أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Tentang Mufaddhal
Biografi Ringkas Mufaddhal bin Umar
Nama: Mufaddhal,
Nama ayah: Umar
Tempat lahir: Akhir
kurun pertama atau permulaan kurun kedua Hijriyah di
kota Kufah.[2]
Mufaddhal
adalah salah seorang sahabat yang terhormat dan
memiliki kedudukan yang mulia di sisi Imam Shadiq As
dan Imam Kazhim As[3],
ia menduduki kedudukan yang agung dan tinggi serta
merupakan salah satu sahabat khusus Imam alaihimussalam.[4]
Pada masa Imam
Shadiq As dan Imam Kazhim As, Mufaddhal mendapat
kepercayaan untuk menjadi wakil beliau-beliau di
Kufah, demikian juga dia mendapatkan tugas dari Imam
Shadiq As untuk memegang harta beliau dan juga
mempunyai izin untuk mengambilnya dari tangan rakyat,
ia teguh dan istiqomah dalam mengamalkan amar makruf
dan nahi munkar, senantiasa mendamaikan dan
memperbaiki perbedaan yang terjadi di antara
masyarakat.[5]
Dalam kitab Ushul Kâfi terdapat sebuah
hikayat nyata yang sangat menarik untuk disampaikan,
akan tetapi karena keadaan tertentu sehingga membuat
kami tidak mempunyai kesempatan untuk
menyampaikannya.[6]
Kedudukan Tinggi Mufaddhal dalam Riwayat
Riwayat
merupakan argumentasi paling mendasar yang dapat
digunakan untuk membuktikan keotentikan[7]
bagi keagungan sosok Mufaddhal. Dan terdapat begitu
banyak riwayat yang langsung berasal dari para Imam
alaihimussalam yang mengetengahkan dan
menyebutkan tentang ketinggian kedudukan dan
kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sosok agung
Islam ini. Karena keterbatasan ruang dan waktu, kami
hanya akan menyinggung sebagian dari riwayat-riwayat
tersebut, antara lain:
1.
Syaikh Mufid dengan
sanad sahih dari Imam Shadiq As, menukilkan, "Wahai
Mufaddhal, aku bersumpah kepada Allah, aku
menyukaimu dan menyukai sahabat-sahabatmu. Wahai
Mufaddhal, jika seluruh sahabatku mengetahui apa
yang engkau ketahui, maka tidak akan pernah terjadi
sedikit pun perbedaan di antara dua orang Syiah."[8]
2.
Muhammad bin Sinan[9]
mengatakan, "Ketika aku tengah menghadap Imam Khadim
As, aku melihat putra beliau 'Ali bin Musa as berada
di dekatnya. Imam Khadim As bersabda kepadaku,
"Wahai Muhammad!" Aku menjawab, "Silahkan wahai
putra Rasul", beliau melanjutkan, "Wahai Muhammad!
Mufaddhal adalah sahabat yang dekat, sedarah dan
memberiku ketenangan, demikian juga engkau adalah
sedarah dan memberi ketenangan bagi mereka berdua
(Imam Ridha As dan Imam Jawad As)."[10]
3.
Kulainy Ra, dalam
kitabnya yang sangat berharganya al-Kafi,
dengan beberapa perantara menukilkan dari Ibnu Sinan
dan Mufaddhal yang berkata, "Imam Shadiq As
bersabda, Jika kalian menemukan pertengkaran di
antara dua orang Syiah, maka damaikanlah mereka
dengan hartaku."[11]
4.
Yunus bin Ya'kub
berkata, "Imam Shadiq As memerintahku supaya aku
pergi ke tempat Mufaddhal dan menyampaikan ungkapan
bela sungkawa atas wafatnya Ismail As Pada saat itu
Imam As bersabda, "Sampaikan salamku kepada
Mufdhadhal dan katakan bahwa kami telah tertimpa
musibah dengan wafatnya Ismail As dan kami bersabar,
dan engkau sebagaimana kami, bersabarlah dalam
musibah ini. Kami menginginkan sesuatu akan tetapi
Tuhan menghendaki yang lain, dan kami telah pasrah
dengan perintah Tuhan Yang Kuasa."[12]
Ayatullah Khui Ra
menanggapi hadis ini dalam kitabnya Mu'jam Rijal
al-Hadis dengan mengatakan, "Riwayat ini
menunjukkan kecintaan mendalam Imam Shadiq As kepada
Mufaddhal bin Umar, dan riwayat ini sahih."[13]
5.
Faidh bin Mukhtar[14]
mengatakan, "Aku mengatakan kepada Imam Shadiq As,
aku pertaruhkan nyawaku padamu wahai Putra Rasul,
ketika berada di tengah-tengah para cendekiawan
Kufah, aku senantiasa merasa ragu dan bimbang karena
melihat perbedaan-perbedaan penafsiran tentang
akidah dan ketuhanan di antara mereka, akan tetapi
ketika berada di dekat Mufaddhal bin Umar, dia
senantiasa akan memberi penjelasan kepadaku sehingga
aku menjadi tenang karenanya. Imam Shadiq As
bersabda, "Benar wahai Faidh. Demikianlah hakikat
yang ada,"[15]
6.
Hisyam bin Ahmad
berkata, "Pada suatu hari yang panas menyengat aku
mendekati Imam Shadiq as yang tengah berada di
kebunnya dengan keringat bercucuran di dada
mulianya, aku bertanya tentang Mufaddhal bin Umar
kepada beliau, dan bersabda, "Demi Allah yang tiada
Tuhan selain-Nya, Mufaddhal bin Umar adalah
laki-laki yang sangat baik dan mulia", Imam Shadiq
As mengulang-ulang perkataan ini, hingga aku
perkirakan mencapai hitungan tigapuluh sekian kali."[16]
Sebenarnya, satu hadis-pun telah cukup untuk
menunjukkan keagungan dan kedudukan yang tinggi dan
mulia dari sosok Islam yang jarang ditemukan ini.
Kedudukan Mufaddhal dalam Pandangan para Ulama Islam
Para ulama ilmu rijal, biografi,
fuqaha-fuqaha besar dan para muhadis-muhadis
ternama, banyak yang mengisyaratkan bahwa Mufaddhal
telah mencapai kedudukan yang sangat agung dan mulia.
Dan di sini kami hanya akan mengutarakan
sebagian kecil dari pandangan-pandangan mereka
tersebut, antara lain:
1.
Syaikh Saduq Ra
Ia menyertakan hadis
pada beberapa tempat dalam kitab-kitab magnum
opus-nya dimana Mufaddhal berada dalam rangkaian
hadis-hadis tersebut. Karena tujuan Syaikh Shaduq
terutama dalam kitab Kitab man la yahdhuru
al-Faqih adalah hanya membahas hadis-hadis
otentik, pada sisi lain Syaikh Shaduq berkali-kali
menggunakan hadis-hadis Mufaddhal, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam pandangan Syaikh Saduq,
Mufaddhal mempunyai kedudukan dan keotentikan yang
tinggi.[17]
2.
Muhammad bin Ya'kub Kulaini
Kulaini, dalam kitab
terkenalnya al-Kafi, berkali-kali pula
mencantumkan hadist-hadis dimana Mufaddhal sebagai
perawinya, terutama riwayat Yunus bin Ya'kub[18],
hal ini menunjukkan kejelasan argumen atas
ketinggian mAgham dan kedudukan agung Mufaddhal.
3.
Syaikh Mufid Ra
tentang Mufaddhal mengatakan, "Mufaddhal merupakan
salah satu sahabat yang menukilkan teks keimamahan
Imam Musa Kazhim As dari ayahnya Imam Shadiq As. Ia
merupakan salah satu sahabat khusus dan memiliki
ketinggian mAgham di sisi Imam Shadiq As dan
merupakan salah seorang fukaha shaleh yang sangat
dipercaya."[19]
4.
Syaikh Thusi Ra juga
menyepakati bahwa Mufaddhal bin Umar Ja'fy merupakan
salah satu sahabat Imam Shadiq As dan Imam Kazhim
As.[20]
Syaikh Thusi dalam
kitab al-Ghaibah-nya menulis, "Dia merupakan
salah satu sahabat hakiki para Imam alaihimussalam
yang sangat dipercaya dan
senantiasa menjadi penyampai pesan-pesan suci
mereka."[21]
Salah satu ulama besar
Islam ketika menjelaskan salah satu hadis Syaikh
Thusi Ra yang dinukilkan oleh Mufaddhal, mengatakan,
"Perkataan Syaikh Thusi ini merupakan argumentasi
yang jelas dan pasti bahwa Syaikh mempunyai
kepercayaan pada Mufaddhal dan periwayatan hadis-nya
tidak lemah di sisinya"[22]
6.
Sayyid bin Thawus Ra,
tentang kitab Mufaddhal mengatakan, "Salah
satu dari adab-adab musafir (orang yang melakukan
perjalanan-pent) adalah membawa kitab Tauhid
Mufaddhal yang dinukilkannya dari Imam Shadiq As
dan memuat tentang pengenalan hikmah, makrifat dan
rahasia-rahasia terpendam dalam penciptaan alam
ini."[24]
Kepada anaknya, Sayyid
juga mengatakan, "Berfikir dan lakukan kontemplasi
tentang Nahjul Balaghah dengan
rahasia-rahasia yang ada di dalamnya dan juga kitab
Tauhid Mufaddhal bin Umar yang berisi tentang
rahasia dan hikmah penciptaan Tuhan yang didiktekan
oleh Imam Shadiq As."[25]
7.
Allamah Majlisi ra
dikarenakan kesepakatannya akan kemuliaan dua hadis[26],
maka Allamah mengutarakan keduanya secara komplit
pada jilid ketiga dari kitab magnum opus-nya Biharul Anwar, yang dilengkapi dengan penjelasan
dan penafsiran pada beberapa tempat.
Pada awal pencantuman
kedua hadis tersebut Allamah berkata, "Jika Tauhid Mufaddhal dan
risalah Hilaliyah
yang telah diriwayatkan dari Imam Shadiq as dianggap
sebagai hadis-hadis yang
mursal[27],
maka hal ini tidak bermasalah, karena ketersambungan
kedua hadis ini kepada Mufaddhal telah masyhur di
kalangan ulama yang dipertegas pula oleh Sayyid bin
Tawuus dan selainnya. Demikian juga, jika
menganggap Mufaddhal bin Umar dan Muhammad bin Sinan
sebagai perawi yang lemah, maka hal inipun tidak
bermasalah, karena kita tidak menerima kelemahan
tersebut, karena dalam banyak riwayat telah
dibuktikan tentang ketinggian mAgham dan kedudukan
keduanya. Disamping itu adanya dua teks pemberitaan
tersebut merupakan saksi atas kebenaran berita
tersebut dan juga teks-teks jenis ini tidak
membutuhkan kebenaran berita."[28]
8.
Allamah Sayyid
Sadruddin Amili ra[29]
mengatakan, "Seseorang yang memperhatikan hadis
masyhur Mufaddhal dari Imam Shadiq as dengan cermat
akan menemukan bahwa Imam as tidak akan mengutarakan
perkataan yang jelas, penuh makna dan kata-kata yang
asing[30]
ini selain kepada laki-laki yang agung, memiliki
kedudukan mulia, cendekia, cerdas dan layak
mengemban rahasia yang detil dan menakjubkan seperti
ini."[31]
9.
Ahli hadis agung
Islam, Haji Syaikh 'Abas Qummy ra, meskipun dalam
kitab terkenal-nya Safinatul Bihar, Syaikh
mencantumkan beberapa pendapat yang berbeda namun
sepertinya dia tidak mengutarakan pendapatnya
sendiri, akan tetapi dalam kitab Muntah Al-Âmal
ketika membicarakan tentang sahabat-sahabat Imam
Musa Kazhim As, Syaikh Qummy membahas tentang
Mufaddhal secara panjang lebar dan ketika memuji
lelaki agung ini, mengatakan, "Dari kitab Syaikh
bisa diketahui bahwa ia adalah bagian dari pengikut
setia para Imam alaihimussalam, orang yang
paling dekat dan dipercaya oleh beliau, kitab ini
juga menunjukkan atas keagungan dan kepercayaannya,
ia adalah wakil Imam Shadiq as dan Imam Kazhim as,
dan Kaf'ami[32]
menganggapnya sebagai pelindung setia para Imam alaihimussalam.[33]
Kemudian Syaikh Qummy
ra menyiratkan beberapa hadis[34]
yang berisi tentang keutamaan-keutamaan Mufaddhal,
dan pada penutup kitab, beliau juga mengetengahkan
tentang hadis-hadis yang menolak Mufaddhal juga
tentang kelemahan Mufaddhal dalam pandangan beberapa
ulama, yang insyaallah akan kami utarakan pada akhir
bagian.
10.
Syaikh Agha Buzurg
Tehrani, dalam kitabnya menulis tentang keutamaan
Mufaddhal sebagai berikut, "Kitab ini berasal dari
Abu Abdillah atau Abu Muhammad, Mufaddhal bin Umar
Ja'fi Kufi. Najasi dalam kitab Rijal-nya
menamakan kitab Tauhid ini dengan kitab Fakkir
(Berfikirlah) dan salah satu ulama menamakannya Kanzul Haqâiq wal Ma'ârif
(gudang hakikat dan
makrifat-makrifat). Sayyed bin Thawuus dalam
kitabnya Aman al-Ikhthâr dan Kashf
al-Muhajjah memerintahkan untuk membawa kitab
ini dan mempelajarinya … demikian juga, dikarenakan
kemuliaan dan ketinggian dua kitab ini[35],
almarhum Majlisi menulis keduanya dalam Bihârul
Anwâr.[36]"[37]
Pemilik kitab Mustadrak termasuk salah satu ulama yang
mempertahankan kedudukan tinggi Mufaddhal dan
menjawab sebagian keraguan dalam riwayat.[38]
11.
Ayatullah Khui Ra,
mufassir, faqih dan salah satu tokoh rijal yang
ternama, tentang sosok Mufaddhal mengatakan, "Untuk
membuktikan ketinggian dan keagungan kedudukan
Mufaddhal cukup dengan mengatakan bahwa Imam Shadiq
As telah memberikan perhatian semacam ini dan
mendiktekan kitab terkenal
Tauhid Mufaddhal[39]
kepadanya. Kitab ini adalah apa yang dinamakan oleh
Najashi sebagai kitab Fakkir (Berfikirlah).
Hal ini dengan sendirinya merupakan argumentasi yang
jelas bahwa Mufaddhhal merupakan salah satu sahabat
yang mendapatkan perhatian khusus dari Imam Shadiq
As. Selain hal ini, Ibnu Quluwiyah dan Syaikh Mufid
Ra menegaskan pula tentang sosoknya yang sangat
dipercaya, dan Syaikh Mufid menganggapnya sebagai
salah satu dari penulis yang terpuji."[40]
Jawaban untuk Sebuah Keraguan
Setelah
menyajikan pandangan-pandangan di atas maka harus
kami jelaskan bahwa jika benar bahwa Mufaddhal
adalah salah satu dari sahabat, penjaga, pengikut,
pembawa dan penyimpan rahasia para Imam alaihimussalam, dan secara ringkas ia mempunyai
kedudukan dan tingkatan yang khusus, mulia dan,
tinggi, lantas kenapa masih juga ada riwayat yang
menolaknya[41],
dan sebagian lagi bahkan menganggapnya sebagai orang
yang lemah iman, fasik dan …?
Jawaban benar dan pasti atas pertanyaan
tersebut dapat didapatkan ketika kita mengetahui
situasi dan kondisi yang ada pada masa Imam Shadiq
as dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh
penguasa zalim Abbasiah.
Dikarenakan
tekanan-tekanan keras yang dilakukan oleh pihak
kerajaan Bani Abas kepada Imam as dan
sahabat-sahabatnya-lah sehingga
taqiyyah[42]
merupakan salah satu perbuatan yang sangat umum
dilakukan oleh semua sahabat Imam pada masa itu.
Kadangkala Imam As terpaksa harus menuduh sahabat
terdekatnya untuk menyelamatkannya dari kematian dan
inilah yang menjadi kunci rahasia hingga muncul
hadis-hadis yang mencela sebagian sahabat, sementara
keadilan dan kepercayaan kepada mereka tidak
diragukan lagi. Mufaddhal-pun termasuk dalam
kelompok sahabat ini dimana hadis-hadis yang
menolaknya harus dianggap sebagai sebuah taqiyyah.
Kepada
'Abdullah bin Zurarah bin A'yan, Imam Shadiq As
bersabda, "Sampaikan salamku kepada ayahmu dan
katakan, jika aku mengatakan sesuatu yang
bertentangan denganmu ketahuilah bahwa hal itu aku
lakukan untuk melindungimu. Rakyat dan para musuh
senantiasa berusaha untuk mengganggu orang-orang
yang dekat dan memiliki kedudukan di sisi kami.
Mereka akan menyiksa dan membunuh sahabat-sahabat
kami ini karena kecintaan dan kedekatan kami kepada
mereka. Sebaliknya mereka akan memuji orang-orang
yang kami cela dan kami ejek. Katakan kepada ayahmu,
jika secara lahiriah aku mencela dan menolaknya,
hal ini karena engkau telah mengenal wilayah
dan keimamahan kami dan semua mengetahui bahwa
engkau senantiasa mengikuti kami, oleh karena itulah
sehingga di mata rakyat engkau tercela dan tidak
diterima, maka aku mencela dan menolakmu secara
lahiriah karena aku ingin engkau dicintai rakyat,
dengan demikian hal ini tidak akan membahayakan
agamamu dan mereka tidak lagi berbuat
kejahatan-kejahatan atasmu."[43]
Tentang hal
ini Syaikh Abbas Qumy Ra mengatakan, "Akan tetapi
riwayat yang memfitnah Mufaddhal tidak bisa
dibandingkan dengan berita-berita yang memujinya.
Syaikh kita, pada akhir kitab Mustadrak
meluaskan pembahasannya dalam menjelaskan tentang
keadaan Mufaddhal dan menjawab riwayat-riwayat yang
mencelanya dan seseorang yang merujuk pada kitab Tauhid Mufaddhal yang disabdakan oleh Imam
Shadiq As kepadanya, pasti akan mengetahui bahwa
Mufaddhal adalah sahabat yang mempunyai kedudukan
tinggi dan agung di sisi Imam dan mampu mengemban
ilmu dan makrifat beliau."[44]
Setelah
melakukan studi-analisa pada hadis-hadis yang
mencela dan memfitnah Mufaddhal serta mengevaluasi
perkataan-perkataan para ulama rijal, pengarang Mu'jam al-Rijal, pada akhir bahasan menyimpulkan
demikian (penukilan isi), "Begitu banyak riwayat
yang menyebutkan tentang ketinggian dan keagungan
mAgham Mufaddhal dan ilmunya yang mendetail dalam
bentuk hadis-hadis tersebut biasanya berasal dari
Imam Maksum As. Meskipun terdapat pula beberapa
hadis yang mencela dan menolaknya, akan tetapi harus
dikatakan bahwa di antara hadis-hadis tersebut hanya
terdapat 3 hadis yang mempunyai sanad sempurna dan
hadis-hadis yang sedikit ini tidak bisa dibandingkan
dengan hadis-hadis otentik yang ada. Demikian juga,
hukum yang harus kita keluarkan untuk hadis-hadis
ini harus sebagaimana hukum pada hadis-hadis yang
tertolak (Zurarah bin A'yan) sebagaimana yang telah
kami singgung sebelumnya[45]
dan kedudukan sebenarnya tentang hadis-hadis ini
kita serahkan saja pada ahlinya."[46]
Kitab Tauhid Mufaddhal
Setelah setetes air dari samudera keutamaan
Mufaddhal selesai kita bahas, kini kami akan
mengetengahkan point-point penting yang terdapat
dalam kitabnya.
Imam Shadiq as mendiktekan hadis panjang ini
kepada Mufaddhal dalam 4 hari dan 4 kali pertemuan,
dimana tema untuk setiap kali pertemuan dapat
diringkas sebagai berikut:
Pertemuan Pertama,
tentang keajaiban-keajaiban penciptaan manusia.
Pertemuan kedua,
tentang keajaiban-keajaiban penciptaan binatang.
Pertemuan ketiga,
tentang keajaiban-keajaiban penciptaan alam.
Pertemuan keempat,
tentang kemalangan dan perubahan-perubahan.
Kemiripan Tauhid Mufaddhal dengan al-Quran
Metodologi yang digunakan oleh al-Quran
adalah mengajak manusia untuk berfikir dan
bertadabbur tentang eksistensi-eksistensi dan
maujud-maujud termasuk manusia sendiri. Dengan
sebuah pandangan global kita akan menemukan bahwa
al-Quran berkali-kali mengajak manusia untuk
berfikir dan mengamati segala sesuatu yang mempunyai
keterkaitan dengan manusia sepanjang hari, setiap
jam dan bahkan setiap saat.
Al-Quran memberikan semangat kepada manusia
untuk mengamati binatang, langit, gunung-gunung dan
bumi. Apakah manusia tidak memperhatikan semua hal
tersebut? Jawabannya adalah Ya, tentu saja mereka
melihat! Akan tetapi mereka tidak memahami dan tidak
berkontemplasi tentangnya. jika manusia memandang
fenomena-fenomena lahiriah ini dengan berfikir, maka
mereka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang
terdapat di seluruh elemen-elemen penciptaan. Imam
Shadiq As yang merupakan “al-Quran berjalan dan
berbicara”, mengajak manusia untuk lebih
memperhatikan dan memahami keberadaan hakikat gunung,
sahara, samudera, langit, bumi, hewan, manusia,
burung, dan …
Keteraturan,
keseimbangan, hikmah, dan keharmonisan yang terdapat
dalam seluruh benda merupakan perkara yang sangat
membingungkan akal-pikiran manusia. Di alam
keberadaan ini, seluruh elemen mulai dari bintang
yang paling jauh hingga benda yang paling senantiasa
mempunyai hikmah yang mengagumkan. Akan tetapi,
karena manusia mengenal alam keberadaan ini secara
bertahap, maka baginya semuanya merupakan suatu hal
yang alami dan biasa-biasa saja. Manusia tidak
mengenal apapun ketika lahir ke dunia[47],
lama-kelamaan dia akan tumbuh berkembang kemudian
mulai mengenal dirinya, akan tetapi pengenalan ini
sebegitu lamban berproses sehingga tidak terasa sama
sekali. Andai saja sejak awal kelahirannya, manusia
mempunyai pemahaman yang tinggi dan memasuki alam
keberadaan ini secara mendadak, maka keheranan dan
ketakjuban akan menjadi penghalang kehidupan normal
mereka.
Para pembaca yang budiman, janganlah
menyepelekan dan menganggap ringan perkataan Imam
As, karena inilah jalan keselamatan, dengan berfikir
dan melakukan kontemplasi dalam keteraturan dan
hikmah yang menyelimuti seluruh alam ini, kita akan
bisa mencapai makrifat Ilahi dan awal penciptaan.
Imam as mengajak Mufaddhal dan seluruh manusia untuk
merenung secara vertikal dan horisontal, karena
disitulah terdapat tanda dan jejak-jejak kekuasaan
Ilahi yang bisa disaksikan. Al-Quran al Karim
berfirman:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa
Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala
sesuatu?" (Qs. Fushilat:53)
Dengan demikian, merenungi perkataan Imam Shadiq As
akan membawa manusia ke arah hakikat sehingga
manusia akan menemukan wujud Tuhan di seluruh
realitas eksistensi. Pada akhir ayat di atas Allah
berfirman:
"Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu? (Qs. Fushilat:53)
Manusia harus terbiasa untuk senantiasa bertafakkur
dan merenungi segala sesuatu. Jika manusia memiliki
pandangan yang tajam, maka sebagaimana perkataan
Amirul Mukminin Ali As, segala sesuatu mengandung
hikmah dan pelajaran.
Maka, tidaklah
tanpa tujuan jika dalam beberapa riwayat
dikatakan bahwa satu jam tafakkur dan berfikir lebih
baik dari tujuh puluh tahun ibadah.[48]
Karena tafakkur dan berfikir akan membawa manusia ke
arah makrifat Tuhan. Kadangkala manusia mengetahui
sesuatu, akan tetapi dengan mengetahui saja tidaklah
cukup, harus senantiasa ada perenungan dari
pengetahuan yang dimiliki. Imam Shadiq As pada kitab
ini juga, berkali-kali bersabda kepada Mufaddhal, "Innaka tara…." (sesungguhnya engkau akan
melihat …". Sebenarnya, jika Mufaddhal telah "mengetahui"
dan lebih tinggi lagi telah "melihat", lalu apa yang
dikehendaki Imam As darinya? Imam hanya menginginkan
Mufaddhal melakukan perenungan dan mengambil
pelajaran, oleh karena itu, beliau senantiasa
bersabda, "Wahai Mufaddhal, berfikirlah secara
mendalam …, dan belajarlah dari …."
Kita mengetahui bahwa ketika kayu diceburkan
ke air, maka dia akan tetap mengapung di atas air,
dalam pandangan kita hal ini merupakan sesuatu yang
wajar dan tidak ada yang menakjubkan, akan tetapi
Imam Shadiq as bersabda, "Berfikirlah pada masalah
ini, kewajaran sebuah persoalan tidak boleh
dijadikan alasan untuk tidak berfikir tentangnya,
karena dengan berfikir pada masalah-masalah yang
secara lahiriah sederhana, akan mampu membawa
manusia kepada persoalan yang sangat besar."
Kita telah berkali-kali menyaksikan jatuhnya
buah apel dari pohon, sebuah hal yang wajar, akan
tetapi kenapa hanya Newton saja yang mempersoalkan
jatuhnya buah apel ke atas bumi dan mengutarakan
begitu banyak pertanyaan, sehingga kemudian
menemukan sebuah hukum ilmiah yang begitu besar dan
sangat terkenal (yaitu daya tarik bumi)?" Hal ini
karena persoalan yang sederhana itu tidak
menyebabkan berhentinya proses berfikir. Kita harus
senantiasa berfikir dan merenungi seluruh elemen
yang ada di alam ini.
Kebanyakan manusia akan menggumamkan
keagungan Pencipta ketika menyaksikan
realitas-realitas menakjubkan semacam gugusan
bintang, langit, pesawat, perjalanan manusia ke
planet lain, pecahnya atom dan persoalan-persoalan
luar biasa lainnya, padahal keagungan dan
kepengaturan Tuhan berada dimana saja, dan inilah
yang diajarkan oleh Imam Shadiq As kepada Mufaddhal
dalam kitab yang sangat berharga ini.
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa
Al Quran itu adalah benar." (Qs. Fushilat:53)
Mukjizat Perkataan Imam Shadiq As
Mukjizat merupakan sebuah perbuatan yang
orang lain tidak memiliki kemampuan untuk
melakukannya. Biasanya ketika seseorang diminta
untuk menyebutkan mukjizat yang dimiliki oleh para
Imam alaihimussalam, dengan cepat mereka akan
berfikir ke arah menghidupkan orang mati, mengubah
arah perjalanan matahari, menjinakkan binatang liar,
memberi syafaat pada orang sakit yang tak bisa
disembuhkan dan lain-lain. Padahal Nahjul
Balâghah dan Sahifah Sajjâdiyah adalah
mukjizat, demikian juga kitab Tauhid Mufaddhal
pun adalah sebuah mukjizat yang mengandung
perkataan-perkataan hikmah, makrifat tertinggi atau
prediksi masa depan.
Imam Shadiq As
mempunyai pengetahuan sempurna dalam filsafat dan
rahasia penciptaan, dan beliau menyampaikan
pelajaran ini dalam bentuk filsafat Ilahi, Teologi,
ilmu Kedokteran, ilmu Kimia, ilmu Anatomi, ilmu
Pertanian (Agrikultur), Perkebunan (Hortikultur).
Dan dengan satu kalimat dapat dikatakan bahwa Imam
as merupakan "Sosok yang mengetahui semua rahasia
alam dan memahami seluruh fenomena-fenomena yang
terletak di antara langit dan bumi"[49].
Dan inilah mukjizat itu. Sebenarnya, adakah mukjizat
yang lebih tinggi dari ini?
Tak bisa dipungkiri, jika aspek kemukjizatan
yang terdapat pada seluruh mukjizat lainnya tidak
banyak membutuhkan pemikiran dan pemahaman, maka
dalam kitab ini yang ada adalah sebaliknya, di
antaranya:
1.
Ketika Imam as membicarakan tentang keajaiban
penciptaan ikan, beliau bersabda, "Ikan mengambil
air dari mulut dan mengeluarkannya dari kedua
telinganya sehingga hewan-hewan lainnya bisa
mengambil manfaat darinya."
Perkataan ini menjelaskan tentang kebutuhan ikan
terhadap oksigen, hal ini baru ditemukan beberapa
kurun setelahnya.
2.
Ketika membicarakan tentang bintang dan gerakannya,
Imam As mengungkapkan adanya dua gerakan untuk
setiap bintang, yang kemudian hal ini beliau
umpamakan dengan dua gerakan yang dilakukan oleh
semut di atas batu penghalus tepung, dimana batu
bergerak ke arah kiri dan semut bergerak ke arah
kanan. Dalam keadaan seperti ini, batu penghalus
tepung akan bergerak ke arah kiri dan semut,
meskipun dia bergerak bersama batu, diapun akan
melakukan gerakannya sendiri yang berlawanan dengan
gerakan batu.
Dari perkataan dan perumpamaan yang disampaikan oleh
Imam As, kita bisa menyimpulkan adanya “gerakan
tetap” dan “gerakan perpindahan” serta “tujuan
gerakan bintang”. Tentunya pada bagian ini Imam as
banyak membahas bagian-bagian lain secara mendetail
dan jika saja para cendekiawan dari setiap disiplin
keilmuan berkumpul untuk melakukan pembahasan
bersama, tanpa ragu lagi mereka akan menemukan
puluhan bahkan ratusan hukum-hukum alam yang selama
ini belum ditemukan. Akan tetapi dengan menyepelekan
perkataan para Imam Maksum alaihimussalam
manusia telah menganiaya diri mereka sendiri.
3.
Dalam pembahasan mengenai udara, Imam as menyebutkan
bahwa udara merupakan faktor yang menyebabkan
terjadinya gelombang suara. Pada era kita telah
terbukti bahwa pada tempat yang hampa udara sama
sekali tidak akan terjadi gerakan gelombang suara,
demikian juga adanya komposisi dan kematerian udara,
bisa difahami dari perkataan Imam as, padahal pada
masa itu masyarakat sama sekali belum mengenal dan
mengetahui tentang komposisi udara serta
kemateriannya.
4.
Gerakan dan bentuk bulat-nya bumi bisa difahami dari
salah satu ibarat yang dikemukakan oleh Imam As,
beliau bersabda, matahari telah diciptakan
sedemikian sehingga terbit dari arah timur dan
teranglah segala sesuatu yang berhadap-hadapan
dengannya dari arah barat.
Dasar pembahasan kita terutama pada kalimat
“teranglah segala sesuatu yang berhadap-hadapan
dengannya dari arah barat”, tentang kenapa Imam
As tidak bersabda “matahari menerangi segala
sesuatu”, hal ini dikarenakan beliau ingin
menunjukkan bahwa cahaya matahari sampai ke seluruh
permukaan bumi karena adanya perputaran bumi.
Pada tempat lain, ketika mengutarakan tentang
terbenamnya matahari, diantaranya bersabda, "Dan
terbenam sehingga menyinari pada tempat dimana pada
awal subuh tidak tersinari". Sebuah ibarat yang
sangat menakjubkan. Dengan memperhatian secara lebih
seksama, Anda akan menemukan bahwa dalam kalimat ini
terkandung adanya pemahaman tentang kebulatan bumi
dan gerakannya.
Pada tempat yang lain bersabda, "Dan
matahari menyinari bumi sehingga setiap bagian bumi
mengambil bagian dari cahayanya." Kalimat ini pun
menjelaskan tentang kebulatan bumi dan gerakannya,
karena dalam ungkapan Imam As kata "qesth"
(pembayaran) yang kami terjemahkan dengan
"nasîb" (bagian), dan "qesth" menjelaskan
tentang keharmonian nisbi yang hanya benar ketika
bentuk bumi adalah bulat.
Walhasil, keseluruhan kitab dipenuhi oleh
keajaiban-keajaiban dan rahasia-rahasia segala
sesuatu; dan yang harus kita lakukan hanyalah
berfikir dan bertafakkur tentangnya untuk meyakini
adanya Pencipta Yang Maha Agung dan Tinggi.
Menghapus Sebuah Keraguan
Bisa jadi seseorang menyangka bahwa salah
satu ungkapan yang barus saja selesai ia baca,
adalah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu
dan inovasi saat ini. Mereka yang memiliki pendapat
seperti ini harus memperhatikan beberapa point
berikut:
1.
Pengetahuan manusia sangatlah sedikit dan terbatas,
Allah berfirman:
"… Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit." (Qs. al-Israa: 85)
Oleh karena itu, manusia tidak seharusnya
menyepelekan cahaya dan pengetahuan Ilahi dari
setiap perkataan Imam Maksum as, karena pengetahuan
kita hanyalah sedikit dan kita belum mampu mencapai
posisi yang sangat agung, dengan ibarat lain tolok
ukur ilmu sebenarnya adalah ilmu yang dimiliki oleh
Imam As, bukannya ilmu yang kita miliki. jika
kita tidak menyetujui point ini maka harus diketahui
bahwa kita belum sampai pada rahasia dan hakikat
pengetahuan Imam As.
2.
Pada masa-masa sebelumnya, banyak sekali
perkataan-perkataan Imam Shadiq As yang kelihatan
aneh dan asing, akan tetapi dengan adanya
penemuan-penemuan baru, hakikat-hakikat yang
sebelumnya diutarakan oleh Imam As saat ini telah
menjadi jelas. Bisa jadi pula, saat ini hakikat
tersebut belum mampu terungkap secara menyeluruh,
akan tetapi generasi mendatang dengan adanya inovasi
dan pengetahuan yang semakin berkembang, akan mampu
menggali lebih dalam hakikat-hakikat yang semula
tersembunyi menjadi nampak dengan jelas.
3.
jika muncul keraguan terhadap ungkapan-ungkapan
Imam As maka solusinya adalah bertanya kepada para
ulama dan cendekiawan Islam, karena kadangkala kata
yang terdapat dalam ungkapan Imam As harus
diinterpretasikan terlebih dahulu untuk menemukan
rahasia yang tersimpan di dalamnya. Bisa jadi pada
tahapan awal kata tersebut tidak memiliki makna khas,
akan tetapi ketika maknanya diintepretasikan dan
dikaitkan dengan kondisi zaman pada saat itu,
mungkin saja kita akan menemukan pengetahuan yang
luar biasa.
Pada tempat lain Imam As mengungkapkan tentang
keajaiban dinginnya temperatur bumi. Bisa jadi
ketika memandang ibarat ini seseorang langsung
menyepelekan perkataan Imam As ini dan mengatakan
bahwa isi bumi begitu panas dan membakar, lantas
bagaimana bisa dikatakan temperaturnya dingin? Orang
ini lengah dan tidak memperhatikan perkataan Imam As
secara mendalam, Imam As menggunakan
konteks-konteks untuk mengatakan bahwa kulit
bumi-lah yang mempunyai temperatur dingin. Apakah
bukan suatu hal yang menakjubkan jika dikatakan
bahwa bumi yang pada bagian luar dan dalamnya
dipenuhi dengan api membakar, akan tetapi manusia
mampu mengambil manfaat dari permukaannya yang
dingin?
Pada bagian yang lain lagi, Imam As bersabda,
"Raihlah hikmah, jika bumi tidak tenang dan tidak
konstan, apa yang akan terjadi ….?"
Perlu diketahui bahwa kata konstan mempunyai dua
makna, pertama adalah ketetapan ketika berhadapan
dengan getaran dan gerakan-gerakan tak beraturan
lainnya, dan kedua bertolak belakang dengan gerak
secara mutlak. Imam As dalam bagian ini menjelaskan
bahwa jika bumi senantiasa bergetar dan tidak
konstan maka …, jadi konstan dan ketenangan tidak
kontradiktif dengan getaran dan gerakan bagian dalam
bumi.
Dimana saja kita tidak mampu memahami ibarat yang
dikatakan oleh Imam As, kita harus melakukan hal
semacam itu dalam memahami konteks dan makna kalimat
supaya memahami hakikatnya, dan jikapun kita tidak
mengetahui hakikat yang sebenarnya, maka seharusnya
kita menyadari bahwa pengetahuan yang kita miliki
yang sangalah sedikit dan terbatas, bukan
menisbahkan kekurangan itu kepada para Imam Maksum
alaihissalam sebagai pemilik ilmu mutlak.
Tafsir dan Terjemahan
Tauhid
Mufaddhal
Pada beberapa abad yang lalu para ulama dan
cendekiawan Islam belum ada yang terjun langsung
untuk melakukan penerjemahan sekaligus pentafsiran
terhadap kitab yang sangat berharga ini. Akan tetapi,
pada masa kini beberapa dari mereka telah berhasil
menerjemahkannya atau menafsirkannya dan beberapa
lainnya hanya memberikan catatan kaki. Di bawah ini
kami akan menyebutkan beberapa tafsir dan terjemahan
yang ada:
1.
Tafsir Maula Baqir bin
Maula Ismail Kajuri Tehrani, dalam kitabnya yang
berjudul Zabdah al-Mâtsar, Muhammad saudara
lelaki Maula Baqir mengatakan, "Penafsiran yang
sangat berharga ini telah dikemas dalam 30 pertemuan
yang bertema Wahai Mufaddhal! Dan memiliki lebih
dari 20 ribu bait.[50]
3.
Ketika menulis riwayat
panjang ini pada buku Biharul Anwar-nya,
almarhum Majlisi ra menafsirkan sebagian besar dari
kalimat-kalimat yang ada.[52]
4.
Ogho Kazhim
Mudaffar-pun berusaha untuk meneliti kitab ini dan
terbilang sukses dengan adanya penambahan berupa
mukadimah dan catatan kaki yang sangat berharga.[53]
5.
Ismail bin Husain
Tabrizi, dengan nama samaran Taib dan terkenal
dengan "Penyampai Masalah". Menyusun seluruh Kitab
Tauhid Mufaddhal dalam bentuk 2 ribu bait
syair.[54]
6.
Terjemahan Allamah
Muhammad Baqir Majlisi, pemilik Bihârul Anwâr.
Terjemahan ini selain penuh manfaat, diterjemahkan
oleh penerjemah tersohor, pada berbagai bagian juga
mengetengahkan point-point berharga dalam tema "Penerjemah
mengatakan,…", bahkan pada tempat-tempat lain,
Allamah juga menambahkan pembahasan yang bersumber
dari beliau sendiri yang digabung dengan perkataan
Imam As, dengan ibarat lain, terjemahan Allamah
Majlisi bisa dikatakan sebagai tafsiran ringkas yang
berbaur dengan teks aslinya dimana untuk mengenal
kembali antara tafsiran dan teksnya, hanya mungkin
dilakukan dengan membandingkan dengan aslinya.[55]
9.
Terjemahan Ogho Zainal
'Abidin Kazhimi Khalkhali. Terjemahan ini bergabung
dengan terjemahan dari penerjemah lainnya (Akhlak di
sisi Imam Shadiq As) yang dicetak dalam satu jilid.[58]
Ketika kami mencoba membandingkan halaman-halaman
pertama, pertengahan dan akhir kitab terjemahan ini
dengan terjemahan Allamah Majlisi ra konklusi yang
kami dapatkan tidak terlalu menggembirakan, karena
pada keduanya hampir tidak ada perbedaan yang
mencolok, dengan ibarat lain, terjemahan ini identik
dengan terjemahan milik Marhum Majlisi dengan
perbedaan yang sangat sedikit.
10.
Terjemahan Ogho 'Ali Asghar Faqihi, kitab kecil ini
bukan merupakan terjemahan lengkap dari kitab Tauhid Mufaddhal, melainkan penerjemah berusaha
menghilangkan beberapa tema dari kitab Tauhid dan
menambahkan beberapa pandangan dan kalimat-kalimat
yang sederhana dan ringan sehingga menjadi sebuah
buku yang sesuai untuk para pelajar.
Refleksi pemikiran yang Hadir di Hadapan Anda
"Keajaiban-keajaiban Penciptaan, dari lisan
mulia Imam Shadiq as", merupakan judul yang kami
pilih sebagai terjemahan dari Tauhid Mufaddhal. Pada
kesempatan kali ini, ada baiknya jika kami
mengetengahkan beberapa point berikut:
1.
Kami berusaha untuk tidak menyisipkan keinginan
pribadi ke dalam teks dan juga tidak meletakkan
kalimat atau penjelasan pribadi ke dalamnya.
2.
Selain tetap berusaha menjaga keaslian dan
keteraturan teks hadis, dan dalam penggunaan bahasa
kami juga berusaha untuk tidak menyalahi
aturan-aturan penulisan dan semaksimal mungkin tetap
menjaga kesederhanaan dan keringanan bahasa.
3.
Karena kitab ini merupakan sebuah hadis yang sangat
panjang dan untuk tidak menemukan kesulitan dalam
memahami kedalaman maknanya maka kami berusaha
memilih tama untuk setiap pokok bahasan dengan
bahasa yang sesuai dan mudah dimengerti oleh para
pembaca.
4.
Mufaddhal bin Umar Ja'fi merupakan perawi hadis yang
panjang ini tidak begitu dikenal di masyarakat, dan
hal ini dikarenakan adanya ikhtilaf di kalangan para
ulama mengenai sosoknya, misalnya para ilmuwan besar
seperti Najashi dan Ibnu Ghadhairi menganggapnya
sebagai perawi yang lemah, berdasarkan hal inilah
kami menganggap penting untuk mengetengahkan beragam
pandangan yang ada, pada mukadimah kitab, supaya
ketinggian dan keagungan maqam sahabat Imam Shadiq
dan Imam Kazhim alaihimussalam ini menjadi
jelas bagi semuanya dan tidak ada keraguan lagi
tentangnya.
5.
Pada tahapan persiapan penerjemahan, kami banyak
memanfaatkan teks Arab Biharul Anwar dan
terjemahan almarhum Majlisi berkaitan dengan isinya,
demikian juga pada penyusunan daftar isi serta bab,
kami banyak belajar dari Ohgo Mudhaffar.
Epilog
Tak diragukan lagi bahwa manusia tidak
jarang melakukan kesalahan ketika melakukan suatu
pekerjaan, terutama dalam pekerjaan yang kita tidak
mempunyai pengalaman atasnya, berdasarkan hal ini
maka pertama: jika penerjemah dan penulis
melakukan kesalahan dalam alih bahasa dan
menafsirkannya, maka dengan segenap kerendahan hati
memohon maaf kepada yang mulia Imam Shadiq As. Kedua:
kami mengharap kritik dan saran dari para pembaca
yang budiman supaya kami mengetahui kesalahan yang
ada dan kemudian bisa diperbaiki pada kesempatan
lain, demikian juga hal ini akan dapat menambah mutu
dan kualitas pada kesempatan mendatang.
[3].
Rijal,
Syaikh Tusy dalam Sahabat-sahabat Imam
Shadiq As, hal. 314 dan Sahabat-sahabat Imam
Kazhim As, hal 360.
[7].
Kami tidak mengikuti keotentikan kitab
sebagaimana
keotentikan Syaikh, karena menurut Almarhum
Majlisi yang akan kami singgung pada
pembahasan sesi selanjutnya, matan kitab
menunjukkan dengan baik bahwa perkataan
tersebut merupakan perkataan Imam dan bahkan
kelemahan perawi dan …. tidak akan
membahayakan keberadaan riwayat, terutama
karena hadis ini tidak ada kaitannya dengan
ahkam, dan akal lebih banyak memiliki peran
di dalamnya.
[9].
Muhammad bin Sinan terdapat dalam sanad
riwayat Mufadhdhal dan riwayat ini merupakan
argumentasi keotentikan dan kedudukannya di
sisi Imam Kazhim As.
[14].
Merupakan salah satu dari sahabat yang
dipercaya dan mempunyai manzilat yang tinggi
di sisi Imam Shadiq as. Lihat Muntaha
Al-Amaal, jilid. 2, Sahabat-sahabat Imam
Shadiq as, hal. 320.
[20].
Rijal
Syaikh Thusy,
Sahabat-sahabat Imam Shadiq as dan Imam
Kazhim as, dengan urutan halaman: 314 dan
360.
[24].
Al-Iman
min Akhtar Al-asfar wa Al-azman,
hal 87, demikian juga lihat: Safinatul
Bihar, jilid. 2, hal 372.
[27].
Hadist
Mursal adalah hadist yang tidak bersambung,
berlawanan dengan hadist memiliki sanad
dimana muhadis menisbatkan sebuah hadist
kepada Imam Maksum as dengan menyebutkan
seluruh sanadnya. Untuk penjelasan lebih
luas, rujuk: Subhani, Ja'far, Ushul
al-Hadis wa Ahkamuh, hal. 95.
[28].
Biharul
Anwar,
jilid. 3, hal. 55, 56. Argumentasi akhir
dari Marhum Majisi adalah: Hadis harus
memiliki sanad sahih yang merupakan penjelas
bagi hukum ibadah ataukah non-ibadah, akan
tetapi hadis jelas semacam ini dimana akal
mempertegas keterjaminannya,tidak ada
urgensinya memerlukan sanad sahih.
[30].
Tauhid
Mufadhdhal
terbagi dalam dua bagian: satu bagian
adalah apa yang berada di alam materi ini
yang tersusun dalam empat kali pertemuan,
dan yang di kalangan ulama masyhur dengan
nama Tauhid Mufadhdhal, sedangkan
satu bagian lagi adalah apa yang disebut
dengan Makrifat-makrifat Malakuti dan
Alam Metafisik yang dijanjikan oleh
Sadhiqul Wa'd as kepada Mufadhal. Bagian ini
menduduki posisi yang lebih penting dan
lebih menakjubkan dari Tauhid Mufadhdhal.
Almarhum Syaikh Ogho Buzurg Tehrani
mengatakan, seseorang bernama Sayyid Mirza
Abul Qasim Dhahabi, telah berhasil menemukan
keduanya lalu mengumpulkan keseluruhannya
dalam kitab bernama Tabashir al-Hikmah.
Rujuk: Al Dhariyah ila Tashanifi Al-Syiah,
jilid. 4, hal 488.
[32].
Marhum Kaf'ami mengatakan: Sepertinya maksud
dari bab Imam adalah bab rahasia dan
pengetahuan-pengetahuannya", rujuk: Al-Misbah, hal. 277, demikian juga
almarhum Nuri dalam Mustadrak Al Wasail,
jilid. 3, hal. 570 dan Abu 'Ali dalam Rijal
bab Sahabat pada hal. 319, A'yan al-Syiah,
jilid. 4, hal. 544, keseluruhannya
menukilkan perkataan tersebut.
[39].
Harus diketahui bahwa perhatian Imam Shadiq
As kepada Mufadhdhal lebih tinggi dari hal
ini, karena pada akhir pertemuan keempat
dari kitab ini, Imam as kepada Mufadhdhal
menjanjikan bahwa pada pertemuan berikutnya
beliau akan mengutarakan tentang
makrifat-makrifat dan hakikat malakuti.
Tanpa ragu lagi Imam adalah Sadiqul-Wa'd dan
harus ada kelanjutan dari kitab tersebut.
Tentu saja perkataan almarhum Aqa Buzurg
Tehrani tentang telah ditemukannya kitab
tersebut pun telah kami utarakan. Wal hasil
janji dan amalan ini dengan sendirinya
merupakan penjelas kedudukan Mufadhdhal di
sisi Imam Shadiq As.
[42]
. Taqiyah adalah salah perbuatan yang
dilakukan untuk menyembunyikan sebuah
keyakinan dan akidah tertentu, hal ini biasa
dilakukan untuk menyelamatkan jiwa sendiri
atau menyelamatkan jiwa orang lain dan
melindungi harta benda.
[47].
Imam Shadiq As dalam perkataannya
mengutarakan begitu banyak hikmah berkaitan
dengan persoalan ini.
[48].
Tentang Tafakkur dan pengaturan, merujuklah
al-Muhajjat al-Baidha, jilid. 8,
Kitab al-tafakkur, hal. 192 dan
selanjutnya.
[53].
Tauhid
al-Mufadhdhal,
Maktabah Al Dawary, jilid. 3, dengan
mukadimah dan catatan kaki Ogho Kazhim
Mudaffar.
[55].
Penulis tidak
memiliki tulisan asli dari teks ini dan
kesimpulan yang diambil adalah berdasarkan
beberapa teks cetakan yang penuh dengan
kesalahan. Bisa jadi Allamah Majlisi dalam
tulisan
aslinya
telah memisahkan antara perkataan dan
penjelasan beliau dari matan aslinya.
No comments:
Post a Comment