أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
5) Tahap
kelima SSJ mengajarkan tentang adanya Tuhan yang Maha Luhur yang
menjadikan bumi dan angkasa sebagai pelabuhan akhir bagi kemanunggalan
dan keabadian.
ANTARA SYEKH SITI JENAR DAN AL-HALLAJ
A. PENDAHULUAN
Ada
apa dengan cinta? Itu sebuah lagu yng sempat tenar beberapa tahun yang
lalu. Tapi sekarang yang lagi tenar yaitu ada apa dengan syekh Siti
Jenar{SSJ}? Kalau kita jalan-jalan ke toko buku yang lengkap dan besar
seperti Gramedia atau yang lain, maka akan terpajang buku-buku yang
membahas tentang tokoh SSJ, baik tentang asal-usulnya, ajaranya, maupun
cerita-cerita mistik tentang SSJ.[1] Begitu banyak versi buku SSJ baik judul, model penulisannya [ada yang seperti novel[2]
serta seperti karya ilmiah] maupun banyaknya para penulis maupun
penelitinya. Menjadi sebuah tanda tanya besar dimana tokoh SSJ diangkat
bahkan diblok up secara berlebihan, tidak sedikit pula tokoh-tokoh
liberal ikut mengusung tokoh SSJ ini seperti Abdul Munir Mulkan[3], Ahmad Chozjim[4]
(bahkan sampai menulis dua seri). juga pengarang lain yang terkenal
juga dalam dunia buku terutama mistik jawa seperti Dr. Purwadi, M.Hum[5], Agus Sunyoto[6], Muhammad Sholihin, dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada apa dibalik tokoh SSJ ini ? Setiap
penulis mempunyai gaya dan corak dalam memahami tokoh ini, tetapi yang
menarik yaitu bagaimana seorang intelek seperti Prof. Abdul Munir Mulkan
dapat menulis tokoh SSJ dengan versi mistik. Ada beberapa paparannya
tentang tokoh ini yang tidak bisa diterima dalam akal atau ilmiah tapi
itu diangkatnya seperti bagaimana asal-usul SSJ, Abdul Munir Mulkan
dalam bukunya pada hal 51 menulis bahwa asal-usul SSJ dari seekor cacing
hasil dari kutukan bapaknya yang sakti mandraguna lalu dibebaskan
oleh Sunan Bonang, lalu SSJ dapat merubah dirinya menjadi bencok
putih(hal 53) dikarenakan keinginannya belajar kepada Sunan Giri, juga
tentang cerita kematian SSJ ini dibungkus dengan cerita yang sangat
mistik[7].
Yang lebih fatal dalam bukunya tersebut yaitu tuduhan terhadap Wali
Songo yang sangat keji yaitu tuduhan adanya kepentingan politik Wali
Songo untuk menyingkirkan SSJ karena di anggap menjadi ancaman sebagai
ulama negara, juga tuduhan tetang menyembah jazad SSJ setelah melihat
ada keajaiban pada jazadnya lalu mengganti jazadnya dengan seekor anjing
yang korengngen, sungguh mustahil bagi Wali Songo melakukan perbuatan
tersebut. Dalam beberapa versinya Ahmad Chozjim, Purwadi [yang katanya
kaum intelek] juga tidak jauh berbeda, apalagi buku-buku SSJ
yang beredar di Jawa Timuran akan lebih kental nuansa mistiknya dari
pada ilmiahnya. Walau ada beberapa penulis seperti Muhammad Sholihin,
menulis dalam versi yang agak ilmiah dan membantah hal-hal yang tidak
masuk akal. Tetapi lepas dari beberapa versi tersebut SSJ merupakan
tokoh yang kontroversial, bahkan keberadaanyapun menjadi perdebatan.
Beberapa ahli sejarah menyakini bahwa tokoh SSJ ini fiksi belaka seperti
pendapat Ahmad Mursidi[8]
, dia mempunyai hipotesis bahwa kisah SSJ adalah kisah fiktif bernuansa
perlawanan miring terhadap Islam sebagaimana kisah serat Darmogandul,
serat Gatholoco, serat Wali Wolu Wolak Walik dan lain-lain. Dugaan Ahmad
Mursidi dinyatakan sebagai berikut : “Dengan munculnya Islam sebagai
agama mayoritas baru, banyak pengikut agama hindu, Budha dan animisme
yang melakukan terang-terangan. Mereka lalu membuat berbagai cerita
simbolik, misalnya Gatholoco, Darmoghandul, Wali Wolu Wolak Walik, Syehk
Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar. Untuk yang
terakhir itu kebetulan dapat didomplengkan kepada salah satu anggota
Wali Songo yang terkenal yaitu Sunan Kalijogo. Jadi SSJ sebenarnya hanya
sebuah gerakan anti reformis, anti perubahan dari Hindu Budha Jawa ke
Islam. Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap Islam. Dan
hanya diambil potongan-potongan yang secara sepintas tampak tidak masuk
akal”.
Ada
juga yang menganalisa kemunculan tokoh ini karena ada rasa dendam dari
orang Hindu-Budha karena berkembangnya Islam di tanah Jawa bahkan
berdiri kerajaan Islam pengganti Majapait, lalu di imajenerkan dengan
tokoh Al-Hallaj yang ada di Bagdad. Di sini penulis tidak akan
menerangkan tentang tokoh SSJ secara mendetail[9],
karena banyaknya literatur tentang SSJ dengan berbagai versi dan gaya
penulisan serta misi apa yang dibawa kaum liberal kenapa tertarik dengan
SSJ walau dengan sebuah cerita mistik, tetapi penulis akan mengungkap
siapa itu Al-Hallaj ? Literatur tentang Al-Hallaj sangat jarang kita
temui baik dikitab-kitab kuno maupun di toko buku, juga tokoh ini
dianggap menjadi guru atau inspiratornya SSJ atau memang cerita
Al-Hallaj ini imajenerkan dengan tokoh buatan di tanah Jawa yaitu SSJ.
Lepas dari persoalan fakta atau fiksi SSJ tetapi ada kesamaan dalam
ajarannya maupun nasibnya yaitu sama-sama divonis mati penguasa[10].
Sehingga dengan mengungkap siapa Al-Hallaj dapat membuka tabir misteri
antara Syekh Siti Jenar dari Jawa dengan Manshur Al-Hallaj dari Baghdad.
B. LATAR BELAKANG MASALAH
1. Al-Hallaj [AH] dan tasawuf
Dunia
tasawuf dalam ajaran Islam, selalu saja menarik perhatian para pengkaji
agama, karena aliran mistis Islam ini {sebutan lain bagi tasawuf yang
diberikan para orientalis barat} banyak sekali mengandung
“kontroversial” yang tercemin baik secara ajaran maupun perilaku para
penganutnya {sufi}. Apalagi jika ajaran ini ditinjau dari kacamata
syari’at yang dianut kebanyakan umat Islam. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan jika berbagai kajian mengenai hal ini, sampai kini masih
saja menjadi salah satu tema yang menghiasa berbagai majelis.
Secara
etimologi kata tasawuf ini mengandung banyak pengertian. Diantaranya
ada yang mengartikan sebagai “bulu yang sangat banyak” (at-tasawuf), ada
pula yang mengartikan sebagai “barisan” (shaf). Selain dua arti
tersebut ada juga yang mengartikan sebagai kesucian (shafa) dan
sebagainya, yang masing-masing disandarkan pada dalil-dalil yang kuat[11].
Akan tetapi pada dasarnya adalah bahwa tasawuf merupakan sebuah aliran /
ajaran yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung
dengan Tuhan[12].
Hubungan yang dimaksud dalam hal ini adalah hubungan yang penuh
kesadaran bahwa manusia sedang berada dihadirat Tuhannya. Kesadaran
tersebut akan mengantarkan manusia menuju kontak komunikasi dan dialog
antara Ruh manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ittihad (penyatuan
diri). Kebutuhan akan hal ini oleh para sufi memerlukan ritual-ritual
khusus dengan melalui berbagai tahapan(maqam), karena dianggab bahwa
ritual-ritual yang biasa diselenggarakan secara formal bagi mereka belum
memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Hal
inilah yang menjadikan para pelaku tasawuf berbeda-beda dalam usaha
pemenuhan dan juga pemaknaan dalam ritual khusus yang mereka lakukan
tersebut, meski secara garis besar adalah sama. Sebut saja sebagai misal
seperti al-Ghozali dengan ma’rifatnya, Rabiyah Al-Adawiyyah dengan
mahabbahnya, Abu Yazid al-Bustamillah dengan fana dan baqonya, juga
al-Hallaj dengan al-anfusiyah. Seperti telah disebutkan di atas, mesti
dalam puncak petualangan mistiknya (maqom) mengalami berbagai penamaan,
akan tetapi esensi dasar dari apa yang mereka ajarkan adalah penyatuan
diri dengan Tuhan.
Disini
penulis akan menerangkan secara singkat siapa itu al-Hallaj (AH) dan
ajaran Ittihad dalam dunia tasawuf yang dia kembangkan dan diajarkan.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari paham ini, baik dari segi ajaran
maupun para pelaku ajaran tersebut – Hallajian – yang banyak sekali
mengundang perdebatan publik yang berpuncak pada berakhirnya hidup
al-Hallaj ditiang gantungan oleh pemerintah pada waktu itu.
2. Siapa al-Hallaj (AH)
Al-Hallaj
merupakan salah satu seorang pelaku tasawuf yang mungkin namannya
termasuk dalam daftar sufi yang paling kontroversial diantara lainnya.
Mulai dari kehidupanya, ajarannya bahkan sampai kematiannya[13]. Al-Hallaj lahir sekitar tahun 244 H/588 M dengan nama Abul Mughist al-Husayn bin Mansyur di Thir
bagian distrik Bayda (Fars) Persia. Ayahnya seorang penyotir Wool
(Hallaj), yang senang berimigrasi dari satu tempat ke tempat lain,
terutama di daerah Arab. Karena senangnya berpindah-pindah mengikuti
ayahnya ini, ia sering disebut sebagai seorang Ansharian (Yaman) yang telah ter-arab-isasi(mawali).
Sejak
usia belia ia telah mengenal berbagai cabang pengajaran, hingga pada
usia 16 tahun ia telah menyelesaikan pendidikanya dalam bidang tata
bahasa, Qur’an dan tafsir sebagai murid Sahl ibn Abdullah Thustari
(seorang tokoh sunni). Dua tahun kemudian ia meninggalkan Thurtar dan
pergi ke Basyrah. Disana ia menikah dengan seorang wanita Basyrah
bernama Ummul Husayn binti Abu Ya’qub Aqta’. Pada saat ini pula ia mulai
menjalani hidup sebagai sufi dan berpetualangan keberbagai tempat serta
berkunjung ke berbagai majelis termasuk majelis-majelis duniawi (abna
al-dunya), hingga ia kembali ke Thustar dan mulai ceramah-ceramahnya di
depan umum. Dalam ceramahnya ia banyak mengajarkan tentang suara-suara
hati (tirai hati) yang harus disibakkan. Sejak saat itu ia sering
disebut sebagai “penyingkap suara hati” (Hallaj al-Asrar) dan nama
al-Hallaj sejal saat itu mulai melekat padanya.
Sekitar
tahun 270 Hallaj pergi ke berbagai tempat (India, Khurasan, Mawarah,
dan Thurkistan) untuk melaksanakan misi-misi sucinya. Dalam perjalanan
ini pula, berbagai julukan sempat melekat padanya, diantaranya ;
al-Mughit (sang penasehat) saat di India, al-Mukid (sang pemelihara)
saat di Thurkestan dan Masin, dan al-Mumayyis (sang bijaksana) saat di
khurasan, Abu Abdallah al-Zahid (Abu Abdallah sang asketis) saat ia di
Fars dan Hallaj al-Asrar (penyingkap tirai hati ) saat di khurazistan.
Setelah
kembali dari perjalanan ini ia kemudian melaksanakan haji yang ketiga
kalinya dan mulai menyebarluaskan ajarannya. Mulai saat itu pula berbagi
pertentangan mulai timbul secara terbuka yang dimulai dari Muhammad Ibn
Dawud bersama para ulama lain termasuk para sufi lainya. Pertentangan
ini pada akhirnya sampai pada khalifah al-Mu’tadid yang kemudian juga
mengeluarkan fatwa larangan terhadap ajaran Hallaj. Bersamaan dengan
berbagai tantangan ini, berbagai sebutan miring juga melekat padanya
seperti ; dukun, orang gila, bahkan mertuannya (Aqta’) sempat menuduh
bahwa ia membuat perjanjian-perjanjian magic dengan jin. Tetapi disisi
lain masih ada juga sekelompok yang mengagumi dan memuji terhadap
ketulusan dan ibadahnya. Berbagai pertentangan ini berakibat pada adanya
penangkapan al-Hallaj oleh pemerintah saat itu, yang memberi kewenangan
pada Nasr Qusyuri (salah seorang yang anti al-Hallaj) dan kemudian ia
dimasukkan dalam penjara khusus.
3. Al-Hallaj dan konsep Ittihad
Pada
tahun 292 H, Hallaj telah melaksanakan haji dan umrohnya yang ke tiga
kalinya, ia kembali pada pengikutnya di Thustar (Baghdad). Pada saat itu
juga ia melakukan suatu ritual aneh yaitu dengan membuat miniatur
Ka’bah (tepatnya di Qoti’at al-Rabi’) dan merayakan sendiri segala
aturan haji termasuk Ta’rif dan Ied al-Qurban. Kembalinya ia ke Baghdad
ini berarti pula telah berakhirnya pengembaraan yang dilakukan selama
ini. Sejak saat itu ia berkosentrasi dalam penyebaran ajaran tasawufnya
pada penduduk Baghdad. Penyebaran ajaran ini menimbulkan berbagai
kekacauan dikalangan masyarakat Baghdad.
Inti
dari ajaran al-Hallaj adalah tentang perlunya menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan sebagai salah satu jalan utama menuju ittihad
(kefanaan)[14]. Hal ini seperti khotbah yang pernah ia sampaikan ;
“ Selamatkan aku dari Tuhan, wahai orang-orang muslim.......
Tuhan telah memberikan padamu darahku yang sah menurut hukum,
Cepat, Bunuhlah aku ;
Niscaya engkau menjadi pejuang dalam perang suci,
Dan aku seorang martir...........
“ Bunuhlah aku manusia terkutuk ini”
Dalam khotbah lanjutanya, Hallaj juga berseru pada Tuhan :
“ Ampunillah setiap manusia, tapi jangan engkau ampuni aku.........
Lakukan apapun yang engkau inginkan atasku”
Secara
paradoksial, jelas dari gambaran khotbah diatas tersirat ajakan untuk
menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan sekaligus nilai-nilai kesucian
ILLAHI meskipun harus menghancurkan diri demi kebaikan umat.
Secara
sekilas ajaran ittihad al-Hallaj tidak jauh berbeda dengan umumnya para
penganjur tasawuf, yaitu adanya pendekatan antara makhluk dengan
Tuhanya. Dalam ajaran al-Hallaj dikenal bahwa Tuhan memiliki sifat Luhut dan Nasrut,
demikian juga manusia. Manusia dapat menghilangkan sifat nasutnya
(kemanusiaannya) apabila mampu mencapai kefanaan. Dengan hilangnya sifat
kemanusiaan ini dikontrol oleh sifat luhut (ke-Tuhan-an) yang merupakan inti dari kehidupan[15].
Sedangkan fana itu sendiri secara garis besar bagi al-Hallaj mengandung 3 aspek :
1. Fana dalam semua keinginan jiwa
( Aku ingin untuk tidak mengingini)
2. Fana dalam fikiran, perasaan dan perbuatan dengan hanya tersimpul pada Allah
( Aku tidak ingin dari Tuhan kecuali Tuhan )
3. Fana dalam semua kekuatan pikiran dan kesadaran
( Maha suciaku, Mahasuci aku, Mahabesar aku ).
( Akulah Kebenaran ).
Pada
saat Hallaj mengucapkan kalimat-kalimat diatas jelas sudah lepas dari
kontrol kemanusiaannya. Ini merupakan puncak dari keagungan tertinggi
yang diajarkan al-Hallaj[16].
Ana ‘I Haqq merupakan sebuah kalimat yang sangat lekat dalam diri
al-Hallaj sampai sekarang ini. Kalimat itu pula yang memancing kemarahan
besar umat Islam terutama kaum ulama sunni, pemerintah juga para sufi
lainnya, karena dinilai telah meresahkan masyarakat yang akan
menimbulkan perpecahan dan kekacauan pada agama dan negara hingga
mengantarkannya kepenjara untuk kesekian kalinnya pada Dzulhijjah 309.
Puncak dari kegoncangan ini pada tanggal 28 Dzulhijjah ketika terompet
Nasir Hamid dibunyikan sebagai tanda eksekusi Hallaj akan dilaksanakan.
Eksekusi ini dimulai dengan diseretnya al-Hallaj yang kemudian dipotong
tangan dan kakinya dihadapan publik sehari sebelum kematiannya. Pagi
setelah peristiwa tersebut tepat pada tanggal 29 Dzulhijjah 309 H, Nasir
Hamid membacakan ketetapan hukuman mati terhadap al-Hallaj[17].
Pada saat Hallaj diseret turun dari tiang salib untuk dipenggal
lehernya, ia sempat mengatakan sebuah pesan. Dengan suara lantang ia
menyerukan kalimat ;
“ Yang tertinggi bagi sufi adalah kediriannya yang membawa kepada Dia yang tunggal.
Mereka yang tiada mempercayai hari akhir akan ketakutan karena kedatangannya.
Tapi mereka yang percaya akan hal ini menunggu dengan penuh cinta,
karena mengetahui bahwa Tuhan akan hadir”.[18]
Setelah
ia melontarkan kata-kata terakhirnya tersebut, kemudian eksekusi
pemenggalan kepalanya dilakukan. Setelah dipenggal kepalanya kemudian
jasadnya dibungkus dengan kulit permadani dan disiram dengan minyak lalu
di bakar, sedangkan abu dari pembakaran tersebut diterbangkan di Ra’sal-Manara.
C. Analisa konsep ittihad al-Hallaj dan Teologi Sufi Syekh Siti jenar
Ana’I-haqq sebagai puncak kulminasi
yang dialami al-Hallaj merupakan sebuah pengakuan yang tidak mudah
diterima oleh akal umat muslim. al-Haqq sendiri mempunyai beragam makna,
diantarannya, dapat dimaknakan sebagai Hak dalam arti tugas yang harus
dilakukan. Kata ini, juga dapat bermakna sebuah kebenaran (realita).
Akan tetapi dalam tradisi persia ( juga Turki dan Malaysia ), kata
al-Haqq telah diasumsikan menjadi nama tuhan (Allah) bagi keseluruhan
umat disana[19].
Dalam kamus bahasa Indonesia Hak juga diartikan sebagai kuasa atau
mempunyai kuasa milik, dan disebutkan bahwa yang paling kuasa memiliki
segala sesuatu adalah Allah.
Jadi
pengakuan Ana’I Haqq menjadi sebuah pengakuan yang “aneh”, ketika kata
tersebut dilekatkan pada diri sebuah makhluk/manusia (al-Hallaj),
terutama ditengah-tengah umat Islam[20].
Jadi
tidak mengherankan jika al-Hallaj menjadi sebuah obyek pertentangan
kaum muslimin lainnya dan juga pemerintah, karena pelekatan diri
pribadinnya terhadap keberadaan Tuhan (al Haqq) ini digunakan dihadapan
publik. Perbedaan mendasar juga dinyatakan Hallaj dalam mengartikan
al-Haqq dengan Haqiqa. Jika Haqq ia asumsikan sebagai nama Tuhan dalam
artian hukum praktis, sedangkan Haqiqa sebagai sebuah kualitas abstrak
tidak bisa diakses[21].
Dalam
diri Hallaj, Haqq (kebenaran) dikaitkan dengan Universitalitas
seruannya (kesatuan mistik) yaitu, bukan hanya berdasar kesetiaan dalam
menerima apa yang ditentukan sebelumnya dari pengetahuan Illahiyah, tapi
atas dasar perintah langsung dalam diri kita untuk berbuat baik. Pada
akhirnya akan kembali pada umat dalam mengambil sudut pandang terhadap
ajaran, dalam hal ini kata al-Haqq versi al-Hallaj. Tetapi yang menjadi
catatan penting, perlu dicantumkan disini bahwa al-Hallaj secara pribadi
dari beberapa anekdot yang ditulis oleh para murid dan para Hallajian
adalah dia memiliki berbagai “keajaiban” serta ketulusan ilahiyah yang
sangat tinggi. Akan tetapi dari ketulusan dan kenyakinan yang diajarkan
tersebut lepas dari mana kita memandang telah menimbulkan berbagai
kekacauan dan perpecahan yang hebat diantara umat muslim saat itu.
Karya-karya al-Hallaj antara lain : Kitab al Shaihur fi Naqshid duhur, Kitab al-abad wa al-Mabud, Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun, Kitab huwa-huwa, Kitab Sirru al Alam wa al-Tauhid, Kitab al-Thawwasin al-azal.[22]
Bagaimana
dengan teologi sufi Syekh Siti Jenar, ajaran SSJ yang terkenal dengan
sebutan “ manunggaling kawulo gusti”, yang bersumbu pada sasahidan memiliki
inti kalimat dua hal ; “ la ilaha illa Ana”, dan “ Ana al-Haqq”.
Sekilas memang tampak sama dengan ittihad al-Hallaj, SSJ membaca dan
mempelajari dengan baik tradisi sufi dari al-thawasinnya al-Hallaj, dan
sebenarnya SSJ lah yang pertama kali mengusung gagasan al-Hallaj ke
tanah jawa. Sementara itu para wali yang lain (wali songo) mengajarkan
Islam syar’I madzabi yang ketat, sebagian memang mengajarkan tasawuf
namun tasawuf tarekati yang beralur pada paham imam Ghazali.
Dalam pemahaman dan pengalaman SSJ, dhamir (kata ganti) Ana, Anta, dan Huwa[23]
itu juga dipancarkan kepada mahkluk termulia, yang dibekali roh
al-Idhafi, yang didalamnya bersemayam Roh al-Haqq, dan di kedalamannnya
Roh al-Haqq itulah tersembunyi khazanah pembedaharaan al-Haqq itu
sendiri. Maka keluarlah dari lisan rohaninya ungkapan suci “ Ana
al-Haqq”, atau juga “ laa ilaha illa Ana”[24].
Bahkan menurut SSJ tingkatan rohani tertinggi adalah ungkapan
“Ana-al-Haqq”, dan bahkan lebih ringkas lagi “ Ana, Ana, Ana “. Itulah
rahasia terdalam pengalaman SSJ yang di tuangkan dalam
ajaran-ajarannya., dan pemahaman seperti itulah pula yang umumnya
mendatangkan bencana kepada penyeru ajarannya,
lalu yang mengantarkan SSJ ke Vonis Mati oleh pemerintah saat itu
(Demak). Dalam catatan sastra suluk jawa, hanya ada 3 kitab karya Syekh
Siti Jenar yaitu ; Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyf), dan Balal Mubarak.[25]
D. KESIMPULAN
1.
Al-Hallaj adalah seorang sufi yang mempunyai nama lengkap Abu Mughist
al-Hasayn bin Mansur al-Hallaj, ia dilahirkan di Persia pada tahun 244
H. cerita dan keberadaan al-Hallaj jelas dan
dapat dilacak dalam catatan sejarah dengan jelas tanpa ada kontroversi.
Bahkan ajaran-ajarannya hingga kini masih ada dan masih diikuti sebagian
orang (Hallajian).
Syekh
Siti Jenar (SSJ) dalam berbagai versi mempunyai nama yang berbeda, ia
punya nama antara lain ; San Ali (nama kecil pemberian orang tua), Syekh
Abdul Jalil ( nama di Malaka), Syekh Jabaranta (nama di Palembang),
Syekh Lemah Abang ( gelar yang di berikan masyarakat lemah abang), dan
Syekh Siti Jenar ( nama filosofis yang
menggabarkan ajaran sangkan paran ). Ia dilahirkan sekitar tahun 829
H/1348 C/1426 M, di lingkungan Pakuwuan Caruban, sekarang terkenal
sebagai Astana Japura, sebelah tenggara Cirebon. Keberadaan SSJ masih
menjadi perdebatan da kalangan ahli sejarah, ada yang menyebutkan bahwa
tokoh ini fiksi atau buatan saja dan di imajenerkan dengan tokoh
al-Hallaj di Baghdad (seperti yang di ungkapkan Ahmad Mursidi, dll ) dan
ada yang menyatakan tokoh ini nyata dan ada dalam sejarah (seperti tokoh-tokoh yang disebutkan penulis diatas).
2. Pokok ajaran al-Hallaj adalah mengajak seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan menuju zat yang Maha Suci. Juga ia menganjurkan
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai ilahiyah meskipun harus berkorban
jiwa raga demi kepentingan umat. Hallaj memandang bahwa tuhan memiliki
sifat luhut (ketuhanaan) dan Nasut (kemanusian) sebagai manusia. Sedangkan manusia dapat mencapai luhut dan menghilangkan sifai nasutnya
jika ia telah memperoleh kefanaan dalam berbagai hal. Seperti
kecenderungannya dan keinginan, fikiran, khayalan, perasaan, perbuatan
serta kekuatan pikiran dan kesadaran.
Pokok
ajaran SSJ tidak jauh berbeda dengan ajaran al-Hallaj karena SSJ sangat
mengusai tradisi sufinya al-Hallaj. Dan SSJ yang pertama mengusung
gagasan al-Hallaj ke jawa. Secara garis besar SSJ mengajarkan ilmu
Ma’rifat secara bertahab, terdiri dari lima pokok jika ingin menjadi
manusia sempurna (al-Insan al-kamil) serta bagi yang ingin menempuh laku
manunggal dengan Tuhan.
1) Tahap pertama SSJ mengajarkan asal-usul manusia {ngilmu sangkan paran},
2) Tahap kedua SSJ mengajarkan yang berkaitan dengan kehidupan, khusus apa yang disebut sebagai pintu kehidupan,
3) Tahap ketiga SSJ mengajarkan tempat manusia berada ketika sudah hidup kekal dan abadi
4) Tahap keempat SSJ menunjukkan alam kematian yaitu yang sedang dialami dan dijalani manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara menghadapinya,
No comments:
Post a Comment