أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Alquran dan hadis Rasulullah SAW, akhirat meliputi fase-fase berikut:
Fase pertama adalah fase kehancuran alam semesta yang ditandai dengan bergugurannya bintang-bintang di langit, terjadinya goncangan dan ledakan dahsyat yang mengakibatkan bumi dan seisinya hancur, air laut mendidih dan meluap sementara manusia terombang-ambing di dalamnya, dan berbagai peristiwa mengerikan lainnya.
Keadaan itu digambarkan Allah SWT dalam berbagai ayat-Nya, antara lain, "Apabila langit terbelah dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. Al-Insyiqaq: 1-4).
“Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan dan apabila lautan dijadikan meluap.” (QS. Al-Infithar: 2-3).
“Dan apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 1-2).
“Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al-Qariah: 4-5), dan ayat-ayat lainnya yang menceritakan hal tersebut.
Fase kedua ialah fase kebangkitan. Saat setiap manusia yang pernah dilahirkan di dunia ini, mulai dari manusia pertama (Adam AS) sampai manusia terakhir, dibangkitkan dan dihidupkan kembali.
Semuanya berhimpun di salah satu tempat yang disebut Padang Mahsyar. Gambaran ini diperoleh antara lain dari ayat-ayat, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 33).
“Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,” (QS. Al-Infithar: 4).
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburannya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.” (QS. Al-Zalzalah: 6).
Fase ketiga adalah fase penghitungan (hisab) dan penimbangan amal kebaikan dan kejahatan yang dilakukan setiap manusia semasa hidup di dunia.
Semua amal perbuatan diperhitungkan, walau sekecil apa pun, tidak ada yang disia-siakan dan diabaikan.
Amal yang baik dibalas dengan yang baik dan yang jahat dibalas dengan kejahatan, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8).
Di hadapan Allah SWT semua rahasia umat manusia terbongkar. Saat itu, lidah, tangan, dan kaki ikut memberi kesaksian atas apa yang diperbuatnya di dunia. Sebagaimana ayat, "Pada hari (ketika) lidah, tangan. Dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nuur: 24).
Selain kesaksian yang diberikan oleh anggota tubuh, ditampilkan pula catatan amal perbuatan mereka di dunia yang pencatatannya dilakukan oleh para malaikat atas perintah Allah SWT.
Sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10-12).
Catatan itu dibuka dan pemiliknya diperintahkan Allah SWT untuk membacakannya di hadapan Allah SWT. Seperti tergambar dalam firman Allah SWT, “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. ’Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu’.” (QS. Al-Isra’: 13-14).
Persoalan melihat Tuhan di akhirat banyak ditanggapi terutama oleh para mutakallimin (ahli kalam/teolog) dengan tanggapan yang berbeda.
Golongan Muktazilah mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat nonmateri, tak dapat dilihat oleh mata kepala. Mereka berargumen bahwa Tuhan tidak mengambil tempat, baik di dunia maupun di akhirat dan dengan demikian Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat.
Kalau Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, tentu akan dapat dilihat di alam dunia sekarang. Ayat Alquran yang mereka jadikan dasar ialah Surah Al-An’am ayat 103 yang artinya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah yang Mahahalus lagi Mahamengetahui.”
Golongan Asy’ariyah sebaliknya berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala. Karena Tuhan mempunyai sifat-sifat antropomorfis meskipun tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada di alam dunia.
Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala adalah suatu hal yang bukan mustahil. Mereka mengatakan bahwa yang tak dapat dilihat adalah yang tak berwujud. Yang mempunyai wujud tidak mustahil dapat dilihat.
Tuhan adalah berwujud dan oleh karenanya tidak mustahil dapat dilihat. Ayat Alquran yang mereka jadikan dasar ialah Surah Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Dasar lain juga pada Surah Al-A'raf ayat 143 yang artinya, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’...”
Ensiklopedi Hukum Islam: Fase-Fase Akhirat (1)
Fase pertama adalah fase kehancuran alam semesta yang ditandai dengan bergugurannya bintang-bintang di langit, terjadinya goncangan dan ledakan dahsyat yang mengakibatkan bumi dan seisinya hancur, air laut mendidih dan meluap sementara manusia terombang-ambing di dalamnya, dan berbagai peristiwa mengerikan lainnya.
Keadaan itu digambarkan Allah SWT dalam berbagai ayat-Nya, antara lain, "Apabila langit terbelah dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh, dan apabila bumi diratakan dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. Al-Insyiqaq: 1-4).
“Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan dan apabila lautan dijadikan meluap.” (QS. Al-Infithar: 2-3).
“Dan apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya.” (QS. Al-Zalzalah: 1-2).
“Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al-Qariah: 4-5), dan ayat-ayat lainnya yang menceritakan hal tersebut.
Fase kedua ialah fase kebangkitan. Saat setiap manusia yang pernah dilahirkan di dunia ini, mulai dari manusia pertama (Adam AS) sampai manusia terakhir, dibangkitkan dan dihidupkan kembali.
Semuanya berhimpun di salah satu tempat yang disebut Padang Mahsyar. Gambaran ini diperoleh antara lain dari ayat-ayat, “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam: 33).
“Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,” (QS. Al-Infithar: 4).
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburannya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.” (QS. Al-Zalzalah: 6).
Ensiklopedi Hukum Islam: Fase-Fase Akhirat (2)
Fase ketiga adalah fase penghitungan (hisab) dan penimbangan amal kebaikan dan kejahatan yang dilakukan setiap manusia semasa hidup di dunia.
Semua amal perbuatan diperhitungkan, walau sekecil apa pun, tidak ada yang disia-siakan dan diabaikan.
Amal yang baik dibalas dengan yang baik dan yang jahat dibalas dengan kejahatan, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat, "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah: 7-8).
Di hadapan Allah SWT semua rahasia umat manusia terbongkar. Saat itu, lidah, tangan, dan kaki ikut memberi kesaksian atas apa yang diperbuatnya di dunia. Sebagaimana ayat, "Pada hari (ketika) lidah, tangan. Dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nuur: 24).
Selain kesaksian yang diberikan oleh anggota tubuh, ditampilkan pula catatan amal perbuatan mereka di dunia yang pencatatannya dilakukan oleh para malaikat atas perintah Allah SWT.
Sebagaimana dinyatakan dalam ayat, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Infithar: 10-12).
Catatan itu dibuka dan pemiliknya diperintahkan Allah SWT untuk membacakannya di hadapan Allah SWT. Seperti tergambar dalam firman Allah SWT, “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. ’Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu’.” (QS. Al-Isra’: 13-14).
Ensiklopedi Hukum Islam: Melihat Allah di Akhirat
Persoalan melihat Tuhan di akhirat banyak ditanggapi terutama oleh para mutakallimin (ahli kalam/teolog) dengan tanggapan yang berbeda.
Golongan Muktazilah mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat nonmateri, tak dapat dilihat oleh mata kepala. Mereka berargumen bahwa Tuhan tidak mengambil tempat, baik di dunia maupun di akhirat dan dengan demikian Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat.
Kalau Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, tentu akan dapat dilihat di alam dunia sekarang. Ayat Alquran yang mereka jadikan dasar ialah Surah Al-An’am ayat 103 yang artinya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah yang Mahahalus lagi Mahamengetahui.”
Golongan Asy’ariyah sebaliknya berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala. Karena Tuhan mempunyai sifat-sifat antropomorfis meskipun tidak sama dengan sifat jasmani manusia yang ada di alam dunia.
Argumentasi yang mereka kemukakan adalah bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala adalah suatu hal yang bukan mustahil. Mereka mengatakan bahwa yang tak dapat dilihat adalah yang tak berwujud. Yang mempunyai wujud tidak mustahil dapat dilihat.
Tuhan adalah berwujud dan oleh karenanya tidak mustahil dapat dilihat. Ayat Alquran yang mereka jadikan dasar ialah Surah Al-Qiyamah ayat 22-23 yang artinya, “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Dasar lain juga pada Surah Al-A'raf ayat 143 yang artinya, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, ‘Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’...”
No comments:
Post a Comment