(116)
Ruh
suci dan bercahaya nabi juga tersucikan dari kekotorankekotoran hawa
nafsu dan kecenderungan-kecenderungan jasmani. Pada saat perhatian
mereka tertuju pada maqam yang lebih tinggi, sebagian hakikat
pengetahuan yang berada pada Jibril tercermin pada hati nabi yang
bening. Inilah makna wahyu. Pada tahap pewahyuan ini, tidak lain adalah
pemberian pengetahuan bukan pembentukan atau ucapan.
Pembentukan
dan ucapan terjadi pada tahap potensi khayal dan pancaindra. Pada saat
hakikat pengetahuan ini beralih dari hati dan ruh Nabi menuju potensi
khayal dan pancaindra Nabi, pada tahap inilah Jibril tampak di hadapan
Nabi sebagai seorang manusia yang tampan yang berbicara dengannya karena
pembentukan hanya terjadi pada tahap potensi khayal dan pancaindra.
Nabilah
yang dalam media potensi khayal dan kesadaran benaknya yang menyaksikan
Jibril dalam bentuk sesosok manusia yang tampan dan mendengarkan
pembicaraannya. Adapun manusia-manusia lainnya bahkan orang yang bersama
Nabi pun tidak dapat menyaksikan hal tersebut, kecuali orangorang yang
hatinya dikuasai oleh Nabi dan dipersiapkan untuk menerima hal seperti
ini.
Jangan
Anda berpikir bahwa dalam hal ini kami ingin mengatakan bahwa
menyaksikan Jibril, mendengarkan pembicaraannya adalah hal yang sia-sia
dan tidak berarti. Tidaklah demikian, kami tidak mengatakan hal
tersebut. Yang ingin kami nyatakan adalah bahwa Nabi benar-benar
menyaksikan Jibril dalam rupa Dihyah Kalbi dan benar-benar mendengar
ucapannya. Akan tetapi, seluruhnya terjadi di alam mitsal dan potensi khayal.
(117)
|
Penyerupaan
Jibril dalam rupa manusia yang tampan dan penyaksian nabi adalah
sesuatu yang nyata tetapi terjadi di alam mitsal dan di alam kesadaran
potensi khayal. Penyaksian ini dan menyaksikan segala sesuatu yang ada
di luar tidak memiliki perbedaan yang mendasar.
|
|
Dalam
penglihatan, mata manusia tidak melihat wujud tertentu di luar tetapi
sesuatu yang dilihat, sesuatu yang diketahui hakikatnya, itulah yang
berada pada kesadaran potensi khayal. Penyaksian malaikat juga demikian
namun dengan perbedaan bahwa dalam penglihatan, keberadaan tampilan
dalam pancaindra dan potensi khayal terjadi dengan perantara indra
|
dan
datang dari luar. Sementara itu, wahyu dan penyaksian Jibril berasal
dari hati Nabi dan turun menuju potensi khayal. Dari kedua kondisi
tersebut, pada dasarnya sesuatu yang diketahui adalah wujud yang ada
pada potensi khayal.
Hubungan Nabi dengan Malaikat dalam Pandangan Filsafat Islam
Mengenai
permasalahan hubungan Nabi dengan malaikat wahyu, filsafat Islam
memiliki pandangan tersendiri. Mempelajari pandangan-pandangan tersebut
sangat membantu memahami permasalahan.
Ibnu Khaldun menjelaskan, “Di atas alam manusia ini adalah alam spiritual dan alam malakuti.
Jiwa manusia memiliki potensi untuk melepaskan diri dari sisi
manusiawinya dan menuju alam malaikat yang berada di atas alam ini.
Mampu dalam waktu singkat bersama malaikat, menerima pengetahuan dari
alam tersebut, dan kembali ke alam manusiawinya. Sesuatu yang dia
peroleh dari alam tersebut, dia sampaikan pada masyarakat. Seperti
inilah makna wahyu dan perbincangan malaikat.”[120]
|
(118)
Berkenaan dengan masalah ini, Shadrul Muta’allihin menerangkan:
|
Pada
saat ruh Nabi menuju alam malaikat yaitu alam wahyu rabbani, beliau
mendengar kalam Allah yakni hakikat pengetahuan di maqam qaba qawsaini
aw adna yang merupakan alam kedekatan pada Ilahi dan kedudukan yang
sesungguhnya. Wahyu dalam hal ini adalah kalam hakiki rabbani.
|
|
Begitu
pula ketika ruh nabi berhubungan dengan malaikat illiyin, beliau akan
mendengar qalam dan penyampaian kalam. Kalam mereka adalah kalam Allah
yang diturunkan pada hati para nabi karena para malaikat ini berada pada
maqam kedekatan Ilahi sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad
saw pada malam mikraj, ‘Aku tiba di suatu tempat dan mendengar suara
qalam para malaikat.’ Saat ruh
|
Nabi
turun dari alam yang tinggi ke alam malaikat langit, sesuatu yang
beliau saksikan di alam ruh qadariyah, beliau temukan bentuk
penyerupaannya dan juga tampilan zahirnya. Oleh karenanya terjadi
kondisi seperti tidur pada indra beliau. Sebelumnya telah disebutkan
bahwa ruh suci Nabi berada pada posisi di antara alam mulk dan malakut
dan tetap menjaga kedua sisi alam tersebut. Oleh karena itu, indra
beliau berfungsi dan terpengaruh tetapi bukan untuk tujuan hewani
melainkan dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan semesta alam. Dengan
demikian, seluruh indra berada di jalan makrifat (pengetahuan) dan
ketaatan pada Allah dan akan mengikuti jiwa.
Manakala
wujud manusia semacam ini (Nabi) tanpa ada hijab (penghalang) luar,
menjadi lawan bicara Allah—baik secara langsung maupun melalui perantara
malaikat wa-
|
(119)
hyu—dan
memiliki hubungan dengan alam metafisik, maka gambaran alam malakut dan
tampilan dari alam jabarut tercermin di dalam hatinya. Pengaruh dari
hal tersebut maka penyerupaan dari wahyu dan pembawanya
termanifestasikan dalam sisi batin beliau. Pada kondisi seperti ini,
sisi zahir Nabi juga terangkat ke atas dan tampak baginya penyerupaan
dari realitas. Perlu dijelaskan bahwa bentuk-bentuk tersebut dan
penyerupaan-penyerupaan adalah sebuah kenyataan dan bukan mimpi belaka
atau khayalan yang tidak nyata.
Oleh
karena itu, malaikat menampakkan dirinya di hadapan Nabi dalam rupa
yang terindra sehingga memiliki kemampuan untuk menyaksikannya. Dengan
demikian, Nabi menyaksikan malaikat bukan dalam bentuk lain selain
bentuk aslinya. Karena wujud yang nonmaterial pada saat turun ke alam
penciptaan materi, maka dia menjadi wujud materi dan terbatas.
Berdasarkan hal inilah bentuk wujud materi dapat dilihat dan ucapannya
dapat didengar kendati di maqam tertinggi adalah wahyu akal. Terkadang
pula Nabi menyaksikan wahyu dalam bentuk manuskrip yang tertulis.
Dengan
demikian, malaikat wahyu, kalam, dan kitabnya berasal dari alam
metafisik kemudian turun menuju pancaindra dan kekuatan pemahaman Nabi.
Penurunan ini bukan bermakna perpindahan atau gradasi dari maqam-nya.
Akan tetapi, bermakna gerakan dan penurunan Nabi dari nilai batin ke
nilai zahir dan berbeda dengan perjalanan pertamanya, dari alam materi
dan zahir ke alam nonmateri dan metafisik.”[121]
Kesimpulan
dari penjelasan para ilmuwan ini adalah ruh yang bercahaya dan malakuti
Nabi melakukan perjalanan batin dan spiritual menuju alam malaikat yang
merupakan
|
(120)
khazanah
pengetahuan Ilahi dan dengan mata hatinya beliau menyaksikan malaikat
wahyu. Dengan pendengaran batin, beliau mendengar kalam mereka yang
merupakan manifestasi dari kalam Allah. Dalam kondisi seperti ini,
pengetahuan dan hakikat yang berada pada diri malaikat wahyu yang
bercahaya tercermin dalam hati Nabi yang juga bercahaya.
Dengan
memperhatikan bahwa ruh suci Nabi berada di antara alam mulk dan
malakut dan mampu dalam satu waktu menjaga kedua sisi alam tersebut,
pada saat menyaksikan alam metafisik, menyaksikan Jibril, dan mendengar
pembicaraannya melalui ruh suci, mata dan pendengaran batinnya, kondisi
ruh beliau itu pun turun dan tercermin menuju potensi khayal dan
pancaindra. Pada penurunan inilah beliau menyaksikan Jibril dalam rupa
seorang manusia yang tampan dan dikenali di hadapan beliau. Nabi
benar-benar menyaksikannya dan mendengar pembicaraannya.
Faktor-faktor Wahyu
Untuk sebuah wahyu, yakni berhubungan dengan alam metafisik, dibutuhkan beberapa faktor di antaranya:
1.
Sumber wahyu. Pengutus wahyu adalah Zat Yang Mahasuci yang menciptakan
hubungan dengan Nabi baik secara langsung atau melalui perantara
malaikat wahyu.
2.
Malaikat. Malaikat pembawa wahyu adalah Jibril yang merupakan perantara
alami dan ciptaan untuk menurunkan wahyu. Dia adalah pembawa pesan
Ilahi. Nabi menyaksikannya dalam rupa manusia yang tampan dan terkadang
menyaksikannya dalam bentuk aslinya dan Nabi juga mendengar
pembicaraannya.
3.
Penerima wahyu. Penerima wahyu adalah manusia sempurna yang karena
pengaruh kemaksuman, keterjagaan dari dosa, dan meninggalkan keterkaitan
terhadap duniawi serta memiliki kebeningan hati dan kesucian jiwa
berpotensi untuk menjalin hubungan dengan alam metafisik
|
(121)
dan
menerima pengetahuan-pengetahuan. Seluruh Nabi demikian. Secara logika,
menerima wahyu tidak hanya khusus para nabi. Bahkan, manusia-manusia
lainnya pun yang mampu mencapai tingkat kesempurnaan tersebut mampu
memiliki hubungan dengan alam metafisik dan mampu menerima pengetahuan
gaib. Akan tetapi, untuk menetapkan hal tersebut, dibutuhkan argumentasi
dan pembuktian yang pasti. Andaikan terjadi demikian, maka pengetahuan
dan hakikat yang diterima bukanlah wahyu secara syariat.
4.
Wahyu dan kandungan wahyu. Kandungan wahyu adalah seluruh hakikat dan
pengetahuan yang diturunkan oleh Allah pada nabi, seperti pengetahuan
tentang Tuhan seluruh alam, sifat tsubuti (positif) dan salbi (negatif)
Tuhan, tentang hari akhir atau kehidupan setelah kematian, dan
pengetahuan tentang kenabian, baik pengetahuan tersebut yang seluruhnya
termasuk ushuluddin maupun pokok-pokok keyakinan dan memiliki
bukti-bukti logis atau berkaitan dengan cabang-cabang keyakinan yang
pembuktiannya hanya dapat dilakukan melalui wahyu yang diterima.
Begitu
pula dengan kisah-kisah para nabi, sejarah umat-umat terdahulu, atau
orang-orang tertentu yang dapat dijadikan pelajaran dan berpengaruh
dalam memberi petunjuk pada manusia.
Penjelasan
terkait tentang kesempurnaan akhlak dan mendorong manusia untuk hal
itu, karakter-karakter buruk dan upaya pencegahannya meskipun akal mampu
untuk memahaminya. Tata cara beribadah dan hukum-hukumnya,
kewajiban-kewajiban, dan anjuran-anjuran. Penjelasan mengenai
perbuatan-perbuatan yang diharamkan yang merugikan kehidupan manusia di
dunia dan akhirat.
Hukum dan undang-undang dasar sosial kemasyarakatan, hak-hak asasi, pengadilan, ekonomi, kesehatan, militer
|
(122)
dan
keamanan yang seluruhnya adalah kebutuhan pokok dan menjamin
kebahagiaan dan kesejahteraan kehidupan duniawi manusia. Kesimpulannya,
segala sesuatu yang terdapat dalam al-Quran dan hadis-hadis nabi adalah
kandungan wahyu.
Wahyu
terkadang dinisbahkan pada Allah dan hal ini bermakna pemberian
pengetahuan-pengetahuan agama ke dalam hati nabi. Terkadang juga
dinisbahkan pada kandungan wahyu, yaitu pengetahuan yang telah
diturunkan oleh Allah.
Wahyu dan Keterjagaan dari Kesalahan
Terlontar
satu pertanyaan, apakah hakikat-hakikat dari wahyu seperti al-Quran,
Taurat, Injil dan hakikat-hakikat lainnya sebagai wahyu Ilahi yang
disampaikan oleh Nabi adalah hakikat yang nyata dan pasti serta terjaga
dari kesalahan?
Ataukah
dimungkinkan terjadi kesalahan? Dalam masalah ini, terdapat dua
pendapat. Pendapat pertama, orang-orang Muslim menerima kemungkinan
pertama. Mereka mengatakan bahwa hakikat yang terdapat dalam al-Quran,
bahkan kata dan kalimatnya diturunkan oleh Allah dan bersumber dari
sumber yang terjaga dari kesalahan yaitu ilmu Ilahi. Nabi Muhammad saw
juga saat menerima wahyu, menjaga dan menyampaikannya pun terjaga dari
segala kesalahan dan kelupaan. Berkenaan dengan seluruh masalah wahyu
yaitu seluruh permasalahan yang disampaikan oleh nabi sebagai wahyu dan
penyampaiannya dibenarkan dengan bukti-bukti, juga diyakini sebagai
wahyu yang terjaga dari kesalahan.
Sebagian
Kristen Ortodoks juga memiliki keyakinan yang serupa berkenaan dengan
kitab-kitab suci dan hakikat-hakikat wahyu. Dalam kitab Ilm wa Din
disebutkan bahwa sejak permulaan abad ke-17 banyak di kalangan Protestan
yang meyakini bahwa kitab suci sebagai khazanah pengetahuan laduni yang
terjaga dari kesalahan. Begitu pula permasalahan saintis yang
disampaikan di dalamnya. Yakni kitab suci alih
|
(123)
alih
diyakini sebagai riwayat-riwayat tentang kejadian yang prosesnya
dilakukan oleh Tuhan, mereka meyakininya sebagai sekumpulan pengetahuan
yang tidak dapat dibantah dan tidak mungkin salah. Kandungan dan
penyampaiannya kata demi kata diturunkan oleh Tuhan.[122]
Dalam
kitab Falsafeh_ye Din disebutkan wahyu adalah sekumpulan hakikat yang
dijelaskan dalam aturan-aturan dan ketetapan. Wahyu adalah hakikat nyata
dan pengungkapan Ilahi yang dialihkan pada manusia. Dalam ensiklopedia
Katolik disebutkan wahyu dapat didefinisikan sebagai peralihan sebagian
hakikat dari Tuhan pada wujud-wujud yang berakal melalui perantara yang
terjadi di luar kebiasaan alami.[123]
|
Adapun
sebagian besar agamawan Nasrani menafsirkan wahyu dengan penafsiran
lain dan tidak meyakini bahwa kandungan kitab suci terjaga dari
kesalahan.
|
|
Dijelaskan
dalam kitab Ilm wa Din, “Tuhan mengutus wahyu tetapi tidak mendiktekan
sebuah kitab yang maksum (terjaga dari kesalahan dan perubahan). Akan
tetapi, kehadiran-Nya dalam kehidupan al-Masih dan seluruh nabi serta
Bani Israil. Dengan
|
demikian,
kitab suci bukanlah wahyu secara langsung, melainkan kesaksian manusia
terhadap penjelasan wahyu dalam cermin kondisi dan kehidupan manusia.”[124]
Dalam kitab Falsafeh_ye Din dijelaskan,
“Menurut keyakinan para reformis agama abad ke-16 (Luther dan Bolland)
sesuai dengan pandangan ini, wahyu bukanlah sekumpulan hakikat mengenai
Tuhan akan tetapi Tuhan masuk melalui jalan memberi pengaruh pada
sejarah dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Menurut pandangan ini,
ketentuanketentuan teologis bukanlah berlandaskan pada wahyu, me-
|
(124)
lainkan gambaran upaya manusia untuk mengetahui makna dan pentingnya kejadian pewahyuan.”[125]
Sementara
dalam kitab Ilm wa Din dinukil dari pendapat uskup agung Temple
menyatakan, “Wahyu dan pengungkapannya menjelaskan sebuah kejadian.
Dengan pandangan ini, penyandaran kepada Allah bukanlah dalam bentuk
pendiktean sebuah kitab yang terjaga dari kesalahan atau mengajarkan
sesuatu yang tidak mungkin terdapat kesalahan melainkan
tampilan-tampilan realitas dalam kehidupan beberapa manusia dan
masyarakat. Kitab suci sendiri pada dasarnya adalah tulisan manusia yang
menjelaskan realitas pewahyuan tersebut.”[126]
Dia
juga menjelaskan, “Bahkan, Luther dan Bolland dalam penafsiran mereka
tentang kitab suci sangat fleksibel dan toleran. Menurut mereka
kemungkinan kebenaran dan sumber relativitas wahyu bukan pada nas yang
tertulis (kitab yang diam) melainkan pada pribadi al-Masih sebagai
pembawa wahyu dan lawan bicara wahyu. Kitab suci sangat penting dari
sisi sebagai saksi kebenaran terhadap fenomena keselateks melalui cinta
dan pengampunan Ilahi yang termanifestasikan pada diri al-Masih, dalam
kehidupannya dan kehidupan orangorang yang beriman. Menurut pendapat
para reformis pertama, dikuatkan bahwa kata wahyu (kalimat Allah dan
kitab yang berbicara) diperoleh melalui ilham-ilham yang setiap manusia
mampu menemukannya dari ruh kudus.”[127]
Berdasarkan
pandangan ini, sebagian agamawan Nasrani memungkinkan terjadinya
kesalahan pada diri Nabi Muhammad. Di antara mereka mengatakan,
“Dikatakan bahwa dalam keyakinannya Muhammad adalah manusia yang sehati
dan jujur. Hal ini tidak dapat dijadikan sebagai bukti bahwa seluruh
keyakinannya adalah benar. Mungkin seseorang dalam satu masalah sehati
tetapi salah. Bagi penulis-penulis barat, tidak sulit untuk membuktikan
bahwa Muhammad mungkin saja salah.”[128]
|
(125)
Pandangan
ilmuwan-ilmuwan Nasrani yang memungkinkan terjadinya kesalahan pada
hakikat-hakikat wahyu bersumber dari penafsiran tertentu mereka mengenai
wahyu dan penentuan objeknya. Mereka menafsirkan wahyu sebagai
penyatuan Zat Suci Ilahi pada Isa dan meyakini al-Masih sebagai objek
dari wahyu. Ucapannya diyakini sebagai ucapan manusia biasa yang mungkin
terjadi kesalahan.
Kami
telah mengisyaratkan sebelumnya tentang ketidakbenaran pendapat ini dan
kebatilan yang dibangun pun akan tampak lebih jelas.
Orang-orang
Muslim meyakini tidak hanya Nabi Muhammad saw saja tetapi juga seluruh
nabi terjaga dari segala bentuk kesalahan, kealpaan, dosa maupun lupa.
Umat Islam meyakini bahwa nabi ketika menerima wahyu, menjaga dan
menyampaikannya, beliau terjaga dari segala bentuk kesalahan.
Kebohongan, kesalahan, dan kelupaan tidak mungkin terjadi pada diri
Rasulullah saw karena kemaksuman (keterjagaan dari salah, lupa dan dosa)
merupakan keharusan dalam masalah kenabian. Dalam kitab-kitab teologi,
hal ini dijelaskan dan dibahas secara terperinci dan juga dibuktikan
dengan bukti-bukti aqlimaupun naqli.
Disebutkan
bahwa tujuan terpenting dari para nabi yaitu manusia membutuhkan
hakikat-hakikat yang memiliki nilai wahyu guna mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani. Hakikat tersebut disampaikan pada
manusia tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Hal ini tidak mungkin
terealisir tanpa adanya kemaksuman para nabi. Jika nabi sama seperti
masyarakat pada umumnya yang mungkin salah, adakah jaminan yang
memastikan bahwa hakikat-hakikat
|
(126)
yang memiliki nilai wahyu tersebut telah disampaikan secara sempurna kepada masyarakat?
Berkenaan dengan masalah ini, al-Quran menjelaskan, Dia
adalah Allah Yang Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak akan
menampakkan yang gaib tersebut kepada siapa pun, kecuali pada
orang-orang yang Dia ridai di antara para utusan. Sesungguhnya Dia
menempatkan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya agar
Dia mengetahui bahwa rasul-rasul telah menyampaikan risalah Tuhan mereka
dan Allah meliputi apa yang ada pada mereka dan memperhitungkan segala
sesuatu dengan satu per satu (QS. al-Jinn:26-28).
Allamah
Thabathaba’i mengenai ayat ini menjelaskan, “Yang dimaksud dengan مِنْ
بَيْنِ يَدَيْهِ “Di depannya” adalah sesuatu yang disampaikan kepada
masyarakat antara Rasulullah dan mereka. Yang dimaksud dengan مِنْ
خَلْفِهِ َ “Di belakangnya” adalah sesuatu antara rasul dan sumber wahyu
yaitu Allah.
Ayat
ini menunjukkan bahwa wahyu Ilahi diambil dari sumber yang terjaga dari
kesalahan untuk disampaikan kepada masyarakat. Nabi dalam menerima
wahyu sampai menyampaikan wahyu tersebut terjaga dari setan.
Kalimat
لِيَعْلَمَ ان قَدْ بْلَغُو رسَالَت ربِّهِمْ “Agar Dia mengetahui bahwa
rasul-rasul telah menyampaikan risalah Tuhan mereka” inilah yang
menunjukkan hal tersebut. Jelas bahwa tujuan wahyu adalah penyampaian
dan terealisirnya hal tersebut. Andaikan rasul tidak terjaga dari
kesalahan, tidak ada jaminan yang memastikan bahwa penyampaian
terealisir.”[129]
Oleh
karena itu, dengan memperhatikan bukti-bukti aqli dan naqli yang
disampaikan dengan nyata, jelas bahwa keterjagaan nabi dari kesalahan,
kelupaan dan dosa adalah suatu hal yang pasti. Pada akhirnya, wahyu juga
terjaga dari kesalahan dan kealpaan.
|
(127)
Namun,
hal ini bukan bermakna bahwa segala sesuatu yang disebutkan dalam kitab
sejarah dan kitab-kitab hadis yang dinisbahkan pada rasul seratus
persen benar. Hal ini hanya berlaku pada al-Quran karena kepastian
sumber yang mengeluarkan. Adapun hadis-hadis yang telah dipastikan bahwa
hadis tersebut disampaikan oleh rasul, kita dapat mengatakan hal yang
serupa.
Dalam
pembuktian keterjagaan wahyu dari kesalahan dapat kita sampaikan,
sebelumnya telah dijelaskan bahwa wahyu adalah bentuk lain dan berbeda
dengan pengetahuan yang diperoleh pada umumnya karena dalam wahyu,
hakikathakikat yang memiliki nilai wahyu disampaikan secara langsung
dari Allah dan diberikan pada hati dan ruh nabi tanpa ada keikutsertaan
pancaindra. Pengetahuan yang memiliki nilai wahyu bukan termasuk jenis
pemahaman, melainkan penyaksian batin dan hudhuri. Penyaksian dan hudhur tidak mungkin berbeda dengan kenyataan. Oleh sebab itu, tidak terjadi kesalahan dalam penerimaan wahyu.
Penurunan
hakikat yang memiliki nilai wahyu dari hati dan ruh suci nabi menuju
pancaindra dan penyampaian kepada masyarakat juga tidak terjadi
kesalahan karena hal itu berlandaskan pada PENYAKSIAN HUDHURI nabi dan
bersumber dari SISI BATIN beliau. SANDARAN BATIN YANG KUKUH INI SELALU
ADA PADA NABI DI SETIAP KONDISI.
Perantara Ketenangan
Mungkin
seseorang mengatakan bahwa para nabi adalah manusia-manusia yang jujur
dan tidak diragukan lagi bahwa nabi terkadang merasakan adanya ucapan di
dalam hatinya.
|
(128)
Akan
tetapi, bagaimana dia dapat mengetahui dan memahami bahwa ucapan yang
ada dalam hatinya bersumber dari Allah bukan dari setan atau jiwanya
sendiri? Sangat mungkin sekali bahwa ucapan tersebut berasal dari setan,
apakah kemungkinan ini dapat dinafikan?
Untuk
menjawab pertanyaan ini—sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya—perlu diketahui bahwa wahyu tidak serupa dengan pengetahuan
pada umumnya yang masih terdapat kemungkinan terjadi kesalahan. Akan
tetapi, merupakan hakikat yang memiliki nilai wahyu yang diberikan pada
hati dan ruh para nabi. Mereka mengetahui wahyu tersebut secara nyata
(hudhur). Pada saat pewahyuan, nabi menyaksikan hakikat-hakikat yang
memiliki nilai wahyu dengan mata batin sehingga kemungkinan terjadinya
kesalahan ternafikan.
Sebagian hadis juga menjelaskan mengenai masalah ini, yaitu
زرارة
قال: قلت لأبي عبد الله: كيف لم يخف رسول الله ص فيما يأتيه من قبل الله
أن يكون ذلك مما ينزغ به الشيطان قال فقال إن الله إذا اتخذ عبدا رسولا
أنزل عليه السكينة و الوقار فكان يأتيه من قبل الله عز و جل مثل الذي يراه
بعينه
“Zurarah
berkata, ‘Aku bertanya pada Abu Abdillah Imam Ja’far Shadiq as,
‘Bagaimana Rasulullah saw tidak merasa takut bahwa sesuatu yang
diturunkan kepadanya dari sisi Allah adalah sesuatu yang mungkin dari
setan?’ Imam menjawab, ‘Allah saat menjadikan seorang hamba-Nya sebagai
rasul menurunkan kepadanya ketenangan dan kenyamanan. Sesuatu yang
didatangkan dari Allah, nabi menyaksikannya seperti menyaksikan sesuatu
dengan kedua matanya.’”[130]
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
|
(129)
عن أبي عبى الله عليه السلام قال : قلت له: كيف علمت الرسل انها رسل؟ قال: كشف عنها الغطاء
“Dari
Abu Abdillah as, beliau ditanya, ‘Bagaimana para rasul mengetahui bahwa
mereka adalah rasul?’ Imam menjawab, ‘Tabir disingkap dari penglihatan
mereka.’”[131]
Riwayat
lainnya juga menyebutkan, “Muhammad bin Muslim dan Muhammad bin Marwan
meriwayatkan dari Abu Abdillah as beliau berkata, ‘Tidaklah Rasulullah
saw mengetahui bahwa Jibril adalah utusan dari Allah kecuali dengan
taufik dari-Nya.’”[132]
Untuk menyelesaikan masalah ini, Syekh Mufid memiliki penyelesaian lainnya. Beliau menjelaskan,
“Karena
nabi memiliki mukjizat, beliau memahami bahwa kalam (ucapan) yang ada
dalam hatinya adalah kalam Allah dan bukan dari setan. Begitu pula
mengenai al-Quran, karena mukjizat beliau memahami bahwa al-Quran
diturunkan oleh Allah dan merupakan kalam-Nya sebagaimana Nabi Musa as
dengan perantara mukjizat (tangan yang putih) dan (tongkat yang menjadi
ular) yakin bahwa pembicaraan yang keluar dari pohon adalah kalam
Allah.”[133]
Oleh
karena itu, hendaknya dinyatakan bahwa nabi sejak permulaan wahyu
mengetahui dengan jelas bahwa dirinya telah menjadi nabi dan diturunkan
padanya kalam Allah. Nabi meyakini hal tersebut dan tidak terdapat
keraguan sedikit pun sehingga tidak membutuhkan penguatan dari
selainnya. Jika disebutkan dalam sejarah kejadian yang bertentangan
dengan hal ini, maka sejarah tersebut tidak dapat diterima.
|
(130)
Tanda-tanda Terjadinya Wahyu
Dari
sebagian hadis, kesaksian dan penukilan dapat dipahami bahwa ketika
diturunkannya wahyu, terjadi sesuatu pada kondisi nabi dan para sahabat
menganggap bahwa kondisi tersebut sebagai tanda-tanda terjadinya wahyu.
Dinukil
bahwa “Penerimaan wahyu begitu beratnya bagi Nabi sampai-sampai pada
musim dingin pun nabi mengeluarkan keringat dan mengalir di wajah beliau
yang mulia.” Dalam penukilan lainnya disebutkan, “Rona wajah Nabi
berubah dan kepalanya tertunduk. Para sahabat menyebut kondisi tersebut
sebagai “kondisi pelepasan wahyu.”[134]
Diriwayatkan
bahwa terkadang Nabi ketika menerima wahyu berada di antara para
sahabat. Karena pengaruh wahyu, adakalanya Nabi jatuh pingsan dan
keringat mengalir di tubuh beliau. Saat beliau kembali pada kondisi
semula, beliau bersabda, “Allah berfirman demikian, demikian, dan
memerintahkan kalian untuk berbuat ini dan melarang kalian untuk
melakukan perbuatan itu.” [135]
Ikrimah berkata, “Ketika wahyu diturunkan pada Nabi, sesaat beliau seperti manusia yang lemas dan jatuh ke bumi.”[136]
Abu
Arwi berkata, “Aku menyaksikan saat Rasul saw menerima wahyu dan beliau
berada di atas kendaraannya. Kemudian hewan itu meringkik dan keempat
kakinya lemas. Aku mengira keempat kakinya patah dan karena begitu
beratnya terkadang bertumpu pada lututnya dan terkadang memukulkan kedua
kaki depannya. Kondisi seperti ini terus berlangsung sampai wahyu
selesai sementara keringat mengucur dari wajah Nabi bagaikan mutiara.” [137]
Dari
beberapa hadis, dapat diketahui bahwa kondisi-kondisi tersebut tidak
terjadi setiap kali Nabi menerima wahyu. Akan tetapi, terjadi hanya saat
Nabi saw menerima wahyu dari Allah secara langsung tanpa melalui
perantara Jibril.
|
(131)
Zurarah
meriwayatkan dari ayahnya yang berkata, “Aku bertanya pada Imam Shadiq
as, ‘Bagaimana Nabi jatuh pingsan pada saat beliau menerima wahyu?’ Imam
menjawab, “Kondisi jatuh pingsan terjadi pada saat antara Nabi dan
Allah tidak ada perantara, yaitu saat Allah ber-tajalli pada diri
beliau. Inilah nubuwat (kenabian).” [138]
Hisyam
bin Salim meriwayatkan dari Imam Shadiq as dan sebagian sahabat juga
bertanya pada beliau, “Apa maksud Rasul saw saat beliau bersabda,
‘Jibril, inilah Jibril yang memerintahkan kepadaku.’ Dan pada kesempatan
lain beliau jatuh pingsan?” Imam Shadiq as menjawab, “Kondisi pingsan
terjadi saat wahyu diturunkan secara langsung oleh Allah tanpa perantara
Jibril dan jika Jibril menjadi perantara wahyu, maka kondisi tersebut
tidak terjadi dan beliau (Nabi) bersabda, ‘Jibril mengatakan demikian
dan ini adalah Jibril.’”[139]
Pada
akhirnya, seluruh kondisi tersebut adalah tandatanda wahyu dan para
sahabat sangat mengenali tanda-tanda tersebut. Abu Hurairah berkata,
“Ketika wahyu turun, kami juga mengetahui. Perhatian para sahabat
tertuju pada Nabi saw sampai wahyu berakhir, mata mereka tidak terlepas
dari memperhatikan Nabi saw.”[140]
Dari
penukilan-penukilan tersebut di atas, kita mengetahui bahwa pada saat
wahyu turun, terjadi kondisi yang tidak biasanya pada diri Nabi saw.
Para sahabat tidak dapat mengungkapkan kondisi tersebut dengan baik,
seperti contoh menggunakan kalimat, كَهَيْئَةِ السَّكْرَان “Seperti
kondisi mabuk.” الغَشْيَةِ“Pingsan” اذا غَشْيَةِ الوحی A “Saat dibuat
pingsan oleh wahyu.” ثَقَلَ عَلَى جسْمِهِ “Wahyu membebani tubuhnya.”
السَّبَهُ “Bayangan” untuk menceritakan kondisi tersebut.
Kondisi
demikian, mungkin dapat diungkapkan sebagai bentuk pelepasan diri dari
dunia dan daya tariknya serta pemutusan keterkaitan pada dunia dan
menuju pada alam metafisik. Menanggung beban seperti ini bagi seorang
manusia san
|
(132)
gatlah
berat sehingga terjadi kondisi-kondisi yang demikian. Hubungan manusia
yang memiliki jasmani dengan Allah Swt Yang Mahaagung kendati manusia
tersebut memiliki maqam yang tinggi adalah sesuatu yang sangat berat
sebagaimana Al-Quran menjelaskan,Kami akan berikan kepadamu ucapan yang berat. (QS al-Muzammil: 5).
Ibnu
Khaldun menjelaskan, “Saat menerima wahyu para nabi melepaskan diri
dari dunia ini dan dibayangkan sampai jatuh pingsan padahal tidaklah
demikian. Sesungguhnya mereka tenggelam dalam penyaksian malaikat. Saat
itu, mereka memiliki pemahaman khusus yang berbeda dengan pemahaman pada
umumnya.” [141]
Pada
kesempatan lainnya beliau juga menjelaskan, “Hendaknya di antara
manusia ada seorang manusia istimewa yang mampu dalam satu waktu dan
satu saat melepaskan diri dari sisi manusiawinya. Lalu terbang tinggi
menuju alam malaikat, menerima pengetahuan dan hakikat, kemudian kembali
ke alam manusia dan menyampaikannya kepada masyarakat. Inilah makna
wahyu. Karena pengaruh pelepasan dari sisi manusiawinya, terjadi kondisi
tersebut dan mendengar suara yang tidak biasa pada dirinya.”[142]
Mungkin
saja terjadinya cercaan pada Nabi Muhammad saw dengan dituduh
berpenyakit ayan, gila, atau sakit jiwa yang dilakukan oleh musuh-musuh
Islam adalah terjadinya kondisi saat Nabi saw menerima wahyu.
Jelas
bahwa tuduhan-tuduhan tersebut tertolak karena dengan bukti-bukti
sejarah mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi
Nabi, membuktikan bahwa beliau memiliki kehidupan yang teratur dan sehat
dan tidak
|
(133)
pernah
dituduhkan padanya bahwa beliau menderita penyakit tersebut, baik pada
masa balita, anak-anak, remaja, maupun dewasa. Jika terdapat kondisi
seperti itu yang disebutkan dalam sejarah, pengaruh kegilaan, pingsan,
atau lainnya, hal itu tidak kita jumpai pada beliau dalam kondisi
normal. Kondisi tidak biasanya hanya terjadi pada saat beliau menerima
wahyu. Musuh-musuh Islam karena tidak mengetahui hakikat dan pengaruh
yang ditimbulkan dari penerimaan wahyu menuduhkan hal-hal tersebut dan
mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan permusuhannya.
Apakah
mungkin seseorang yang berpenyakit ayan atau gila mampu mendatangkan
sebuah kitab seperti al-Quran? Mampu menetapkan aturan yang luas dan
hukum yang terperinci? Mampu memberi manusia pengetahuan yang mendalam
seperti yang terdapat dalam al-Quran atau hadis? Mampu selama 23 tahun
dengan penuh ketelitian dan keteraturan berusaha menyebarkan Islam?
Mampu mengatasi dan melemahkan tipu daya dan rongrongan musuh-musuhnya
dan berhasil mengokohkan pilar-pilar Islam? Andaikan tuduhan- tuduhan
itu benar, apakah umat pada masa awal Islam yang benar-benar mengetahui
Nabi dan kehidupannya dengan baik mau mengikuti manusia yang berpenyakit
ayan dan memiliki gangguan kejiwaan, sampai-sampai mereka rela demi
mencapai tujuannya mengorbankan jiwa, berjuang, dan lebih
mementingkannya daripada diri mereka sendiri? Kemungkinan yang tidak
masuk akal ini, tidak mungkin dapat diterima oleh siapa pun.
Wahyu Adalah Manifestasi Spiritual Nabi
Sebagian
ilmuwan Barat menyatakan bahwa wahyu atau hubungan manusia dengan Tuhan
adalah sesuatu yang tidak mungkin. Mereka berargumentasi bahwa Tuhan
adalah wujud yang nonmaterial dan tidak terbatas sementara Nabi adalah
wujud materi dan terbatas. Oleh karena itu, hubungan dan perbincangan
antara keduanya adalah sesuatu yang
|
(134)
mustahil.
Tuhan tidak bertempat, tidak memiliki lidah dan mulut sehingga dapat
berbicara dengan nabi. Bagaimana mungkin nabi yang seorang manusia mampu
berhubungan dengan Tuhan?
Pembuktian
dan penolakan yang dilakukan oleh ilmuwan Barat mengenai kemungkinan
terjadinya wahyu dan kondisinya tidak dapat diterima. Jika sejak awal
pembahasan mengenai ruh manusia dimulai dan dengan penelitian,
pengalaman yang cukup panjang serta terus menerus akan menghasilkan
kesimpulan yang menakjubkan, barulah jalan pembuktian dan penafsiran
mengenai wahyu terbuka bagi mereka. Mungkin mereka akan menerima wahyu.
|
Peneliti-peneliti
ruh setelah sekian lama melakukan kajian dan banyak mengadakan
penelitian, sampai pada kesimpulan bahwa manusia memiliki dua tingkatan
atau memiliki dua kepribadian yaitu kepribadian nafsani dan ruhani.
|
|
Pertama,
adalah KEPRIBADIAN UMUM dan luar manusia yang bekerja melalui
pancaindranya dan memiliki kekuatan yang terbatas. Kedua, adalah
KEPRIBADIAN BATIN dan bagian tersembunyi dari dirinya atau disebut
sebagai kepribadian kedua. Mereka mengatakan, “Kita di alam ini tidak
hidup
|
dengan
segala keberadaan yang ada pada diri kita, tetapi hanya memanfaatkan
sebagian kecil dari keberadaan itu dalam keterbatasan dan kelemahan
pancaindra kita. Kita memiliki wujud yang lebih baik, lebih tinggi, dan
kehidupan yang lebih luas yang sebagian besar kita melalaikannya. Kita
hanya memanfatkannya pada saat menonaktifkan kehidupan alami kita
melalui tidur alami atau hipnotis.”
Para ilmuwan banyak menidurkan orang-orang dengan cara hipnotis. Dengan melakukan tanya jawab yang teliti,
|
(135)
mereka
mendapatkan informasi yang menarik mengenai pemikiran- pemikiran
terdalam, kejadian-kejadian dahulu, mendatang, dan mengenai orang lain
dengan cara tersebut.
Seseorang
yang tidur dapat memberitahukan hal-hal gaib, kejadian-kejadian dahulu,
dan akan datang. Dalam waktu yang singkat, dia mampu melakukan
perjalanan yang jauh dan mendapatkan berita mengenai tempat tersebut,
mampu kembali ke masa lalu dan menyaksikan kejadian-kejadian yang
terjadi di masa tersebut. Terkadang permasalahan matematika yang sangat
sulit dan pemecahannya membutuhkan waktu yang berjam-jam, mampu
diselesaikan dalam waktu yang singkat.
Kita
menyaksikan sebagian orang dalam waktu singkat atau beberapa bulan atau
beberapa tahun, tanpa tidur dan dalam kondisi biasa mampu memiliki
kondisi tersebut. Para ilmuwan mengerjakan hal ini bertahun-tahun dan
menuliskan hasil penelitian, pengamatan, dan praktik mereka dalam sebuah
buku. Dari penelitian-penelitian ini, mereka menyimpulkan bahwa:
|
Manusia
selain memiliki kepribadian zahir dan telah dikenali, manusia juga
memiliki kepribadian yang lebih kuat dan tidak dikenali dalam batinnya.
Terkadang kepribadian itu muncul dan meninggalkan pengaruh.
|
|
Sebagian
ilmuwan mendapat manfaat dari kesimpulan penelitian tersebut dan
menjadikannya sebagai pembenar, pembuktian, dan menafsirkan wahyu para
nabi. Mereka mengatakan, “Wahyu bukanlah ilham dari luar, melainkan
muncul dari dalam jiwa para nabi. Kepribadian kedua yang
|
tinggi dalam jiwa nabi yang meletakkan pengetahuan di dalam hati nabi, meletakkan program-program yang memberi
|
(136)
kemaslahatan
diri dan masyarakat pada dirinya dan diperintahkan padanya untuk
memberikannya pada orang lain. Berita mengenai kejadian-kejadian masa
lalu dan mendatang serta berita-berita gaib, diletakkan pada dirinya.
Pengklaim kenabian memandang bahwa Allah meletakkan berita-berita dan
program tersebut dalam dirinya dan berbicara dengan- Nya. Terkadang juga
kepribadian batin dirinya membentuk gambaran tertentu yang berbicara
dengannya dan dia sendiri menganggap gambaran itu adalah malaikat wahyu
yang membawa pesan dari Tuhan. Padahal tidak lain adalah manifestasi
dari kepribadian batin dirinya.”[143]
Ilmuwan ini dengan memperhatikan penelitian yang sudah dilakukan berkenaan dengan pembenaran wahyu mengatakan,
“Benar
bahwa nabi adalah pribadi yang jujur, tulus, dan baik. Tidak pernah
bermaksud dengan sengaja berbohong dan menyampaikan hal-hal yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Kendati mengenai hal itu, dia jujur mengatakan
bahwa seluruhnya berasal dari alam metafisik yang diwahyukan ke dalam
hati kami.”
Akan
tetapi, seluruh pemberian tersebut pada dasarnya berasal dari dalam
diri mereka bukan dari luar atau dari Tuhan atau melalui malaikat wahyu.
Kesalahan para nabi adalah mereka mengklaim bahwa wahyu berasal dari
Tuhan. Kurang lebih demikianlah pendapat sebagian ilmuwan.
Sanggahan atas Pendapat ini
Untuk menolak pendapat tersebut, kami perlu menjelaskan beberapa poin berikut.
|
(137)
PERTAMA,
anggaplah bahwa kita menerima keberadaan kepribadian kedua dan batin.
Anggap kita juga menerima bahwa kepribadian batin terkadang berpengaruh
pada kepribadian zahir dan meletakkan beberapa hal pada dirinya. Namun,
semua ini tidak dapat menjadi dalil bahwa hakikat-hakikat yang telah
diletakkan pada para nabi juga termasuk hal yang sama dan bukan berasal
dari Tuhan. Wahyu dari Tuhan adalah sesuatu yang mungkin dan tidak dapat
dipungkiri. Karena itu, minimal ada kemungkinan bahwa wahyu pada mereka
berasal dari Tuhan.
KEDUA,
dalam kitab-kitab teologi dan filsafat dinyatakan bahwa untuk mengenal
cara-cara beribadah dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, jasmani
dan ruhani, manusia membutuhkan petunjuk-petunjuk Ilahi.
Petunjuk-petunjuk ini diperoleh melalui para utusan dan para nabi.
Dinyatakan bahwa Allah Swt tidak menghalangi hamba-hamba-Nya untuk
memperoleh karunia semacam ini. Oleh karena itu, pengutusan para rasul
dan pemberian pengetahuan metafisik hendaknya kita terima sebagai sebuah
keharusan. Tuhan seharusnya mengutus seorang rasul atau nabi dan
memberikan pengetahuan- pengetahuan tertentu kepada mereka. Dalam hal
ini, bukan saatnya kami menerangkan permasalahan tersebut. Kepada
pembaca kami persilakan merujuk pada kitab-kitab akidah dan teologi.
KETIGA,
dalam kitab-kitab teologi telah dinyatakan bahwa mereka yang mengklaim
kenabian tidak hanya cukup dengan pengakuan saja. Akan tetapi, hendaknya
mereka juga mendatangkan mukjizat atau sesuatu yang di luar kebiasaan
karena wahyu, hubungan manusia dengan Tuhan, perbincangan dengan-Nya dan
menerima pengetahuan metafisik adalah sesuatu yang luar biasa. Oleh
karena itu, seseorang yang mengklaim kenabian hendaknya membuktikan
pengakuannya dengan mendatangkan mukjizat. Berdasarkan hal ini, seluruh
nabi sepanjang sejarah selalu disertai dengan mukjizat. Akan tetapi, hal
ini bukan berarti bahwa nabi senantiasa melakukan
|
(138)
perbuatan
yang luar biasa kapan saja, di mana saja, dan atas permintaan setiap
manusia melainkan nabi mendatangkan mukjizat dalam jumlah terbatas
sebatas kebutuhan. Dengan mendatangkan mukjizat, jelas bahwa pengakuan
dirinya menerima wahyu dapat dibenarkan. Berbeda dengan manusia- manusia
yang melalui kepribadian batinnya menerima hakikat-hakikat, mereka
tidak mengklaim kenabian dan tidak pula mendatangkan mukjizat.
KEEMPAT,
pengetahuan dan informasi yang diperoleh dari pribadi-pribadi yang
ditidurkan melalui hipnotis atau dari kondisi- kondisi yang tidak
sewajarnya dan berasal dari kepribadian batin mereka tidak dapat
dibandingkan dengan pengetahuan dan hakikat yang luas dan metafisik yang
diperoleh para nabi. Bagaimana mungkin membandingkan penyelesaian
masalah matematika yang sulit dalam waktu singkat, pemberitaan mengenai
sebagian kejadian masa lalu dan masa mendatang, pengilhaman
masalah-masalah yang sangat terbatas yang dilakukan dalam kondisi tidur
terhipnotis atau karena kejadian tidak wajar dengan keluasan
aturan-aturan dan pengetahuan metafisik para nabi untuk kurun waktu yang
sangat panjang dan dilakukan dalam kondisi normal dan wajar?
Al-Quran
mulia yang diturunkan dan diwahyukan kepada Nabi saw selama dua puluh
tiga tahun dalam kondisi dan suasana yang berbeda bahkan dalam keadaan
perang. Dalam kitab ini, agama dijelaskan dengan terperinci, terdapat
berbagai permasalahan akidah, akhlak, sosial, politik, ibadah,
kisahkisah, kesehatan, jihad, pertahanan, pendidikan, ekonomi,
peradilan, sanksi hukum, dan puluhan masalah lainnya. Begitu pula
pengetahuan dan hukum serta undang-undang yang luas dan beragam dan
tetap terlestarikan dalam ucapan-ucapan Nabi Islam yang mulia saw yang
menyampaikan agama yang sempurna dan universal.
Apakah pengetahuan dan aturan-aturan yang luas dalam agama Islam dapat muncul dari kepribadian kedua dan batin
|
(139)
Nabi Muhammad saw? Manusia yang berakal dan sadar tidak mungkin menerima ucapan seperti ini.
Kenabian dan Kejeniusan
|
Sebagian
cendikiawan menganggap bahwa kenabian adalah kejeniusan khusus dan para
nabi adalah termasuk di antara manusiamanusia yang jenius.
|
|
Mereka
mengatakan bahwa para nabi sama seperti manusia jenius lainnya yang
termasuk pribadi-pribadi yang unggul dan istimewa di masanya.
Para nabi memiliki akal yang sempurna, kecerdasan yang luar
|
biasa,
dan dugaan-dugaan yang tepat. Mereka memiliki pandangan yang cemerlang,
pemikiran yang dalam dan perhatian yang tinggi, senantiasa berpikir
demi kebaikan dan kemaslahatan serta perkembangan kondisi masyarakat
sekitarnya, mengenali problem-problem masyarakat dan berupaya untuk
mencari jalan penyelesaiannya. Karena hal inilah, dia berusaha
memperbaiki keyakinan masyarakat, selalu menasihati masyarakat untuk
selalu berahklak baik. Demi perbaikan masalah kemasyarakatan dan menjaga
keamanan sosial, dia menetapkan aturan dan hukum dan memperkenalkan
hal-hal tersebut sebagai kewajiban Tuhan. Para nabi menyatakan bahwa
melakukan hal-hal tersebut dalam rangka menjalankan perintah Tuhan.
Ringkasnya,
para nabi tidak memiliki hubungan khusus dengan Tuhan dan tidak ada
wahyu. Semua ini berasal dari kreativitas akal manusia jenius yang
mereka nisbatkan pada Tuhan.
Sanggahan atas Pendapat ini
Untuk menjawab para cendikiawan ini, perlu memperhatikan hal-hal berikut.
|
(140)
PERTAMA, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,pengutusan seorang nabi atau rasul adalah keharusan dalam teologi.Untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, manusia
membutuhkan petunjuk Tuhan dan tuntunan para nabi. Oleh karena itu,
Tuhan Yang Mahabijaksana harus mengutus para nabi dan membekali mereka
dengan pengetahuan, hukum, dan undang-undang yang dibutuhkan. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, tidak mungkin tercukupi hanya dengan seorang
manusia yang jenius.
KEDUA, seperti yang telah diterangkan sebelumnya, dalam teologi telah ditetapkan bahwa para nabi memiliki mukjizat dan melakukan perbuatan yang luar biasa untuk membuktikan kebenaran pengakuannya sementara manusiamanusia jenius tidak memiliki hal-hal tersebut.
KETIGA, para nabi adalah manusia jenius. Pemaparan
aturan-aturan berasal dari kejeniusan akal dan pemikiran mereka. Tidak
ada alasan untuk menisbatkan mereka pada wahyu dan mendapatkan hal itu
dari Tuhan karena seluruhnya sepakat bahwa para nabi bukanlah
manusia-manusia pembohong dan penipu.
Kenabian dan Gangguan Jiwa
Sebagian
orang mengira bahwa wahyu dan kenabian adalah satu bentuk kegilaan atau
gangguan saraf. Untuk membuktikan ucapannya, mereka mengatakan, “Para
nabi adalah manusia-manusia yang beriman, sangat perhatian, dan
senantiasa menginginkan kebaikan bagi masyarakat. Mereka sangat
memprihatinkan setiap kezaliman, ketidakadilan, perampasan hak, dan
ketertindasan kaum lemah. Para nabi selalu berpikir untuk mencari
penyelesaian problem kemasyarakatan. Sedemikian rupa memikirkan
masalah-masalah tersebut, sampai- sampai mereka mengalami gangguan
kestabilan kejiwaan. Karena pengaruh hal tersebut, terkadang mereka
merasakan gangguan dalam tidur. Merasa mendengar ucapan-ucapan saat
tidur dan merasa mendapatkan sesuatu saat itu. Pada
|
(141)
saat
terjaga dari tidur, sesuatu yang didengar dan diperoleh dari tidur
dianggap sebuah kenyataan dan diyakini bersumber dari Tuhan dalam bentuk
wahyu yang diberikan padanya dan merasa diri telah menjadi nabi atau
utusan Tuhan. Secara bertahap dan perlahan pemikiran ini semakin menguat
dan ada akhirnya mereka merasakan hal-hal semacam itu pada saat
terjaga. Mereka merasa mendengar ucapan-ucapan dan menerima berbagai
permasalahan yang diletakkan pada hati mereka. Bahkan, kadangkala
menyaksikan seseorang dan berbicara dengannya yang membawa pesan dari
Tuhan dan memberi tugas-tugas tertentu.
Mereka
berpandangan bahwa semua ini adalah sebuah kenyataan dan perbuatannya
adalah wahyu dan merasa dirinya sebagai nabi. Padahal, semua ini muncul
dari perasaan batin dan gangguan kejiwaan yang tidak stabil bukan dari
Tuhan atau melalui perantara wahyu. Tidak ada wahyu, tidak ada malaikat,
yang ada hanya anggapan dan khayalan belaka. Kalian pun menyaksikan
bentuk dari khayalan, anggapan, pembicaraan, dan penyaksian semacam ini
juga terjadi pada orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Inilah
ringkasan dari pendapat mereka.
Sanggahan
Perlu diketahui bahwa pendapat semacam ini bukanlah
pendapat yang baru, melainkan diambil dari al-Quran. Pada saat al-Quran
diturunkan, sebagian para penentang juga menuduhkan hal yang serupa pada
Nabi Muhammad saw. Al-Quran menyebutkan, Bahkan mereka (penentang)
mengatakan, “Al-Quran adalah mimpi-mimpi yang kalut, bahkan mengada-ada
dan dia (Muhammad) adalah seorang penyair, maka hendaknya dia
mendatangkan pada kami mukjizat sebagaimana rasul-rasul yang telah
diutus di masa lalu.” (QS. al-Anbiya: 5)
Pada ayat lainnya disebutkan, Dan mereka berkata, “Wahai orang yang diturunkan padanya al-Quran, sesungguhnya kamu adalah benar-benar orang gila.” (QS al-Hijr: 6)
|
(142)
Ayat lainnya juga menerangkan, Demikianlah,
tidak ada seorang rasul pun yang diutus sebelum mereka kecuali mereka
mengatakan, “Dia adalah seorang penyihir atau orang gila.” (QS adz-Zariyat: 52) dan ayat-ayat lainnya.
Dari
penjelasan ayat-ayat tersebut dapat diketahui bahwa pada masa Nabi
Muhammad saw, ada beberapa manusia yang menuduh rasul sebagai penyihir,
penyair, dan orang gila. Dengan tuduhan-tuduhan inilah, mereka
menyatakan permusuhan mereka. Manusia-manusia semacam ini terbagi
menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama adalah
manusia-manusia bodoh yang tidak mengetahui dan tidak memahami dengan
baik tentang makna wahyu serta hubungan nabi dengan Allah yang merupakan
perkara yang luar biasa. Karena kebodohan inilah, mereka mengingkarinya
dan sebagai alasan, mereka menuduh nabi sebagai penyihir, penyair, atau
orang gila. Dengan tuduhan itu, mereka memuaskan hati mereka dan
berusaha menjauhkan masyarakat dari nabi.
Kelompok kedua adalah
para penentang dan orangorang musyrik. Mereka menuduhkan hal-hal
tersebut karena permusuhan dan penentangan mereka sehingga mereka dapat
mencegah laju perkembangan Islam.
Akan
tetapi, setiap orang yang sadar dan mau mengetahui pasti menafikan
tuduhan-tuduhan tersebut dari diri dan pribadi suci Nabi Muhammad saw
yang mulia. Untuk lebih jelasnya, perhatikan beberapa hal berikut.
1.
Kehidupan Nabi Muhammad saw sebelum diangkat menjadi nabi dan
setelahnya yang begitu jelas. Bahkan, bagianbagian dari kehidupan beliau
pun tercatat dengan baik dan dapat diketahui oleh orang-orang yang
ingin mengetahuinya. Setiap manusia yang sadar dan tidak memiliki
tujuan-tujuan buruk, ketika merujuk pada sejarah kehidupan beliau, pasti
menemukan bahwa beliau hidup dalam kestabilan jiwa dan memiliki
kesempurnaan akal. Tidak memiliki setitik pun
|
(143)
kelemahan yang dapat menjadi bukti kegilaan dan ketidakwarasan beliau.
Dalam
kehidupan rumah tangga, berinteraksi dengan sesama, bergaul dengan para
sahabat, dalam kondisi perang atau berdamai, saat menasehati atau
berpidato, ketika menjelaskan hukum dan aturan, berhadapan dengan para
musuh, andaikan ada satu saja kelemahan beliau, hal itu pasti tercatat
dan musuh-musuh beliau tidak akan begitu saja melewatinya.
2.
Bukti yang paling nyata dan aktual adalah al-Quran yang diturunkan
selama dua puluh tiga tahun pada Rasulullah saw. Al-Quran adalah bukti
terbaik terhadap kesempurnaan akal dan kestabilan jiwa beliau. Apakah
mungkin seorang penyihir atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan
dapat mendatangkan sebuah kitab yang indah ini dengan segala nilai
keilmuan yang besar dan tinggi yang ada di dalamnya berupa keyakinan,
moralitas, hukum-hukum fikih, sejarah, politik, sosial, dan lain-lain?
Sementara itu, kita mengetahui bahwa seorang penyihir atau manusia yang
mengalami gangguan kejiwaan tidak meninggalkan karya apa pun.
3.
Pensyariatan agama, menentukan undang-undang dan aturan-aturan
peribadatan secara terperinci, aturan-aturan politik, sosial,
kemasyarakatan, peradilan yang begitu luas dan membutuhkan ketelitian
juga merupakan bukti terbaik atas kesempurnaan akal dan keselamatan
serta kestabilan jiwa Nabi Muhammad saw.
4.
Pada dasarnya, para pembangkang dan musuh-musuh Islam sendiri tidak
yakin terhadap tuduhan yang mereka lontarkan. Mereka ragu untuk menuduh
Nabi sebagai seorang penyihir atau penyair atau orang gila. Terkadang
mereka menuduh beliau orang gila, adakalanya mereka menuduh beliau
sebagai penyair, kadang kala menuduhnya sebagai penyihir, seperti yang
telah dijelaskan dalam ayat al-Quran tersebut di atas.
|
(144)
Otak Nabi adalah Tempat Turunnya Wahyu
Salah
seorang cendikiawan Muslim memiliki pendapat baru berkenaan dengan
penafsiran wahyu dan tempat turunnya wahyu. Kami melihat bahwa
menyampaikan hal ini adalah hal yang tepat. Cendikiawan tersebut
berpendapat bahwa tempat turunnya wahyu adalah otak Nabi Muhammad saw.
Untuk membuktikan pendapatnya, dia memberikan penjelasan yang cukup
panjang. Akan tetapi, kami meringkas pendapatnya dalam tiga bagian.
Bagian pertama. Al-Quran menjelaskan bahwa tempat turunnya wahyu adalah hati Nabi saw.
Dia
dibawa turun oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu (qalbika) (Muhammad)
sehingga kamu termasuk orang-orang yang memberi peringatan dengan bahasa
Arab yang jelas. (QS. asy-Syu’ara: 193-195)
Kata
qalb secara bahasa bermakna ‘membalikkan’. Anggota tubuh yang berbentuk
sanubari yang menjadi pusat peredaran darah. Oleh karena itu disebut
“hati” karena menjadi pusat peredaran darah. Melalui anggota ini,
oksigen—yang menjadi unsur kehidupan beserta seluruh unsur yang
dibutuhkan— dialirkan ke seluruh anggota tubuh bahkan ke hati dan otak.
Otak
[hati] membedakan dan memilah unsur yang baik dan bermanfaat dari unsur
yang buruk dan tidak bermanfaat serta membuang unsur-unsur tersebut.
Dengan
memperhatikan makna hati secara bahasa, otak yang berada di dalam
kepala juga bisa disebut sebagai hati karena otak yang membolak-
balikkan unsur halus ruhani yaitu berpandangan atau berpikir.
|
(145)
Oleh
karena itu, peletakkan kata qalb pada otak lebih tepat dibanding
peletakkan pada anggota sanubari yang berada di dalam dada. Dengan
memperhatikan penjelasan ini, dengan yakin kita dapat mengatakan bahwa
yang dimaksud dalam ayat dengan kata qalb adalah otak Nabi Muhammad saw
yang menjadi tempat diturunkannya wahyu Al-Quran.
Bagian kedua. Pada
bagian ini, dia membahas dan meneliti otak manusia. Tentang sistem
kerja yang mengherankan dan kedetailan kerja yang dihasilkan oleh otak.
Bagian-bagian
yang beragam, tugas-tugas dari setiap bagian, macam-macam saraf dan
jumlah mereka yang sangat banyak, ukuran otak, dan kebutuhan makanan
serta pengembangannya dan sejumlah hal-hal lainnya yang menyebutkan
tentang kerja otak.
Dengan
kata lain, menjadi khalifah Allah di muka bumi bagi manusia bergantung
pada kemampuan, perkembangan, dan peningkatan otak manusia serta adanya
kemungkinan ak-
Pada
akhirnya, dia mengambil kesimpulan bahwa setiap manusia yang mampu
memfungsikan setiap saraf yang ada dalam otaknya, dia dapat
memanfaatkannya secara sempurna dan dari sisi kerja otak dan kejiwaan
telah mencapai tingkat kemungkinan paling sempurna. Manusia seperti
itulah yang mampu menduduki posisi sebagai wakil Tuhan di bumi dan
paling dekat dengan-Nya serta menjadi khalifah Allah.
ses untuk mencapai hal tersebut. Kemungkinan ini Allah berikan dalam otak manusia yang merupakan wujud terbaik.
Kemudian ia menerangkan tentang kekhalifahan terbaik. Pada mulanya menyebutkan beberapa ayat al-Quran di antaranya, Manakala Tuhanmu berkata pada malaikat, “Sesung-
|
(146)
guhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah:30)
Allah berfirman, “Wahai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi,
maka tegakkan hukum di antara manusia dengan kebenaran.” (QS Shad: 26)
Kemudian,
dia juga menjelaskan tentang makna khalifah dalam ayat yang telah
disebutkan, yaitu Allah Swt menjadikan manusia sebagai wakil-Nya di muka
bumi ini yang memiliki beberapa kekhususan. Di antaranya, memiliki
kelayakan menjadi wakil Allah (dari sisi kejiwaan, akal, pikiran, dan
kemampuan) dalam memimpin dan memberi petunjuk kepada masyarakat, mampu
menegakkan hukum, berperang melawan kebatilan dan kezaliman, tidak
mengikuti hawa nafsu, menunjukkan tanda-tanda kebesaran Allah dalam
manusia, alam, dan sejarah, menuntun dengan menggunakan kekuatan yang
diberikan Allah untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta Yang Esa dan
melakukan penghambaan kepada-Nya.
Bagian ketiga. Pada
bagian ketiga ini, dia menjelaskan pendapatnya dan menyatakan bahwa
kata wahyu dalam al- Quran memiliki makna yang beragam. Di antaranya,
bermakna isyarat yang cepat, simbol, ucapan, rumus, suara batin,
penguasaan dalam tidur, mengikuti kekuatan insting, peletakan pada qalb
yakni otak. Seluruhnya menunjukkan dengan jelas adanya satu pergerakan
saraf-saraf dalam otak yang di luar perbuatan pancaindra dan
perbuatan-perbuatan pada umumnya. Dengan kata lain, pengaktifan
saraf-saraf dalam otak manusia tidak berperan langsung dalam
perbuatan-perbuatan penting dalam kehidupan. Akan tetapi, berpengaruh
dalam kejiwaan, pemikiran, dan akal manusia.
Setelah kita memperhatikan penjelasan-penjelasan di atas, kita menyaksikan:
PERTAMA,
dalam otak manusia, terdapat 12 milyar saraf dan hanya sepertiganya
saja yang melakukan perbuatan penting dalam kehidupan atau dengan
istilah gerakan, rasa
|
(147)
dan
semacamnya. Adapun sebagiannya, terdapat saraf-saraf yang khusus dan
terfungsikan pada diri manusia dan sifatsifatnya serta kekhususannya,
seperti berbicara, kecerdasan, hapalan, perasaan, nurani, pemahaman,
akal, pemikiran, dan lain-lainnya.
KEDUA,
jika saraf-saraf tersebut diberi tugas dan bekerja, kinerja dan
percepatannnya bertambah dan hubungannya dengan saraf-saraf lainnya
terjalin. Sedemikian kecil dan halusnya atau dengan istilah tanpa akar.
KETIGA,
jumlah saraf setiap manusia tidak sama. Jarang sekali dua orang manusia
memiliki jumlah saraf yang sama atau kinerja keduanya serupa. Biasanya,
secara keturunan dan genetik, sebagian orang memiliki bagian dari
otaknya yang kekuatannya lebih dibanding dengan saraf-saraf lainnya atau
memiliki potensi pemahaman, pandangan, dan spesialisasi lainnya.
Seperti contoh, mereka memahami sesuatu sementara yang lainnya tidak
memilikinya, yakni selain tugas perolehan yang diberikan oleh manusia,
dari sisi bentuk bangunan juga memiliki perbedaan. Secara praktik kita
menyaksikan perbedaan tersebut ada dalam anggota masyarakat.
Sekarang,
setelah kita mengetahui penjelasan tersebut dan mengetahui makna wahyu
yang beragam seperti yang terdapat dalam al-Quran dan kita coba
menerapkannya, maka kita mendapatkan bahwa seluruh manusia dan sebagian
hewan mungkin saja mendapatkan wahyu. Wahyu pada manusia beragam, adapun
bentuk wahyu yang diberikan pada Nabi Muhammad saw dan segala sesuatu
yang terkait dengan al- Quran memiliki keistimewaan yang perlu
diperhatikan seperti di bawah ini.
Nabi
Muhammad saw sejak kecil dan sebelum diangkat menjadi nabi, memiliki
perbedaan dengan masyarakat sekitar beliau. Perbedaan tersebut tercatat
dalam sejarah.
1. Imam Ali as menjelaskan mengenai beliau dalam Nahj al-Balagah. Beliau berkata, “Sungguh Allah Swt telah meny
|
(148)
ertainya
(Nabi Muhammad saw) sejak masih kanak-kanak dengan malaikat teragung
dari malaikat-malaikat-Nya yang menyertainya pada jalan-jalan yang mulia
dan kebaikan akhlak dan yang mengetahuinya baik malam maupun siang.”
2. Abu Thalib sejak masa kecil Nabi Muhammad saw menerangkan sebagai berikut.
“Tidak
pernah aku mendengar darinya kebohongan, tidak melakukan
perbuatan-perbuatan keji yang terjadi di masyarakat. Tidak pernah
tertawa tanpa sebab, tidak bermain bersama anak-anak kecil sebayanya,
dan beliau sangat menyukai kesendirian.”
3.
Beliau adalah manusia yang jujur dan amanat. Tidak pernah melakukan
kobohongan dan penipuan. Karena itulah, beliau termasuk manusia yang
banyak disukai di kalangan penduduk dan disebut sebagai al-Amin (yang
dapat dipercaya). Disebutkan juga bahwa beliau pernah menggembala
kambing.
4.
Pada saat memasuki usia ke-37, setiap hari kecintaannya untuk
menyendiri bertafakur semakin besar. Beberapa waktu dalam setiap tahun
beliau menyendiri untuk bertafakur dan beribadah di gua di bukit Hira.
Seakan-akan beliau dalam penantian. Belum genap usia beliau 38 tahun,
terjadi perubahan dalam kehidupan pribadi beliau. Setiap malam selalu
mengakhirkan dirinya untuk tidur, sedikit sekali mengonsumsi makanan.
Dalam kondisi tidur atau terjaga, beliau merasakan ada seseorang yang
senantiasa menemaninya. Terkadang beliau dipanggil namanya oleh penjaga
tersebut, “Wahai Muhammad!” akan tetapi beliau tidak menyaksikan wajah
itu. Sebagian besar malam beliau senantiasa bermimpi dan pada siang
harinya tabir mimpi tersebut menjadi kenyataan. Pada akhirnya, suatu
malam beliau bermimpi seseorang datang kepadanya dan berkata, “Wahai
Rasulullah saw!”
5. Sebagaimana dalam sejarah disebutkan, saat wahyu diturunkan terjadi sesuatu pada diri Rasul dan keluar dari
|
(149)
kondisi
biasanya. Keringat mengalir di sekitar dahi beliau yang mulia. Badan
beliau menjadi berat sampai-sampai jika beliau berada di atas hewan
tunggangan, maka hewan itu pun terduduk.
Segala
hal yang telah disebutkan menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam
otak Nabi dan membawanya ke alam lain. Akan tetapi, saat penurunan wahyu
terhenti, ayat-ayat al-Quran keluar dari mulut Nabi yang suci tanpa ada
satu pun yang terlupakan. Oleh karena itu, tanda-tanda jasmani yang
tampak pada diri Nabi saw merupakan tanda terjadinya sesuatu yang
mendalam dan agung pada otak Nabi saw yang seutuhnya menonaktifkan
sel-sel atau saraf-saraf bagian tertentu dari otak beliau.
Seperti
yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa manusialah yang mengaktifkan
saraf-saraf otaknya yang menyebabkan terjadinya akselerasi korelatif dan
memasukkan sesuatu ke dalam otak lalu menuju saraf pengirim yang
kemudian dipindahkan menuju mata, telinga, dan lidah, yakni fenomena
wahyu dikirim menjadi ucapan dan perilaku. Dengan demikian, setiap kali
terjadi pewahyuan, maka jumlah neuron berkembang dan siap bertugas. Kita
mengetahui bahwa jiwa menugaskan sel-sel otak menjadi sebab
perkembangannya.
Sebelum
diturunkannya wahyu, pada diri Nabi saw juga terjadi fenomena kejiwaan
lainnya seperti berpikir yang mendalam, ilham, mimpi-mimpi yang benar
sehingga pada masa diangkat menjadi nabi, otak beliau telah mencapai
kesempurnaan. Beliau mampu menerima wahyu, menyampaikan risalah kepada
masyarakat, menampilkan sesuatu dari dalam pada tampilan luar dalam
rangka mendidik manusia.
Pada
akhir makalahnya, dia menulis, “Nabi adalah seorang manusia yang
menjadi sumber segala kenikmatan Ilahi. Seluruh neuron otak beliau
bekerja berdasarkan perintah Allah Swt Yang Mahaagung dalam
perkembangannya dalam memberi petunjuk pada manusia hingga akhir dunia.”[144]
|
(150)
Untuk
menjawab makalah dan pendapat ini, kita dapat menjelaskan bahwa kita
menerima adanya perbedaan dari sisi jumlah dan kemampuan sel-sel otak
setiap manusia. Perbedaan ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam
kemampuan memahami, menghapal, dan kecerdasan setiap manusia. Kami juga
mengakui bahwa sebagian besar sel-sel otak yang berada di bagian khusus
otak manusia bertanggung jawab dalam masalah keilmuan manusia
sampai-sampai jika terjadi sesuatu padanya, maka terjadi gangguan pada
pengetahuanpengetahuan yang terkait dengannya.
Kami
juga meyakini bahwa saat manusia memahami, berpikir, dan menghapal
sebuah permasalahan ilmiah, terjadi interaksi dalam sel-sel yang
berhubungan dengan otak sehingga dapat dikatakan bahwa interaksi sel-sel
tertentu dalam otak jelas berpengaruh pada pengetahuan dan pemahaman.
Kami juga menerima bahwa para nabi adalah manusia luar biasa. Dalam
masalah otak dan saraf pun, mereka memiliki kemampuan luar biasa
sehingga mereka mampu menurunkan hakikat-hakikat dan
pengetahuan-pengetahuan penting kehidupan dari dalam batin, jiwa, dan
ruh mereka pada tataran potensi pancaindra dan menampilkannya dalam
bentuk kata dan kalimat dan menyampaikannya pada masyarakat. Hendaknya
para nabi memiliki kemampuan seperti ini.
Pada dasarnya, ilmu yang bermakna penyingkapan atau kehadiran sesuatu yang diketahui pada diri yang mengetahui
Akan
tetapi, kami menolak bahwa otak adalah tempat penurunan wahyu
sesungguhnya karena wahyu adalah pengetahuan hudhuri yang diberikan pada
Nabi saw dari Allah Swt dan dalam kitab-kitab filsafat Islam dibuktikan
bahwa ilmu bukanlah materi atau tergolong dari pengaruh materi.
|
(151)
tidaklah
sesuai dengan materi yang meniscayakan ketiadaan dan ketidakhadiran.
Ilmu adalah sebuah hakikat yang bercahaya dan tidak bermateri. Karena
itu, pemilik ilmu atau penyingkap hendaknya juga suatu hakikat yang
nonmaterial. Dengan demikian, mengetahui, memahami, dan menghapal
hakikat ilmu adalah pekerjaan ruh manusia yang merupakan suatu hakikat
yang bercahaya dan nonmaterial.
Sesungguhnya
mereka tidak mengingkari kenyataan bahwa pancaindra, sel-sel otak
berpengaruh dan berperan aktif dalam memperoleh pengetahuan dan
penyingkapan sebuah kenyataan. Akan tetapi, mereka meyakini hal ini
sebagai pengantar ilmu pengetahuan bukan pengetahuan itu sendiri. Ruh
manusia yang nonmaterial setelah terwujudnya pengantar-pengantar
tersebut yang menyingkap, memahami, dan menghapal sesuatu yang
diketahui.
Kendati sel-sel otak berperan dalam memindahkan hakikat-hakikat yang memiliki nilai wahyu pada masyarakat,
|
Berkenaan
dengan wahyu juga demikian. Wahyu adalah suatu bentuk pengetahuan dan
penyingkapan hakikat yang memiliki nilai-nilai wahyu bagi seorang nabi
maka pusat dan pengenal hakikat tersebut hendaknya jiwa dan ruh nabi
yang nonmaterial bukan otak mereka.
|
|
tetapi
otak atau sel-sel otak bukanlah tempat atau pusat penerimaan wahyu.
Akan tetapi, yang menjadi pusat penerimaan wahyu adalah jiwa dan ruh
para nabi. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada kitab-kitab
filsafat.
Antara wahyu dan ilmu hushuli(pengetahuan yang dihasilkan melalui proses belajar) terdapat satu perbedaan yang mendasar. Ilmu hushuli dihasilkan melalui pancaindra kendati pada akhirnya ruh manusia
|
(152)
yang
memahami dan menghapalnya. Berbeda dengan hakikat- hakikat atau
pengetahuan yang memiliki nilai wahyu, pada mulanya diberikan pada hati,
ruh nabi yang bercahaya kemudian berpindah keluar melalui potensi
pengenalan dan pancaindra.
Wahyu dan Ilham
Dari sejumlah hadis dapat diketahui bahwa para imam
|
Dari
sejumlah hadis dapat di-ketahui bahwa para imam maksum juga memiliki
pengetahuan-pengetahuan yang tidak termasuk pengetahuan pada umumnya dan
tidak diperoleh melalui pancaindra melainkan melalui pengalaman batin
dan penyaksian hudhuri mereka. Pengetahuan-pengetahuan semacam ini
menyerupai wahyu tetapi sebagai bentuk penghormatan tidak disebut
sebagai wahyu.
|
|
maksum
juga memiliki pengetahuan-pengetahuan yang tidak termasuk pengetahuan
pada umumnya dan tidak diperoleh melalui pancaindra melainkan melalui
pengalaman batin dan penyaksian hudhuri mereka. Pengetahuan-pengetahuan
semacam ini menyerupai wahyu tetapi sebagai bentuk penghormatan tidak
disebut sebagai wahyu.
Dalam
sebuah riwayat disebutkan, “Ali bin Yaqtin meriwayatkan dari ayahnya
yang bertanya pada Imam Musa bin Ja’far as, ‘Berasal dari manakah ilmu
yang kalian miliki?’ Imam menjawab, ‘Bersumber dari pemberian dalam hati
atau pada pendengaran atau melalui kedua-duanya.’”[145]
Disebutkan dalam sebuah riwayat, “Harits bin
|
(153)
Mughirah
meriwayatkan: Aku bertanya pada Abi Abdillah, Imam Ja’far Shadiq as,
“Jiwaku menjadi tebusanmu, jika imam ditanya tentang sesuatu dan tidak
memiliki jawaban, dari mana imam mengetahui?” Imam menjawab, “Diletakkan
ilmu dalam hati atau diperdengarkan pada pendengaran.”[146]
Diriwayatkan
dalam sebuah hadis dari Isa bin Hamzah Tsaqafi berkata, “Aku bertanya
pada Imam Ja’far Shadiq as, ‘Terkadang kami bertanya tentang sesuatu
pada kalian dan kalian langsung menjawabnya. Terkadang pula kalian
menjawabnya setelah terdiam sejenak. Apa sebab hal itu?’ Imam menjawab,
‘Benar, masalah-masalah pengetahuan diberikan pada hati kami. Jika
langsung diberikan, maka kami pun menjawabnya secara langsung dan jika
pemberian sedikit terlambat, maka kami pun tidak segera menjawabnya.’” [147]
Yahya
Madani meriwayatkan dari Abi Abdillah Imam Ja’far Shadiq as, “Aku
bertanya pada Imam as, ‘Bagaimana Imam menjawab pada saat ditanya?’ Imam
menjawab, ‘Melalui ilham atau pendengaran dan terkadang kedua-duanya
berbarengan.’”[148]
Harits
bin Mughirah juga meriwayatkan dari Imam Shadiq as, “Aku berkata pada
Abu Abdillah as, ‘Ilmu yang kalian ketahui, apakah sesuatu yang
diletakkan dalam hati kalian atau sesuatu yang diperdengarkan pada
pendengaran kalian?’ Imam terdiam, sampai-sampai kaum lupa akan hal itu.
Kemudian, Imam menjawab, ‘Terkadang ini, terkadang itu.’” [149]
Hadis
lain yang diriwayatkan oleh Harits bin Mughirah menjelaskan, “Aku
bertanya pada Abu Abdillah as, ‘Ilmu para alim kalian apakah berupa
kalimat yang diletakkan dalam hati kalian atau sesuatu yang
diperdengarkan pada pendengaran kalian?’ Imam menjawab, ‘Sebuah wahyu
seperti wahyu yang diberikan pada Nabi Musa as.’”[150]
Abu Bashir meriwayatkan dari Imam Shadiq as, “Aku berkata pada Imam Shadiq as, ‘Jiwaku menjadi tebusanmu,
|
(154)
ilmu
semacam apakah yang kalian miliki?’ Imam menjawab, ‘Sesuatu yang
dibicarakan siang dan malam, permasalahan demi permasalahan, kejadian
demi kejadian hingga hari kiamat.’”[151]
Riwayat
lainnya dari Harits bin Mughirah menerangkan: Imam Shadiq berkata,
“Sesungguhnya bumi tidak pernah ditinggalkan tanpa seorang alim.” Harits
bertanya, “Darimana ilmu yang kalian ketahui?” Imam menjawab, “Warisan
dari Rasulullah saw dari Ali bin Abi Thalib as. Ilmu yang menyebabkan
kami tidak butuh pada manusia sementara manusia selalu butuh pada ilmu
tersebut.” Aku berkata, “Ataukah berupa hikmah yang diletakkan dalam
dada kalian atau pengetahuan yang diperdengarkan pada pendengaran
kalian?” Imam berkata, “Termasuk keduanya.” [152]
Mufadhdhal
meriwayatkan dari Imam Shadiq as, “Suatu hari, Imam Shadiq berkata
kepadaku, ‘Wahai Abu Abdillah,’ Aku menjawab, ‘Labbaik, jiwaku menjadi
tebusanmu.’ Imam berkata, ‘Sesungguhnya setiap malam Jumat kami merasa
senang.’ ‘Semoga Allah menambah kesenanganmu, apakah yang menyebabkan
hal itu?’ tanyaku. Imam menjawab, ‘Sesungguhnya setiap malam Jumat
Rasulullah saw naik menuju Arasy juga para imam dan kami pun naik
bersama mereka. Ruh-ruh kami tidak kembali ke jasad kami kecuali dengan
ilmu yang sangat bermanfaat. Andaikan tidak demikian, maka disempurnakan
ilmu yang telah kami miliki.’”[153]
Yunus
bin Abi Fadhl meriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata,
“Setiap malam Jumat tidak terjadi sesuatu pada kekasih-kekasih Allah
kecuali kebahagiaan.” Aku bertanya, “Jiwaku menjadi tebusanmu, bagaimana
hal itu terjadi?” Imam menjawab, “Setiap malam Jumat, Rasulullah saw
naik menuju Arasy dan aku naik bersama beliau. Aku tidak kembali kecuali
dengan ilmu yang bermanfaat. Andaikan tidak demikian, maka
disempurnakan ilmu yang telah kami miliki.”[154]
|
(155)
Zurarah
meriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as, “Aku mendengar beliau
bersabda, “Dua belas imam dari keluarga Muhammad saw seluruhnya adalah muhaddats (manusia yang diajak bicara malaikat—penerj.) dari keturunan Rasulullah dan keturunan Ali as. Maka, Rasulullah saw dan Ali as adalah kedua orang tua.”[155]
Dari
beberapa hadis yang telah disebutkan dan contohcontoh lainnya yang
cukup banyak, kita dapat mengetahui bahwa imam-imam maksum dari
Ahlulbait as memiliki pengetahuan yang tidak termasuk
pemahaman-pemahaman pada umumnya dan tidak diperoleh melalui pancaindra.
Pengetahuan itu diperoleh melalui pengalaman batin, lalu diberikan ke
dalam hati mereka atau diperdengarkan pada pendengaran batin mereka. Hal
ini adalah hakikat yang serupa dengan hakikat yang telah dijelaskan
mengenai wahyu. Akan tetapi, mereka enggan untuk menyebut hal tersebut
sebagai wahyu tetapi menyebutnya sebagai ilham atau qadzaf dalam hati
mereka atau nakt (anugerah) yang diberikan pada pendengaran mereka.
Kalaupun disebut sebagai wahyu, itu sama dengan wahyu yang diberikan
pada ibu Nabi Musa as.
Hal
ini disebabkan pandangan umat Islam pada umumnya mengkhususkan wahyu
hanya pada para nabi. Begitu pula keyakinan mengenai berakhirnya
kenabian dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, maka masa wahyu secara
istilah pun berakhir sebagaimana yang disampaikan oleh Amirul Mukminin
Ali as, “Demi ibu dan ayahku yang menjadi tebusanmu, wahai Rasulullah,
sungguh telah terputus dengan kematianmu sesuatu yang tidak terputus
dengan kematian selain dirimu dari kenabian, berita, dan kabar-kabar
dari langit.”[156]
Pada
kesempatan lainnya, beliau juga mengatakan, “Allah mengutus nabi-Nya
pada masa peralihan para rasul dan pergantian manusia, dengan
perantaranya (Nabi Muhammad saw—penerj.) Allah menyelesaikan utusan-Nya
dan diakhiri wahyu dengannya.”[157]
|
(156)
Pengetahuan imam memiliki perbedaan penting dengan wahyu yang diberikan pada para nabi dalam dua hal berikut.
|
Perbedaan
pertama , wahyu yang diturunkan pada para nabi mencakup hukum-hukum,
aturanaturan, dan penjelasan mengenai halal dan haram yang diiringi
dengan perintah untuk menyebarkan. Sementara itu, pengetahuan yang
dimiliki imam tidak terdapat pada obyekobyek tersebut.
|
|
Hukum-hukum
syariat tidak diberikan ke dalam hati imam tetapi penjelasan dan
pendukung hukum-hukum tersebut yang diberikan pada imam sebagaimana yang
dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sulaiman Dailami
dari ayahnya, “Aku bertanya pada Abu Abdillah as, ‘Jiwaku menjadi
tebusanmu, seringkali aku mendengar darimu ucapan, ‘Andaikan tidak
bertambah ilmu kami, maka selesailah.’ Apakah maksud ucapanmu ini?’ Imam
menjawab, ‘Adapun halal dan haram dalam syariat, demi Allah semua telah
diturunkan dengan sempur-
|
na
pada Rasululullah saw dan mengenai hal ini pengetahuan imam tidak
bertambah.’ Aku bertanya, ‘Lalu ilmu apakah yang ditambahkan pada
ilmu-ilmu kalian?’ Imam menjawab, ‘Dalam hal-hal lainnya selain
kehalalan dan keharaman.’ Aku bertanya kembali, ‘Apakah sesuatu
diturunkan pada kalian yang tidak diturunkan pada Rasulullah saw?’
‘Tidak, ilmu yang hendak diturunkan pada kami, sebelumnya telah
diturunkan malaikat pada rasul dan berkata, ‘Wahai Muhammad, Tuhanmu
memerintahkanmu untuk melakukan perbuatan ini dan itu.’ ‘Sampaikanlah
hal ini pada Ali,’ jawab Rasul. Malaikat membawa perintah tersebut pada
Ali. Ali juga mengatakan, ‘Sampaikanlah hal ini juga pada Hasan.’
Disampaikanlah perintah
|
(157)
itu
pada Hasan dan beliau juga mengatakan, ‘Sampaikan hal ini juga pada
Husain.’ Disampaikanlah perintah itu pada Husain.’ Seperti inilah
berlanjut satu per satu hingga sampai pada kami.’ Kembali aku bertanya,
‘Dengan demikian, ditambahkan sesuatu pada kalian yang tidak diketahui
oleh Rasulullah saw?’ Imam berkata, ‘Hati-hati kau! Apakah diperkenankan
imam mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Rasulullah saw?
Apakah imam lebih dulu dari Rasulullah?’”[158]
|
Penerima
ilham adalah hati. Kendati memiliki perhatian terhadap ilham-ilham
batin dirinya, akan tetapi perhatian para imam tertuju pada sumber yang
meletakkannya ke dalam hati yaitu Allah SWT.
|
|
Dari
tanda dan alamatnya dapat dipahami bahwa ilham tersebut berasal dari
Allah bukan dari waswas setan dan diri mereka sebagaimana hal ini
disebutkan dalam beberapa hadis berikut.
Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa Muhammad bin Muslim bertanya pada Imam
Shadiq as mengenai muhaddatsah. Imam menjelaskan, “Sesungguh-
|
nya
dia mendengar suara namun tidak menyaksikannya.” Aku berkata, “Semoga
Allah senantiasa memberi kemaslahatan padamu. Bagaimana dia mengetahui
bahwa itu adalah ucapan malaikat?” Imam menjawab, “Dia diberi ketenangan
dan kenyamanan sehingga dia mengetahui bahwa itu adalah malaikat.”[159]
Berkenaan
dengan masalah tersebut, sebuah riwayat juga menjelaskan bahwa suatu
saat Zurarah bertanya pada Imam Shadiq as. Zurarah bertanya, “Bagaimana
(imam) mengetahui bahwa hal itu berasal dari malaikat dan tidak khawatir
bahwa mungkin saja dari setan, mengingat dia tidak menyaksikan
seseorang?” Imam menjawab, “Diberikan kepadanya ketenangan, dengan
demikian dia mengetahui bahwa hal itu berasal
|
(158)
dari
malaikat. Andaikan dari setan, dia merasa galau dan tidak tenang.
Kendati demikian, wahai Zurarah, hal seperti itu (gangguan dari setan)
tidak mungkin dialami para imam.”[160]
Poin
penting yang dapat diambil dari hadis ini yaitu adanya pengetahuan dan
kesempurnaan melalui wahyu atau ilham yang diberikan pada hati imam yang
hidup di setiap masa dengan jalan penurunan dari maqam kenabian dan
wilayah.
Perbedaan kedua dari
wahyu dan ilham yaitu penerima wahyu adalah nabi. Selain penerima
wahyu, juga perhatikan sumber pemberi wahyu yaitu Allah Swt. Penerima
wahyu memiliki perhatian bahwa pemberian-pemberian dan
penyaksian-penyaksian dalam hatinya berasal dari Allah Swt karena hal
inilah mereka mengalami ketenangan dan kenyamanan tertentu. Sementara
ilham, tidaklah demikian.
Penyingkapan, Penyaksian Para Urafa
Para
urafa (pelaku jalan spiritual) yang sesungguhnya mengklaim bahwa pada
satu kondisi kejiwaan mereka terjadi penyingkapan hakikat dan
pengetahuan yang kemudian kebenaran penyingkapan tersebut terbukti.
Terkadang berita-berita kejadian masa lalu terlintas dalam hati mereka,
terkadang pula mereka mendapat pengetahuan mengenai kejadiankejadian
mendatang. Adakalanya mereka juga mengetahui kejadian atau sesuatu yang
sulit untuk dijangkau pancaindra, menyaksikan sesuatu atau seseorang
atau mendengar suara tetapi tidak melalui penglihatan dan pendengaran
zahir. Beritaberita semacam ini sedemikian banyaknya sehingga pokok dari
permasalahan tersebut tidak dapat dipungkiri. Kendati
|
(159)
sebagian
dari mereka yang mengklaim hal-hal tersebut juga terdapat kebohongan
yang jelas kita saksikan tetapi hal ini tidak mengganggu pokok
permasalahan.
Penyingkapan-penyingkapan
pelaku jalan spiritual juga dihasilkan dari pengalaman dan perjalanan
batin serta pemberian pada hati mereka dan tidak memiliki keserupaan
dengan wahyu dan ilham. Penyingkapan-penyingkapan tersebut memiliki
perbedaan dengan wahyu dalam beberapa hal berikut.
1.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya bahwa penerima wahyu
pada saat itu memiliki perhatian hudhuri pada pemberi wahyu yaitu Allah
Swt dan memiliki keyakinan penuh bahwa wahyu berasal dari Allah Swt,
berdasarkan hal inilah merasakan ketenangan. Berbeda dengan penyingkapan
atau penyaksian para pelaku jalan spiritual yang tidak memiliki
perhatian hudhuri kepada Allah SWT.
2.
Pada penyingkapan irfani (pelaku jalan spiritual), kemungkinan
terjadinya kesalahan dan ada kemungkinan berasal dari waswas setan.
Dalam penyingkapan-penyingkapan irfani yang dinukil, terdapat hal-hal
berupa khayalan dan hanya anggapan belaka yang bersumber dari kapasitas
mereka. Berbeda dengan wahyu para nabi yang senantiasa terjaga dari
segala bentuk kesalahan.
3.
Wahyu kenabian memiliki pesan dan perintah untuk menyampaikan.
Disampaikan guna memberikan kebahagiaan masyarakat di segala bidang.
Berbeda dengan penyingkapan- penyingkapan irfani yang membantu pelaku
penyingkapan dengan ilmu dan perjalanan spiritual.
4.
Penyingkapan-penyingkapan irfani adalah perolehan yang dihasilkan
melalui proses latihan-latihan dan menjalani amalan-amalan khusus.
Berbeda dengan wahyu yang tidak membutuhkan latihan dan terjadi tanpa
proses.
|
No comments:
Post a Comment