أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
TITIK PERTEMUAN ANTARA TASAWUF DAN KEBATINAN
BabI
Pendahuluan
Aliran kebatinan atau sekarang
dikenal dengan “kepercayaan”, lengkapnya adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang
Maha Esa merupakan suatu sistem kepercayaan
atau sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama, aliran, faham,
sekte, atau madzhab dari agama tersebut, serta bukan pula termasuk kepercayaan
adat. Nama kebatinan lebih dikenal pada tahun 1950-an sampai akhir tahun
1960-an, muncul dalam berbagai bentuk gerakan atau perguruan kebatinan.1 Banyak para ahli ilmu sosial maupun
ilmu agama yang menganalisa dan memberikan pendapatnya kenapa aliran kebatinan
pada saat itu tumbuh dengan pesat. Hal itu antara lain karena disamping
dimungkinkan karenaa adanya pernyataaan kebebasan beragama dalam UUD, juga
karena berbagai krisis yang terjadi pada masa itu menuntut orang untuk mencari
pegangan hidup, serta penguat batin.
Faham
kebatinan ini dalam proses perkembangannya senantiasa selalu didukung oleh
golongan priyayi, yaitu golongan keluarga istana dan pejabat pemerintah kraton.
Mereka termasuk dalam kategori Islam abangan lapisan atas, yakni orang Islam
yang kurang mengetahui serta kurang memahami ajaran-ajaran agama Islam yang
tentu saja tidak mengamalkan syari’at-syari’at agama Islam. Mereka mempertahankan
budaya agama yang telah sampai pada mereka sebelum datangnya Islam sehingga
mereka menganggap Islam sebagai tambahan, yaitu tambahan untuk melengkapi
keperluan dalam ajaran-ajaran mistik. Dalam mistik priyayi ini, tidak ada
bedanya antara yang muthlak ( Tuhan ) dengan manusia. Antara tuhan dan manusia
bisa terjadi persatuan yang ditentukan oleh usaha manusia itu sendiri.
Sedangkan dalam mistik Islam, jelas bahwa tuhan (kholiq) berbeda dengan manusia
(makhluk). Terbukanya tirai antara manusia dengan tuhannya adalah merupakan
anugrah dari Yang Maha Agung, manusia hanya bisa memohon dan mempersiapkan
diri. Namun mistik priyayi tidak canggung-canggung menggunakan istilah-istilah
dalam mistik Islam yang mungkin sesuai dengan mistik penghayatan mereka,
seperti istilah al-fana, al-baqa, wihdatul wujud, dan lain sebagainya.2
Perjalanan
batin atau perjalanan nurani manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yakni
dengan berada sedekat-dekatnya dengan tuhan yang disebut mistik. Dan oleh
karena mistik itu senantiasa berkaitan dengan pengalaman ke-agamaan, maka
mistik ada pada setiap agama, bahkan ada pada aliran-aliran pseudo-agama,
yakni agama atau faham yang menyerupai agama. Pada agama-agama besar dunia
terdapat mistik Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Dan pada aliran-aliaran yang
meyerupai agama kita sebut dengan mistik kebatinan, dan disebut dalam Islam
dengan meyerupai tasawuf atau sufisme. 3
Bab II
Tasawuf
A. Pengertian Tasawuf
Kecenderungan
hidup secara zuhud yang telah tumbuh pada abad pertama hijriah. Praktek hidup
menjauhi dunia ini, atau zuhud, pada masa itu belum disebut dengan tasawuf. Dan
orang yang mengamalkan hidup semacam itu baru dikenal dengan sebutan “Zahid”.
Zuhud dengan demikian kemudian merupakan benih yang kemudian tumbuh dan berkembang
menjadi tasawuf. Menurut Al Qusyairi, istilah “syufi” baru dipergunakan pada
akhir abad kedua hijriah, atau sekitar tahun 800 M. sebutan ini menunjukkan
kepada kelompok orang-orang yang zuhud yang memakai pakaian kasar (bulu doma),
yang menurut Ibnu Khaldun, untuk membedakan diri mereka dari orang-orang yang
memakai pakaian yang mewah. Sebutan ini pertama kali ditujukan pada Abi Hasyim
Al-kufi (w. 150 H). Dialah perintis dari orang yang hidup zuhud, wara,
tawakkal, mahabbah, dan menjadi orang yang pertama dikenal
sebagai sufi. Inilah asal usul kata tasawuf, menurut Dr.Ibrahim Basyuni lebih
bisa diterima dilihat dari aspek bahasa histories dibanding dari
pendapat-pendapat lain.4
Pendapat
lain yaitu, Abu Nasr al- Sarraj al-thusi dalam kitab al-Luma, mengatakan bahwa
tasawuf berasal dari kata sofa yang
artinya bersih karena tujuan kaum sufi ialah memperoleh kebersihan batin. Masih
ada pendapat lain yang mengatakan bahwa ia berasal dari kata “shuffah”
yakni sebuah kamar di luar masjid Nabawi yang ditempati oleh kaum fuqoro,
orang-orang yang sangat ingin bertemu dengan Allah. Sedangkan Jurji Zaidan
berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani shopia yang berarti
bijaksana.5
C. Sumber
Tasawuf
Pada
masa awal Islam, sufisme tidak dipandang sebagai sisi batin (terdalam) dari
ajaran Islam sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang, melainkan ia
dipandang sebagai Islam sendiri. Bahkan, dalam rangka meremehkan kebangkitan
aspirasi manusia sesudah fase pertama perkembangan Islam, kalangan sufi
mengatakan: “ pada awalnya sufisme merupakan sebuah nama tanpa realitas”.
Menurut kalangan sufi, guru sufi yang terbesar dan guru yang sejati tidak lain
adalah Nabi Muhammad sendiri yang mengajarkan ajaran esoteris Islam kepada para
sahabat, yang pada masa berikutnya mereka menjadi penerus. Dari sumber inilah
para sufi mewarisi inspirasi dan ajaran-ajaran para sahabat. Para sahabat juga
memberikan barakah, anugerah, atau berkah spiritual yang diterima Nabi Muhammad
dari Allah pada masa awal risalahnya dan yang kemudian disampaikan kepada para
sahabatnya melalui Baia’t al-Ridwan (sumpah kesetiaan) yang berlangsung di
Hudaibiyyah ( al-quran 48:10). Rangkain yang transmisi yang berpangkal pada
sumpah di Hudaibiyyah ini yang oleh seorang Syaikh disampaikan kepada seorang
Syaikh yang lainnya dinamakan silsilah. Seluruh sufi mestilah secara otentik
dihubungkan dengan sebuah metode silsilah ini.6
Menurut
sejarah, Islam diturunkan dan semula berpusat di kota Mekkah dan Madinah,
kemudian meluaskan daerah kekuasaannya di luar jazirah Arab, Mesir, Syiria,
Irak, Persia, dan yang lainnya. Didaerah-daerah taklukan ini Islam terpaksa
berhadapan dan mendapat pengaruh tradisi budaya setempat, terutama ajaran
filsafat Yunani (Helenisme) dan pengaruh mistik timur. Pengaruh fisafat Yunani
purba mempercerdas dan meningkatkan kemampuan berfikir ilmiah ulama-ulama
mujdtahid sehingga banyak ulama-ulama yang mujdtahid menjadi
mujdtahid-mujdtahid yang agung. Dari pemikiran mujdtahid-mujdtahid agung yang
mampu menguasai ilmu logika Aristoteles inilah lahirnya madzhab-madzhab agung
dalam segala cabang ilmu-ilmu ke-islaman. Dengan menyadap dan mengolah
unsur-unsur budaya progresif Yunani purba untuk menafsirkan ajaran agama dan
mengembangkan budaya ilmiah agama. Kebudayaan Islam dapat mencapai perkembangan
yang sangat indah dan menjadi mercusuar peradaban dunia pada masa itu. Kemudian
orang-orang Eropa mulai mengenal kebudayaan progresif Yunani purba melalui
perantara berguru pada ilmuan-ilmuan muslim seperti Ibn Rasyid, Ibn Sina, Al
Farabi, dan lain-lainnya.7
Adapun perkembangan atas dasar
pengaruh budaya dan mistik timur melahirkan ajaran sufisme-sufisme atau tasawuf
yang mulai dirintis orang Islam sejak pertengahan dari abad 2 H. Ajaran Tasawuf
menurut kodratnya adalah exterm kerohanian dan anti kritik penalaran rasional.
Dalam perkembangan selanjutnya sufisme akhirnya mampu mendominasi alam pikiran
Islam semenjak runtuhnya kejayaan peradaban Bagdad dan Cordova pada abad ke-13
M.
D. Pengaruh
Tasawuf
Tasawuf
berusaha mengalihkan pikiran umat Islam, kalau ajaran sunni atau syar’i memacu
pikiran Islam untuk berijtihad mengembangkan cara berfikir ilmiah ; maka
tasawuf mendorong pemikiran keilmu gaib ( pengalaman kasyf) yang irrasional.
Sejarah membuktikan dominasi ajaran sufisme yang berlangsung sejak abad ke-13
sampai abad ke-20 M ditandai dengan kemunduran total pemikiran Islam. Akibat
kemunduran ini umat Islam menjadi terhina lantaran dijajah oleh bangsa-bangsa
barat yang lebih pintar. Itu semua adalah fakta dalam sejarah yang tidak dapat
dipungkiri. Tasawuf ternyata melenyapkan kemampuan ijtihad umat Islam. Maka
dominasi ajaran sufisme yang berlangsung selama tujuh abad ternyata mandul,
tidak mampu melahirkan seorang mujtahidpun. Mengapa? Karena pola budaya yang
ekspresif murni over ekspresif murni yakni
pola budaya yang teori rasionalnya amat kecil. Hal ini berbeda dengan pola
budaya Islam sunni dengan lembaga
Ijtihadnya sangat tinggi nilai pemikiran teori rasionalnya.8
E. Tasawuf Sunni, Tasawuf
Falsafi, Ciri, Tujuannya serta Perbedaannya
Tasawuf sebagai mistik Islam, menurut Abul Wafa
Tafta Zani memiliki cirri-ciri umum yang bersifat psikis, moral dan
epistomologi. Menurut pendapatnya bahwa tasawuf adalah merupakan suatu bentuk
peningkatan moral, artinya setiap tasawuf memiliki nilai-nilai moral tertentu
dan merealisasikan nilai-nilai itu dengan maksud untuk membersihkan batin.
Tujuan tasawuf adalah untuk pemenuhan fana dalam realitas muthlak, yaitu
kondisi psikis tertentu, dimana seorang sufi tidak merasakan adanya diri atau
keakuhannya. Jika kondisi fana terwujud maka sufi akan memungkinkan memperoleh
pengertahuan intwitif langsung, yang bagaikan sinar kilat muncul dan pergi
secara tiba-tiba dan secara psikis akan muncul pengalaman rohani yang dirasakan
sebagai ketentraman dan kebahagiaan rohani.9
Untuk
mencapai tujuan mendekatkan diri kepada tuhan, menurut sejarah, semula tasawuf
mengambil bentuk zuhud, dalam arti sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan
duniawi. Selanjutnya tasawuf juga dipergunakan untuk memperhalus budi pekerti
dan sopan santun ketika manusia mengadakan hubungan Tuhan dan hubungan dengan
sesama manusia. Corak penghayatan tasawuf ini muncul dalam awal perkembangan
tasawuf yang cenderung merupakan gerakan moral, dimaksudkan untuk memperhalus
budi pekerti dan pengalaman syari’at yang biasa dijalankan dengan ketat
dan kaku, sehingga ajaran syari’at itu
menjadi lebih halus, mendalam, dan bermakna. Tasawuf ini dikategorikan sebagai
mistik kepribadian karena hubungan antara manusia tidak sampai pada penyatuan
esensi, karena antara tuhan dan manusia pada dasarnya berbeda, tasawuf ini
disebut juga sebagai tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni10. Tasawuf ini dikembangkan dan
tetap berpegang pada ortodoksi al-qur’an dan sunnah Nabi dengan konsep khouf (
takut ) kepada balasan tuhan, dengan konsep al-hubb al-Ilahi yakni
cinta kepada Allah, ma’rifat billah, mengenal Allah dengan mata
hati.
Namun dalam perkembangan tasawuf lebih lanjut,
memperlihatkan bahwa tasawuf bukan hanya untuk memperhalus budi pekerti yang
bersifat akhlaki, tetapi juga merupakan pandangan hidup yang disistimatisir
atas dasar pemikiran dan mendasar yang bersifat falsafi. Corak kefalsafian ini,
bukan saja untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya, tetapi
juga untuk bersatu dengan tuhan. Tasawuf ini, disebut sebagai tasawuf non
sunni11 dan dapat
dikategorikan sebagai mistik ketakterhinggaan yang berlandaskan kepada
kepercayaan monistis, panteistis. Sebuah cabang sufisme yang
populer yang bersifat kebaktian berusaha mencari ketenaran terutama dalam
fenomena psikis, berkomunikasi dengan ruh (spirit) dan jinn, tarian, magic, dan
sejumlah keajaiban seperti memakan kaca, menusuk badan dengan pisau dan lain
sebagainya. Dalam kekuatan psikis dan kondisi mental yang luar biasa ia
menghadirkan bukti-bukti pencapaian spiritual. Hal ini menimbulkan penerapan
kata Faqir (lit orang yang melarat) dikalangan bangsa Eropa dengan
pengertian “pertunjukan ahli magic di pasar” yang mana hal ini cukup dikagumi
bukan saja oleh kalangan peneliti tetapi juga dalam masyarakat Islam sendiri.15
Dengan
melihat kedua kecenderungan penghayatan tasawuf tersebut merumuskan perbedaan
tujuan tasawuf yaitu ma’rifah billah dan
ihsan kamil. Tujuan ma’rifah billah dipegangi oleh tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni yang
merujuk pada al-qur’an dan hadits dan selalu memperhatikan syari’at. Sufi yang
telah mencapai derajat ma’rifah, seluruh aktifitasnya tersentral kepada Allah.
Ma’rifah kepada Allah adalah merupakan cahaya yang telah di pancarkan oleh
Allah di hati hamba-Nya.
Disisi
lain, tasawuf falsafi lebih menekankan kepada tujuan pencapaian derajat insan
kamil, kondisi itu dapat dicapai orang yang telah berhasil merealisasikan
seluruh kemungkinan yang ada. Insan kamil merupakan cermin tuhan yang
diciptakan atas namanya dengan kata lain kondisi tersebut dapat terwujud mana
kala manusia sudah dapat mencapai kesatuan muthlak dengan Tuhan. Tujuan ini
dilandasi oleh adanya keyakinan kesamaan essensi antara tuhan dan manusia,
realisasi wahdah azasi yang mengakibatkan adanya sifat-sifat dan keutamaan tuhan
pada dirinya. Oleh Yazid al-Bustani disebut Ittihad, dan oleh
al-Suhrawardi Isyraq, dan menurut al-Hallaj disebut hulul. Hulul berarti
“ mengambil tempat” maksudnya Tuhan mengambil tempat (menyatu) pada diri
manusia. Konsep hulul dilandasi oleh suatu pandangan bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat ketuhanan (al-lahut),
dan dalam diri Tuhan terdapat kemanusiaan (al-nasut). Dengan demikian
persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi.12
F. Metode,
Sitim dan Maqomat Pencapaian
Untuk
mencapai tujuan akhir dari perjalanan sufi hingga sampai kepada ma’rifat
ataupun insane kamil, maka para sufi harus menempuh perjalanan panjang yang
sangat berbeda antara sufi satu dengan yang lainnya. Adapun jalan yang ditempuh
disebut suluk atau thoriqot yakni berusaha melatih diri (
riyadoh) serta berjuang (bermujahadah) melepas diri dari belenggu hawa nafsu
dan dari sifat kebendaan yang merupakan hijaab (pembatas) antara diri dengan
tuhan. Suluk ataupun tarekat yang detempuh tentulah harus sejalan dengan
syari’at.
Diantara
tarekat atau metode yang ditempuh dalam latihan jiwa tersebut antara lain sitim
makomat tujuh tingkat yang dikembangkan oleh al-Suhrawardi dan Halwatiyah
yakni dengan berjuang melawan nafsu amarah kemudian naik ke tingkat
nafsu lawwamah, ketingkat nafsu mulhamah, ketingkat nafsu muthmainnah,
ketingkat nafsu kamilah. Metode yang dipakai al-Ghozali disebut system
pendidikan pengawasan diri yang terdiri dari tujuh tingkat yakni musawarathah
(memperingati diri), muroqobah (pengawasan diri), muhasabah
(membuat perhitungan atas diri), mu’aqobah (menyesali diri), mukasyafah
(terbuka hijab). Sedangkan sistem yang lain adalah sistem pendidikan tiga
tingkat yaitu takholi, tahalli, tajalli.13
Pada
pendidikan tiga tingkat ini langkah pertama adalah takholli yang berarti
mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi,
yang dapat ditempuh dengan jalan menjauhkan diri kemaksiatan dalam segala
bentuknya berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu. Diantara sifat yang tercela
dari maksiat lahir dan batin yang perlu dibersihkan seperti sifat-sifat hasad
(dengki), su’udzon (buruk sangka), kikir, ujud (merasa
sempurna diri dari yang lain), riya’ (memamerkan kelebihan), suma’ (cari-cari
nama atas kemasyhuran), bukhul (kikir), hubbul mal (gila harta), tafahur
(membanggakan diri), godhob (pemarah), gibah (pengumpat), namimah
(mengadu domba atau bicara belakang orang), kidzib (dusta), khianat
(munafik) dan lain-lain.
Sesudah tahap takholli maka tahap
kedua adalah Tahalli, yakni menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat, sikap, dan perbuatan yang baik. Tahap ini
merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan dan diisi dengan
sifat-sifat terpuji. Dalam hal ini segala tingkah laku perbuatan harus berjalan
sesuai dengan ketentuan agama, baik kewajiban yang bersifat lahir maupun batin
kewajiban lahir yang bersifat formal seperti puasa, sholat, zakat, dan haji,
sedang aspek batin seperti iman, ketaatan, kecintaan terhadap tuhan, dan
lain-lain. Termasuk dalam sifat terpuji adalah taubah (menyesali diri
dari perbuatan tercela), khouf (perasaan takut kepada Allah), ikhlas
(niat dan amal yang tulus), syukur (rasa terima kasih), zuhud
(hidup sederhana), sabar (tahan diri dari segala kesukaan, menahan diri
dari amarah, menahan diri atas kesukaran), ridho (bersenang hati menerima
keputusan Allah), tawakkal (menggantungkan nasib kepada Allah),
mahabbah (perasaan cinta kepada Allah), dzakrul maut (selalu ingat
akan mati).14
Jika kedua tahap takhalli dan tahalli
telah dilalui, maka memungkinkan seorang sufi mencapai tahapan tajalli
yakni memperoleh seluruh kesempurnaan kesucian jiwa sehingga terbuka jalan
untuk mencapai tuhan. Pada tingkat ini hati seorang sufi bercahaya terang
benderang, dadanya seperti terbuka luas dan lapang, terangkatlah tabir malakut
dengan karunia rahmat dan jelaslah segala hakekat yang selama ini terhijab.
Bab III
Mistik Kebatinan
A. Pengertian Kebatinan
Aliran kebatinan atau sekarang
dikenal dengan “kepercayaan”, lengkapnya adalah kepercayaan terhadap Tuhan yang
Maha Esa merupakan suatu sistem kepercayaan
atau sistem spiritual yang ada di Indonesia selain agama, aliran, faham,
sekte, atau madzhab dari agama tersebut, serta bukan pula termasuk kepercyaan
adat. Nama kebatinan lebih dikenal pada tahun 1950-an sampai akhir tahun
1960-an, muncul dalam berbagai bentuk gerakan atau perguruan kebatinan.16 Banyak para ahli ilmu sosial maupun
ilmu agama yang menganalisa dan memberikan pendapatnya kenapa aliran kebatinan
pada saat itu tumbuh dengan pesat. Hal itu antara lain karena disamping
dimungkinkan karena adanya pernyataaan kebebasan beragama dalam UUD, juga
karena berbagai krisis yang terjadi pada masa itu menuntut orang untuk mencari
pegangan hidup, serta penguat batin.
B. Perkembangan Aliran Kebatinan
Faham kebatinan ini dalam proses
perkembangannya senantiasa selalu didukung oleh golongan priyayi, yaitu
golongan keluarga istana dan pejabat pemerintah kraton. Mereka termasuk dalam
kategori islam abangan lapisan atas, yakni orang Islam yang kurang mengetahui
serta kurang memahami ajaran-ajaran agama islam yang tentu saja tidak
mengamalkan syari’at-syari’at agama Islam. Mereka mempertahankan budaya agama
yang telah sampai pada mereka sebelum datangnya Islam sehingga mereka
menganggap Islam sebagai tambahan, yaitu tambahan untuk melengkapi keperluan
dalam ajaran-ajaran mistik. Dalam mistik priyayi ini, tidak ada bedanya antara
yang muthlak ( Tuhan ) dengan manusia. Antara tuhan dan manusia bisa terjadi
persatuan yang direntukan oleh usaha manusia itu sendiri. Sedangkan dalam
mistik Islam, jelas bahwa Tuhan (kholiq) berbeda dengan manusia (makhluk).
terbukanya tirai antara manusia dengan tuhannya adalah merupakan anugrah dari
yang maha agung, manusia hanya bisa memohon dan mempersiapkan diri. Namun
mistik priyayi tidak canggung-canggung menggunakan istilah-istilah dalam mistik
islam yang mungkin sesuai dengan mistik penghayatan mereka, seperti istilah
al-fana, al-baqa, wihdatul wujud, dan lain sebagainya.17
Perjalanan
batin atau perjalanan nurani manusia dalam mencapai kesempurnaan hidup yakni
dengan berada sedekat-dekatnya dengan tuhan yang disebut mistik. Dan oleh
karena mistik itu senantiasa berkaitan dengan pengalaman ke-agamaan, maka
mistik ada pada setiap agama, bahkan ada pada aliran-aliran pseudo-agama, yakni
agama atau faham yang menyerupai agama. Pada agama-agama besar dunia terdapat
mistik Hindu, Budha, Kristen, dan Islam. Dan pada aliran-aliaran yang meyerupai
agama kita sebut dengan mistik kebatinan.18
C. Sumber-Sumber Kebatinan
Pernyataan bahwa kebatinan adalah merupakan
budaya spiritual tampak lebih mencuat setelah masuk dalam GBHN 1978, dimana
dinyatakan bahwa Kepercayaan terhadap Tuan Yang Maha Esa bukanlah agama.
Sebagaimana ditetapkan pada kepres No.7 tahun 1978 tentang pelita III Bab 18,
telah dinyatakan bahwa kepercayaan adalah sebagai bagian dari kebudayaan
Naional. Oleh karena itu defenisi kerja dari Direktorat PPK juga menyatakan : “
Kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kebudayan spiritual yang
berunsurkan: tuntunan luhur dalam mewujudkan perilaku, hukum dan ilmu suci,
yang dihayati oleh penganutnya dengan hati nurani dalam kesadaran dalam
keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan membina keteguhan tekad dan
kewaspadaan batin serta menghaluskan budi pekerti dalam tata pergaulan menuju
kebersihan jiwa dan kedewasaan rohani, demi kesejahteraan dan kesempurnasan
hidup di dunia dan dialam kekal”.19
Adapun budaya spiritual yang
dimaksud disini tentunya adalah budaya warisan nenek moyang bangsa Indonesia.
Hanya saja apabila ditelusuri secara mendalam akan lebih nyata corak suku Jawa
yang lebih menonjol. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa hampir 45% dari
jumlah aliran kebatinan yang berada di Indonesia ada di tanah Jawa, terutama
Jawa Tengah. Kajian terhadap histories menunjukkan latar belakang kenapa Jawa
merupakan basis dari berbagai macam aliran, karena pada hakekatnya Kebatinan
adalah inti sari dari falsafah orang Jawa yang disebut “ngelmu kejawen”,20 atau apa yang oleh
Koentjaraningrat disebut dengan agama jawi, yaitu warisan dari agama Islam
orang Jawa yang bersifat sinkretis yang masih mencampur adukkan antara agama
Islam dengan kompeks keyakinan dan konsep-konsep Hindu Budha yang cenderung
kearah mistik.21 Ajaran-ajaran semacam
ini telah ada sejak abad 16-17 M, terdapat dalam kesusastraan suluk yaitu
himpunan syair mistik yang ditulis dalam bentuk macapat gaya Mataram,
semacam suluk Sukarsa dan suluk Wujil. Demikian juga unsur-unsur kesusastraan
suluk yang bersifat sinkretis dan mistik itu pada akhir abad 18 sampai dengan
awal abad 19 telah dimasukkan oleh pujangga Kraton Mataram dalam karya-karya
seperti serat centini dan serat Cabolek. Karya-karya semacam itu dipandang
sebagai karya adi luhung, karena tidak hanya nilai sastra gaya
bahasa yang bagus tetapi lebih dari itu mempunyai sisi ajaran pandangan hidup
yang luhur. Diantara pujangga dan cendikiawan ahli strategi kebudayaan kraton
syang dipandang sebagai peletak dasar bagi konsep-konsep Agami Jawi itu adalah
Yasadipura I (1803-1927) dari Kraton Mataram di Surakarta dibawah pemerintahan Sunan
Pakubuana III (1749-1788) dan kemudian Sunan Pakubuwana IV (1788-1820).
Diantara karyanya Serat Cabolek itulah yang
bersifat mistik moralis. Karya itu, dan juga karya yang lain ditulis
atas dasar kerangka pemikiran bahwa kedatangan agama Islam adalah suatu
kenyataan yang harus dihadapi dan diterima oleh orang Jawa. Walau demikian dia
menghimbau agar agama dan hukum Islam hanya merupakan wadah saja untuk
kebudayaan Jawa, tetapi untuk kehidupan spiritualnya sebaiknya orang Jawa
berpegang pada kebudayaanya sendiri. Yang dimaksud dengan kehidupan spiritual
disini adalah meliputi cara untuk menemukan kemurnian jiwa dan kesempurnaan
hidup dan usaha untuk menemukan dirinya di dalam Tuhan.
Jadi karya-karya sastra pada zaman
itulah yang dipandang sebagai warisan nenek moyang yang menjadi dasar
ajaran-ajaran Kebatinan dewasa ini. Dalam kaitannya dengan itu, tepat pula yang
ditulis oleh R. Tohar bahwa Serat Centini dapat dipandang sebagai Encyklopedia
ilmu kesempurnaan Jawa.22
Oleh karena itu aliran-aliran kebatinan/kepercayaan
secara umum dapat dikatakan sebagai kepercayaan masyarakat Jawa atau kejawen
yang sudah beridentitas. Dimaksud beridentitas disini bahwa kepercayaan itu
sudah dapat dibedakan dengan yang lainnya karena sudah menyusun ajarannya
masing-masingsecara spesifik, dan mempunyai guru atau pemimpin atau
kadang-kadang mempunyai organisasi.23
D. Tujuan
Kebatinan
Konsep
dasar dari mistik Kebatinan itu dijelaskan oleh Koentjaningrat dalam bukunya
Kebudayaan Jawa, bahwa menurut pandangan mistik kebatinan Jawa, kehidupan
manusia merupakan bagian dari alam semesta yang abadi, dimana manusia itu
seakan-akan “hanya berhenti sebentar untuk minum” dalam menjalani suatu
perjalanan yang tiada henti-hentinya, untuk mencari tujuan akhirnya yaitu
bersatu dengan sang pencipta. Untuk mencapai tujuan tersebut hal yang perlu
sangat mutlak adalah kemauan dan kemampuan untuk melepaskan diri dari
kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik,
pikiran atau perasan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki. Melalui
sikap rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari beberapa kekuatan serta
pengaruh dunia kebendaan sekitarnya. Sikap menyerah serta mutlak ini tidak
boleh dianggap sebagai tanda lemahnya seseorang; ini menandakan bahwa orang itu
memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman.30
Prof.
Kamil Kartapraja menyatakan bahwa kebatinan (ngelmu kebatinan) adalah suatu
ilmu yang bersangkutan dengan ajaran-ajaran mistik, sufi. Ilmu kebatinan ini
disebut juga dengan ngelmu hakiki, ngelmu sejati, yaitu ilmu yang berusaha
mencari hakekat hidup, hakekat manusia, hakekat tuhan dan segala yang
bersangkutan dengan Metafisika (alam gaib).
Apa yang disebut mistik kebatinan Prof.
M.M. Djajadigoeno, SH, lebih memperjelas sebagaimana dia menyatakan bahwa yang
disebut kebatinan pada lazimnya adalah usaha untuk mencapai kesempurnaan
dirinya. Tujuan terakhir ialah apa yang dalam bahasa jawa disebut panunggaling
kawulo gusti (bersatunya makhluk dengan khalik) dan dilambangkan sebagaimana “curiga
manjing rangka maning ing curiga” (bersatunya keris dengan rangka dan
bersatunya rangka keris dengan keris). Dalam bahasa latin disebut “Unio
Mystica” dan orang yang bergama Budha
menyebutnya “Nirwana”. Sedangkan jalan untuk mencapai tujuan itu disebut
samadhi atau meditasi.24
Tujuan
untuk mencapai manunggaling kawulo Gusti itu dilandasi oleh suatu pemikiran
teologis-metafisika “sangkanparaninfg dumadi” (asal dan kembalinya
segala sesuatu yang ada). Dari pandangan filosofis tersebut dapat diketahui
ajaran-ajaran Tuhan, manusia dan alam, siapakah manusia, dari mana asal
usulnya, serta bagaimana hubungannya dengan Tuhan. Menurut ajaran kebatinan
itu, manusia berasal dari Tuhan yang diciptakan oleh Tuhan melalui suatu proses
tanazzul, semacam proses emanasi, dimana Tuhan mengejawantah atau
menjelmakan diri dalam beberapa pangkat emanasi, dari wujudnya yang gaib sampai
akhirnya bermuara pada terwujudnya manusia yang terdiri dari jasmani dan
rohani, yang disebut sebagai insane kamil. Semula intisari manusia yang disebut
dengan nama-nama yang bermacam-macam sebagai urip, atman, roh suci, berada di
alam awang- awung, alam dimana Tuhan bersemayam, sebagai alam yang digambarkan
alam kebahagiaan. Keberadaan intisari manusia itu masih manunggal dengan Tuhan
dan melalui proses tanazzul sejak dari alam ahdiyat, kemudian turun ke- alam
wahdat,dan seterusnya ke alam wahidiyat, alam arwah, alam mitsal, alam ajsam
dan akhirnya menjelma menjadi insan kamil.25
Sebagai
hasil dari panunggaling kawulo Gusti itu memungkinkan manusia akan memperoleh
pula kekuatan gaib, daya liniwih diluar batas-batas kemampuan manusia biasa.
Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Rahmat Subaya dalam memberikan defenisi
“Kebatinan sebagai berikut: Kebatian merupakan sebuah gerakan :a) untuk
meningkatkan integrasi manusia b) yang membawa sertanya latihan-latihan agar
diri manusia beralih dari kedudukan semula kepada tingkat yang lebih sempurna
c) karena menyebabkan partisifasi manusia dalam daya luar biasa yang mengatasi
kemampuan orang biasa”.26
Termasuk dalam kemampuan luar biasa
itu adalah:
- Hadir dalam dua tempat pada waktu yang sama.
- Menyembuhkan penyakit oleh daya budi
- Bisa berhubungan dengan roh-roh halus di alam gaib.
- Mengetahui niat yang terkandung dalam hati orang lain.
- Bisa meramal nasib seseorang atau apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang.
- Memindahkan benda tanpa disentuh tangan atau diangkat.
- Memiliki pendengaran, penglihatan dan penciuman yang gaib.27
Tidak
berbeda dengan pengertian yang diatas, Drs. Niels Mulder memberikan
defenissi bahwa Kebatinan itu adalah mistik penembusan terhadap dan pengetahuan
mengenai alam raya dengan tujuan mengadakan suatu hubungan langsung antar
individu dengan lingkungan Yang Maha Kuasa. Dinyatakan bahwa termasuk dalam
penertian ini Kebatinan juga meliputi ilmu gaib, ilmu sihir, baik sihir hitam
maupun sihir putih. Demikian juga kepercayaan akan ramalan-ramalan, upaya
mempengaruhi kejadian-kejadian di masa datang, penafsiran terhadap praktek
nujum, magi, azimat, tuah, mantra, rapal, kesurupan jiwa, hari naas,tenung, dan
lain sebagainya, lambing-lambang kesaktian barang-barang keramat serta
makam-makam yang keramat, itu semua termasuk kedalam lingkungan gaib yang
merupakan bagian dari Kebatinan.28
Dengan
adanya praktek-praktek ilmu gaib tersebut yang dikembangkan okeh kebatinan,
maka aliran-aliran kebatinan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:
a.
Aliran yang bersifat positif konstuktif dalam membina
mental para anggotanya, dengan mengembangkan dan mengamalkan White Magic,
seperti memberi pengobatan dengan daya gaib, ramalan cari jodoh dan lain-lain.
b.
Aliran yang bersifat negatif destruktif menyimpang dari
ketentuan moral, didorong oleh nafsu dunia serta mengembangkan dan mengamalkan
Black Magic, seperti praktek guna-guna, tenung dan lain sebagainya.29
Bab IV
Kesimpulan
(Titik
Pertemuan)
Dari
uraian yang panjang diatas dapat diketahui titik-titik pertemuan antara tasawuf
dengan kebatinan. Titik temu itu tidak saja tampak pada tujuan yang hendak
dicapai, yakni upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga pada alur pikir
yang melandasi jalan mistik yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan mistik
tersebut.
Namun demikian titik temu akan lebih
tampak kelihatan antara mistik kebatinan dengan tasawuf falsafi (non sunni)
yang keduanya berkecenderungan mendasarkan faham ketuhanan yang bercorak
monisme panteistik dan bertujuan untuk mencapai persatuan antara manusia dengan
Tuhan. Lain halnya jika mistik kebatianan itu dihubungkan dengan Tasawuf sunni
atau Tasawuf akhlaki yang mendasarkan faham ketuhanan monoteistik serta bertujuan
hanya sebatas ma’rifatullah, maka jelas tampak keduanya berbeda. Bagi faham
monoteis hubungan antara Tuhan dengan manusia sebatas pada hubungan antara
Kholik (Tuhan) dengan Makhluk ( manusia). Tuhan sebagai pencipta, manusia
sebagai yang diciptakan. Hakekat Tuhan berbeda dengan hakekat manusia, dan
tidak bisa digambarkan seperti (transenden). Meski demikian, Tuhan juga
dirasakan kedekatannya (immanen). Hanya saja immanensi Tuhan dirasakan karena
ke-Maha kuasaanNya, artinyaTuhan dirasakan dekat dengan oleh hamba-Nya karena
sifat-sifat-Nya, bukan karena esensi Dzat-Nya. Tuhan Maha Mengetahui, maha
Pengasih lagi Maha Penyayang, sehingga kasih sayang-Nya dirasakan oleh
hamba-Nya. Demikian juga Tuhan Maha dasyat pembalasan-Nya, sehingga rasa takut
akan dirasakan oleh hamba-Nya kapan saja.
Persamaan
Metode
Pada
jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan mistik,meskipun tampak perbedaan di
dalam praktek-pratek latihan kejiwaan, namun tahapan-tahapan yang dilalui
secara garis besar terdapat kesamaan, masing-masing memiliki aspek purgative
dan kontemplatif. Pada tahap awal merupakan tahap penyucian jiwa
(furgative), dimana pada tasawuf dilakukan dengan tajalli, yakni suatu
aktivitas untuk membersihkan jasmani dan rohani dari segala sifat yang
merintangi kemungkinan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang kemudian
diikuti dengan Tahalli, yakni mengisi jiwa dengan perbuatan-perbuatan
yang baik, dengan melakukan ahklak terpuji. Adapun kontemplasi atau konsentrasi
merupakan pemusatan kesadaran hanya kepada Allah yang dilakukan dengan cara
dzikir, mengucapkam lafadz Allah atau lailaha illa Allah secara berulang-ulang.
Dzikir yang terus menerus dapat mengantar kearah pengalaman fana dalam
ma’rifatullah. Pola yang sama terdapat dalam aliran kebatinan, karena di dalam
latihan kejiwaan, kebersihan rohani menjadi syarat utama. Untuk itu perlu
dihindari sifat-sifat araupun sikap-sikap yang tercela serta mengutamakan budi
luhur, berbuat yang baik, dengan cara mengekang hawa nafsu, mengambil jarak
dengan dunia materi. Kontemplasi pada kebatinan dilakukan denagn melalui
aktivitas sujud, meditasi atau cara berdzikir sebagaimana yang dilakukan dalam
tasawuf. Sementara itu terdapat konsep-konsep etika yang sama antara keduanya,
seperti tawakkal, zuhud, sabar, ikhlas, ridlo.
Jadi pada tasawuf dan mistik
kebatinan terdapat persamaan pemikiran dalam mencapai tujuan mistik meskipun
titik tolaknya berbeda. Dalam tasawuf misalnya, terdapat pemikiran bahwa roh
manusia itu ibarat cermin yang dapat menjadi kotorkarena perbuatan yang tidak bermoral. Maka untukdapat menerima dan
memancarkan cahaya Tuhan, cermin itu harus dibersihkan dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik atas dasar akhlakul karimah. Sebaliknya dalam
pemikiran Kebatinan bahwa inti manusia adalah rohani, bukan jasmani. Supaya
rohani menjadi kuat dan sempurna, maka jasmani dilemahkan. Untuk melemahkan
jasmani harus menjalankan laku, diantaranya berbuat yang baik dan
meninggalkan wewaler (segala yang dilarang).
Penghindaran atau jarak dari dunia
materi (distansi) pada tasawuf dilakukan dengan zuhud dan uzlah, bahkan zuhud
menurut sejarah merupakan bibit tasawuf yang dilakukan dengan cara makan, minum
dan berpakaian secara sederhana, seperti pakaian bulu domba. Sedangkan pada
mistik kebatinan distansi dilakukan dengan asketik, tapa berat, mengurangi
dahar lan guling ( makan, minum, san tidur), puasa pati geni dan lain-lain.
Dengan demikian perwujudan distansi itu berbeda, tetapi tujuanya sama yaitu
untuk mensucikan batin dengan cara melemahkan jasmani, karena jasmani itulah
yangmenjadi saluran-saluran nafsu.
Hanya saja terdapat kecenderungan
kebatinan memandang dunia sebagai penderitaan yang perlu dihindari sehingga
dunia ini dihadapi dengan secara pasif dan pandangannya seakan tertuju kedalam
dirinya saja untuk mencari kelepasan dari penderitaan. Sebaliknya tasawuf
mempunyai kecenderunagan untuk menghadapi dunia secara aktif, pandangan
diarahkan keluar dirinya, oleh karena keaktifannya menghadapi dunia ini sebagai
perwujudan dari pelaksanaan Allah maupun meninggalkan segala yang dilarang
oleh-Nya, sesuai tuntunan syari’at.
Sungguhpun demikian berbagai istilah
dari agama Islam pada kenyataanya telah banyak mewarnai ajaran-ajaran dalam
mistik Kebatinan seperti istilah yang berkaitan dengan nafsu: nafsu
lawwamah, amarah, sufiah, dan muthmainnah: yang berkaitan dengan
tahapan pencapaian tujuan mistik: syaria’t, tarekat, ma’rifat,: dan
semua yang berkaitan dengan budi luhur: ikhlas, tawakkal, sabar dan yang
lain-lain. Oleh karena itu menurut Dr. Ardhani terhadap ajaran budi luhur itu
sesungguhnya tidak ada hal yang perlu dipertentangkan antara Islam dengan
mistik kejawen.31diduga berbagai ajaran
pada mistik kejawen itu yang bersumberkan dari ajaran Islam yang diserap
melalui buah pikiran yang tertuang dalam bebagai kitab sastra karya para
pujangga Islam Jawa, yang kemudian menjadi rujukan Kebatinan.
No comments:
Post a Comment