disuruh melakukan pekerjaan yang keras dan berat. Begitu juga
dalam pendidikan jasmani, ini lebih dahulu dipraktekkan oleh orang-orang Islam,
dan padahal Al-Ghazali yang telah menggariskannya; dan pada zaman kemajuan
nampaknya pendapat ini semakin sesuai.
c. Pentunjuk Al-Ghazali
bagi para pendidik
Al-Ghazali
memuji orang yang berilmu pengetahuan dan rela mengajar kepada orang lain
dengan ikhlas karena Allah, sebagaimana dijelaskannya.
Mengajar
di lihat dari satu segi merupakan ibadah kepada Allah Swt, dari aspek lain
mengajar merupakan tugas manusia (dewasa) sebagai Khalifah Allah, karena Allah
Ta'ala telah membuka hati orang yang alim dengan ilmu pengetahuan, yang ilmu
itu merupakan sifat khusus baginya. Maka orang yang berilmu pengetahuan sebagai
ilmu yang diberikan oleh Allah diberikannya kepada siapa yang membutuhkannya.,
ilmu dan mengajar merupakan yang paling mulia dari kedudukan seseorang hamba
menjadi media antara Allah dengan makhluknya dalam rangka mendekatkan derajat
mereka ke syurga.[190]
Bagi
seorang guru dalam melaksanakan tugasnya, Al-Ghazali memberi petunjuk-petunjuk
yang jelas di antaranya:
1.
Guru haruslah melaksanakan tugasnya dengan niat mencari
keredhaan Allah bukan untuk mencari kekayaan, ketinggian, kemegahan dan
kehebatan.
2.
Seorang guru haruslah bersikap lemah lembut kepada anak
didiknya, anak harus dididik dengan penuh kasih sayang, tidak boleh dengan
kekerasan seperti memukul dan mencela.
3.
Seorang guru sebelum masuk mendidik harus lebih dahulu
memperbaiki sifat-sifatnya, karena anak yang dididiknya itu dititipkan untuk
mendapatkan pendidikan yang baik.
4.
Di dalam mendidik anak, seorang guru harus mempelajari watak
dan sifat anak, yang disebut dengan ﺍﻟﻓﺮﻮﻖ ﺍﻟﻓﺮﺪﻴﺔ (perbedaan kepribadian), karena
dengan jalan yang demikianlah seorang guru bisa mendidik anak yang bermacam
corak, tabi'at dan wataknya.
5.
Dalam mendidik anak harus diperhatikan fase-fase perkembangan
anak, sehingga ilmu
yang diterima sesuai
dengan kemampuan akalnya.[191]
Apa yang dikemukakan oleh Al-Ghazali
mengenai tugas guru ini ternyata sangat sesuai dengan pendapat ahli pendidikan
moderen pada saat sekarang ini, dan ini cukup menjadi bukti tentang ketajaman
dan keluasan Al-Ghazali dalam membuat teori-teori dalam bidang pendidikan
sekarang ini.
Adapun metode-metode menuju
ma’rifatullah Menurut Muchtar Adam dan Fadlulah Muh. Said sedikitnya ada tiga
metode menemukan ma'rifatullah. Muchtar Adam dan Fadlulah Muh. Said menyatakan:
“Ada tiga langkah menuju
ma'rifatullah. Pertama, metode akal. Kedua, metode asmaul al-husna. Ketiga,
metode ibadah”.[192]
1.
Metode Akal
Secara
umum dan sederhana dapat dipahami, bahwa akal adalah kekuatan untuk membedakan
kebaikan dan kemaslahatan, baik material maupun non material, kemudian
keharusan untuk menjaga dari perbuatan khilaf, lupa atau tersalah. Istilah akal
bermakna pengetahuan akan kebaikan dan keburukan yang dipraktikan dalam
kehidupan spiritual dan material. Intinya akal mengandung arti mengerti,
memahami dan berfikir.
Untuk
mengantarkan peserta didik mengasah ketajaman akal mereka dalam memamahami
ma'rifatullah, maka bisa digunakan metode debat aktif sebagai metode
pembelajarannya.
2.
Metode Asmaul Husna (ﺃﺴﻤﺎﺀ ﺍﻟﺤﺴﻨﻰ)
Mengenai
metode asmaul husna dalam ma'rifatullah, Muchtar Adam dan Fadlulah Muh. Said
menyatakan demikian:
“ Dalam upaya memperkenalkan siapa diri
Tuhan itu ? Bagaimana manusia mengenal
dan menghampiri-Nya, maka Allah menurunkan Al-Qur'an sebagai kumpulan
wahyu yang bersifat informasi dari Allah yang disampaikan lewat Rasul-Nya
Muhammad Saw yang berbentuk teks. Di dalam Al-Qur'an itulah Allah
memperkenalkan diri-Nya. Siapapun yang mengaku mengenal Tuhan tanpa melalui
wahyu (Al-Qur'an), keotentitasan pengenalannya dapat dipertanyakan dan diragukan.
Dari Al-Qur'an dan Asma-Nya dikenal atau
yang lebih populer Al-asmau Al-husna. Asma-nya merupakan salah satu metode yang
ditempuh untuk mengenal-Nya karena ia sumber ma'rifatullah.”[193]
Metode Asmaul
Husna, dalam konteks pendidikan agama Islam masuk dalam metode yang oleh Ahmad
Tafsir disebut dengan metode perpujian. Metode ini mengumandangkan nama-nama
Allah yang biasa dilakukan di mushalla, masjid dan pesantren pada saat
menjelang waktu shalat tiba. Menurut hasil penelitian Ahmad Tafsir, metode
ini dapat menggugah perasaan manusia (umat Islam), sampai menusuk jantung hati
yang dalam, terutama ketika manusia dalam keadaan berselimut di waktu shubuh.[194]
Melalui proses demikianlah, Asmaul Husna dapat
memainkan peranannya sebagai salah satu metode yang dapat mengantarkan peserta
didik menuju ma'rifatullah. Peserta didik yang menggunakan metode Asmaul Husna,
tak sekedar disuguhi dengan deretan hafalan nama-nama Allah, tetapi lebih dari
itu, peserta didik secara intens membuka rahasia di balik nama-nama Indah Allah
tersebut.
3.
Metode Ibadah
Perjalanan menuju ma'rifatullah melalui metode ibadah
ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman, baik itu pada “tingkat ibadah” atau sudah berada pada
“tingkat ubudiyah”. Hal ini
dirasakan lebih mantap dan lebih berkesan dibandingkan dengan metode akal atau
metode al-asmau al-husna karena didasarkan pada pengalaman-pengalaman. Pada pelaksanaan zikir, shalat,
zakat, puasa, dan haji akan melahirkan pengalaman-pengalaman. Ma'rifatullah
melalui metode ibadah ini bersifat praktis.
Selain itu, untuk semakin meneguhkan peserta didik
dalam melaksanakan metode ibadah, ada teknik pembelajaran yang cukup
representatif yaitu teknik al-targhib wa al-tarhib
(janji senang dan ancaman). Teknik ini digunakan pendidik untuk memberikan targhib (janji-janji kesenangan,
kenikmatan di akhirat bagi peserta didik yang melakukan ibadah) dan tarhib
(ancaman bagi peserta didik yang tidak mau melaksanakan ibadah).Teknik ini
dimaksudkan agar peserta didik menjauhi perbuatan yang dilarang dan
melaksanakan ibadah yang diperintahkan si kepada pendidik.
BAB
V
PENUTUP
Bab ini
adalah bab terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
A. Kesimpulan
1. Ma'rifat adalah suatu
ilmu pengetahuan yang tertinggi dan termulia derajatnya yang diperoleh manusia
lewat jalan kasyaf (batin), atau hati sanubarinya, dalam akhir tasauf Al-Ghazali
ma'rifat ini merupakan maqam yang sangat tinggi.
2. Menurut Al-Ghazali ilmu
Ma'rifat merupakan suatu pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui
rahasia-rahasia-Nya Allah Ta'ala dan segala peraturan-Nya yang ada di dalam
kerajaan-Nya. Melalui ilmu ma'rifat ini manusia akan memperoleh kebahagiaan,
keselamatan, ketenangan dan ketentraman jiwanya baik di dunia ini maupun
akhirat kelak.
3. Mengenal Allah Swt
merupakan kewajiban bagi setiap manusia yang mendiami dunia ini, supaya tidak
sengsara dan gelisah di dunia dan di akhirat kelak.
4. Jalan mengenal Allah
ada dua yaitu, dengan menggunakan akal pikiran dan dengan mema'rifati nama-nama
dan sifat-Nya.
5. Berpikir itu pada
esensinya adalah menghadirkan tiga Ma'rifat yaitu. Mema'rifati nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, serta tafakkur kepada Allah Swt.
6. Ilmu itu
merupakan buah dan hasil dari pemikiran dari Allah yang paling utama, dan
apabila masuk kedalam dada manusia maka berubahlah keadaan batin dan jika telah
berubah batin itu maka berubahlah pula amal dan keadaan manusia, ini sering
dinamakan panca Ilahi Rabbi (Ilham).
7. Dengan
cahaya Ma'rifatullah manusia akan berpaling dari segala kelezatan atau
kenikmatan duniawi, serta akan menuju yaitu kelezatan kenikmatan ukhrawi.
8. Ma'rifat
yang tertinggi dan teragung bisa diperoleh manusia lewat jalan kasyaf yaitu
hati, dan dengan hati ini manusia akan sampai kepada Allah Swt, sebagai
kebenaran abadi.
B.
Saran-saran
1.
Hendaknya ummat Islam, terutama generasi mudanya
dapat mengenal Allah Swt dengan baik dan benar, serta jangan terlena oleh
kesenangan dan kemewahan duniawi yang beraneka ragam bentuknya.
2.
Hendaknya setiap ummat Islam harus membekali
dirinya dengan berbagai macam iimu pengetahuan, terutama ilmu Ma'rifat ini,
kemudian sebarkan kepada orang-orang yang membutuhkannya.
3.
Hendaknya Mahasiswa dan Mahasiswi Islam pada
umumnya, harus mampu berpikir jernih dan tepat dalam mengatasi berbagai macam
pemikiran yang menyesatkan manusia.
4. Hendaknya
Mahasiswa dan Mahasiswi dapat berfikir secara kritis dan praktis dalam menjawab
tantangan zaman moderen sekarang ini dengan berlandaskan kepada Al-Qur'an dan Al-Sunnah
Rasulullah.
[1] Labib Mz dan Maftuhanan, Kuliah Ma'rifat, (Bintang
Pelajar: t.t), hal.5.
[2]
Departemen Agama RI, AL-Qur'an Terjemahannya, (Semarang: CV, Toha Putra,
1989), hal. 862.
1989), hal. 862.
[3] Zakiah Adnan, Wasiat Imam Al-Ghazali Minjahi
QulAbidin, (Jakarta: Darul Ulum
Press, 1993), hal. 15.
Press, 1993), hal. 15.
[4] Depdikbud, (
Departemen dan Kebudayaan ) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet
III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 2.
[6] James
Drewer, Kamus Psikologi, Jakarta;
PT. Bina Aksara 1986), hat. 71.
[7] Depdikbud,
(DepartemenDan Kebudayaan), Kamus
Besar Bahasa Indonesia ..., hal.549.
[8] Al-Ghazali,
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad,
Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Salikin, Majmu’at Rasail al-Imam Al-Ghazali, Darul
al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, 1986 hal.
36
[9] Zakiah
Adnati, Kitab Wasiat Imam Al-Ghazali..., hal.5
[10] Syekh
Abd al-Karim ibn Ibrahim al-Jaeliy, Insān al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa
al-Awā’il , jilid II (Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa
Alādih, 1375 H), hal.25
[11] Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of
Wisdom), New York, 1980. Hal.21
[12] Daudy,
Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, cetakan III,(Jakarta, PT Bulan
Bintang,1992) hal11.
[13] Departemen
Agama RI, AL-Qur'an Terjemahannya, (Semarang: CV, Toha Putra,
1989), hal.25
1989), hal.25
[14] Tim
Penulis M.Yacob Harun, et.al, Pedoman
Penulisan Karya Tulis Ilmiah Skripsi,Thesis, Disertasi (Tarbiyah IAIN Ar-Raniry BandaAceh, 2008),
hal.l
[15] Ashari,
Risalah Al-Muawwanah, [http: //www.hidayatullah.com], diakses 3
maret 2011
[16]
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Cet.I, (Penerbit
Amzah, Wonosobo 2005), hal.6
[17] Abudin
Nata, Ilmu Kalam, Falsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press,
1993), hal.98.
[18] Departemen
Agama RI, AL-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung: CV.Diponegoro,
2005), hal.54
2005), hal.54
[19]
Musthafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya:
bina ilmu offset,1995), hal.227.
[20] Dr.M.
Solihin, M.Ag. Tasawuf Tematik, (Bandung:CV Pustaka setia, 2003),
Hal.37.
[21]
Musthafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf…, hal. 228.
[22] Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, jilid I. (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra,2001), hal. 104
[23] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hal.75.
[24] Abi
Nashir As-Siraj Ath-Thusi, Al-luma’, di tahqiq oleh: Abdul Halim
Mahmud dan Thaha Abd Baqi surur, dar Al-Kutub Al-Haditsah dan Matbabah
Al-Mutsanna Baghdad-Mesir,1960, hal.278.
[25]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, hal. 372
[26] Labib
MZ dan Maftuhanan, Kuliah Ma’rifat…, hal. 5.
[27] Departemen
Agama RI, AL-Qur'an Terjemahannya, (Surabaya: CV, Aisyiah,
1989), hal. 404.
1989), hal. 404.
[28]
Al-imam an-Nawawi, Arba’in An-Nawawiyah, (Surakarta:Ziyad Visi Media,
2008), hal.36.
[29]
Ahmad asy-Syarbashi, Yas’alunaka fi ad-Din wa al-Hayah, (Jakarta:kalam
publika,2009), hal.1303.
[30] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), hal.78
[31] Abd
Kadir Mahmud, Al-Falsafah Ash-Shufiyah fi Al-Islam, Kairo: Dar
Al-Fikri, 1966, hal. 307.
[32] M. Faiz
Al-Math, Puncak Ruhani Kaum Sufi…, hal. 17.
[33]
Siregar,A Rivay, Tasawuf dari Sufisme klasik ke Neo-Sufisme.
(Jakarta:raja grafindo persada.2002), hal. 20.
[34]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Surabaya:cv.”Aisyiah”)…, hal.1040.
[35] 'Arifin, Shohibulwafa, K.H.A. "Miftahus Shudur".
Diterjemahkan oleh Prof. K.H. Aboebakar Atjeh menjadi "Kunci Pembuka
Dada". Jilid 1 dan 2. (Tasikmalaya, Jawa barat: Yayasan Serba Bakhti
Suryalaya 1975), hal.12.
[36]. Departemen
Agama RI, AL-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung: CV.Diponegoro,
2005), hal.508.
2005), hal.508.
[37] Departemen
Agama RI, AL-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung: CV.Diponegoro,
2005), hal. 25.
2005), hal. 25.
[38] Departemen
Agama RI, AL-Qur'an dan Terjemahannya, (Bandung: CV.Diponegoro,
2005), hal. 26.
2005), hal. 26.
[39] Sayyid
Qutbh, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Dibawah Naungan Al-Qur’an) Jilid 1,
Jakarta:Gema Insani Press, 2000, hal. 90.
[40]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Surabaya:cv.”Aisyiah”)…, juz.9 hal.237
[41]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra) hal.222.
[42] Dr. M.
Solihin, M.Ag, Tasawuf Tematik, (Bandung:Cv Pustaka Setia, 2003), Hal.
28.
[43]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.
karya toha Putra) hal.417.
[44] Abu
al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, diterjemahkan
menjadi Sufi dari Zaman ke Zaman, (Pustaka Bandung, 1974), hal. 155.
[45] ‘Abdul
Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, (Jakarta:Penerbit Akbar
Media,2008), hal.403.
[46]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra) hal.110
[47] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 4. (lentera hati), hal. 192.
[48] Ali
Yahya, Eksiklopedi Apa dan Mengapa dalam Islam, (Jakarta: kalam
publika,2009), hal. 1303.
[49]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.
karya toha Putra) hal.206.
[50] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, volume 4. (lentera hati), hal. 54.
[51]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.
Karya Toha Putra) hal.4.
[52] Imam
Ghazali, Melatih Jiwa Dengan Sifat Terpuji, (Surabaya: Bintang
Usaha Jaya, 2003). Hal. 71.
[53] Dr. M.
Solihin, M.Ag. Tasawuf Tematik, (Bandung:Cv Pustaka Setia, 2003).
Hal.51.
[54] Hussein
Bahreis, Ajaran-ajaran Akhlak Al-Ghazali, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981),
hal.104.
[55] Imam
Al-Ghazali, Rahasia Keajaiban Hati, (Surabaya: t.t), hal.1.
[56] Doktor
Usman Isa Syahin, Nadzriyyah al-Ma'rifat inda al-Ghazali, Tulisan
dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al-Ghazali , hal.366-367
[57] Syaikh
Dahlan al-Kediri, Siraj al-Thalibin ‘ala Syarh Minhaj al-’Abidin li al-Imam
al-Ghazali, (Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, t.t) hal. 88
[58] Ibid,
hal 38.
[59]
H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup
Imam AL-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 29.
[60] Ibid,
hal. 27.
[61] Ibid ,hal . 28.
[62] Ibid ,hal. 19.
[63]
M. Dawan Rahardjo, Konsep Manusia
Menurut Islam, (Jakarta: Grafi Pers, 1985), hal. 69.
[64] A. Hanafi MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1969), hal. 226.
[65] Imam Al- Ghazali, Ihya' 'Ulumuddin, Juz
1, (Semarang: t.t), hal. 125.
[66] Ibid ,hal. 161.
[67]
Imam Al-Ghazali, Bimbingan
Untuk Mencapai Tingkat Mu'min, Terjemahan, Moh Abdi Rathomy (Bandung: CV. Diponogoro, 1983),
hal. 72-73.
[68]
Departemen Agama RI,
Al-Qur'an dan Terjemahannya ..., hal. 312.
[69] H. Zainal Abidin Ahmad,
Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali..., hal.37.
[70] Ibid, hal. 78.
[71] Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran
Al-Ghazali Mengenai Pendidikan Ilmu, (Bandung. Diponogoro,1986), hal.
27.
[72] H. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam
I, ( Jakarta: Wacana Ilmu, 1997) hal. 161
[73] Ibid, hal, 162.
[74] Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1986), hal. 99.
[75] H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat
Hidup Imam Al-Ghazali…, hal. 57
[76] Ahmad
Badawi Thabanah, Muqaddimah al-Ghazali Wa Ihya’ ‘Ulum al-Din,
dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz, I. (Jakarta:Maktabah Daru Ihya’I al-kutub al-‘Arabiyyah,
tt.), hal. 22-23
[77]
Al-Ghazali, ihya’..., hal.26.
[78] Ali
Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, terj. (Bandung: Pustaka,
1987), hal. 68.
[79] Sadiq
Ibn Hasan al-qanuji, Abjad al-Ulum..., (Bairut, Dar
al-kutub al-‘ilmiyah, 1978, hal. 19.
[80] Abdul
Qadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, (Jakarta:Gema insani
Press, 1996), hal. 214-223.
[81] Sadiq
ibnu hasan, Abjad al-‘Ulum, Jilid II, (Bayrut, Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1978), hal. 19.
[82]
Al-Ghazali, Ihya’..., hal.25.
[83] Ali
Issa Othman, Manusia menurut Al-Ghazali, terj. (Bandung: Pustaka,
1987), hal.23-24.
[84] Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Hal.
23-24.
[85] M.Bahri
Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, suatu tinjauan psikologis
pedagogik, ( Yogyakarta: pedoman ilmu jaya, 1999), hal. 23-24.
[86] Yusuf
Al-Qardhawi, Tentang Kebenaran, Terj. Arif Muhammad, (Bandung:
Pustaka,1988), hal. 21
[87]
Al-Ghazali, Ihya’..., hal. 25-26.
[88] Fathiyyah
Hasan Suliman, Al-Madhab al-Tarbawi, (Kairo: Maktabah al-Nahdh 1964),
hal. 32.
[89] M.
Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, suatu tinjauan psikologis
pedagogik, ( Yogyakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), hal. 74.
[90] Abu
Bakar Aceh, 1994, Pengantar Ilmu Tarekat, Kajian Historis Tentang
Mistik, (Solo:Ramadhani, tt), hal. 405-409.
[91]
Al-Ghazali, Ihya’..., hal. 25
[92] Abu
Bakar Aceh, 1994, Pengantar Ilmu Tarekat, Kajian Historis Tentang Mistik,
(Solo:Ramadhani, tt), hal.409.
[93] Harun
Nasution, 1973. Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan
Bintang, tt), hal.62.
[94] Haderanie
H. N, Ilmu Ke- Tuhanan, Ma'rifat, Musyahadah, Mukhasyafah, dan
Mahabbah, CV. Amin, (Surabaya, t.t),
hal. 24.
[95] Departemen
Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya…, hal. 250.
[96] Al-
Ghazali, Rahasia Keajiban Hati..., hal. 1287.
[97] Ibid,
hal. 187.
[98] Harun
Nasution, 1973. Filsafat Dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan
Bintang, tt), hal.31.
[99]
Al-Ghazali, Ihya’…, hal. 52.
[100] Departemen
Agama Rl, Al-Qur-an danTerjemahannya..., hal. 862.
[101]
Sayid Sabiq, AqidatuI Islamiyah, Terj. Mohd. Abdai Rathony, Cet
X, (Bandung: CV. Diponogoro, 1991), hal. 31.
[102] Departemen
Agama Rl, Al-Qur-an danTerjemahannya..., hal. 332.
[103]
Syahminan Zaini, Isi Pokok Ajaran Al-Qur'an, Cet. I, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1986), hal. 12.
[104] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal.174.
[105]
Departemen Al-Qur'an dan Terjemahannya..., hal. 28.
[106] Sayid
Sabiq, Aqidatul Islamiyah..., hal. 32.
[107]
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal. 440.
[108] Ibid, hal. 252.
[109]
Al-Imam Zainuddin Ahmad, Ringkasan
Hadist Shahih Al-Bukhari, Cet I, (Jakarta: Pustakal 1996),
hal. 16.
[110]
Syahminan Zaini, Isi Pokok Ajaran
Al-Qur'an..., hal. 15.
[111]
Ibid, hal. 16
[112] Labib
MZ, dan Maftuhanan, Kuliah Ma'rifat…,hal. 9
[113] Ibid, hal. 10
[114] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya…, hal. 837.
[115] Ibid, hal.
10.
[116] Ibid., hal. 20.
[117]
Ibid., hal. 22.
[118]
Syahminan Zaini, Isi Pokok Ajaran Al-Qur'an..., hal. 15
[119]
Murthada Muthahari, Manusia dan Agama, Terj. Haidar Bagier, Cet.
VI, (Bandung: Mizan, 1992), hal. 64.
[120] Media
Zainul Bahri, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal
Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005, hal. 44.
[121] Syekh
Syihabuddin Umar Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, (terj. Edisi Indonesia
Oleh Ilma Nugraha ni Ismail), Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. 163
[122] Haidar
Bagir, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006, hal. 133.
[123] Syekh
Abdul Qadir al-Jailani, Rahasia Sufi Agung, penerj. Abdul Madjid, (Cet.
I; Diva press: Yogyakarta, 2008), hal. 362.
[124] Simuh,
Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Cet. II; Raja Grafindo
Persada: Jakarta), 1997, hal. 49.
[125] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya…,
hal.301.
[126] Media
Zainul Bahri, Menembus Tirai KesendirianNya: Mengurai Maqamat dan Ahwal
Dalam Tradisi Sufi, (Cet. I; Prenada Media: Jakarta), 2005, hal.90.
[127] Sa’id
Hawwa, Kajian Lengkap Penyucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs), Terj.(Jakarta
Pusat:Pena Pundi Aksara, 2007), hal 2.
[128] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal. 594.
[129] Ansory
al-Mansor, Cara Mendekatkan Diri Kepada Allah, (Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2001), hal. 1.
[130] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya…, hal. 218.
[131] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal. 517.
[132]Imam
Ghazali, Melatih Jiwa Dengan Sifat Terpuji, (Surabaya:Bintang
Usaha Jaya,2003), hal. 147.
[133] Syaikh
Muhammad Al-Ghazali, As-Sunnah An-Nabawiyyah: Baina Ahl Al-Fiqh Wa Ahl
Al-Hadist, Terj. Muhammad Al-Baqir (Cairo: Penerbit:Dar Asy-Syuruq,1989),
hal 14.
[134] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal 517.
[135] Yunahar
Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (LPPI, Yogyakarta, 2004) hal. 4.
[136] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya…, hal 98.
[137] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal 284.
[138] Moh
Zuhri, Ihya’ Ulumiddin, terj. (Semarang: CV. Asy Syifa’, Jilid I. 1990),
hal. 334.
[139]
Muchtar Adam dan Fadlullah Muh. Said, Ma'rifatullah , tt. hal 178-180
[140] Ibid….,
hal 132-133.
[141]
Zaini Muhtaram, Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukurn,
Filsafat, Theologi DanMistik Tradisi Islam, Jilid I, (Jakarta: lnis,
1988), hal. 63.
[142]
Ibid, hal. 8.
[143]
Hamka, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, Cet.VII, (Jakarta.
Yayasan Nurul Islam, 1976), hal. 125.
[144]
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Untuk Tasauf, ( Surabaya : Bina Ilmu,
t.t), hal. 171.
[145]
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 171.
[146]
Imam Al-Ghazali, Mutiara Ihya' 'Ulumiddin,
Terjemahan, Rus'an,
(Semarang: Wacaksano, 1964), hal. 55.
[147] Ibid…..
hal 56.
[148]
Hartati, M.Si., Dra. Netty dkk, Psikologi Dalam Tinjauan Tasawuf,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004).hal 2.
[149] Ali,
Drs. Yunasril, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1991) hal. 22.
[150]
H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali… ., hal. 174
[151]
Imam Al-Ghazali, Ihya' 'ulumiddin, Terjemahan Moh. Abdai Rathomy,
Juz, I, (Bandung, :CV. Diponogoro, 1983), hal. 333-337.
[152]
Ibid, hal. 328-329.
[153]
Ibid, hal. 277.
[154]
Muhammad Al-Ghazali, Khuluqul Muslim, ( Semarang, Wicaksono, 1985), hal.
10.
[155] Departemen Agama RI,
Al-Qur'an dan Terjemahannya..., hal. 267.
[156]
Ibid, hal. 11.
[157]
Ibid, hal .11.
[158]
Ibid, hal .12.
[159]
Ibid, hal .14.
[160] Shalih
bin Ghanim As-Sadlan, 1425 H. Risalah fi al-Fiqhi al-Muyassar, Wizarah Syu'un
Islam wa al-Auqaf wa ad-Da'wah wa al-Irsyad, Arab Saudi. Hal 4.
[161] Lihat, Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’
Ulumiddin, Maktabah Syamilah, jilid 2 hal. 417 dan seterusnya. Juga, jilid 3 hal. 19 dan seterusnya.
[162] Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, Ihya’
Ulumiddin…., hal. 19
[163] ‘Abdul
Rosyad Siddiq, Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin, terj. (Jakarta timur:Akbar,
2008), hal. 157.
[164] Ibid...,
hal. 157
[165] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal.587.
[166] Ibid…,
hal 158.
[167] http://id.shvoong.com/books/1834907- sejarah-pemikiran-ekonomi-islam. diakses 22 maret
2011.
[168]
Al-Naquib,
Al-Alatas, Konsep
Pendidikan Dalam Islam. (Bandung: Mizan.1990) hal.7.
[169]
Imam Al-Ghazali, Ihya'ulumuddin, Terjemahan, Amin , Nour Syeam,
Juz, 111, (Gresik: Bintang Pelajar, t.t), hal. 52.
[170]
Hamzah ya'kub, Etika Islam, (Bandung: CV.Diponogoro, 1988), hal.
95.
[171]
Ibid, hal. 98.
[172]
lbid, hal.125
[173]
TM Hasby Ash-Shiddiqy, Falsafah Hidup Islam, Cet I, (Jakarta,
Bulan Bintang, 1975), hal.165.
[174]
Zainal Abidin Ahmad, Memperkembangkan Dan Mempertahankan Pendidikan
Islam di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, (t.t), hal. 119.
[175]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: PT.
karya toha Putra) hal. 517.
[176]
Muhammad bin Ismail Al-Kahlany, Subulus Salam, Juz, IV,
(Singapur, Nusyura, 1965), hal. 211.
[177]
Imam Al-Ghazali, Ihya'ulumuddin, Terjemahan Tgk. H. Ismail Yakub
Jilid, III, Cet.V, (Jakarta Selatan: CV.Farzan, 1986), hal. 252.
[178]
Ibid, hal. 256.
[179]
Imam Al-Ghazali, Khuluku'l-Muslim, Penyunting, H Moh Rifa'i, (Semarang:
Wicaksano, 1980, hal. 384.
[180] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya..., hal 407.
[181] Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, (Kairo: Dar
al-Kuttab, 1981), hal. 1131.
[182] Al-Ghazali,
Ihya Ulum ad-Din..., hal 1138
[183] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan
Terjemahannya…, hal 376.
[184] Ali
Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah Serta
Harakah,( Gema Insani Press, Jakarta, 1996), hal. 27.
[185] Sayid
Sabiq, Aqidah Islam:pola Hidup manusia Beriman, Terjemahan Moh.
Abdai Rathomy,( Penerbit Diponegoro, Bandung, t.t.), hal.8
[186]
Fathiyah Hasan Sulaiman, Mahzahabut Tarbawy Indal Ghazali, Maktabah
Nahdhah Mesir, Cet. II, (Kairo: Maktabah Nadhah Mesir, 1964), hal. 5.
[187]
Ibid, hal.l5.
[188]
Ibid,hal.16.
[189]
H Nashruddin Thaha, Tokoh-tokoh pendidikan Di Jantan Jaya, ( Jakarta:
Mutiara 1969), hal. 5.
[190]
Imam AI-Ghazali, Ihya'ulumiddin, Juz, I, III dan
IV, ( Al-Mishriyah: Maktabah, t.t.) hal,25.
[191]
Ibid, hal.19.
[192] Muchtar
Adam dan Fadlullah Muh. Said, Ma'rifatullah. hal.24
[193] Hujair
dan Sanaky. Paradigma. hal. 33
[194] A.
Fatah Yasin, Metodologi, hal. 94
No comments:
Post a Comment