أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
(Serat Cariyosipun Dewi Ambarini)
Serat Babad Nitik kangjeng Sultan Agung, nyariyosaken wiwit
Dewi Ambararini, putrinipun ratuning jim linamar raja wolung nagari
ngantos dhaupipun sang Dewi kaliyan Bambang Ernawarya.
1. Duk manitra tinembang artati, Slasa Wage lek salikur wulan.
2. Sri Narendra sampun lenggah, aneng bangsal kencana kinen nitik.
3. Genti ingkang kacarita, nagari Daksinatasik.
4. Kuneng genti kang winuwus, nagari Daksinatasik.
5. Sinegeg Daksinatasik, genti cinarita.
6. Genti kocap ing Daksinatasik, wau sang akatong.
7. Cinarita dutane para raja, kang sami angulati.
8. Sapraptene kapatihan kyai patih, Bambang Ernawarya.
9. Genti kocap nerendra Matawis, kangjeng Sutan Agung kitha Karta.
10. Ginenti kang cinarita, lampahira Bambang Ernawaryeki.
11. Sampun sami angandika, lenggah bangsal Sri Bupati.
12. Bambang Ernawarya muwus, andika langkung prayogi.
13. Sang nata duk amiyarsi, sungkawa anemu suka.
14. Enjing praptaning ubaya ari, Sri Narendra miyos.
15. Angandika wau Dyah Ambararini, eh Arya Nirbawa.
16. Sapraptaning wisma Arya Adipatya, tandya karya kinteki.
17. Kawarnaa arya Adipati, sang Udarapati Pramasadha.
18. Tengara bendhe tinembang, sinauran tabah-tabahan juri.
19. Wus bibar kang prang tandhingan, rajeng sadhaha sadasih.
20. Lampahira rajasunu, radyan Matyuna sarakit.
21. Kalamarcu Sri Bupati, sampun mangsah ing ranangga.
22. Catur raja sawusnya miyarsi, saraseng pamaos.
23. Wau sang Dyah dayita umatur aris, inggih putra tuwan.
24. Kawuwusa nengih kyai patih Puyika, umarek ngarsa aji.
25. Genti kocap nengih duta aji, kang lumampah maring Tasikdaksina.
26. Putra paduka sang retna, neng Daksinatasik langkung mukti.
27. Kocap ing Tasikdaksina, sang prabu Udayanamurti.
28. Nateng Kismaka amuwus, pami wahanira benjing.
29 Ing wetan samburat abrit, praptaning wisma dadakan.
30. Sanak-sanak manira aji, reh katemben tumon.
31. Sri Narendra duk myarsa aturing siswi, suka ing wardaya.
32. Kula asung uninga mring pra kakendra, inggih bade lumintit.
33. Kawarnaa enjing Sri Bupati, Soma Manis miyos siniwaka.
By alang alang.
=======================================
Serat Dewaruci
termangu sang bima di tepian samudera
dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya
sesirnanya sang naga nemburnawa
dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
oleh manusia mana pun.
menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
apa yang kau cari, hai werkudara,
hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini
terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
setelah melihat sang penanya ia bergumam:
makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
sang sena semakin termangu menduga-duga,
dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
dan siapa sebenarnya diriku ini
ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
yang tahu segalanya tentang dirimu
anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka.
yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka.
datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
terasa bagai keris tanpa sarungnya
sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
ingatlah pesanku ini senantiasa
jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
janganlah bagai orang gunung membeli emas,
mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
bertindak tanpa tahu asal tujuan
sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
lanjut sang marbudyengrat
sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
kelingking pun tak akan mungkin muat.
wahai werkudara si dungu anakku,
sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
yang telah terangsur ke arahnya
heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
segala yang kau saksikan di sana
hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
senantiasa akan ada pertolongan dewata
dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
apakah gerangan semua itu?
ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki.
hanya si putih-lah yang bisa membawamu
ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
sering disebut jagad agung jagad cilik
dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
akan tampak bagai lebah muda kuning gading
amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
bukan, anakku yang dungu, bukan,
berusahalah segera mampu membedakannya
zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan
ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
ialah yang merawat raga
tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini
serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda,
di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
maka habislah wejangan sang dewaruci,
sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
dan blassss . . . !
sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
MAKNA SERAT DEWA RUCI
Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
angkatan tua, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk ilmu kasampurnan .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan bahasa orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sadi, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.
Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras, begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur, kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
O Gilgamesh, apa yang akan kau kerjakan?
The life you seek, you will not find
Hidup yang kau cari, tak akan kau temukan
When the gods created man,
Saat tuhan menciptakan manusia
They apportioned death to mankind;
Mereka menunjukkan mati pada umat manusia
And retained life to themselves
Dan memberi pemahaman pada hidup mereka
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
kimpoiilah siang dan malam
Make of each day a festival of joy,
Buatlah setiap hari sebuah festifal hura-hura
Dance and play, day and night!
Berdansa dan bermainlah, setiap siang dan malam
Let your raiment be kept clean,
Jagalah kesuciannya
Your head washed, body bathed,
Kepala dan tubuh yang bersih dan tercuci
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Pegang dengan tanganmu
Let your wife delighted your heart,
Biarkan isterimu memegang jiwamu
For in this is the portion of man
Inilah bukti kemanusiaanmu
Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada the portion of man.Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakimpoi (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:Serat Dewaruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut.! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan. Dikatakan pula :Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan.
Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini.
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut mati dalam hidup dan juga disebut hidup dalam mati. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
==============================================
KAWRUH DUMADING MANUNGSA
Sekar Dhandhanggula
Duk ing nguni ujar para winasis
Dumadining manungsa sakjagat
Kun fayakun sasabdane
Gusti Allah Maha Agung
Kang kacipta tumuli dadi
dhisik dhewe swasana
Nuli cahyanipun
Gusti Allah amasesa
Anyunari candra kartika myang rawi
Sakambaning swasana.
Nuli tirta Kamandanu mijil
Witing urip keh isining jagat
Kang wujud sari-sarine
Surya lan kamandanu
Sang Maruta yekti mratani
Sasaring maruta
Ireng warnanipun
Kang asma Manik Ismaya
Sari soroting surya rekta awarni
Asma Sang Manik Mulat.
Sari tirta kamandanu iki
Warna seta ran Manik Idama
Manunggaling manik kabeh
Tri Murti wastanipun
Sampurna yekti Dumadi
Kang nduwur Guru Loka
Sisih tengahipun
Ingkang asma Endra Loka
Jana Loka neng ngandhap dunungireki
Asarira Bathara
Tri Murti kang sumebar mratani
Ing akasa kacipta dumadya
Mahluk raga Cahya rane
Ing darat kang tumuwuh
Tetuwuhan myang satoweni
Jron bumi tuwuh dadya
Materi puniku
Wujud barang pamelikan
Wesi waja emas perak manik-manik
Tan gingsir owah
Dene kotoran maruta iki
Kasorot bentering bagaskara
Nuli malih dadi cuwer
Kang alus mili ngumpul
Yekti dadya pusating bumi
Inggih buwana punika
Kang kasar ya ngumpul
Aneng sisih pinggirira
Sampurnane dadi tirta Jalanidhi
Ing tengah wadhukira
Inggih asmane catur anasir
Inggih sadaya sari-sarinya
Agni tirta bantalane
Kapat marutanipun
Sampurnane manungggal yekti
Dadya wewadhagira
Wulu kulit balung
Daging otot lan ludira
Sampun pepak sampurna catur anasir wewadhaging manungsa
Guru Loka apa kang sayekti
Ngen angen nalar pikir lan akal
Endra Loka panganggone
Panca driya satuhu
Lawan rasa nepsu nireki
Kang nama Jana Loka
Rasa mulyanipun
Saking mriku mijilira
Tumuruning manungsa jalu lan estri Ngebaki jagat raya
Terjemahan lagu tentang ilmu terjadinya manusia
( Kawruh Dumadining Manungsa )
Dahulu kala kata para bijak
Terjadinya manusia di dunia
Kun Fayakun sabdaNya
Allah Yang Maha Agung
Apa yang dikehendaki lalu jadi
Yang pertama keadaan
Kemudian cahayanya
Gusti Allah yang berkuasa
Minyinari bulan bintang dan matahari
Seluruh angkasa raya.
Kenuddian Air kendhi keluar
Pepohonan hidup banyak mengisi bumi
Yang berupa intisarinya
Sinar dan air kendhi
Sang Angin sungguh merata
Inti sarinya angin
Hitam warnanya
Yang bernama Manik Ismaya
Inti sinar surya berwarna merah
Bernama Manik Mulat.
Inti sari air kendi
Warna putih dan inti keinginan
Bersatunya semua ini
Tri murti namanya
Kesempurnaan yang sungguh-sungguh terjadi
Yang diatas Guru Loka
Ditengahnya Yang bernama Endra Loka
Jana Loka dibawah tempatnya
Itulah bertubuhkan Bathara.
Tri Murti yang menyebar merata
Di angkasa tercipta kejadian
Mahluk yang bertubuh Cahaya namanya
Di darat yang bertumbuh
Tumbuhan dan binatang
Di bumi tumbuhan jadilah
Itulah yang tertancap
Wujud benda yang mempunyai maksud
Tak boleh gerak berubah
Sedangkan kotoran angin ini
Tersinari kecepatan cahaya matahari
Kemudian berubah menjadi encer
Yang halus mengalir berkumpul
betul-betul menjadi pusat bumi.
Yang kasar juga berkumpul
Disebelah pinggirnya
Yang akhirnya menjadi lautan
Ditengah perutmu.
Yang dinamakan empat unsur
Ya semua inti sarinya
Api, air, tanah keempatnya angin
Kesempurnaan sungguh2 bertemu
Jadilah badan kasarnya
Bulu, kulit, tulang, daging, otot dan darah
Sudah lengkap sempurna empat unsur Badan Jasmani manusia.
Guru Loka apa yang sungguh2
Angan-angan nalar dan pikiran
Endra Loka pakaiannya
Lima indra sebenar-benarnya
Juga rasa nafsu manusia.
Yang bernama Jana Loka
Rasa kemuliaan
Dari situlah keluar (jadi)
Yang menurunkan laki-laki dan perempuan
Memenuhi alam raya.
By alang alang
=============================
DASHA SHILA SUTASOMA
Dikirim DASHA SHILA SUTASOMA pada Mei 15, 2008 oleh alangalangkumitir
Karya Mpu Tantulan.
1. Aja Sira Anlarani Hati Nin Non
Jangan Menyakiti Perasaan Orang Lain (dan jangan mengacaukan pikiran orang lain)
2. Ajaamidanda Tan Sabenere
janganlah menjatuhkan hukuman yang tidak adil
3. Ajaamalat Duwe Nin Wadwa Nira
Janganlah menjarah harta rakyatmu
4. Aja Tan Asih In daridra
Janganlah menunda kebaikan terhadap mereka yang kurang beruntung
5. Luluta Rin Pandita
Mengabdilah pada mereka yang sadar
6. Aja Sira Katungkul Ing Kagunan, Amujya Nabhaktya
Janganlah menjadi sombong, walau banyak orang menghormatimu
7. Aja Memateni Yen Tan Sabenere
Janganlah menjatuhkan hukuman mati, kecuali menjadi tuntutan keadilan
8. Uttama Si Yen Sira Akalisa Rin Pati,
Adalah yang terbaik, jika kau tidak takut mati,
9. Sampuraha Rin Tiwas
dan bersabar dalam keadaan susah
10. Anulaha Saama Daana Ajaapilih Jana
(adalah yang terbaik) Jika kau berjiwa besar dan memberi tanpa pilih kasih
=========================
ESTHINING PANEMBAH
Dikirim ESTHINING PANEMBAH pada Mei 15, 2008 oleh alangalangkumitir
Kanggo nggayuh supaya wong urip bisa muksa syarat mutlak kang kudu dilakoni yaiku kudu cedhak karo Gusti Kang Murbeng Dumadi. Jalaran muksa iku tegese bisa mbalekake barang-barang silihan saka Gusti, utawa yen wong Islam ngarani marang Allah SWT.
Kang kudu dingerteni barang-barang apa wae kang wis kita silih, yaiku urip. Urip iki asale saka Kang Gawe Urip, utawa Gusti Kang Murbeng Dumadi mau. Kaya kang tinulis ing Al-Quran surat Al Haj (surat 22) ayat 5: He para manungsa. Menawa sira mamang perkara bakal tangine wong kang wis mati, sira mikira. Ingsun wis gawe leluhurira Nabi Adam saka lemah, saiki Ingsun nitahake awakira saka mani. Banjur dadi getih kenthel, banjur Ingsun dadekake daging ganep wujud bayi lan ora ganep (lengkap). Supaya sira terangake kasampurnan kuwasa-Ningsun.
Lesan mau kang Ingsun kersakake lestari dadi manungsa. Ingsun lerenake ing guwagarba tekan mangsane lair. Sira banjur Ingsun wetokake dadi bayi, nuli Ingsun paringi urip nganti tekan wayah mempeng. Saweneh manungsa ana kang mati sadurunge dewasa, lan ana kang dawa umure nganti pikun, (iku Kersaningsun) nganti si pikun mau lali barang kang maune disumurupi.
Lan maneh sira andeleng bumi iku ngenthak-enthak tanpa thethukulan. Bareng wis Ingsun turuni banyu udan, banjur ngarejet (obah) thukul thethukulan warna-warna kang mbungahake para manungsa (kang becik-becik).
Sejatine manungsa urip iku kadunungan telung perkara, yaiku badan wadhag kang asale saka manine bapa lan sel telure biyung, kaloro badan alus (roh) kang asale saka alam arwah, lan katelu urip kang asale saka paringane Gusti Kang Murbeng Dumadi. Katelune kaiket utawa ditaleni dening taline urip yaiku nafas, dadi wadhag-roh-lan urip dadi sawiji, iki diarani wong urip. Yen roh karo uripe ucul saka badan wadhag, amarga taline urip pedhot, ragane ditinggal, mati kaku dadi bathang. Iki uga dialami kabeh sagung barang kang urip. Kayata: wit-witan, kabeh kewan, yen ditinggal roh/badan aluse, badan wadhag mesthi mati dadi bathang, awake kaku.
Lha saiki roh/badan alus karouripe menyang endi? Kudune roh lan uripe mlebu alam barzah/alam kubur. Ing kene bakal nampa siksa kubur apa nikmat kubur, salaras karo amale neng donya nalika urip dhisik. Lha lawase sepira? Gumantung vonise Kang Murbeng Dumadi.
Yen wis entek vonise, arwah/roh lan uripe mlebu ana alam arwah. Ing kene antri ngenteni dina kiyamat. Yaiku dina bakale wong mati ditangekake dadi urip maneh. Mangkono sateruse (maosa Al-Quran, surat Al Baqarah, ayat 28). Nganti akhire bali marang ngarsane Gusti kang Murbeng Dumadi.
Lha saiki yen awake dhewe kepengin bisa bali marang Pangeran (Allah SWT), ya wiwit saiki kudu kenal karo Gusti Allah SWT. Lan maneh awake dhewe kudu sregep ngadhep utawa madhep marang Gusti kaya tuntunan agamane dhewe-dhewe.
Agama Islam menehi tuntunan kanggo ngadhep marang Allah SWT kudu shalat. Lan agama Islam milah tataran ilmu iku dadi patang tataran. Tingkatan ilmu cacah papat iki marakake panembah utawa shalat kaperang dadi papat, yaiku: shalat sarengat, shalat tarekat, shalat hakekat, lan shalat marifat.
Shalat sarengat iku manembahing raga, sesucine mawa toya (banyu). Yen katrima mahanani makrifating sarengat. Tegese weruhe panca indera. Kayata mripat ndeleng gumelare donya nyebabake percaya manawa kabeh mau mesthi ana kang nitahake, yaiku kang sinebut Pangeran utawa Gusti Allah. Kapercayan kang mangkene iki disebut wajibul yakin.
Shalat tarekat iku manembahing cipta (ati), sesucine merangi hawa nafsu, sesirik. Yen katrima mahanani makrifating tarekat. Tegese weruhe sipangerti, lire kapercayane kanthi pangerti marang sejatine kang sinebut Pangeran iku, ora mung tiru-tiru wong akeh wae. Kapercayan ngene iki dirani ainul yakin.
Shalat hakekat iku manembahing jiwa (roh) kang mawa piranti rasa jati, sesucine sarana eneng, ening, awas, lan eling. Yen katrima mahanani makrifating hakekat. Tegese weruhe si-rasa jati. Lire kapercayan ora kandheg ing pangerti bae. Kapercayan ngene iki diarani haqqul yakin. Ing tataran/tingkatan iki wis wiwit kebuka werna-werna hijab (warana) kang ngaling-alingi antarane titah karo kang nitahake. Nanging ya tingkatan iki kang banget gawate, karana akeh begalane.
Shalat makrifat. Iku panembahing sukma. Yaiku jiwa kang kuwasa tanpa piranti (sang alus/urip). Sesucine sarana wairagya, yaiku ngipatake sawernaning gegayuhan apa wae, kajaba mung tumuju marang Pangeran (Allah SWT), yen katrima mahanani makrifating makrifat utawa sejatining makrifat. Lire percaya tanpa piranti, sarta tan kena kinaya ngapa. Iya ing kene tingkatan iki kasebut leburing papan kalawan tulis, cep tan kena kinecap, diarani isbatul yakin, yaiku teteping kapercayan.
Utamane nindakake kaya mangkono kaping lima jroning sedina-sewengi kaya wektu shalat wajib. Ora-orane sepisan dalem sedina-sewengi. Ora-orane maneh iya sepisan ing dalem seminggu. Ora-orane maneh ya sepisan ing dalem sesasi. Ora-orane maneh ya sepisan ing dalem setaun. Ora-orane maneh ya sepisan dalem.selawse urip.
Iki ana uran-uran/tembang (embuh karangane sapa) kang nggambarake wong kang lagi sepisan ngicipi kahanan tan kena kinaya ngapa iku, mangkene unine: Damar kurung binekta ing kemit, tintingana salira priyangga, den rumangsa sisipa. Rohing kacang puniku, angelayung rasaning ati. Sela panglawet ganda, sepisan ketemu, kalabang sinandhung cuncar, norarena kepanggih sepisan ping kalih, kumudu saben dina.
Pancen kanggo cecedhakan karo Gusti kita kudu ngundhakake iman lan pangerten kita marang Allah SWT. Jalaran supaya bisa sesambungan karo Pangeran kita kudu ningkatake shalat kita sa-ora-orane tekan tingkat shalat hakekat. Sokur bisa tekan shalat makrifat. Saengga besuk yen kita wis mati, kita bisa marak ngarsane Pangeran Kang Akarya Gesang. Iya iki tujuan akhir urip kita: marak ing Ngarsane Gusti.
Sumber : Majalah Jaya Baya
=====================================
HASTA BRATA
Marsudi Mardawaning Laku Jantraning Jagad Sakisine
Wong dadi temanten kuwi prasasat kaya rikala winisudha dadi raja sedina ngalami lenggah jejer karo si garwa sigarane nyawa [wong nyawa kok disigar apa ya bisa, gek nyigare ya nganggo apa] nglenggahi dhampar dhenta pinalipit ing retna kinebutan lar badhak [wong badhak kok ana lare, gek lare pundi niku] kanan kering dening patah sakembaran [hemm ...bayi kembar siam ayake, bayine siji sing dadi bapake loro, oleh-oleh saka arisan RT, empluk wadhahe uyah, wetenge njembluk isine bocah].
Sakarone pinaringan sangsangan puspa rinonce kang acarup sangsangan naga karongrong [dilem nganggo nagasari kareben ora ceblok], tumekeng jaja nganti pamidhangan, yen cinandra kaya taksaka ganda laya disekseni para pinisepuh, para wandu-wandawa sarta para tamu kakung putri ing madyaning sasana pawiwahan.
Supaya pangantyan mau bisa lestari ngasta pusaraning bebrayan kudu nduweni gegebengan sarta paugeran kang gumathok, mangkono mungguh jejering bebrayan. Gegebengan mau kang aran HASTA BRATA, kaya katrangan ing ngisor iki:
1. Mulat Laku Jantraning Bantala:
Yen bantal kuwi tegese piranti kanggo turu. Nanging bantala kuwi tegese bumi. Kembang mawar ganda arum angambar-ngambar. Wong kang sabar penggalihe mesti jembar. Wewateke bumi iku sabar, sanadyan dipulasara, dipaculi, didhudhuki, dipestisida, lsp. nanging ora nduweni pangresula, ora sambatan, malah nudhuhake kabecikane kanthi nuwuhake thethukulan, palawija, palapendhem, tetaneman, sarta barang-barang pelikan kang pinangka dadi kas kayane kang padha mulasara.
2. Mulat Laku Jantraning Surya:
Dene wewatekane surya utawa srengenge iku tansah paring papadhang sarta aweh panguripan marang sadhengah tetuwuhan lan sato kewan lan sakabehing barang ing alam donya kang urip lan tansah mbutuhake cahya. Sing dak rembug iki bab mulat laku jantraning surya, iki beda lho karo crita perselingkuhane Bathara Surya ing jagading pewayangan. Bathara Surya niku dewa cluthak. Tiyang sajagad empun dha dhamang kalih sekar banjare Adipati Karna. Nalika lair procot dening Kunthi linarung ing lepen, amargi lare niku undhuh-undhuhane gendhak slingkuh kalih Bathara Surya. Hladalah! Gelah-gelahing bumi panuksmaning jajalaknat, mbelegedhes wani nglanangi jagad dhewe si Surya Sasangka kuwi
3. Mulat Laku Jantraning Kartika:
Kartika utawa lintang wewatekane tansah tanggon tangguh, sanadyan katempuh ing angin prahara sindhung riwut nanging ora obah lan ora gangsir, jare wong Jombang menter njoh!, tegese tangguh lan puguh, ora bakal mundur sajangkah prasasat kaya pasukan berani nekat. wani ning bandhane mung nekat, hopo hora sarap niku jenenge?.
4. Mulat Laku Jantraning Candra:
Candra Darusman kuwi jenenge penyanyi lan pangripta lagu. Lha candra sing iki tegese rembulan, wewatekane uga aweh pepadhang marang sapa bae kang lagi nandhang pepetenge budi, sarta aweh pangaribawa katentreman lan ora kemrungsung binti mbregudul. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
5. Mulat Laku Jantraning Samodra:
Samodra utawa segara iku bisa madhahi apa bae kang kanjog. Sanadyan ana sampah industri lan rumah tangga, bangke asu apa bangke wong ketembak bubar melu demo [gek wujude ya ora beda banget jan jane mono], kabeh ditampa tanpa nganggo ngersola lan serik. Mila keparenga Mastoni nyuwun sih samodraning pangaksami manawi wonten klenta-klentunipun anggenipun wawan rembag ing riki.
6. Mulat Laku Jantraning Tirta:
Wewatekane tirta utawa banyu tansah andhap asor. Tansah ngupadi panggonan kang endhek, mungguh patrap diarani lembah manah lan andhap asor. Iwan Tirta kuwi perancang busana, yen aku perancang tanpa busana, asyik kan bisa buat cuci mata? Kaya katrangan ing ndhuwur mau, Mas Iwan Tirta priyayine kok ya wewatekane padha karo tirta yakuwi andhap asor [sebabe dedeg piyadege wonge pancen ora dhuwur], apartemene cedhak karo apartemenku ing New York, kapan ya aku ana wektu dak golek lungsuran batike Mas Iwan.
7. Mulat Laku Jantraning Maruta:
Maruta uga diarani angin. Wewatekane tansah nalusup ing ngendi panggonan kaya mata-mata CIA, ing papan kang rumpil sarta angel klebu omah gedhe cet abang branang ing Beijing, nanging kabeh tetep ditlusuri ora ana kang kari. Mungguh tumrap lelabuhan, kepingin nyumurubi papan ngendi bae kang bisa diambah.
8. Mulat Laku Jantraning Agni :
Geni iku wewatekane bakal nglebur apa bae kang katon. Mungguhing tumrap laku bakal mbrastha apa bae kang dadi pepalang, ora nguubris babarpisan bakal anane SI suk awal Agustus. Hayo apa kang ora bakal lebur dening panase geni?
Bekti iku tegese panembah. Werdhine panembah tumanduking patrap kang jumurung marang santosaning jiwa, ati, rasa, lan budi pakerti, ora liya ya lajering rasa manteb lan jejeg netepi kwajibane. Pangerten Hasta Brata iki kang nuwuhake rasa nyawiji, jumbuhake rasa karsa lan cipta kang bakal hanjog marang wujuding karya.
Gumolonging patrap wolung prakara mau bakal nuwuhake sikep madhep manteb lan jejeg netebi dhawuhing Gusti Kang Akarya Jagad sarta ngedohi kabeh pepacuhe, tansah eling lan bisa nglarasake tumindhak karo kedale pangucap, angleluri watak sabar marang sakabehing pacoban kang tumiba, ora kepranan marang sakebehing gugon tuhon utawa anut grubyug, resik ing panyana, sepi ing pangira ala sarta lumuh ngupadi alaning liyan, lega lan narima dhumawahing pandum kanthi ora nglirwakake sengkuting pambudidaya.
Iya sikep mangkono mau kang bisa hambuka olah kridhaning rasa eling bisa lelumban ing tatanan pasrah tanpa sumendhe marang resiking nalar lan pamikir. Kanggo ngawekani laku supaya jumbuh karo gegayuhan sarta nuwuhake katentreman lan karahayon, padha bisoa nindhakake patrap liyane kang banget bisa hambiyantu nuwuhake larase bebrayan agung. Mangkono mau mungguh tuladha Hasta Brata kang pinangka piyandel sarta gegebengane Prabu Rama Wijaya kanggo ngasta pusaraning praja ing nagara Ayodya Pala.
By alang alang
========================
HASTA DASA PARATEMING PRAMU
NENEK moyang bangsa di Nusantara ini mempunyai beberapa pegangan untuk dipergunakan di dalam memimpin masyarakatnya. Kebanyakan sudah terkristalisasi dalam berbagai bentuk tembang dan juga nasihat luhur. Di antara yang paling menonjol adalah pegangan yang dipergunakan oleh Mahapatih Gajahmada ketika memimpin Majapahit.
Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu atau 18 ilmu kepemimpinan. Pitutur luhur ini pernah diterapkan Maha Patih Gajah Mada pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Seperti juga digelar di dalam Istana Jawa Org, ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut permulaannya disebut Wijaya. Artinya pemimpin harus mempunyai jiwa tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan.
Yang kedua Mantriwira; Artinya pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun.
Ketiga Natangguan; Artinya pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Keempat Satya Bhakti Prabhu; Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa.
Kelima Wagmiwak; Pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.
Keenam Wicaksaneng Naya; Artinya pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat.
Ketujuh Sarjawa Upasama; Artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa.
Kedelapan Dhirotsaha ; Artinya pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum.
Kesembilan Tan Satrsna ; Maksudnya seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu golongan, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk menyukseskan cita-cita bersama.
Kesepuluh Masihi Samasta Bhuwana; Maksudnya seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.
Kesebelas Sih Samasta Bhuwana; Maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya.
Keduabelas Negara Gineng Pratijna; Maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya.
Ketigabelas Dibyacitta ; Maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya (akomodatif dan aspiratif).
Keempatbelas Sumantri ; Maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa.
Kelimabelas Nayaken Musuh ; Maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri.
Keenambelas Ambek Parama Artha; Maksudnya pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.
Ketujubelas Waspada Purwa Artha; pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri (introspeksi) untuk melakukan perbaikan.
Kedelapan belas Prasaja :Artinya seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana (Aparigraha), tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.
Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu: sebagai pegangan atau merupakan ajaran Maha Patih Gajah Mada
=========================================================
KEkimpoi ARJUNAWIWAHA
Bagian Pertama: Penulisan Kakimpoi
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakimpoi yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakimpoi), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakimpoi ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakimpoi.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakimpoi. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakimpoi Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang memuja.
Demikianlah Kakimpoi Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakimpoi menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakimpoi, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakimpoinya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakimpoi (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakimpoi yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala-sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana.
Bagian kedua: Pembacaan Kakimpoi
(Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakimpoi Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang ke-jaya-an Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakimpoi ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan-hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa ke-ksatria-an Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap - siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata.Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1 - XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Bagian Ketiga: Pemahaman Kakimpoi
Adapun tujuan penulisan Kakimpoi Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakimpoi yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala ). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-jernih (alilang), bebas-lepas (huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua-belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati sukha tan pabalik dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran ke-sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah-api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakimpoinya Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakimpoi tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakimpoi, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakimpoi melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia. (1996)
Catatan Pribadi - diambil dari ARJUNAWIWAHA - transformasi teks jawa kuna lewat tanggapan dan penciptaan di lingkungan sastra jawa - oleh I. Kuntara Wiryamartana - Duta Wacana University Press, 1990
=========================================================================
KIDUNG ARAS
Eling eling ingkang guling,
Aja lali lali nendra,
Wong turu adoh kang asih,
Aluk carem aneng gunung,
Cireme mengke tan sepi,
Panggaripta kang pamuji jati
bale aras kang sasaka mulya
kirun pisaka tengene
wanga kirun kang hatungu
saka kira panggere wesi
anolak lara ing badan
satru lawan musuh
panggere rijatullah
Ander-ander kulhu balik
kang linuwih ambalik sakehing lara.
satru musuh balik pada wedi
pamidangan baitul mukadis
kulhu balik pangarane
ambalik sakehing musuh
lara badan sami sumingkir
kang gering nulia waras
kang sengit den lutut
musuhe sang liman petak
ramajati jumeneng wali jasmani
mula ngagea petak
Duruwipun penerusing kursi
lungguhira sinurat ing tangan
penglebur lara kabeh
usuk-usu ing luhur ingaranan
telehing langit ya nabi muhammad kang wekasan
iku tutug dalu lawan siang kinajrihan
satru musuh pada wedi
iblis laknat sumingaha
Karya Kanjeng Sunan Kalijaga
===========================================
KIDUNG DARMAWEDHA
1. Ana pandhita akarya ing wangsit,mindha kombang angajab ing tawang ,susuh angin ngendi nggone ,lawan galihing kangkung ,wekasane langit jaladri ,isining wuluh wungwang lan gigiring punglu,tapaking anglayang ,manuk miber uluke ngungkuli langit,kusuma anjra ing tawang.
2. Ngambil banyu apikulan warih,amek geni sami adadamar,kodhok ngemuli elenge ,miwah kang banyu den kum,kang dahana murub kabesmi ,bumi panetak ingkang,pawana katiyub,tanggal pisan kapurnawan,yen anenun sonteg pisan anigasi kuda ngrap ing pandegan.
3. Ana kayu apurwa sawiji wit buwana epang keblat papat,agedong mega tumembe ,apradapa kukuwung kembang lintang segara langit ,sami andaru langit,woh surya lan tengsu.asirat bun lawan udan ,apupuncak akasa bungkah pratiwi oyode bayu bajra.
4. Wiwitane duk anemu candi,gegodhonganbmiwah wawarangkan.sihing hyang kabesmi kabeh ,tan ana janma kang weruh yen weruha purwane dadi .candi segara wetan ,ingobar karuhun,kahyangane sanghyang tunggal ,sapa reke kang jumeneng mung hartati ,katon tengahing tawang.
5. Aunung agung segara sarandil,langit ingkang amnegku bawana ,kawruhana ing artine ,gunung segara umung,guntur sirna amnegku bumi ,tug kang langit buwana,dadya weruh iku mudya madyaning ngawiyat,mangasrama ing gunung agung sabumi,candhi candhi sagara.
6. Gunung luhure kagiri giri,sagara agung datanpa sama,pasampun kawruhan reke,artadaya ounuku ,datan kena cinakreng budi,anging kang sampun prapta ing kuwasaning ,angadeg tengahing jagad ,wetan kulon lor kidul ngandhap myang nginggil ,kapurba wisesa.
7. Bumi sagara gunung myang kali,sagunging kang isining bawana,kasor ing artadayane ,sagaar sat kang gunung ,guntur sirna guwa samya nir,singa wruh artadaya,dadya teguh timbul lan dadi paliyasing prang,yeng lulungan kang kapapag wedi asih sato galak suminggah.
8. Jim perih prayangan samya wedih, mendhak asih sakehing drubiksa,rumeksa siyang dalune singah anempuh lumpuh,tan tumama ing awak mami kang nedya tan raharja,kabeh pan linebur,sakehe kang nedya ala,larut sirna kang nedya becik basuki,kang sinedya waluya.
9. Siyang ndalu,rineksa hyang widhi ,dinulur saking karseng hyang widhi,kadhep ing jalma kabeh,apan wikuning wikuwikan liring pujasamadi ,dadi sasedyanira mangunah linuhung paparab hyang tegalanang asimpen yen tuwujuh jroning ati,kalis ing pancabaya.
10. Yen kinarya atungguh wong sakit ejim setan datan wani ngambah rineksa malaekat ,nabi wali angepung sakeh lara samya sumingkir ,ingkang nedya mitenah ,maring awak ingsun ,rinusak dening pangeran ,eblis laknat sato marah padha mati ,tumpes tepis sadaya.
Karya Kanjeng Sunan kalijaga
==========================================================
SASTRA JENDRA (SERAT KALIMOSODO)
ISLAM
Satemene Rukun Iman iku wis ono sajerone Rukun Islam, dadi satemene kang kudu di Imani iku Rukun Islam netepi anane Rukun. Iman, iman marang Alloh, Kitab-e, Rosul-e, Malaikat-e, Dino Wekasan (Kiamat), Qodlo lan Qodar ( Takdir lan Nasib ), kudu biso kawedar ono sajerone lakune Urip anggone .mapakake anane Syahadat-e, Sholat-e, Poso-ne, Zakat-e lan Haji-ne, dadi Rukun Iman iku dadi dasar anane Rukun Islam.
1. Iman marang Alloh swt.
Iman marang anane Alloh ora amung sadermo nurut anane tembung jare, kudu biso ngudi dewe dununge Alloh, soko anane Syahadate, yen ngucap anane saksi kudu ngerti ope kang dadi wajib dedege manungso kang diangkat dadi Saksi, weruh dewe ope kang disakseni.
2. Iman marang Kitab-kitab Alloh.
Iman marang Kitab, ora sadermo biso moco lan ngerti terjemahane , kudu biso mawas kang tersurat utowo kang tersirat lan biso mapakake ono Uripe sarto , ngerteni opo kang dimaksud Pangeran nganti ngudunake / jarwakake tuntunan mau, koyo anane blegere Manungso Urip ono Jagad Royo iki, sabab opo kang dadi isine Kitab Al Quran Nul Karim mau yo anane isine Jagad Royo iki, sarine dadi Surat Al Fatikah yo anane wujud Manungso sarine Jagad Royo, dadi yen ngaku dedegi Umat Islam tuntunan soko Kanjeng Nabi Muhammad saw, yo kudu gelem ngakoni anane umat liyane kang isih netepi Urip sake anane laku Kitab kang luwih awal, koyo to yen isih ono Umat kang laku uripe netepi Tatanan Slamet sadurunge Kanjeng Nabi Daud as, utowo umate Kanjeng Nabi Daud as, mowo Kitab Jabur, umate Kanjeng Nabi Musa as, mowo Kitab Taurot, umate Kanjeng Nabi Isa as, mowo Kitab Injil, kabeh umat ing ngarsane Pangeran nyuwun anane ke-Slametan-e Urip yo anane Islam, Koyo anane umate Kanjeng Nabi Muhammad saw, Kang ke- Islam-anne wus kasampurnakake dene Pangeran, dadi kang kasebut Islam mau anane Umat anggone madep marang Pangerane nyuwun keslametan Uripe, biso kaperang netepi anane Ibadah, Sembahyang tan Sholat katerangake koyo ing ngisor iki :
a. Ibadah, anane Umat madep marang Pangeran sako anane Perilaku kang katindakake saben dinane, koyo wektu Umate Kanjeng Nabi Adam as, nganti satekane Umaate Kanjeng Nabi Daud as, koyo ucape para sesepuh biyen Ojo mlaku saliyane tindak kang becik , yoiku anane Ibadah.
b. Sembahyang, anane Umat madep marang Pangeran soko anane Perilaku lan Ucapan (omongan) kang katindakake saben dinane, koyo wektu Umate Kanjeng Nabi Daud as, nganti satekane Umate Kanjeng Nabi Muhammad saw, koyo ucape sesepuh biyen Ojo among - ngucap saliyane tembung kang apik , yo iku anane sembanyang.
c. Sholat, anane Umat madep marang Pangeran soko anane Perilaku, Ucapan lan Angen-angen kang katindakake saben dinane nyuwun anane keslametan Dunyo Akhirate, koyo ucape sesepuh biyen Ojo duwe angen - angen saliyane angen-angen kang becik , yoiku anane Sholat.
Dadi anane Umat madep marang Pangeran netepi Agomone kabagi anane soko tindak laku saben dinane ono 3 (telu) perkoro koyo ing ngisor iki :
1. Ibadah, yo Tingkahlaku dadi dasar Sembahyang ;
2. Sembahyang, yo anane Ucapan (omongan) dadi dasar Sholat;
3. Sholat, yo anane Angen-angen, jejege sake anane Sembahyang lan Ibadah.
Iman marang Kitabe Pangeran iku ono:
a. Kitab kang tinulis yo anane Kitab Garing, koyo to Kitab Jabur, Kitab Taurot, Kitab Injil, Kitab AI Quran Nul Karim lan sapanunggalane.
b. Kitab kang tersirat yo anane Kitab Teles, wujud sake maknane Badan saujud kite.
3. Iman marang Rosul.
Iman marang Rosul ing kono koyo iman marang Kitab :
a. Kang Garing, yo anane Kitab-kitab kang tinulis netepi ope anane lumrahe Urip, koyo kang wis kacaritakake ono sajerone Kitabe.
b. Kang Teles, ngerti anane Rosul iku sajatine Roso, sake anane Roso Rasane Urip Pangeran kang katitipake ,marang Umate, kanggo ngudi Jati Diri yo anane dedeg piadege Manungso manunggal marang Roso Urip, yo anane Roso soko Pangeran lan Umate, mengko ono beberane dewe.
4. Iman marang Malaikat.
Iman marang Malaikat, satemene kudu mangerteni yen Urip ing Jagad Royo iki ora dewe, ning akeh kang podo melu urip koyo bangsane lelembut kang pancen nyoto ono, bebarengan anane Pangeran anggone mujudake manungso, kanggo nguji imane manungso dewe-dewe, yen nganti kaliru bakal melu ono uripe lelembut mau, urip ono sajerone Alam Penasaran.
5. Iman marang Jaman Akhir.
Iman marang Dino Akhir yo Dino Pesti, yo anane Dino Wekasan, nyoto yen Manungso iku Urip ono Jagad Royo iki amung sadermo mampir ngombe disilihi Sandangan / Pangganggo, kudu ngerti ope kang dadi Wajibe Urip, Sunahe Urip, Makruhe Urip lan Larangan/Pantangan kanggo njejegi anane Urip kang Sampurno, iki wus ono sajerone Rukun Islam.
6. Iman marang Qodlo laD Qodar
Iman marang Qodlo lan Qodar, kudu mangerteni yen Uripe Manungso iku katulisake ono sajerone Kitab kang nyoto, Qodlo iku katulis ono sajerone Takdir Urip yo anane Tuntunane Urip ono Jagad Royo, sapo kang biso netepi anane Takdir Uripe bakal nemu Mulyo Dunyo - Akhirate, Qodar iku katulis ono sajerone Nasib Urip, jarwane opo kang dialami ono sajerone Uripe, iku wujud soko tindak - laku kang katindakake wus adoh soko anane Tuntunane Urip kang samestine, nyatane yen arep ono opo-opo Pangeran mesti maringi tondo luwih disik, dadi sing Eling biso netepi Takdire, yen Lali yo ono sajerone Nasibe.
Maknane Syahadat, yen karasakake ono sajerone netepi Wajibe Urip kang kudu dilakoni krona Alloh, ono sajerone urip ing Alam Dunyo, yen biso kabeberake iku kirokiro koyo ing ngisor iki :
a. Urip iku umpamane 100% (satus persen) kuwajiban soko Alloh;
b. Syahadat amung ono 95% soko Urip;
c. Sholat amung ono 5% ( limang persen ) soko Urip;
d. Poso amung ono seperapate soko Sholat;
e. Zakat amung ono sapertelone poso;
f. Haji amung ono separohne Zakat.
Ing ngisor iki ono pituture leluhur menowo dedeg wajibe lan larangan kang dumunung ono Rukun Islam kang kudu di Imani kacaritakake koyo ing ngisor iki :
a. Syahadat : Anane Mahayu Hayuning Bawono cilike Keluarga, larangane Madon ;
b. Sholat : Anetepi angen angen kang becik, ndedegi Pamikiran kang Agung netepi anane Sastro Jendro Hayuningrat kanggo ngudi laku kang becik, larangane Madat ;
c. Poso : Kuoso nota Rasane Urip, maknane ngerti manowo Urip amung sadermo nglakoni, yen wistiti wancine ora nggowo opo-opo, kabeh anane soko panyuwunan kanggo nyukupi kebutuhan keluargane kang wujud soko ngunggulake Drajat Urip keluargane, larangane Mabuk ;
d. Zakat : Madep mantep marang kuasane Gusti anggone njogo Kanugrahaan lan Rakhmat Pangeran marang barang Pribadi, anane ngluhurake Asmo larangane Main;
e. Haji : Tegen anggone mapakake Roso yo anane kumpule Urip Roso Pribadi marang Kuasane Urip Pangerane, kuoso njogo arum gandane asmo ono sajerone Urip, larangane Maling.
Yen gelem ngudi kaluhurane Urip ing Alam Dunyo tumekane Alam Akhir koyo unine ayat Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanataw wafil aakhiroti hasanataw wa qinaa adzaaban naar , kanti sabenere Manungso kudu mangerteni, lan mapakake opo sabenere Kalimat Syahadat iku, yen ora kaliru koyo kagambarake ing ngisor iki :
Laa ilaaha illallahu Muhammadur Rasuulullah ketemu anane :
1. HU mujudake anane Nur Illahi ;
2. Nur Illahi mujudake anane: a. Nur Muhammad,
b. Asma Alloh ono 99 Asmo lan Sifat Alloh ono 20 Sifat;
3. Nur Muhammad, Asmo lan Sifat Alloh mujudake anane Alam Dunyo saisine, yo anane Kitab AI Quran Nul Karim bebere wujud dadi Jagad Royo, sarine Kitab Al Quran Nul Karim bebere wujud anane Surat Al Fatikah, Surat Al Fatikah wujude makna dadi Badan Jasmani kito yo anane Jagad Dumadi, kang samestine isine Jagad Royo iku podo lan memper karo isine Jagad Dumadi yo anane Badan Jasad yo Badan Jasmani kito.
Ing kono Manungso bakal nemahi anane Urip lan Pati, mangerteni sejatine sopo kang Urip lan sopo kang Mati, biso kaematake koyo fig ngisor iki :
U r i p :
a. Arahe nunggal nyawiji, anane Tauhit, wujude urip Ikhlas - Sabar, koyo anane napas kito, gegambarane nafas wektu ono sajabane irung iku anane HU, yen wis ono sajerone irung nganti tekan gulu iku anane Allah, bareng ono sajerone dodo lan sateruse iku anane Urip kito soko Kanugrahane Pangeran yo biso kasebut wenange Pangeran wus kanugrahake dadi wenange Umat;
b. Sampurnane margo soko ngabekti marang Kaluargane, ngerteni yen Manungso ora biso wujud tanpo anane Bopo-Biyung kang kasebut Pangeran Katon, wujude toto - tentrem kasembadan kabutuhane.
c. Mulyane margo wus ketekan kekarepane, wujude biso nunggal marang Jatine Urip soko netepi Pangangen - angene nunggal marang panyuwunan ketemu keluhurane yo mapan ono sajerone Baitullah.
PAKUBUMI TANAH JOWO.
Ono sawijine tetenger soko Pinisepuh kang ono Gunung Tidar, wujud Tenger Pal pratelon mowo Sandi aksoro Jowo So kang kapendem saduwure Puncak kasebut Paku Bumi Tanah Jowo, mowo aran Nyi Ratu Roro Mangli, aksoro Jowo So mau ono 3 (te1u). aksara, yen ora keliru mowo maksud koyo ing ngisor iki :
a. Kang sapisan aksoro SO-l mowo maksud Sastro, kang wujud ono sajerone bebere Ponang Jabang Bayi kang isih ono sajerone kandutan si Biyung iku anane Sastro, yo kasebut Garis Panguripane si Jabang Bayi, anane Sastro sajabane Garis Takdir lan Nasib.
b. Kang kapindo aksoro SO-2 mowo maksud Sugih, kang mujudake anane dedege Ratu Rumah Tangga yo Ibu Rumah Tangga unine Sugih, Sugih iku titi wancine Panyuwunane si Biyung wektu ndedege isi kang kasebut Purborangrang kanggo Anak Bojo lan Putune, biso nyukupi kabutuhane kaluargane.
c. Kang kaping telu aksoro SO-3 mowo maksud Sandi, kang wujud ono sajerone lambe barange wong wadon, anarik rasane si kakung (lanang) kasebut Sandi yo anane Wadi, asline wujud sake buah Quldi, awal anane Roso kang biso mujudake anunggale Rasane Pangeran. Sandi yo Wadi iku Rasane Pangeran kang dumunung ono Manungso, kudu biso nunggal misah Roso Rasane Manungso kalawan Roso kang kasinungan Rasane Pangeran yo anane Roso Rasane urip Manungso Sejati, njejegi anane Kawulo marang Gustine.
Tetengeran mau kasebut aran Nyi Ratu Mangli, aran mau anane tembung sanepan kang mowo maksud kurang luwih Ojo Pangling utowo Lali, manowo Urip sajatine wis ono kang nota lan ngersakake, Manungso among sadermo anglakoni.
Sake tatanan mau kite bakal mangerteni awal anane Pangeran anggone mujudake Manungso, netepi :
A. Tatanan aksoro SO-1. koyo ing ngisor iki :
1. Wektu Wiji sake Bopo lan Biyung ketemu ing keno Pangeran ngudunake Wahyu Nungkat Gaib, yo anane Wiji Kang Samar, kang wujud sake Roso Rasane Pangeran, wujude Wahyu Gaib mujudakake anane ROSO KANG AWAL sake anane Manungso;
2. Wiji mau banjur wujud setetes Getih yo anane Rah, ing keno Pangeran ngudunake ROH, yen satemene yo ing wektu iku Pangeran nyiptakake anane Bongso JIN, setetes Getih mau banjur wujud dadi segumpal Getih, ing wektu iku anane Alame SETAN - IBLIS ;
3. Soko segumpal Getih banjur wujud dadi Segumpal Daging, ing kono Pangeran ngudunake NYOWO bebarengan mapakake anane Wahyu Doyo Gaib, kang satemene Pangeran nyiptakake anane Bongso MALAIKAT ;
4. Sabanjure segumpal Daging wujud gegambaran Bayi soko anane Pangeran mujudakake Sungging Purbangkoro kang satemene soko anane Neptu Gaib mujudake anane SASTRO, yen ing Kuno biso kasebut Sastro Jendro Hayuningrat; Mahayu Hayu ning Bawono , yo anane Dino Pesti ;
5. Gegambaran Bayi banjur wujud anane Bayi kang sampurno, ing kono Pangeran mapakake anane ATMO yo anane Alame ASMO, Asmo kang wujud soko anane LELUHURE ;
6. Bayi lahir Sampurno, ing kono soko anane Wahyu Panguasane Gaib, yo mudune Kanugrahaane Pangeran kang wujud Sukmo, yo anane Uripe si Bayi, bayi banjur ngekarake derijine nuduhake yen Wahyu Neptu Gaib wus nunggal nyawiji, ing kono asline Pangeran ngudunake Wahyu Nungkat Gaib wus nunggal wujud ono sajerone badan saujude si jabang bayi, satemene Wahyu Nungkat Gaib mau wujud soko anane Nur Muhammad, kang bakal wujud dadi Nurcahyo yo Drajat Urip si Bayi.
Yen nurut gegambaran soko Surat Al Fatikah :
1. Ayat 1, ayat 2 lan ayat 3 ing kono anane Sukmo-yo Urip nguripi Umate ; soko Pujine Jagad
Royo marang Pangeran kerso ngudunake Umate ing Alam Dunyo, krona Welas - Asih kanggo netepi Kratonan Jagad Royo, Manungso Kawenangake dadi kalifah ing Alam Dunyo, manowo sampurno Syahadate, bab iki kang wenang amung Pangeran.
2. Ayat 4 fig kono satemene anane Jiwo, soko wujud nunggal nyawiji anane :
a. Atmo yo alame Asmo netepi leluhure wektu Urip.
b. Nyowo yo alame Tetanduran mujudake Rojo Kayon mapane Bebalungan.
c. Roh yo alame Kekewanan, mapan ono Rah - Getih, banjur sumrambah ono Badan Jasmani saujud mowo tandane Urip.
Nuduhake manowo soko Kersane Pangeran Manungso iku wewujudan soko nunggale :
a. Rah yo alame Kekewanan dadi Rajane Kekewanan.
b. Roh yo alame Jin-setan dadi Rajane Jin - Setan.
c. Nyowo alame Tetanduran dadi Rajane Rojo Kayon yo anane alame Malaikat.
d. Atmo yo alarne LeIuhur, wenang nyarnpumake; patine LeIuhure. Bab iki anane wenange Pangeran kawenangake dadi wenange Umate.
3. Ayat 5, ayat 6, ayat 7 ing kono anane Roso kang awal yo Roso Rasane Pangeran, kanggo mujudake Roso Rasane Manungso, yen antuk Makrifate Al Fatikah bakal mujudake anane Roso Rasane Urip Manungso Sejati, margo soko UIah-Laku Umat anggone netepi Urip ono ing Alam Dunyo, lan biso mangerteni anane ke Dholiman ora nunggal marang Uripe, dadi wenange Umat, kang satemene bebering Roso iku biso kapilah ono:
a. Roso kang awal yo Roso Rasane Pangeran, kang nuntun sawemane Roso.
b. Roso kang soko anane Alarn yo anane Roso Sejati - Sejatine Roso.
c. Roso kang soko anane Poncodriyo, yo anane Roso soko babahan Howo Songo .
d. Roso Kang soko anane Sifat Aluarnah, Mutmainah, Amarah, Supiyah.
e. Roso soko Alam, Poncodriyo Ian Sifat yen kakumpulake banjur biso wujud dadi Roso Rumongso.
f. Kabeh Roso mau yen biso katunggalake nyawiji banjur wujud dadi Roso Rasane Urip Manungso Sejati.
B. Tatanan Aksoro SO-2 koyo ing ngisor iki :
Kang dimaksud Sugih, ing kene netepi anane Uripe Manungso kang wis biso mapakake Janjine Pangeran yo anane Urip Jejodohan, Sarnpumo mapakake Rasane Urip yo mekare ( makrifat ) Syahadate, bakal nemahi Kamulyane Urip yo anane soko bekti marang Wongtuwo sakloron, Morotuwo sakloron wujud dadi anane Pepuden ing lumrahe kasebut Punden Kang samestine ing wektu iku anane Pangeran mujudake dedeg piadege Wahyu Purbojati, Wahyu Purborangrang, Wahyu Purbosari.
a. Wahyu Purbojati anane wektu si kakung mujudake dedeg piadeg dadi Kepala KeIuarga.
b. Wahyu Purborangrang anane wektu si isteri mujudake dedeg piadeg dadi Ratu Rumah Tangga.
c. Wahyu Purbosari wujud soko panyuwunan si Kakung lan isteri marang Pangerane mujudake anane anak lan dunyo brono, kang satemene ono mudune Wahyu Jodoh, Wahyu Drajat, Wahyu Rejeki kang kasebut anane Wahyu Dorodasih.
C. Tatanan aksoro SO-3 koyo ing ngisor iki :
Kang dimaksud Sandi utowo Wadi iku satemene dedeg piadege ROSO netepi ono Rasane Pangeran, anane Wiji Kang Samar yo Wahyu Nungkat Gaib, mapane ono sajerone Lambe Barange Wong Wadon krona anane buah Quldi, awal anane kedholirnan, kamongko sapo bae yen netepi Among Nunggal Roso ( Senggomo ) yen ora kaawali sake anane Syahadat ing keno iku kalebu laku DHOLIM, kadadeyane bakal anane rusake Jagad Royo, yen kabeh podo ora ngerti maknane Syahadat (isine Jodoh) ono Uripe bakal anane Kiamat.
Satemene Sandi lan Wadi mau ono soko Lakune Pangeran, kang Nglakoni Umate, ning ora kabeh laku Among Nunggal Roso kedunungan Sandi lan Wadi, yen kajarwakake mowo maksud Among Nunggal Roso iku satemene laku ono sajerone Sifat Dholim kang samar.
I. DINO LAN PASARAN
Iki tatanan kang nuduhake arahe Urip kang kawoco sake anane Dino lan Pasaran, kang kawoco soko anane tatanan Neptu Goib ono ing Dino :
1 Jumat Wage = Jowo,
2 Ahad Lagi = Allah,
3 Seloso Pen = Sapo, koyo kasebut ing ngisor iki:
I. Jumat Wage
= Jumat
: huruf awal Jo =- neptune = 6
Neptu = 10 = Wage : hurul awal Wo - neptune = 4
Yen huruf awal kajumbuhake muni Jowo, kang mowo maksud hakekate Urip, yo maknane Urip, dadi kang dimaksud Jowo iku yo manungso kang ngerteni Sejatine Urip ing Alam Dunyo, ngerti anane Islam yo Slamete Urip ono ing Alam Dunyo yen ora kaliru ngerti bebere Kitab Layang Kalimosodo yo anane Syahadat kang turun ono Tanah Jowo dadi tuntunan anane serat Sastro Jendro Hayuningrat, Mahayu Hayuning Bawono, yo tuntunan Urip marang Perilaku kang nuduhake anane Hak lan Wajibe Urip, dadi kang kamaksud Jowo ing kene dudu Pawongan Kang lahir ono ing tanah Jowo utowo Suku Jowo.
Jumat Wage, Ahad Legi, Seloso Pen kabeh Neptune yen kagunggung ono neptu 10 anuduhake anane kabeh kang wis Kaciptakake dene Pangeran ing Alam Dunyo iki yen kagunggung nurut kasatuanne yo among ono 10 macem koyo kasebut ing ngisor iki :
1. Lemah / tanah 6. Tetanduran
2. Banyu 7. Kekewanan
3. Geni 8. Jin, Setan, Iblis, lelembut
4. Angin 9. Malaikat
5. Watu/Bebatuan ( Wesi, emas, 10. Pawongan (Wong, Tiyang, Manungso)
Yen Jumat neptu 6 ing kono anane soko rukun Iman, yo biso kasebut soko anane wadah, dadi Dino iku mujudake wadah, lan yen Wage neptu 4 ing kono anane sedulur 4, yo anane isi, dadi Pasaran mujudake isi. Kaumpakake Wadah iku Jasad, isi iku Rogo, ing kono iku ketemu :
- Wadah = Jasad anane Badan Kasar - Jagad Royo - Kitab AI Quran
- Isi = Rogo anane Badan Alus - Jagad Dumadi - AI Fatikah.
Manowo kawoco soko gebyar lan gumelare Jagad salumrahe, ing kono ketemu anane dedeg piadege Wahyune Kaluarga kang dadi isine wujud Wahyu Purbo Jati, Wahyu Purbo Rangrang mujudake anane Wahyu Purbo Sari, kang nyoto wujud soko isine Neptu 6 ono ing Dino Jumat wujud dadi :
1. Kemanten sakloron = 2
2. Wongtuo sakloron = 2
3. Morotuo sakloron = 2, yen kagunggung kabeh ono 6.
yen ing Pasaran Wage wujud soko anane
1. Sandang - pangan.
2. Papan - Pomahan.
3. Anak, Dunyobrono.
4. Luhure Kaluarga, yo isine Keluarga Sakinah ma Warda wa Rohma yo anane Drajat Dunyo Akhirat.
Yo ing isine dino Jumat Wage iki awal bebere Kalimah Syahadat awal dedeg adage Islam ono sajroning Ati - Nurani Manlingso.
Yen Jumat neptu 6 ing kono anane rukun Iman, lan yen Wage neptu 4 ing kono ugo biso kagambarake cagak 4 utowo awal anane anasir 4 perkoro yo anane Bumi, Banyu, Geni lan Angin, anane Manungso manembah marang Pangerane soko Percoyo - Yakin - Iman marang Rukun Iman :
1. Allah, ono anane, kabeh wujud soko Kekarepan - Kehendak kang Nyoto Tulisane.
2. Kitab, a. ganng : a. Kitab Jabur - Nabi Daud as.
b. Kitab Taurot - Nabi Musa as.
c. Kitab Injil - Nabi Isa as.
d. Kitab Alquran - Nabi Muhammad saw.
b. teles : a. Garis Takdir, katulis among sepisan ora kaambalan maneh.
b. Garis Nasib katuIis soko Tindak Laku, Pakaryan lan obah - musike Kekarepan Urip Manungso.
3. Nabi Lan Rasul
4. MaIaikat, Jin - setan
5. Kiamat, Hari Akhir
6. Qodlo - Qadar, anane Takdir -Nasib wujude hukum Sebab - Akibat.
Cagak 4 wujud soko Anasir awaI, yoiku Lemah/Tanah, Banyu, Geni lan Angin kang nuwuhake anane :
a. LemahjTanah netepi Sifat Aluamah, anane Sabar - Narimo, wujud uripe soko kagowo Serakah
b. Banyu netepi Sifat Mutmainah, anane Adil, timbang Pamikirane, wujud uripe soko kagowo Iri Drengki.
c. Geni netepi Sifat Amarah, anane Perkoso, anduweni Doyo - kekuatan, wujud uripe soko kagowo Murko Nesu.
d. Angin netepi Sifat Supiyah, anane Adek Pribadi - Mandiri, wujud uripe soko kagowo Sombong Angkuh.
Kaumpamakake Iman iku Kusir, Cagak 4 (papat) iku Jaran 4 (papat), kang playune nurut kekarepane dewe-dewe, sing kelir ireng playune ngalor tok, sing kelir putih playune ngetan tok, sing kelir abang playune ngidul tok, sing kelir kuning playune ngulon tok, Bendi-ne wujud soko anane Badan, Playune wujud soko Ragane tujuane netepi anane kekarepan.
Dino Jumat dadi dino kekeran poro Nabi - WaIi, nyoto soko anane Sholat sunat Jumat, ing kono margo soko Kanugrahane Pangeran Kang Moho Agung, kanggo Umate supoyo gelem Eling marang anane Tatanan Urip Bebrayan ing Alam Dunyo.
II. Ahad Legi : Ahad : huruf awal A - Neptune = 5
Neptu 10 : Legi : huruf awal LA - Neptune = 5
Yen huruf awal kajumbuhake muni Allah yo anane Pangeran, manungso wajib ngawruhi sopo sejatine Pangerane, ing dino Ahad Legi iki anane awal mbukak kawruh kang wis kasebut ono sajrone wawasan Ahad Legi.
Ahad neptu 5 gegambaran soko sedulur Papat ke Limo Pancer, wujud nunggal dadi Badan Kasar, kasebut njobo.
Legi Neptu 5, ono anane njero yo Badan Alus wujud soko anane :
1. Roso : soko Sifat Aluamah, Mutmainah, Arnarah, Supiyah, lsp.
2. Roh : soko manunggale Uripe Kekewanan.
3. Nyowo : soko manunggale Uripe Kekayonan yo Tetanduran.
4. Atmo : soko Gondo Arum Asmane ( sampurnane Budi - Luhur / Ahlak yang terpuji Umat ) alame Asmo Leluhure.
5. Sukmo : soko Kanugrahane Pangeran.
Ing ngisor iki satemene anane tatanan Roso kang dumunung ono sajrorie Badan saujude Manungso :
A. Roso : 1. Rasana Pangerane.
2. Roso Sejati yo Sejatine Roso, Roso kang wujud soko manunggale Roso Rasane Jagad Dumadi marang Roso Rasane Jagad Royo koyo to:
a. Uyah iku asin, asin durung mesti anane uyah,
b. Gulo iku legi, Legi durung mesti anane gulo,
c. Asem iku kecut, kecut durung mesti anane asem.
3. Roso Poncodriyo
a. Pangroso /Pangucap,
b. Panggondo,
c. Pandulu, d. Pangrungu,
e. Pangrobo.
4. Roso kang wujud soko anane manunggale Roso Sifat Aluamah, Mutmainah, Amarah, Supiyah.
5. Rasane Umat yo anane Roso Rumongso kang wujud soko kemampuane Umat anggone nunggalake Roso Rasane Pangeran, Roso Poncodriyo, Roso Sejati - Sejatine Roso, Roso soko anane Sifat Aluamah, Mutmainah, Amarah, Supiyah wujud nunggal ono ing anane Laku yo anane Tingkah Laku Budi Howo saben dinane kang bakal mujudake anane Akhlak kang minulyo.
6. Roso Rasane Urip Manungso Sejati, wujud soko nunggal nyawiji anane sakabehe Roso kang kasebut ing duwur mau.
Soko kawruh kang wis kabeber ing duwur, kito biso anglakoni nunggalake Rasane Umat wujud nunggal marang Rasane Pangeran sake wujud jumbuhe angen-angen lan nunggale kekarepan.
A. Roh : Roh iku Uripe Kekewanan kang nunggal marang Badan saujude Manungso, ananne Kanugrahan soko Pangeran kanggo netepi Serat Sastro Jendro Hayuningrat, Mahayu Hayu Ning Bawono.
B. Nyowo : Nyowo anane Uripe Tetukulan / Tetanduran kang nunggal marang Badan saujude Manungso, anane Kanugrahan sake Pangeran kanggo netepi wajib mapakake Serat Sastro Jendro Hayu Ningrat, Mahayu Hayu ning Bawono.
C. Atmo : Atmo iku Alame Asmo, wujud nunggal marang Manungso sake Dino kalahirane lan tetengeran yo Jeneng yo Aran kang sinebut sake Wongtuwane, kang kudu rinekso Manungsane supoyo biso anggondo Arum.
D. Sukmo : Sukmo yo anane tetengeran soko Pangerane kanggo papan nunggale Kawulo Gustine.
Soko katerangan ing duwur mall manungso biso njupuk Hak sake Pangeran yen manungso mau wis biso nglakoni kang dadi wajibe, yo soko wis biso anglakoni anane Mahayu Hayuning Bawono.
Roh iku Uripe Kekewanan kang nunggal marang Badan saujude Manungso, anane Kanugrahan sake Pangeran kanggo netepi wajib mapakake Serat Sastro Jendro Hayu Ningrat, Mahayu Hayu ning Bawono.
Ahad Legi yo biso kawoco A iku anane Ho lan Le iku anane La koyo kasebut ing ngisor iki :
1. A Aku : Aku anane Pangeran, kang mengku anane Kitab Serat Layang Kalimosodo,
2. La Laku : Laku, lakune Manungso ono sajrone bebering Kitab Serat Layang Kalimosodo,
Pangeran kang mengku Karep nunggal marang Kekarepanne Manungso mujudake gegayuhan kang kinarepake manungsane.
Kang biso nunggalake lan ngerteni wektu Badan Kasar nunggal marang Badan Alus kudu biso netepi anane Wahyu Trias Wiji yoiku sake :
a. Tekun, anane nota nafase,
b. Temen, anane tingkah lakune,
c. Teliti, marang satindak - laku lan obah musike kahanan,
d. Awas, marang anane Gudo - Cuba - Pengaruh - Gangguan,
e. Sabar, marang sepapadane Urip.
Bakal biso ketemu marang Alam Kelanggengane yo Mulyane Urip ing tembe.
III. Seloso Pon : Seloso : huruf awal So - Neptune = 3
Neptu 10 : Pon : huruf awal Po - Neptune = 7
Yen huruf awal kajumbuhake unine Sapo, ing kene mowo maksud Manungso wajib ngawruhi sapo Sejatine Pangerane lan sapo Sejatine Manungso, opo kekarepanane Pangeran kanti sake Kanugrahane Manungso mudun Urip ing Alam Dunyo, opo kang dadi Hak-e Manungso ing Alam Dunyo lan opo kang dadi Kewajibane Urip ing Alam Dunyo.
Sejatine Pangeran lan Sejatine Manungso yen ora kaliru kasebut koyo ing ngisor iki:
1. Dzat-e Hu ayang-ayangane wujud dadi Dzat-e Alloh yo kasebut Dzat-e Pangeran.
2. Dzat-e Alloh yo kasebut Dzat-e Pangeran, ayang-ayangane wujud dadi Nur Muhamnlad yo kasebut Wahyu I Sukmane Jagad Royo.
3. Nur Muhammad yo kasebut Wahyu / Sukmane Jagad Royo, ayang-ayangane wujud nunggal dadi Jasad, sake Kanugrahane Pangeran dadi Badan saujud-e Manungso.
Koyo wektu Pangeran nyipto anane Kanjeng Nabi Adam as., sake ruwet krenteg-e Urip, Pangeran nyipto anane Ibu Howo kanggo netepi Sampumane Urip Manungso, sake Sampurnane Urip Manungso kanggo netepi Gumelare Urip, Kanjeng Nabi Adam as. lan Ibu Howo kaudunake ono ing Alam Padang yo anane Alam Dunyo soko Kanugrahane Pangeran.
Soko kaweruh ing duwur, ing keno ono anane sarine Gumelare Drip kang awal koyo ing ngisor iki :
1. Hu netepi anane Alloh, banjur Nur Muhammad netepi isine Jagad Royo, banjur anane Manungso. Ing keno ketemu anane ongko 3, kang dadi Neptune Dino Seloso, yo anane Wadah Panyuwunan.
2. Netepi anane Gumelare Urip ing Alam Dunyo turun remuntun ketemu anane, Cukul - Ngendok - Manak, ing kene ketemu ugo anane ongko 3, kang dadi Neptune Dino Seloso.
Satemene Pangeran ora anduweni Karep opo - opo sake anane Manungso, amung ing keno ono anane Geter-e Urip, kang katuntun sake anane Serat Layang Kalimosodo, Kanugrahane Pangeran kanggo adeg - dedeg Urip Bebrayan ing Alam Dunyo, netepi Gumelare Urip Manungso.
Soko Geter-e Urip lan anane Serat Layang Kalimosodo, ing keno wis wujud anane Hak kang ono anane soko lakune Urip Manungso, katuntunake sake Kanugrahane Pangeran ono ing :
1. Serat Al Fatikah, satemene wujud Pasemon sake Lakune Urip Manungso, kanggo netepi Urip Bebrayan ing Alam Dunyo, netepi Wajib-e Urip koyo ing Serat Sastro Jendro Hayu Ninggrat, Mahayu Hayu ning Bawovo, kang utomo Tapak Laku yo obah - mosike Budi - Howo ono ayat Ihdinash shirothol mustaqim lan Ghairil magdhuubi alaihim wa ladhdhaalliin , ing Serat Al Fatikah iki ketemu anane ongko 7, soko anane ayat Serat Al Fatikah kang dadi Neptune Pasaran Pon yo ono ongko 7, netepi wujud isine Urip yo Drajat-e Urip ing ngarsane Pangerane.
2. Doa Sapu Jagad Robbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanataw wa fil aakhiroti hasanataw wa qinaa adzaaban naar ing kene soko isine maksud dadi arahe Urip Manungso ing ngarsane Pangeran, Slamet Dunyo - Slamet Akhirat, soko anane Slamet Akhirat ono ongko 7 kang nyebutake anane Swargo lapis 7 Neroko lapis 7. ongko 7 dadi isine neptu Pasaran Pon, yo anane arahe isine Urip.
Soko anane kawruh ing duwur, kang nerangake anane Urip lan Pati, nerangake anane Tatanan Slamet yo anane Tatanan Islam.
M a t i
a. Papane Ikhlas, ketemu Lego - legowo.
b. Sampurnane ono 5 perkoro :
1. Sing mati Poncodriyo.
2. Kang teko Pesti.
3. Kang lunggo Sukmo.
4. Kang bali Jasad/Badan/Dzat.
5. Kang ditinggal Asmo.
c. Sesebutane iku ono 4 perkoro :
1. Mati manyasar.
2. Mati manyusup.
3. Mati manitis.
4. Mati manatas.
Anane gegambaran mau biso kawoco manowo Pangeran anggone nyipto Manungso ora sadermo Kun fayakun , mbutuhake wektu yo anane Neptu kang jlimet koyo Kersane, amarga Manungso kadadekake Kholifah / Pemimpin ing Alam Dunyo, sapo kang kliru anggone nemtokake anane Urip yo ketemu ke1iru anggone mbalik marang asale.
Koyo salah sijine carito kang keno kaematake ono ing ngisor iki :
Wektu Kanjeng Nabi Muhammad saw ono sajroning Miraj, Pangeran ngandikan soko walike Tirai / tabir,. Tirai / tabir iku anane soko asta / tangan sak kloron, sak temene kang kasebut Tirai / tabir iku sajatine yo anane Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo, dunung ono epek-epek tangan kiwo lan tengen, nulis pakaryane, sarto epek-epek suku / sikil kiwo- tengen kanggo nulis tingkah-laku kang katindakake saben dino, supoyo kito Urip ono sajeroning Alam Dunyo iki biso tansah waspodo tan ngati-ati, koyo kang kasebut ing ngisor iki :
1. Ati-ati ojo gumampang ndedegi urip ing Alam Dunyo ( Marcopodo - ono tengah), amarga anane urip ing clam dunyo kudu biso njejegi sifat adil, kuwoso ngatur urip pribadi soko bebering Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo, supoyo ora gampang keblidru marang samubarang kang durung mesti anane, amarga Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo iku sejatine Tulisan Takdir kito kang wus dikersakake netepi Kamulyane Drip, yen Tulisan Nasib amarga soko kito mburu Nepsu lan keblidru marang samubarang kang durung mesti anane amarga kurang Imane.
2. Kang katoto ono tengah sajatine dedeg bebering Kitab Layang Kalimosodo, yo anane Kahanan Drip kito Pribadi ono lakune Urip, lakune Urip nunggalake anane Jagat Royo marang Jagat Dumadi sampurno wujud sajerone ono anane Alam Kelanggengan .
3. Amargo anane Urip iku kudu mangerteni Dedeg Urip Pridadi marang Dedeg Uripe Kaluargo kaembanake marang Wujud Gumebyar gelar Cahyone Urip, yo anane Kawibawan kito Pribadi
4. Urip Pribadi mangerteni sapo sing njaluk mangan-ngombe, ono kadedayan ope sajrone mangan lan ngombe, sarto wujud ngrungkepi rage dapi ope ?
a. Sing njaluk mangan lan ngombe iku anane Aluamah sifate Bumi, kudu biso rumekso Uripe, anane wujud kuoso nyukulake wiji kekarepan lan biso nyukupiopo kang dadi isine pangangen - angen sarto mujudake ono anane Gumelare Urip, mapake anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Jalal, yo dedege Gusti Kang Moho Agung, kuoso ngayomi Urip Pribadi, Urip Kaluargane.
b. Sing mangan lan ngombe iku anane Mutmainah sifate Banyu, kudu biso ndedegi kuwasane Gusti Kang Moho Adil, ora gampang kasemsem marang kaindahane Jagat Royo, ora melik marang barang kang durung mesti Hak anane, mapakake Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Jamal, mumpuni gawe ka-Elokane Jagat, kuoso note anane wujud sarine pangangen - angen biso gumebyar sanaliko, netepi sampurnane Rogo Sejati kanggo nyukupi kabutuhan Kaluargane.
c. Sajroning mangan lan ngombe ono kadadeyan sake anane Amarah sifate Geni, sajrone urip kudu biso mapakake Santosane Urip, ora ambeg siyo marang liyan, biso dadi panunggule bebrayan, yo anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Kahar, mumpuni ing gawe mujudake ka-Wisesane Gelare Urip Pribadi kito marang ka-Santosane Urip Kaluargo.
d. Sajroning mangan lan ngombe ono wewujudan sake anane Supiyah sifate Angin, sajroning urip kudu biso mapakake dedeg urip pribadi kito kang unggul ing drajat, ora gampang keno owah gingsir ono sajrone gelare urip yo obah musike jaman, yo anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Kamal, biso dadi Pepujine Urip ing Jagat Royo soko anggone biso Sampurno note Urip Kaluargane lan Urip Pribadi kito ono ing bebere Kitab Layang Kalimosodo.
e. Kumpule ope kang dipangan lan diombe mapakake anane Gondo, sumrambah ono sajrone Rogo nguripi anane Doyo - Roso, mujudake anane nungale niyat ono sajrone angen - angen ngrungkepi mantepe karep, biso wujud gumelar keturutan kang dadi panyuwunane, unggul drajat uripe. Ojo nganti keliru utowo kasemsem marang gumebyare ka-Elokane kekarepan, ben biso Mulyo Urip ing Dunyo Akhirate.
Ojo nganti kasemsem marang ka-Indahane wewujudan kang Elo,k asal soko Aluamah, Mutmainah, Amarah tan Supiyah ben ora keduwung ing tembe mburi. Sajatine mangan lan ngombe iku wewujudan awal nunggalake anane Jagat Royo marang Jagad Dumadi supoyo biso karoso Panguasane Jagad Royo ono sajrone Rogo, menowo teller kudu kalarasake marang Nafas netepi anane Geter, Gerak, Pangucap, lan Pangawasane Urip Pribadi kito nunggal nyawiji ono sajrone Urip Sejati.
A. Nafas ono ing (tanpo eling)
1. Wadug : Uripe Bumi, nguripi Aluamah anane Serakah.
2. Ginjel : Uripe Banyu, nguripi mutmainah anane Iri drengki.
3. Paru paru : Uripe Angin, nguripi Supiyah anane Sombong jumawa.
4. Jantung : Uripe Geni nguripi Amarah anane Sereng murko.
5. Ati : Uripe Watu, nguripi kang ngaku Jati Diri anane Pengkuh kaku .
B. Nafas lungguh mapan ing ( eling )
1. Wadug : Netepi eneng- ening mujudake sifat Dermo Sabar.
2. Ginjel : Netepi eneng-ening mujudake sifat Samudono sembarang gawe biso.
3. Paru paru : Netepi eneng-ening mujudake sifat Mengku Drip, Ngayomi.
4. Jantung : Netepi eneng-ening mujudake sifat Wiseso, Santoso Uripe.
5. Ati : Netepi eneng-ening mujudake sifat Kuoso, Sampurno nota Uripe.
=====================================================================
SANGKAN PARAN
SANGKAN PARAN #1
Wacana Paraning Dumadi yang dikirimkan ke saya dan kemudian saya teruskan kepada para sejawat semua kiranya perlu menjadi perhatian kita semua. Marilah kita sama-sama menelisik kawruh murni-nya leluhur kita tersebut dengan ketulusan demi bisa terwariskan kepada anak keturunan kita sendiri.
Telah kita ketahui bersama, bahwa ngelmu-ngelmu Jawa sangat jarang yang dipaparkan secara tertulis dengan gamblang. Kebanyakan dengan simbul-simbul yang benar-benar rumit untuk dipahami secara awam. Terlebih-lebih tentang ngelmu- ngelmu yang sangat penting dan mendasar sebagaimana Kawruh Sangkan Paran.
Kita tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Bahkan pemahaman yang terwariskan kepada kita telah memposisikan ngelmu-ngelmu tersebut sebagai sinengker yang artinya tidak boleh dibicarakan secara umum. Perlu prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dilakoni oleh orang yang berkehendak mempelajari dan memahami. Maka akibatnya bagi awam terposisikan untuk manut miturut mengikuti para sesepuh yang diyakini telah mampu menguasai ngelmu-ngelmu rungsit lungid tersebut.
Sinengkernya ngelmu-ngelmu Jawa tersebut menjadikan kebanyakan orang Jawa awam merasa terjauhkan dari Kawruh Ajaran Hidup warisan leluhurnya sendiri. Kemudian memilih untuk mengikuti Ajaran Hidup dari luar yang disebarkan dengan intensif dan gampang. Bahkan untuk menjadi tokoh ajaran hidup yang dari luar itupun tidak banyak prasyarat yang harus dipenuhi. Oleh karena itu menjadi wajar ketika nuansa Jawa di saat ini terkesan sudah berubah menjadi Barat dan Timur Tengah.
Keinginan Ki Djoko Wiro dalam mewacanakan Paraning Dumadi membuktikan bahwa sesungguhnya ada keinginan-keinginan di kalangan masyarakat Jawa terpelajar untuk bisa memahami Kawruh Ajaran Hidup yang asli miliknya sendiri. Beliau yang telah yuswa dan mengenyam asam garam kehidupan nampaknya kurang sreg dengan diskripsi ajaran hidup (agama) yang dari luar. Namun menjadi gamang ketika mencoba mengikuti penekunan spiritual Jawa yang ada (Aliran Kepercayaan). Kiranya banyak kadang lajer Jawa yang seperti Ki Djoko Wiro tersebut.
Ketika saya kepingin urun rembuk untuk mengkaji berbagai ngelmu Jawa, maka kendala yang terjadi ada pada bahasa. Pada kenyataannya memang sangat sulit menyam-paikan paparan kawruh kejawen dengan bahasa Indonesia. Padahal bahasa Jawa untuk ngelmu-ngelmu tersebut sudah banyak yang kurang paham lagi. Serat-serat kapujanggan misalnya, bahasanya sudah jarang dipergunakan awam pada masa sekarang ini. Lagian disusun dalam bentuk tembang-tembang. Maka jarang orang paham isinya meskipun ketika berkesenian nembang macapat begitu fasih melakukan.
Namun demikian, kita hendaknya tidak gampang menyerah. Karena kita, wong Jawa, masih memiliki bahasa Jawa Ngoko yang secara alamiah terlestarikan dan masih banyak awam yang memahami. Kebetulan saja bahwa teks ngelmu-ngelmu Jawa banyak yang dipaparkan dengan bahasa Jawa Ngoko itu. Menanggapi keinginan Ki Doko Wiro dan mungkin para sejawat lain yang senada, maka saya ingin menyampaikan suatu kajian tentang Kawruh Sangkan Paran semampu saya kepada para sejawat. Sumangga . Meski yang tertera di banyak literatur Jawa masih banyak berbau dongeng, namun bisa menuntun saya memahami dasar falsafah Jawa tentang: teologi, mitologi dan kosmologi Kejawen. Landasan atau aras dasar utama spiritualisme Kejawen adalah Panunggalan, atau Manunggal yang artinya menerangkan bahwa sistim dari semua yang ada merupakan suatu kesatuan yang mutlak kosmis-magis tak terpisahkan.
Struktur sistim-nya seperti kesatuan sel yang terdiri inti dan plasma, disebut dalam istilah Jawa Gusti dan Kawula. Kalimatnya : Manunggaling Kawula Gusti. Untaian kata wewarah Jawa lainnya: kembang lan cangkoke, sesotya lan embanan, sedulur papat kalima pancer (dalam konteks rohani manusia), Hyang Manik lan Hyang Maya; Manikmaya atau Dzat Sejatining Urip (rohani jagad semesta) yang dalam istilah Jawa diberi sebutan: Pangeran atau Gusti.
Kawruh Kjawn mengajarkan bahwa tergelarnya jagad raya adalah diciptakan oleh Sang Hyang Wenang (sebutan lainnya: Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Tunggal), nama sebutan untuk Sesembahan Asli Jawa. Penciptaannya dengan meremas (membanting) antiga (benih, wiji, bebakalan) hingga tercipta tiga hal :
a. Langit dan bumi (alam semesta).
b. Teja dan cahya, teja merupakan cahaya yang tidak bisa diindera sedangkan cahya merupakan cahaya yang bisa diindera.
c. Manikmaya, yaitu Dzat Urip atau Sejatining Urip (Kesejatian Hidup, Suksma, Roh).
Menurut Kawruh Kjawn, maka seluruh semesta seisinya adalah ciptaan Sanghyang Wisesa di alam suwung, artinya mencipta di dalam haribaan-Nya sendiri. Di dalam haribaan-Nya sendiri mengandung maksud bahwa Tuhan murb wass (melingkupi, memuat, serta menguasai dan mengatur) seluruh semesta dan seluruh isinya.
Di dalam kesemestaan tersebut ada materi (bumi dan langit), ada sinar dan medan kosmis (cahya dan teja), dan ada Dzat Urip (Manik-my, Sjatining Urip, Kesejatian Hidup) sebagai derivate (emanasi, pancaran, tajali) Dzat Tuhan. Pandangan Kjawn menyatakan bahwa: Dzat Tuhan tan kn kinyngp, tidak bisa dihampiri oleh akal,
rasa, dan daya spiritual (batin) manusia. Yang mampu dihampiri akal, rasa dan daya spiritual (kebatinan) adalah Derivate Awal Dzat Tuhan yang di banyak penekunan kejawen disebut Suksma Kawekas. Saya sendiri lebih nyaman menggunakan sebutan Dzat Sejatining Urip, yang kemudian disebut: Pangran, Gusti, atau Ingsun.
Kawruh Sangkan Paran merupakan ngelmu Jawa yang mengajarkan asal mula keseluruhan yang ada dan kemana tujuan akhirnya. Ada dalam artian Maha Kesatuan
Tunggal Semesta adalah langgeng abadi. Maka dengan demikian sangkan paran lebih ditujukan kepada ada untuk titah urip dan lebih khusus lagi manusia. Titah urip merupakan persenyawaan dari tiga unsur : bumi lan langit, cahya lan teja, serta dzat urip. Ketiga unsur tersebut bersifat langgeng pada azali-nya, maka yang tidak langgeng adalah kahanan pernyawaannya. Sangkan berarti proses mensenyawa, sementara paran merupakan kahanan setelah mengurai kembalinya pernyawaan tersebut. Berikut saya kutipkan Wedaran Sang Wiku Djawa Boedi Moerni (1934) :
Note :
Sang Wiku adalah sesepuh Kejawen yang menjadi guru utama banyak tokoh-tokoh Jawa di jamannya. Tersirat dalam tulisan para siswanya, bahwa saat itu Sang Wiku sudah sepuh sekali, diatas seratus taun. Sang Wiku menyatakan diri sebagai orang pelosok (pegunungan) yang jauh dari kota. Cedhak watu adoh ratu.
SANGKAN PARAN #2
Sangkan Paran iku lakone Urip utawa Jiwa kang lagi tumurun saka kana tumeka ing kene, kang ing maune sira padha durung wikan (mangerti). Maune iku, karepe wiwitan utawa kana, dadi sangkane kang mau saka kana, parane mrene. Kosok baline, saka kene parane mrana. Iku yen mungguh tumraping wong lumaku, sing mesthi sangkane saka mburi parane menyang ngarep. Sawise tumeka ing paran (kene iki), yen arep marani sangkane, kudu lumaku ambalik. Ananging patrap kang mangkono iku rekasa, marga dunung lan dalane wis ora kelingan; rak iya ta? Coba caritaa sapa kang wus tau weruh, wong tuwa bisa bali dadi bocah maneh, banjur dadi bayi bali lumebu ing guwa garba, nuli bisa bali dadi jiwa? Iku aran mokal.
Ing mengko sarehning patrap ambalik iku ora bakal bisa kalakon, becike nganggo patrap lumaku ambanjur bae. Geneya teka mangkono? Iya awit mirid saka piwulang bab kaanan titahing Suksma, adhapur piwulang kang sajati ngenani jagad saisine kabeh, bawana iku wujude bunder. Dadi yen lumaku ambanjur, kang mesthi iya bisa tumeka ing panggonan maune. Awit araning enggon iku mung loro, kana karo kene. Kosok baline: kene karo kana. Dadi yen saka kana, parane mrene, lan manawa saka kene parane mrana. Waton lakune mau ora slewengan, utawa mompar mampir ndadak utang sangu barang, utawa maneh ndadak jajan ana ing warung, adus ing kedhung, mesthine rak iya bakal tekan ing kana ta?
Mulane padha den ngati-ati lan prayitna sarta kang eling, manawa kene iki akeh begalane lan akeh sambekalane, apa maneh dhasar gedhe cobane. Iku kang dadi pangridhu lan pamurunging sedya, kang marakake ora bisa sembada. Mangka kene iki wawayangane kana, lan kana iku iya wawayangane kene. Papadhane sira andeleng warnanira ana sajroning pangilon, yen kene tutul, kana iya tutul; kene lorek, kana iya lorek; kene ireng, ing kana iya ireng, mangkono sapiturute. Ana dene sakabehing rurupan iku, iya wujuding begalan. Begalan mau kadadeyan saka kurang pangati-atine mungguh pangreksane marang awake dhewe. Pinangkane mung saka karem angumbar karep, anuruti hawa napsune. Mangka karep lan hawa napsu iku, manawa diuja sangsaya makantar-kantar anggegirisi, tutuging endhon andadekake coba beka, kang mahanani awake dhewe dadi ambuntel, utawa ambalebet sarta ambabaluhi marang Pak Jiwa. Apa iya ora rekasa lakune Pak Jiwa mau? Sing mesthi kang amarga kabotan ing babaluh, dadi banjur banget ing sarentine. Terkadhang durung sapira dohing lakune, nuli karasa sayah, banjur trima mung mandheg ana ing saenggon-enggon bae. Gek kapan bisane menyang panggonane lawas? Jalaran saka kang mangkono iku, luwih prayoga manawa ingsun nyaritakake bab sangkan paran dhisik, lan kapriye sababe dene bisa tumurun marang ing donya iki. Apa maneh kapriye mungguh perlune kawruh kang
mangkono mau dibutuhake dening manungsa, lan kudu diudi kongsi kapara nyata nemu buktine, kang kalawan sinaksenan dening lepasing pandulu kita pribadi. Sarta maneh kumudu angawruhi marang dumadining rereged utawa luput kang sakawit. Duk nalika tumurun saka kana- kanane, rereged mau ora tinemaha. Marga kang mangkono mau, banjur ora diarani suci, dening wus anduweni cacat lan luput ing wiwitane. Mangka sajatine cacad utawa luput mau, tansah cumepak angadhang ana ing dadalan, kang diliwati dening kang lumaku saka sangkan (kana panggonane lawas), marang paran kene iki.
Dadi luput utawa reregede mau iya banjur sangsaya ajujul wuwul. Mulane Urip utawa Jiwa kang kawuwulan ing rereged iku mau lumrahe banjur diarani kawula. Amarga tekane wus kawuwulan dening rereged (kaluputan) kang kongsi andadekake lemesing dayane Pak Urip iku. Rumangsa kaya kinunjara ana ing sajroning gedhong wesi. Mulane saya akeh kaluputane, iya sangsaya ringkih uripe. Iya jalaran saking kandel lan gedhening kaluputane, Pak Jiwa kongsi kena diandheg ana ing kene watara lawas. Ora uwal utawa ora ucul yen bandhule kang kasar-kasar mau durung rusak. Dene bandhul utawa balebed kang wis rusak, diuwalake dening Pak Urip mau, lumrahe diarani mati.
Mungguh salugune Jiwa utawa Pak Urip iku ora bisa mati, ajeg ing salawas-lawase. Tembung ajeg iku, iya langgeng: apane kang langgeng? Yaiku uripe lan anane, yaiku Jiwa kang wus oncat saka buntel utawa bandhule. Dene buntel utawa bandhule kang kaprahe diarani raga, kang asipat kaya dene ragangan, kang ing tembe mesthi bakal rusak dadi wangke. Sanajan wis bisa oncat saka rereged utawa raga, suprandene iya isih ana maneh rereged kang ora gampang diuwalake. Ing ngarep wis ingsun caritakake, yen
rereged kang nutupi iku andadekake pepeteng lan lali, mulane iya ora gampang baline marang sangkan utawa padunungane lawas. Bisane bali marang panggonane lawas, manawa Pak Jiwa mung kari anggawa sarira pribadi. Amarga sarirane pribadi mau, asale saka sangkan lan ora kawoworan apa-apa, mulane diarani suci, bisa luluh lan jumbuh dadi sawiji, tetep jumeneng Maha Suci, tegese luwih dening suci. Kang wis widagda angudi mangkono mau, kaprahe diarani nyawarga, tegese sawarga iku, wus kumpul kalawan wargane (dadi siji). Dadi anane ing kono mung sarwa lega, iya lega dening wus bisa bali marang poke. Kang ana ing kono mung panjenengane pribadi, ora kantha ora kanthi, ora warna ora rupa, ora arah ora pernah, tetep jumeneng Maha Agung lan Maha Luhur, Maha Kawasa lan Maha Luwih, mulya langgeng tan owah gingsir.
Dene enggone sinebut Maha Agung iku, amarga jagad saisen-isene kabeh, kawasesa ing Panjenengane. Teteping Maha Luhur iku, jalaran sakehing kaanan, luwih asor tinimbang Panjenengane. Teteping Maha Kawasa, karana dumadining kaanan kabeh, kapurba ing Panjenengane. Teteping jumeneng Maha Luwih sebab sagunging kaanan, antuk palimarma saka Panjenengane. Tetepe Maha Mulya, dening kaanan kang dumadi ora bisa madha lan ora kawawa anggepok marang Panjenengane. Tegese langgeng tan owah gingsir iku, wiwit duk samana kongsi saiki, tumekane ing mbesuk, iya ajeg anane, ora owah lan tanpa cacad.
Kang mesthi Pak Jiwa kang kangelan bali marang panggonane lawas (sangkan) mau kepengin ambaleni ragangane nanging ora gelem jalaran wus arupa wangke. Mulane amilaur ngluyur saparan-paran, ngaub ana ing saenggon-enggon. Dadi tenagane Jiwa iku ora gampang sembadane bisa bali marang panggonane lawas manawa durung bisa nguwalake rereged utawa kaluputane. Jiwa kang sumanggar ana ing saenggon-enggon, utawa kang sumandha ing saparan-paran, iku yektine kena diarani neraka, jalaran kang sabenere kudu bali menyang panggonane lawas (sangkan), ananging ora bisa tumeka, amarga isih kawoworan rereged kang dadi babaluh mau. Ana maneh bandhul kang anjalari si Jiwa enggal bali maneh marang ing donya kene, ngrasuk raga anyar. Bandhul kang anjalari bisa bali ngrasuk raga anyar mau aran ala utama utawa reged apik. Ing tembe, tumurun ing donya kang kapindho, lan yen bisa ngrucat sarta nguwalake saliring rereged, iya uga bisa bali marang panggonane lawas. Dene bandhul becik iku mau, asale saka karep kang dhemen anggayuh kautaman, angudi marang kang durung bisa andadekake pamareme. Dadi urip ing donya kang kaping pindho iku, perlune nutugakake kang digayuh lan diudi mau.
SANGKAN PARAN #3
Ing mengko ingsun arep amiwiti anyaritakake cethane dhek sadurunge ana apa-apa, nganti tumeka gumelaring jagad saisine kabeh, lan dumadining manungsa tumurun ing donya, kongsi bali marang panggonane lawas. Kabeh iku ingsun mung saderma ngucap, Hyang Suksma Kawekas kang paring dhawuh.
Dadi sarehning saka keparenging Suksma, sariraningsun minangka lelantaran ambuka, cethane wawarah mau, pangrasaningsun wis aran nugraha (begja kemayangan). Marmane ingsun kudu matur sewu sembah nuwun marang Panjenengane, nganggo cara Jawa sakepenake manut sasenengingsun dhewe. Kabeh kang ingsun enteni lan ingsun senengi, kang mesthi wus kauningan dening Pangeran Kang Maha Wikan.
HYANG HONG ILAHENG AWIGNA BUDIWA NAWA SANGA, mung Hyang Suksma Kawekas sasmitaningsun. Niyatingsun miwiti ambuka wedaran kawruh atas karsaning Suksma:
Durung ana apa-apa, isih suwung wangwung. Suwunge iku dumunung ing ana. Ana iku langgeng ing salawas-lawase. Pethane kaya sumurat, anyemburat, nyemprot, kedher ambuwang lan anarik. Kang mangkono iku ajeg salawase, tan kena owah datan kena winengkang. Iku wit utawa babu baboning ngadadi, ya guruning sakabehing kang ana. Semprotan lan cipratane mau ana kang akeh lan kang sathithik. Kang akeh iku dadi luwih gedhe tinimbang liyane, sarta banjur kuwawa dadi wana (papan) dunung dhewe-dhewe. Kaanan kang luwih gedhe luwih adoh parane. Sakehing kaanan kang dumadi mau tansah wuwuh-wuwuh dayane saka sorot lan semprotan utawa cipratan adidayane Guruning Ngadadi.
Kagawa saka dhewe-dhewening prenahe, dayane sakabehing kaanan mau banjur ora padha. Kang luwih dhisik dadi iku semprotan kang luwih gedhe, anduweni daya kedher mubeng anarik meh sairib karo dayane Guruning Ngadadi. Sarehning saka terange cahyane, kang dadi luwih dhisik sarta katone luwih gedhe (menjila, ksm) tinimbang kaanan liyane, mula becike ingsun arani Pramana Jati.
Kapindhone, ana maneh kaanan kang meh padha gedhene karo Pramana mau, dayane mungser mubeng sumorot. Saka kuwating ubenge lan kawuwuhan semburating dayane Guruning Ngadadi banjur duwe daya panas. Saka bangeting panase kongsi metu sunare kang padhang, iya iku Arka utawa Surya.
Katelune, ana kang memper kayadene Surya, gedhene uga meh padha, dayane mungser lan sumorot, lan uga tansah oleh wuwuh saka dayane Guruning Ngadadi. Ananging sarehne prenahe rada cedhak karo Pramana, mangka dayane Pramana iku anarik utawa nyerot, dadi prenahing Surya uga banjur cedhak karo kaanan katelu mau. Mangka dayaning Surya mubeng sumorot lan panas; panasing sorot tansah angenani kaanan katelu iku. Dadi kaanan kang kaping telu mau tansah kawuwuhan dayaning Pramana lan Surya sarta Guruning Ngadadi. Mulane kaanan kang kaping telu iku kurang dayane,
banjur mung adhem lan anteng bae. Nanging iya isih mubeng mungser. Iku ingsun arani Wulan (Rembulan), awit dadine saka lereming daya tetelu kembul dadi sawiji.
Kaping pat, ana kaanan maneh, sarta akeh banget, gedhene iya meh padha bae karo Surya, prenahe adoh karo kaanan tetelu mau. Dayane kabeh mung kedher sumorot. Marga akeh tunggale, becike ingsun arani Kartika (Lintang). Saka padunungane lintang-lintang mau ana tetelu kang katone gedhe dhewe yen dineleng saka kene, amarga luwih cedhak tinimbang lintang-lintang liyane. Pethane kaya dene ngapit-apit dununging Pramana, andadekake pepethan ancer-ancer pojoking Pramana. Dene dayane lintang tetelu mau kalah karo dayaning Pramana, tansah kaserot dening dayaning Pramana. Sabanjure semono uga dayaning Surya lan Rembulan tansah kaserot dening Pramana.
Sakabehing kaanan dumadi iku kayadene ngubengi utawa ngrubungi ing Guruning Ngadadi. Mulane iya banjur kaya pepethan ancering arah utawa keblat. Wong Jawa kerep padha nganggo tetembungan keblat papat kalima pancer, iku karepe mangkene: keblate papat iya iku kaanan dumadi kang gedhe-gedhe, pancere Guruning Ngadadi. Mungguh kaanan dumadi kang dhisik iku mau kabeh diarani purwana, tegese panggonan kang wiwitan iya purwane ana dumadi. Dene gurune kena diarani Guru Purwaka, tegese Guru kang jumeneng dhisik, ora ana kang andhisiki lan ora ana kang madhani.
Wedaran Sang Wiku yang tersaji merupakan hasil beliau bermeditasi (maneges) memenuhi permintaan para siswa-siswanya. Maka dalam pengantarnya beliau berpesan agar para siswanya membuktikan semua yang beliau paparkan dengan cara bermeditasi (maneges) sebagaimana yang beliau lakukan. Disinilah makna Ngelmu iku kelakone kanthi laku yang ada dalam Wedhatama pupuh Pucung diterangkan maksudnya. Bahwa dalam hal ngelmu Kejawen lebih mengutamakan pembuktian kasunyatannya dibanding sekedar menyuruh mempercayai wacana yang kebanyakan berdasar jarene,
konon kabarnya.
Barangkali saja karena hal itu maka jarang dijumpai paparan ngelmu secara teori. Yang ditemukan sekedar pokok-pokok pengertian yang umumnya berupa kalimat wirid. Misalnya wirid wolung pangkat yang banyak dipakai oleh komunitas penekunan Kejawen. Wirid inipun sesungguhnya merupakan ajaran yang nampaknya berasal dari jaman kuna. Maka konsepnya bisa ditemukan di parwa-parwa, kavya, dan primbon. Yang terpopuler dan banyak dijadikan acuan laku teosofi adalah yang ditulis R.Ng. Ranggawarsita, Hidayat Jati. Namun juga bisa ditemukan dalam Centhini yang lebih tua. Kalimat wirid yang berkaitan dengan kawruh Sangkan Paran :
Wjangan pituduh wahananing Pangran: Sajatin ora n p-p, awit duk maksih awang-uwung durung n sawiji-wiji, kang n dhihin iku Ingsun, ora n Pangran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warn, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asm, afngal).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Ajaran petunjuk keberadaan Pangeran: Sesungguhnya tidak ada apa-apa, sejak masih awang-uwung (suwung, alam hampa) belum ada suatu apapun, yang ada pertama kali adalah Ingsun, tidak ada Pangeran kecuali Aku (Ingsun) sejatinya hidup yang lebih suci, mewakili pancaran dzat, sifat, asma dan afngal-Ku (Ingsun). Kalimat wirid tersebut di atas ketika kita hubungkan dengan wedaran Sang Wiku, maka sebutan Ingsun atau Pangeran adalah sama dengan Guruning Ngadadi atau Suksma Kawekas. Dalam paparan sang Wiku selanjutnya nanti, menjelaskan bahwa penciptaan titah urip didahuli penciptaan tempatnya lebih dahulu yaitu bumi lan langit (Tata Surya) serta embanan panuksma yang berupa semua dayaning kaanan dumadi (sorot semburat kekedher, cahya lan teja). Maka wedaran Sang Wiku akan jumbuh dengan kalimat wirid berikutnya :
SANGKAN PARAN #4
Wjangan pambuk kahananing Pangran:
Satuhun Ingsun Pangran Sjati, lan kaws anitahak sawiji-wiji, dadi n pdh sanalik sk kars lan ppsthning-Sun, ing kono kanyatahan gumlaring kars lan pakartining-Sun kang dadi pratndh:
a. Kang dhihin, Ingsun gumn ing dalm alam awang-uwung kang tanp wiwitan tanp wkasan, iy iku alaming-Sun kang maksih piningit.
b. Kapindho, Ingsun anganakak cahy minngk panuksmaning-Sun dumunung n ing alam pasndaning-Sun.
c. Kaping tlu, Ingsun anganakak wawayangan minngk panuksm lan rahsaning-Sun, dumunung n ing alam pambabaring wiji.
d. Kaping pat, Ingsun anganakak suksm minnga dadi pratn-dh kauripaning-Sun, dumunung n alaming hrah.
e. Kaping lim, Ingsun anganakak angn-angn kang ug dadi warnaning-Sun n ing sajron alam kang lagi kn kaupa-makak.
f. Kaping nm, Ingsun anganakak budi kang minngk kanya-tahan pncaring angn-angn kang dumunung n ing sajron alaming badan alus.
g. Kaping pitu, Ingsun angglar warn (tabir) kang minngk kakandhangan pasrnaning-Sun.
Kasbut nm prakr ing ndhuwur mau tumitah ing dony, yaiku Sajatining Manungs.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Ajaran membuka pemahaman keadaan Pangeran:
Sesungguhnya Aku adalah Pangeran Sejati, dan berkuasa menitahkan sesuatu, menjadi ada dengan seketika karena kehendak dan takdir-Ku, disitu kenyataan tergelarnya kehendak dan titah (pakarti)-Ku yang men-jadi pertandanya :
a. Yang pertama, Aku berada di alam kehampaan (awang-uwung) yang tiada awal dan tiada akhir, yaitu alam-Ku yang masih tersembunyi.
b. Yang kedua, Aku mengadakan cahaya sebagai penuksmaan-Ku berada di alam keberadaan-Ku.
c. Ketiga, Aku mengadakan bayangan (aura) sebagai panuksma dan rahsa-Ku, berada di alam terjadinya benih.
d. Keempat, Aku mengadakan suksma (ruh) sebagai tanda kehidupan-Ku, berada di alam herah (sel hidup).
e. Kelima, Aku mengadakan angan-angan yang juga sebagai warna-Ku berada di alam yang baru bisa diumpamakan.
f. Keenam, Aku mengadakan budi (gerak) yang menjadi kenyataan berpencarnya angan-angan yang berada di dalam alam badan halus (rohani).
g. Ketujuh, Aku menggelar tabir (hijab) yang sebagai tempat per-semayaman-Ku.
Tersebut enam perkara di atas tadi tertitahkan di dunia, yaitu Sejatinya Manusia.
Kelanjutan wedaran Sang Wiku :
Ana dene kang bakal dawa caritane, iya iku Pramana.
Pramana iku tansah anyerot dayaning kaanan tetelu mau, kayata surya sinerot panase, lintang sinerot kedhere, rembulan sinerot adheme. Amarga Pramana anduweni daya kedher lan mubeng banget santosane, suwe-suwe kumpuling daya tetelu kang padha sinerot mau, dadi ngringet. Kringete mau saya lawas sangsaya mundhak, suwe-suwe dadi banyu. Dene banyu iku ingsun arani tirta purwa, utawa tirta kamandanu, tegese banyu urip, marga wiwitane saka kumpule daya tetelu. Tirta kamandanu mau tansah ingubengake lan kinedherake dening Pramana, suwe-suwe dadi saya kasar.
Sarehning penyeroting Pramana ora ana lerene, dadi banyu mau saya lawas iya sangsaya mundhak kasare. Amarga saka gedhening banyu mau, kongsi kawawa ambuntel marang sariraning Pramana mangkono ing sabanjure. Saya lawas iya sangsaya mundhak akehe lan kasare, wusana banyu kasar kang wus bisa ambuntel ing sariraning Pramono mau, dadi banget kandele lan banget jembare. Iku ingsun arani jaladri, karepe banyu luwih kandel, luwih jembar.
Jaladri mau sabanjure tansah ingubengake ing Pramana, kinedherake lan katarik sarta tansah kawuwuhan dayaning surya, rembulan lawan lintang-lintang satemah jaladri kang cedhak karo sariraning Pramana, banjur saya luwih kasar, kongsi anjendhel. Jendhelan mau saya lawas sangsaya kandel, mulane banjur rapet pambuntele marang Pramana: gampange jendhelan iku ingsun arani pratala, tegese wujud kasar dadi dhadhasar, lan tansah raket lan rapet kalawan Pramana, kongsi ora ana selane.
Dene banyu jaladri mau saking kandele lan jembare, nganti tanpa wates, gampange ingsun arani jalanidhi. Ing samengko saya kurang lepas (kuwat) daya panyeroting Pramana, marang kaanan tetelu mau, sarta dayane mubeng lan kedher mau, kalingan ing pratala. Sarehning pratala iku mau banget cedhake karo Pramana dadi tansah kagepok ingubengake lan kinedherake dening Pramana mau. Saking bangeting sesere, kongsi kaya digosok ajeg tanpa ana lerene. Ing wekasan pratala mau banjur panas, suwe-suwe kawawa dadi geni, genine awor karo awak-awaking pratala mau. Saka gedhening geni kang tansah di kedherake dening Pramana, dadi Pratala mau tansah kaya digarang , jalaran ing njaba ora pedhot kataman panasing surya.
Saupama ora oleh daya adhem saka rembulan, sarta daya kedhering lintang-lintang, kang mesthi pratala mau dadi garing, lan jalanidhi dadi asat. Nanging kedhering lintang-lintang kang sinerot mau nampeg marang bunteling Pramana, iya iku pratala lan jalanidhi, iku katut kadayan dening kakedher lan ubenge mau. Mulane kedhering lintang kang sinerot mau uga banjur katut marang lakuning pratala lan jalanidhi kang kagawa mubeng dening Pramana. Sabab saka mangkono banjur mahanani daya kang santosa kaya dene nyembur marang ing pratala lan jalanidhi mau. Dene daya santosa mau gampange diarani maruta. Karepe daya sinerot kerut (katut) dening ubenging kang anyerot. Maruta mau amratani sajembaring pratala lan jalanidhi. Mulane pratala mau mung wuwuh akas lan atos bae, dadi ora garing kabeh. Wusana ana kang banjur nela, bolong pating cromplong, marga saka tansah kesuk dening lakune geni kang kinedherake dening Pramana mau.
SANGKAN PARAN #5
Mungguh bolongan kang saka pratala iku, jebule (njedhule, tembuse) marang jalanidhi: lakuning geni banjur kadhangan dening jalanidhi, mangka banyuning jalanidhi orang gampang piniyak (kesuk) ing lakuning geni, jalaran saka kandele, dadi banyunne mung tansah pating panjelut. Panjeluting banyu mau katampeg ing maruta, banjur nyempyok ing pratala. Mulane pratala kang kena kasempyok banyuning jalanidhi mau, padha luntur katut sempyokaning banyu, lunturane suwe-suwe nglumpuk, banjur dadi punthuk ana ing pratala urut sacedhake jalanidhi. Dene bolongan kang ora kendhat ngesuk marang pratala kang amarga saka banget santering geni mau, pratalane banjur muncrat sumembur sumawur sakubenging bolongan mau. Lawas-lawas saya wuwuh sauwuraning pratala, nuli dadi punthuk. Punthuk mau uga tansah katampeg lakuning maruta tumamane ora beda karo diubengake.
Sarehning sawuraning pratala mau saya wuwuh, mangka maruta tansah angubengake, dadi banjur kaya diglintir, mulane katon bunder lan mundhak dhuwure. Pratala kang mangkono iku kepenake ingsun arani Ancala, iya iku pratala kang katon munggul, beda karo pratala kang ora kambah ing bolongan iku. Ancala mau salawase tansah kataman daya panasing geni, mulane iya banjur saya wuwuh kandel. Pratala kang atos sedhak karo lakuning geni iku, anuli dadi dhasaring ancala, kang angubengi bolonganing geni, mulane gampange iya ingsun arani padhas, karepe bantala atos, kang dadi dhasaring pratala iku. Ancala iku uga tansah oleh dayaning surya, lintang lan rembulan, mulane ora bisa dadi panas kabeh. Sakehing kaanan dumadi iku, lakune tansah mangkono bae ing sabanjure. Ing mangka kang perlu bakal ingsun caritakake luwih dawa, yaiku Pramana.
Pramana iku sawuse winungkus utawa binuntel dening kaanan pirang-pirang, kayata: pratala kang isi punthuk lan ancala sarta jalanidhi, dhahana miwah maruta, ing samengko banjur tetap dadi wana utawa papan, wadhah kang bisa ngandhegake sarupaning kaanan dumadi, kang asal saka cipratan, semburat utawa semprotaning gurune. Mulane bareng wus awujud mangkono, nuli kena diarani bawana. Thukule tembung iku, saka Ba lan Wana. Ba iku wutuhe teba utawa ghumelar. Wana iku karepe panggonan kang isi dayaning dumadi pirang-pirang, kang awujud kasar sarta alus, kaya kang kasebut ing dhuwur mau.
Nanging nalika samono, durung ana kang diarani manungsa lan karsa, amarga durung ganep kang dadi sadhiyan utawa cawisane kang kagungan karsa; dadi kang kagungan karsa iya durung tumedhak. Kang mangkono iku, sira aja keliru surup dening dhek mau wis ingsun terangake, guruning ngadadi sarta sakabehing kaanan dumadi. Iku dhasar wis kaya dene watak ajeg ing salawase. Dadi Panjenengane ora ngagem karsa, sadurunge kanthi pepak cawisane, kang bakal kawuwuhan daya saka kaanan dumadi pirang-pirang mau. Apadene kala samaa durung ana sing diarani hawa. Mangka kang ingsun caritakake mau dumadining kaanan kang gampang bisa diweruhi. Kaanan kang mangkono iku, wong Jawa kewuhan anggone ngarani, lan ora saben wong ngerti karepe, lan uga ora saben wong ngerti kadadeyane.
Mangka sanyatane kaanan iku kang agawe daya kuwat utawa santosa ing sakabehaning kaanan kang gumelar. Terange mangkene: sawuse bawana gumelar isi pratala, punthuk-punthuk, geni ancala lan jalanidhi, wis mesthi daya panyeroting Pramana saya kurang lepase, nanging lakune lan panyerote isih ambanjur. Dadi dayaning surya, rembulan, lintang-lintang kang sinerot mau, banjur bisa kandheg ing sanjabaning pratala lan jalanidhi, tansah mulek muntel kempel salawase ora wudhar. Apa maneh katurutan saka sorote guruning ngadadi, uga banjur kumpul karo daya kang kempel mau. Kumpuling daya mau, andadekake kaanan sanjabaning pratala kang gampang dinulu ing netra karo, nanging iya ora gampang didemek. Kaanan iku saya lawas sangsaya wuwuh kandele, malah bisa amuwuhi pambunteling Pramana. Kaanan kang mangkono iku, ingsun aradi udara (langit). Mungguh karepe tembung udara iku kempeling daya kang ora bisa udhar (wudhar), amarga saking kandele udhara iku mau. Saupama katona awujud kasar, amasthi ngundhung-undhung banget dhuwure. Mangkono uga tembung langit, iku mung anjupuk gampange, iya iku saka tembung langut, tegese luwih dening adoh, kang ora katon watese utawa pungkasane.
Sawise ana langit, sorot lan semburate Gurune Ngadadi tansah kandheg ana ing langit kang uga tansah kawuwuhan saka dayaning surya, lintang lan rembulan. Dadi panyeroting Pramana ing kahanan iku kayadene kesaring ana ing langit kono. Lan maneh satekane ana ing sacedhakibg pratala, banjur gampang katut ing lakuning maruta kang ingubengake dening Pramana. Dadi samengko ing sanjabaning pratala banjur isi kaanan dumadi kang uga wadhah bunteling sorot lan semburat utawa cipratane Gurune Ngadadi. Cpratan (Ind. : pancaran, ksm) mau ana ing sajroning hawa kono, uga
banjur kawuwuhan dening dayaniung surya, rembulan sarta lintang lan wus sinaring ing langit. Dadi kaanan kang saka cipratan mau banjur kaya dibandhuli (dibaluhi) dening sakabehing daya hawa kang ambuntel mau. Lan uga banjur kataman ing panyeroting Pramana sarta dayaning geni. Lakuniung maruta banjur mahananirerupan kang gampang dinulu ing netra karo, nanging ora seben wong ngerti, marga ora sumurup kedaeyan saka apa kaanan kang mangkono iku. Mulane gampange manawa mirid saka wujude banjur diaranana kilat utawa lidhah bae. Dene tempuke mau, racake daya kang ing ndhuwur iku kalah. Tempuking daya mau swarane gumleger utawa gumludhug. Mulane kaprah wong Jawa mung ngarani gludhug bae, jalaran mirid saka
suwarane. Aananging ye n kapinujon kaanan kang saka ing ndhuwur mau bebarengan aro sorot kang saka Gurune Ngadadi, iku sayekti padha rosane, dadi karone sampyuh, swarane jumedhor ngaget-ageti. Mirid saka swara lan rupane, iku uga nuli padha diarani
pracalita (bledheg) utawa gelap. Mirid saka swara pambledhaging barang kang luwih gedhe. Gelap saka rupa kang lakune kaya dene nugelake samubarang kang tinrajang sarta katon rupane kumelap.
Sangkan Paran #6
Dene kaanan samburat kang saka Gurune Ngadadi mau bareng wus tempuk karo daya kang saka Pramana banjur padha pecah. Ambyar sajroning hawa ing langit kono. Pecahing tempukane daya kekarone iku banjur katut lakuning angin kongsi bisa mratani sajembaring langit awor lan hawa. Mulane iya banjur katon kaya dene urip (obah). Nanging saupama dinulu karo netra karo, katone rada samar, ewadene suwe-suwe iya bisa kasatmata. Mungguh kaanan iku mau ora langgeng . Tandhane yen katatb karo dayaning Pramana, bisa pecah. Dadi kaanan iku ana sarta nyata, nanging ora ajeg, mulane gampang banjur diarani swasana. Karepe tembung swasana, sawijining kakaanan kang alus awor lawan hawa, sarta ora bisa ajeg kaya kaanan liya-liyane, kayata: Pramana, Surya, Lintang sarta Rembulan. Kang mangkono mau sira aja kliru panampa, aja sira sengguh yen swasana iku saka tembung su lan wasana, iku ora. Benere kang tinemu nalar iya iku saka tembung swasa lan ana. Swasa tegese kaanan kang ora tetep, ana tegese kapara nyata lan bukti sarta melok. Dene swasana bareng wus kataman dayaning surya lan rembulan, uga banjur mratani langit, katone saya agal, gampang dinulu sarana netra karo, lan banjur gampang katut dening maruta. Iku diarani amun-amun, tegese kaanan kang alus lan gampang bisane pecah. Dene pecahane mu pethane kaya urip, nanging durung urip temenan. Anggoningsun ngarani durung urip temenan iku marga katitik anggone obah saka sangkan paran, mung manut lakuning maruta, sunaring surya lan kedhering Pramana. Mung katon lembak-lembak pating krampul pating krelip.
Dhek mau ingsun wus amratelakake yen pancurat sarta cipratane Guruning Ngadadi iku ing sabanjure tansah ana. Nanging tempuke karo dayaning Pramana ora ajeg. Mulane iya ana kala mangsane ora tempuk. Mungguh kang ora tempuk mau iya tansah kandheg ing Sjroning swasana bae, lan tansahnkasusul kawuwulan sorot Guruning Ngadadi arta oleh dayaning surya, lintangblan rembulan. Anuli kabuntel ing swasana kongsi bisa urip
ing kono. Nanging uripe durung duwe karsa amarga nitik saka nyataning kaanan iku. Lakune saka sangkan menyang paran yen dinulu katon cumlorot kumilatgampang dinulunkanthi netra karo. Marmane gampang dinulu, sebab wis kawuwulan daya pirang-pirang lan kabuntel ing hawa tuwin swasana nganti wuwuh-wuwuh bisane magepokan kalawan amun-amun. Mangka ing ngarep wus ingsun caritakake, yen amun-amun iku asale saka samburat lan cipratane Guruning Ngadadi kang wis kawuwulan daya pirang-pirang, lan pecahe saka dayaning Pramana kang wus kamomoran dayaning pratala, geni, jalanidhi. Dadi sajatining kaanan iku nyatane wus suci, prayoga dijupuk gampange bae anggone ngarani kaanan iku : kawula kang ana ing udhara. Ana maneh
kang ngarani ula tapak angin, iku iya wis bener, marga badaning kaanan iku katone yan lagi lumaku saka sangkan menyang paran, cumlorote nganti katon dawa. Saking rosaning pangesuke marang hawa, mangka kegepok ing lakuning amun-amun kang katut dening maruta, satemah katon rengkol-rengkol kaya ula.
Ana sorot kang saka Guruning Ngadadi kang durung akeh wuwulane, tekane sorot iku lumebu ing kandhanging swasana, mangka wus kapapag marang dayaning Pramana, dadi tempuking sorot iku iya gampang kalahe, marga kaanane luwih ringkih lan luwih entheng. Mulane banjur kaya tinulak kabuncang utawa kabuwang. Lakune durung nganti bisa cedhak lan pratala wus ambalik bali marang langit maneh. Baline sorort mau gampang dinulu sarana netra karo, katon gumebyar, pernahe luwih adoh lan ora cetha, kaprahe wong Jawa ngarani thathit. Iku manawa anjupuki pepiridan kaanane, saka tembung petha lan pethit. Petha iku katon ana wujude, pethit saking adohe.
Ing saiki ana maneh dayaning surya, lintang lan rembulan kang kawuwuhan saka daya sorot Guruning Ngadadi, kang salawase mung tansah kandheg ing sanjabaning hawa lan swasana, ora kegepok ing amun-amun sarta dayaning Pramana, iku iya saya wuwuh lan banjur mundhak kandele. Sarehning ora bisa gempur dening lakuning daya kedhering Pramana, sarta maneh ora kegepok dening dayane pratala, jalanidhi lan geni, satemah saya lawas sangsaya pupul, nanging ora bisa atos, jalaran ora oleh dayaning geni. Marga daya mau saya wuwuh-wuwuh kongsi kawawa angubengi ing langit kang isi hawa lan swasana, sarta kaanan pirang-pirang kang wus ingsun terangake ing ngarep. Saking kandeling bdaya pupul mau, kongsi kawawa angendheg (angleremake) ciprataning Gurune Ngadadi kang durung akeh wuwulane.
Nanging bareng wus ana ing sajroning daya pupul, ing kono banjur katutan saka dayaning surya, lintang lan rembulan, banjur kabuntel ing daya pupul iku, lan tansah kasusul dening soror Guruning Ngadadi, nganti kaya dene nganggo bebadan, sarta kawawa urip ana ing kono watara lawas. Dadi ing hawa pupul kono mau panggonaning
andheg-andhegan utawa entunan. Mulane kaparahe wong Jawa kang wus bisa nggayuh kasunyatane, ing kono banjur bisa ngarani sawarga pangrantunan. Iya iku saka tembung kumpul padha warga lan papane lega, panggonan entunan.
Sangkan Paran #7
Ora saben wong Jawa ngerti lan weruh kasunyatane Swarga Pangrantunan. Terkadhang akeh-akehe mung bisa ngucap lan amarga melu-melu utawa tiru-tiru saka gethok tular bae. Mula ingsun perlu nerangake menawa bebadane utawa bebakalane urip ana ing Swarga Pangrantunan kono, kang diarani Trimurti. Tegese, urip kang nganggo bebadan saka daya telung rupa. Iya iku kaanan kang alus mau. Dadi urip kang wus nganggo badan jujul wuwul, tumpuk undhung nganti pating salengkrah kaya kang wus kacarita. Mulane kena dibasakake urip ingsun saiki iki wus ngagem badan kang luwih dening reged, utawa nganggo badan kang nistha kayadene raganingsun iki.
Bebadan utawa bebakalan urip kang ana ing Swarga Pangrantunan samengko diarani lamaking Pujangkara. Tegese gedibal (dhasar kang asor dhewe), yen tinimbang lan kaanan dumadi kang isih murni (durung kamomoran), kang diarani isih suci, apa maneh katandhing karo Guruning Ngadadi, wus cetha banget adohe nganti ora kena diucap. Marga mungguh njupuk kaprahe tembung saiki, kang wus warata dimangerteni lan didhemeni sarta dianggep dening wong Jawa, Gusti Allah, iku sejatine iya Panjenengane kang diarani Guruning Ngadadi mau. Utawa baboning kaanan kang amurwa sakabehing rerupan. Dene semprotaning Guruning Ngadadi iya banjur kuwawa sairib kayadene Panjenengane, lan isih kena diarani suci. Dadi sarira kang suci iku sanyatane kang padha sinebut Allah. Dadi yen kang disebut Gusti Allah iku yen ditimbang karo Allah iya luwih dening bagus sarta luwih dening suci. Mulane disebut Maha Suci, tegese kang suci dhewe ora ana kang madhani.
Ing ngarep ingsun wus tutur karana kadhung wus saguh aweh katerangan lan pratelan, sarta aweh pituduh kang minangka lantaran mungguh akal lan pratikele utawa patrape wong angudi kawruh. Pamintaningsun ing tembe sira uga padha kasembadan anggayuh kasunyatane. Pamrihe murih sira kabeh padha bisa mangerteni marang kabeh kang wus ingsun caritakake mau. Dadi ora mung saka anggitan bae. Kudu kapara nyata lan bukti melok dinuku lan linakonan ing sariranira pribadi.
Ing mengko manawa wus sembada, sira lagi bisa mantep anggone ngarani yen iki kawruh kasunyatan kang sejati. Tegese kawruh kang ana temenan dudu bangsane anggitan bae. Awit anggitan iku dudu kawruh kasunyatan, nanging kang ana ing kono iku mung anggit. Mulane bangsaning anggitan iku yen digigit bakal ora dadi. Tegese yen diungsed temenan dening wong kang krungu utawa kang maca, anggitane mau, pentoge iya banjur oleh wangsulan tembung kang ambulet utawa wicara kang wilet; dadi bisa uga mung saka pintere nganggit-anggit bae. Tekadhang iya uga bisa dadi kamaremane kang ngungsed mau, sarana dituduhi upama, utawa ancer-ancer lan pralambang, utawa supaya ngrasa dhewe, utawa mung supaya ngandel lan percaya bae. Kang mangkono iku tumrape marang ingsun rada wedi yen ta ngangti amuwuhi (nambahi), kang mung metu saka anggitan kang ora kapara nyata. A,marga ana babasan mangkene : Giri lusi janma tan kena ingina; sadawa-dawaning dalan sarta kali isih dawa pikiraning manungsa; sajero-jeroning samudra isih jero atining manungsa; salembut-lembuting banyu isih lembut rasaning manungsa; sadhuwur-dhuwuring angkasa isih dhuwur bebudening manungsa. Iku nuduhake manawa manungsa wenang andarbeni isi kang kapara nyata. Iya amarga iku, ingsun carita mangkene iki dhasar iya mung sabenere lan sagaduge anggoningsun ngudi kawruh. Dene manawa ana kang duwe panemu kang luwih edhi utawa luwih luhur, luwih luhung tinimbang karo kang wus ingsun pratelakake iku kabeh, ingsun iya ora bisa aweh katerangan kang andadekake mareming atine. Mulane pamintaningsun marang sira kabeh, kang sabar lan narima anggonira angudi kawruh kang ingsun pratelakake iki. Awit manawa orang magkono, kang mesthi ora bisa cundhuk karo kaanane. Dadi sira kabeh ingsun purih sabar, supaya ora kasusu ing rembug. Paedahe kang carita aja kongsi kalimput marang kang bakal dicaritakake.
Manawa kaliwatan, satemah andadekake kurang turute. Yen sira kurang narima, marga kepengin kudu sanalika sok glogok, iku yekti anjalari sigeging lalakon. Kajaba kang carita ngrasa ail lesane, kang nampani iya banjur kurang trampil panggraitane, satemah banjur akeh kang kacecer. Mulane ing saiki blakane ingsun wus krasa ail, dadi ingsun minta maklumira, ingsun padha lilanana ngasodhisik: Tiutuge bakal anyaritakake bab pepaking kaanan dumadi, kang dadi isen-isening bawana, nganti tumedhaking sarira suci ana ing arcapada. Lan sabanjure tumekane kondur ing kraton mulya maneh, kaya kang wus kacarita ing ngarep. Saundurira, sira kabeh padha ingsun sebari sagunging puja hastuti murih yuwana lestari sembada kang dadi pangesthinira.
Sangkan Paran #8
Pada wedaran tersaji di atas, merupakan penjelasan awal mula (sangkan) tercipta atau mengadanya semua kaanan dumadi. Dimulai dengan beremanasinya Tuhan (tan kena kinaya ngapa) menjadi Guruning Ngadadi (Dzat Sejatining Urip atau Suksma Kawekas). Guruning Ngadadi kemudian beremanasi menjadi 3 (tiga) unsur :
1. dzat urip,
2. cahya lan teja,
3. alam semesta (bumi langit).
Hubungan ketiga unsur tersebut tetap dalam kesatuan tunggal yang saling pengaruh-mempengaruhi (hubungan kosmis-magis, samad-sinamadan).
Pada kejadian awal alam semesta yang mula-mula ada :
Pramana, Surya, Rembulan dan Kartika. Keempat unsur alam semesta ini memiliki daya masing-masing dan saling pengaruh mempengaruhi. Yang menjila (memiliki kelebihan) adalah Pramana, yaitu planet bumi berikut daya keilahiannya yang bersifat kedher (bergetar), mubeng mungset (berputar dan berotasi) dan nyerot (menarik, menyedot) semua daya unsur yang lain. Surya diserot cahaya dan daya panasnya, Rembulan diserot daya adhem-nya, Kartika diserot daya kedher-nya. Kumpulan semua daya yang diserot Pramana tadi menghasilkan berbagai kaanan yang melingkupi Pramana. Diantaranya berupa: jaladri (samudera), hawa (atmosfer), pratala (tanah), thathit (kilat), bledheg (guntur/guruh/halilintar), maruta (angin), amun-amun, umpluk dan lain-lain. Sedemikian rupa percampuran antar dayaning kaanan yang di alam semesta (surya, rembulan, kartika) dengan kaanan di bumi (Pramana) sehingga ketika menerima pancaran daya dari Guruning Ngadadi menjadi bebakalan atau bebadan urip. Yaitu embanan untuk panuksma-nya Urip atau Jiw yang juga derivat dari Guruning Ngadadi. Hal tersebut dalam Wirid Wolung Pangkat disebutkan dalam wirid ke 3 :
Wjangan gglaran kahananing Pangran:
Sajatining manungs iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungs, karn Ingsun anitahak wiji kang cacambran dadi sk kars lan panguwa-saning-Sun, yaiku sasamaning gni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakr, yaiku: cahy, cipt, suksm (nyw), angn-angn lan budi. Iku kang minngk mbanan panuksmaning-Sun sumarambah n ing dalm badaning manungs.
=================================================================
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Ajaran pemahaman tergelarnya keadaan Pangeran:
Sesungguhnya manusia itu rahsa-Ku dan Aku ini rahsanya manusia, karena Aku menitahkan benih cacambran (campuran berbagai unsur) yang terjadi karena kehendak
dan kuasa-Ku, yaitu berasal dari api tanah angin dan air, Aku resapi lima perkara, yaitu: cahaya, cipta, suksma (nyawa), angan-angan dan budi (gerak). Itulah yang menjadi cang-kok (embanan) merasuknya suksma-Ku rata menyeluruh dalam badannya manusia.
Berdasarkan Wedaran Sang Wiku dan Wirid Wolung Pangkat yang sudah tersajikan, maka kita bisa mendapatkan gambaran Teologi Jawa dan asal muasal terciptanya semua yang ada termasuk manusia. Urutannya didahului dengan tergelarnya tata semesta kemudian tata surya yang atas percampuran (cacambran) antar dayanya melahirkan bebakalan (ada yang menyebut ragangan) sebagai embanan panuksma bagi Dzat Urip. Dzat Urip (Suksma Sejati) merupakan emanasi (derivat) dari Dzat Sejatining Urip (Suksma Kawekas). Dan Suksma Kawekas merupakan emanasi (derivat) dari Dzat Kang Murbeng Sumadi (Tuhan) yang tan kena kinaya ngapa.
Menurut pandangan Jawa, maka semua yang ada merupakan Maha Kesatuan Tunggal yang bersifat abadi tanpa awal dan akhir. Namun dalam keabadian itu bukan berarti diam, ada dinamika perubahan di dalamnya. Setidaknya bisa kita ketahui adanya proses menyatu antar daya unsur semesta yang menimbulkan sesuatu menjadi ada. Kemudian juga ada proses mengurai atau memisahkan diri dari antar daya yang menyatu tadi kembali ke unsur-unsur azali-nya. Demikian pula yang terjadi pada titah manusia. Bahwa Urip sebagai emanasinya Dzat Sejatining Urip bersifat abadi. Berasal dari Guruning Ngadadi dan akan kembali kepada Guruning Ngadadi pula. Namun proses kembali tidak semudah yang dipahami manusia pada umumnya. Penyebabnya bahwa Urip yang menjalani hidup di alam madya (dunia) kewoworan (tercemar) oleh percampuran antar daya dari semua kaanan yang membentuk raga dan embanannya. Di akhir hayatnya tidak semua manusia mampu menyempurnakan kesucian Urip-nya. Maka kembalinya Urip tertahan di suatu tempat (maqam) yang disebut Suwarga Pangrantunan. Adalah tempat menunggu untuk kembali menyatu dengan Guruning Ngadadi atau kembali ke alam madya (dunia) untuk melanjutkan tugas dan baktinya yang belum selesai di kehidupan sebelumnya.
Sangkan Paran #9
Ora saben wong Jawa ngerti lan weruh kasunyatane Swarga Pangrantunan. Terkadhang akeh-akehe mung bisa ngucap lan amarga melu-melu utawa tiru-tiru saka gethok tular bae. Mula ingsun perlu nerangake menawa bebadane utawa bebakalane urip ana ing Swarga Pangrantunan kono, kang diarani Trimurti. Tegese, urip kang nganggo bebadan saka daya telung rupa. Iya iku kaanan kang alus mau. Dadi urip kang wus nganggo badan jujul wuwul, tumpuk undhung nganti pating salengkrah kaya kang wus kacarita. Mulane kena dibasakake urip ingsun saiki iki wus ngagem badan kang luwih dening reged, utawa nganggo badan kang nistha kayadene raganingsun iki.
Bebadan utawa bebakalan urip kang ana ing Swarga Pangrantunan samengko diarani lamaking Pujangkara. Tegese gedibal (dhasar kang asor dhewe), yen tinimbang lan kaanan dumadi kang isih murni (durung kamomoran), kang diarani isih suci, apa maneh katandhing karo Guruning Ngadadi, wus cetha banget adohe nganti ora kena diucap. Marga mungguh njupuk kaprahe tembung saiki, kang wus warata dimangerteni lan didhemeni sarta dianggep dening wong Jawa, Gusti Allah, iku sejatine iya Panjenengane kang diarani Guruning Ngadadi mau. Utawa baboning kaanan kang amurwa sakabehing rerupan. Dene semprotaning Guruning Ngadadi iya banjur kuwawa sairib kayadene Panjenengane, lan isih kena diarani suci. Dadi sarira kang suci iku sanyatane kang padha sinebut Allah. Dadi yen kang disebut Gusti Allah iku yen ditimbang karo Allah iya luwih dening bagus sarta luwih dening suci. Mulane disebut Maha Suci, tegese kang suci dhewe ora ana kang madhani.
Ing ngarep ingsun wus tutur karana kadhung wus saguh aweh katerangan lan pratelan, sarta aweh pituduh kang minangka lantaran mungguh akal lan pratikele utawa patrape wong angudi kawruh. Pamintaningsun ing tembe sira uga padha kasembadan anggayuh kasunyatane. Pamrihe murih sira kabeh padha bisa mangerteni marang kabeh kang wus ingsun caritakake mau. Dadi ora mung saka anggitan bae. Kudu kapara nyata lan bukti melok dinulu lan linakonan ing sariranira pribadi. Ing mengko manawa wus sembada, sira lagi bisa mantep anggone ngarani yen iki kawruh kasunyatan kang sejati. Tegese kawruh kang ana temenan dudu bangsane anggitan bae. Awit anggitan iku dudu kawruh kasunyatan, nanging kang ana ing kono iku mung anggit. Mulane bangsaning anggitan iku yen digigit bakal ora dadi.
Tegese yen diungsed temenan dening wong kang krungu utawa kang maca, anggitane mau, pentoge iya banjur oleh wangsulan tembung kang ambulet utawa wicara kang wilet; dadi bisa uga mung saka pintere nganggit-anggit bae. Terkadhang iya uga bisa dadi kamaremane kang ngungsed mau, sarana dituduhi upama, utawa ancer-ancer lan pralambang, utawa supaya ngrasa dhewe, utawa mung supaya ngandel lan percaya bae. Kang mangkono iku tumrape marang ingsun rada wedi yen ta nganti amuwuhi (nambahi), kang mung metu saka anggitan kang ora kapara nyata. Amarga ana babasan mangkene : Giri lusi janma tan kena ingina; sadawa-dawaning dalan sarta kali isih dawa pikiraning manungsa; sajero-jeroning samudra isih jero atining manungsa; salembut-lembuting banyu isih lembut rasaning manungsa; sadhuwur-dhuwuring angkasa isih dhuwur bebudening manungsa. Iku nuduhake manawa manungsa wenang andarbeni isi kang kapara nyata. Iya amarga iku, ingsun carita mangkene iki dhasar iya mung sabenere lan sagaduge anggoningsun ngudi kawruh. Dene manawa ana kang duwe panemu kang luwih edhi utawa luwih luhur, luwih luhung tinimbang karo kang wus ingsun pratelakake iku kabeh, ingsun iya ora bisa aweh katerangan kang andadekake mareming atine. Mulane pamintaningsun marang sira kabeh, kang sabar lan narima anggonira angudi kawruh kang ingsun pratelakake iki. Awit manawa orang mangkono, kang mesthi ora bisa cundhuk karo kaanane. Dadi sira kabeh ingsun purih sabar, supaya ora kasusu ing rembug. Paedahe kang carita aja kongsi kalimput marang kang bakal dicaritakake. Manawa kaliwatan, satemah andadekake kurang turute. Yen sira kurang narima, marga kepengin kudu sanalika sok glogok, iku yekti anjalari sigeging lalakon. Kajaba kang carita ngrasa ail lesane, kang nampani iya banjur kurang trampil panggraitane, satemah banjur akeh kang kacecer. Mulane ing saiki blakane ingsun wus krasa ail, dadi ingsun minta maklumira, ingsun padha lilanana ngaso dhisik: Tutuge bakal anyaritakake bab pepaking kaanan dumadi, kang dadi isen-isening bawana, nganti
tumedhaking sarira suci ana ing arcapada. Lan sabanjure tumekane kondur ing kraton mulya maneh, kaya kang wus kacarita ing ngarep. Saundurira, sira kabeh padha ingsun sebari sagunging puja hastuti murih yuwana lestari sembada kang dadi pangesthinira.
Sangkan Paran #10
Sakehing kaanan kang ana ing sajroning jaladri kang uripe sarana nyawa iku cetha yen bebadane kedadeyan saka banyu udan. Terange mangkene: sakehing banyu udan iku tumibane wus kawoworan dening dayane kaanan kang ana ing udhara (langit), tibane ing jaladri iku bisa kumpul karo banyu jaladri, nanging ora bisa luluh dadi sawiji, amarga dayane wis ora padha; mula ya mung tansah kandheg ing sandhuwuring banyu jaladri iku. Ana ing kono banjur kawuwulan banyu udan kang saka ing dharatan (pratala, pentasan). Mulane banyu udan karone iku marga isih padha dayane, iya banjur bisa kumpul lan luluh. Tekane banyu udan kang saka dharatan iku wus katutan reregeding pratala.
Kumpuling banyu udan karone ana ing jaladri kono banjur kataman ing dayaning geni Pramana kang metu saka pratala dhasaring jaladri sarta tansah oleh sorot dayaning kaanan tetelu kang kagawa dening sorot Guruning Ngadadi sarta wus kawoworan pirang-pirang dayaning kaanan kang ana ing langit, apa maneh kekedhering Pramana lan lakuning maruta tansah ora ana lerene. Mulane banjur kaya diinteri. Suwe-suwe bisa
dadi kaya glintiran cilik-cilik kekumpulan (gegrombolan), iku lumrahe diarani umpluk. Umpluk mau suwe-suwe saya akas, kongsi kawawa bisa ngendheg sorot Guruning Ngadadi kang tekan kono, banjur bisa urip sarana bebadan kang ginawa dening hawa kang wus kawuwuhan pirang-pirang dayaning kaanan kang ana ing langit. Yaiku kang diarani nyawa. Mula diarani mangkono, sabab iku kedadeyane lan lungane (sonyane) marga saka hawa. Mula sira padha nastitekna lan catheten ing sajroning kalbunira, eling-elingen aja kongsi lali lan sira aja kliru tampa sarta kliru surup, pilah-pilahing aran lan kasunyatane, kayata: raga iku gandhengane karo suksma, badan gandhengane karo nyawa, urip gandhengane karo jiwa. Iku aja sira gebyugake bae, marga sabenere iku kaanane dhewe-dhewe. Coba sira ingsun balabari sathithik: ana tetembungane wong Jawa mangkene: bojone jaka lara iku ing tembe mesthi ketemu maneh kumpul sawiji. Tuladhane iya kaya kang sun terangake ing ndhuwur iku mau. Yaiku raga bojone suksma, badan bojone nyawa, urip bojone jiwa. Kabeh iku selawase mesthi bakal gandheng lan bojone dhewe-dhewe. Mulane diarani jaka lara iku karepe mangkene : jaka iku arupa lanang kang durung tau nandukake asmara (saresmi nungal rasa lan wanita), lara iku arupa wanita kang durung tau saresmi lawan priya (lanang). Mangka kang sun terangake mau, sanadyan tansah padha duwe bojo dhewe-dhewe, nanging salawase iya isih wutuh (ora owah), mulane disebut jaka lara. Mara jajal! Sapa kang wus tau weruh raga randha, suksma dudha? Utawa badan randha nyawa dhudha? Sukur yen ana kang wus tau weruh urip randha jiwane dhudha !
Iku kabeh ing tembe bakal ingsun terangake mungguh pilah-pilahe. Mula janji sira padha sabar lan tlaten sarta tumemen anggone padha mersudi sakabehing wewarah ingsun iki, kaya ora bakal luput, ing tembe sira iya banjur padha anekseni dhewe lan amumpuni prakara iki kabeh. Dadi ora ngayawara angger bisa carita, marga ora gampang wong ngaku nekseni iku, yen durung kapara nyata weruh titi bukti temenan. Iku jenenge saksi dur (goroh). Saksi kang ora nyata iku bisa andadekake sangsara awake dhewe. Mandheg samene dhisik anggoningsun ambleberi marang sira, marga kang perlu ingsun bakal nutugake galuring carita ing ndhuwur mau. Mengko yen kesuwen anggone nyelani samben lelucon, mundhak ora kecandhak perlune.
Sarehning umpluk mau tansah kawuwuhan saka daya pirang-pirang, mulane suwe-suwe banjur duwe bobot. Dadi manawa tinimbang karo boboting banyu jaladri, isih luwih abot umpluk mau. Marga saka mangkono mau anjalari umpluk banjur padha kelem kongsi tekan ing pratala dhasaring jaladri. Satekane ing dhasar kono banjur kawuwuhan reregeding pratala iku, suwe-suwe bisa dadi lumut. Saya lawas lumut iku mundhak kasar sarta mundhak gedhe banjur mahanani rupa pating slawir lan siwil-siwil pating cerkakah. Sawuse mangkono banjur duwe daya nyerot. Kang pating saluwir ing pratala ana ing pratala iku banjur bisa mundhak dawa lan mundhak gedhe, nlosor sarta nlusup sumawana anggubet ing pratala. Pucuking saluwiran iku banjur menga utawa bolong lembut banget, kang minangka dalan dayaning pratala kang wus kawoworan rereged lan
kedhering Pramana kang sinerot dening kaanan iku. Malebuning daya marang babadan iku, gampange ingsun arani mangan. Mulane ingsun arani mangkono, marga malebuning daya kang sinerot, liwat wewenganing bolongan iku. Anggone mangan iku tansah ora ana lerene anjalari panggubete sangsaya kenceng (kukuh).
Mangkono uga siwilan kang ora ana ing pratala, lan ana bolongane ora beda karo saluwiran kang ada pratala mau. Iku uga piranti kanggo mangan dayaning banyu jaladri, sarta uga bisa mundhak gedhe lan mundhak dawa. Dene siwilan kang ora ana ing pratala iku diarani epang sarta epang iku thukul siwil maneh, ana kang gepeng, ana kang gilig, wangune ana kang bunder lan ana kang lonjong, ana kang pucuk lancip, lan ana kang lonjong. Siwilan iku uga ana bolongane, luwih dening lembut. Uga ana pirantine kanggo mangan dayaning banyu jaladri. Siwilane kang mangkono iku diarani godhong. Mulane diarani mangkono, awit iku sawijining piranti kanggo nadhahi sarta kanggo nyadhong kang dipangan. Dene saluwiran kang ana ing pratala, diarani oyot, karepe sawijining kekuwatan kang bisa angadegake bebadane kaanan iku. Kaanan sajroning jaladri kang mangkono iku diarani uwit, iku wutuhe saka tembung urip kang sakawit, bebadane uwit mau diarani kayu, iku mbok manawa wutuhe saka tembung teka lan yu. Yu iku karepe urip kang wus nganggo bebadan sarana nyawa. Dadi tembung kayu iku, karepe urip kang tekane wus nganggo bebadan sarana nyawa. Dene kayu-kayu mau banjur padha katon pating pruntus utawa pating cringih, ana maneh kang nyeprok. Thukulan kang arupa mangkono mau diarani kembang. Mulane diarani mangkono, awit iku kayadene piranti kang kanggo nekem utawa ningkem wiji kang ing
tembe bisa timbang karo bebadane.
Sangkan Paran #11
Kembang mau suwe-suwe wangune bisa salin, ana kang gilig, ana kang gilig rada lonjong, ana bunder kepleng, ana bunder lonjong, ana maneh kang dhempok. Iku kaprahe diarani uwoh. Ananging sabenere wuh, karepe urip kang bakal tumuwuh. Dene sakabehe uwoh mau suwe-suwe bisa uwal karo uwite, amarga bisa luwas, gantelane utawa sambungane bisa bosok banjur coplok. Uwoh kang wus uwal saka uwite iki, banjur katutu lakuning banyu jaladri, kongsi bisa tekan ing saparan-paran. Lan banjur tuwuh utawa thukul, lawas-lawas banjur bisa timbang karo bibite, iku manawa wus padha pantog lawasing uripe. Dene wit-wit mau, uripe ana ing babadan ora langgeng. Dadi babadane uga bisa rusak (mati), mangkono ing sabanjure. Mungguh woh-woh mau ana uga kang banjur kumambang ing banyu jaladri lan katut lakuning ombak, banjur tumiba ing pratala pinggiring jaladri (pentasan, dharatan), tibane ing kono ana kang banjur bisa tuwuh, lawas-lawas uga banjur bisa uwoh lan bisa thukul kayadene kang wus ingsun caritakake mau. Dene wohe ana ing dharatan kang wus uwal saka wite, iku banjur tiba ana ing kanan-kiringe wit mau. Ana kang katutnlakuning maruta kongsi adoh parane, iku uga ana kang banjur bisa thukul; thukulane banjur matuh utawa kulina urip ana ing pentasan, mulane suwe-suwe rupane banjur beda karo bibite kang isih ana ing sajerone jaladri.
Saiki ambaleni bab isen-isening jaladri. Sawuse jaladri isi uwit-uwitan (kakayon) ing jaladri kono banjur katekan lunturaning pratala (pasir) kang katut ilining banyu. Pasir mau ana jaladri kono, iya banjur mundhak gedhene, ora beda karo pasir kang ana ing pratala (dharatan). Lawas-lawas uga banjur dadi watu, mung bae rupane beda karo watu-watu kang ana ing pratala pentasan mau, marga daya sajeroning jaladri iku beda karo dayaning banyu dharatan utawa dayaning banyu udan, awit banyu jaladri iku duwe daya asin lan landhep, anjalari watu-watu ing jaladri iku bolong-bolong pating complong kayadene barang kang wus gerang. Mulane watu ing jaladri mau wong Jawa lumrahe padha ngarani watu karang. Watu-watu ing jaladri iku uga ana kang kanggonan jiwa, ora beda karo watu kang ana ing pratala dharatan. Ing samengko sawise sajeroning jaladri ana kekayon lan watu-watu, banjur saya kuwat anggone nadhahi cipratane Guruning Ngadadi kang tumurune awor lan banyun udan; tekane ing banyu jaladri banjur dadi umpluk pating paruntus cilik-cilik. Bareng kataman soroting surya lintang lan rembulan, sarta maneh kawuwuhan saka dayaning hawa, sumawana kaaanan pirangt-pirang mau, banjur bisa duwe daya nyerot lan kedher sarta mubeng, ananging panyerote ora pati lepas; dadi kang kena sinerot iku mung hawa lan sorote Guruning Ngadadi kang wus cedhak karo panggonane.
Dene sorot-sorot mau, tekane kayadene wus sinaring ing langit, sarta kawuwuhan dayaning pirang-pirang kang ana ing sajeroning langit kono; mulane bebadane soroting Gurunuing Ngadadi mau kawawa urip ana ing kono, lan wuwuh kuwat sarta bisa wuwuh gedhe, mundhak atos sarta bisa alalapisan. Lapisane telung rupa, kang jero dhewe kuning semu abang, njabane putih semu abang; kang njaba dhewe putih utawa abang enom, utawa maneh biru enom. Bareng wus dadi mangkono, panyerote banjur ora bisa tekan ing njaba, dadi mung nyerot bebadane dhewe bae, lan banjur polah kedher amubeng. Badane iku tansah kaya digosok, mulane suwe-suwe iya banjur anget saya anjendhel (akas). Dene bunteling badan lapisan kang njaba dhewe tansah kataman dening sunaring surya, dadi bebadane banjur kaya digarang saka njaba lan njero; lapisan
kang njaba dhewe iku diarani cangkang.
Kaanan kang mangkono mau lumrahe diarani antiga, tegese: urip kang nganggo bebadan lapis telu. Cangkange mau suwe-suwe kataman daya panasing surya, satemah anget ing jerone, banjur bisa pecah utawa mlethek. Bareng cangkang mau pecah, uripe jiwa mau anggone kedher lan nyerot wuwuh rosane, sarta wuwuh lepase, kongsi kawawa bebadane katutn katut obah, lan tansah gampang kagepok dening dayaning banyu jaladri lan dayaning surya lintang sarta rembulan. Saka daya kang mangkono iku, anjalari arupa bebadan sambungan telu. Panggonane bebadaning jiwa (cipratan) kang kaprenah ana ing jero, nuli dadi rupa ambendhol, diarani endhas; iku manawa bae kadadeyan saka tembung endhon lan tandhas; sambungane maneh diarani awak utawa gembung. Mulane diarani mangkono, jalaran iku kang minangka dadi wadhahing hawa kang sinerot. Dene tembung gembung iku, karepe yen hawa mau wus rinegem sajeroning wadhah iku, banjur katon mlembung. Awak lan gembung iku kadadeyan saka lapisaning bebadan kang arupa kuning. Dene putihe ambuntel sarta sambungane kang pungkasan, diarani buntut. Mulane diarani mangkono, jalaran iku bebuntelingt bebadan kang menawa obah tansah katut.
Sawuse arupa mangkono panyerote wuwuh rosa, ananging iya ora lepas banget. dadi kang kena sinerot iya mung saliring daya lan kaanan kang ana ing sacedhake bae. Saka kalumpukane kang sinerot iku, ana ana ing sajeroning gembunge, sawise nyarambahi ing bebadane, banjur ngesuk golek dalan bisane metu. Saking rosane daya kang arep metu, suwe-suwe awake banjur banjur bisa mobah sarta molah. daya kang mangkono mau diarani karep, tegese tekaning daya iku mau, yen panuju arep metu. Sarehning karep iku pinanghkane saka daya pirang-pirang, iya iku saka saka dayaning kaanan kang ana ing langit, lan saka dayaning pramana miwah pratala, sumawana jaladri saisine kabeh, karep iku enggone angobahake bebadaning jiwa lan awake kongsi bisa katut kagawa obah saka ing pernahe, marani menyangsalah sawijining kaananing sajeroning jaladri kono, kang gathuk (cocog) lan dayaning karep iku. Saking kulinane anyerot, sarta kang wus sinerot saking serenge enggone arep metu, suwe-suwe ing perangane endhas kang kapara ngarep banjur ana bolongane telu cilik-cilik, kang siji kaprenah ana ing ngarep kapara ngisor, diarani cangkem, kang loro kepara ndhuwur, diarani cungur.
Sangkan Paran #12
Mulane diarani cangkem, awit iku piranti kang minangka panancang sarta aningkem sakabehe kang sinerot. Dene cungur iku piranti kang minangka panuduh utawa mancung marang pernah saliring rurupan kang arep sinerot. Ing pernah gelitaning endhas lan gembung kang kakapara ngisor, uga banjur ana bolongane loro, diarani angsang. Mulane diarani mangkono, jalaran iku piranti kang kanggo anangsangake wetuning daya kang saka njero, kang supaya enggone ngetokake, bolongane mau ora kongsi kalebon ing banyune jaladri, dadi mung supaya mandheg utawa nangsang ana ing kono tumuli dinedel bali maneh. Sarta maneh peranganing endhas kapara ndhuwur ing kanan kiri banjur ana underane cilik-cilik, rupane bening kaya kaca, nganggo uwer (srd) rupa telu. Rupaning srd iku, kang tengah titik ireng bening, pinggire abang semu kuning, pinggire maneh abang semu putih, iya mangkono iku kang diarani mata. Mulane diarani mangkono, awit iku sawijining piranti kang bisa ngemot saliring rerupan, bisa katata ana ing sajeroningunderan iku, arane andulu utawa andelok, mula diarani mangkono awit saranduning bebadan kang ginawa obah dening karepe, banjur bisa nimbang lan bisa mangerti marang salah sawijining kaanan, kang bakal bisa cocog lan karepe kang dikira luwih perlu. Dene tembung andelok iku saka tembung ngandel lan mlok. Mulane mangkonio, awit saliring rurupan kang wus tinata dening underan mau, dayaning karep banjur bisa ngandel, yen rurupan iku sayekti (mlok).
Bareng wus arupa mangkono, kaanan iku panyerote sangsaya rosa, kongsi sarupaning kaanan (rurupan) kang ana sacedhake kono bisa katutn kaserot. Mulane bolonganing cangkeme banjur saya wuwuh amba lan perangan sacedhaking buntut kapara ngisor, banjur ana bolongane cilik, iya iku piranti kanggo ambuwang sisaning barang kang wus sinerot kalebu ing gembunge mau. Sarehning sabanjure tansah mangkono, dadi awake mundhak rosa lan mundhak gedhe, saya mundhak gedhene sangsaya kuwat panyerote, kongsi sarupaning kaanan kang kasar-kasar, kang bisa kalebu ing cangkeme, iya katut sinerot. Patrap anggone anglebokake samubarang ana ing cangkeme iku diarani mangan, awit iku manawa dineleng, mung maligi malebuning barang ana ing sajerone wenganing cangkeme tumeka sajerone gembunge, amarga pangane iku dadi butuh dayaning karep.
Samangsane sacedhake kono pangan sing dibutuhake wus ora nyukupi, serenging karep banjur ngetog daya kekuwatane kanggo marani (ngupaya) panggonaning pangan. Suwe-suwe bebadane kaleksanan bisa metu pirantine kang kanggo anggampangake lakune, kayata: kang ana ing kanan kirine gembung diarani kpt, kang ana ing sandhuwuring gembung diarani siwar, kang ana ing samburine bebadane diarani buntut kpt, ing sangisoring bebadane kapara mburi diaranin siwit. Bangsane titah sajeroning jaladri kang mangkono iku diarani mina.
Diarani mina mbok manawa bae iya mung dijupuk gampange. Yaiku saka tembung umi lan warna. Umi iku tegese wadon, amarga sawarnaning bangsa iku mau kabeh katone wadon; uwong ora gampang bisane ambedakake endi kang lanang lan endi kang wadon. Bangsane mina iku saya lawas banjur sangsaya pirang-pirang rupa, ana kang gedhe sarta ana kang cilik, marga keh sathithiking daya sarta sorot pletikane Guruning Ngadadi ora padha; apa maneh daya panyerote uga ora padha. bangsane mina iku kabeh uga nangkarake wiji sarana nunggalake rasane. Ing sajerone gembunge bisa ngandhegbpletikan Guruning Ngadadi, banjur dadi antiga kaya kang wis ningsun terangake ing ngarep. Suwe-suwe antigane ikub banjur diwetokake saka ing gembunge, dipernahake ana ing banyu kang akeh watune, didokokake ana ing sela-selane kono, utawa didokok ana ing wit-wiwtan lan gegodhongan kang ana ing sajeroning jaladri kono. Ana maneh kang didokok ana ing umpluking jaladri. Wusanane antiga mau iya banjur bisa dadi kayadene babone (bibite); suwe-suwe iya banjur bisa rusak lan tininggal dening jiwane (mati). Dene liyane banyu jaladri, ana maneh banyu ing kali-kali, tlaga-tlaga lan rawa-rawa, kabeh uga ana isen-isene bangsane mina kang dumadine uga meh ora beda karo mina ing sajeroning jaladri, mulane ora pati perlu manwa ingsun terangake. Cukup samene bae enggong ingsun nerangake sangkan paran, sarta sarasilahe isen-isen sajeroning jaladri.
Sangkan Paran #13
Ing saiki Ingsun bakal nyaritakake isn-isn kang ana ing pratala dharatan, pratala kang ora klban ing banyu jaladri. Geneya pratala kang ora keleban dening banyuning jaladri iku diarani dharatan? Iya, jalaran pratala kang ora keleban ing banyu jaladri iku dadi dhedhasaring udara (langit), warata ing lumahing pratala kabeh, sanadyan kang legok luwik, kang krowong lan kang bolong, iya warata kaebekan ing udara. Mulane manawa njupuk gampange, karepe saka tembung udara lan kawaratan.
Samengko Ingsun nyaritakake banyu udan kang tiba ing dharatan: iku tekane iya padha kabarengan sorot utawa cipratan Guruning Ngadadi, kang wus kasaring ing udara, sarta kang wus kamomoran daya saka kaanan pirang-pirang kang ana ing udara mau. Dharatan kang katiban ing banyu mau suwe-suwe banjur teles, marga wrataning banyu udan iku. Ana uga kang ora bisa kambah, iya iku mung panggonan kang grong miring,
marga lakuning banyu kaadhangan dening pratala sakdhuwuring grongan iku. Grongan kang mangkono mau diarani rong, kang gronge jembar diarani guwa. Mulane diarani mangkono, awit kang mlebu ing kono iku mung lugu dayaning hawa bae. Iku lumrahe enggone ngarani mau mung padha njupuk gampange bae.
Saiki Ingsun mbanjurake carita bab dharatan kang teles. Saya akeh udane, sangsaya nundhak telese, banyune nganti bisa mandheg watara suwe, katon ngmbng (megung), marga dharatan mau ora rata kabeh. Mangka wataking banyu iku mili, dadi lakune iya ora sabab saka urip lan saka karepe, nanging mung marani ing papan kang luwih cendhk. dadi papan kang luwih cendhk mau iya banjur kabkan ing banyu, kongsi tembire (pinggire) pratala kang legok mau bisa jugrug kesuk dening gedhening banyu. Wusana banyu megung mau banjur wutah liwat tapaking jugrugan iku lan banjur bisa lumaku saparan-parane anut papan kang legok. Amarga lumahing bawana iki kang endhek dhewe iku jaladri, dadi lakuning banyu mau suwe-suwe iya banjur tekan jaladri kono. Ana ing jaladri kono iku banjur kumpul karo banyuning jaladri, mangkono ing sabanjure. Dene dalan lakuning banyu iku, diarani kali. Enggone ngarani mangkono iku mbok manawa iya mung njupuk gampange bae, jalaran katone kadadian iku saka kesuk
ilining banyu.
Banyu udan liyane kang ora dadi kali, ana uga kang banjur kandheg ing papan kang nla luwih amba (lega), dununge ana ing kanan kiringing ancala (gunung), utawa lambunge ancala. Kang mangkono iku diarani tlaga. Tlaga iku kang akeh pinggire pratala kang luwih kandel, mulane banget santosane lan ora gampang jugruge kaya dene pratala kang liya-liyane. Mung bae yen banyune kakehan, lowahing tlaga mau ora kamot, amesthi banyune iya nganti ngungkuli pinggiring tlaga iku, temahane banjur lubr. Lubring banyu iku iya mili nglumpuk nurut papan kang legok, suwe-suwe iya banjur dadi kali, terkadang banjur bisa gathuk karo kali liyane.
Ana maneh padunungan kang ora ana ing kanan kiringing gunung, nanging dumunung ana ing papan kang rata. Kala-kala ing kono uga ana kang endhek utawa legok, iku kaisenan ing banyu udan mau, sarta banyune iya uga banjur ngebeki papan kang legok mau, banjur diarani rawa. Mula diarani mangkono, awit padunungan iku, bareng wus kaisenan ing banyu, katara agawe buyaring hawa kang ana ing kono.
Saiki mbaleni pratala kang mung teles bae, lan kang ora kakembeng dening kehing banyu udan, bareng kataman sorot Guruning Ngadadi, kang tekane ing kono wus kawoworan dayaning surya lintang lan rembulan, sarta dayaning kaanan pirang-pirang kang ana ing langit, pratala mau banjur nglumut. Lumute saya lawas sangsaya wuwuh kandele kongsi kawawa ngandhegake pletikaning Guruning Ngadadi. Suwe-suwe lumut mau iya banjur dadi wit-witan ora beda wit-witan kang ana ing sajeroning jaladri. Dene rawa-rawa iku, uga banjur ana lumute, lan lumut-lumut mau manawa oleh daya sorot Guruning Ngadadi, lan soroting surya lintang lan rembulan, kang wus kawoworan dayaning kaanan pirang-pirang kang ana ing langit, suwe-suwe iya uga bisa dadi wit-witan, ananging racake ora pati gedhe lan ora pati dhuwur kaya dene wit-witan kang ana ing pentasan, utawa kang ana ing sajeroning jaladri. Sebab wit-witan kang ana ing pentasan utawa kang ana ing sajeroning jaladri iku peranganing badan kang ngisor nduweni piranti kang kraket karo pratala, iya iku kang diarani oyod. Dadi dayane pratala iku luwih akeh kang sinerot dening wit-witan mau. Mulane banjur luwih gedhe lan luwih dhuwur. Beda karo kang ana ing sandhuwuring banyu rawa, awit babadan lan oyode iku mung nemplek lan muled marang rereged kang raket karo dhedhasaring lumut mau. Ing ngisore dhedhasaring lumut iku sanyatane banyu, dadi ora sapirowa olehe daya saka pratala. Sawuse ing dharatan kang kakembeng ing banyu utawa kang ora kakembeng wus isi wit-witan (kekayon), wit-witan mau uwoh lan godhonge kang wus luwas banjur padha coplok uwal saka ing wite, ora beda karo wit-witan kang ana ing sajeroning jaladri.
Sangkan Paran #14
Coploking uwoh kang ana ing dharatan iku mung tumiba ana ing sacedhake kono bae. Dene godhonge kang luwas mau banjur padha bosok, bosokane saya lawas saya wuwuh
akehe, sarta banjur carub karo pratala. Dene kang ana sandhuwuring banyu rawa uga banjur muwuhi kandeling lumut-lumut kang banjur njalari bisa tuwuh wit-witan kang cilik-cilik. Ana uga banjur rada gedhe, nanging rupane ora padha karo wit kang ngruntuhake godhong mau. Tetuwuhan kang cilik-cilik lan cendhak iku lumrahe diarani suket. Mulane diarane mangkono mbok manawa uga mung njupuk gampange bae, saka tembung su lan caket. Su tegese luwih, caket tegese cendhak, dadi karepe tembung suket iku anandhakake yen wit-witan mau luwih cendhak tinimbang lan liyane.
Saiki wit-witan kang ora ana ing sandhuwuring banyu rawa, iku wohe kang akeh tiba ana ing sangisoring wite. terkadhang ana kang mung katut dening ilining banyu bae. Dene kang ora pati akeh bobote bisa katut dening lakuning maruta. Mulane kongsi bisa adoh padunungane saka lajering wit iku mau. Banjur ana kang thukul lan rupane ora siwah karo bibite. Dene kang tiba awor karo gegodhongan kang wus bosok, marga kataman daya bosokaning godhong mau, lan ora gampang bisane oleh soroting surya lintang lan rembulan, kang katut dening sorot Guruning Ngadadi, mulane iya ora gampang bisane thukul.
Sarupaning bosok-bosokan mau bareng kataman ing hawa lan maruta kang wus kamomoran dening kaanan pirang-pirang kang ana ing langit, kang kagawa dening cipratane Guruning Ngadadi banjur padha mrentul pating pruntus, wangune gilig cilik-cilik. Pruntusan mau saya suwe sangsaya mundhak gedhene, dadi banjur saya kuwat enggone ngandheg sorot lan cipratane Guruning Ngadadi mau, sarta banjur kataman dening daya kedhering Pramana kang wus katutan dayaning geni lan pratala. Marga kang mangkono mau banjur njalari bisa urip lan bisa nduweni babadan kang kasar (agal).
Apamaneh saya akeh dayaning bosok-bosokan lan dayaning kaanan dumadi pirang-pirang, sumawana cipratane Guruning Ngadadi, mula uripe banjur duwe daya kedher, mungser sarta nyerot. Katerangane ora beda karo bangsa mina kang ana ing sajeroning jaladri kang wus diterangake ing ndhuwur mau. Dene lapisaning buntele kang ing njaba dhewe uga banjur pecah lan bebadane banjur gampang anggone nyerot. Apamaneh tansah kagepok dening soroting surya lawan rembulan, lan maneh uga tansah kataman dening hawa kang katut dening lakuning maruta. Kang mangkono iku, njalari akas lan santosaning bebadan, dadi mundhak kasar lan wuwuh rosane, mulane banjur bisa obah lan mingser saka padunungane marang panggonan kang bisa cocok dayane karo bebadane mau. Kang mangkono iku banjur marakake tuwuh kang minangka dedalane panyerot (mangan). Pamangane iya padha bae patrape karo bangsaning mina ing sajeroning jaladri. Saking rosaning pamangane kongsi barang kang kasar-kasar katut dipangan, kayata: gegodhongan lan wowohan kang padha tiba lan wus bosok ana ing sacedhaking padunungan kono iku. Amarga saka mangkono iku, banjur njalari mundhak gedhene lan rosane bebadan kang kasar mau, mulane banjur cetha banget pirantine, iya iku cangkem kang kanggo mangan lan cungur kang kanggo ambuwang hawa kang wus katut mlebu; kang kanggo mbuwang barang kasar sisane kang wus pinangan, iku diarani mburi. Kaanan dumadi kang ingsun caritakake iki diarani gegremetan. Mulane diarani mangkono, awit bisane obah saka ing pernah lakune katon nggremet.
Mangkono uga ing sajeroning tlaga utawa rawa, papan kang dumunung ing pinggir utawa panggonan lumut-lumut uga ana gegremetane lan ana bangsane mina kaya kang wus diterangake. Malah ana ing sajeroning tetuwuhan (wit-witan), kang ana minane, awit maune wit-witan iku ana bolongane. Bolongan mau kaisenan ing banyu kang asale saka banyu udan. Dene wit-witan kang sok kadadeyan mangkonoo iku, diarani pring. Marga pring iku maune iya endhek lan ana bolongane ing ndhuwur kang minangka cangkeme kaya kang wus kapratelakake ing ngarep. Jalaran saka iku, gampang digremeti dening bangsaning mina, awit ing kono iku ana banyune, mulane mina mau banjur manggon watara suwe ana ing kono. Wusana banjur ninggal antiga (endhog). Suwe-suwe endhoge mau netes. Tetesane banjur bisa kulina urip ana ing kono. Dene bangsane mina kang mangkono iku diarani urang.
Warisan Kabudayan Jawa
SERAT BABAD NITIK SULTAN AGUNG(Serat Cariyosipun Dewi Ambarini)
Serat Babad Nitik kangjeng Sultan Agung, nyariyosaken wiwit
Dewi Ambararini, putrinipun ratuning jim linamar raja wolung nagari
ngantos dhaupipun sang Dewi kaliyan Bambang Ernawarya.
1. Duk manitra tinembang artati, Slasa Wage lek salikur wulan.
2. Sri Narendra sampun lenggah, aneng bangsal kencana kinen nitik.
3. Genti ingkang kacarita, nagari Daksinatasik.
4. Kuneng genti kang winuwus, nagari Daksinatasik.
5. Sinegeg Daksinatasik, genti cinarita.
6. Genti kocap ing Daksinatasik, wau sang akatong.
7. Cinarita dutane para raja, kang sami angulati.
8. Sapraptene kapatihan kyai patih, Bambang Ernawarya.
9. Genti kocap nerendra Matawis, kangjeng Sutan Agung kitha Karta.
10. Ginenti kang cinarita, lampahira Bambang Ernawaryeki.
11. Sampun sami angandika, lenggah bangsal Sri Bupati.
12. Bambang Ernawarya muwus, andika langkung prayogi.
13. Sang nata duk amiyarsi, sungkawa anemu suka.
14. Enjing praptaning ubaya ari, Sri Narendra miyos.
15. Angandika wau Dyah Ambararini, eh Arya Nirbawa.
16. Sapraptaning wisma Arya Adipatya, tandya karya kinteki.
17. Kawarnaa arya Adipati, sang Udarapati Pramasadha.
18. Tengara bendhe tinembang, sinauran tabah-tabahan juri.
19. Wus bibar kang prang tandhingan, rajeng sadhaha sadasih.
20. Lampahira rajasunu, radyan Matyuna sarakit.
21. Kalamarcu Sri Bupati, sampun mangsah ing ranangga.
22. Catur raja sawusnya miyarsi, saraseng pamaos.
23. Wau sang Dyah dayita umatur aris, inggih putra tuwan.
24. Kawuwusa nengih kyai patih Puyika, umarek ngarsa aji.
25. Genti kocap nengih duta aji, kang lumampah maring Tasikdaksina.
26. Putra paduka sang retna, neng Daksinatasik langkung mukti.
27. Kocap ing Tasikdaksina, sang prabu Udayanamurti.
28. Nateng Kismaka amuwus, pami wahanira benjing.
29 Ing wetan samburat abrit, praptaning wisma dadakan.
30. Sanak-sanak manira aji, reh katemben tumon.
31. Sri Narendra duk myarsa aturing siswi, suka ing wardaya.
32. Kula asung uninga mring pra kakendra, inggih bade lumintit.
33. Kawarnaa enjing Sri Bupati, Soma Manis miyos siniwaka.
By alang alang.
=======================================
Serat Dewaruci
termangu sang bima di tepian samudera
dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya
sesirnanya sang naga nemburnawa
dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
dan mustahil akan pernah bisa ditemukan
oleh manusia mana pun.
menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
apa yang kau cari, hai werkudara,
hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini
terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
setelah melihat sang penanya ia bergumam:
makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?
serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya
sang sena semakin termangu menduga-duga,
dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
dan siapa sebenarnya diriku ini
ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
yang tahu segalanya tentang dirimu
anakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka.
yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka.
datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini
bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
terasa bagai keris tanpa sarungnya
sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
ingatlah pesanku ini senantiasa
jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.
janganlah bagai orang gunung membeli emas,
mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan
duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
bertindak tanpa tahu asal tujuan
sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.
nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
lanjut sang marbudyengrat
sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit
kelingking pun tak akan mungkin muat.
wahai werkudara si dungu anakku,
sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.
mendengar ucapan sang dewaruci sang bima merasa kecil seketika,
dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
yang telah terangsur ke arahnya
heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
segala yang kau saksikan di sana
hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang
janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
senantiasa akan ada pertolongan dewata
dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.
heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!
awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
apakah gerangan semua itu?
ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu memiliki.
hanya si putih-lah yang bisa membawamu
ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,
namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.
adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.
duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.
itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
sering disebut jagad agung jagad cilik
dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
akan tampak bagai lebah muda kuning gading
amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku
semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
warna sejatikah yang hamba saksikan itu?
bukan, anakku yang dungu, bukan,
berusahalah segera mampu membedakannya
zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.
sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan
ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati,
ialah yang merawat raga
tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.
pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini
serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.
itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda,
di saat itulah sang suksma akan menghampirimu,
dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati
janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.
maka habislah wejangan sang dewaruci,
sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta
dan blassss . . . !
sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci
sang bima melompat ke daratan dan melangkah kembali
siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan
MAKNA SERAT DEWA RUCI
Cerita Dewa Ruci diduga -menurut Prof. Dr. RM. Ng Purbotjaroko dan Dr. Stutterheim- ditulis kira-kira pada masa peralihan agama, atau pada awal tersebarnya Islam di Tanah Jawa. Cerita aslinya, yang dianggap Babon-nya, dinisbahkan kepada Mpu Ciwamurti. Tetapi naskah-naskah kemudian dihubungkan kepada Ajisaka, yang konon menjadi murid Maulana Ngusman Ngali, seorang penyebar agama Islam. Pada tangan Sunan Bonang, Serat Dewa Ruci yang asli itu diterjemahkan dari Bahasa Kawi ke dalam bahasa Jawa Modern. Terjemahan ini tersimpan di perpustakaan pribadi R.Ng.Ronggowarsito.
Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama
angkatan tua, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk ilmu kasampurnan .
Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan bahasa orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kita akan mengatakannya seperti Prof. Dr. Ng. Purbotjaroko.Tetapi bila preunderstanding kita itu dilandasi pada literatur sufi,
kita akan melihatnya sangat sufistik.Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat ceritra. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu.
Lihatlah, bagaimana Sadi, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.
R. Ng. Ronggowarsito, yang sempat mengakses Dewa Ruci itu di perpustakaannya, sering merujuk kepadanya dan sangat terpengaruh olehnya pada karya-karya sufistiknya.Sebagai misal, dalam Suluk Suksma Lelana, dikisahkan seorang santri yang bernama Suksma Lelana.Ia melakukan perjalanan panjang untuk mencari ilmu sangkan paran kepada seorang guru kebatinan yang bernama Syekh Iman Suci di arga (bukit) Sinai.Ia mengalami berbagai cobaan. Ia berhadapan dengan putri Raja Kajiman bernama Dewi Sufiyah, dengan dua orang pembantunya: Ardaruntik dan Drembabhukti.
Menurut Dr Simuh, ketiga makhluk ini melambangkan tiga macam nafsu:
Sufiyah, Amarah, dan Lawwamah. Para penafsir Dewa Ruci juga menyebut gua di Candramuka dengan dua raksasa di sana sebagai tiga macam nafsu. Ada juga yang menyebut Bhima dengan empat saudaranya (saderek gangsal manunggil bayu), sebagai perjuangan diri kita melawan empat nafsu - Lawwamah, Amarah, Sufiyah, dan Mutmainnah.
Kisah pencarian air kehidupan bukan hanya ada di Jawa.
Kisah ini bahkan bisa dilacak sampai setua kebudayaan Mesopotamia, pada bangsa Sumeria.Di kota kuno Uruk bertahta Raja yang sangat perkasa, Gilgamesh.
Ia tidak pernah mengalami kekecewaan kecuali ketika sahabatnya yang sangat dicintainya, Enkidu, meninggal dunia.Seperti singa betina yang ditinggal mati anak-anak bayinya, sang raja mondar-mandir di dekat ranjang kawannya, meremas-remas rambutnya sendiri, minta anak buahnya membuat patung kawannya dan meraung-meraung dengan keras, begitu tertulis dalam 12 bilah papan yang dikumpulkan dari fragmen Akkadia, kira-kira 1750 SM.
Aduhai, biarlah aku tidak mati seperti sahabatku Enkidu. Derita telah merasuki tubuhku. Mati aku takut. Aku akan terus berjalan. Aku tidak akan mundur, kata Gilgamesh sambil meneruskan perjalanannya mencari tanaman yang akan melepaskannya dari kematian dan mengantarkannya kepada keabadian. Hampir seperti Dewa Ruci, ia menempuh perjalanan yang berat dan berbahaya. Ia berhadapan dengan singa-singa yang buas, yang dapat ia hindari berkat bantuan Dewa Bulan. Ia pergi ke gunung di tempat mentari tenggelam. Kepadanya diperlihatkan kematian. Ia berjumpa dengan manusia kalajengking yang menjaga gua. Seorang di antaranya membukakan pintu gua. Gilgamesh dilemparkan ke dalam kegelapan. Habis gelap terbitlah terang. Ia sampai ke taman yang indah dan di tepi pantai ia berjumpa dengan putri yang misterius, Siduri. Sang putri melarangnya meneruskan perjalanan:
O Gilgamesh, whither do you fare?
O Gilgamesh, apa yang akan kau kerjakan?
The life you seek, you will not find
Hidup yang kau cari, tak akan kau temukan
When the gods created man,
Saat tuhan menciptakan manusia
They apportioned death to mankind;
Mereka menunjukkan mati pada umat manusia
And retained life to themselves
Dan memberi pemahaman pada hidup mereka
O Gilgamesh, fill your belly,
Make merry, day and night;
kimpoiilah siang dan malam
Make of each day a festival of joy,
Buatlah setiap hari sebuah festifal hura-hura
Dance and play, day and night!
Berdansa dan bermainlah, setiap siang dan malam
Let your raiment be kept clean,
Jagalah kesuciannya
Your head washed, body bathed,
Kepala dan tubuh yang bersih dan tercuci
Pay heed to the little one, holding onto your hand,
Pegang dengan tanganmu
Let your wife delighted your heart,
Biarkan isterimu memegang jiwamu
For in this is the portion of man
Inilah bukti kemanusiaanmu
Tetapi Gilgamesh tidak ingin berkutat pada the portion of man.Ia ingin mencari jauh di luar itu. Ia ingin abadi.Putri itu mengantarkannya kepada tukang perahu kematian, yang pada
gilirannya mengantarkannya ke lautan kosmis.Di situ ia berjumpa dengan Untuk-napishtim, yang hidup abadi bersama isterinya.Ia diberitahu bahwa tanaman keabadian itu terletak di dasar samudra kosmis.Ia harus memetiknya. Pohonnya berduri yang sangat tajam.Tak pernah orang datang untuk memetik tanaman itu, kembali ke pantai dalam keadaan selamat.Jika durinya mengenai tangan, tangan akan segera terpotong; tetapi bila tangan itu berhasil mencabutnya, ia akan hidup abadi.Singkatnya cerita, Gilgamesh berhasil memetiknya, membawanya ke pantai,
dan -ketika ia beristirahat mandi sejenak- ular mencuri tanaman itu.
Gilgamesh tidak bisa berusia panjang, tetapi ular bisa .
Lalu, lebih kemudian dari kebudayaan Sumeria, adalah kisah kepahlawanan Aleksander yang Agung dari Masedonia.Setelah berbagai penaklukannya yang menakjubkan, ia juga ingin mencari
air kehidupan, yang akan memberikannya keabadian.Aleksander menempuh perjalanan panjang bersama tukang masaknya yang bernama Andreas.Setelah berkelana bertahun-tahun, akhirnya keduanya memutuskan untuk mengambil jalan terpisah.Pada suatu tempat, di tepi sungai, Andreas berhenti untuk makan.Ia membuka bakul makanan, yang di dalamnya sudah disimpan ikan yang sudah dimasak.Tiba-tiba sepercik air mengenai ikan itu. Ikan melompat ke sungai.Andreas mengejar ikan itu dan akhirnya kecebur dalam air keabadian.
Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia)dan Gusti (Pencipta) (manunggaling kawula Gusti )/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Sang Pencipta, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya. Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medoakan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun ,tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal ( tahlilan ). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit; warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.
Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah.Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.Dalam bentuk kakimpoi (tembang) oleh Pujangga Surakarta,Yosodipuro berjudul:Serat Dewaruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa dinegeri Astina,(yang sebenarnya adalah:bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan guru Durna. Sena yang juga adalah murid guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan ,Sena diharuskan mengikuti perintah sang Guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran Gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang Guru,walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri Amarta ,Prabu Suyudana/raja Mandaraka/prabu Salya sedang rapat membahas bagaimana caranya Pandawa dapat ditipu secara halus agar musnah, sebelum terjadinya perang Baratayuda, bersama dengan Resi Druna, Adipati Karna, Raden Suwirya, Raden Jayasusena, Raden Rikadurjaya, Adipati dari Sindusena, Jayajatra, Patih Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan lain-lainnya termasuk para sentana/pembesar andalan lainnya.
Kemudian Durna memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk,dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka,akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, dibawah Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya ,untuk sementara merekamerayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian .Namun dalam perkelahian dua Raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah,dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.Karena kelelahan,kemudian ia berdiri dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Resi Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut.! atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Sang Druna :bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi.., yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta.(tempat para kerabatnya berada) Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti/Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung. Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Druna dan prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.
Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan. Dikatakan pula :Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan.
Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya, lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah.
Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku, kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk.Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku.
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.
Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini.
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan air suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci; sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin; sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti emas, kala adalha bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan)
Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya. Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat; tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Didalam, Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut mati dalam hidup dan juga disebut hidup dalam mati. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu asem
Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.
==============================================
KAWRUH DUMADING MANUNGSA
Sekar Dhandhanggula
Duk ing nguni ujar para winasis
Dumadining manungsa sakjagat
Kun fayakun sasabdane
Gusti Allah Maha Agung
Kang kacipta tumuli dadi
dhisik dhewe swasana
Nuli cahyanipun
Gusti Allah amasesa
Anyunari candra kartika myang rawi
Sakambaning swasana.
Nuli tirta Kamandanu mijil
Witing urip keh isining jagat
Kang wujud sari-sarine
Surya lan kamandanu
Sang Maruta yekti mratani
Sasaring maruta
Ireng warnanipun
Kang asma Manik Ismaya
Sari soroting surya rekta awarni
Asma Sang Manik Mulat.
Sari tirta kamandanu iki
Warna seta ran Manik Idama
Manunggaling manik kabeh
Tri Murti wastanipun
Sampurna yekti Dumadi
Kang nduwur Guru Loka
Sisih tengahipun
Ingkang asma Endra Loka
Jana Loka neng ngandhap dunungireki
Asarira Bathara
Tri Murti kang sumebar mratani
Ing akasa kacipta dumadya
Mahluk raga Cahya rane
Ing darat kang tumuwuh
Tetuwuhan myang satoweni
Jron bumi tuwuh dadya
Materi puniku
Wujud barang pamelikan
Wesi waja emas perak manik-manik
Tan gingsir owah
Dene kotoran maruta iki
Kasorot bentering bagaskara
Nuli malih dadi cuwer
Kang alus mili ngumpul
Yekti dadya pusating bumi
Inggih buwana punika
Kang kasar ya ngumpul
Aneng sisih pinggirira
Sampurnane dadi tirta Jalanidhi
Ing tengah wadhukira
Inggih asmane catur anasir
Inggih sadaya sari-sarinya
Agni tirta bantalane
Kapat marutanipun
Sampurnane manungggal yekti
Dadya wewadhagira
Wulu kulit balung
Daging otot lan ludira
Sampun pepak sampurna catur anasir wewadhaging manungsa
Guru Loka apa kang sayekti
Ngen angen nalar pikir lan akal
Endra Loka panganggone
Panca driya satuhu
Lawan rasa nepsu nireki
Kang nama Jana Loka
Rasa mulyanipun
Saking mriku mijilira
Tumuruning manungsa jalu lan estri Ngebaki jagat raya
Terjemahan lagu tentang ilmu terjadinya manusia
( Kawruh Dumadining Manungsa )
Dahulu kala kata para bijak
Terjadinya manusia di dunia
Kun Fayakun sabdaNya
Allah Yang Maha Agung
Apa yang dikehendaki lalu jadi
Yang pertama keadaan
Kemudian cahayanya
Gusti Allah yang berkuasa
Minyinari bulan bintang dan matahari
Seluruh angkasa raya.
Kenuddian Air kendhi keluar
Pepohonan hidup banyak mengisi bumi
Yang berupa intisarinya
Sinar dan air kendhi
Sang Angin sungguh merata
Inti sarinya angin
Hitam warnanya
Yang bernama Manik Ismaya
Inti sinar surya berwarna merah
Bernama Manik Mulat.
Inti sari air kendi
Warna putih dan inti keinginan
Bersatunya semua ini
Tri murti namanya
Kesempurnaan yang sungguh-sungguh terjadi
Yang diatas Guru Loka
Ditengahnya Yang bernama Endra Loka
Jana Loka dibawah tempatnya
Itulah bertubuhkan Bathara.
Tri Murti yang menyebar merata
Di angkasa tercipta kejadian
Mahluk yang bertubuh Cahaya namanya
Di darat yang bertumbuh
Tumbuhan dan binatang
Di bumi tumbuhan jadilah
Itulah yang tertancap
Wujud benda yang mempunyai maksud
Tak boleh gerak berubah
Sedangkan kotoran angin ini
Tersinari kecepatan cahaya matahari
Kemudian berubah menjadi encer
Yang halus mengalir berkumpul
betul-betul menjadi pusat bumi.
Yang kasar juga berkumpul
Disebelah pinggirnya
Yang akhirnya menjadi lautan
Ditengah perutmu.
Yang dinamakan empat unsur
Ya semua inti sarinya
Api, air, tanah keempatnya angin
Kesempurnaan sungguh2 bertemu
Jadilah badan kasarnya
Bulu, kulit, tulang, daging, otot dan darah
Sudah lengkap sempurna empat unsur Badan Jasmani manusia.
Guru Loka apa yang sungguh2
Angan-angan nalar dan pikiran
Endra Loka pakaiannya
Lima indra sebenar-benarnya
Juga rasa nafsu manusia.
Yang bernama Jana Loka
Rasa kemuliaan
Dari situlah keluar (jadi)
Yang menurunkan laki-laki dan perempuan
Memenuhi alam raya.
By alang alang
=============================
DASHA SHILA SUTASOMA
Dikirim DASHA SHILA SUTASOMA pada Mei 15, 2008 oleh alangalangkumitir
Karya Mpu Tantulan.
1. Aja Sira Anlarani Hati Nin Non
Jangan Menyakiti Perasaan Orang Lain (dan jangan mengacaukan pikiran orang lain)
2. Ajaamidanda Tan Sabenere
janganlah menjatuhkan hukuman yang tidak adil
3. Ajaamalat Duwe Nin Wadwa Nira
Janganlah menjarah harta rakyatmu
4. Aja Tan Asih In daridra
Janganlah menunda kebaikan terhadap mereka yang kurang beruntung
5. Luluta Rin Pandita
Mengabdilah pada mereka yang sadar
6. Aja Sira Katungkul Ing Kagunan, Amujya Nabhaktya
Janganlah menjadi sombong, walau banyak orang menghormatimu
7. Aja Memateni Yen Tan Sabenere
Janganlah menjatuhkan hukuman mati, kecuali menjadi tuntutan keadilan
8. Uttama Si Yen Sira Akalisa Rin Pati,
Adalah yang terbaik, jika kau tidak takut mati,
9. Sampuraha Rin Tiwas
dan bersabar dalam keadaan susah
10. Anulaha Saama Daana Ajaapilih Jana
(adalah yang terbaik) Jika kau berjiwa besar dan memberi tanpa pilih kasih
=========================
ESTHINING PANEMBAH
Dikirim ESTHINING PANEMBAH pada Mei 15, 2008 oleh alangalangkumitir
Kanggo nggayuh supaya wong urip bisa muksa syarat mutlak kang kudu dilakoni yaiku kudu cedhak karo Gusti Kang Murbeng Dumadi. Jalaran muksa iku tegese bisa mbalekake barang-barang silihan saka Gusti, utawa yen wong Islam ngarani marang Allah SWT.
Kang kudu dingerteni barang-barang apa wae kang wis kita silih, yaiku urip. Urip iki asale saka Kang Gawe Urip, utawa Gusti Kang Murbeng Dumadi mau. Kaya kang tinulis ing Al-Quran surat Al Haj (surat 22) ayat 5: He para manungsa. Menawa sira mamang perkara bakal tangine wong kang wis mati, sira mikira. Ingsun wis gawe leluhurira Nabi Adam saka lemah, saiki Ingsun nitahake awakira saka mani. Banjur dadi getih kenthel, banjur Ingsun dadekake daging ganep wujud bayi lan ora ganep (lengkap). Supaya sira terangake kasampurnan kuwasa-Ningsun.
Lesan mau kang Ingsun kersakake lestari dadi manungsa. Ingsun lerenake ing guwagarba tekan mangsane lair. Sira banjur Ingsun wetokake dadi bayi, nuli Ingsun paringi urip nganti tekan wayah mempeng. Saweneh manungsa ana kang mati sadurunge dewasa, lan ana kang dawa umure nganti pikun, (iku Kersaningsun) nganti si pikun mau lali barang kang maune disumurupi.
Lan maneh sira andeleng bumi iku ngenthak-enthak tanpa thethukulan. Bareng wis Ingsun turuni banyu udan, banjur ngarejet (obah) thukul thethukulan warna-warna kang mbungahake para manungsa (kang becik-becik).
Sejatine manungsa urip iku kadunungan telung perkara, yaiku badan wadhag kang asale saka manine bapa lan sel telure biyung, kaloro badan alus (roh) kang asale saka alam arwah, lan katelu urip kang asale saka paringane Gusti Kang Murbeng Dumadi. Katelune kaiket utawa ditaleni dening taline urip yaiku nafas, dadi wadhag-roh-lan urip dadi sawiji, iki diarani wong urip. Yen roh karo uripe ucul saka badan wadhag, amarga taline urip pedhot, ragane ditinggal, mati kaku dadi bathang. Iki uga dialami kabeh sagung barang kang urip. Kayata: wit-witan, kabeh kewan, yen ditinggal roh/badan aluse, badan wadhag mesthi mati dadi bathang, awake kaku.
Lha saiki roh/badan alus karouripe menyang endi? Kudune roh lan uripe mlebu alam barzah/alam kubur. Ing kene bakal nampa siksa kubur apa nikmat kubur, salaras karo amale neng donya nalika urip dhisik. Lha lawase sepira? Gumantung vonise Kang Murbeng Dumadi.
Yen wis entek vonise, arwah/roh lan uripe mlebu ana alam arwah. Ing kene antri ngenteni dina kiyamat. Yaiku dina bakale wong mati ditangekake dadi urip maneh. Mangkono sateruse (maosa Al-Quran, surat Al Baqarah, ayat 28). Nganti akhire bali marang ngarsane Gusti kang Murbeng Dumadi.
Lha saiki yen awake dhewe kepengin bisa bali marang Pangeran (Allah SWT), ya wiwit saiki kudu kenal karo Gusti Allah SWT. Lan maneh awake dhewe kudu sregep ngadhep utawa madhep marang Gusti kaya tuntunan agamane dhewe-dhewe.
Agama Islam menehi tuntunan kanggo ngadhep marang Allah SWT kudu shalat. Lan agama Islam milah tataran ilmu iku dadi patang tataran. Tingkatan ilmu cacah papat iki marakake panembah utawa shalat kaperang dadi papat, yaiku: shalat sarengat, shalat tarekat, shalat hakekat, lan shalat marifat.
Shalat sarengat iku manembahing raga, sesucine mawa toya (banyu). Yen katrima mahanani makrifating sarengat. Tegese weruhe panca indera. Kayata mripat ndeleng gumelare donya nyebabake percaya manawa kabeh mau mesthi ana kang nitahake, yaiku kang sinebut Pangeran utawa Gusti Allah. Kapercayan kang mangkene iki disebut wajibul yakin.
Shalat tarekat iku manembahing cipta (ati), sesucine merangi hawa nafsu, sesirik. Yen katrima mahanani makrifating tarekat. Tegese weruhe sipangerti, lire kapercayane kanthi pangerti marang sejatine kang sinebut Pangeran iku, ora mung tiru-tiru wong akeh wae. Kapercayan ngene iki dirani ainul yakin.
Shalat hakekat iku manembahing jiwa (roh) kang mawa piranti rasa jati, sesucine sarana eneng, ening, awas, lan eling. Yen katrima mahanani makrifating hakekat. Tegese weruhe si-rasa jati. Lire kapercayan ora kandheg ing pangerti bae. Kapercayan ngene iki diarani haqqul yakin. Ing tataran/tingkatan iki wis wiwit kebuka werna-werna hijab (warana) kang ngaling-alingi antarane titah karo kang nitahake. Nanging ya tingkatan iki kang banget gawate, karana akeh begalane.
Shalat makrifat. Iku panembahing sukma. Yaiku jiwa kang kuwasa tanpa piranti (sang alus/urip). Sesucine sarana wairagya, yaiku ngipatake sawernaning gegayuhan apa wae, kajaba mung tumuju marang Pangeran (Allah SWT), yen katrima mahanani makrifating makrifat utawa sejatining makrifat. Lire percaya tanpa piranti, sarta tan kena kinaya ngapa. Iya ing kene tingkatan iki kasebut leburing papan kalawan tulis, cep tan kena kinecap, diarani isbatul yakin, yaiku teteping kapercayan.
Utamane nindakake kaya mangkono kaping lima jroning sedina-sewengi kaya wektu shalat wajib. Ora-orane sepisan dalem sedina-sewengi. Ora-orane maneh iya sepisan ing dalem seminggu. Ora-orane maneh ya sepisan ing dalem sesasi. Ora-orane maneh ya sepisan ing dalem setaun. Ora-orane maneh ya sepisan dalem.selawse urip.
Iki ana uran-uran/tembang (embuh karangane sapa) kang nggambarake wong kang lagi sepisan ngicipi kahanan tan kena kinaya ngapa iku, mangkene unine: Damar kurung binekta ing kemit, tintingana salira priyangga, den rumangsa sisipa. Rohing kacang puniku, angelayung rasaning ati. Sela panglawet ganda, sepisan ketemu, kalabang sinandhung cuncar, norarena kepanggih sepisan ping kalih, kumudu saben dina.
Pancen kanggo cecedhakan karo Gusti kita kudu ngundhakake iman lan pangerten kita marang Allah SWT. Jalaran supaya bisa sesambungan karo Pangeran kita kudu ningkatake shalat kita sa-ora-orane tekan tingkat shalat hakekat. Sokur bisa tekan shalat makrifat. Saengga besuk yen kita wis mati, kita bisa marak ngarsane Pangeran Kang Akarya Gesang. Iya iki tujuan akhir urip kita: marak ing Ngarsane Gusti.
Sumber : Majalah Jaya Baya
=====================================
HASTA BRATA
Marsudi Mardawaning Laku Jantraning Jagad Sakisine
Wong dadi temanten kuwi prasasat kaya rikala winisudha dadi raja sedina ngalami lenggah jejer karo si garwa sigarane nyawa [wong nyawa kok disigar apa ya bisa, gek nyigare ya nganggo apa] nglenggahi dhampar dhenta pinalipit ing retna kinebutan lar badhak [wong badhak kok ana lare, gek lare pundi niku] kanan kering dening patah sakembaran [hemm ...bayi kembar siam ayake, bayine siji sing dadi bapake loro, oleh-oleh saka arisan RT, empluk wadhahe uyah, wetenge njembluk isine bocah].
Sakarone pinaringan sangsangan puspa rinonce kang acarup sangsangan naga karongrong [dilem nganggo nagasari kareben ora ceblok], tumekeng jaja nganti pamidhangan, yen cinandra kaya taksaka ganda laya disekseni para pinisepuh, para wandu-wandawa sarta para tamu kakung putri ing madyaning sasana pawiwahan.
Supaya pangantyan mau bisa lestari ngasta pusaraning bebrayan kudu nduweni gegebengan sarta paugeran kang gumathok, mangkono mungguh jejering bebrayan. Gegebengan mau kang aran HASTA BRATA, kaya katrangan ing ngisor iki:
1. Mulat Laku Jantraning Bantala:
Yen bantal kuwi tegese piranti kanggo turu. Nanging bantala kuwi tegese bumi. Kembang mawar ganda arum angambar-ngambar. Wong kang sabar penggalihe mesti jembar. Wewateke bumi iku sabar, sanadyan dipulasara, dipaculi, didhudhuki, dipestisida, lsp. nanging ora nduweni pangresula, ora sambatan, malah nudhuhake kabecikane kanthi nuwuhake thethukulan, palawija, palapendhem, tetaneman, sarta barang-barang pelikan kang pinangka dadi kas kayane kang padha mulasara.
2. Mulat Laku Jantraning Surya:
Dene wewatekane surya utawa srengenge iku tansah paring papadhang sarta aweh panguripan marang sadhengah tetuwuhan lan sato kewan lan sakabehing barang ing alam donya kang urip lan tansah mbutuhake cahya. Sing dak rembug iki bab mulat laku jantraning surya, iki beda lho karo crita perselingkuhane Bathara Surya ing jagading pewayangan. Bathara Surya niku dewa cluthak. Tiyang sajagad empun dha dhamang kalih sekar banjare Adipati Karna. Nalika lair procot dening Kunthi linarung ing lepen, amargi lare niku undhuh-undhuhane gendhak slingkuh kalih Bathara Surya. Hladalah! Gelah-gelahing bumi panuksmaning jajalaknat, mbelegedhes wani nglanangi jagad dhewe si Surya Sasangka kuwi
3. Mulat Laku Jantraning Kartika:
Kartika utawa lintang wewatekane tansah tanggon tangguh, sanadyan katempuh ing angin prahara sindhung riwut nanging ora obah lan ora gangsir, jare wong Jombang menter njoh!, tegese tangguh lan puguh, ora bakal mundur sajangkah prasasat kaya pasukan berani nekat. wani ning bandhane mung nekat, hopo hora sarap niku jenenge?.
4. Mulat Laku Jantraning Candra:
Candra Darusman kuwi jenenge penyanyi lan pangripta lagu. Lha candra sing iki tegese rembulan, wewatekane uga aweh pepadhang marang sapa bae kang lagi nandhang pepetenge budi, sarta aweh pangaribawa katentreman lan ora kemrungsung binti mbregudul. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
5. Mulat Laku Jantraning Samodra:
Samodra utawa segara iku bisa madhahi apa bae kang kanjog. Sanadyan ana sampah industri lan rumah tangga, bangke asu apa bangke wong ketembak bubar melu demo [gek wujude ya ora beda banget jan jane mono], kabeh ditampa tanpa nganggo ngersola lan serik. Mila keparenga Mastoni nyuwun sih samodraning pangaksami manawi wonten klenta-klentunipun anggenipun wawan rembag ing riki.
6. Mulat Laku Jantraning Tirta:
Wewatekane tirta utawa banyu tansah andhap asor. Tansah ngupadi panggonan kang endhek, mungguh patrap diarani lembah manah lan andhap asor. Iwan Tirta kuwi perancang busana, yen aku perancang tanpa busana, asyik kan bisa buat cuci mata? Kaya katrangan ing ndhuwur mau, Mas Iwan Tirta priyayine kok ya wewatekane padha karo tirta yakuwi andhap asor [sebabe dedeg piyadege wonge pancen ora dhuwur], apartemene cedhak karo apartemenku ing New York, kapan ya aku ana wektu dak golek lungsuran batike Mas Iwan.
7. Mulat Laku Jantraning Maruta:
Maruta uga diarani angin. Wewatekane tansah nalusup ing ngendi panggonan kaya mata-mata CIA, ing papan kang rumpil sarta angel klebu omah gedhe cet abang branang ing Beijing, nanging kabeh tetep ditlusuri ora ana kang kari. Mungguh tumrap lelabuhan, kepingin nyumurubi papan ngendi bae kang bisa diambah.
8. Mulat Laku Jantraning Agni :
Geni iku wewatekane bakal nglebur apa bae kang katon. Mungguhing tumrap laku bakal mbrastha apa bae kang dadi pepalang, ora nguubris babarpisan bakal anane SI suk awal Agustus. Hayo apa kang ora bakal lebur dening panase geni?
Bekti iku tegese panembah. Werdhine panembah tumanduking patrap kang jumurung marang santosaning jiwa, ati, rasa, lan budi pakerti, ora liya ya lajering rasa manteb lan jejeg netepi kwajibane. Pangerten Hasta Brata iki kang nuwuhake rasa nyawiji, jumbuhake rasa karsa lan cipta kang bakal hanjog marang wujuding karya.
Gumolonging patrap wolung prakara mau bakal nuwuhake sikep madhep manteb lan jejeg netebi dhawuhing Gusti Kang Akarya Jagad sarta ngedohi kabeh pepacuhe, tansah eling lan bisa nglarasake tumindhak karo kedale pangucap, angleluri watak sabar marang sakabehing pacoban kang tumiba, ora kepranan marang sakebehing gugon tuhon utawa anut grubyug, resik ing panyana, sepi ing pangira ala sarta lumuh ngupadi alaning liyan, lega lan narima dhumawahing pandum kanthi ora nglirwakake sengkuting pambudidaya.
Iya sikep mangkono mau kang bisa hambuka olah kridhaning rasa eling bisa lelumban ing tatanan pasrah tanpa sumendhe marang resiking nalar lan pamikir. Kanggo ngawekani laku supaya jumbuh karo gegayuhan sarta nuwuhake katentreman lan karahayon, padha bisoa nindhakake patrap liyane kang banget bisa hambiyantu nuwuhake larase bebrayan agung. Mangkono mau mungguh tuladha Hasta Brata kang pinangka piyandel sarta gegebengane Prabu Rama Wijaya kanggo ngasta pusaraning praja ing nagara Ayodya Pala.
By alang alang
========================
HASTA DASA PARATEMING PRAMU
NENEK moyang bangsa di Nusantara ini mempunyai beberapa pegangan untuk dipergunakan di dalam memimpin masyarakatnya. Kebanyakan sudah terkristalisasi dalam berbagai bentuk tembang dan juga nasihat luhur. Di antara yang paling menonjol adalah pegangan yang dipergunakan oleh Mahapatih Gajahmada ketika memimpin Majapahit.
Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu atau 18 ilmu kepemimpinan. Pitutur luhur ini pernah diterapkan Maha Patih Gajah Mada pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Seperti juga digelar di dalam Istana Jawa Org, ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut permulaannya disebut Wijaya. Artinya pemimpin harus mempunyai jiwa tenang, sabar dan bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan.
Yang kedua Mantriwira; Artinya pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun.
Ketiga Natangguan; Artinya pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
Keempat Satya Bhakti Prabhu; Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa.
Kelima Wagmiwak; Pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.
Keenam Wicaksaneng Naya; Artinya pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat.
Ketujuh Sarjawa Upasama; Artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa.
Kedelapan Dhirotsaha ; Artinya pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum.
Kesembilan Tan Satrsna ; Maksudnya seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih terhadap salah satu golongan, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk menyukseskan cita-cita bersama.
Kesepuluh Masihi Samasta Bhuwana; Maksudnya seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia Tuhan dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat.
Kesebelas Sih Samasta Bhuwana; Maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya.
Keduabelas Negara Gineng Pratijna; Maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya.
Ketigabelas Dibyacitta ; Maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya (akomodatif dan aspiratif).
Keempatbelas Sumantri ; Maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa.
Kelimabelas Nayaken Musuh ; Maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri.
Keenambelas Ambek Parama Artha; Maksudnya pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.
Ketujubelas Waspada Purwa Artha; pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri (introspeksi) untuk melakukan perbaikan.
Kedelapan belas Prasaja :Artinya seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana (Aparigraha), tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.
Pustaka Hasta Dasa Parateming Prabu: sebagai pegangan atau merupakan ajaran Maha Patih Gajah Mada
=========================================================
KEkimpoi ARJUNAWIWAHA
Bagian Pertama: Penulisan Kakimpoi
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakimpoi yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakimpoi), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakimpoi ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakimpoi.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka ) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk-hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa-brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakimpoi. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakimpoi Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun ke-bakti-an dari yang memuja.
Demikianlah Kakimpoi Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga-puluh enam pupuh dalam kakimpoi menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakimpoi, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakimpoinya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakimpoi (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakimpoi yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala-sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka-panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana.
Bagian kedua: Pembacaan Kakimpoi
(Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakimpoi Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang ke-jaya-an Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakimpoi ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan-hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. etika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa ke-ksatria-an Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta-kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap - siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata.Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1 - XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang- belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu-muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Bagian Ketiga: Pemahaman Kakimpoi
Adapun tujuan penulisan Kakimpoi Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakimpoi yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak apat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala ). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia ke-sakti-annya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening-jernih (alilang), bebas-lepas (huwa-huwa), dan bahagia-baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan ke-maya-an itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam ke-maya-an hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu ke-maya-an, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya-sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi-yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua-belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati ke-suwung-an (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati sukha tan pabalik dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran ke-sakti-an di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam-semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah-api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam-semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakimpoinya Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakimpoi tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakimpoi, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakimpoi melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia. (1996)
Catatan Pribadi - diambil dari ARJUNAWIWAHA - transformasi teks jawa kuna lewat tanggapan dan penciptaan di lingkungan sastra jawa - oleh I. Kuntara Wiryamartana - Duta Wacana University Press, 1990
=========================================================================
KIDUNG ARAS
Eling eling ingkang guling,
Aja lali lali nendra,
Wong turu adoh kang asih,
Aluk carem aneng gunung,
Cireme mengke tan sepi,
Panggaripta kang pamuji jati
bale aras kang sasaka mulya
kirun pisaka tengene
wanga kirun kang hatungu
saka kira panggere wesi
anolak lara ing badan
satru lawan musuh
panggere rijatullah
Ander-ander kulhu balik
kang linuwih ambalik sakehing lara.
satru musuh balik pada wedi
pamidangan baitul mukadis
kulhu balik pangarane
ambalik sakehing musuh
lara badan sami sumingkir
kang gering nulia waras
kang sengit den lutut
musuhe sang liman petak
ramajati jumeneng wali jasmani
mula ngagea petak
Duruwipun penerusing kursi
lungguhira sinurat ing tangan
penglebur lara kabeh
usuk-usu ing luhur ingaranan
telehing langit ya nabi muhammad kang wekasan
iku tutug dalu lawan siang kinajrihan
satru musuh pada wedi
iblis laknat sumingaha
Karya Kanjeng Sunan Kalijaga
===========================================
KIDUNG DARMAWEDHA
1. Ana pandhita akarya ing wangsit,mindha kombang angajab ing tawang ,susuh angin ngendi nggone ,lawan galihing kangkung ,wekasane langit jaladri ,isining wuluh wungwang lan gigiring punglu,tapaking anglayang ,manuk miber uluke ngungkuli langit,kusuma anjra ing tawang.
2. Ngambil banyu apikulan warih,amek geni sami adadamar,kodhok ngemuli elenge ,miwah kang banyu den kum,kang dahana murub kabesmi ,bumi panetak ingkang,pawana katiyub,tanggal pisan kapurnawan,yen anenun sonteg pisan anigasi kuda ngrap ing pandegan.
3. Ana kayu apurwa sawiji wit buwana epang keblat papat,agedong mega tumembe ,apradapa kukuwung kembang lintang segara langit ,sami andaru langit,woh surya lan tengsu.asirat bun lawan udan ,apupuncak akasa bungkah pratiwi oyode bayu bajra.
4. Wiwitane duk anemu candi,gegodhonganbmiwah wawarangkan.sihing hyang kabesmi kabeh ,tan ana janma kang weruh yen weruha purwane dadi .candi segara wetan ,ingobar karuhun,kahyangane sanghyang tunggal ,sapa reke kang jumeneng mung hartati ,katon tengahing tawang.
5. Aunung agung segara sarandil,langit ingkang amnegku bawana ,kawruhana ing artine ,gunung segara umung,guntur sirna amnegku bumi ,tug kang langit buwana,dadya weruh iku mudya madyaning ngawiyat,mangasrama ing gunung agung sabumi,candhi candhi sagara.
6. Gunung luhure kagiri giri,sagara agung datanpa sama,pasampun kawruhan reke,artadaya ounuku ,datan kena cinakreng budi,anging kang sampun prapta ing kuwasaning ,angadeg tengahing jagad ,wetan kulon lor kidul ngandhap myang nginggil ,kapurba wisesa.
7. Bumi sagara gunung myang kali,sagunging kang isining bawana,kasor ing artadayane ,sagaar sat kang gunung ,guntur sirna guwa samya nir,singa wruh artadaya,dadya teguh timbul lan dadi paliyasing prang,yeng lulungan kang kapapag wedi asih sato galak suminggah.
8. Jim perih prayangan samya wedih, mendhak asih sakehing drubiksa,rumeksa siyang dalune singah anempuh lumpuh,tan tumama ing awak mami kang nedya tan raharja,kabeh pan linebur,sakehe kang nedya ala,larut sirna kang nedya becik basuki,kang sinedya waluya.
9. Siyang ndalu,rineksa hyang widhi ,dinulur saking karseng hyang widhi,kadhep ing jalma kabeh,apan wikuning wikuwikan liring pujasamadi ,dadi sasedyanira mangunah linuhung paparab hyang tegalanang asimpen yen tuwujuh jroning ati,kalis ing pancabaya.
10. Yen kinarya atungguh wong sakit ejim setan datan wani ngambah rineksa malaekat ,nabi wali angepung sakeh lara samya sumingkir ,ingkang nedya mitenah ,maring awak ingsun ,rinusak dening pangeran ,eblis laknat sato marah padha mati ,tumpes tepis sadaya.
Karya Kanjeng Sunan kalijaga
==========================================================
SASTRA JENDRA (SERAT KALIMOSODO)
ISLAM
Satemene Rukun Iman iku wis ono sajerone Rukun Islam, dadi satemene kang kudu di Imani iku Rukun Islam netepi anane Rukun. Iman, iman marang Alloh, Kitab-e, Rosul-e, Malaikat-e, Dino Wekasan (Kiamat), Qodlo lan Qodar ( Takdir lan Nasib ), kudu biso kawedar ono sajerone lakune Urip anggone .mapakake anane Syahadat-e, Sholat-e, Poso-ne, Zakat-e lan Haji-ne, dadi Rukun Iman iku dadi dasar anane Rukun Islam.
1. Iman marang Alloh swt.
Iman marang anane Alloh ora amung sadermo nurut anane tembung jare, kudu biso ngudi dewe dununge Alloh, soko anane Syahadate, yen ngucap anane saksi kudu ngerti ope kang dadi wajib dedege manungso kang diangkat dadi Saksi, weruh dewe ope kang disakseni.
2. Iman marang Kitab-kitab Alloh.
Iman marang Kitab, ora sadermo biso moco lan ngerti terjemahane , kudu biso mawas kang tersurat utowo kang tersirat lan biso mapakake ono Uripe sarto , ngerteni opo kang dimaksud Pangeran nganti ngudunake / jarwakake tuntunan mau, koyo anane blegere Manungso Urip ono Jagad Royo iki, sabab opo kang dadi isine Kitab Al Quran Nul Karim mau yo anane isine Jagad Royo iki, sarine dadi Surat Al Fatikah yo anane wujud Manungso sarine Jagad Royo, dadi yen ngaku dedegi Umat Islam tuntunan soko Kanjeng Nabi Muhammad saw, yo kudu gelem ngakoni anane umat liyane kang isih netepi Urip sake anane laku Kitab kang luwih awal, koyo to yen isih ono Umat kang laku uripe netepi Tatanan Slamet sadurunge Kanjeng Nabi Daud as, utowo umate Kanjeng Nabi Daud as, mowo Kitab Jabur, umate Kanjeng Nabi Musa as, mowo Kitab Taurot, umate Kanjeng Nabi Isa as, mowo Kitab Injil, kabeh umat ing ngarsane Pangeran nyuwun anane ke-Slametan-e Urip yo anane Islam, Koyo anane umate Kanjeng Nabi Muhammad saw, Kang ke- Islam-anne wus kasampurnakake dene Pangeran, dadi kang kasebut Islam mau anane Umat anggone madep marang Pangerane nyuwun keslametan Uripe, biso kaperang netepi anane Ibadah, Sembahyang tan Sholat katerangake koyo ing ngisor iki :
a. Ibadah, anane Umat madep marang Pangeran sako anane Perilaku kang katindakake saben dinane, koyo wektu Umate Kanjeng Nabi Adam as, nganti satekane Umaate Kanjeng Nabi Daud as, koyo ucape para sesepuh biyen Ojo mlaku saliyane tindak kang becik , yoiku anane Ibadah.
b. Sembahyang, anane Umat madep marang Pangeran soko anane Perilaku lan Ucapan (omongan) kang katindakake saben dinane, koyo wektu Umate Kanjeng Nabi Daud as, nganti satekane Umate Kanjeng Nabi Muhammad saw, koyo ucape sesepuh biyen Ojo among - ngucap saliyane tembung kang apik , yo iku anane sembanyang.
c. Sholat, anane Umat madep marang Pangeran soko anane Perilaku, Ucapan lan Angen-angen kang katindakake saben dinane nyuwun anane keslametan Dunyo Akhirate, koyo ucape sesepuh biyen Ojo duwe angen - angen saliyane angen-angen kang becik , yoiku anane Sholat.
Dadi anane Umat madep marang Pangeran netepi Agomone kabagi anane soko tindak laku saben dinane ono 3 (telu) perkoro koyo ing ngisor iki :
1. Ibadah, yo Tingkahlaku dadi dasar Sembahyang ;
2. Sembahyang, yo anane Ucapan (omongan) dadi dasar Sholat;
3. Sholat, yo anane Angen-angen, jejege sake anane Sembahyang lan Ibadah.
Iman marang Kitabe Pangeran iku ono:
a. Kitab kang tinulis yo anane Kitab Garing, koyo to Kitab Jabur, Kitab Taurot, Kitab Injil, Kitab AI Quran Nul Karim lan sapanunggalane.
b. Kitab kang tersirat yo anane Kitab Teles, wujud sake maknane Badan saujud kite.
3. Iman marang Rosul.
Iman marang Rosul ing kono koyo iman marang Kitab :
a. Kang Garing, yo anane Kitab-kitab kang tinulis netepi ope anane lumrahe Urip, koyo kang wis kacaritakake ono sajerone Kitabe.
b. Kang Teles, ngerti anane Rosul iku sajatine Roso, sake anane Roso Rasane Urip Pangeran kang katitipake ,marang Umate, kanggo ngudi Jati Diri yo anane dedeg piadege Manungso manunggal marang Roso Urip, yo anane Roso soko Pangeran lan Umate, mengko ono beberane dewe.
4. Iman marang Malaikat.
Iman marang Malaikat, satemene kudu mangerteni yen Urip ing Jagad Royo iki ora dewe, ning akeh kang podo melu urip koyo bangsane lelembut kang pancen nyoto ono, bebarengan anane Pangeran anggone mujudake manungso, kanggo nguji imane manungso dewe-dewe, yen nganti kaliru bakal melu ono uripe lelembut mau, urip ono sajerone Alam Penasaran.
5. Iman marang Jaman Akhir.
Iman marang Dino Akhir yo Dino Pesti, yo anane Dino Wekasan, nyoto yen Manungso iku Urip ono Jagad Royo iki amung sadermo mampir ngombe disilihi Sandangan / Pangganggo, kudu ngerti ope kang dadi Wajibe Urip, Sunahe Urip, Makruhe Urip lan Larangan/Pantangan kanggo njejegi anane Urip kang Sampurno, iki wus ono sajerone Rukun Islam.
6. Iman marang Qodlo laD Qodar
Iman marang Qodlo lan Qodar, kudu mangerteni yen Uripe Manungso iku katulisake ono sajerone Kitab kang nyoto, Qodlo iku katulis ono sajerone Takdir Urip yo anane Tuntunane Urip ono Jagad Royo, sapo kang biso netepi anane Takdir Uripe bakal nemu Mulyo Dunyo - Akhirate, Qodar iku katulis ono sajerone Nasib Urip, jarwane opo kang dialami ono sajerone Uripe, iku wujud soko tindak - laku kang katindakake wus adoh soko anane Tuntunane Urip kang samestine, nyatane yen arep ono opo-opo Pangeran mesti maringi tondo luwih disik, dadi sing Eling biso netepi Takdire, yen Lali yo ono sajerone Nasibe.
Maknane Syahadat, yen karasakake ono sajerone netepi Wajibe Urip kang kudu dilakoni krona Alloh, ono sajerone urip ing Alam Dunyo, yen biso kabeberake iku kirokiro koyo ing ngisor iki :
a. Urip iku umpamane 100% (satus persen) kuwajiban soko Alloh;
b. Syahadat amung ono 95% soko Urip;
c. Sholat amung ono 5% ( limang persen ) soko Urip;
d. Poso amung ono seperapate soko Sholat;
e. Zakat amung ono sapertelone poso;
f. Haji amung ono separohne Zakat.
Ing ngisor iki ono pituture leluhur menowo dedeg wajibe lan larangan kang dumunung ono Rukun Islam kang kudu di Imani kacaritakake koyo ing ngisor iki :
a. Syahadat : Anane Mahayu Hayuning Bawono cilike Keluarga, larangane Madon ;
b. Sholat : Anetepi angen angen kang becik, ndedegi Pamikiran kang Agung netepi anane Sastro Jendro Hayuningrat kanggo ngudi laku kang becik, larangane Madat ;
c. Poso : Kuoso nota Rasane Urip, maknane ngerti manowo Urip amung sadermo nglakoni, yen wistiti wancine ora nggowo opo-opo, kabeh anane soko panyuwunan kanggo nyukupi kebutuhan keluargane kang wujud soko ngunggulake Drajat Urip keluargane, larangane Mabuk ;
d. Zakat : Madep mantep marang kuasane Gusti anggone njogo Kanugrahaan lan Rakhmat Pangeran marang barang Pribadi, anane ngluhurake Asmo larangane Main;
e. Haji : Tegen anggone mapakake Roso yo anane kumpule Urip Roso Pribadi marang Kuasane Urip Pangerane, kuoso njogo arum gandane asmo ono sajerone Urip, larangane Maling.
Yen gelem ngudi kaluhurane Urip ing Alam Dunyo tumekane Alam Akhir koyo unine ayat Robbanaa aatinaa fid dunyaa hasanataw wafil aakhiroti hasanataw wa qinaa adzaaban naar , kanti sabenere Manungso kudu mangerteni, lan mapakake opo sabenere Kalimat Syahadat iku, yen ora kaliru koyo kagambarake ing ngisor iki :
Laa ilaaha illallahu Muhammadur Rasuulullah ketemu anane :
1. HU mujudake anane Nur Illahi ;
2. Nur Illahi mujudake anane: a. Nur Muhammad,
b. Asma Alloh ono 99 Asmo lan Sifat Alloh ono 20 Sifat;
3. Nur Muhammad, Asmo lan Sifat Alloh mujudake anane Alam Dunyo saisine, yo anane Kitab AI Quran Nul Karim bebere wujud dadi Jagad Royo, sarine Kitab Al Quran Nul Karim bebere wujud anane Surat Al Fatikah, Surat Al Fatikah wujude makna dadi Badan Jasmani kito yo anane Jagad Dumadi, kang samestine isine Jagad Royo iku podo lan memper karo isine Jagad Dumadi yo anane Badan Jasad yo Badan Jasmani kito.
Ing kono Manungso bakal nemahi anane Urip lan Pati, mangerteni sejatine sopo kang Urip lan sopo kang Mati, biso kaematake koyo fig ngisor iki :
U r i p :
a. Arahe nunggal nyawiji, anane Tauhit, wujude urip Ikhlas - Sabar, koyo anane napas kito, gegambarane nafas wektu ono sajabane irung iku anane HU, yen wis ono sajerone irung nganti tekan gulu iku anane Allah, bareng ono sajerone dodo lan sateruse iku anane Urip kito soko Kanugrahane Pangeran yo biso kasebut wenange Pangeran wus kanugrahake dadi wenange Umat;
b. Sampurnane margo soko ngabekti marang Kaluargane, ngerteni yen Manungso ora biso wujud tanpo anane Bopo-Biyung kang kasebut Pangeran Katon, wujude toto - tentrem kasembadan kabutuhane.
c. Mulyane margo wus ketekan kekarepane, wujude biso nunggal marang Jatine Urip soko netepi Pangangen - angene nunggal marang panyuwunan ketemu keluhurane yo mapan ono sajerone Baitullah.
PAKUBUMI TANAH JOWO.
Ono sawijine tetenger soko Pinisepuh kang ono Gunung Tidar, wujud Tenger Pal pratelon mowo Sandi aksoro Jowo So kang kapendem saduwure Puncak kasebut Paku Bumi Tanah Jowo, mowo aran Nyi Ratu Roro Mangli, aksoro Jowo So mau ono 3 (te1u). aksara, yen ora keliru mowo maksud koyo ing ngisor iki :
a. Kang sapisan aksoro SO-l mowo maksud Sastro, kang wujud ono sajerone bebere Ponang Jabang Bayi kang isih ono sajerone kandutan si Biyung iku anane Sastro, yo kasebut Garis Panguripane si Jabang Bayi, anane Sastro sajabane Garis Takdir lan Nasib.
b. Kang kapindo aksoro SO-2 mowo maksud Sugih, kang mujudake anane dedege Ratu Rumah Tangga yo Ibu Rumah Tangga unine Sugih, Sugih iku titi wancine Panyuwunane si Biyung wektu ndedege isi kang kasebut Purborangrang kanggo Anak Bojo lan Putune, biso nyukupi kabutuhane kaluargane.
c. Kang kaping telu aksoro SO-3 mowo maksud Sandi, kang wujud ono sajerone lambe barange wong wadon, anarik rasane si kakung (lanang) kasebut Sandi yo anane Wadi, asline wujud sake buah Quldi, awal anane Roso kang biso mujudake anunggale Rasane Pangeran. Sandi yo Wadi iku Rasane Pangeran kang dumunung ono Manungso, kudu biso nunggal misah Roso Rasane Manungso kalawan Roso kang kasinungan Rasane Pangeran yo anane Roso Rasane urip Manungso Sejati, njejegi anane Kawulo marang Gustine.
Tetengeran mau kasebut aran Nyi Ratu Mangli, aran mau anane tembung sanepan kang mowo maksud kurang luwih Ojo Pangling utowo Lali, manowo Urip sajatine wis ono kang nota lan ngersakake, Manungso among sadermo anglakoni.
Sake tatanan mau kite bakal mangerteni awal anane Pangeran anggone mujudake Manungso, netepi :
A. Tatanan aksoro SO-1. koyo ing ngisor iki :
1. Wektu Wiji sake Bopo lan Biyung ketemu ing keno Pangeran ngudunake Wahyu Nungkat Gaib, yo anane Wiji Kang Samar, kang wujud sake Roso Rasane Pangeran, wujude Wahyu Gaib mujudakake anane ROSO KANG AWAL sake anane Manungso;
2. Wiji mau banjur wujud setetes Getih yo anane Rah, ing keno Pangeran ngudunake ROH, yen satemene yo ing wektu iku Pangeran nyiptakake anane Bongso JIN, setetes Getih mau banjur wujud dadi segumpal Getih, ing wektu iku anane Alame SETAN - IBLIS ;
3. Soko segumpal Getih banjur wujud dadi Segumpal Daging, ing kono Pangeran ngudunake NYOWO bebarengan mapakake anane Wahyu Doyo Gaib, kang satemene Pangeran nyiptakake anane Bongso MALAIKAT ;
4. Sabanjure segumpal Daging wujud gegambaran Bayi soko anane Pangeran mujudakake Sungging Purbangkoro kang satemene soko anane Neptu Gaib mujudake anane SASTRO, yen ing Kuno biso kasebut Sastro Jendro Hayuningrat; Mahayu Hayu ning Bawono , yo anane Dino Pesti ;
5. Gegambaran Bayi banjur wujud anane Bayi kang sampurno, ing kono Pangeran mapakake anane ATMO yo anane Alame ASMO, Asmo kang wujud soko anane LELUHURE ;
6. Bayi lahir Sampurno, ing kono soko anane Wahyu Panguasane Gaib, yo mudune Kanugrahaane Pangeran kang wujud Sukmo, yo anane Uripe si Bayi, bayi banjur ngekarake derijine nuduhake yen Wahyu Neptu Gaib wus nunggal nyawiji, ing kono asline Pangeran ngudunake Wahyu Nungkat Gaib wus nunggal wujud ono sajerone badan saujude si jabang bayi, satemene Wahyu Nungkat Gaib mau wujud soko anane Nur Muhammad, kang bakal wujud dadi Nurcahyo yo Drajat Urip si Bayi.
Yen nurut gegambaran soko Surat Al Fatikah :
1. Ayat 1, ayat 2 lan ayat 3 ing kono anane Sukmo-yo Urip nguripi Umate ; soko Pujine Jagad
Royo marang Pangeran kerso ngudunake Umate ing Alam Dunyo, krona Welas - Asih kanggo netepi Kratonan Jagad Royo, Manungso Kawenangake dadi kalifah ing Alam Dunyo, manowo sampurno Syahadate, bab iki kang wenang amung Pangeran.
2. Ayat 4 fig kono satemene anane Jiwo, soko wujud nunggal nyawiji anane :
a. Atmo yo alame Asmo netepi leluhure wektu Urip.
b. Nyowo yo alame Tetanduran mujudake Rojo Kayon mapane Bebalungan.
c. Roh yo alame Kekewanan, mapan ono Rah - Getih, banjur sumrambah ono Badan Jasmani saujud mowo tandane Urip.
Nuduhake manowo soko Kersane Pangeran Manungso iku wewujudan soko nunggale :
a. Rah yo alame Kekewanan dadi Rajane Kekewanan.
b. Roh yo alame Jin-setan dadi Rajane Jin - Setan.
c. Nyowo alame Tetanduran dadi Rajane Rojo Kayon yo anane alame Malaikat.
d. Atmo yo alarne LeIuhur, wenang nyarnpumake; patine LeIuhure. Bab iki anane wenange Pangeran kawenangake dadi wenange Umate.
3. Ayat 5, ayat 6, ayat 7 ing kono anane Roso kang awal yo Roso Rasane Pangeran, kanggo mujudake Roso Rasane Manungso, yen antuk Makrifate Al Fatikah bakal mujudake anane Roso Rasane Urip Manungso Sejati, margo soko UIah-Laku Umat anggone netepi Urip ono ing Alam Dunyo, lan biso mangerteni anane ke Dholiman ora nunggal marang Uripe, dadi wenange Umat, kang satemene bebering Roso iku biso kapilah ono:
a. Roso kang awal yo Roso Rasane Pangeran, kang nuntun sawemane Roso.
b. Roso kang soko anane Alarn yo anane Roso Sejati - Sejatine Roso.
c. Roso kang soko anane Poncodriyo, yo anane Roso soko babahan Howo Songo .
d. Roso Kang soko anane Sifat Aluarnah, Mutmainah, Amarah, Supiyah.
e. Roso soko Alam, Poncodriyo Ian Sifat yen kakumpulake banjur biso wujud dadi Roso Rumongso.
f. Kabeh Roso mau yen biso katunggalake nyawiji banjur wujud dadi Roso Rasane Urip Manungso Sejati.
B. Tatanan Aksoro SO-2 koyo ing ngisor iki :
Kang dimaksud Sugih, ing kene netepi anane Uripe Manungso kang wis biso mapakake Janjine Pangeran yo anane Urip Jejodohan, Sarnpumo mapakake Rasane Urip yo mekare ( makrifat ) Syahadate, bakal nemahi Kamulyane Urip yo anane soko bekti marang Wongtuwo sakloron, Morotuwo sakloron wujud dadi anane Pepuden ing lumrahe kasebut Punden Kang samestine ing wektu iku anane Pangeran mujudake dedeg piadege Wahyu Purbojati, Wahyu Purborangrang, Wahyu Purbosari.
a. Wahyu Purbojati anane wektu si kakung mujudake dedeg piadeg dadi Kepala KeIuarga.
b. Wahyu Purborangrang anane wektu si isteri mujudake dedeg piadeg dadi Ratu Rumah Tangga.
c. Wahyu Purbosari wujud soko panyuwunan si Kakung lan isteri marang Pangerane mujudake anane anak lan dunyo brono, kang satemene ono mudune Wahyu Jodoh, Wahyu Drajat, Wahyu Rejeki kang kasebut anane Wahyu Dorodasih.
C. Tatanan aksoro SO-3 koyo ing ngisor iki :
Kang dimaksud Sandi utowo Wadi iku satemene dedeg piadege ROSO netepi ono Rasane Pangeran, anane Wiji Kang Samar yo Wahyu Nungkat Gaib, mapane ono sajerone Lambe Barange Wong Wadon krona anane buah Quldi, awal anane kedholirnan, kamongko sapo bae yen netepi Among Nunggal Roso ( Senggomo ) yen ora kaawali sake anane Syahadat ing keno iku kalebu laku DHOLIM, kadadeyane bakal anane rusake Jagad Royo, yen kabeh podo ora ngerti maknane Syahadat (isine Jodoh) ono Uripe bakal anane Kiamat.
Satemene Sandi lan Wadi mau ono soko Lakune Pangeran, kang Nglakoni Umate, ning ora kabeh laku Among Nunggal Roso kedunungan Sandi lan Wadi, yen kajarwakake mowo maksud Among Nunggal Roso iku satemene laku ono sajerone Sifat Dholim kang samar.
I. DINO LAN PASARAN
Iki tatanan kang nuduhake arahe Urip kang kawoco sake anane Dino lan Pasaran, kang kawoco soko anane tatanan Neptu Goib ono ing Dino :
1 Jumat Wage = Jowo,
2 Ahad Lagi = Allah,
3 Seloso Pen = Sapo, koyo kasebut ing ngisor iki:
I. Jumat Wage
= Jumat
: huruf awal Jo =- neptune = 6
Neptu = 10 = Wage : hurul awal Wo - neptune = 4
Yen huruf awal kajumbuhake muni Jowo, kang mowo maksud hakekate Urip, yo maknane Urip, dadi kang dimaksud Jowo iku yo manungso kang ngerteni Sejatine Urip ing Alam Dunyo, ngerti anane Islam yo Slamete Urip ono ing Alam Dunyo yen ora kaliru ngerti bebere Kitab Layang Kalimosodo yo anane Syahadat kang turun ono Tanah Jowo dadi tuntunan anane serat Sastro Jendro Hayuningrat, Mahayu Hayuning Bawono, yo tuntunan Urip marang Perilaku kang nuduhake anane Hak lan Wajibe Urip, dadi kang kamaksud Jowo ing kene dudu Pawongan Kang lahir ono ing tanah Jowo utowo Suku Jowo.
Jumat Wage, Ahad Legi, Seloso Pen kabeh Neptune yen kagunggung ono neptu 10 anuduhake anane kabeh kang wis Kaciptakake dene Pangeran ing Alam Dunyo iki yen kagunggung nurut kasatuanne yo among ono 10 macem koyo kasebut ing ngisor iki :
1. Lemah / tanah 6. Tetanduran
2. Banyu 7. Kekewanan
3. Geni 8. Jin, Setan, Iblis, lelembut
4. Angin 9. Malaikat
5. Watu/Bebatuan ( Wesi, emas, 10. Pawongan (Wong, Tiyang, Manungso)
Yen Jumat neptu 6 ing kono anane soko rukun Iman, yo biso kasebut soko anane wadah, dadi Dino iku mujudake wadah, lan yen Wage neptu 4 ing kono anane sedulur 4, yo anane isi, dadi Pasaran mujudake isi. Kaumpakake Wadah iku Jasad, isi iku Rogo, ing kono iku ketemu :
- Wadah = Jasad anane Badan Kasar - Jagad Royo - Kitab AI Quran
- Isi = Rogo anane Badan Alus - Jagad Dumadi - AI Fatikah.
Manowo kawoco soko gebyar lan gumelare Jagad salumrahe, ing kono ketemu anane dedeg piadege Wahyune Kaluarga kang dadi isine wujud Wahyu Purbo Jati, Wahyu Purbo Rangrang mujudake anane Wahyu Purbo Sari, kang nyoto wujud soko isine Neptu 6 ono ing Dino Jumat wujud dadi :
1. Kemanten sakloron = 2
2. Wongtuo sakloron = 2
3. Morotuo sakloron = 2, yen kagunggung kabeh ono 6.
yen ing Pasaran Wage wujud soko anane
1. Sandang - pangan.
2. Papan - Pomahan.
3. Anak, Dunyobrono.
4. Luhure Kaluarga, yo isine Keluarga Sakinah ma Warda wa Rohma yo anane Drajat Dunyo Akhirat.
Yo ing isine dino Jumat Wage iki awal bebere Kalimah Syahadat awal dedeg adage Islam ono sajroning Ati - Nurani Manlingso.
Yen Jumat neptu 6 ing kono anane rukun Iman, lan yen Wage neptu 4 ing kono ugo biso kagambarake cagak 4 utowo awal anane anasir 4 perkoro yo anane Bumi, Banyu, Geni lan Angin, anane Manungso manembah marang Pangerane soko Percoyo - Yakin - Iman marang Rukun Iman :
1. Allah, ono anane, kabeh wujud soko Kekarepan - Kehendak kang Nyoto Tulisane.
2. Kitab, a. ganng : a. Kitab Jabur - Nabi Daud as.
b. Kitab Taurot - Nabi Musa as.
c. Kitab Injil - Nabi Isa as.
d. Kitab Alquran - Nabi Muhammad saw.
b. teles : a. Garis Takdir, katulis among sepisan ora kaambalan maneh.
b. Garis Nasib katuIis soko Tindak Laku, Pakaryan lan obah - musike Kekarepan Urip Manungso.
3. Nabi Lan Rasul
4. MaIaikat, Jin - setan
5. Kiamat, Hari Akhir
6. Qodlo - Qadar, anane Takdir -Nasib wujude hukum Sebab - Akibat.
Cagak 4 wujud soko Anasir awaI, yoiku Lemah/Tanah, Banyu, Geni lan Angin kang nuwuhake anane :
a. LemahjTanah netepi Sifat Aluamah, anane Sabar - Narimo, wujud uripe soko kagowo Serakah
b. Banyu netepi Sifat Mutmainah, anane Adil, timbang Pamikirane, wujud uripe soko kagowo Iri Drengki.
c. Geni netepi Sifat Amarah, anane Perkoso, anduweni Doyo - kekuatan, wujud uripe soko kagowo Murko Nesu.
d. Angin netepi Sifat Supiyah, anane Adek Pribadi - Mandiri, wujud uripe soko kagowo Sombong Angkuh.
Kaumpamakake Iman iku Kusir, Cagak 4 (papat) iku Jaran 4 (papat), kang playune nurut kekarepane dewe-dewe, sing kelir ireng playune ngalor tok, sing kelir putih playune ngetan tok, sing kelir abang playune ngidul tok, sing kelir kuning playune ngulon tok, Bendi-ne wujud soko anane Badan, Playune wujud soko Ragane tujuane netepi anane kekarepan.
Dino Jumat dadi dino kekeran poro Nabi - WaIi, nyoto soko anane Sholat sunat Jumat, ing kono margo soko Kanugrahane Pangeran Kang Moho Agung, kanggo Umate supoyo gelem Eling marang anane Tatanan Urip Bebrayan ing Alam Dunyo.
II. Ahad Legi : Ahad : huruf awal A - Neptune = 5
Neptu 10 : Legi : huruf awal LA - Neptune = 5
Yen huruf awal kajumbuhake muni Allah yo anane Pangeran, manungso wajib ngawruhi sopo sejatine Pangerane, ing dino Ahad Legi iki anane awal mbukak kawruh kang wis kasebut ono sajrone wawasan Ahad Legi.
Ahad neptu 5 gegambaran soko sedulur Papat ke Limo Pancer, wujud nunggal dadi Badan Kasar, kasebut njobo.
Legi Neptu 5, ono anane njero yo Badan Alus wujud soko anane :
1. Roso : soko Sifat Aluamah, Mutmainah, Arnarah, Supiyah, lsp.
2. Roh : soko manunggale Uripe Kekewanan.
3. Nyowo : soko manunggale Uripe Kekayonan yo Tetanduran.
4. Atmo : soko Gondo Arum Asmane ( sampurnane Budi - Luhur / Ahlak yang terpuji Umat ) alame Asmo Leluhure.
5. Sukmo : soko Kanugrahane Pangeran.
Ing ngisor iki satemene anane tatanan Roso kang dumunung ono sajrorie Badan saujude Manungso :
A. Roso : 1. Rasana Pangerane.
2. Roso Sejati yo Sejatine Roso, Roso kang wujud soko manunggale Roso Rasane Jagad Dumadi marang Roso Rasane Jagad Royo koyo to:
a. Uyah iku asin, asin durung mesti anane uyah,
b. Gulo iku legi, Legi durung mesti anane gulo,
c. Asem iku kecut, kecut durung mesti anane asem.
3. Roso Poncodriyo
a. Pangroso /Pangucap,
b. Panggondo,
c. Pandulu, d. Pangrungu,
e. Pangrobo.
4. Roso kang wujud soko anane manunggale Roso Sifat Aluamah, Mutmainah, Amarah, Supiyah.
5. Rasane Umat yo anane Roso Rumongso kang wujud soko kemampuane Umat anggone nunggalake Roso Rasane Pangeran, Roso Poncodriyo, Roso Sejati - Sejatine Roso, Roso soko anane Sifat Aluamah, Mutmainah, Amarah, Supiyah wujud nunggal ono ing anane Laku yo anane Tingkah Laku Budi Howo saben dinane kang bakal mujudake anane Akhlak kang minulyo.
6. Roso Rasane Urip Manungso Sejati, wujud soko nunggal nyawiji anane sakabehe Roso kang kasebut ing duwur mau.
Soko kawruh kang wis kabeber ing duwur, kito biso anglakoni nunggalake Rasane Umat wujud nunggal marang Rasane Pangeran sake wujud jumbuhe angen-angen lan nunggale kekarepan.
A. Roh : Roh iku Uripe Kekewanan kang nunggal marang Badan saujude Manungso, ananne Kanugrahan soko Pangeran kanggo netepi Serat Sastro Jendro Hayuningrat, Mahayu Hayu Ning Bawono.
B. Nyowo : Nyowo anane Uripe Tetukulan / Tetanduran kang nunggal marang Badan saujude Manungso, anane Kanugrahan sake Pangeran kanggo netepi wajib mapakake Serat Sastro Jendro Hayu Ningrat, Mahayu Hayu ning Bawono.
C. Atmo : Atmo iku Alame Asmo, wujud nunggal marang Manungso sake Dino kalahirane lan tetengeran yo Jeneng yo Aran kang sinebut sake Wongtuwane, kang kudu rinekso Manungsane supoyo biso anggondo Arum.
D. Sukmo : Sukmo yo anane tetengeran soko Pangerane kanggo papan nunggale Kawulo Gustine.
Soko katerangan ing duwur mall manungso biso njupuk Hak sake Pangeran yen manungso mau wis biso nglakoni kang dadi wajibe, yo soko wis biso anglakoni anane Mahayu Hayuning Bawono.
Roh iku Uripe Kekewanan kang nunggal marang Badan saujude Manungso, anane Kanugrahan sake Pangeran kanggo netepi wajib mapakake Serat Sastro Jendro Hayu Ningrat, Mahayu Hayu ning Bawono.
Ahad Legi yo biso kawoco A iku anane Ho lan Le iku anane La koyo kasebut ing ngisor iki :
1. A Aku : Aku anane Pangeran, kang mengku anane Kitab Serat Layang Kalimosodo,
2. La Laku : Laku, lakune Manungso ono sajrone bebering Kitab Serat Layang Kalimosodo,
Pangeran kang mengku Karep nunggal marang Kekarepanne Manungso mujudake gegayuhan kang kinarepake manungsane.
Kang biso nunggalake lan ngerteni wektu Badan Kasar nunggal marang Badan Alus kudu biso netepi anane Wahyu Trias Wiji yoiku sake :
a. Tekun, anane nota nafase,
b. Temen, anane tingkah lakune,
c. Teliti, marang satindak - laku lan obah musike kahanan,
d. Awas, marang anane Gudo - Cuba - Pengaruh - Gangguan,
e. Sabar, marang sepapadane Urip.
Bakal biso ketemu marang Alam Kelanggengane yo Mulyane Urip ing tembe.
III. Seloso Pon : Seloso : huruf awal So - Neptune = 3
Neptu 10 : Pon : huruf awal Po - Neptune = 7
Yen huruf awal kajumbuhake unine Sapo, ing kene mowo maksud Manungso wajib ngawruhi sapo Sejatine Pangerane lan sapo Sejatine Manungso, opo kekarepanane Pangeran kanti sake Kanugrahane Manungso mudun Urip ing Alam Dunyo, opo kang dadi Hak-e Manungso ing Alam Dunyo lan opo kang dadi Kewajibane Urip ing Alam Dunyo.
Sejatine Pangeran lan Sejatine Manungso yen ora kaliru kasebut koyo ing ngisor iki:
1. Dzat-e Hu ayang-ayangane wujud dadi Dzat-e Alloh yo kasebut Dzat-e Pangeran.
2. Dzat-e Alloh yo kasebut Dzat-e Pangeran, ayang-ayangane wujud dadi Nur Muhamnlad yo kasebut Wahyu I Sukmane Jagad Royo.
3. Nur Muhammad yo kasebut Wahyu / Sukmane Jagad Royo, ayang-ayangane wujud nunggal dadi Jasad, sake Kanugrahane Pangeran dadi Badan saujud-e Manungso.
Koyo wektu Pangeran nyipto anane Kanjeng Nabi Adam as., sake ruwet krenteg-e Urip, Pangeran nyipto anane Ibu Howo kanggo netepi Sampumane Urip Manungso, sake Sampurnane Urip Manungso kanggo netepi Gumelare Urip, Kanjeng Nabi Adam as. lan Ibu Howo kaudunake ono ing Alam Padang yo anane Alam Dunyo soko Kanugrahane Pangeran.
Soko kaweruh ing duwur, ing keno ono anane sarine Gumelare Drip kang awal koyo ing ngisor iki :
1. Hu netepi anane Alloh, banjur Nur Muhammad netepi isine Jagad Royo, banjur anane Manungso. Ing keno ketemu anane ongko 3, kang dadi Neptune Dino Seloso, yo anane Wadah Panyuwunan.
2. Netepi anane Gumelare Urip ing Alam Dunyo turun remuntun ketemu anane, Cukul - Ngendok - Manak, ing kene ketemu ugo anane ongko 3, kang dadi Neptune Dino Seloso.
Satemene Pangeran ora anduweni Karep opo - opo sake anane Manungso, amung ing keno ono anane Geter-e Urip, kang katuntun sake anane Serat Layang Kalimosodo, Kanugrahane Pangeran kanggo adeg - dedeg Urip Bebrayan ing Alam Dunyo, netepi Gumelare Urip Manungso.
Soko Geter-e Urip lan anane Serat Layang Kalimosodo, ing keno wis wujud anane Hak kang ono anane soko lakune Urip Manungso, katuntunake sake Kanugrahane Pangeran ono ing :
1. Serat Al Fatikah, satemene wujud Pasemon sake Lakune Urip Manungso, kanggo netepi Urip Bebrayan ing Alam Dunyo, netepi Wajib-e Urip koyo ing Serat Sastro Jendro Hayu Ninggrat, Mahayu Hayu ning Bawovo, kang utomo Tapak Laku yo obah - mosike Budi - Howo ono ayat Ihdinash shirothol mustaqim lan Ghairil magdhuubi alaihim wa ladhdhaalliin , ing Serat Al Fatikah iki ketemu anane ongko 7, soko anane ayat Serat Al Fatikah kang dadi Neptune Pasaran Pon yo ono ongko 7, netepi wujud isine Urip yo Drajat-e Urip ing ngarsane Pangerane.
2. Doa Sapu Jagad Robbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanataw wa fil aakhiroti hasanataw wa qinaa adzaaban naar ing kene soko isine maksud dadi arahe Urip Manungso ing ngarsane Pangeran, Slamet Dunyo - Slamet Akhirat, soko anane Slamet Akhirat ono ongko 7 kang nyebutake anane Swargo lapis 7 Neroko lapis 7. ongko 7 dadi isine neptu Pasaran Pon, yo anane arahe isine Urip.
Soko anane kawruh ing duwur, kang nerangake anane Urip lan Pati, nerangake anane Tatanan Slamet yo anane Tatanan Islam.
M a t i
a. Papane Ikhlas, ketemu Lego - legowo.
b. Sampurnane ono 5 perkoro :
1. Sing mati Poncodriyo.
2. Kang teko Pesti.
3. Kang lunggo Sukmo.
4. Kang bali Jasad/Badan/Dzat.
5. Kang ditinggal Asmo.
c. Sesebutane iku ono 4 perkoro :
1. Mati manyasar.
2. Mati manyusup.
3. Mati manitis.
4. Mati manatas.
Anane gegambaran mau biso kawoco manowo Pangeran anggone nyipto Manungso ora sadermo Kun fayakun , mbutuhake wektu yo anane Neptu kang jlimet koyo Kersane, amarga Manungso kadadekake Kholifah / Pemimpin ing Alam Dunyo, sapo kang kliru anggone nemtokake anane Urip yo ketemu ke1iru anggone mbalik marang asale.
Koyo salah sijine carito kang keno kaematake ono ing ngisor iki :
Wektu Kanjeng Nabi Muhammad saw ono sajroning Miraj, Pangeran ngandikan soko walike Tirai / tabir,. Tirai / tabir iku anane soko asta / tangan sak kloron, sak temene kang kasebut Tirai / tabir iku sajatine yo anane Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo, dunung ono epek-epek tangan kiwo lan tengen, nulis pakaryane, sarto epek-epek suku / sikil kiwo- tengen kanggo nulis tingkah-laku kang katindakake saben dino, supoyo kito Urip ono sajeroning Alam Dunyo iki biso tansah waspodo tan ngati-ati, koyo kang kasebut ing ngisor iki :
1. Ati-ati ojo gumampang ndedegi urip ing Alam Dunyo ( Marcopodo - ono tengah), amarga anane urip ing clam dunyo kudu biso njejegi sifat adil, kuwoso ngatur urip pribadi soko bebering Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo, supoyo ora gampang keblidru marang samubarang kang durung mesti anane, amarga Kalimah Syahadat yo Kitab Layang Kalimosodo iku sejatine Tulisan Takdir kito kang wus dikersakake netepi Kamulyane Drip, yen Tulisan Nasib amarga soko kito mburu Nepsu lan keblidru marang samubarang kang durung mesti anane amarga kurang Imane.
2. Kang katoto ono tengah sajatine dedeg bebering Kitab Layang Kalimosodo, yo anane Kahanan Drip kito Pribadi ono lakune Urip, lakune Urip nunggalake anane Jagat Royo marang Jagat Dumadi sampurno wujud sajerone ono anane Alam Kelanggengan .
3. Amargo anane Urip iku kudu mangerteni Dedeg Urip Pridadi marang Dedeg Uripe Kaluargo kaembanake marang Wujud Gumebyar gelar Cahyone Urip, yo anane Kawibawan kito Pribadi
4. Urip Pribadi mangerteni sapo sing njaluk mangan-ngombe, ono kadedayan ope sajrone mangan lan ngombe, sarto wujud ngrungkepi rage dapi ope ?
a. Sing njaluk mangan lan ngombe iku anane Aluamah sifate Bumi, kudu biso rumekso Uripe, anane wujud kuoso nyukulake wiji kekarepan lan biso nyukupiopo kang dadi isine pangangen - angen sarto mujudake ono anane Gumelare Urip, mapake anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Jalal, yo dedege Gusti Kang Moho Agung, kuoso ngayomi Urip Pribadi, Urip Kaluargane.
b. Sing mangan lan ngombe iku anane Mutmainah sifate Banyu, kudu biso ndedegi kuwasane Gusti Kang Moho Adil, ora gampang kasemsem marang kaindahane Jagat Royo, ora melik marang barang kang durung mesti Hak anane, mapakake Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Jamal, mumpuni gawe ka-Elokane Jagat, kuoso note anane wujud sarine pangangen - angen biso gumebyar sanaliko, netepi sampurnane Rogo Sejati kanggo nyukupi kabutuhan Kaluargane.
c. Sajroning mangan lan ngombe ono kadadeyan sake anane Amarah sifate Geni, sajrone urip kudu biso mapakake Santosane Urip, ora ambeg siyo marang liyan, biso dadi panunggule bebrayan, yo anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Kahar, mumpuni ing gawe mujudake ka-Wisesane Gelare Urip Pribadi kito marang ka-Santosane Urip Kaluargo.
d. Sajroning mangan lan ngombe ono wewujudan sake anane Supiyah sifate Angin, sajroning urip kudu biso mapakake dedeg urip pribadi kito kang unggul ing drajat, ora gampang keno owah gingsir ono sajrone gelare urip yo obah musike jaman, yo anane Sifat Gusti Kang Moho Suci kang asifat Kamal, biso dadi Pepujine Urip ing Jagat Royo soko anggone biso Sampurno note Urip Kaluargane lan Urip Pribadi kito ono ing bebere Kitab Layang Kalimosodo.
e. Kumpule ope kang dipangan lan diombe mapakake anane Gondo, sumrambah ono sajrone Rogo nguripi anane Doyo - Roso, mujudake anane nungale niyat ono sajrone angen - angen ngrungkepi mantepe karep, biso wujud gumelar keturutan kang dadi panyuwunane, unggul drajat uripe. Ojo nganti keliru utowo kasemsem marang gumebyare ka-Elokane kekarepan, ben biso Mulyo Urip ing Dunyo Akhirate.
Ojo nganti kasemsem marang ka-Indahane wewujudan kang Elo,k asal soko Aluamah, Mutmainah, Amarah tan Supiyah ben ora keduwung ing tembe mburi. Sajatine mangan lan ngombe iku wewujudan awal nunggalake anane Jagat Royo marang Jagad Dumadi supoyo biso karoso Panguasane Jagad Royo ono sajrone Rogo, menowo teller kudu kalarasake marang Nafas netepi anane Geter, Gerak, Pangucap, lan Pangawasane Urip Pribadi kito nunggal nyawiji ono sajrone Urip Sejati.
A. Nafas ono ing (tanpo eling)
1. Wadug : Uripe Bumi, nguripi Aluamah anane Serakah.
2. Ginjel : Uripe Banyu, nguripi mutmainah anane Iri drengki.
3. Paru paru : Uripe Angin, nguripi Supiyah anane Sombong jumawa.
4. Jantung : Uripe Geni nguripi Amarah anane Sereng murko.
5. Ati : Uripe Watu, nguripi kang ngaku Jati Diri anane Pengkuh kaku .
B. Nafas lungguh mapan ing ( eling )
1. Wadug : Netepi eneng- ening mujudake sifat Dermo Sabar.
2. Ginjel : Netepi eneng-ening mujudake sifat Samudono sembarang gawe biso.
3. Paru paru : Netepi eneng-ening mujudake sifat Mengku Drip, Ngayomi.
4. Jantung : Netepi eneng-ening mujudake sifat Wiseso, Santoso Uripe.
5. Ati : Netepi eneng-ening mujudake sifat Kuoso, Sampurno nota Uripe.
=====================================================================
SANGKAN PARAN
SANGKAN PARAN #1
Wacana Paraning Dumadi yang dikirimkan ke saya dan kemudian saya teruskan kepada para sejawat semua kiranya perlu menjadi perhatian kita semua. Marilah kita sama-sama menelisik kawruh murni-nya leluhur kita tersebut dengan ketulusan demi bisa terwariskan kepada anak keturunan kita sendiri.
Telah kita ketahui bersama, bahwa ngelmu-ngelmu Jawa sangat jarang yang dipaparkan secara tertulis dengan gamblang. Kebanyakan dengan simbul-simbul yang benar-benar rumit untuk dipahami secara awam. Terlebih-lebih tentang ngelmu- ngelmu yang sangat penting dan mendasar sebagaimana Kawruh Sangkan Paran.
Kita tidak tahu mengapa hal itu terjadi. Bahkan pemahaman yang terwariskan kepada kita telah memposisikan ngelmu-ngelmu tersebut sebagai sinengker yang artinya tidak boleh dibicarakan secara umum. Perlu prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dilakoni oleh orang yang berkehendak mempelajari dan memahami. Maka akibatnya bagi awam terposisikan untuk manut miturut mengikuti para sesepuh yang diyakini telah mampu menguasai ngelmu-ngelmu rungsit lungid tersebut.
Sinengkernya ngelmu-ngelmu Jawa tersebut menjadikan kebanyakan orang Jawa awam merasa terjauhkan dari Kawruh Ajaran Hidup warisan leluhurnya sendiri. Kemudian memilih untuk mengikuti Ajaran Hidup dari luar yang disebarkan dengan intensif dan gampang. Bahkan untuk menjadi tokoh ajaran hidup yang dari luar itupun tidak banyak prasyarat yang harus dipenuhi. Oleh karena itu menjadi wajar ketika nuansa Jawa di saat ini terkesan sudah berubah menjadi Barat dan Timur Tengah.
Keinginan Ki Djoko Wiro dalam mewacanakan Paraning Dumadi membuktikan bahwa sesungguhnya ada keinginan-keinginan di kalangan masyarakat Jawa terpelajar untuk bisa memahami Kawruh Ajaran Hidup yang asli miliknya sendiri. Beliau yang telah yuswa dan mengenyam asam garam kehidupan nampaknya kurang sreg dengan diskripsi ajaran hidup (agama) yang dari luar. Namun menjadi gamang ketika mencoba mengikuti penekunan spiritual Jawa yang ada (Aliran Kepercayaan). Kiranya banyak kadang lajer Jawa yang seperti Ki Djoko Wiro tersebut.
Ketika saya kepingin urun rembuk untuk mengkaji berbagai ngelmu Jawa, maka kendala yang terjadi ada pada bahasa. Pada kenyataannya memang sangat sulit menyam-paikan paparan kawruh kejawen dengan bahasa Indonesia. Padahal bahasa Jawa untuk ngelmu-ngelmu tersebut sudah banyak yang kurang paham lagi. Serat-serat kapujanggan misalnya, bahasanya sudah jarang dipergunakan awam pada masa sekarang ini. Lagian disusun dalam bentuk tembang-tembang. Maka jarang orang paham isinya meskipun ketika berkesenian nembang macapat begitu fasih melakukan.
Namun demikian, kita hendaknya tidak gampang menyerah. Karena kita, wong Jawa, masih memiliki bahasa Jawa Ngoko yang secara alamiah terlestarikan dan masih banyak awam yang memahami. Kebetulan saja bahwa teks ngelmu-ngelmu Jawa banyak yang dipaparkan dengan bahasa Jawa Ngoko itu. Menanggapi keinginan Ki Doko Wiro dan mungkin para sejawat lain yang senada, maka saya ingin menyampaikan suatu kajian tentang Kawruh Sangkan Paran semampu saya kepada para sejawat. Sumangga . Meski yang tertera di banyak literatur Jawa masih banyak berbau dongeng, namun bisa menuntun saya memahami dasar falsafah Jawa tentang: teologi, mitologi dan kosmologi Kejawen. Landasan atau aras dasar utama spiritualisme Kejawen adalah Panunggalan, atau Manunggal yang artinya menerangkan bahwa sistim dari semua yang ada merupakan suatu kesatuan yang mutlak kosmis-magis tak terpisahkan.
Struktur sistim-nya seperti kesatuan sel yang terdiri inti dan plasma, disebut dalam istilah Jawa Gusti dan Kawula. Kalimatnya : Manunggaling Kawula Gusti. Untaian kata wewarah Jawa lainnya: kembang lan cangkoke, sesotya lan embanan, sedulur papat kalima pancer (dalam konteks rohani manusia), Hyang Manik lan Hyang Maya; Manikmaya atau Dzat Sejatining Urip (rohani jagad semesta) yang dalam istilah Jawa diberi sebutan: Pangeran atau Gusti.
Kawruh Kjawn mengajarkan bahwa tergelarnya jagad raya adalah diciptakan oleh Sang Hyang Wenang (sebutan lainnya: Sang Hyang Wisesa, Sang Hyang Tunggal), nama sebutan untuk Sesembahan Asli Jawa. Penciptaannya dengan meremas (membanting) antiga (benih, wiji, bebakalan) hingga tercipta tiga hal :
a. Langit dan bumi (alam semesta).
b. Teja dan cahya, teja merupakan cahaya yang tidak bisa diindera sedangkan cahya merupakan cahaya yang bisa diindera.
c. Manikmaya, yaitu Dzat Urip atau Sejatining Urip (Kesejatian Hidup, Suksma, Roh).
Menurut Kawruh Kjawn, maka seluruh semesta seisinya adalah ciptaan Sanghyang Wisesa di alam suwung, artinya mencipta di dalam haribaan-Nya sendiri. Di dalam haribaan-Nya sendiri mengandung maksud bahwa Tuhan murb wass (melingkupi, memuat, serta menguasai dan mengatur) seluruh semesta dan seluruh isinya.
Di dalam kesemestaan tersebut ada materi (bumi dan langit), ada sinar dan medan kosmis (cahya dan teja), dan ada Dzat Urip (Manik-my, Sjatining Urip, Kesejatian Hidup) sebagai derivate (emanasi, pancaran, tajali) Dzat Tuhan. Pandangan Kjawn menyatakan bahwa: Dzat Tuhan tan kn kinyngp, tidak bisa dihampiri oleh akal,
rasa, dan daya spiritual (batin) manusia. Yang mampu dihampiri akal, rasa dan daya spiritual (kebatinan) adalah Derivate Awal Dzat Tuhan yang di banyak penekunan kejawen disebut Suksma Kawekas. Saya sendiri lebih nyaman menggunakan sebutan Dzat Sejatining Urip, yang kemudian disebut: Pangran, Gusti, atau Ingsun.
Kawruh Sangkan Paran merupakan ngelmu Jawa yang mengajarkan asal mula keseluruhan yang ada dan kemana tujuan akhirnya. Ada dalam artian Maha Kesatuan
Tunggal Semesta adalah langgeng abadi. Maka dengan demikian sangkan paran lebih ditujukan kepada ada untuk titah urip dan lebih khusus lagi manusia. Titah urip merupakan persenyawaan dari tiga unsur : bumi lan langit, cahya lan teja, serta dzat urip. Ketiga unsur tersebut bersifat langgeng pada azali-nya, maka yang tidak langgeng adalah kahanan pernyawaannya. Sangkan berarti proses mensenyawa, sementara paran merupakan kahanan setelah mengurai kembalinya pernyawaan tersebut. Berikut saya kutipkan Wedaran Sang Wiku Djawa Boedi Moerni (1934) :
Note :
Sang Wiku adalah sesepuh Kejawen yang menjadi guru utama banyak tokoh-tokoh Jawa di jamannya. Tersirat dalam tulisan para siswanya, bahwa saat itu Sang Wiku sudah sepuh sekali, diatas seratus taun. Sang Wiku menyatakan diri sebagai orang pelosok (pegunungan) yang jauh dari kota. Cedhak watu adoh ratu.
SANGKAN PARAN #2
Sangkan Paran iku lakone Urip utawa Jiwa kang lagi tumurun saka kana tumeka ing kene, kang ing maune sira padha durung wikan (mangerti). Maune iku, karepe wiwitan utawa kana, dadi sangkane kang mau saka kana, parane mrene. Kosok baline, saka kene parane mrana. Iku yen mungguh tumraping wong lumaku, sing mesthi sangkane saka mburi parane menyang ngarep. Sawise tumeka ing paran (kene iki), yen arep marani sangkane, kudu lumaku ambalik. Ananging patrap kang mangkono iku rekasa, marga dunung lan dalane wis ora kelingan; rak iya ta? Coba caritaa sapa kang wus tau weruh, wong tuwa bisa bali dadi bocah maneh, banjur dadi bayi bali lumebu ing guwa garba, nuli bisa bali dadi jiwa? Iku aran mokal.
Ing mengko sarehning patrap ambalik iku ora bakal bisa kalakon, becike nganggo patrap lumaku ambanjur bae. Geneya teka mangkono? Iya awit mirid saka piwulang bab kaanan titahing Suksma, adhapur piwulang kang sajati ngenani jagad saisine kabeh, bawana iku wujude bunder. Dadi yen lumaku ambanjur, kang mesthi iya bisa tumeka ing panggonan maune. Awit araning enggon iku mung loro, kana karo kene. Kosok baline: kene karo kana. Dadi yen saka kana, parane mrene, lan manawa saka kene parane mrana. Waton lakune mau ora slewengan, utawa mompar mampir ndadak utang sangu barang, utawa maneh ndadak jajan ana ing warung, adus ing kedhung, mesthine rak iya bakal tekan ing kana ta?
Mulane padha den ngati-ati lan prayitna sarta kang eling, manawa kene iki akeh begalane lan akeh sambekalane, apa maneh dhasar gedhe cobane. Iku kang dadi pangridhu lan pamurunging sedya, kang marakake ora bisa sembada. Mangka kene iki wawayangane kana, lan kana iku iya wawayangane kene. Papadhane sira andeleng warnanira ana sajroning pangilon, yen kene tutul, kana iya tutul; kene lorek, kana iya lorek; kene ireng, ing kana iya ireng, mangkono sapiturute. Ana dene sakabehing rurupan iku, iya wujuding begalan. Begalan mau kadadeyan saka kurang pangati-atine mungguh pangreksane marang awake dhewe. Pinangkane mung saka karem angumbar karep, anuruti hawa napsune. Mangka karep lan hawa napsu iku, manawa diuja sangsaya makantar-kantar anggegirisi, tutuging endhon andadekake coba beka, kang mahanani awake dhewe dadi ambuntel, utawa ambalebet sarta ambabaluhi marang Pak Jiwa. Apa iya ora rekasa lakune Pak Jiwa mau? Sing mesthi kang amarga kabotan ing babaluh, dadi banjur banget ing sarentine. Terkadhang durung sapira dohing lakune, nuli karasa sayah, banjur trima mung mandheg ana ing saenggon-enggon bae. Gek kapan bisane menyang panggonane lawas? Jalaran saka kang mangkono iku, luwih prayoga manawa ingsun nyaritakake bab sangkan paran dhisik, lan kapriye sababe dene bisa tumurun marang ing donya iki. Apa maneh kapriye mungguh perlune kawruh kang
mangkono mau dibutuhake dening manungsa, lan kudu diudi kongsi kapara nyata nemu buktine, kang kalawan sinaksenan dening lepasing pandulu kita pribadi. Sarta maneh kumudu angawruhi marang dumadining rereged utawa luput kang sakawit. Duk nalika tumurun saka kana- kanane, rereged mau ora tinemaha. Marga kang mangkono mau, banjur ora diarani suci, dening wus anduweni cacat lan luput ing wiwitane. Mangka sajatine cacad utawa luput mau, tansah cumepak angadhang ana ing dadalan, kang diliwati dening kang lumaku saka sangkan (kana panggonane lawas), marang paran kene iki.
Dadi luput utawa reregede mau iya banjur sangsaya ajujul wuwul. Mulane Urip utawa Jiwa kang kawuwulan ing rereged iku mau lumrahe banjur diarani kawula. Amarga tekane wus kawuwulan dening rereged (kaluputan) kang kongsi andadekake lemesing dayane Pak Urip iku. Rumangsa kaya kinunjara ana ing sajroning gedhong wesi. Mulane saya akeh kaluputane, iya sangsaya ringkih uripe. Iya jalaran saking kandel lan gedhening kaluputane, Pak Jiwa kongsi kena diandheg ana ing kene watara lawas. Ora uwal utawa ora ucul yen bandhule kang kasar-kasar mau durung rusak. Dene bandhul utawa balebed kang wis rusak, diuwalake dening Pak Urip mau, lumrahe diarani mati.
Mungguh salugune Jiwa utawa Pak Urip iku ora bisa mati, ajeg ing salawas-lawase. Tembung ajeg iku, iya langgeng: apane kang langgeng? Yaiku uripe lan anane, yaiku Jiwa kang wus oncat saka buntel utawa bandhule. Dene buntel utawa bandhule kang kaprahe diarani raga, kang asipat kaya dene ragangan, kang ing tembe mesthi bakal rusak dadi wangke. Sanajan wis bisa oncat saka rereged utawa raga, suprandene iya isih ana maneh rereged kang ora gampang diuwalake. Ing ngarep wis ingsun caritakake, yen
rereged kang nutupi iku andadekake pepeteng lan lali, mulane iya ora gampang baline marang sangkan utawa padunungane lawas. Bisane bali marang panggonane lawas, manawa Pak Jiwa mung kari anggawa sarira pribadi. Amarga sarirane pribadi mau, asale saka sangkan lan ora kawoworan apa-apa, mulane diarani suci, bisa luluh lan jumbuh dadi sawiji, tetep jumeneng Maha Suci, tegese luwih dening suci. Kang wis widagda angudi mangkono mau, kaprahe diarani nyawarga, tegese sawarga iku, wus kumpul kalawan wargane (dadi siji). Dadi anane ing kono mung sarwa lega, iya lega dening wus bisa bali marang poke. Kang ana ing kono mung panjenengane pribadi, ora kantha ora kanthi, ora warna ora rupa, ora arah ora pernah, tetep jumeneng Maha Agung lan Maha Luhur, Maha Kawasa lan Maha Luwih, mulya langgeng tan owah gingsir.
Dene enggone sinebut Maha Agung iku, amarga jagad saisen-isene kabeh, kawasesa ing Panjenengane. Teteping Maha Luhur iku, jalaran sakehing kaanan, luwih asor tinimbang Panjenengane. Teteping Maha Kawasa, karana dumadining kaanan kabeh, kapurba ing Panjenengane. Teteping jumeneng Maha Luwih sebab sagunging kaanan, antuk palimarma saka Panjenengane. Tetepe Maha Mulya, dening kaanan kang dumadi ora bisa madha lan ora kawawa anggepok marang Panjenengane. Tegese langgeng tan owah gingsir iku, wiwit duk samana kongsi saiki, tumekane ing mbesuk, iya ajeg anane, ora owah lan tanpa cacad.
Kang mesthi Pak Jiwa kang kangelan bali marang panggonane lawas (sangkan) mau kepengin ambaleni ragangane nanging ora gelem jalaran wus arupa wangke. Mulane amilaur ngluyur saparan-paran, ngaub ana ing saenggon-enggon. Dadi tenagane Jiwa iku ora gampang sembadane bisa bali marang panggonane lawas manawa durung bisa nguwalake rereged utawa kaluputane. Jiwa kang sumanggar ana ing saenggon-enggon, utawa kang sumandha ing saparan-paran, iku yektine kena diarani neraka, jalaran kang sabenere kudu bali menyang panggonane lawas (sangkan), ananging ora bisa tumeka, amarga isih kawoworan rereged kang dadi babaluh mau. Ana maneh bandhul kang anjalari si Jiwa enggal bali maneh marang ing donya kene, ngrasuk raga anyar. Bandhul kang anjalari bisa bali ngrasuk raga anyar mau aran ala utama utawa reged apik. Ing tembe, tumurun ing donya kang kapindho, lan yen bisa ngrucat sarta nguwalake saliring rereged, iya uga bisa bali marang panggonane lawas. Dene bandhul becik iku mau, asale saka karep kang dhemen anggayuh kautaman, angudi marang kang durung bisa andadekake pamareme. Dadi urip ing donya kang kaping pindho iku, perlune nutugakake kang digayuh lan diudi mau.
SANGKAN PARAN #3
Ing mengko ingsun arep amiwiti anyaritakake cethane dhek sadurunge ana apa-apa, nganti tumeka gumelaring jagad saisine kabeh, lan dumadining manungsa tumurun ing donya, kongsi bali marang panggonane lawas. Kabeh iku ingsun mung saderma ngucap, Hyang Suksma Kawekas kang paring dhawuh.
Dadi sarehning saka keparenging Suksma, sariraningsun minangka lelantaran ambuka, cethane wawarah mau, pangrasaningsun wis aran nugraha (begja kemayangan). Marmane ingsun kudu matur sewu sembah nuwun marang Panjenengane, nganggo cara Jawa sakepenake manut sasenengingsun dhewe. Kabeh kang ingsun enteni lan ingsun senengi, kang mesthi wus kauningan dening Pangeran Kang Maha Wikan.
HYANG HONG ILAHENG AWIGNA BUDIWA NAWA SANGA, mung Hyang Suksma Kawekas sasmitaningsun. Niyatingsun miwiti ambuka wedaran kawruh atas karsaning Suksma:
Durung ana apa-apa, isih suwung wangwung. Suwunge iku dumunung ing ana. Ana iku langgeng ing salawas-lawase. Pethane kaya sumurat, anyemburat, nyemprot, kedher ambuwang lan anarik. Kang mangkono iku ajeg salawase, tan kena owah datan kena winengkang. Iku wit utawa babu baboning ngadadi, ya guruning sakabehing kang ana. Semprotan lan cipratane mau ana kang akeh lan kang sathithik. Kang akeh iku dadi luwih gedhe tinimbang liyane, sarta banjur kuwawa dadi wana (papan) dunung dhewe-dhewe. Kaanan kang luwih gedhe luwih adoh parane. Sakehing kaanan kang dumadi mau tansah wuwuh-wuwuh dayane saka sorot lan semprotan utawa cipratan adidayane Guruning Ngadadi.
Kagawa saka dhewe-dhewening prenahe, dayane sakabehing kaanan mau banjur ora padha. Kang luwih dhisik dadi iku semprotan kang luwih gedhe, anduweni daya kedher mubeng anarik meh sairib karo dayane Guruning Ngadadi. Sarehning saka terange cahyane, kang dadi luwih dhisik sarta katone luwih gedhe (menjila, ksm) tinimbang kaanan liyane, mula becike ingsun arani Pramana Jati.
Kapindhone, ana maneh kaanan kang meh padha gedhene karo Pramana mau, dayane mungser mubeng sumorot. Saka kuwating ubenge lan kawuwuhan semburating dayane Guruning Ngadadi banjur duwe daya panas. Saka bangeting panase kongsi metu sunare kang padhang, iya iku Arka utawa Surya.
Katelune, ana kang memper kayadene Surya, gedhene uga meh padha, dayane mungser lan sumorot, lan uga tansah oleh wuwuh saka dayane Guruning Ngadadi. Ananging sarehne prenahe rada cedhak karo Pramana, mangka dayane Pramana iku anarik utawa nyerot, dadi prenahing Surya uga banjur cedhak karo kaanan katelu mau. Mangka dayaning Surya mubeng sumorot lan panas; panasing sorot tansah angenani kaanan katelu iku. Dadi kaanan kang kaping telu mau tansah kawuwuhan dayaning Pramana lan Surya sarta Guruning Ngadadi. Mulane kaanan kang kaping telu iku kurang dayane,
banjur mung adhem lan anteng bae. Nanging iya isih mubeng mungser. Iku ingsun arani Wulan (Rembulan), awit dadine saka lereming daya tetelu kembul dadi sawiji.
Kaping pat, ana kaanan maneh, sarta akeh banget, gedhene iya meh padha bae karo Surya, prenahe adoh karo kaanan tetelu mau. Dayane kabeh mung kedher sumorot. Marga akeh tunggale, becike ingsun arani Kartika (Lintang). Saka padunungane lintang-lintang mau ana tetelu kang katone gedhe dhewe yen dineleng saka kene, amarga luwih cedhak tinimbang lintang-lintang liyane. Pethane kaya dene ngapit-apit dununging Pramana, andadekake pepethan ancer-ancer pojoking Pramana. Dene dayane lintang tetelu mau kalah karo dayaning Pramana, tansah kaserot dening dayaning Pramana. Sabanjure semono uga dayaning Surya lan Rembulan tansah kaserot dening Pramana.
Sakabehing kaanan dumadi iku kayadene ngubengi utawa ngrubungi ing Guruning Ngadadi. Mulane iya banjur kaya pepethan ancering arah utawa keblat. Wong Jawa kerep padha nganggo tetembungan keblat papat kalima pancer, iku karepe mangkene: keblate papat iya iku kaanan dumadi kang gedhe-gedhe, pancere Guruning Ngadadi. Mungguh kaanan dumadi kang dhisik iku mau kabeh diarani purwana, tegese panggonan kang wiwitan iya purwane ana dumadi. Dene gurune kena diarani Guru Purwaka, tegese Guru kang jumeneng dhisik, ora ana kang andhisiki lan ora ana kang madhani.
Wedaran Sang Wiku yang tersaji merupakan hasil beliau bermeditasi (maneges) memenuhi permintaan para siswa-siswanya. Maka dalam pengantarnya beliau berpesan agar para siswanya membuktikan semua yang beliau paparkan dengan cara bermeditasi (maneges) sebagaimana yang beliau lakukan. Disinilah makna Ngelmu iku kelakone kanthi laku yang ada dalam Wedhatama pupuh Pucung diterangkan maksudnya. Bahwa dalam hal ngelmu Kejawen lebih mengutamakan pembuktian kasunyatannya dibanding sekedar menyuruh mempercayai wacana yang kebanyakan berdasar jarene,
konon kabarnya.
Barangkali saja karena hal itu maka jarang dijumpai paparan ngelmu secara teori. Yang ditemukan sekedar pokok-pokok pengertian yang umumnya berupa kalimat wirid. Misalnya wirid wolung pangkat yang banyak dipakai oleh komunitas penekunan Kejawen. Wirid inipun sesungguhnya merupakan ajaran yang nampaknya berasal dari jaman kuna. Maka konsepnya bisa ditemukan di parwa-parwa, kavya, dan primbon. Yang terpopuler dan banyak dijadikan acuan laku teosofi adalah yang ditulis R.Ng. Ranggawarsita, Hidayat Jati. Namun juga bisa ditemukan dalam Centhini yang lebih tua. Kalimat wirid yang berkaitan dengan kawruh Sangkan Paran :
Wjangan pituduh wahananing Pangran: Sajatin ora n p-p, awit duk maksih awang-uwung durung n sawiji-wiji, kang n dhihin iku Ingsun, ora n Pangran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warn, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asm, afngal).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Ajaran petunjuk keberadaan Pangeran: Sesungguhnya tidak ada apa-apa, sejak masih awang-uwung (suwung, alam hampa) belum ada suatu apapun, yang ada pertama kali adalah Ingsun, tidak ada Pangeran kecuali Aku (Ingsun) sejatinya hidup yang lebih suci, mewakili pancaran dzat, sifat, asma dan afngal-Ku (Ingsun). Kalimat wirid tersebut di atas ketika kita hubungkan dengan wedaran Sang Wiku, maka sebutan Ingsun atau Pangeran adalah sama dengan Guruning Ngadadi atau Suksma Kawekas. Dalam paparan sang Wiku selanjutnya nanti, menjelaskan bahwa penciptaan titah urip didahuli penciptaan tempatnya lebih dahulu yaitu bumi lan langit (Tata Surya) serta embanan panuksma yang berupa semua dayaning kaanan dumadi (sorot semburat kekedher, cahya lan teja). Maka wedaran Sang Wiku akan jumbuh dengan kalimat wirid berikutnya :
SANGKAN PARAN #4
Wjangan pambuk kahananing Pangran:
Satuhun Ingsun Pangran Sjati, lan kaws anitahak sawiji-wiji, dadi n pdh sanalik sk kars lan ppsthning-Sun, ing kono kanyatahan gumlaring kars lan pakartining-Sun kang dadi pratndh:
a. Kang dhihin, Ingsun gumn ing dalm alam awang-uwung kang tanp wiwitan tanp wkasan, iy iku alaming-Sun kang maksih piningit.
b. Kapindho, Ingsun anganakak cahy minngk panuksmaning-Sun dumunung n ing alam pasndaning-Sun.
c. Kaping tlu, Ingsun anganakak wawayangan minngk panuksm lan rahsaning-Sun, dumunung n ing alam pambabaring wiji.
d. Kaping pat, Ingsun anganakak suksm minnga dadi pratn-dh kauripaning-Sun, dumunung n alaming hrah.
e. Kaping lim, Ingsun anganakak angn-angn kang ug dadi warnaning-Sun n ing sajron alam kang lagi kn kaupa-makak.
f. Kaping nm, Ingsun anganakak budi kang minngk kanya-tahan pncaring angn-angn kang dumunung n ing sajron alaming badan alus.
g. Kaping pitu, Ingsun angglar warn (tabir) kang minngk kakandhangan pasrnaning-Sun.
Kasbut nm prakr ing ndhuwur mau tumitah ing dony, yaiku Sajatining Manungs.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Ajaran membuka pemahaman keadaan Pangeran:
Sesungguhnya Aku adalah Pangeran Sejati, dan berkuasa menitahkan sesuatu, menjadi ada dengan seketika karena kehendak dan takdir-Ku, disitu kenyataan tergelarnya kehendak dan titah (pakarti)-Ku yang men-jadi pertandanya :
a. Yang pertama, Aku berada di alam kehampaan (awang-uwung) yang tiada awal dan tiada akhir, yaitu alam-Ku yang masih tersembunyi.
b. Yang kedua, Aku mengadakan cahaya sebagai penuksmaan-Ku berada di alam keberadaan-Ku.
c. Ketiga, Aku mengadakan bayangan (aura) sebagai panuksma dan rahsa-Ku, berada di alam terjadinya benih.
d. Keempat, Aku mengadakan suksma (ruh) sebagai tanda kehidupan-Ku, berada di alam herah (sel hidup).
e. Kelima, Aku mengadakan angan-angan yang juga sebagai warna-Ku berada di alam yang baru bisa diumpamakan.
f. Keenam, Aku mengadakan budi (gerak) yang menjadi kenyataan berpencarnya angan-angan yang berada di dalam alam badan halus (rohani).
g. Ketujuh, Aku menggelar tabir (hijab) yang sebagai tempat per-semayaman-Ku.
Tersebut enam perkara di atas tadi tertitahkan di dunia, yaitu Sejatinya Manusia.
Kelanjutan wedaran Sang Wiku :
Ana dene kang bakal dawa caritane, iya iku Pramana.
Pramana iku tansah anyerot dayaning kaanan tetelu mau, kayata surya sinerot panase, lintang sinerot kedhere, rembulan sinerot adheme. Amarga Pramana anduweni daya kedher lan mubeng banget santosane, suwe-suwe kumpuling daya tetelu kang padha sinerot mau, dadi ngringet. Kringete mau saya lawas sangsaya mundhak, suwe-suwe dadi banyu. Dene banyu iku ingsun arani tirta purwa, utawa tirta kamandanu, tegese banyu urip, marga wiwitane saka kumpule daya tetelu. Tirta kamandanu mau tansah ingubengake lan kinedherake dening Pramana, suwe-suwe dadi saya kasar.
Sarehning penyeroting Pramana ora ana lerene, dadi banyu mau saya lawas iya sangsaya mundhak kasare. Amarga saka gedhening banyu mau, kongsi kawawa ambuntel marang sariraning Pramana mangkono ing sabanjure. Saya lawas iya sangsaya mundhak akehe lan kasare, wusana banyu kasar kang wus bisa ambuntel ing sariraning Pramono mau, dadi banget kandele lan banget jembare. Iku ingsun arani jaladri, karepe banyu luwih kandel, luwih jembar.
Jaladri mau sabanjure tansah ingubengake ing Pramana, kinedherake lan katarik sarta tansah kawuwuhan dayaning surya, rembulan lawan lintang-lintang satemah jaladri kang cedhak karo sariraning Pramana, banjur saya luwih kasar, kongsi anjendhel. Jendhelan mau saya lawas sangsaya kandel, mulane banjur rapet pambuntele marang Pramana: gampange jendhelan iku ingsun arani pratala, tegese wujud kasar dadi dhadhasar, lan tansah raket lan rapet kalawan Pramana, kongsi ora ana selane.
Dene banyu jaladri mau saking kandele lan jembare, nganti tanpa wates, gampange ingsun arani jalanidhi. Ing samengko saya kurang lepas (kuwat) daya panyeroting Pramana, marang kaanan tetelu mau, sarta dayane mubeng lan kedher mau, kalingan ing pratala. Sarehning pratala iku mau banget cedhake karo Pramana dadi tansah kagepok ingubengake lan kinedherake dening Pramana mau. Saking bangeting sesere, kongsi kaya digosok ajeg tanpa ana lerene. Ing wekasan pratala mau banjur panas, suwe-suwe kawawa dadi geni, genine awor karo awak-awaking pratala mau. Saka gedhening geni kang tansah di kedherake dening Pramana, dadi Pratala mau tansah kaya digarang , jalaran ing njaba ora pedhot kataman panasing surya.
Saupama ora oleh daya adhem saka rembulan, sarta daya kedhering lintang-lintang, kang mesthi pratala mau dadi garing, lan jalanidhi dadi asat. Nanging kedhering lintang-lintang kang sinerot mau nampeg marang bunteling Pramana, iya iku pratala lan jalanidhi, iku katut kadayan dening kakedher lan ubenge mau. Mulane kedhering lintang kang sinerot mau uga banjur katut marang lakuning pratala lan jalanidhi kang kagawa mubeng dening Pramana. Sabab saka mangkono banjur mahanani daya kang santosa kaya dene nyembur marang ing pratala lan jalanidhi mau. Dene daya santosa mau gampange diarani maruta. Karepe daya sinerot kerut (katut) dening ubenging kang anyerot. Maruta mau amratani sajembaring pratala lan jalanidhi. Mulane pratala mau mung wuwuh akas lan atos bae, dadi ora garing kabeh. Wusana ana kang banjur nela, bolong pating cromplong, marga saka tansah kesuk dening lakune geni kang kinedherake dening Pramana mau.
SANGKAN PARAN #5
Mungguh bolongan kang saka pratala iku, jebule (njedhule, tembuse) marang jalanidhi: lakuning geni banjur kadhangan dening jalanidhi, mangka banyuning jalanidhi orang gampang piniyak (kesuk) ing lakuning geni, jalaran saka kandele, dadi banyunne mung tansah pating panjelut. Panjeluting banyu mau katampeg ing maruta, banjur nyempyok ing pratala. Mulane pratala kang kena kasempyok banyuning jalanidhi mau, padha luntur katut sempyokaning banyu, lunturane suwe-suwe nglumpuk, banjur dadi punthuk ana ing pratala urut sacedhake jalanidhi. Dene bolongan kang ora kendhat ngesuk marang pratala kang amarga saka banget santering geni mau, pratalane banjur muncrat sumembur sumawur sakubenging bolongan mau. Lawas-lawas saya wuwuh sauwuraning pratala, nuli dadi punthuk. Punthuk mau uga tansah katampeg lakuning maruta tumamane ora beda karo diubengake.
Sarehning sawuraning pratala mau saya wuwuh, mangka maruta tansah angubengake, dadi banjur kaya diglintir, mulane katon bunder lan mundhak dhuwure. Pratala kang mangkono iku kepenake ingsun arani Ancala, iya iku pratala kang katon munggul, beda karo pratala kang ora kambah ing bolongan iku. Ancala mau salawase tansah kataman daya panasing geni, mulane iya banjur saya wuwuh kandel. Pratala kang atos sedhak karo lakuning geni iku, anuli dadi dhasaring ancala, kang angubengi bolonganing geni, mulane gampange iya ingsun arani padhas, karepe bantala atos, kang dadi dhasaring pratala iku. Ancala iku uga tansah oleh dayaning surya, lintang lan rembulan, mulane ora bisa dadi panas kabeh. Sakehing kaanan dumadi iku, lakune tansah mangkono bae ing sabanjure. Ing mangka kang perlu bakal ingsun caritakake luwih dawa, yaiku Pramana.
Pramana iku sawuse winungkus utawa binuntel dening kaanan pirang-pirang, kayata: pratala kang isi punthuk lan ancala sarta jalanidhi, dhahana miwah maruta, ing samengko banjur tetap dadi wana utawa papan, wadhah kang bisa ngandhegake sarupaning kaanan dumadi, kang asal saka cipratan, semburat utawa semprotaning gurune. Mulane bareng wus awujud mangkono, nuli kena diarani bawana. Thukule tembung iku, saka Ba lan Wana. Ba iku wutuhe teba utawa ghumelar. Wana iku karepe panggonan kang isi dayaning dumadi pirang-pirang, kang awujud kasar sarta alus, kaya kang kasebut ing dhuwur mau.
Nanging nalika samono, durung ana kang diarani manungsa lan karsa, amarga durung ganep kang dadi sadhiyan utawa cawisane kang kagungan karsa; dadi kang kagungan karsa iya durung tumedhak. Kang mangkono iku, sira aja keliru surup dening dhek mau wis ingsun terangake, guruning ngadadi sarta sakabehing kaanan dumadi. Iku dhasar wis kaya dene watak ajeg ing salawase. Dadi Panjenengane ora ngagem karsa, sadurunge kanthi pepak cawisane, kang bakal kawuwuhan daya saka kaanan dumadi pirang-pirang mau. Apadene kala samaa durung ana sing diarani hawa. Mangka kang ingsun caritakake mau dumadining kaanan kang gampang bisa diweruhi. Kaanan kang mangkono iku, wong Jawa kewuhan anggone ngarani, lan ora saben wong ngerti karepe, lan uga ora saben wong ngerti kadadeyane.
Mangka sanyatane kaanan iku kang agawe daya kuwat utawa santosa ing sakabehaning kaanan kang gumelar. Terange mangkene: sawuse bawana gumelar isi pratala, punthuk-punthuk, geni ancala lan jalanidhi, wis mesthi daya panyeroting Pramana saya kurang lepase, nanging lakune lan panyerote isih ambanjur. Dadi dayaning surya, rembulan, lintang-lintang kang sinerot mau, banjur bisa kandheg ing sanjabaning pratala lan jalanidhi, tansah mulek muntel kempel salawase ora wudhar. Apa maneh katurutan saka sorote guruning ngadadi, uga banjur kumpul karo daya kang kempel mau. Kumpuling daya mau, andadekake kaanan sanjabaning pratala kang gampang dinulu ing netra karo, nanging iya ora gampang didemek. Kaanan iku saya lawas sangsaya wuwuh kandele, malah bisa amuwuhi pambunteling Pramana. Kaanan kang mangkono iku, ingsun aradi udara (langit). Mungguh karepe tembung udara iku kempeling daya kang ora bisa udhar (wudhar), amarga saking kandele udhara iku mau. Saupama katona awujud kasar, amasthi ngundhung-undhung banget dhuwure. Mangkono uga tembung langit, iku mung anjupuk gampange, iya iku saka tembung langut, tegese luwih dening adoh, kang ora katon watese utawa pungkasane.
Sawise ana langit, sorot lan semburate Gurune Ngadadi tansah kandheg ana ing langit kang uga tansah kawuwuhan saka dayaning surya, lintang lan rembulan. Dadi panyeroting Pramana ing kahanan iku kayadene kesaring ana ing langit kono. Lan maneh satekane ana ing sacedhakibg pratala, banjur gampang katut ing lakuning maruta kang ingubengake dening Pramana. Dadi samengko ing sanjabaning pratala banjur isi kaanan dumadi kang uga wadhah bunteling sorot lan semburat utawa cipratane Gurune Ngadadi. Cpratan (Ind. : pancaran, ksm) mau ana ing sajroning hawa kono, uga
banjur kawuwuhan dening dayaniung surya, rembulan sarta lintang lan wus sinaring ing langit. Dadi kaanan kang saka cipratan mau banjur kaya dibandhuli (dibaluhi) dening sakabehing daya hawa kang ambuntel mau. Lan uga banjur kataman ing panyeroting Pramana sarta dayaning geni. Lakuniung maruta banjur mahananirerupan kang gampang dinulu ing netra karo, nanging ora seben wong ngerti, marga ora sumurup kedaeyan saka apa kaanan kang mangkono iku. Mulane gampange manawa mirid saka wujude banjur diaranana kilat utawa lidhah bae. Dene tempuke mau, racake daya kang ing ndhuwur iku kalah. Tempuking daya mau swarane gumleger utawa gumludhug. Mulane kaprah wong Jawa mung ngarani gludhug bae, jalaran mirid saka
suwarane. Aananging ye n kapinujon kaanan kang saka ing ndhuwur mau bebarengan aro sorot kang saka Gurune Ngadadi, iku sayekti padha rosane, dadi karone sampyuh, swarane jumedhor ngaget-ageti. Mirid saka swara lan rupane, iku uga nuli padha diarani
pracalita (bledheg) utawa gelap. Mirid saka swara pambledhaging barang kang luwih gedhe. Gelap saka rupa kang lakune kaya dene nugelake samubarang kang tinrajang sarta katon rupane kumelap.
Sangkan Paran #6
Dene kaanan samburat kang saka Gurune Ngadadi mau bareng wus tempuk karo daya kang saka Pramana banjur padha pecah. Ambyar sajroning hawa ing langit kono. Pecahing tempukane daya kekarone iku banjur katut lakuning angin kongsi bisa mratani sajembaring langit awor lan hawa. Mulane iya banjur katon kaya dene urip (obah). Nanging saupama dinulu karo netra karo, katone rada samar, ewadene suwe-suwe iya bisa kasatmata. Mungguh kaanan iku mau ora langgeng . Tandhane yen katatb karo dayaning Pramana, bisa pecah. Dadi kaanan iku ana sarta nyata, nanging ora ajeg, mulane gampang banjur diarani swasana. Karepe tembung swasana, sawijining kakaanan kang alus awor lawan hawa, sarta ora bisa ajeg kaya kaanan liya-liyane, kayata: Pramana, Surya, Lintang sarta Rembulan. Kang mangkono mau sira aja kliru panampa, aja sira sengguh yen swasana iku saka tembung su lan wasana, iku ora. Benere kang tinemu nalar iya iku saka tembung swasa lan ana. Swasa tegese kaanan kang ora tetep, ana tegese kapara nyata lan bukti sarta melok. Dene swasana bareng wus kataman dayaning surya lan rembulan, uga banjur mratani langit, katone saya agal, gampang dinulu sarana netra karo, lan banjur gampang katut dening maruta. Iku diarani amun-amun, tegese kaanan kang alus lan gampang bisane pecah. Dene pecahane mu pethane kaya urip, nanging durung urip temenan. Anggoningsun ngarani durung urip temenan iku marga katitik anggone obah saka sangkan paran, mung manut lakuning maruta, sunaring surya lan kedhering Pramana. Mung katon lembak-lembak pating krampul pating krelip.
Dhek mau ingsun wus amratelakake yen pancurat sarta cipratane Guruning Ngadadi iku ing sabanjure tansah ana. Nanging tempuke karo dayaning Pramana ora ajeg. Mulane iya ana kala mangsane ora tempuk. Mungguh kang ora tempuk mau iya tansah kandheg ing Sjroning swasana bae, lan tansahnkasusul kawuwulan sorot Guruning Ngadadi arta oleh dayaning surya, lintangblan rembulan. Anuli kabuntel ing swasana kongsi bisa urip
ing kono. Nanging uripe durung duwe karsa amarga nitik saka nyataning kaanan iku. Lakune saka sangkan menyang paran yen dinulu katon cumlorot kumilatgampang dinulunkanthi netra karo. Marmane gampang dinulu, sebab wis kawuwulan daya pirang-pirang lan kabuntel ing hawa tuwin swasana nganti wuwuh-wuwuh bisane magepokan kalawan amun-amun. Mangka ing ngarep wus ingsun caritakake, yen amun-amun iku asale saka samburat lan cipratane Guruning Ngadadi kang wis kawuwulan daya pirang-pirang, lan pecahe saka dayaning Pramana kang wus kamomoran dayaning pratala, geni, jalanidhi. Dadi sajatining kaanan iku nyatane wus suci, prayoga dijupuk gampange bae anggone ngarani kaanan iku : kawula kang ana ing udhara. Ana maneh
kang ngarani ula tapak angin, iku iya wis bener, marga badaning kaanan iku katone yan lagi lumaku saka sangkan menyang paran, cumlorote nganti katon dawa. Saking rosaning pangesuke marang hawa, mangka kegepok ing lakuning amun-amun kang katut dening maruta, satemah katon rengkol-rengkol kaya ula.
Ana sorot kang saka Guruning Ngadadi kang durung akeh wuwulane, tekane sorot iku lumebu ing kandhanging swasana, mangka wus kapapag marang dayaning Pramana, dadi tempuking sorot iku iya gampang kalahe, marga kaanane luwih ringkih lan luwih entheng. Mulane banjur kaya tinulak kabuncang utawa kabuwang. Lakune durung nganti bisa cedhak lan pratala wus ambalik bali marang langit maneh. Baline sorort mau gampang dinulu sarana netra karo, katon gumebyar, pernahe luwih adoh lan ora cetha, kaprahe wong Jawa ngarani thathit. Iku manawa anjupuki pepiridan kaanane, saka tembung petha lan pethit. Petha iku katon ana wujude, pethit saking adohe.
Ing saiki ana maneh dayaning surya, lintang lan rembulan kang kawuwuhan saka daya sorot Guruning Ngadadi, kang salawase mung tansah kandheg ing sanjabaning hawa lan swasana, ora kegepok ing amun-amun sarta dayaning Pramana, iku iya saya wuwuh lan banjur mundhak kandele. Sarehning ora bisa gempur dening lakuning daya kedhering Pramana, sarta maneh ora kegepok dening dayane pratala, jalanidhi lan geni, satemah saya lawas sangsaya pupul, nanging ora bisa atos, jalaran ora oleh dayaning geni. Marga daya mau saya wuwuh-wuwuh kongsi kawawa angubengi ing langit kang isi hawa lan swasana, sarta kaanan pirang-pirang kang wus ingsun terangake ing ngarep. Saking kandeling bdaya pupul mau, kongsi kawawa angendheg (angleremake) ciprataning Gurune Ngadadi kang durung akeh wuwulane.
Nanging bareng wus ana ing sajroning daya pupul, ing kono banjur katutan saka dayaning surya, lintang lan rembulan, banjur kabuntel ing daya pupul iku, lan tansah kasusul dening soror Guruning Ngadadi, nganti kaya dene nganggo bebadan, sarta kawawa urip ana ing kono watara lawas. Dadi ing hawa pupul kono mau panggonaning
andheg-andhegan utawa entunan. Mulane kaparahe wong Jawa kang wus bisa nggayuh kasunyatane, ing kono banjur bisa ngarani sawarga pangrantunan. Iya iku saka tembung kumpul padha warga lan papane lega, panggonan entunan.
Sangkan Paran #7
Ora saben wong Jawa ngerti lan weruh kasunyatane Swarga Pangrantunan. Terkadhang akeh-akehe mung bisa ngucap lan amarga melu-melu utawa tiru-tiru saka gethok tular bae. Mula ingsun perlu nerangake menawa bebadane utawa bebakalane urip ana ing Swarga Pangrantunan kono, kang diarani Trimurti. Tegese, urip kang nganggo bebadan saka daya telung rupa. Iya iku kaanan kang alus mau. Dadi urip kang wus nganggo badan jujul wuwul, tumpuk undhung nganti pating salengkrah kaya kang wus kacarita. Mulane kena dibasakake urip ingsun saiki iki wus ngagem badan kang luwih dening reged, utawa nganggo badan kang nistha kayadene raganingsun iki.
Bebadan utawa bebakalan urip kang ana ing Swarga Pangrantunan samengko diarani lamaking Pujangkara. Tegese gedibal (dhasar kang asor dhewe), yen tinimbang lan kaanan dumadi kang isih murni (durung kamomoran), kang diarani isih suci, apa maneh katandhing karo Guruning Ngadadi, wus cetha banget adohe nganti ora kena diucap. Marga mungguh njupuk kaprahe tembung saiki, kang wus warata dimangerteni lan didhemeni sarta dianggep dening wong Jawa, Gusti Allah, iku sejatine iya Panjenengane kang diarani Guruning Ngadadi mau. Utawa baboning kaanan kang amurwa sakabehing rerupan. Dene semprotaning Guruning Ngadadi iya banjur kuwawa sairib kayadene Panjenengane, lan isih kena diarani suci. Dadi sarira kang suci iku sanyatane kang padha sinebut Allah. Dadi yen kang disebut Gusti Allah iku yen ditimbang karo Allah iya luwih dening bagus sarta luwih dening suci. Mulane disebut Maha Suci, tegese kang suci dhewe ora ana kang madhani.
Ing ngarep ingsun wus tutur karana kadhung wus saguh aweh katerangan lan pratelan, sarta aweh pituduh kang minangka lantaran mungguh akal lan pratikele utawa patrape wong angudi kawruh. Pamintaningsun ing tembe sira uga padha kasembadan anggayuh kasunyatane. Pamrihe murih sira kabeh padha bisa mangerteni marang kabeh kang wus ingsun caritakake mau. Dadi ora mung saka anggitan bae. Kudu kapara nyata lan bukti melok dinuku lan linakonan ing sariranira pribadi.
Ing mengko manawa wus sembada, sira lagi bisa mantep anggone ngarani yen iki kawruh kasunyatan kang sejati. Tegese kawruh kang ana temenan dudu bangsane anggitan bae. Awit anggitan iku dudu kawruh kasunyatan, nanging kang ana ing kono iku mung anggit. Mulane bangsaning anggitan iku yen digigit bakal ora dadi. Tegese yen diungsed temenan dening wong kang krungu utawa kang maca, anggitane mau, pentoge iya banjur oleh wangsulan tembung kang ambulet utawa wicara kang wilet; dadi bisa uga mung saka pintere nganggit-anggit bae. Tekadhang iya uga bisa dadi kamaremane kang ngungsed mau, sarana dituduhi upama, utawa ancer-ancer lan pralambang, utawa supaya ngrasa dhewe, utawa mung supaya ngandel lan percaya bae. Kang mangkono iku tumrape marang ingsun rada wedi yen ta ngangti amuwuhi (nambahi), kang mung metu saka anggitan kang ora kapara nyata. A,marga ana babasan mangkene : Giri lusi janma tan kena ingina; sadawa-dawaning dalan sarta kali isih dawa pikiraning manungsa; sajero-jeroning samudra isih jero atining manungsa; salembut-lembuting banyu isih lembut rasaning manungsa; sadhuwur-dhuwuring angkasa isih dhuwur bebudening manungsa. Iku nuduhake manawa manungsa wenang andarbeni isi kang kapara nyata. Iya amarga iku, ingsun carita mangkene iki dhasar iya mung sabenere lan sagaduge anggoningsun ngudi kawruh. Dene manawa ana kang duwe panemu kang luwih edhi utawa luwih luhur, luwih luhung tinimbang karo kang wus ingsun pratelakake iku kabeh, ingsun iya ora bisa aweh katerangan kang andadekake mareming atine. Mulane pamintaningsun marang sira kabeh, kang sabar lan narima anggonira angudi kawruh kang ingsun pratelakake iki. Awit manawa orang magkono, kang mesthi ora bisa cundhuk karo kaanane. Dadi sira kabeh ingsun purih sabar, supaya ora kasusu ing rembug. Paedahe kang carita aja kongsi kalimput marang kang bakal dicaritakake.
Manawa kaliwatan, satemah andadekake kurang turute. Yen sira kurang narima, marga kepengin kudu sanalika sok glogok, iku yekti anjalari sigeging lalakon. Kajaba kang carita ngrasa ail lesane, kang nampani iya banjur kurang trampil panggraitane, satemah banjur akeh kang kacecer. Mulane ing saiki blakane ingsun wus krasa ail, dadi ingsun minta maklumira, ingsun padha lilanana ngasodhisik: Tiutuge bakal anyaritakake bab pepaking kaanan dumadi, kang dadi isen-isening bawana, nganti tumedhaking sarira suci ana ing arcapada. Lan sabanjure tumekane kondur ing kraton mulya maneh, kaya kang wus kacarita ing ngarep. Saundurira, sira kabeh padha ingsun sebari sagunging puja hastuti murih yuwana lestari sembada kang dadi pangesthinira.
Sangkan Paran #8
Pada wedaran tersaji di atas, merupakan penjelasan awal mula (sangkan) tercipta atau mengadanya semua kaanan dumadi. Dimulai dengan beremanasinya Tuhan (tan kena kinaya ngapa) menjadi Guruning Ngadadi (Dzat Sejatining Urip atau Suksma Kawekas). Guruning Ngadadi kemudian beremanasi menjadi 3 (tiga) unsur :
1. dzat urip,
2. cahya lan teja,
3. alam semesta (bumi langit).
Hubungan ketiga unsur tersebut tetap dalam kesatuan tunggal yang saling pengaruh-mempengaruhi (hubungan kosmis-magis, samad-sinamadan).
Pada kejadian awal alam semesta yang mula-mula ada :
Pramana, Surya, Rembulan dan Kartika. Keempat unsur alam semesta ini memiliki daya masing-masing dan saling pengaruh mempengaruhi. Yang menjila (memiliki kelebihan) adalah Pramana, yaitu planet bumi berikut daya keilahiannya yang bersifat kedher (bergetar), mubeng mungset (berputar dan berotasi) dan nyerot (menarik, menyedot) semua daya unsur yang lain. Surya diserot cahaya dan daya panasnya, Rembulan diserot daya adhem-nya, Kartika diserot daya kedher-nya. Kumpulan semua daya yang diserot Pramana tadi menghasilkan berbagai kaanan yang melingkupi Pramana. Diantaranya berupa: jaladri (samudera), hawa (atmosfer), pratala (tanah), thathit (kilat), bledheg (guntur/guruh/halilintar), maruta (angin), amun-amun, umpluk dan lain-lain. Sedemikian rupa percampuran antar dayaning kaanan yang di alam semesta (surya, rembulan, kartika) dengan kaanan di bumi (Pramana) sehingga ketika menerima pancaran daya dari Guruning Ngadadi menjadi bebakalan atau bebadan urip. Yaitu embanan untuk panuksma-nya Urip atau Jiw yang juga derivat dari Guruning Ngadadi. Hal tersebut dalam Wirid Wolung Pangkat disebutkan dalam wirid ke 3 :
Wjangan gglaran kahananing Pangran:
Sajatining manungs iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungs, karn Ingsun anitahak wiji kang cacambran dadi sk kars lan panguwa-saning-Sun, yaiku sasamaning gni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakr, yaiku: cahy, cipt, suksm (nyw), angn-angn lan budi. Iku kang minngk mbanan panuksmaning-Sun sumarambah n ing dalm badaning manungs.
=================================================================
Terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Ajaran pemahaman tergelarnya keadaan Pangeran:
Sesungguhnya manusia itu rahsa-Ku dan Aku ini rahsanya manusia, karena Aku menitahkan benih cacambran (campuran berbagai unsur) yang terjadi karena kehendak
dan kuasa-Ku, yaitu berasal dari api tanah angin dan air, Aku resapi lima perkara, yaitu: cahaya, cipta, suksma (nyawa), angan-angan dan budi (gerak). Itulah yang menjadi cang-kok (embanan) merasuknya suksma-Ku rata menyeluruh dalam badannya manusia.
Berdasarkan Wedaran Sang Wiku dan Wirid Wolung Pangkat yang sudah tersajikan, maka kita bisa mendapatkan gambaran Teologi Jawa dan asal muasal terciptanya semua yang ada termasuk manusia. Urutannya didahului dengan tergelarnya tata semesta kemudian tata surya yang atas percampuran (cacambran) antar dayanya melahirkan bebakalan (ada yang menyebut ragangan) sebagai embanan panuksma bagi Dzat Urip. Dzat Urip (Suksma Sejati) merupakan emanasi (derivat) dari Dzat Sejatining Urip (Suksma Kawekas). Dan Suksma Kawekas merupakan emanasi (derivat) dari Dzat Kang Murbeng Sumadi (Tuhan) yang tan kena kinaya ngapa.
Menurut pandangan Jawa, maka semua yang ada merupakan Maha Kesatuan Tunggal yang bersifat abadi tanpa awal dan akhir. Namun dalam keabadian itu bukan berarti diam, ada dinamika perubahan di dalamnya. Setidaknya bisa kita ketahui adanya proses menyatu antar daya unsur semesta yang menimbulkan sesuatu menjadi ada. Kemudian juga ada proses mengurai atau memisahkan diri dari antar daya yang menyatu tadi kembali ke unsur-unsur azali-nya. Demikian pula yang terjadi pada titah manusia. Bahwa Urip sebagai emanasinya Dzat Sejatining Urip bersifat abadi. Berasal dari Guruning Ngadadi dan akan kembali kepada Guruning Ngadadi pula. Namun proses kembali tidak semudah yang dipahami manusia pada umumnya. Penyebabnya bahwa Urip yang menjalani hidup di alam madya (dunia) kewoworan (tercemar) oleh percampuran antar daya dari semua kaanan yang membentuk raga dan embanannya. Di akhir hayatnya tidak semua manusia mampu menyempurnakan kesucian Urip-nya. Maka kembalinya Urip tertahan di suatu tempat (maqam) yang disebut Suwarga Pangrantunan. Adalah tempat menunggu untuk kembali menyatu dengan Guruning Ngadadi atau kembali ke alam madya (dunia) untuk melanjutkan tugas dan baktinya yang belum selesai di kehidupan sebelumnya.
Sangkan Paran #9
Ora saben wong Jawa ngerti lan weruh kasunyatane Swarga Pangrantunan. Terkadhang akeh-akehe mung bisa ngucap lan amarga melu-melu utawa tiru-tiru saka gethok tular bae. Mula ingsun perlu nerangake menawa bebadane utawa bebakalane urip ana ing Swarga Pangrantunan kono, kang diarani Trimurti. Tegese, urip kang nganggo bebadan saka daya telung rupa. Iya iku kaanan kang alus mau. Dadi urip kang wus nganggo badan jujul wuwul, tumpuk undhung nganti pating salengkrah kaya kang wus kacarita. Mulane kena dibasakake urip ingsun saiki iki wus ngagem badan kang luwih dening reged, utawa nganggo badan kang nistha kayadene raganingsun iki.
Bebadan utawa bebakalan urip kang ana ing Swarga Pangrantunan samengko diarani lamaking Pujangkara. Tegese gedibal (dhasar kang asor dhewe), yen tinimbang lan kaanan dumadi kang isih murni (durung kamomoran), kang diarani isih suci, apa maneh katandhing karo Guruning Ngadadi, wus cetha banget adohe nganti ora kena diucap. Marga mungguh njupuk kaprahe tembung saiki, kang wus warata dimangerteni lan didhemeni sarta dianggep dening wong Jawa, Gusti Allah, iku sejatine iya Panjenengane kang diarani Guruning Ngadadi mau. Utawa baboning kaanan kang amurwa sakabehing rerupan. Dene semprotaning Guruning Ngadadi iya banjur kuwawa sairib kayadene Panjenengane, lan isih kena diarani suci. Dadi sarira kang suci iku sanyatane kang padha sinebut Allah. Dadi yen kang disebut Gusti Allah iku yen ditimbang karo Allah iya luwih dening bagus sarta luwih dening suci. Mulane disebut Maha Suci, tegese kang suci dhewe ora ana kang madhani.
Ing ngarep ingsun wus tutur karana kadhung wus saguh aweh katerangan lan pratelan, sarta aweh pituduh kang minangka lantaran mungguh akal lan pratikele utawa patrape wong angudi kawruh. Pamintaningsun ing tembe sira uga padha kasembadan anggayuh kasunyatane. Pamrihe murih sira kabeh padha bisa mangerteni marang kabeh kang wus ingsun caritakake mau. Dadi ora mung saka anggitan bae. Kudu kapara nyata lan bukti melok dinulu lan linakonan ing sariranira pribadi. Ing mengko manawa wus sembada, sira lagi bisa mantep anggone ngarani yen iki kawruh kasunyatan kang sejati. Tegese kawruh kang ana temenan dudu bangsane anggitan bae. Awit anggitan iku dudu kawruh kasunyatan, nanging kang ana ing kono iku mung anggit. Mulane bangsaning anggitan iku yen digigit bakal ora dadi.
Tegese yen diungsed temenan dening wong kang krungu utawa kang maca, anggitane mau, pentoge iya banjur oleh wangsulan tembung kang ambulet utawa wicara kang wilet; dadi bisa uga mung saka pintere nganggit-anggit bae. Terkadhang iya uga bisa dadi kamaremane kang ngungsed mau, sarana dituduhi upama, utawa ancer-ancer lan pralambang, utawa supaya ngrasa dhewe, utawa mung supaya ngandel lan percaya bae. Kang mangkono iku tumrape marang ingsun rada wedi yen ta nganti amuwuhi (nambahi), kang mung metu saka anggitan kang ora kapara nyata. Amarga ana babasan mangkene : Giri lusi janma tan kena ingina; sadawa-dawaning dalan sarta kali isih dawa pikiraning manungsa; sajero-jeroning samudra isih jero atining manungsa; salembut-lembuting banyu isih lembut rasaning manungsa; sadhuwur-dhuwuring angkasa isih dhuwur bebudening manungsa. Iku nuduhake manawa manungsa wenang andarbeni isi kang kapara nyata. Iya amarga iku, ingsun carita mangkene iki dhasar iya mung sabenere lan sagaduge anggoningsun ngudi kawruh. Dene manawa ana kang duwe panemu kang luwih edhi utawa luwih luhur, luwih luhung tinimbang karo kang wus ingsun pratelakake iku kabeh, ingsun iya ora bisa aweh katerangan kang andadekake mareming atine. Mulane pamintaningsun marang sira kabeh, kang sabar lan narima anggonira angudi kawruh kang ingsun pratelakake iki. Awit manawa orang mangkono, kang mesthi ora bisa cundhuk karo kaanane. Dadi sira kabeh ingsun purih sabar, supaya ora kasusu ing rembug. Paedahe kang carita aja kongsi kalimput marang kang bakal dicaritakake. Manawa kaliwatan, satemah andadekake kurang turute. Yen sira kurang narima, marga kepengin kudu sanalika sok glogok, iku yekti anjalari sigeging lalakon. Kajaba kang carita ngrasa ail lesane, kang nampani iya banjur kurang trampil panggraitane, satemah banjur akeh kang kacecer. Mulane ing saiki blakane ingsun wus krasa ail, dadi ingsun minta maklumira, ingsun padha lilanana ngaso dhisik: Tutuge bakal anyaritakake bab pepaking kaanan dumadi, kang dadi isen-isening bawana, nganti
tumedhaking sarira suci ana ing arcapada. Lan sabanjure tumekane kondur ing kraton mulya maneh, kaya kang wus kacarita ing ngarep. Saundurira, sira kabeh padha ingsun sebari sagunging puja hastuti murih yuwana lestari sembada kang dadi pangesthinira.
Sangkan Paran #10
Sakehing kaanan kang ana ing sajroning jaladri kang uripe sarana nyawa iku cetha yen bebadane kedadeyan saka banyu udan. Terange mangkene: sakehing banyu udan iku tumibane wus kawoworan dening dayane kaanan kang ana ing udhara (langit), tibane ing jaladri iku bisa kumpul karo banyu jaladri, nanging ora bisa luluh dadi sawiji, amarga dayane wis ora padha; mula ya mung tansah kandheg ing sandhuwuring banyu jaladri iku. Ana ing kono banjur kawuwulan banyu udan kang saka ing dharatan (pratala, pentasan). Mulane banyu udan karone iku marga isih padha dayane, iya banjur bisa kumpul lan luluh. Tekane banyu udan kang saka dharatan iku wus katutan reregeding pratala.
Kumpuling banyu udan karone ana ing jaladri kono banjur kataman ing dayaning geni Pramana kang metu saka pratala dhasaring jaladri sarta tansah oleh sorot dayaning kaanan tetelu kang kagawa dening sorot Guruning Ngadadi sarta wus kawoworan pirang-pirang dayaning kaanan kang ana ing langit, apa maneh kekedhering Pramana lan lakuning maruta tansah ora ana lerene. Mulane banjur kaya diinteri. Suwe-suwe bisa
dadi kaya glintiran cilik-cilik kekumpulan (gegrombolan), iku lumrahe diarani umpluk. Umpluk mau suwe-suwe saya akas, kongsi kawawa bisa ngendheg sorot Guruning Ngadadi kang tekan kono, banjur bisa urip sarana bebadan kang ginawa dening hawa kang wus kawuwuhan pirang-pirang dayaning kaanan kang ana ing langit. Yaiku kang diarani nyawa. Mula diarani mangkono, sabab iku kedadeyane lan lungane (sonyane) marga saka hawa. Mula sira padha nastitekna lan catheten ing sajroning kalbunira, eling-elingen aja kongsi lali lan sira aja kliru tampa sarta kliru surup, pilah-pilahing aran lan kasunyatane, kayata: raga iku gandhengane karo suksma, badan gandhengane karo nyawa, urip gandhengane karo jiwa. Iku aja sira gebyugake bae, marga sabenere iku kaanane dhewe-dhewe. Coba sira ingsun balabari sathithik: ana tetembungane wong Jawa mangkene: bojone jaka lara iku ing tembe mesthi ketemu maneh kumpul sawiji. Tuladhane iya kaya kang sun terangake ing ndhuwur iku mau. Yaiku raga bojone suksma, badan bojone nyawa, urip bojone jiwa. Kabeh iku selawase mesthi bakal gandheng lan bojone dhewe-dhewe. Mulane diarani jaka lara iku karepe mangkene : jaka iku arupa lanang kang durung tau nandukake asmara (saresmi nungal rasa lan wanita), lara iku arupa wanita kang durung tau saresmi lawan priya (lanang). Mangka kang sun terangake mau, sanadyan tansah padha duwe bojo dhewe-dhewe, nanging salawase iya isih wutuh (ora owah), mulane disebut jaka lara. Mara jajal! Sapa kang wus tau weruh raga randha, suksma dudha? Utawa badan randha nyawa dhudha? Sukur yen ana kang wus tau weruh urip randha jiwane dhudha !
Iku kabeh ing tembe bakal ingsun terangake mungguh pilah-pilahe. Mula janji sira padha sabar lan tlaten sarta tumemen anggone padha mersudi sakabehing wewarah ingsun iki, kaya ora bakal luput, ing tembe sira iya banjur padha anekseni dhewe lan amumpuni prakara iki kabeh. Dadi ora ngayawara angger bisa carita, marga ora gampang wong ngaku nekseni iku, yen durung kapara nyata weruh titi bukti temenan. Iku jenenge saksi dur (goroh). Saksi kang ora nyata iku bisa andadekake sangsara awake dhewe. Mandheg samene dhisik anggoningsun ambleberi marang sira, marga kang perlu ingsun bakal nutugake galuring carita ing ndhuwur mau. Mengko yen kesuwen anggone nyelani samben lelucon, mundhak ora kecandhak perlune.
Sarehning umpluk mau tansah kawuwuhan saka daya pirang-pirang, mulane suwe-suwe banjur duwe bobot. Dadi manawa tinimbang karo boboting banyu jaladri, isih luwih abot umpluk mau. Marga saka mangkono mau anjalari umpluk banjur padha kelem kongsi tekan ing pratala dhasaring jaladri. Satekane ing dhasar kono banjur kawuwuhan reregeding pratala iku, suwe-suwe bisa dadi lumut. Saya lawas lumut iku mundhak kasar sarta mundhak gedhe banjur mahanani rupa pating slawir lan siwil-siwil pating cerkakah. Sawuse mangkono banjur duwe daya nyerot. Kang pating saluwir ing pratala ana ing pratala iku banjur bisa mundhak dawa lan mundhak gedhe, nlosor sarta nlusup sumawana anggubet ing pratala. Pucuking saluwiran iku banjur menga utawa bolong lembut banget, kang minangka dalan dayaning pratala kang wus kawoworan rereged lan
kedhering Pramana kang sinerot dening kaanan iku. Malebuning daya marang babadan iku, gampange ingsun arani mangan. Mulane ingsun arani mangkono, marga malebuning daya kang sinerot, liwat wewenganing bolongan iku. Anggone mangan iku tansah ora ana lerene anjalari panggubete sangsaya kenceng (kukuh).
Mangkono uga siwilan kang ora ana ing pratala, lan ana bolongane ora beda karo saluwiran kang ada pratala mau. Iku uga piranti kanggo mangan dayaning banyu jaladri, sarta uga bisa mundhak gedhe lan mundhak dawa. Dene siwilan kang ora ana ing pratala iku diarani epang sarta epang iku thukul siwil maneh, ana kang gepeng, ana kang gilig, wangune ana kang bunder lan ana kang lonjong, ana kang pucuk lancip, lan ana kang lonjong. Siwilan iku uga ana bolongane, luwih dening lembut. Uga ana pirantine kanggo mangan dayaning banyu jaladri. Siwilane kang mangkono iku diarani godhong. Mulane diarani mangkono, awit iku sawijining piranti kanggo nadhahi sarta kanggo nyadhong kang dipangan. Dene saluwiran kang ana ing pratala, diarani oyot, karepe sawijining kekuwatan kang bisa angadegake bebadane kaanan iku. Kaanan sajroning jaladri kang mangkono iku diarani uwit, iku wutuhe saka tembung urip kang sakawit, bebadane uwit mau diarani kayu, iku mbok manawa wutuhe saka tembung teka lan yu. Yu iku karepe urip kang wus nganggo bebadan sarana nyawa. Dadi tembung kayu iku, karepe urip kang tekane wus nganggo bebadan sarana nyawa. Dene kayu-kayu mau banjur padha katon pating pruntus utawa pating cringih, ana maneh kang nyeprok. Thukulan kang arupa mangkono mau diarani kembang. Mulane diarani mangkono, awit iku kayadene piranti kang kanggo nekem utawa ningkem wiji kang ing
tembe bisa timbang karo bebadane.
Sangkan Paran #11
Kembang mau suwe-suwe wangune bisa salin, ana kang gilig, ana kang gilig rada lonjong, ana bunder kepleng, ana bunder lonjong, ana maneh kang dhempok. Iku kaprahe diarani uwoh. Ananging sabenere wuh, karepe urip kang bakal tumuwuh. Dene sakabehe uwoh mau suwe-suwe bisa uwal karo uwite, amarga bisa luwas, gantelane utawa sambungane bisa bosok banjur coplok. Uwoh kang wus uwal saka uwite iki, banjur katutu lakuning banyu jaladri, kongsi bisa tekan ing saparan-paran. Lan banjur tuwuh utawa thukul, lawas-lawas banjur bisa timbang karo bibite, iku manawa wus padha pantog lawasing uripe. Dene wit-wit mau, uripe ana ing babadan ora langgeng. Dadi babadane uga bisa rusak (mati), mangkono ing sabanjure. Mungguh woh-woh mau ana uga kang banjur kumambang ing banyu jaladri lan katut lakuning ombak, banjur tumiba ing pratala pinggiring jaladri (pentasan, dharatan), tibane ing kono ana kang banjur bisa tuwuh, lawas-lawas uga banjur bisa uwoh lan bisa thukul kayadene kang wus ingsun caritakake mau. Dene wohe ana ing dharatan kang wus uwal saka wite, iku banjur tiba ana ing kanan-kiringe wit mau. Ana kang katutnlakuning maruta kongsi adoh parane, iku uga ana kang banjur bisa thukul; thukulane banjur matuh utawa kulina urip ana ing pentasan, mulane suwe-suwe rupane banjur beda karo bibite kang isih ana ing sajerone jaladri.
Saiki ambaleni bab isen-isening jaladri. Sawuse jaladri isi uwit-uwitan (kakayon) ing jaladri kono banjur katekan lunturaning pratala (pasir) kang katut ilining banyu. Pasir mau ana jaladri kono, iya banjur mundhak gedhene, ora beda karo pasir kang ana ing pratala (dharatan). Lawas-lawas uga banjur dadi watu, mung bae rupane beda karo watu-watu kang ana ing pratala pentasan mau, marga daya sajeroning jaladri iku beda karo dayaning banyu dharatan utawa dayaning banyu udan, awit banyu jaladri iku duwe daya asin lan landhep, anjalari watu-watu ing jaladri iku bolong-bolong pating complong kayadene barang kang wus gerang. Mulane watu ing jaladri mau wong Jawa lumrahe padha ngarani watu karang. Watu-watu ing jaladri iku uga ana kang kanggonan jiwa, ora beda karo watu kang ana ing pratala dharatan. Ing samengko sawise sajeroning jaladri ana kekayon lan watu-watu, banjur saya kuwat anggone nadhahi cipratane Guruning Ngadadi kang tumurune awor lan banyun udan; tekane ing banyu jaladri banjur dadi umpluk pating paruntus cilik-cilik. Bareng kataman soroting surya lintang lan rembulan, sarta maneh kawuwuhan saka dayaning hawa, sumawana kaaanan pirangt-pirang mau, banjur bisa duwe daya nyerot lan kedher sarta mubeng, ananging panyerote ora pati lepas; dadi kang kena sinerot iku mung hawa lan sorote Guruning Ngadadi kang wus cedhak karo panggonane.
Dene sorot-sorot mau, tekane kayadene wus sinaring ing langit, sarta kawuwuhan dayaning pirang-pirang kang ana ing sajeroning langit kono; mulane bebadane soroting Gurunuing Ngadadi mau kawawa urip ana ing kono, lan wuwuh kuwat sarta bisa wuwuh gedhe, mundhak atos sarta bisa alalapisan. Lapisane telung rupa, kang jero dhewe kuning semu abang, njabane putih semu abang; kang njaba dhewe putih utawa abang enom, utawa maneh biru enom. Bareng wus dadi mangkono, panyerote banjur ora bisa tekan ing njaba, dadi mung nyerot bebadane dhewe bae, lan banjur polah kedher amubeng. Badane iku tansah kaya digosok, mulane suwe-suwe iya banjur anget saya anjendhel (akas). Dene bunteling badan lapisan kang njaba dhewe tansah kataman dening sunaring surya, dadi bebadane banjur kaya digarang saka njaba lan njero; lapisan
kang njaba dhewe iku diarani cangkang.
Kaanan kang mangkono mau lumrahe diarani antiga, tegese: urip kang nganggo bebadan lapis telu. Cangkange mau suwe-suwe kataman daya panasing surya, satemah anget ing jerone, banjur bisa pecah utawa mlethek. Bareng cangkang mau pecah, uripe jiwa mau anggone kedher lan nyerot wuwuh rosane, sarta wuwuh lepase, kongsi kawawa bebadane katutn katut obah, lan tansah gampang kagepok dening dayaning banyu jaladri lan dayaning surya lintang sarta rembulan. Saka daya kang mangkono iku, anjalari arupa bebadan sambungan telu. Panggonane bebadaning jiwa (cipratan) kang kaprenah ana ing jero, nuli dadi rupa ambendhol, diarani endhas; iku manawa bae kadadeyan saka tembung endhon lan tandhas; sambungane maneh diarani awak utawa gembung. Mulane diarani mangkono, jalaran iku kang minangka dadi wadhahing hawa kang sinerot. Dene tembung gembung iku, karepe yen hawa mau wus rinegem sajeroning wadhah iku, banjur katon mlembung. Awak lan gembung iku kadadeyan saka lapisaning bebadan kang arupa kuning. Dene putihe ambuntel sarta sambungane kang pungkasan, diarani buntut. Mulane diarani mangkono, jalaran iku bebuntelingt bebadan kang menawa obah tansah katut.
Sawuse arupa mangkono panyerote wuwuh rosa, ananging iya ora lepas banget. dadi kang kena sinerot iya mung saliring daya lan kaanan kang ana ing sacedhake bae. Saka kalumpukane kang sinerot iku, ana ana ing sajeroning gembunge, sawise nyarambahi ing bebadane, banjur ngesuk golek dalan bisane metu. Saking rosane daya kang arep metu, suwe-suwe awake banjur banjur bisa mobah sarta molah. daya kang mangkono mau diarani karep, tegese tekaning daya iku mau, yen panuju arep metu. Sarehning karep iku pinanghkane saka daya pirang-pirang, iya iku saka saka dayaning kaanan kang ana ing langit, lan saka dayaning pramana miwah pratala, sumawana jaladri saisine kabeh, karep iku enggone angobahake bebadaning jiwa lan awake kongsi bisa katut kagawa obah saka ing pernahe, marani menyangsalah sawijining kaananing sajeroning jaladri kono, kang gathuk (cocog) lan dayaning karep iku. Saking kulinane anyerot, sarta kang wus sinerot saking serenge enggone arep metu, suwe-suwe ing perangane endhas kang kapara ngarep banjur ana bolongane telu cilik-cilik, kang siji kaprenah ana ing ngarep kapara ngisor, diarani cangkem, kang loro kepara ndhuwur, diarani cungur.
Sangkan Paran #12
Mulane diarani cangkem, awit iku piranti kang minangka panancang sarta aningkem sakabehe kang sinerot. Dene cungur iku piranti kang minangka panuduh utawa mancung marang pernah saliring rurupan kang arep sinerot. Ing pernah gelitaning endhas lan gembung kang kakapara ngisor, uga banjur ana bolongane loro, diarani angsang. Mulane diarani mangkono, jalaran iku piranti kang kanggo anangsangake wetuning daya kang saka njero, kang supaya enggone ngetokake, bolongane mau ora kongsi kalebon ing banyune jaladri, dadi mung supaya mandheg utawa nangsang ana ing kono tumuli dinedel bali maneh. Sarta maneh peranganing endhas kapara ndhuwur ing kanan kiri banjur ana underane cilik-cilik, rupane bening kaya kaca, nganggo uwer (srd) rupa telu. Rupaning srd iku, kang tengah titik ireng bening, pinggire abang semu kuning, pinggire maneh abang semu putih, iya mangkono iku kang diarani mata. Mulane diarani mangkono, awit iku sawijining piranti kang bisa ngemot saliring rerupan, bisa katata ana ing sajeroningunderan iku, arane andulu utawa andelok, mula diarani mangkono awit saranduning bebadan kang ginawa obah dening karepe, banjur bisa nimbang lan bisa mangerti marang salah sawijining kaanan, kang bakal bisa cocog lan karepe kang dikira luwih perlu. Dene tembung andelok iku saka tembung ngandel lan mlok. Mulane mangkonio, awit saliring rurupan kang wus tinata dening underan mau, dayaning karep banjur bisa ngandel, yen rurupan iku sayekti (mlok).
Bareng wus arupa mangkono, kaanan iku panyerote sangsaya rosa, kongsi sarupaning kaanan (rurupan) kang ana sacedhake kono bisa katutn kaserot. Mulane bolonganing cangkeme banjur saya wuwuh amba lan perangan sacedhaking buntut kapara ngisor, banjur ana bolongane cilik, iya iku piranti kanggo ambuwang sisaning barang kang wus sinerot kalebu ing gembunge mau. Sarehning sabanjure tansah mangkono, dadi awake mundhak rosa lan mundhak gedhe, saya mundhak gedhene sangsaya kuwat panyerote, kongsi sarupaning kaanan kang kasar-kasar, kang bisa kalebu ing cangkeme, iya katut sinerot. Patrap anggone anglebokake samubarang ana ing cangkeme iku diarani mangan, awit iku manawa dineleng, mung maligi malebuning barang ana ing sajerone wenganing cangkeme tumeka sajerone gembunge, amarga pangane iku dadi butuh dayaning karep.
Samangsane sacedhake kono pangan sing dibutuhake wus ora nyukupi, serenging karep banjur ngetog daya kekuwatane kanggo marani (ngupaya) panggonaning pangan. Suwe-suwe bebadane kaleksanan bisa metu pirantine kang kanggo anggampangake lakune, kayata: kang ana ing kanan kirine gembung diarani kpt, kang ana ing sandhuwuring gembung diarani siwar, kang ana ing samburine bebadane diarani buntut kpt, ing sangisoring bebadane kapara mburi diaranin siwit. Bangsane titah sajeroning jaladri kang mangkono iku diarani mina.
Diarani mina mbok manawa bae iya mung dijupuk gampange. Yaiku saka tembung umi lan warna. Umi iku tegese wadon, amarga sawarnaning bangsa iku mau kabeh katone wadon; uwong ora gampang bisane ambedakake endi kang lanang lan endi kang wadon. Bangsane mina iku saya lawas banjur sangsaya pirang-pirang rupa, ana kang gedhe sarta ana kang cilik, marga keh sathithiking daya sarta sorot pletikane Guruning Ngadadi ora padha; apa maneh daya panyerote uga ora padha. bangsane mina iku kabeh uga nangkarake wiji sarana nunggalake rasane. Ing sajerone gembunge bisa ngandhegbpletikan Guruning Ngadadi, banjur dadi antiga kaya kang wis ningsun terangake ing ngarep. Suwe-suwe antigane ikub banjur diwetokake saka ing gembunge, dipernahake ana ing banyu kang akeh watune, didokokake ana ing sela-selane kono, utawa didokok ana ing wit-wiwtan lan gegodhongan kang ana ing sajeroning jaladri kono. Ana maneh kang didokok ana ing umpluking jaladri. Wusanane antiga mau iya banjur bisa dadi kayadene babone (bibite); suwe-suwe iya banjur bisa rusak lan tininggal dening jiwane (mati). Dene liyane banyu jaladri, ana maneh banyu ing kali-kali, tlaga-tlaga lan rawa-rawa, kabeh uga ana isen-isene bangsane mina kang dumadine uga meh ora beda karo mina ing sajeroning jaladri, mulane ora pati perlu manwa ingsun terangake. Cukup samene bae enggong ingsun nerangake sangkan paran, sarta sarasilahe isen-isen sajeroning jaladri.
Sangkan Paran #13
Ing saiki Ingsun bakal nyaritakake isn-isn kang ana ing pratala dharatan, pratala kang ora klban ing banyu jaladri. Geneya pratala kang ora keleban dening banyuning jaladri iku diarani dharatan? Iya, jalaran pratala kang ora keleban ing banyu jaladri iku dadi dhedhasaring udara (langit), warata ing lumahing pratala kabeh, sanadyan kang legok luwik, kang krowong lan kang bolong, iya warata kaebekan ing udara. Mulane manawa njupuk gampange, karepe saka tembung udara lan kawaratan.
Samengko Ingsun nyaritakake banyu udan kang tiba ing dharatan: iku tekane iya padha kabarengan sorot utawa cipratan Guruning Ngadadi, kang wus kasaring ing udara, sarta kang wus kamomoran daya saka kaanan pirang-pirang kang ana ing udara mau. Dharatan kang katiban ing banyu mau suwe-suwe banjur teles, marga wrataning banyu udan iku. Ana uga kang ora bisa kambah, iya iku mung panggonan kang grong miring,
marga lakuning banyu kaadhangan dening pratala sakdhuwuring grongan iku. Grongan kang mangkono mau diarani rong, kang gronge jembar diarani guwa. Mulane diarani mangkono, awit kang mlebu ing kono iku mung lugu dayaning hawa bae. Iku lumrahe enggone ngarani mau mung padha njupuk gampange bae.
Saiki Ingsun mbanjurake carita bab dharatan kang teles. Saya akeh udane, sangsaya nundhak telese, banyune nganti bisa mandheg watara suwe, katon ngmbng (megung), marga dharatan mau ora rata kabeh. Mangka wataking banyu iku mili, dadi lakune iya ora sabab saka urip lan saka karepe, nanging mung marani ing papan kang luwih cendhk. dadi papan kang luwih cendhk mau iya banjur kabkan ing banyu, kongsi tembire (pinggire) pratala kang legok mau bisa jugrug kesuk dening gedhening banyu. Wusana banyu megung mau banjur wutah liwat tapaking jugrugan iku lan banjur bisa lumaku saparan-parane anut papan kang legok. Amarga lumahing bawana iki kang endhek dhewe iku jaladri, dadi lakuning banyu mau suwe-suwe iya banjur tekan jaladri kono. Ana ing jaladri kono iku banjur kumpul karo banyuning jaladri, mangkono ing sabanjure. Dene dalan lakuning banyu iku, diarani kali. Enggone ngarani mangkono iku mbok manawa iya mung njupuk gampange bae, jalaran katone kadadian iku saka kesuk
ilining banyu.
Banyu udan liyane kang ora dadi kali, ana uga kang banjur kandheg ing papan kang nla luwih amba (lega), dununge ana ing kanan kiringing ancala (gunung), utawa lambunge ancala. Kang mangkono iku diarani tlaga. Tlaga iku kang akeh pinggire pratala kang luwih kandel, mulane banget santosane lan ora gampang jugruge kaya dene pratala kang liya-liyane. Mung bae yen banyune kakehan, lowahing tlaga mau ora kamot, amesthi banyune iya nganti ngungkuli pinggiring tlaga iku, temahane banjur lubr. Lubring banyu iku iya mili nglumpuk nurut papan kang legok, suwe-suwe iya banjur dadi kali, terkadang banjur bisa gathuk karo kali liyane.
Ana maneh padunungan kang ora ana ing kanan kiringing gunung, nanging dumunung ana ing papan kang rata. Kala-kala ing kono uga ana kang endhek utawa legok, iku kaisenan ing banyu udan mau, sarta banyune iya uga banjur ngebeki papan kang legok mau, banjur diarani rawa. Mula diarani mangkono, awit padunungan iku, bareng wus kaisenan ing banyu, katara agawe buyaring hawa kang ana ing kono.
Saiki mbaleni pratala kang mung teles bae, lan kang ora kakembeng dening kehing banyu udan, bareng kataman sorot Guruning Ngadadi, kang tekane ing kono wus kawoworan dayaning surya lintang lan rembulan, sarta dayaning kaanan pirang-pirang kang ana ing langit, pratala mau banjur nglumut. Lumute saya lawas sangsaya wuwuh kandele kongsi kawawa ngandhegake pletikaning Guruning Ngadadi. Suwe-suwe lumut mau iya banjur dadi wit-witan ora beda wit-witan kang ana ing sajeroning jaladri. Dene rawa-rawa iku, uga banjur ana lumute, lan lumut-lumut mau manawa oleh daya sorot Guruning Ngadadi, lan soroting surya lintang lan rembulan, kang wus kawoworan dayaning kaanan pirang-pirang kang ana ing langit, suwe-suwe iya uga bisa dadi wit-witan, ananging racake ora pati gedhe lan ora pati dhuwur kaya dene wit-witan kang ana ing pentasan, utawa kang ana ing sajeroning jaladri. Sebab wit-witan kang ana ing pentasan utawa kang ana ing sajeroning jaladri iku peranganing badan kang ngisor nduweni piranti kang kraket karo pratala, iya iku kang diarani oyod. Dadi dayane pratala iku luwih akeh kang sinerot dening wit-witan mau. Mulane banjur luwih gedhe lan luwih dhuwur. Beda karo kang ana ing sandhuwuring banyu rawa, awit babadan lan oyode iku mung nemplek lan muled marang rereged kang raket karo dhedhasaring lumut mau. Ing ngisore dhedhasaring lumut iku sanyatane banyu, dadi ora sapirowa olehe daya saka pratala. Sawuse ing dharatan kang kakembeng ing banyu utawa kang ora kakembeng wus isi wit-witan (kekayon), wit-witan mau uwoh lan godhonge kang wus luwas banjur padha coplok uwal saka ing wite, ora beda karo wit-witan kang ana ing sajeroning jaladri.
Sangkan Paran #14
Coploking uwoh kang ana ing dharatan iku mung tumiba ana ing sacedhake kono bae. Dene godhonge kang luwas mau banjur padha bosok, bosokane saya lawas saya wuwuh
akehe, sarta banjur carub karo pratala. Dene kang ana sandhuwuring banyu rawa uga banjur muwuhi kandeling lumut-lumut kang banjur njalari bisa tuwuh wit-witan kang cilik-cilik. Ana uga banjur rada gedhe, nanging rupane ora padha karo wit kang ngruntuhake godhong mau. Tetuwuhan kang cilik-cilik lan cendhak iku lumrahe diarani suket. Mulane diarane mangkono mbok manawa uga mung njupuk gampange bae, saka tembung su lan caket. Su tegese luwih, caket tegese cendhak, dadi karepe tembung suket iku anandhakake yen wit-witan mau luwih cendhak tinimbang lan liyane.
Saiki wit-witan kang ora ana ing sandhuwuring banyu rawa, iku wohe kang akeh tiba ana ing sangisoring wite. terkadhang ana kang mung katut dening ilining banyu bae. Dene kang ora pati akeh bobote bisa katut dening lakuning maruta. Mulane kongsi bisa adoh padunungane saka lajering wit iku mau. Banjur ana kang thukul lan rupane ora siwah karo bibite. Dene kang tiba awor karo gegodhongan kang wus bosok, marga kataman daya bosokaning godhong mau, lan ora gampang bisane oleh soroting surya lintang lan rembulan, kang katut dening sorot Guruning Ngadadi, mulane iya ora gampang bisane thukul.
Sarupaning bosok-bosokan mau bareng kataman ing hawa lan maruta kang wus kamomoran dening kaanan pirang-pirang kang ana ing langit, kang kagawa dening cipratane Guruning Ngadadi banjur padha mrentul pating pruntus, wangune gilig cilik-cilik. Pruntusan mau saya suwe sangsaya mundhak gedhene, dadi banjur saya kuwat enggone ngandheg sorot lan cipratane Guruning Ngadadi mau, sarta banjur kataman dening daya kedhering Pramana kang wus katutan dayaning geni lan pratala. Marga kang mangkono mau banjur njalari bisa urip lan bisa nduweni babadan kang kasar (agal).
Apamaneh saya akeh dayaning bosok-bosokan lan dayaning kaanan dumadi pirang-pirang, sumawana cipratane Guruning Ngadadi, mula uripe banjur duwe daya kedher, mungser sarta nyerot. Katerangane ora beda karo bangsa mina kang ana ing sajeroning jaladri kang wus diterangake ing ndhuwur mau. Dene lapisaning buntele kang ing njaba dhewe uga banjur pecah lan bebadane banjur gampang anggone nyerot. Apamaneh tansah kagepok dening soroting surya lawan rembulan, lan maneh uga tansah kataman dening hawa kang katut dening lakuning maruta. Kang mangkono iku, njalari akas lan santosaning bebadan, dadi mundhak kasar lan wuwuh rosane, mulane banjur bisa obah lan mingser saka padunungane marang panggonan kang bisa cocok dayane karo bebadane mau. Kang mangkono iku banjur marakake tuwuh kang minangka dedalane panyerot (mangan). Pamangane iya padha bae patrape karo bangsaning mina ing sajeroning jaladri. Saking rosaning pamangane kongsi barang kang kasar-kasar katut dipangan, kayata: gegodhongan lan wowohan kang padha tiba lan wus bosok ana ing sacedhaking padunungan kono iku. Amarga saka mangkono iku, banjur njalari mundhak gedhene lan rosane bebadan kang kasar mau, mulane banjur cetha banget pirantine, iya iku cangkem kang kanggo mangan lan cungur kang kanggo ambuwang hawa kang wus katut mlebu; kang kanggo mbuwang barang kasar sisane kang wus pinangan, iku diarani mburi. Kaanan dumadi kang ingsun caritakake iki diarani gegremetan. Mulane diarani mangkono, awit bisane obah saka ing pernah lakune katon nggremet.
Mangkono uga ing sajeroning tlaga utawa rawa, papan kang dumunung ing pinggir utawa panggonan lumut-lumut uga ana gegremetane lan ana bangsane mina kaya kang wus diterangake. Malah ana ing sajeroning tetuwuhan (wit-witan), kang ana minane, awit maune wit-witan iku ana bolongane. Bolongan mau kaisenan ing banyu kang asale saka banyu udan. Dene wit-witan kang sok kadadeyan mangkonoo iku, diarani pring. Marga pring iku maune iya endhek lan ana bolongane ing ndhuwur kang minangka cangkeme kaya kang wus kapratelakake ing ngarep. Jalaran saka iku, gampang digremeti dening bangsaning mina, awit ing kono iku ana banyune, mulane mina mau banjur manggon watara suwe ana ing kono. Wusana banjur ninggal antiga (endhog). Suwe-suwe endhoge mau netes. Tetesane banjur bisa kulina urip ana ing kono. Dene bangsane mina kang mangkono iku diarani urang.
No comments:
Post a Comment