Saturday, July 21, 2012

AKAL, WAHYU DAN JALAN MENGENAL TUHAN

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
WAHYU DAN JALAN MENGENAL TUHAN



Pengenalan dan pengetahuan akan keberadaan Tuhan merupakan hal yang asasi dan prinsip bagi manusia yang beragama, meskipun nantinya konsep tentang Tuhan berbeda sesuai dengan doktrin-doktrin suci agama dan penafsiran aliran kepercayaan masing-masing. Tapi pada intinya, semua agama dan aliran kepercayaan tersebut menegaskan dan membenarkan wujud suci dan agung Tuhan.
Jika kita ingin mengindentifikasi metode-metode pencapaian makrifat kepada Tuhan oleh setiap orang, maka bisa kita katakan bahwa setiap orang memiliki metode dan cara tersendiri dalam meraih makrifat tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa jalan-jalan menuju Tuhan sebanyak jiwa-jiwa makhluk yang ada di alam ini. Tetapi jika kita ingin meninjau sisi yang sama dari jalan-jalan makrifat kepada Tuhan tersebut, maka terdapat beberapa pendekatan universal yang dapat mencakup semua manusia. Di bawah ini terdapat beberapa metode dalam pencapaian makrifat kepada Tuhan, antara lain:
 
a. Metode Argumentasi
Cara ini dapat ditempuh dan dijalani oleh setiap orang yang memiliki akal sehat, sebab cara ini menggunakan premis-premis dan prinsip-prinsip rasionalitas dalam menetapkan eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan Tuhan. Namun dalam metode ini juga terdapat tingkatan-tingkan argumentasi dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit dan filosofis (dengan argumentasi filsafat).
 
b. Metode Syuhudi
Cara ini, jika ditinjau dari segi epistemologi memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari metode argumentasi di atas, sebab dalam syuhudi manusia mengenal Tuhan dengan ilmu huduri, sedangkan pada metode pertama dengan ilmu husuli. Cara ini dijalani dengan pembersihan dan pensucian nafs (jiwa) lewat pendisiplinan diri pada tingkatan-tingkatan spiritual hingga mencapai maqam "penyaksian" Tuhan dan dengan pandangan batin memandang sifat jalal dan jamal-Nya.
 
c. Metode Kontemplasi
Manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa dipenuhi dengan rasa ingin tahu terhadap apa yang dihadapannya, sebab itu apa saja yang disaksikannya senantiasa memotivasinya untuk mengenal dan mengetahuinya lebih jauh dan lebih dalam. Dan dengan berpikir terhadap fenomena-fenomena alam yang disaksikannya serta hubungan satu sama lainnya bisa mengantarkannya pada penemuan akan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, iradah, hikmah dan kekuasaan. Jalan ini bersandar pada pengamatan dan penyaksian alam natural, sebab itu disebut jalan perenungan dan observasi. Perlu diketahui bahwa pada dasarnya jalan ini tidak dapat dicapai tanpa menggunakan prinsip-prinsip akal.
 
d. Metode Akal
Jalan ini menggunakan premis-premis akal dan logika serta metode-metode argumentasi yang murni bersandar pada kaidah akal dalam pembuktikan keberadaan Tuhan dan menetapkan sifat-sifat khusus yang layak bagiNya, seperti hidup, ilmu, hikmah, iradah, dan kuasa,  serta membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak, seperti bermateri, beranak dan terbatas .
 
e. Metode Fitrah
Berbeda dari dua jalan sebelumnya, jalan ini tidak dengan akal dan juga tidak dengan kontemplasi alam tabiat. Manusia dengan hanya merujuk pada kedalaman batinnya, dia akan menemukan dan memperoleh makrifat Tuhan. Dengan metode fitrah dan jalan mukasyafah irfani serta jalan musyahadah kalbu termasuk dalam katagori jalan ini dalam menemukan Tuhan dan sifat jalal dan jamal-Nya. Jalan ini hanya terbuka bagi hati-hati yang bersih yang tidak dipenuhi dengan hawa nafsu, cinta materi dan  duniawi. 
Selain dari kedua pembagian jalan makrifat pada Tuhan tersebut di atas, juga ada pembagian lain sebagai berikut :
 
a. Metode  Umum
Jalan ini adalah yang ditempuh oleh kebanyakan manusia, dan keyakinan yang dihasilkan tidak begitu dalam dan sempurna, tetapi cukup untuk dikatakan sebagai manusia beragama yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Jalan ini tidak dengan pemikiran yang dalam, tetapi dengan pemikiran sederhana yang didukung oleh fitrah yang sehat.
 
b. Metode Khusus
Orang-orang yang sanggup menjangkau pemikiran-pemikiran argumentatif (burhan) dan sampai pada keyakinan yang tidak lagi tergoyahkan secara argumentasi.
 
c. Metode Lebih Khusus
Jalan ini tersedia bagi hati-hati yang bersih dan fitrah yang tidak dinodai oleh hawa nafsu dan cinta materi. Para penapak jalan ini mensucikan batinya sesuci-sucinya sehingga cermin hatinya dapat memantulkan cahaya kebenaran secara hakiki. Dia akan mendapatkan wajah Tuhan dalam bentuk aslinya, jauh dari pengaruh kesesatan ilusi dan imajinasi pikiran.
 
 
e. Metode Terkhusus
Orang-orang yang memadukan jalan argumentatif dengan pensucian batin lewat menapaki tangga-tangga spiritual sehingga sampai pada maqam syuhud dan fana fi Allah. Kelebihan jalan ini dibanding jalan ketiga adalah orang yang berhasil pada jalan ini selain menggapai maqam jalan ketiga, ia juga mampu menguraikan makrifatnya dalam bentuk argumentasi akal, sehingga ia mampu membimbing akal-akal pencari kebenaran dan kesempurnaan sampai pada pemahaman yang hakiki. Jalan inilah yang ditempuh oleh orang-orang seperti; Ibnu Arabi, Mulla Sadra, Imam Khomeini, dan Allamah Thaba-thabai.
 
f. Metode Para Nabi Dan Rasul
Jalan ini adalah jalan yang paling sempurna dan istimewa dan hanya diperuntukkan bagi manusia-manusia pilihan Allah Swt.  Jalan ini meskipun dalam tinjauan teoritis terbuka bagi semua manusia, tetapi karena disertai dengan risalah dan wahyu serta tugas tertentu dari Tuhan, maka secara riil hanya mempunyai jumlah yang terbatas; seperti Tuhan hanya mengutus pada umat manusia sebanyak 25 Nabi dan Rasul, dan mengutus Nabi-nabi sebanyak 124.000 untuk seluruh umat manusia.  Oleh sebab itu, jalan dan cara ini meskipun bukan jalan argumen filosofis atau jalan penapak spiritual, akan tetapi cara dan jalan ini tentu tidak bertentangan dengan akal para filosof serta mukasyafah para pesuluk, bahkan ia malah menjadi tolok ukur kebenaran kedua jalan tersebut serta penerang yang tak padam bagi keduanya. Sebagaimana akan kami jelaskan nantinya kedudukan wahyu terhadap akal.
 
Defenisi dan Tujuan  Agama
Dalam bahasa Arab, secara leksikal, agama disebut dengan al-diin yang berarti ajaran, penyerahan, balasan dan ketaatan. Adapun arti al-diin secara gramatikal bisa didefenisikan sebagai berikut, "Al-Din atau agama adalah seluruh rangkaian ilmu, makrifat dan pengetahuan suci yang secara teoritis maupun praktis", yakni seluruh tinjauan dan pandangan terhadap pengamalan-pengamalan yang mengandung muatan suci.[1] Tentu defenisi ini bersifat luas dan tidak terbatas pada satu agama, sebab seluruh agama mempunyai konsepsi-konsepsi dan praktek-praktek yang dipandang suci oleh para penganutnya. Adapun mengenai kebenaran ajaran suatu agama, hal tersebut menjadi model dalam pembahasan sistem keyakinan dan kepercayaan secara teoritis dan praktis, dimana akal dapat menguji sejauh mana kebenaran serta kesesuaian agama itu dengan hakikat realitas. Misalnya pandangan Islam tentang Tuhan berbeda dengan Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Tao, Konghucu dan agama-agama lainnya. Manakah diantara agama-agama tersebut yang mempunyai pandangan dan keyakinan tentang Tuhan yang dapat dibuktikan kebenarannya dan bersesuaian dengan akal dan realitas hakiki?  
Jika defenisi tersebut di atas dihubungkan dengan Islam maka agama berarti seluruh makrifat yang berkaitan dengan Tuhan yang terdapat dalam teks-teks suci al-Quran dan sunnah nabi.
Agama  dapat juga  didefenisikan sebagai berikut, "Al-Diin yang berarti ketaatan mutlak dan balasan yang dijabarkan dalam bentuk keyakinan, akhlak, hukum-hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan individu dan masyarakat. Agama-agama langit adalah agama-agama yang berasal dari sisi Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi-nabi as, sebab itu masalah dan persoalan agama ditetapkan berdasarkan wahyu dan berita-berita yang  diterima secara yakin. Makna leksikal al-diin  adalah kepatuhan, ketaatan, penyerahan dan balasan. Dan makna istilahnya adalah keseluruhan keyakinan, akhlak, undang-undang dan aturan-aturan yang bertujuan mengatur urusan-urusan manusia dan membimbing mereka. Tidak semua ajaran itu seluruhnya benar dan dan juga sebaliknya, dan terkadang dalam beberapa ajaran bercampur antara benar dan batil. Jika keseluruhan ajarannya adalah benar maka disebut agama yang benar, dan begitu pula sebaliknya disebut agama yang batil atau percampuran antara benar dan batil.[2]
 
Tujuan Agama
Secara global agama dipandang sebagai jalan dan petunjuk menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara tentang agama-agama secara umum, kita hanya berbicara berkaitan dengan agama Islam. Kita meyakini secara argumentatif bahwa hanya agama Islam yang secara utuh memiliki kebenaran, baik secara teoritis maupun praktis.
Kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan beserta Rasul dan Nabi-Nya, semuanya mengajak manusia menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, berbuat baik kepada manusia dan menegakkan keadilan. Jelaslah agama dalam hal ini merupakan hidayah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan Tuhan juga memberi petunjuk pada manusia dalam rangka menyampaikan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan kesempurnaan di akhirat. Yakni tujuan agama dalam konteks ini adalah memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia, mengaktualkan potensi manusia dan mengangkat manusia ke maqam kedekatan Tuhan.
Hakikat agama adalah kebahagiaan, kedamaian dan kemenangan seluruh umat manusia. Agama adalah jalan mencapai puncak tujuan penciptaan dan puncak kesempurnaan manusia. Agama bertujuan mengangkat manusia dari alam materi yang rendah menuju ke alam malakuti yang tinggi. Agama berkeinginan membantu manusia menyelesaikan berbagai problematika di dunia ini. Agama ingin menghilangkan ketakutan manusia kepada kematian dengan memberikan harapan kepada kehidupan abadi. Agama ingin mendekatkan manusia kepada Tuhan Penciptanya Yang Esa.
 
Agama dan Fitrah Manusia
Sebelumnya telah dijelaskan pengertian dari al-diin (agama) baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Oleh karena itu, dalam pembahasan selanjutnya yang perlu dijelaskan adalah makna dan pengertian fitrah manusia.
Kata fitrah secara leksikal bermakna watak ciptaan suatu maujud, namun dalam istilahnya mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Dan yang kita maksudkan dari pada fitrah disini adalah sisi-sisi universal yang terdapat pada manusia dan mendasari sifat dan kecenderungan hakiki manusia dalam menerima agama dan penyembahan kepada Tuhan.
Adapun mengenai fitrah manusia kepada Tuhan dan agama terdapat tiga pandangan:
  1. Membenarkan keberadaan Tuhan merupakan pengetahuan yang bersifat fitrah manusia. Fitrah dalam pengertian ini adalah fitrah akal yang berhubungan dengan sistim pengenalan dan pengetahuan manusia.
  2. Manusia secara hudhuri dan syuhudi memiliki pengetahuan kepada Tuhan, dan manusia - berdasarkan potensinya masing-masing - mendapatkan pengetahuan hudhuri dari Tuhan tanpa perantara.
  3. Fitrah manusia kepada Tuhan adalah kecenderungan alami dan esensi yang terdapat dalam diri manusia, yakni kecenderungan dan keinginan kepada Tuhan merupakan hakikat penciptaan manusia.
Syahid Murtadha Muthahari dalam mengomentari pandangan pertama  berkata, "Sebagian orang yang berpandangan tentang kefitrahan pengetahuan kepada Tuhan yang mereka maksud dalam hal ini adalah fitrah akal. Mereka berkata bahwa manusia berdasarkan hukum akal yang bersifat fitrah tersebut tidak membutuhkan premis-premis argumentasi dalam menegaskan wujud Tuhan. Dengan memperhatikan tatanan eksistensi dan keteraturan segala sesuatu, maka otomatis dan tanpa membutuhkan argumen, manusia mendapatkan keyakinan tentang keberadaan Sang Pengatur dan Sang Perkasa."[3]
Pandangan kedua tentang fitrah adalah manusia secara fitrah mempunyai pengetahuan hudhuri kepada Tuhan, bukan dengan ilmu hushuli yang diperoleh lewat argumentasi akal. Yakni manusia mempunyai hubungan yang dalam dan hakiki dengan Penciptanya, dan ketika manusia memandang ke dalam dirinya, dia akan menemukan hubungan tersebut. Karena kebanyakan manusia sibuk dengan kehidupan materi, maka dia tidak mendapatkan hubungan dengan Penciptanya. Tapi manusia pada saat memutuskan hubungannya dengan kesibukan-kesibukan kehidupan dunia, atau saat manusia kehilangan harapan dari sebab-sebab materi, barulah manusia merasakan hubungan tersebut yang terdapat dalam dirinya.
Fitrah dalam pandangan ketiga juga bukan fitrah akal atau pengetahuan hushuli yang sederhana, tetapi yang dimaksud adalah fitrah qalbu. Syahid Muthahari berkata, "Fitrah qalbu adalah manusia secara khusus diciptakan berkecenderungan dan berkeinginan kepada Tuhan. Dalam diri manusia telah diletakkan suatu bentuk instink pencarian Tuhan, kecenderungan kepada Tuhan, cinta dan penyembahan kepada Tuhan, sebagaimana instink kerinduan kepada  ibu dalam watak seorang anak.[4]
Anak-anak yang baru dilahirkan meskipun belum memahami makna kesadaran riil tetapi terdapat dalam dirinya apa yang tidak disadarinya berupa kecenderungan kepada ibu dan kerinduan padanya. Dalam wujud manusia terdapat kecenderungan seperti ini, suatu kecenderungan agung dan tinggi, yakni kecenderungan penyembahan dan kecenderungan kepada Tuhan. Kecenderungan inilah yang membawa manusia ingin berhubungan dengan suatu hakikat yang tinggi dan ingin dekat kepada hakikat tersebut serta mensucikannya. Fitrah manusia yang telah diciptakan Tuhan dan diletakkan pada diri manusia dalam bentuk tabiat penciptaan, dengan tabiat tersebut  manusia menerima agama dan menyembah dan menyintai Tuhan.
 
Agama dan Akal
Salah satu hal penting yang menyibukkan pikiran dan menjadi wacana penting dikalangan para filosof dan teolog disepanjang sejarah adalah hubungan akal dan wahyu atau agama dan filsafat.Uuntuk lebih jelasnya pembahasan ini sebaiknya terlebih dahulu kita jelaskan makna dan pengertian akal dan wahyu.
 
Pengertian Akal
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan.
Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain:
1.Akal instink : Akal manusia di awal penciptaannya, yakni  akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen;[5]
2.Akal teoritis : Akal yang memiliki kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan akhlak).
3. Akal praktis : Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak, beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah dicerapnya .
4. Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.[6]
5. Juga akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.[7]
6. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki zat dan perbuatan.
Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang  berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.
 
Pengertian wahyu
Wahyu merupakan kata yang tak dapat dipisahkan dari agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang membentuk  suatu agama samawi.
Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata, "Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan."[8]
Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari "langit".[9]
Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan, sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri.[10]
 
Batasan Akal dan Wahyu
Tak dapat diragukan dan dipungkiri bahwa akal memiliki  kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam hal ini juga  berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat (hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang mendalami filsafat dan  terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta'wil terhadap teks-teks suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi.
Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa'âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam.
Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, " … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu  pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya."[11]
Sebagaimana kita saksikan dalam perkataan Ibnu Sina tersebut bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat.
Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama, dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia, cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi  akal manusia memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia.
Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.
 
Kesesuaian Akal dan Wahyu (Agama) 
Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan.
Tuhan mengutus Nabi-nabi disertai wahyu dan agama untuk memberi hidayah umat manusia. Dan Tuhan pun yang menciptakan akal manusia. Akal adalah salah satu fenomena diantara fenomena-fenomena alam yang ada. Tuhan adalah Pencipta akal dan Tuhan juga merupakan sumber syariat dan agama (wahyu). Jadi akal dan wahyu berasal dari Tuhan dan berujung pada satu hakikat yang tinggi dan suci.
Dalam teologi Islam ada konsep "kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal" (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan. Dalam hal ini juga syariat Tuhan menegaskan dan memberi hidayah manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. Oleh sebab itu, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Nasiruddin Thusi berkata, "Baik dan buruk dalam mizan akal (husn wa qubh al-aql) secara mutlak tertegaskan, karena keduanya berkaitan erat dalam keberadaan dan keabsahan syariat".[12]  Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal iut tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi as adalah baik. Manusia juga tak dapat mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul as pasti tidak bohong. Jika manusia mengetahui dari syariat bahwa para nabi pasti berkata jujur dan kejujuran adalah sifat yang mulia, maka muncul masalah bahwa syariat yang belum diketahui apakah hasil dari perkataan jujur atau bohong, sehingga dipercayai kejujuran dan kebenarannya. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya, hatta syariat itu sendiri.
Dari tinjauan tersebut di atas, tidak bisa  dikatakan bahwa akal dan syariat di alam realitas saling berlawanan dan kontradiksi. Para ulama ushul fiqih mazhab Syi'ah Itsna Asyariyah (dua belas imam) memiliki konsep dan pandangan dalam bentuk sebagai berikut: Tuhan adalah pencipta akal dan "pemimpin" masyarakat berakal serta Tuhan pulalah yang menganugrahkan wahyu dan agama untuk manusia, maka  tak mungkin wahyu dan agama tak sesuai dengan akal, dan jika tak ada kesesuaian maka akan terjadi inner kontradiksi dalam ilmu Tuhan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa tidak terdapat kontradiksi antara akal dan wahyu, dan antara rasionalitas dan agama.
Diakhir pembahasan ini, kami akan menyajikan pandangan Mulla Sadra, salah seorang filosof besar Islam dan pendiri hikmah muta'aliyah, dimana Filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu. Dia berusaha semaksimal mungkin membangun filsafatnya dari kekuatan akal dan kesucian wahyu.  
Jika kita tinjau hubungan antara muatan wahyu dan proposisi akal, maka hubungan tersebut bisa dibagi menjadi tiga bagian:
1. Muatan wahyu sesuai dengan akal;
2. Muatan wahyu lebih tinggi dari akal;
3. Muatan wahyu kontradiksi dengan akal.
Menurut keyakinan Mulla Sadra, wahyu hakiki dan pesan hakiki Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal (bagian ketiga). Dalam tinjauan tersebut, dia berkata, "Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tak sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya".[13] Menurut  Mulla Sadra, hukum-hukum agama yang penuh dengan cahaya suci Tuhan mustahil bertentangan dan bertolak belakang dengan pengetahuan-pengetahuan universal akal, filsafat yang benar tak mungkin teori-teorinya bertentangan dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya. Dia berkeyakinan bahwa filsafat yang benar dan hakiki adalah filsafat yang memiliki korelasi dengan  wahyu suci Tuhan. Secara prinsipil, para filosof yang perkataannya menyalahi agama bukanlah filosof hakiki. Dia berkata, "Dan barang siapa yang agamanya bukan agama yang dianut oleh para Nabi as, maka pada dasarnya dia tidak mendapatkan sedikitpun bagian dari hikmah (filsafat hakiki)".[14]  Artinya, para filosof yang agamanya bukan agama para Nabi as, maka dia tidak mengambil manfaat sama sekali dari filsafat.
Dari perkataan Mulla Sadra di atas, dapat disimpulkan bahwa  dia berusaha - dengan pandangan-pandangan argumentatif - membela gagasan kebersesuaian akal dan wahyu, filsafat dan syariat, dan menolak adanya kontradiksi diantara keduanya. 
 

 

[1] . Reza shadeqi, Dar omad-e bar Kalâm-e Jadid, hal.28.
[2] . Ayatullah Jawadi Amuli, Syari'at Dar Ayeneh-e Ma'rifat, hal. 111.  
[3] . Murtadha Muthahhari, Majmu'e âtsar, jilid 6, hal.934.
[4] . Murtadha Muthahhari, Majmu'e âtsar, jilid 6, hal.934.
[5] . Dr. Sajjadi, Farhang-e Ulum Falsafah wa Kalam, hal.496.
[6] . Khusro panoh, Kalam-e Jadid hal.64.
[7] . Ibid hal.64.    
[8] . Isfahani, Mufradat al-fâz al-Quran, hal.858. 
[9] . Sayyid Mahdi, Darsnomeye ulumul Quran, hal.61.
[10] . Ayatullah Jawadi Amuli, Din Syenosi, hal.241.
[11] .Ibnu Sina, Rasaail fi al-hikmah wa al-tabi'iyyaah, hal.23-24.
[12] . Nashir al-din Thusi, Kasyf al-Murad fi Syarh al-Tajrid al-I'tiqad, hal.423.
[13] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 9, hal.303.
[14]. Mulla Sadra, Asfar, jilid 5, hal.205.

No comments: