أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
KISAH ABU DZARR AL-GHIFARI
TAHAPAN KEEMPAT: MEMFANAKAN DIRI
Memfanakan diri atau meniadakan diri adalah upaya untuk hijrah dari rumah kedirian (ego). Ini tahapan tertinggi di dalam jenjang (maqam) kaum irfan. Biasanya setelah ini kaum irfan akan sirna dalam Allah (Wahdat al-Wujud). Pada saat ini kita masih terperangkap dalam kedirian kita yang teramat gelap. Kita masih berputar-putar dalam keinginan-keinginan diri kita semata. Apapun yang kita inginkan, kita menginginkan untuk diri kita sendiri. Pandangan dan pikiran-pikiran kita hanya terpaku pada kepentingan-kepentingan diri kita sendiri dan duniawi belaka. “Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan duniawi sedang tentang akhirat, mereka lalai!” (QS 30:7)
“Aku heran kepada orang yang manakala kehilangan benda miliknya,
dia bersegera mencarinya,
tetapi manakala diri insaninya hilang,
dia enggan mencarinya”
(Imam Ali as, Mizan al-Hikmah 6:141)
TAHAPAN PERTAMA: MENEMUKAN DIRI
Manusia
yang kehilangan nafs (diri)-nya adalah manusia yang kehilangan diri
insani-nya, manusia yang kehilangan kesadarannya. Mereka ini adalah
orang-orang yang nafs-nya ditarik oleh kecenderungan duniawinya. Mereka
lebih menghargai nilai-nilai duniawi daripada nilai-nilai spiritual
(ruhani). Imam Ali as mengatakan,”Ahlud dunia karakbin yusaru bihim wa humniyaam”
– “Para ahli duniawi itu seperti pengendara yang berjalan dengan
kendaraannya sementara mereka tertidur” (Nahjul Balaghah, Hikam : 64).
Ini
artinya bahwa para pencinta dunia adalah orang-orang yang telah hilang
kesadarannya. Mereka terjebak oleh rutinitas hidup yang cenderung
duniawi atau lebih tepatnya hidup sekedar memenuhi kebutuhan-kebuthan
jasmani belaka. Padahal pusat dari diri insani manusia berada pada
kesadarannya, yaitu kesadaran insani yang melampaui kesadaran hewani,
kesadaran yang melibatkan esensi dan selukbeluk dari obyek kesadarannya.
Kesadaran ini mampu melampaui kesadaran lingkungan yang hanya diperoleh
melalui indera jasadi. Kesadaran ini juga mampu untuk melakukan
generalisasi sehingga melampaui batasan-batasan lingkungannya. Kesadaran
insani tidak bergantung pada kekinian dan mampu memperhitungkan masa
mendatangnya, sehingga sanggup merubah sejarah. Inilah bentuk kesadaran
yang membedakan nafs (diri) insani dari nafs (diri) hewani.
Perubahan-perubahan nafs (diri) dari nafs hewani ke nafs insani
dapat digambarkan sebagai suatu perjalanan atau pendakian dari ketidak
sempurnaan menuju kesempurnaan atau dari kelalaian menuju kepada
ingatan dan kesadaran.
“Janganlah kamu termasuk orang yang melupakan Allah lantas Allah menjadikan mereka lupa akan dirinya sendiri” (al-Quran Surah al-Hasyr [59] ayat 19)
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan, tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar!” (QS al-Balad [90] ayat 10-11)
Realitas
manusia meskipun tunggal, tetapi memiliki indra-indra dan dimensi yang
majemuk (jama’). Kesatuan manusia terletak pada kesadarannya yang
diarahkan kepada satu arah, yaitu Ruh Ilahi, sementara kemajemukannya
berkaitan dengan jasad yang memiliki banyak sisi dan bagian. Ruh Allah
digambarkan sebagai pusat lingkaran sementara sekelilingnya adalah
jasad. Nafs yang ditarik oleh kecenderungan jasadi sehingga
berpaling dari pusat kepada sekelilingnya membuat nafs menyebar dan
terpecah-pecah. Keadaan nafs yang terpecah-pecah inilah yang disebut
hilangnya kesadaran. Sebaliknya jika nafs mengarah kepada pusat
lingkaran atau sumbernya sendiri (Ruh Ilahi), ia menjadi menyatu dan
menyeluruh dalam kesatuan. Ingatan dan kesadaran yang penuh berada dalam
keadaan seperti ini. (Sachiko Murata, The Tao of Islam, hal.333)
TAHAPAN KEDUA: MEMBEBASKAN DIRI
Imam Ali as berkata,”Manusia
di dunia ini terbagi menjadi dua: Yang pertama adalah mereka yang
datang ke (pasar) dunia ini dan menjual dirinya hingga menjadi budak.
Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar ini dan
menjadikannya merdeka” (Nahjul Balaghah)
Orang
yang menjual dirinya adalah orang-orang yang terampas kesadarannya
sehingga ia kehilangan dirinya. Orang ini menyerahkan kebebasannya
kepada orang lain, karenanya Imam mengatakan orang ini telah menjadikan
dirinya budak! Budak bagi kecenderungan-kecenderungan jasadnya.
Sementara orang yang membeli dirinya menjadi orang yang merdeka dan
terbebaskan! Ini juga berarti bahwa kebebasan dan kemerdekaan tidak bisa
tidak harus diperjuangkan dan tidak bisa diperoleh secara cuma-cuma.
Sebelum ia membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu kecenderungan
jasadi, pertama-tama sekali ia harus menemukan diri sejatinya. Ia harus
mendapatkan kesadaran dari penemuan akan diri sejatinya itu. Kesadaran
inilah yang nantinya akan mengantarkannya kepada upaya pembebasan! Salah
satu tugas para Nabi adalah membuang beban dan belenggu dari manusia! “…yang membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (QS al-A;raaf [7]:157)
Contoh
yang paling indah tentang usaha pembebasan nafs ini digambarkan
Al-Qur’an dalam perdebatan Nabi Ibrahim as dengan kaumnya, “Maka
Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali
yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain, agar mereka kembali
kepadanya. Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini
terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang
zalim?”
Mereka
berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala
ini yang bernama Ibrahim” Mereka berkata: “(Kalau demikian) Bawalah dia
dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan”
Mereka bertanya: “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap
tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab: “Sebenarnya patung
yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepadanya jika
mereka dapat berbicara!” Maka mereka telah kembali kepada kesadaran
mereka..” (Qur’an Surah al-Anbiya’:58-64)
Al-Quran mengatakan dengan indahnya: “Faraja’uu ilaa anfusihim”,
“maka mereka kembali kepada diri mereka sendiri!”, bahwa pada detik dan
saat itu orang-orang yang berdebat dengan Ibrahim menemukan kembali
diri mereka sendiri!. (Murtadha Muthahhari, Haula al-Tsaurah
al-Islamiyah, hal.3)
Penemuan
diri kaum Ibrahim diperoleh melalui proses berpikir, walaupun setelah
itu mereka mengabaikan penemuan dirinya, itu soal lain. Paolo Freire di
dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas membagi pemikir menjadi dua:
pemikir naif dan pemikir kritis. Bagi pemikir naif , yang penting
hanyalah membagi tempat bagi hari ini, sebaliknya bagi pemikir kritis,
yang penting adalah kelanjutan dari perubahan realitas, kelanjutan dari
proses pembebasan! “Sesungguhnya Allah tidak akan mereformasi suatu
kaum sehingga mereka mereformasi diri (nafs) mereka sendiri” (QS
al-Ra’d:11)
Perubahan
eksternal tidak dapat terwujud sebelum perubahan internal diwujudkan.
Mungkin inilah yang dimaksud bahwa kebebasan tidak bisa diperoleh
begitu saja, kebebasan harus diperjuangkan dengan segenap kesungguhan
hati. Dengan kata lain seseorang harus kembali kepada pusat kesadarannya
dan menjaganya agar tetap di sana. Selama seseorang memiliki kesadaran
akan dirinya, keinginan dan kehendak untuk bebas merdeka akan terus
mengusik nafs-nya.
KISAH ABU DZARR AL-GHIFARI
Ketika
khalifah Utsman bin ‘Affan gagal dalam usahanya membungkam protes dan
kritik pedas dari Abu Dzarr ra atas kebijakan-kebijakan politiknya,
akhirnya ia membuang Abu Dzarr ke Damaskus. Tetapi di Damaskus pun Abu
Dzarr membuat pejabat setempat gelisah dan menjadi gusar bukan kepalang.
Muawiyah yang menjabat Gubenur di sana mengeluhkan sikap-sikap Abu
Dzarr kepada khalifah Utsman, sehingga Utsman kemudian mengirim
budaknya kepada Abu Dzarr dengan membawa sekantung penuh uang dan Utsman
berjanji akan membebaskan budaknya itu jika ia sanggup meyakinkan Abu
Dzarr untuk menerima uang itu. Budak yang bermulut licin itu menemui Abu
Dzarr dan membujuknya, namun Abu Dzarr tidak goyah sedikitpun, bahkan
Abu Dzarr bertanya uang siapakah itu dan mengapa ditawarkan kepadanya,
ia juga bertanya apakah orang lain juga diberikan uang sebagaimana
dirinya? Abu Dzarr dengan tegas menolak pemberian uang tersebut. Budak
itupun mulai putus asa dan akhirnya ia mencoba menggugah perasaan
religius Abu Dzarr: “Tidakkah engkau ingin membebaskan budak?” “Ya,
tentu!”, jawab Abu Dzar. “Saya adalah seorang budak Utsman, dan ia
berjanjii akan membebaskan saya, jika Anda menerima uang ini. Oleh
karena itu lakukanlah itu demi saya”,kata budak itu. Abu Dzar
menjawab,”Saya sangat menginginkan kebebasanmu, tetapi jika saya
menerima uang ini, kamu akan mendapatkan kebebasanmu sementara saya akan
menjadi budak Utsman” (Murtadha Muthahhari, The Unschooled Prophet)
Kesadaran nafs
Abu Dzarr telah mampu menangkap maksud-maksud licik dari siapapun yang
hendak menjebaknya kedalam perangkap kecintaan kepada materi. Abu Dzar
bisa menjadi contoh yang baik tentang kesadaran macam ini. Ia tidak rela
menjual harga dirinya dengan nilai-nilai materi. Ia juga tidak rela
dibeli oleh siapapun!. Ini merupakan contoh dari dari seorang manusia
merdeka dan terbebaskan!
KESADARAN ILAHIYAT
Kesadaran
untuk merdeka dari ikatan-ikatan materi, jasadi dan duniawi diperoleh
oleh mereka yang telah menemukan asal dan tujuan dari keberadaannya.
Imam Ali as berkata: “Semoga Tuhan memberkahi orang yang tahu dari mana
ia datang, di mana ia berada sekarang, dan ke mana ia akan pergi”
(Murtadha Muthahhari, Human Being in The Qur’an) Al-Qur’an sendiri
mengatakan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un: Sesungguhnya kami
milik Allah dan kepada-Nya-lah kami akan kembali”. (QS al-Baqarah [2]
ayat 156). Kesadaran akan asal diri membuat manusia sadar bahwa
keberadaannya harus dinilai dari sisi Insaniyah-nya, bukan dari sisi
basyariyah (fisik)-nya. Sisi Insaniyah-nyalah yang membawanya pada
kemuliaan. Dan karena alasan ini pulalah manusia harus berusaha
membebaskan nafs-nya dari tarikan jasad atau duniawinya. Memang tak bisa
diingkari bahwa tarikan jasadi atau duniawi sangatlah kuat, karena
manusia adalah anak-anak dunia, Imam Ali as mengatakan: “Manusia adalah
anak dunia dan seseorang tak bisa disalahkan karena mencintai ibunya”
(Nahjul Balaghah, Hikam:313).
Hadits
ini menjelaskan bahwa kecintaan manusia kepada dunia itu masih
terbilang wajar jika proporsional. Walaupun demikian manusia harus
disapih. Ia harus biasa dan bisa memisahkan diri dari ibunya. Ia tidak
boleh terus menetek dan bergantung kepada susu ibunya. Jika tidak segera
disapih maka ia akan terus bergantung kepada ibunya dan hal ini
melambangkan sikap yang tidak dewasa alias kekanak-kanakan. Manusia
bagaimanapun juga mesti berjuang dan berjuang untuk membebaskan dirinya
dari keterikatan dan kebergantungan yang berlebihan kepada ibunya yaitu
dunia. Perjuangan ini mesti ia lakukan agar ia sanggup menjadi manusia
merdeka, dan menjadi Insan Sejati!
TAHAPAN KETIGA: MENAKLUKKAN DIRI ATAU JIHAD AL-NAFS
Berbeda
dengan maujud-maujud lainnya manusia adalah maujud yang dapat terpisah
dari ke-insan-annya. Jika kita tak dapat memisahkan sifat ke-batu-an
dari sebongkah batu dan tidak bisa memisahkan sifat ke-kucing-an dari
seekor kucing atau sifat ke-harimau-an dari seekor harimau, sebaliknya
manusia justru harus bersusah payah mewujudkan ke-insan-an pada dirinya.
Manusia harus berjihad dan berperang terhadap nafs-nya untuk menjadi
manusia yang utuh. Ia mesti menaklukan nafs hewani-nya, karena
kecenderungan-kecenderungan hewaninya ini merupakan musuhnya yang
terbesar. Jika ia tidak berjuang menaklukkan musuhnya ini ia tiada
berbeda dengan hewan.
Rasulullah saww bersabda, “Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafs-mu yang ada di antara dua sisimu (lambungmu)” (Bihar al-Anwar70:64)
Rasulullah saww bersabda, “Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafs-mu yang ada di antara dua sisimu (lambungmu)” (Bihar al-Anwar70:64)
Imam Musa al-Kazhim as berkata, “Berjihadlah
atas nafs (diri)-mu untuk menolaknya dari hawa (nafs)-nya, karena
sesungguhnya itu merupakan kewajiban atasmu sebagaimana berjihad
terhadap musuhmu!” (Bihar Al-Anwar 78:315)
Dalam
rangka menaklukkan atau menjinakkan nafs kita agar terkendali, kitapun
harus membuat program untuk melatih diri kita. Tanpa riyadhah (latihan
dan disiplin) kita hanya akan menjadi makhluk yang tiada berbeda dengan
hewan. Jika rutinitas kita di dalam urusan-urusan duniawi melalaikan
kita dari urusan-urusan akhirat, maka kita tidak akan terangkat menjadi
Insan Ilahiyah, bahkan terperosok menjadi makhluk yang hina . Imam Ali
as adalah contoh Insan Ilahiyah yang telah berhasil menaklukkan
diri(nafs)-nya, yaitu ketika beliau berperang tanding melawan musuhnya.
Pada saat musuhnya terjatuh, Imam segera mengayunkan pedangnya, namun
sebelum Imam menggerakkan pedangnya, musuhnya meludahi wajah beliau.
Wajah Imam Ali memerah. Namun yang mengejutkan musuhnya, Imam justru
berbalik mengurungkan niat untuk membunuhnya. Hal ini menyebabkan
sebahagian sahabat beliau bertanya kepada Imam, “Mengapa anda tidak jadi
membunuhnya?” Imam menjawab, “Ketika lelaki itu meludahi wajahku, aku
menjadi marah, namun aku ragu: apakah aku marah karena Allah atau karena
wajahku diludahi? Karena itu kuurungkan niatku untuk membunuhnya, aku
khawatir jika aku membunuhnya bukan karena Allah”. Sosok pribadi yang
mulia ini telah memberikan teladan yang begitu indah. “Dan orang-orang
yang berjihad di (jalan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami” (QS 29:69)
TAHAPAN KEEMPAT: MEMFANAKAN DIRI
Memfanakan diri atau meniadakan diri adalah upaya untuk hijrah dari rumah kedirian (ego). Ini tahapan tertinggi di dalam jenjang (maqam) kaum irfan. Biasanya setelah ini kaum irfan akan sirna dalam Allah (Wahdat al-Wujud). Pada saat ini kita masih terperangkap dalam kedirian kita yang teramat gelap. Kita masih berputar-putar dalam keinginan-keinginan diri kita semata. Apapun yang kita inginkan, kita menginginkan untuk diri kita sendiri. Pandangan dan pikiran-pikiran kita hanya terpaku pada kepentingan-kepentingan diri kita sendiri dan duniawi belaka. “Mereka hanya mengetahui yang lahir dari kehidupan duniawi sedang tentang akhirat, mereka lalai!” (QS 30:7)
Pada
tahapan ini seseorang harus rela menanggalkan cinta diri dan cinta
dunia. Kita harus menjadi seperti Nabi Musa as yang hendak menghadap
Tuhannya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Aku ini Tuhanmu, maka
tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang
suci, Thuwa!” (Quran Surah Thaha:12)
Sebahagian
ahli Irfan menakwilkan kedua terompah sebagai diri dan dunia. Karena
itu di kalangan para Irfan ada golongan yang disebut “Khala’ al-Na’lain”
(Melepaskan Kedua terompah).
Pada
tahapan ini seseorang harus memandang dirinya sebagai berhala yang
paling besar. Ini dikarenakan kita sering melakukan kebaikan atau amal
shalih hanya jika itu mendatangkan keuntungan bagi kita dan pada saat
yang sama pula kita menolak kebenaran dan kebaikan jika itu tiada
mendatangkan keuntungan pada diri kita. Semua tindak tanduk kita
terpusatkan kepada diri kita sendiri. Bahkan kepedulian dan perhatian
kita kepada orang lain hanya muncul apabila itu mendatangkan keuntungan
bagi kita. Mungkin inilah yang dinamakan egoisme: Yang menarik seseorang
kepada keinginan-keinginan diri sendiri.
Manusia
memerlukan tangan-tangan gaib untuk dapat membebaskannya dari kuil diri
atau dari penyembahan diri yang tiada disadari. Tangan-tangan gaib itu
adalah para Nabi dan para wali-Nya yang suci. Kita perlu banyak berdo’a
dan bertawassul kepada orang-orang suci. Saya akan menutup tulisan ini
dengan sebuah dialog Nabi saww dengan seorang yang bernama Majasyi’.
Seseorang
bernama Majasyi’ datang kepada Rasulullah saww dan bertanya kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju pengenalan kepada
Allah (al-Haq)?”
Rasul saww menjawab, “Pengenalan diri (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara menyesuaikan diri dengan Allah?”
Rasulullah saww menjawab, “Menyelisihi ego (nafs)”
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan menuju keridhaan Allah?”
Jawab Nabi, “Membenci ego (nafs)”
Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara untuk sampai kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Hijrah dari ego (nafs)”.
Orang itu masih bertanya lagi: “Wahai Rasulullah bagaimana jalan untuk taat kepada Allah”
Jawab Nabi, “Menentang ego (nafs)”.
Orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berdzikir kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Melupakan ego (nafs)”
Dia terus bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara mendekat kepada Allah?”
Jawab Nabi, “Menjauhi ego (nafs)”
Dia bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara berakraban dengan Allah?”
Nabi menjawab, “Melepaskan diri dari ego (nafs)”.
Sampai pada akhirnya orang itu bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, bagaimana jalan untuk mencapai-Nya”
Rasulullah saww menjawab, “Memohon pertolongan kepada Allah di dalam mengatasi ego (nafs)” (Mizan al-Hikmah 6:142-143)
No comments:
Post a Comment