أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dalam kaitan dengan ma'rifat, ada dua term yang sering disebutkan oleh Al-Ghazali yaitu ma'rifat al-Dzat dan ma'rifat al-sifat. Pengertian ma'rifat al-dzat adalah pengetahuan bahwasanya Allah adalah dzat maujud, tunggal (فرد), esa (واحد), dan sesuatu yang agung yang tegak dengan dirinya serta tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Sedangkan ma'rifat al-sifat berarti pengetahuan bahwa Allah adalah dzat yang hidup (حي), maha mengetahui (عالم), maha berkuasa(قادر), maha mendengar(سامع), maha melihat (بصير) dan seterusnya dengan sifat-sifat yang lain.[30]
ABSTRAK
Menurut Al-Ghazali ma'rifat merupakan sumber dan
puncak kelezatan beribadah yang dilakukan seorang muslim. Lebih lanjut lagi ia
memberi pandangan yang luas tentang kebahagiaan dan kelezatan bagi manusia
setelah mencapai ma'rifatullah, yaitu dengan Mengenal dan mencintai Allah dengan
sepenuhnya. Selanjutnya Al-Ghazali menjelaskan bahwa cara dan jalan untuk
menuju kepada Allah SWT pertama mukhasyafah (pembuka hijab), kedua dengan wahyu
(dalil) dan ketiga akal pikiran. Jalan mukhasyafah bisa dicapai manusia setelah
terlebih dahulu membersihkan dan mensucikan hatinya dari segala noda dan dosa.
Karena hati manusia tempat bersarangnya segala kebaikan dan keyakinan kepada
Allah SWT dan hasil yang diperoleh lewat jalan ini adalah ma'rifat yang hakiki.
Dengan demikian manusia akan memperoleh kesenangan yang luar biasa dari yang
lainnya. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui "Nilai-nilai Pendidikan
Dalam Konsep Ma'rifatullah Menurut Al-Ghazali". Untuk itu metode yang
digunakan dalam pengumpulan data-data adalah metode penelitian (Library
Reseach), yaitu dengan cara menelaah buku-buku atau kitab yang berkaitan dengan
pembahasan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui ilmu ma'rifat ini
manusia akan memperoleh kebahagiaan, keselamatan, ketenangan dan ketentraman
jiwanya baik di dunia ini maupun di akhirat kelak, dan kebahagiaan jiwa yang
seperti ini tidak dapat diperoleh dengan cara-cara lain menurut Al-Ghazali.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ma'rifat adalah suatu ilmu atau pengetahuan untuk
mengenal dan mengetahui Sang Pencipta alam ini, yaitu Allah Swt, Juga
memahami rahasia-rahasia-Nya, peraturan-peraturan-Nya dan kerajaan-Nya. Dan
pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang tertinggi kedudukan derajatnya, dan
disamping sangat mulia dari segala pengetahuan yang ada di dunia fana ini,
karena segala kehidupan jasmaniah dan rohaniah manusia ditegakkan di atasnya. Dengan kata lain, orang
ma’rifatullah adalah orang yang paling dekat jiwanya dengan Allah.
“Mengenal Allah Swt merupakan dasar utama dalam
agama Islam, sebab dengan mengenal dan mengetahui-Nya secara benar, manusia
akan melaksanakan semua kewajibannya
sebagai makhluk yang diciptakan oleh-Nya, Melalui berma'rifatullah otomatis akan timbul ma'rifat terhadap hasil
ciptaan-Nya, yakni kepada Rasul dan Nabi-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari kiamat, qadha dan qadar-Nya”.[1]
Al-Qur'an yang mulia sebagai dasar
utama untuk mengetahui dan mengenal Allah Swt, dengan ajaran-ajaran-Nya itu (Al-Qur'an)
telah mewajibkan kepada manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah Azza Wajalla
dengan cara yang benar. Adapun cara-cara yang ditunjuki dalam Al-Qur'an sebagai
pedoman atau jalan bagi manusia untuk dapat mengenal-Nya, ada dua cara
yaitu:
1.
Dengan menggunakan
akal pikiran, yaitu memeriksa secara teliti apa-apa yang telah diciptakan-Nya.
2.
Dengan mema'rifati nama-nama dan
sifat-sifat-Nya dengan pemahaman yang mendalam.
Jadi, “perintah untuk mengenal Allah
Swt itu adalah perintah lansung dari-Nya sendiri, oleh sebab itu manusia
sebagai ciptaan Allah Ta'ala wajib mengetahui hal itu, jika
diabaikan dan berpaling dari perintah tersebut, maka sangat merugi bagi manusia, karena
manusia tidak mengenal Allah secara benar yang pada akhirya manusia tidak
mengamalkan perintah-Nya. Tetapi apabila manusia dapat mengenal Allah secara
benar, maka manfaatnya sangatlah besar, yakni memperoleh kebahagiaan, keselamatan,
kenikmatan dan ketenangan jiwa raga yang tiada tara, baik di dunia maupun di akhirat nantinya”.[2]
Pengkajian dan pengembangan pemikiran ma'rifat
inilah yang sangat menarik perhatian Al-Ghazali untuk menjelaskan secara
mendetil.
“Menurut Al-Ghazali ma'rifat itu merupakan sumber
dan puncak kelezatan beribadah yang dilakukan oleh seorang manusia di dunia
ini. Lebih jauh lagi ia memberi pandangan yang luas tentang kebahagiaan
dan kelezatan bagi manusia untuk mencapai ma'rifatullah. Mengenal dan
mencintai Sang pencipta dengan sepenuhnya. Dengan demikian manusia akan memperoleh
kesenangan yang luar biasa
dari yang lainnya”.[3]
B.
Penjelasan
Istilah
Untuk menghindari kekeliruan dan kesalah pahaman
dalam memahami pembahasan skripsi ini, maka penulis merasa perlu untuk
menjelaskan beberapa istilah
berikut:
a. Nila-nilai
Pengertian nilai-nilai di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “Sifat-sifat
(hal-hal) yang penting atau berguna, Sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya, Konsep abstrak
mengenai masalah dasar yang sangat
penting dan bernilai dalam kehidupan manusia etika nilai yang berhubungan dengan akhlak, nilai yang
berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh suatu masyarakat”.[4]
b. Pendidikan
Menurut para
ahli pendidikan diartikan sebagai berikut:
1). S.A.
Branata dkk
Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik lansung maupun dengan cara tidak lansung untuk
membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan.
2). John Dewey
Pendidikan adalah “proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental
secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.[5]
Dari kedua penjelasan istilah di atas dapatlah penulis
pahami bahwa nilai pendidikan yang penulis maksud adalah suatu keadaan yang sangat positif
dan berguna
dalam pendidikan adalah membentuk pribadi manusia menjadi manusia yang berakhlakul karimah
kepada Sang Pencipta dan juga terhadap
makhluk ciptaan Allah SWT lainnya.
c. Konsep
“Konsep adalah pengetahuan yang diambilkan oleh manusia
dengan cara berpikir tentang kualitas hubungan benda-benda jelas. Jika di lihat dari
sudut Subjektif konsep
berarti suatu kegiatan akal untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari sudut Objektif konsep adalah sesuatu yang ditangkap oleh
kegiatan akal manusia yang timbul
dari pemahaman dan pengalaman yang komplek”.[6]
d. Ma'rifatullah
Ma'rifat artinya “pengetahuan, tingkat penyerahan
diri kepada Tuhan, yang naik setingkat demi setingkat sehingga akhirnya sampai
pada tingkat keyakinan yang
kuat dalam Tasauf”.[7]
Adapun arti Ma’rifatullah adalah “kondisi (hal) yang bermuara dari
upaya-upaya mujahadat dan menghapus sifat-sifat yang jelek, pemutusan semua
hubungan dengan makhluk, serta pengharapan inti/hakikat cita-cita kepada Allah
yang dilakukan oleh seseorang. Dalam kondisi ini, maka Allah kemudian hadir dan
mengisi hati orang tersebut dan kemudian Allah memenuhi hati orang tersebut
dengan rahmat, memancarkan Nur-Nya, melapangkan dada, membuka padanya rahasia
alam semesta, tersingkaplah dari hati orang tersebut kelengahan sebab
kelembutan rahmat-Nya, serta berkilauanlah disana hakikat masalah-masalah Ilahiyat”.[8]
Dari kedua penjelasan di atas penulis
dapat menyimpulkan bahwa konsep ma'rifatullah yaitu pengetahuan yang diambil
oleh manusia dengan cara berpikir yang timbul dari pengetahuan, pemahaman dan tingkat
penyerahan diri kepada Allah yang naik setingkat demi setingkat sehingga
akhirnya sampai kepada
tingkat keyakinan yang kuat yaitu ma'rifatullah.
e. Ma'
rifatullah Menurut Al-Ghazali
Zakiah Adnati mengemukakan pendapat Imam Al-Ghazali
menjelaskan; “Ma'rifat adalah mengenal, yaitu mengenal akan Allah Swt
sebagai sumber puncak kelezatan beribadah yang dikerjakan oleh manusia di
dunia ini. Al-Ghazali memberi pandangan yang luas tentang kebahagiaan
yang berkesudahan dengan memberi rasa lezat kepada marmsia yang berma'rifatullah,
mengenal dan mencintai Sang Khalik dengan sepenuhnya bahkan dapat
menimbulkan kesenangan yang luar biasa dari lainnya”.[9]
C.
Dasar-Dasar
Pemikiran
Adapun dasar-dasar pemikiran ini, Seiring
dengan semakin jauh berlalunya masa, Syariat Islam juga nampaknya semakin
tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah keimanan
manusia untuk mengenal Allah dengan sesungguhnya. Padahal mengenal Allah SWT merupakan dasar utama dalam
agama Islam, sebab dengan mengenal dan mengetahui-Nya secara benar, manusia
akan melaksanakan kewajibannya sebagai makhluk yang diciptakan oleh
Allah, melalui berma'rifatullah timbul
ma'rifat hasil ciptaan-Nya, yakni kepada Rasul dan Nabi-Nya, Malaikat-Malaikat-Nya, hari kiamat, Qadha
dan Qadar-Nya. mewajibkan manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah Azza
Wajalla dengan benar.
Kita yang telah mengenal dan
mengetahui keberadaan Allah sudah sepatutnya apabila kita senantiasa
mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan
Keridhaan-Nya. Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada Allah
adalah, bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata.
Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya selalu diterima dengan baik.
Apabila ia diberi kenikmatan ia bersyukur, sedang apabila ia mendapatkan
musibah ia terima dengan sabar. Selain itu orang yang berma’rifat kepada Allah
tidak pernah menyombongkan diri. Sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya,
manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas pertolongan dan izin-Nya.
“Namun sampai pada tataran "hakikat"
dan "ma 'rifat dan nilai seperti itulah yang ingin dicapai dalam nilai-nilai
pendidikan dalam konsep Ma’rifatullah menurut Al-Ghazali menjadi suatu tuntutan
dan kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:
1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan
dengan Allah),Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia), dan
Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam).
2. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang
akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan
menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah
membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya
sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). QS.47:12
3. Ma’rifatullah adalah asas (landasan)
perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang
mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan
panjang antara bersyukur dan bersabar.
4. Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk
mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri
kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat
mengenal dan dekat dengan Allah.
5. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali
kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.
6. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui
perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada
kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akhirat”.[10]
D. Tujuan
Pembahasan
Adapun yang menjadi tujuan pembahasannya
adalah untuk : Mengetahui
nilai-nilai pendidikan yang terdapat
dalam konsep ma'rifatullah yang dikemukakan oleh Al-Ghazali.
Pemenuhan kepentingan lahiriah atau jasmaniah yang melebihi kebutuhan yang
seharusnya melahirkan apa yang disebut “Hubbudunya” yaitu cinta dunia yang
berlebih-lebihan yang dampaknya sangat menghawatirkan. Hal inilah yang kiranya
mendorong penulis untuk menyusun suatu skripsi tentang nilai-nilai pendidikan
dalam konsep ma’rifatullah menurut Al-Ghazali yang berisi membangun kembali
fitrah manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang berkewajiban beribadah
kepadanya. Sebagai mahluk ciptaan Tuhan sudah seharusnya mengembalikan hubungan
dengan Allah pada jalur semestinya. Jalan yang dimana kita konsisten pada arah
jalur ini akan tercipta kebahagian dunia dan akhirat. Konsep inilah yang mengisyaratkan pentingnya
kita sebagai mahluk mengenal diri kita sendiri lebih dahulu.
“Sebagaimana dalam
suatu keterangan disebutkan ungkapan dari Yahya bin Muadz Ar-Razy (Orang yang
suka memuji lagi bersyukur, menerima apa adanya lagi penyabar, seorang sufi dan
juru nasihat lagi banyak berdzikir, seorang yang zuhud lagi Arif). Mengenal
diri adalah cara sufi dalam mengenal TuhanNya.
Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang
mengungkapkan dengan kaedah :
مَن عَرَفَ نَفسَه فَقَد عَرَفَ رَبه
“ Siapa yang telah
mengenal dirinya maka ia telah mengenal Tuhan-Nya.”[11]
Jadi pengenalan diri
adalah pintu yang harus dimasuki dalam rangka berkenalan dengan Allah. Konsep
inilah yang mengisyaratkan pentingnya kita sebagai makhluk mengenal diri kita,
bagaimana kedudukan kita di dunia mau dibawa kemana arah tujuan kita dan
akhirnya sampailah kita pada kesadaran diri ingin mengenal pencipta diri kita.
Mengetahui dengan
sesungguhnya Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar
dan Maha Melihat dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dari mengetahui
tentang Zat dan Sifat Allah, maka selanjutnya Al-Ghazalipun memberi kesimpulan
bahwa : “Ma’rifat adalah mengetahui akan rahasia-rahasia Allah, dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada “ lebih lanjut
ditegaskannya bahwa : “Ma’rifat itu adalah memandang kepada wajah Allah
SWT”. [12]
Untuk
mengetahui bahwa sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaniah dan
taqarub kepada Allah. Karena itu Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan
badan lahir saja (At-Thaharah) tetapi juga kebersihan rohani. Dalam
penjelasannya yang panjang lebar tentang Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, dapat
disimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan
pangkal dari segala jalan pembersihan rohani. Menurut Al-Ghazali Ukhrawi
merupakan tujuan kebahagiaan manusia, kebahagiaan yang lebih tinggi ialah
ma’rifatullah mengenal Allah dengan dekat dan rasa cintanya kepada Allah.
Sebagaimana Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah Ayat 165:
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ä‹Ï‚Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#y‰Rr& öNåktXq™6Ïtä† Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ‹©9$#ur (#þqãZtB#uä ‘‰x©r& ${6ãm °! 3..................,
( البقرة( ÇÊÏÎÈ:
Artinya:
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah”... (QS.Al-Baqarah:165).[13]
Selanjutnya
tujuan pembahasan ini penulis lakukan ingin mengetahui sejauh mana nilai-nilai
pendidikan dalam konsep ma’rifatullah menurut Al-Ghazali itu sendiri dalam
menciptakan manusia yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Al-Hadist.
Hal yang
demikianlah sangat menarik perhatian penulis untuk membahas lebih jauh dan
merangkumkannya dalam sebuah skripsi dengan judul : Nilai-Nilai Pendidikan
Dalam Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghazali.
Lewat
penulisan skripsi ini penulis inginkan para muslim dapat timbulnya kesadaran terhadap
eksistensi yang hakiki dalam hidup di dunia ini.
E. Metode Pembahasan
Adapun metode yang digunakan dalam pembahasan
skripsi ini adalah “metode deskriptif analisis berdasarkan Library Reseach, yaitu pengumpulan data dan ulasan-ulasan dari
kepustakaan berupa kitab-kitab, buku-buku agama, naskah-naskah, majalah-majalah yang bersumber dari khazanah kepustakaan,
yang didahului dengan cara menelaah dan menganalisa dengan mendetail tentang
ma’rifatullah. Pembahasan massalah ini perlu di dukung dan diperkuat oleh
Ayat-Ayat Al-Qur’an dan selanjutnya mengadakan analisis dan menjabarkannya
lebih lanjut terhadap data yang terkumpul dari Sunnah Rasulullah Saw.
Karena sumber utama untuk ma’rifatullah adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, baru
kemudian dikembangkan oleh pendapat para Sahabat Nabi Saw, para Ulama dan
cendikiawan muslim dari berbagai daerah dibumi ini”.[14]
Pembahasan tentang Nilai-Nilai
Pendidikan Dalam Konsep Ma’rifatullah Menurut Al-Ghazali lebih lanjut akan
dikaitkan dengan berbagai kitab Al-Ghazali itu sendiri, karena titik tolak
pembahasannya adalah berfokus pada kajian imam Al-Ghazali. Selanjutnya dengan
cara mengambil inti sari dari kajian buku-buku Al-Ghazali untuk nilai-nilai
pendidikan agama.
Akhirnya dalam pembahasan dan
penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku Panduan Menulis Skripsi Bagi
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, yang diterbikan oleh Fakultas Tarbiyah IAIN
Ar-Raniry Tahun 2008.
BAB II
MA’RIFATULLAH DALAM ISLAM
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup
berbagai jawaban atas segala kebutuhan manusia. Selain menghadapi kebersihan
lahiriyah juga menghendaki kebersihan batiniyah. Lantaran itu penelitian yang
sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya.
Ma’rifatullah merupakan bidang studi
Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang
selanjutanya dapat menimbulkan akhlak mulia. Dari suasana demikian itu, ma’rifat
diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk
seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan,
penindasan, dan sebagainya. Untuk mengatasi masalah ini dibina secara intensif
tentang cara-cara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Allah dalam
dirinya. Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan.
Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak
kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagaimana telah berkata Saidina Ali, “tidak ada ibadah
seperti tafakur / yang melebihi tafakur dalam hal kebaikannya”.[15]
Dan tempat berlalunya tafakur itu banyak
sekali, diantaranya yang paling utama adalah tafakur tentang
keajaiban-keajaiban ciptaan Allah pada alam semesta, dan jejak atau bekas dari taqdir
Allah baik yang dhahir maupun bathin, dan apa yang terjadi pada langit dan
bumi, dan yang demikian ini akn menambah ma’rifat akan Dzat Allah dan sifat-Nya
dan Asma-Nya.
Sedemikian tinggi nilai ma'rifat di
mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya ibadah, yang jika
dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu
dan ma'rifat maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut. Semakin tinggi
derajat ma'rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun
perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh. ketakwaan tidak mungkin didapati
kecuali dengan ilmu dan ma'rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang
dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ma’rifatullahnya.
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang
memiliki berbagai potensi, adalah untuk berma'rifat kepada Allah yang merupakan
tujuan utama penciptaan.[16]
Sehubungan dengan ma'rifatullah dalam
pandangan Islam, “Setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah Swt dengan
berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, Dalam konteks ibadah sehari-hari, kita
selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya.
Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan
sifat-sifat-Nya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi
sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan),
niscaya ia semakin dekat dengan ma'syuq-Nya (kekasih). begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain
diperlukannya ma'rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa
Al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya
Rasul”.[17]
Mengenal Allah Swt adalah kewajiban
bagi setiap manusia, demikian disebutkan oleh Al-Quran dan Al-Sunnah, karena
dengan mengenal Tuhannya manusia akan mengenal dirinya. Juga sebaliknya manusia
yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya dipermukaan bumi fana ini, begitu
ajaran Islam. Dasar utama manusia tersebut untuk mengetahui dan mengenal Allah
Swt dengan sempurna adalah dengan Al-Qur’anul Karim dan Al-Hadist Rasulullah
Saw, Nabi akhir zaman. Hal ini dalam Firman Allah Swt surat Ali Imran:31
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘
(ال
عمران: ÇÌÊÈ )
Artinya: Katakanlah (Muhammad):
"Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS. Ali Imran:31).[18]
Dari penjelasan ayat di atas manusia
dapat memahami bahwa Allah Ta’ala hanya memberikan kebaikan kepada orang-orang
yang mengenal-Nya dan mencintai-Nya saja, yakni yang beriman dan bertakwa serta
beramal shaleh.
A. Pengertian
Ma’rifatullah
Ma’rifat
dari segi bahasa berasal dari kata “عرف,- يعرف عرفاـ معرفة-, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula
berarti pengetahuan rahasia hakikat Agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi
daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya.
Menurut
Musthafa Zahri, ma’rifat adalah mengetahui Allah dari dekat sehingga hati
sanubari melihat Allah.[19]
Dalam
kitab Ar-Risalah, seperti diikuti oleh Musthafa Zahri, Al-Qusyairi (Nama
lengkap Al-Qusyairi adalah Abu Al-Qaim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik
bin Talha bin Muhammad Al-Qusyairi. Beliau dilahirkan pada tahun 376 H/986 M di
Ustu, kawasan nishabur. Al-Qusyari adalah tokoh sufi utama dari abad kelima
Hijriah. Dalam dunia tasawuf, kedudukannya demikian penting).[20]. Beliau
mengatakan:
المَعرِفَةُ
هي الغِيبَةً عَنِ الغَيرِيَةٌ بِشُهُودِ الأَحَدِيَة.
Artinya:
“Ma’rifat itu ialah lenyap dari segala yang lain, ketika tampaknya Yang Maha
Esa”.[21]
Ma’rifat
ialah; “mengenal Allah Tuhan seru sekalian Alam”. Jalan untuk mengenal Allah
adalah dengan memperhatikan segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis
kejadian dalam alam ini. Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah semuanya
menunjukkan akan “adanya Allah”. Untuk mema’rifati Allah, maka Dia telah
menganugerahkan akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting
untuk mema’rifati Allah, Dzat yang Maha Suci, Dzat yang tiada bersekutu dan
tiada yang serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman.
Makrifat itulah yang menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu’
dan khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan
sebagai pangkal kewajiban permulaan Agama, yakni mengenal Allah dengan
keyakinan yang teguh”.[22]
Ma’rifat berarti mengetahui Allah
dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat-Nya. Beberapa sufi menjelaskan
ma’rifat sebagai berikut:
1.
Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka,
kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanyalah Allah.
2.
Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat cermin
itu, yang dilihatnya hanya Allah.
3.
Yang dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun terjaga
hanyalah Allah.
4.
Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang
melihat padanya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya, semua cahaya keindahan yang gilang gemilang.[23]
“Ulama sufi membagi ma’rifah menjadi
dua macam, pertama ma’rifat umum, yaitu mengenal Allah yang diwajibkan
kepada seluruh makhluk-Nya, lalu memuji dengan pujian yang sesuai dengan
keadaan masing-masing. Kedua, ma’rifat khusus, yaitu pengenalan yang
lahir dari musyahadah yang dengannya mengenal sifat, nama, dan perbuatan
Allah”. [24]
Ma’rifat
adalah mengenal, jadi ma’rifatullah adalah mengenal dan mengetahui akan Allah
Swt yang Maha segala-galanya, tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan
sebenar-benarnya (معرفة اليقين). Al-Qur’an menganjurkan dan menyuruh kita semua yang berakal
untuk mengenal Allah dengan sebaik-baiknya dan apabila manusia mengingkari
tentu saja akan berakibat buruk bagi manusia itu sendiri. Ma’rifat Allah Swt
salah satu syarat untuk memperoleh ketentraman. Allah Swt dengan tegas
mengatakan bahwa ketentraman itu hanya diperoleh oleh manusia yang selalu
mengingat Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah surat Ar-Ra’du Ayat 28:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ’ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.É‹Î/ «!$# 3 Ÿwr& Ìò2É‹Î/ «!$# ’ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# (الرعد:ÇËÑÈ )
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang
beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS.Ar-Ra’du:28)”.[25]
Dalam kuliah ma’rifatullah,
pengertian ma’rifatullah adalah “mengenal atau mengetahui akan Allah Swt dengan
cara memperhatikan segala hasil ciptaan-Nya, yakni mengenal segala potensi akal
pikiran dan kalbu (batin).Saluran pikiran manusia diarahkan kepada dirinya
sendiri dan kepada orang lain serta kepada alam sekitarnya, dan bahkan kepada
sang pencipta alam fana ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa ma’rifatullah
merupakan suatu ilmu atau pengetahuan tentang Allah Swt, tentang diri manusia
itu sendiri dan tentang alam sekitarnya (dunia) serta alam akhirat nanti. Ini
semua harus dimengerti dan dipelajari oleh manusia sebagai makhluk ciptaan
Allah Swt. Melalui ini pula semua insan akan menemukan segala yang dicarinya
didunia ini, yaitu kebenaran yang hakiki”.[26]
Ma’rifatullah yaitu sampainya seseorang mukmin kepada derajat
Ihsan, yakni derajat yang paling tinggi di dalam Ber-Tawajjuh (menghadap)
kepada Allah Swt, dan juga derajat yang di syaratkan oleh Al-Qur’an di dalam
surat Al-’Ankabut ayat 69:
z`ƒÏ%©!$#ur (#r߉yg»y_ $uZŠÏù öNåk¨]tƒÏ‰öks]s9 $uZn=ç7ß™
4
¨bÎ)ur ©!$# yìyJs9 tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
(الانكبوت:ÇÏÒÈ )
Artinya: “Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan kami. dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang
yang berbuat baik”.(QS. Al-‘Ankabut:69).[27]
Untuk mengenal ihsan yang merupakan
dasar bagi ajaran ma’rifat, di dalam hadist shahih, Rasulullah Saw telah
bersabda tatkala ditanya mengenai islam,iman, ihsan dan hari kiamat:
عَن عُمَرُ بن الخَطَّابِ قَالَ بَينَمَا نَحنُ جُلُوسٌ عِندَ
رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَومٍ إِذ طَلَعَ عَلَينَا
رَجُلٌ شَدِيدٌ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَعرِ لَا يُرَى عَلَيهِ
أَثَرِ السَّفَرِ وَ لَا يَعرِفهُ مِنَا أَحَدٌ حَتَى جَلَسَ إِلَى النَّبَي
صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ فَأَسنَدَ رُكبَتَيهِ وَوَضَعَ كَفّيهِ عَلَى
فَخِذَيهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخبِرنِي عَنِ الإِسلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلّى اللهَ عَلَيهِ وَسَلَمَ الإِسلَامُ أن تَشهَدَ أن لاَ إله إلا َالله وأن محمَدَا
رَسولَ الله وَتقيم الصَلاةَ وتؤتي الَزَكَاةَ وَتَصومَ رَمَضَانَ وَتَحجَ البَيتَ
إن استطعتَ إليه سَبيلا قاَل صَدَقتَ قال فَعجبنَا لَه يَسأَله ويصَدقه قال
فأخبرني عن الإيمان قال أن تؤمنَ بالله ومَلائكَته وكتبه وَرسله واليوم الأخر
وتؤمن بالقدر خيره وشره قال صدَقت قال فأخبرني عن الإحسَان قال أَن تَعبدَ اللهَ
كَأنَك تَرَاه فإن لَم تَكن تَرَاه فإنه يراك قال فأخبرني عن الساعة قال ما
المسئول عنها بأعلم من السائل قال فأخبرني عن أمارتها قال أن تَلدَ الأَمَة
رَبّتَها وأن تَرَاى الحفَّاةَ العَرَاة العَالَةَ رعَاءَ الشَّاء يَتَطَاَولونَ
في البنيَان قال ثمَّ انطَلقَ فلبثتَ مليَا ثم قال لي يا عمر أتدري من السَائل
قلتَ الله وَرَسوله أَعلم قال فإنه جبريل أَتَاكم يعلّمكم دينَكم (رواه مسلم)
Artinya: “Dari Umar bin Khattab,
beliau berkata: “Pada suatu hari ketika kami duduk disamping Rasulullah,
tiba-tiba muncullah seorang lelaki berpakaian putih bersih dan rambutnya hitam
legam. Tidak terlihat bekas perjalanan jauh sedikitpun. Tidak seorangpun
diantara kami yang mengenalinya, lalu ia duduk dihadapan Rasulullah sambil menyandarkan
lututnya kepada lutut Rasulullah dan meletakkan kedua telapak tangannya diatas
paha Rasulullah seraya berkakta: “Wahai Muhammad, Beritahukah kepadaku tentang
Islam”. Rasulullah menjawab: “Islam
itu adalah engkau harus bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, Mendirikann Shalat, membayar
Zakat, berpuasa Ramadhan dan menunaikan Haji ke Baitul Haram jika kamu mampu”.
Lelaki itu berkata: “Engkau benar”. Kami terheran-heran ia bertanya dan
membenarkan. Lelaki itu bertanya kembali: “Beritahukan kepadaku tentang
Iman!”.Rasulullah menjawab: “Engkau percaya kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir dan Percaya
kepada takdir baik maupun buruk”. Lelaki itu berkata: “Engkau Benar”. Lalu
berkata: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan”. Rasulullah menjawab: “Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan meskipun engkau tidak bisa
melihat Allah sesungguhnya Allah melihatmu”. Lelaki itu berkata: “beritahukan
kepadaku tentang hari kiamat?”. Rasulullah menjawab: “Orang yang ditanya
tidaklah lebih tahu dari pada yang bertanya”. Lelaki itu berkata: “beritahukan
kepadaku tanda-tandanya”. Rasulullah menjawab: “hamba sahaya melahirkan anak
tuannya, engkau melihat orang tidak beralas kaki, telanjang, lagi fakir
berlomba-lomba meninggikan bangunan mereka”. Lalu lelaki itupun pergi dan aku
terdiam lama. Rasulullah pun bertanya kepadaku: “Tahukah kamu wahai Umar, siapa
orang yang bertanya tadi?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”.
Rasulullah berkata: “Dia adalah Malaikat Jibril yang datang kepadamu untuk
mengajarkan kepadamu Agamamu”.(HR. Muslim)[28]
Dengan demikian, Islam, yaitu tunduk dan menyerahkan diri
terhadap Agama melalui ucapan lahir dan mengerjakan ibadah-ibadah. Juga
terdapat iman, yaitu pembenaran dengan hati, keyakinan dengan akal, dan merasa
tenang dan yakin dengan apa yang diucapkan oleh lisan. Juga terdapat yang
disebut ihsan, yaitu tawajjuh (menghadap) kepada Allah secara total,
berhubungan dengan-Nya secara kontinu, senantiasa berpikir mengenai sifat-sifat
dan tanda-tanda kekuasaan-Nya, memperhatikan terus-menerus akan keagungan dan
kebesaran-Nya, dan senantiasa menyaksikan nur dan cahaya-Nya. Inilah yang
dimaksud dengan ungkapan bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah
melihatmu.
“Islam terwujud dengan ucapan dua kalimat syahadat dan
amalan-amalan lahir. Iman terwujud dalam bentuk keyakinan hati dan ketenangan
jiwa. Sementara ihsan terwujud di dalam yakin dan ikhlas. Derajat yang paling
tinggi adalah semata-mata berhubungan dengan Allah, dan berkawan dengan-Nya
dengan hati, akal dan seluruh anggota tubuh. Sehingga tidak ada lagi yang di
harapkan kecuali Allah. Dan tidak ada yang lebih di takutkan kecuali dosa”.[29]
B.
Keutamaan Ma’rifatullah
Ma'rifat adalah mengenal yang hak pada segala Asma dan sifat-Nya
dengan sebenar-benarnya. Ma'rifat adalah keistimewaan yang tertinggi yang ada
pada hati, karena seseorang yang sudah ma'rifat hubungan antaranya dan Allah
sudah sangat dekat dan harmonis hingga dirinya seolah-olah menyatu dengan
Allah, sifatnya adalah sifat Allah dan semua aktivitasnya adalah qudrat Allah.
Perjalanan
seseorang menuju ma'rifat berangkat dari keyakinan seseorang yang kemudian
melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan
naik/perkembangan positif dalam kondisi internalnya dalam bentuk maqam. Keyakinan
seseorang mengindikasikan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, surga dan
neraka. Setelah keyakinan ini, seseorang naik kepada maqam (kedudukan/tempat
berdiri) berikutnya yaitu khauf (takut) dan raja' (harapan).
Berikutnya tahap Shabr, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya
yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap uns
(suka cita). Tafakkur menghantarkan kepada sempurnanya ma'rifat.
Sempurnanya ma'rifat dan uns menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan
kerelaan sesorang atas segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan
pertolongan-Nya.
Dalam kaitan dengan ma'rifat, ada dua term yang sering disebutkan oleh Al-Ghazali yaitu ma'rifat al-Dzat dan ma'rifat al-sifat. Pengertian ma'rifat al-dzat adalah pengetahuan bahwasanya Allah adalah dzat maujud, tunggal (فرد), esa (واحد), dan sesuatu yang agung yang tegak dengan dirinya serta tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Sedangkan ma'rifat al-sifat berarti pengetahuan bahwa Allah adalah dzat yang hidup (حي), maha mengetahui (عالم), maha berkuasa(قادر), maha mendengar(سامع), maha melihat (بصير) dan seterusnya dengan sifat-sifat yang lain.[30]
Yang
tercakup dalam ma'rifat adalah empat hal yang pokok yaitu mengetahui diri (نفس),
mengetahui Tuhan (الرب), mengetahui dunia, dan mengetahui akhirat. Diri diketahui
dengan jalan beribadah, merendah (ضوء), dan menjadi faqir (إفتقار). Tuhan
diketahui dengan kemuliaan, keagungan, dan kekuasaa-Nya. Ia dapat diketahui
juga dengan keberadaan hamba sebagai seorang asing di dunia, keberadaannya sebagai
orang yang sedang melakukan perjalanan dari dunia ke akhirat, dan orang yang
menjauhi syahwat-syahwat kebinatangan (بهمية).
Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang
yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan
mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia
senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan,
dan seterusnya. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada
di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Sebagian ulama yang mengatakan : “Duduk di sisi orang
yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam
hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah
(lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong
menjadi tawadhu’ (rendah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”.[31]
Beberapa khazanah perbendaharaan Ma’rifatullah adalah
sebagai berikut:
1.
Pendekatan kita kepada Allah adalah pendekatan ilmu,
sebab mustahil terjadi suatu pendekatan kepada kebenaran Allah tanpa
ilmu.
2. Barang
siapa yang mengenal Allah, maka ia akan menangkap kebesaran kuasa Allah dalam segala
sesuatu. Jika ia yang selalu ingat (berzikir) kepada Allah, maka ia akan
melupakan yang lain kecuali Allah. Dan siapa saja yang mencintai Allah, maka ia
akan mencintai dan melaksanakan ajaran-Nya dan mencampakkan ajaran lain.
3.
Jika kita menginginkan pintu rahmat terbuka luas, resapilah dalam sanubari akan
nikmat yang dianugerahkan Allah kepadamu. Dan jika kita berharap agar hati kita
merasa takut akan siksa, renungilah kelalaian kita dalam mengabdi kepada - Nya.
4. Tanda-tanda
seseorang ‘aulia’ yang arif adalah senantiasa memelihara rahasia antara dia
dengan Allah, tangguh dalam menghadapi cobaan yang merintangi kehidupannya.
Lebih-lebih pada cobaan yang diciptakan manusia ia selalu membalasnya dengan
cara yang lebih bijaksana. Mengingat tingkat intelektual mereka (tiap orang)
tidak sama.
5. Barang
siapa menyadari, bahwa Allah senantiasa mengingin kan kita menjadi orang baik
dan Allah lebih memahami tentang hal-hal yang mengundang kemaslahatan, maka
artinya kita mampu mensyukuri nikmat Allah dan berhati tentram.
6.
Bila kita berkeinginan melacak sampai dimana derajat kita di sisi Allah, maka
renungilah perbuatan kita sendiri kegigihan kita dalam beribadah dan
sebagainya.
7. Ma’rifat
terbangun atas tiga fondasi; Takut kepada Allah, Malu kepada Allah dan cinta
kepada Allah.
8. Orang
arif adalah orang yang tidak pernah berhenti untuk berdzikir, tak enggan dalam
menunaikan ibadah dan senang berdialog dengan Allah. Sehingga tercetak dalam
lubuk hatinya sikap enggan bercengkrama dengan hal sia-sia yang tidak
dilatarbelakangi manfaat agama.
9. Alangkah
janggalnya jika seseorang yang telah menyaksikan ke Maha Kuasaan Allah, namun
dia mendurhakai-Nya. Kemanakah dia akan lari untuk mencari tempat perlindungan,
sedangkan ia menganggap bahwa Allah selalu mengawasi sepak terjangnya.
Bagaimana akan berlalai-lalai jika ia merasakan nikmat Allah selalu datang
silih berganti kepadanya.
10. Kearifan
laksana tanah yang bisa diinjak-injak oleh orang baik dan buruk. Ia bagaikan
awan yang mampu mengayomi segala sesuatu, dan bagaikan hujan yang akan jatuh
kepada teman maupun lawan.
11. Kearifan,
adalah bukanlah apa yang dapat dikeruhkan oleh segala sesuatu. Justru
sebaliknya segala sesuatu akan tampak jernih.
12. Ma’rifat
kepada Allah sebagai intensitas seseorang hingga menimbulkan rasa malu dalam
hatinya, rasa malu kepada Allah yang didasarkan pada rasa mengagungkan.
Sebagaimana tauhid merupaka pembangkit rasa puas (rela) terhadap takdir dan timbul
rasa berserah diri kepada Dzat Yang Maha Pengatur.
13. Ma’rifat,
bila telah mendarah daging, maka menjadikan kehidupan seseorang akan jernih
(tidak tertindih oleh kepedihan-kepedihan hidup) pencahariannya akan bersih
dari hal-hal atau unsur-unsur yang haram. Segala sesuatu akan segan kepadanya.
Rasa takut kepada sesama mahkluk akan lenyap dari hatinya dan akan cenderung
untuk menyibukkan diri dalam ibadah kepada Allah.
14. Orang
yang memandang sesuatu di dunia ini dari kaca mata ma’rifatnya, walau sesuatu
itu dipandang, namun yang tergambar dalam benaknya adalah kekuasaan Allah. Oleh
karena itu, mata boleh menangis lantaran melihat cobaan yang menimpa, namun
hatinya bersukacita lantaran dosa-dosa yang telah lampau terhapuskan.
15. Belum
merasa puas orang arif ketika ia meninggalkan dunia terhadap dua perkara, yaitu;
Meratapi terhadap kekurangan dalam beribadah dan Kurangnya banyak memuji
Tuhannya.[32]
Menurut Imam
Ghazali , “Utama Ma’rifatullah ialah keinginan untuk mengenal Dzat, Sifat Allah
dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi
Allah. Ma’rifat yang demikianlah yang wajib bagi setiap insan, sesuai dengan
ajaran Al-Quran dan Al-Sunnah serta sesuai dengan ijma’ ummat. Jadi untuk
mencapai ma’rifat itu tidak cukup dengan jalan melalui dalil-dalil atau bukan
semata didapat melalui akal atau banyaknya amalan akan tetapi ma’rifatullah
dapat dicapai dengan pertolongan Allah , disamping berusaha mendapatkanya
melalui amal shaleh”.[33]
C. Jalan Yang Dapat Menyampaikan Kepada
Ma’rifatullah
Orang berpikiran jernih akan menuju kepada kesucian
hati dan akan mudah menerima pancaran Nur Sir. Mata hatinya akan melihat kepada
hakikat bahwa Allah Swt Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi tidak
mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia ingin ditemui dan dikenali. Tidak
ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah Swt. Allah Swt
hanya dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada
hakikat bahwa “tidak ada jalan yang terhulur kepada gerbang makrifat”
merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Karena “pengertian” itu tidak
ada dalam Ilmu apapun. Ilmu tidak mampu menelurkan pengertian itu. Apabila
mengetahui dan mengakui bahwa “tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai
Allah Swt” maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa
lagi kepada ilmu dan amal orang lain. Bila sampai di sini seseorang itu tidak
ada pilihan lagi melainkan menyerah sepenuhnya kepada Allah Swt.
Ada orang
yang mengetuk pintu gerbang makrifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak
terbuka maka semangatnya akan menurun, hingga akhirnya membawa kepada berputus
asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah Swt bahwa Dia akan
membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia
beramal agar dia lebih layak untuk menerima kurniaan Allah Swt sebagaimana
janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalannya untuk mengetuk pintu gerbang
makrifat. Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia akan merasa
ragu-ragu.
Dalam
perjalanan mencari makrifat, seseorang tidak terlepas daripada kemungkinan
menjadi ragu-ragu, lemah semangat dan berputus asa. Hal itu menandakan
dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt. Hamba tidak ada pilihan
kecuali berserah kepada Allah Swt, hanya Dia yang memiliki kuasa Mutlak dalam
menentukan siapakah antara hamba-hamba-Nya yang layak mengenali diri-Nya. Ilmu
dan amal hanya digunakan untuk membentuk hati yang berserah diri kepada Allah
Swt. Menyerahkan diri atau Aslim kepada Allah Swt itulah yang dapat membawa
kehadapan pintu gerbang makrifat. Hanya para hamba yang sampai di perhentian
aslim ini yang berkemungkinan menerima kurniaan makrifat.
Allah Swt
menyampaikan hamba-Nya di sini adalah tanda bahwa si hamba tersebut
dipersiapkan untuk menemui-Nya. Aslim adalah maqam tertinggi untuk menghampiri
Allah Swt. Seseorang yang sampai kepada maqam ini haruslah terus membenamkan
dirinya ke dalam lautan penyerahan tanpa menghiraukan banyak atau sedikit ilmu
dan amal yang dimilikinya. Sekiranya Allah Swt kehendaki dari maqam inilah
hamba diangkat ke hadirat-Nya.
Jalan Aslim
menuju pintu gerbang makrifat pada umumnya terbagi kepada dua, yaitu:
1. Jalan orang yang mencari, dan
2. Jalan orang yang dicari.
a)
Orang yang mencari akan melalui jalan di
mana dia kuat melakukan mujahadah (perjuangan/usaha), Berjuang melawan godaan
hawa nafsu, kuat melakukan amal ibadat dan gemar menuntut ilmu. Lahirnya sibuk
melaksanakan tuntutan syariat dan batinnya memperteguhkan iman. Dipelajarinya
hakikat ma’rifat, mengenal sifat-sifat yang tercela dan berusaha mengikiskannya
daripada dirinya. Kemudian diisikan dengan sifat-sifat yang terpuji.
Dipelajarinya perjalanan nafsu dan melatihkan dirinya agar semakin lepas dari
nafsunya itu agar menjadi bertambah suci hingga meningkat ke tahap yang
diridhai Allah Swt. Inilah orang yang dimaksudkan Allah Swt dalam firman-Nya :
$yg•ƒr'¯»tƒ
ß`»|¡RM}$# y7¨RÎ) îyÏŠ%x.
4’n<Î) y7În/u‘
%[nô‰x.
ÏmŠÉ)»n=ßJsù (الانشقاق:ÇÏÈ)
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, Maka pasti kamu akan menemui-Nya”.(QS.Al-Insyiqaaq:6).[34]
Maksudnya
ayat di atas: manusia di dunia ini baik disadarinya atau tidak adalah dalam
perjalanan kepada Tuhannya. dan tidak dapat tidak dia akan menemui Tuhannya
untuk menerima pembalasan-Nya dari perbuatannya yang buruk maupun yang baik.
Orang yang
bermujahadah pada jalan Allah Swt dengan cara menuntut ilmu, mengamalkan ilmu
yang dituntut, memperbanyakkan ibadat, berzikir, menyucikan hati, maka Allah
Swt menunjukkan jalan dengan memberikan taufik dan hidayah sehingga terbuka
kepadanya suasana berserah diri kepada Allah Swt tanpa ragu-ragu dan ridha
dengan aturan/perlakuan Allah Swt. Dia akan dibawa kedekat pintu gerbang
makrifat dan hanya Allah Swt saja yang menentukan apakah orang tadi akan dibawa
ke hadirat-Nya ataupun tidak, dikurniakan makrifat ataupun tidak.
b)
Golongan orang yang dicari menempuh jalan
yang berbeda daripada golongan yang mencari. Orang yang dicari tidak cenderung
untuk menuntut ilmu atau beramal dengan tekun. Dia hidup selaku orang awam
tanpa kesungguhan bermujahadah. Tetapi, Allah Swt telah menentukan satu
kedudukan kerohanian kepadanya, maka takdir akan menyeretnya sampai ke kedudukan
yang telah ditentukan itu. Orang dalam golongan ini biasanya berhadapan dengan
sesuatu peristiwa yang dengan serta-merta membawa perubahan kepada hidupnya.
Perubahan sikap dan kelakuan berlaku secara mendadak. Kejadian yang menimpanya
selalu berbentuk ujian yang memutuskan hubungannya dengan sesuatu yang menjadi
penghalang antaranya dengan Allah Swt. Misalnya “dia seorang raja yang beban
kerajaannya menyebabkan dia tidak mampu mendekati Allah swt, maka Allah Swt
mencabut kerajaan itu daripadanya. Terlepaslah dia daripada beban tersebut dan
saat itu juga timbul satu keinsafan di dalam hatinya, yang membuatnya
menyerahkan diri kepada Allah Swt dengan sepenuh hatinya. Sekiranya dia seorang
hartawan takdir akan memutuskan hartanya sehingga dia tidak ada tempat bergantung
kecuali kepada Allah sendiri. Sekiranya dia berkedudukan tinggi, takdir
mencabut kedudukan tersebut dan ikut tercabut kemuliaan yang dimilikinya dan
digantikan pula dengan kehinaan sehingga dia tidak ada tempat untuk dituju lagi
kecuali kepada Allah Swt”.
Orang dalam
golongan ke dua ini dihalang oleh takdir daripada menerima bantuan daripada
makhluk. Sehingga mereka berputus asa terhadap makhluk. Lalu mereka
kembali dengan penuh kerendahan hati kepada Allah Swt dan timbullah dalam
hatinya suasana penyerahan atau aslim yang benar-benar terhadap Allah Swt.
Penyerahan yang tidak mengharapkan apa-apa daripada makhluk menjadikan mereka
ridha dengan apa saja takdir dan perlakuan Allah Swt. Suasana begini membuat
mereka sampai dengan cepat ke perhentian pintu gerbang makrifat walaupun ilmu
dan amal mereka masih sedikit. Orang yang berjalan dengan kendaraan bala
bencana dan tetap dalam istiqamah (Ridha dalam perlakuan Allah Swt) akan lebih
cepat sampai ke pintu gerbang kema’rifatan”.[35]
D. Hikmah Ma’rifatullah
Ada riwayat
yang menyatakan bahwa masalah pertama yang mesti dilaksanakan dalam agama
adalah mengenal Allah (اول الدين معرفةالله). Pertama-tama tentang Agama adalah
mengenal agama Allah, maka kita akan mengenali Allah sendiri. Siapakah kita, di
manakah kedudukan kita dibandingkan makhluk-makhluk yang lain, Apakah sama misi
hidup kita dengan binatang-binatang yang ada di bumi ini, Apakah tanggung jawab
kita dan ke manakah kesudahan hidup kita, Semua persoalan itu akan terjawab
secara tepat setelah kita mengenali betul Allah sebagai Rabb dan Ilah, Yang
Mencipta, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Firman Allah
Swt dalam surat Muhammad ayat 19 yaitu:
óOn=÷æ$$sù ¼çm¯Rr& Iw tm»s9Î) žwÎ) ª!$# öÏÿøótGó™$#ur šÎ7/Rs%Î! tûüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ öNä3t7¯=s)tGãB /ä31uq÷WtBur(
محمد: ÇÊÒÈ )
Artinya:
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah yang patut disembah kecuali
Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu”.(QS.Muhammad:19).[36]
Ma’rifatullah
yang sahih dan tepat itu mestilah bersandarkan dalil-dalil dan bukti-bukti kuat
yang telah siap disediakan oleh Allah untuk manusia dalam berbagai bentuk agar
manusia berpikir dan membuat penilaian. Oleh karena itu banyak fenomena alam
yang dibahas oleh Al-Qur‘an dan diakhiri dengan kalimat pertanyaan: tidakkah
kamu berpikir, tidakkah kamu mendengar. Pertanyaan-pertanyaan itu mendudukkan
kita pada satu pandangan yang konkrit betapa semua fenomena alam adalah di
bawah milik dan aturan Allah Swt. Mengamati fenomena yang ada di langit dan di
bumi merupakan cara yang tepat untuk mengenal eksistensi Allah. Sebagaimana
kita juga diarahkan untuk memikirkan penciptaan alam semesta, dan memikirkan
seluruh keteraturan yang hadir ke dunia ini sebagai suatu jalan untuk memahami
tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah Swt. Allah Swt berfirman:
¨bÎ) ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í‘$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# “ÌøgrB ’Îû Ìóst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAt“Rr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚö‘F{$# y‰÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̤‚|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ( البقرة: ÇÊÏÍÈ )
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu
dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di
bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan”.(QS.Al-Baqarah : 164).[37]
Dan juga
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 170-171:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAt“Rr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZø‹xÿø9r& Ïmø‹n=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«ø‹x© Ÿwur tbr߉tGôgtƒ ÇÊÐÉÈ ã@sVtBur tûïÏ%©!$# (#rãxÿŸ2 È@sVyJx. “Ï%©!$# ß,Ïè÷Ztƒ $oÿÏ3 Ÿw ßìyJó¡tƒ žwÎ) [ä!$tãߊ [ä!#y‰ÏRur 4 BL༠íNõ3ç/ Ò‘ôJãã óOßgsù Ÿw tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÐÊÈ (
البقرة( 170-171:
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah
diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya
mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami".
"(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". Dan
perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti
penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan
seruan saja. mereka tuli, bisu dan buta, Maka (oleh sebab itu) mereka tidak
mengerti”.(QS. Al-Baqarah:170-171).[38]
Kemudian
kita juga dituntut untuk berpikir, memaksimalkan potensi akal supaya dapat
berkarya serta melakukan berbagai macam pemanfaatan terhadap sumber daya yang
ada di bumi untuk kebaikan hidup manusia. Oleh sebab itu, berpikir bagi seorang
muslim juga merupakan suatu proses yang harus dijalani untuk dapat memahami
syariat islam yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Hadist).[39]
Adapun
hikmah Ma’rifatullah adalah: dapat menghasilkan peningkatan iman dan taqwa.
Apabila kita betul-betul mengenal Allah mentadaburi dalil-dalil yang dalam,
hubungan kita dengan Allah menjadi lebih akrab. Apabila kita dekat dengan
Allah, Allah lebih dekat lagi kepada kita. Setiap ayat Allah baik ayat qauliyah
maupun kauniyah tetap akan menjadi bahan berpikir kepada kita dan penambah
keimanan serta ketakwaan. Dari sini akan menghasilkan pribadi muslim yang
merdeka, tenang, penuh keberkatan, dan kehidupan yang baik. Tentunya tempat
abadi baginya adalah surga yang telah dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba
yang telah diridhaiNya.
Sebagaimana
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf ayat 96 yang berbunyi:
öqs9ur ¨br& Ÿ@÷dr& #“tà)ø9$# (#qãZtB#uä (#öqs)¨?$#ur $uZóstGxÿs9 NÍköŽn=tã ;M»x.tt/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur `Å3»s9ur (#qç/¤‹x. Mßg»tRõ‹s{r'sù $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 bqç7Å¡õ3tƒ(
الاعراف: ÇÒÏÈ)
Artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya”.(QS.Al-A’raf:96).[40]
Dan juga
dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat: 97. Allah Berfirman:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍ‹ósãZn=sù Zo4qu‹ym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌ“ôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ( النحل:ÇÒÐÈ )
Artinya:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang
baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”.(QS.An-Nahl:97).[41]
Allah
Swt tidak menampilkan wujud Dzat-Nya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluk-Nya
secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka,
segala sesuatu yang tampak dan dapat di lihat dengan mata kepala kita, pasti
itu bukan Tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi Saw.
supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir
tentang Dzat Allah. Dalam sebuah hadist disebutkan, Rasulullah Saw pernah
bersabda: “
تفكروا في خلق الله ولا تفكروا في ذات الله
Artinya:
“Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah”.(Hadist
diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas ini menurut Syaikh Nashiruddin
Al-Bani dalam kitab Shahihul Jami’ish Shaghir dan Silsilahtu Ahadist
Ash-Shahihah berderajat Hasan).[42]
Hadist di atas berbicara tentang salah satu cirri khas
manusia yang membedakannya dari makhluk yang lain, bahwa manusia adalah makhluk
yang berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa meraih berbagai kemajuan,
kemanfaatan, ketaatan, keimanan, kebaikan dan ketundukan kepada Allah Swt. Rasulullah
melarang kita berpikir tentang Dzat Allah karena kita tidak akan mampu
menjangkaunya, dan berpikir tentang Dzat Allah bisa mengantarkan kita kepada
kesesatan dan kebinasaan. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan
keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar
menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah. Ma’rifatullah (mengenal Allah)
adalah prinsip terpenting bagi setiap insan. Karena tujuan hidup dan ibadahnya
tidak akan bisa tercapai apabila dia tidak mengenal Allah itu sendiri. Allah
Berfirman:
$tBur
àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur
žwÎ) È br߉ç7÷èu‹Ï9( الذاريات: ÇÎÏÈ )
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”.(QS. QS. Adz
Dzariyaat : 56).[43]
Ibnul Qayyim Rahimahullah dalam kitab [al-Fawa’id,
hal. 163] menerangkan: ”Mengenal Allah Swt ada dua macam :
1.
Ma’rifah (pengenalan) yang berupa pengakuan (tentang Allah).
Maka ini adalah sesuatu yang dikerjakan oleh semua orang, yang baik maupun yang
bejat, orang yang taat maupun orang yang suka bermaksiat.
2.
Ma’rifah yang melahirkan perasaan malu terhadap-Nya,
kecintaan karena-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, kerinduan hati untuk bisa
bersua dengan-Nya, perasaan takut kepada-Nya, keinginan kuat untuk bertaubat
dan kembali kepada-Nya, ketenangan dan ketentraman bersama-Nya, meninggalkan
(ketergantungan hati kepada) makhluk dan bergegas menuju kepada-Nya. Inilah
ma’rifah khusus yang mengalir melalui lisan orang-orang pilihan. Perbedaan
tingkat keutamaan mereka dalam hal ini tidaklah bisa diketahui secara persis kecuali
oleh (Allah) Dzat yang telah memperkenalkan diri-Nya kepada mereka dan telah
menyingkapkan tirai ma’rifah kepada-Nya untuk hati-hati mereka; yang hal itu
disamarkan oleh-Nya bagi orang-orang selain mereka.[44]
“Sesungguhnya manusia yang paling
bahagia di akhirat kelak ialah, orang yang paling kuat cintanya kepada Allah
Swt, karena di akhirat lah ia mendatangi Allah dan bertemu dengan-Nya. Alangkah
besar kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang yang sedang mencinta ketika ia
bertemu dengan yang dicintainya setelah lama merindukannya. Apalagi ia akan
bias selalu memandang-Nya dengan leluasa, tanpa harus berdesak-desakan”.[45]
Ada dua hal
yang dapat menambah rasa cinta, yaitu:
1. Mengosongkan hati dari
selain yang dicintainya. Sebab, seperti halnya sebuah bejana yang apabila dalam
keadaan kosong dari sesuatu, tentu bisa diisi oleh Sesuatu yang lain.
Memutuskan kesenangan-kesenangan duniawi itu dapat membuat seseorang leluasa
menyendiri dan mengandalkan Allah saja.
Itulah yang diisyaratkan oleh firman Allah Swt:
È@è% ª!$# ( ¢OèO öNèdö‘sŒ ’Îû öNÍkÅÎöqyz t bqç7yèù=tƒ(
الانعام: ÇÒÊÈ )
Artinya: Katakanlah (Muhammad): "Allah-lah (yang
menurunkannya)", Kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada
mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya”.(QS.Al-An’am:91).[46]
Perkataan “biarkanlah mereka bermain-main dalam
kesesatannya” adalah sebagai sindiran kepada mereka seakan-akan mereka
dipandang sebagai kanak-kanak yang belum berakal, dan seorang yang masuk
tercebur ke dalaman air, sungai/laut, tetapi tidak pandai berenang dan kakipun
tidak menyentuh dasar sungai atau laut tempat ia tercebur itu, tentu saja tidak
dapat berjalan karena ia tidak memiliki pijakan. Demikianlah keadaan seseorang
yang melecehkan agama, ia berbicara tanpa dasar. Ayat di atas mengecam
orang-orang yahudi yang memilah-milah dalam berbagai bagian kitab suci mereka.
Kecaman terhadap orang-orang Yahudi adalah karena tujuan mereka memilah-milah
itu adalah untuk menyembunyikan sebagian isinya, bukan untuk mempermudah membaca
bagian-bagian tertentu dari tuntunan Allah”.
[47]
2. Kesempurnaan Ma’rifat.
Yang pertama, contohnya adalah membersihkan tanah dari rerumputan liar, dan
yang kedua, contohnya adalah meletakkan benih didalam tanah. Benih ini bisa
tumbuh dan menghasilkan pohon makrifat, yaitu bkalimat yang baik.[48]
Sebagaimana
Allah Swt berfirman:
öNs9r& ts? y#ø‹x. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7Íh‹sÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur ’Îû Ïä!$yJ¡¡9$# (إبراهيم :ÇËÍÈ )
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah
Telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya
teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.(QS.Ibrahim:24).[49]
Maksudnya”
termasuk dalam Kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang
menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang
baik. Terhadap pribadi seseorang mukmin, iman terhunjam ke dalam hatinya,
seperti terhunjamnya akar pohon kedalam tanah, cabangnya menjulang ke atas
(angkasa), yakni amal-amalnya banyak diterima oleh Allah, buahnya yakni
ganjaran Allah pun bertambah setiap saat”. [50]
No comments:
Post a Comment