أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Tradisi Sufi menyediakan suatu panduan lengkap bagi seorang pencari atau pejalan ruhani (salik) dengan langkah-langkah penting di dalam perjalanan menuju pengenalan diri (ma’rifah al-nafs – self-knowledge).
Hal ini juga menjawab sejumlah pertanyaan yang muncul, ketika kita
mulai melakukan “pencarian” atas Realitas. Apakah yang mencegah kita
untuk melihat “tangan” Kesatuan Ilahi di dalam kehidupan dan Keesaan di
dalam Keanekaragaman? Apa yang menahan kita bertindak spontan mengikuti
pandangan seperti itu? Mengapa kita melanjutkan derita kita dengan
keterikatan kita pada duniawi? Kita mesti menguji beberapa terminologi
yang kita temukan dalam Sufisme yang akan memperluas dimensi pemahaman
kita.
TUJUH TINGKATAN NAFS
Kata nafs merupakan sebuah terminologi kunci dalam tradisi Sufi. Terjemahan harfiah nafs dari Bahasa Arab adalah ‘diri’ (self). Namun, sesungguhnya, nafs
berisi keseluruhan spektrum makna yang mencakup ‘diri’ atau entitas
‘aku’. Seorang pembicara berbahasa Arab mengetahui rasa bahasa dari kata
nafs yang dimaksud dalam suatu konteks. Kata-kata, nafs dan nafas (bahasa Arab), berasal dari akar yang sama, yang berarti nafas (dalam bahasa Indonesia). Tanafus
adalah tindakan bernafas, yang didasarkan pada dua kejadian yang
berlawanan: menarik napas (udara) dan menghembuskannya ke udara dan
pernapasan itu sendiri. Ada sejumlah ayat di dalam al-Quran yang meminta
kita untuk merenungkan sifat alami al-nafs, sebagai contoh:
“Demi al-nafs, dan Dia yang menyempurnakannya. Maka Dia mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaannya” (Al-Quran Surah Al-Syams [91]: 7-8)
Di dalam pemikiran kita, kita akan bertanya,”Apakah diri (al-nafs) diilhami kefasikan atau ketakwaan?”
Setiap
manusia mengandung 2 unsur yang saling bertentangan ini — pergerakan
menuju ke arah pelanggaran dan pergerakan menuju ke arah ketaatan. Namun
kesadaran hadir lewat pengenalan batasan-batasan dan melalui
pengetahuan bahwa pelanggaran hanya akan menyebabkan kita mengalami
penderitaan dan kesengsaraan.
Di dalam sistem Sufi, suatu spektrum diri (al-nafs)
terdiri atas 7 tingkatan, berkisar antara yang paling tinggi sampai
kepada yang paling rendah. Bayang-bayang abu-abu berada di antara
tingkatan-tingkatan ini, karena bagian-bagian di antara semua tingkatan
ini tidaklah sepenuhnya dapat dilihat (nyata) atau dapat diukur atau
dihitung.
1. NAFS AL-AMARAH (NAFS YANG MEMERINTAH)
Tingkat terendah dari al-nafs disebut nafs al-amarah atau diri yang memerintah (the commanding self).
Ini adalah tingkatan yang paling kotor, yang paling curang, dan yang
paling keras. Suatu nama yang menyiratkan bahwa diri ini memerintahkan
seseorang untuk melakukan apapun yang datang ke pikiran, seperti sebuah
tindakan zalim atau brutal. Tindakan-tindakan itu didorong oleh alasan
yang mementingkan diri sendiri (selfish). Apakah itu terjadi
tanpa emosi, tanpa rasio, ataupun secara non intelektual, ia masuk ke
dalam diri manusia di mana diri ini sudah mendominasi. Secara total,
tanpa rasa bersalah dan tanpa ada yang dapat menghentikannya, mereka
memerankan tingkah mereka. Nafs ini keras, tertutup, tidak dapat ditembus, gelap, sewenang-wenang dan keras dalam mempertahankan kepentingan dirinya.
2. NAFS LAWWAMAH (NAFS YANG MENYALAHKAN)
Tingkatan yang kedua adalah nafs atau diri yang menyalahkan (the blaming self).
Pada tingkatan ini, hati yang keras adakalanya melembut dan suatu
cahaya kesadaran masuk ke dalam. Diri ini adakalanya mempertanyakan
tindakannya yang salah. Pertanyaan ini menandai adanya suatu celah dari
kekerasan egoisme diri, yang membiarkan seberkas cahaya menyinari
realitasnya dan adakalanya merefleksikannya.
3. NAFS MULHAMAH (NAFS YANG TERILHAMKAN)
Tingkatan yang ketiga adalah nafs yang kreatif dan toleran (the creative or inspired) self).
Ini adalah diri yang berkembang dan meningkat tetapi tidak cukup untuk
mengamankan. Ketika kita dalam suatu suasana hati yang artistik atau
kreatif, kita tidak mempunyai banyak ketakutan atau kecemasan dan
terbuka bagi inspirasi (ilham). Dari sudut pandang Sufi, diri
yang menyenangkan ini (sebenarnya) dalam bahaya, sebab terbuka
seluruhnya, mengancam hukum-hukum atas sikap yang benar, yang mana
ciptaan menjadi subyek.
Nafs Mulhamah adalah diri yang berpandangan terbuka yang mengatakan baik untuk segalanya. Seperti air raksa yang berada di atas meja, diri (nafs)
ini melompat ke setiap arah. Ini adalah sikap ‘mengapa tidak?’ (why
not?). Hal ini seperti seorang laki-laki dari tujuh puluh orang yang
belum pernah bermain ski dalam hidupnya, lalu tiba-tiba ia memutuskan
untuk mencobanya. Kemungkinan besar dia akan terjatuh dan menghabiskan
waktunya di rumah sakit untuk menyembuhkan luka-lukanya.. Walaupun diri
yang terilhami mungkin menemukan dirinya sendiri di dalam kesulitan, hal
itu juga dapat membantu mengembangkan harapan karena
kefleksibilitasannya. Kebanyakan orang yang memulai menapaki jalan
ruhani akan mengawali tingkat toleransi ini dan bersikap bebas, sebab
mereka ingin melihat kebodohan mereka sendiri.
4. NAFS AL-MUTHMAINNAH (the secure (or certain) self)
Tingkatan
yang keempat adalah diri yang aman, diri yang tenang. Keadaan diri
seperti ini didasarkan pada kepastian dan kepercayaan. Inilah diri yang
matang dan diri yang berpengalaman, meyakini bahwa suatu hasil akan
selalu baik, dan kapan pun ia menghadapi kekacauan, ia akan mengingat
pengalaman masa lalu dan peristiwa-peristiwa sebelumnya demi
menyempurnakan kesetiaan, ketenangan dan kesabaran. Al-Qur’an
mengingatkan sang diri [al-nafs-the self] yang berada dalam maqam ketenangan (maqam al-muthma’innah)
untuk kembali ke Penopangnya, untuk kembali ke pengetahuan yang telah
diberikan sebelum ciptaannya dan untuk kembali ke posisi tersebut,
ketika itu ia belum memahami waktu, untuk kembali ke sumbernya, kepada
Tuhannya.
Rasa
aman, tenang dan yakin diawali dengan kepercayaan. Melalui kepercayaan
kita bisa mengenal dan mengetahui. Karena kita meinginkan kebaikan dan
kepuasan di dalam hidup ini, tampaknya alamiah jika kita menerima
hipotesis bahwa keadaan ini sudah dapat dicapai. Jika tidak, mengapa
manusia mempunyai keinginan ini? Pada saat tertentu, kita mungkin merasa
tidak bahagia dan berada dalam kesulitan, tetapi dengan iman,
secepatnya kita mengetahui penyebab di balik situasi yang kita alami itu
dan kita mulai belajar bagaimana cara kita melepaskan diri dari keadaan
dan perasaan seperti itu.
Dengan
mengedepankan kepentingan tetap berada pada jalan ruhani, sang pencari
memulai perjalanannya dengan kepercayaan bahwa apa yang sedang ia cari
harus dapat dicapai dan tepat, walaupun ia masih belum secara penuh
dapat mencapainya, sebagaimana ketika sehari-hari ia berada di sepanjang
jalan tersebut, ia akan menemukan bahwa ia berada dalam suatu
keseimbangan yang lebih besar sebagaimana ketika tingkat kesadaran diri (self-awareness)-nya
pun meningkat. Ada hubungan yang lebih antara niat batinnya dengan
tindakan lahiriahnya. Kepercayaannya membantu ke arah peningkatan
ketenangan dan kepuasannya, dan ia pun menjadi lebih stabil dan mantap.
Jadi,
kita mulai melangkah maju dari inspirasi yang tidak beraturan ke dalam
inspirasi yang didasarkan pada suatu disiplin dan pada suatu kepercayaan
yang akan kita kenali. Kita mulai melangkah pada jalan yang kita
ketahui akan bermanfaat bagi kita seketika dan di dalam hari-hari yang
akan datang. Pengetahuan ini harus didasarkan pada suatu realitas batini
dan percaya. Bagaimana selanjutnya, kita akan bicarakan tentang suatu
akhir yang bukan Anda maupun aku dapat merasakannya atau mengerti?
5. NAFS AL-RADHIYA (The Contented Self)
Tingkatan yang ke lima adalah diri yang senang dan puas [ridha].
Kepuasan atau keridhaan ini didasarkan pada pengetahuan bahwa yang apa
pun yang terjadi adalah hasil yang terbaik, karena itulah realitas,
untuk pertimbangan yang kita dapat atau tidak bisa kita lihat. Hidup
kita senantiasa terisi dengan “naik” dan “turun”; terisi bahkan ketika
penyakit menyerang kita. Kita mungkin tidak dapat memahami keseluruhan
dari situasi kehidupan kita; kita juga mungkin tidak menyadari keluasan
yang mana kita sudah terlalu banyak mempekerjakan diri kita; kita tidak
dapat memahami bahwa benih kuman yang menyerang kita hanya mempercepat
proses siklus dari jaringan sel.
Mereka
tidak pernah menyerang suatu organ tubuh yang berada dalam keadaan
baik. Kepuasan atau keridhaan tidak menyiratkan penerimaan yang pasif.
Hal ini muncul hanya ketika kita merasakan bahwa kita sudah melakukan
yang terbaik dari kita. Kita tidak terisi ketika kita mengetahui bahwa
orang lain atau diri kita sendiri mungkin telah lebih sadar atau telah
melakukan yang lebih. Kegagalan untuk berbuat yang terbaik menandai
adanya kesia-siaan atau ketidakcakapan. Kita tidak suka akan
kesia-siaan, sebab secara alamiah dan Jalan Allah adalah jalan atau cara
yang paling sempurna, jalan yang paling efisien, dan kita semua
mengejar kesempurnaan di dalam apapun yang kita sedang kita mulai,
sekalipun jika kita adakalanya menemukan alasan untuk menghentikan
tayangan pada separuh jalan dan menyalahkan kekeliruan kita atas orang
lain atau keadaan-keadaan tertentu. Selalu ada suatu imbauan atau
dorongan batin.
Diri
yang berlabuh, diri yang meyakini, berisi bahwa ia akan dapat
mengenali. Sekarang ia tidak mengetahui, karena ia tengah mengamati
segalanya melalui warna, tebal, dan kacamata gelap. Ia tidak memahami
gambar keseluruhan, tetapi ia melihat situasi masing-masing di dalam
mikroskopik atau mikroskomik. Pada kenyataannya, bagaimanapun, kita
adalah masing-masing suatu mikrokosmos yang berisi arti dari makrokosmos
itu.
Jadi,
Diri Yang Ridha dan merasa puas ini adalah diri yang memulai perjalanan
ruhaninya dan mengikat dirinya sendiri untuk berusaha; Sang diri tidak
akan berhenti sampai ia mengenal Sang Penyebab keberadaannya. Bagaimana
agar kita dapat menjadi ridha? Sebaliknya kita hanya mempunyai kepastian
akan terjadinya kematian fisik dan ditinggalkan, betapapun pengalaman
hidup manusia umumnya adalah makanan bagi cacing-cacing di dalam kubur.
Diri Yang Ridha didewasakan oleh pengetahuan. Pada maqam ini diri (nafs –self) telah banyak dikaruniai cahaya kesadaran, yang muncul setelah pikiran sudah ditambatkan. Kata ‘aql
di dalam bahasa Arab menunjukkan suatu fakultas pemikiran atau
pertimbangan. Biasanya di dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai ‘mind’, tetapi terjemahan yang lebih baik adalah ‘intellect’ atau ‘reason’.
NAFS AL-MARDHIYAH [The Pleasing or Harmonious Self)
Setelah melalui diri yang terpuaskan (nafs al-radhiya), maka muncullah kemantapan batin yang sedemikian besar dan kuat yang membawa sang nafs ke tingkat Nafs al-Mardhiyah
– Diri Yang Diridhai, yang telah mencapai keharmosian dan keselarasan
dengan Semesta Alam, atau dengan kata lain, kemanunggalan sang
mikrokosmos dengan makrokosmos.
Jika
kita telah terpuaskan dengan setiap kejadian maupun situasi yang
terjadi dalam hidup kita, kita akan tersadarkan secara spontan -
ketimbang secara analitis – akan kompleksitas dan kesempurnaan yang
menyebabkan segala situasi dapat terjadi.
Mungkin
saja kita tidak menyukai apa yang kita lihat; kita tiada
mengharapkannya; namun akhirnya kita akan melihat kebenaran yang
sempurna di dalamnya. Bisa jadi, misalnya, kita sudah memiliki harapan
yang pasti atas kemampuan atau prestasi anak-anak kita, lalu yang
terjadi justru bukan seperti apa yang kita harapkan sehingga kita pun
kecewa. Sekali waktu, kita melihat (sadar) bahwa kita sudah berlebihan
dalam mengharapkan sesuatu. Kesadaran kita akan perhitungan kita yang
salah ini telah membawa kita ke suatu pengetahuan dan kepuasan. Walaupun begitu, keadaan diri yang tersadarkan dan terpuaskan
ini tidak mencegah kita dari bertindak positif untuk meralat suatu
situasi, atau dari menilai kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak dari
satu sudut pandang yang seimbang.
Untuk mencapai tingkatan (maqam) nafs al-mardhiyah
ini, sang nafs yang telah terpuaskan ini akan menghubungkan kesadaran
kita dengan seluruh maujud yang ada dalam Alam Semesta ini. Karena jika
kita merasa puas (ridha), maka seluruh maujud di alam ini pun bere-aksi
atau memantulkan keridhaannya pula kepada kita. Takkan ada lagi jarak
bahkan pemisahan antara kita dengan Semesta Alam ini; Kita menjadi
“aman” di dalam pengetahuan sehingga kita tidak lagi peduli dengan
situasi apa pun yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Dan
akhirnya kita akan menuai semua tindakan-tindakan yang telah kita
lakukan terhadap manusia maupun alam. 1]
Semua
tindakan kita itu merupakan investasi yang akan kita tuai. Sejatinya,
orang yang berada pada tingkatan ini adalah orang yang berada dalam
keseimbangan yang mantap (complete equilibrium), karena dia
benar-benar sadar akan apa yang bakal terjadi pada dirinya dan selalu
terhubungkan dengan seluruh maujud di alam ini. Dia juga telah mampu
melihat dengan jelas bagaimana dia nanti, dan akhirnya dia akan
memperoleh buah (hasil) dari semua tindakannya di dunia ini.
NAFS AL-KAMILAH (The Perfect or Fulfilled Self)
Tingkatan Nafs yang ketujuh dan terakhir ini adalah Nafs Al-Kamilah,
Diri Yang Sempurna. Diri yang berada pada suatu kesadaran yang spontan
dan terus-menerus. Kesadaran dalam keseimbangan penyatuan, yang
meningkatkan diri menuju ke kesadaran sejati (pure consciousness),
tetap tersadarkan dan peka akan Realitas Ilahi Yang Kekal. Inilah nafs
(diri) yang secara lahiriah bertindak sebagai wakil kebaikan, yang
membantu orang lain menuju ke perkembangan yang konstan dan ketentraman
dan secara batiniah ditelan oleh Sang Samudra Wujud (The Ocean of Beingness). Ini adalah nafs yang sisi luarnya berjuang dan berkorban, dan sisi batinnya telah terpuaskan oleh cinta yang tanpa batas.
Inilah
diri yang telah mencapai kesadaran yang sejati, murni, lengkap, otentik
dan total. Arah kita mesti jelas, yaitu ingin merasakan ketakterbatasan
dengan fisik yang terbatas ini. Kadang-kadang kita membebani tubuhnya
di luar batas kemampuannya. Hal ini dikarenakan kita terus-menerus salah
mengarahkannya hingga melampaui batas. Tubuh kita tak habis-habis
mengalami hal ini. Kita mesti mempelajari perbedaan yang sulit ini dan
menggunakan energi kita sewajarnya.
Sekali waktu kita menyadari suatu spektrum penuh dari berbagai area yang tidak kita ketahui termasuk apa yang kita sebut nafs (diri) dan kita mulai melihat secara spontanitas, penderitaan kita yang mungkin sudah berkurang.
Jika suatu waktu kemarahan
muncul dari dalam diri kita, kita melihat bahwa suatu ungkapan
kekecewaan telah dibelokkan dari pencapaian hasrat; kemudian kita segera
memahami perhitungan kita yang salah, dan kemarahan kita pun surut.
Hal
ini tidak berarti bahwa sang pencari atau sang pengembara ruhani tidak
pernah mengalami kekecewaan. Dia bahkan bisa jadi sangat kecewa dan
marah ketika dia melihat suatu ketidakadilan atau kezaliman terjadi di
depan matanya. Kemarahannya ini muncul secara spontanitas dari dalam
dirinya sebagai suatu mekanisme yang membawanya ke bentuk tindakan.
Apakah
seorang pengembara ruhani akan berdiam diri ketika ia melihat seorang
laki-laki sedang memukuli anaknya sendiri? Tentu saja tidak! Seorang
pengembara ruhani bukan orang yang masa bodoh atas apa yang terjadi di
sekitarnya. Dia tidak akan sungkan-sungkan menegur, memperingati bahkan
meneriaki orang-orang zalim karena kezaliman mereka. Sang pengembara
ruhani akan terus berpihak kepad kaum yang lemah, yang diinjak-injak
hak-hak mereka, mereka ynag terus dibodohi oleh suatu sistem tiran,
apakah itu dijalani oleh sekelompok orang atau beberapa kelompok yang
bergabung ingin merampas hak-hak orang lemah.
Jika
kita tinggal di sebuah lingkungan yang sedang mengalami kemunduran atau
kemerosotan moral, maka suatu waktu akan datang kewajiban agama agar
kita melakukan tindakan yang tepat dan bijak atau paling tidak menjauhi
dan meninggalkan lingkungan seperti itu. Karena komunitas atau
lingkungan yang moralnya sudah sedemikian merosot akan segera mengalami
kehancuran. Kita tidak dibenarkan membiarkan kezaliman berlaku di depan
mata kita. Imam Ali as berkata, ”Pelaku kezaliman, yang membantunya dan yang rela (ridha) dengan perbuatan tersebut, ketiganya bersekutu dalam kezaliman!” (Ihqaaq al-Haq 12 : 432)
Dengan lugas Al-Syahid Murtadha Muthahhari mengatakan, “Pelaku
kezaliman (Penindas) dengan orang yang dizalimi (yang ditindas) bak dua
mata gunting. Keduanya bekerja sama dalam melakukan penindasan.”
Kebencian
kita kepada kemungkaran sudah merupakan bentuk ketidakridhaan kepada
kezaliman. Sebagaimana yang dilakukan oleh Luth atas kaumnya yang
menganut paham seks bebas : Luth as berkata, ”Sesungguhnya aku
sangat benci kepada perbuatan kalian! (Lalu Luth berdo’a): “Ya Tuhanku,
selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka
kerjakan. Lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya semua” (QS
26 : 168-170) Ayat ini menjelaskan bahwa ketidakridhaan Nabi Luth as
atas perbuatan homoseks kaumnya menyebabkan beliau as beserta
keluarganya diselamatkan dari azab Tuhan yang keras. (Bersambung)
Catatan kaki :
1]
Inilah yang terjadi pada kita semua, semua bencana dan musibah yang
kita alami saat ini disebabkan karena kita tidak peduli pada orang lain,
alam dan ajaran-ajaran agama kita sendiri. Kita senantiasa disibukkan
dengan ego dan nafsu kita sendiri. Al-Qur’an mengatakan :
“Dan
peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah
amat keras siksaan-Nya. “ (QS al-Anfal [8] ayat 25)
No comments:
Post a Comment