أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Sunan Kalijaga salah
satu dari Walisanga yang memegang teguh tradisional dalam syiar agama.
Karya-karyanya tidak meninggalkan nilai-nilai agama dan tradisonal /
budaya yang ada di masyarakat. Salah satu karyanya dalam tembang / lagu "
Pangkur " dengan titel " Warawedha ", memiliki nilai-nilai dan kekuatan
imateriil. Tembang ini berfungsi membersihkan jiwa dari parasit-parasit
atmosfer negatif.
Warawedha
berasal dari dua suku kata " Wara " dan " Wedha ". Wara memiliki makna
pengumuman atau perintah, dalam hal ini lebih tepat sebagai " Pitutur "
atau " Nasehat ". Wedha memiliki makna air yang jernih dan sejuk, dalam
masyarakat jawa air yang telah dimasak disebut dengan " Wedhang ".
Sehingga dapat disimpulkan Warawedha berisi air jernih yang sejuk,
diberikan dalam bentuk pitutur atau nesehat sebagai sebuah siraman /
pembersihan jiwa. Dalam masyarakat budaya jawa air siraman dikenal dalam
dua bentuk yaitu " Tirta Kamandanu " dan " Tirta Perwitasari ". Kedua
tirta ini memiliki makna dan kekuatan bagi jiwa manusia, hal tersebut
sangat diyakini oleh masyarakat jawa hingga kini. Dalam cerita
pewayangan " Bima Suci ", dapat dilihat bagaimana seorang kesatria Bima
salah satu pandawa melakukan perjalanan spiritual, guna menemukan tirta
perwitasari untuk memulyakan arwah bapaknya si " Pandu Dewanata ".
Dengan tirta perwitasari Bima mampu melepaskan jiwa bapaknya dari
kutukan dewata, dan masuk dalam surga.
Warawedha
dimaksudkan memberi perintah dan nasehat kepada parasit-parasit dalam
jiwa manusia, mereka berasal dari bangsa jin, setan dan brekasakan untuk
kembali pada asalnya. Hal ini dapat dilihat dari perintah " Bali
marang towang-tawang prajamu " yang bermakna kembali pada asalmu /
duniamu, karena tidak pantas menjadi parasit dalam jiwa manusia.
Warawedha terdiri dari 12 ' pada ' / bait, yang pada intinya menjelaskan
bahwa manusia adalah ciptaan tertinggi " Sang Pencipta ". Berkedudukan
terdekat dengan Sang Pencipta, sewajarnya jin, syetan dan brekasaan
tidak menjadi parasit dalam jiwa manusia. Manusia harus bersih dari
parasit-parasit, agar mampu menjalankan kewajiban dan haknya memanage
jagat raya yang diciptakan oleh Sang Pencipta dengan baik dan benar.
Manusia hendaknya mampu adil dan bijaksana sebagaimana dicontohkan oleh
Nabi Suleiman. Manusia hendaknya melepaskan nafsu " denawa / raksasa /
serakah " dan nafsu " hewani ", untuk kembali ke manusia. Kembali
menjadi manusia seutuhnya yang memiliki nafsu " insani ".
Dalam
pandangan Sunan Kalijaga, manusia memiliki sifat " lupa " akan
jatidirinya sebagai manusia. Dalam posisi lupa, manusia telah membuka
pintu jiwanya bagi parasit-parasit untuk masuk dan hidup dalam jiwanya.
Pada masa awal-awal Mataram hingga kini terutama pada masyarakat
tradisional, tembang karya Sunan Kalijaga masih diperdengarkan.
Masyarakat tradisional meyakini tembang ini memiliki kekuatan imateriil
yang dahsyat, mengingat karya seorang Wali. Aplikasi tembang ini pada
masa seorang wanita hamil muda hingga melahirkan anak berusia ' selapan '
atau tigapuluh lima hari.
Pada masyarakat tradisional seorang suami menembangkan atau melagukan
tembang ini disore hari setelah magrib didekat istrinya yang sedang
mengandung. Harapannya adalah si ' jabang bayi ' bersih jiwanya, tidak
terganggu oleh calon parasit-parasit. Pada masa kini tembang ini juga
mampu membersihkan jiwa manusia, jika didengarkan dengan konsentrasi.
Konsentrasi dengan cara memejamkan mata, fokus pada mata ketiga,
hilangkan segala pemikiran di otak, serahkan seluruh jiwa dan raga serta
kehidupan anda kepada Sang Pencipta .
Tembang
Pangkur Warawedha, karya Sunan Kalijaga hingga kini masih memiliki
kekuatan imateriil. Setelah mendengarkan tembang tersebut, ada sebuah
perbedaan yang dirasakan dalam pribadi. Yang utama merasa enteng, lega,
tanpa ada beban, ini sebuah contoh terapi tembang pada proses
penjernihan pola pikir. Syair yang digubah oleh Sunan Kalijaga memiliki
kekuatan melepas aura gelap dalam pola pikir manusia. Syair tersebut
sebagai berikut :
1.
Singgah-singgah kala singgah, pan suminggah kala-durga sumingkir, singa
ama singa wulu, sing suku singa sirah, singa tenggak klawan kala singa
buntut, pada sira sumingkira, muliha asal-ireki.
2.
Ana kanung saka wetan, nunggang gajah telale elar singgih, kullahu
marang bali kul, jim setan brekasakan, amuliha mring tawang-tuwang
prajamu, eblise ywa kari karang, kulhu balik bolak-balik.
3.
Na kanung kidul sangkannya, nunggang gajah telale elar singgih, kullahu
barang bali kun, jim setan brekasakan, amuliha mring tawang-tuwang
prajamu, eblise ywa kari karang, kulhu balik bolak-balik.
4.
Na kanung kulon sangkannya, nunggang gajah telale elar singgih, kullahu
barang bali kun, jim setan brekasakan, amuliha mring tawang-tuwang
prajamu, eblise ywa kari kari karang, kulhu balik bolak-balik.
5.
Ana kanung lor sangkannya, nunggang gajah telale elar singgih, kullahu
barang bali kun, jim setan brekasaan amuliha mring tawang-tuwang
prajamu, eblise ywa kari karang, kulhu balik bolak-balik.
6.
Ambalik maring angganya, balik marang badanira pribadi, balik karsaning
Hyang Agung, lelembut samya nginthar, tulak sarap samangkya ganti
winuwus, arane sarap den ucap, sagung kama salah kapti.
7.
Arane sarap kang lanang, kulhu putih wadone kulhu kuning, ywa wuruk
sudi maring sun, lawan maring ki jabang, sarap wangke sarap wedang sarap
awu, sira kabeh suminggaha, mul;iha kamulaneki.
8.
Geger setan wetan samnya, anrus jagad kulon playuning dhemit, ing
tengah Bathara Guru, tinuutup Nabi Sleman, daya setan brekasakan ajur
luluh, ki jabang bayi wus mulya, liwat siratal mustakim.
9.
Geger setan kidul samya, anrus jagad kulon playuning dhemit, ing tengah
Bathara Guru, tinutup Nabi Sleman, eblis setan brekasakan ajur luluh,
ki jabang bayi wus mulya, liwat siratal mustakim.
10.
Ajiku Gajah panudya, kebo dhungkul brama rep sirep sami, sarap lelara
puniku, asuwung canthung jagad, tuking mata lire mata manik ingsun,
panahku sapu buwana, dadekna kusuma adi.
11.
Tibakna mring jalma lupa, eling mengko eling embenireki, rahayu sa'umur
ingsun, pratapan sun wus wikan, ingsun ngadeg satengahing samodra gung,
palinggihku lintang johar, sasedya ingsun pasthi dadi.
12.
Sun langgeng amuja mantra, pan jaswadi putra ing kodratmanik, jailah
hailahu, Muhamad Rasullulah, salallahu ngalaihi wa salamu, wa ngalaekum
wa salam, puniku pupuji mami.
Dalam bait (
pada ) yang pertama nampak bahwa segala bentuk kala, dalam bahasa kini
berarti jerat, rintangan, halangan, bebendu hidup oleh karena gangguan
dari para parasit, dari yang terbawah hingga pimpinannya yang disebut
sebagai kala-durga diikat menjadi satu. Parasit-parasit dengan sebutan
singa ama, singa wulu dan lainnya bekerja menjerat dan menghalangi
langkah hidup manusia. Tujuan mereka adalah membengkokan manusia yang
tidak kuat imannya.
Dalam syair
ini diisyaratkan para parasit kala dengan sebutan singa, diminta untuk
menyingkir dan tidak menghalangi jalan hidup manusia. Kala atau jerat
adalah karakteristik " nafsu hewani ", hal ini dilihat dari sebutan
singa yang melambangkan raja hutan. Hutan melambangkan kehidupan yang
tidak tertata atau tidak memiliki tatanan. Segala bentuk kehidupan yang
baik dan buruk menjadi satu tanpa ada sebuah aturan yang mengatur tata
kehidupan. Kekuatan otot, keganasan dan keberingasan menjadi senjata
utama dalam kehidupan ini. Tanpa disadari manusia bisa memiliki nafsu
hewani, jika hal tersebut tumbuh berkembang maka manusia telah dikuasai
atmosfer negatip. Dalam arti menusia telah jatuh karakternya,
menunjukkan sifat-sifat hewani.
Dalam syair
ini Sunan Kalijaga menuturkan kepada para parasit yang bekerja sebagi
kala pada kehidupan manusia untuk menyingkir. Menyingkir dari jalan
hidup manusia yang memiliki nafsu insani. Mereka diperintahkan kembali
ke alamnya dan tidak menjadi parasit pada jiwa manusia. Perintah jelas
diucapkan dalam kalimat " muliha asal ireki ". Dalam kalimat tersebut
Sunan Kalijaga menunjukkan kasih pada ciptaan Sang Pencipta yang lain
dengan perintah yang baik dan berwibawa. Sunan Kalijaga menyadari bahwa
manusia punya wibawa tinggi dihadapan para parasit, sehingga dengan
perintah lembut pun mereka akan menyingkir dari kehidupan manusia. Dari
syair ini pula manusia diingatkan agar sadar akan kedudukannya sebagai
ciptaan tertinggi, sebagai ciptaan yang berwibawa, ciptaan yang memiliki
kuasa menyingkirkan nafsu hewani yang bakal tumbuh dalam jiwa.
Kesadaran
adalah kunci utama bagi iman manusia, kesadaran akan tanggung jawab
manusia menjaga karakternya tetap pada nafsu insani. Agar manusia
menjadi baik dan benar dihadapan Sang Pencipta dan ciptaan lainnya (
alam ). Untuk menjaga hal tersebut, manusia senantiasa menyingkirkan
para parasit itu untuk tidak mendekat. Hanya manusia lah yang harus
menyingkirkan dan memerintahkan pada mereka untuk hidup dialam mereka
sendiri…
Kanjeng Sunan
Kalijaga melihat bahwa manusia hendaknya mengendalikan diri ketika
muncul karakter singa si raja hutan. Singa dalam kehidupan yang liar di
tengah hutan, hanya menggunakan asas manfaat, artinya singa sebagai
predator yang menakutkan bagi kehidupan komunitas lemah. Sehingga ketika
manusia berada dalam belantara kehidupan, mencapai sebuah tingkat
sosial seperti singa, hendaknya tidak menjadi singa yang selalu
kelaparan. Keganasan singa terjadi ketika karakter predatornya menjadi
dominan. Manusia bukanlah seekor singa, tapi sudah menjadi kehendak Sang
Perncipta manusia mampu menjinakkan singa. Sekalipun di tengah
belantara kehidupan ada kehidupan lain yang ganas, manusia mampu
mengendalikan dan mengaturnya. Memanage belantara kehidupan, adalah
sebuah kepiawaian dan kewajiban manusia sebagai ciptaan tertinggi.
Dalam bait
kedua, Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa hendaknya manusia duduk diatas
gajah. Gajah adalah simbol pengetahuan, dilihat dari makna gading gajah
itu sendiri. Pengetahuan yang dibentuk berdasarkan “ Learning by doing “
dalam kehidupan, hendaknya menjadi sebuah tunggangan manusia dalam
mengarungi belantara kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia diberi
alat yang bernama “ lati “ atau mulut atau bibir. Memang bila bibir itu
diberi lipstik dan dilumuri mentega akan nampak cantik. Namun perlu
diketahui bahwa bibir adalah “ Gendewa “ atau busur. Sedangkan ucapan
yang keluar dari nurani adalah “ jemparing “ atau anak panah. Penggunaan
kedua alat ini seyogyanya di jaga betul, dan digunakan tepat pada
sasarannya. Apa jadinya, bila manusia tanpa mulut ?. Dalam dunia
pakeliran wayang, apa jadinya bila Dalang tanpa bibir ? Apa jadinya bila
cerita yang digelar tanpa “ Suluk “ ?. Apa jadinya bila pakeliran tanpa
“ Gunungan “ ? Apa jadinya bila pakeliran tanpa “ Blencong “ atau lampu
penyorot ?
Kehidupan
manusia tidak lebih seperti cerita wayang dalam pakeliran. Sehingga
Sunan Kalijaga perlu memberi arah kepada manusia untuk mampu
menyingkirkan segala bentuk kekuatan alam bawah. Kekuatan yang dibangun
oleh jim, syetan dan brekasakan yang selalu menjadi parasit atau benalu
dalam jiwa manusia. Hal ini diungkapkan Sunan Kalijaga dalam bait kedua
hingga ke sembilan. Manusia harus mampu berdiri kokoh, di empat penjuru
bersih dari kekuatan-kekuatan alam bawah. Peperangan dalam diri manusia
dilakukan untuk menyingkirkan dan membersihkan parasit-parasit tersebut.
Sebagai sebuah awal dari yang disebut “ Jiwa yang sehat “, guna
menciptakan sebuah “ pola pikir yang sehat “. Peperangan manusia dimulai
dari Roh manusia itu sendiri, disebutkan sebagai Ki Jabang Bayi yang
mencari sebuah kemulyaan diri. Peperangan dimulai dari sisi timur yang
menggambarkan tempat matahari sebagai sumber cahaya terbit dalam pribadi
manusia. Pengetahuan yang baik sebagaimana sebuah gading gajah, menjadi
sebuah senjata bagi peperangan dalam pribadi manusia. Kemudian
diteruskan pada sisi selatan, barat dan utara.
Peperangan
dalam jiwa manusia, wajib dilakukan guna mencapai sebuah kemulyaan Ki
Jabang Bayi melewati ‘ siratal mustakim ‘. Tembang Warawedha merupakan
sebuah pengalaman pribadi Kanjeng Sunan Kalijaga untuk mencapai tingkat
spiritualitasnya. Kecuali sebagai tembang, rupanya menjadi sebuah anak
panah yang dilepaskan dari busur bibirnya. Dan memang pada kenyataannya
hingga sekarang masih mampu menembus perisai yang dibuat oleh kekuatan
bawah. Ketika manusia mendengarkan tembang ini, para parasit jebol
seakar-akarnya. Tembang ini seperti air yang melakukan pencucian jiwa.
Begitu tingginya tingkat spiritual Kanjeng Sunan Kalijaga, sehingga
tembang tersebut masih mampu eksis hingga kini. Peperangan ini
senantiasa dilakukan manusia setiap hari, pada waktu-waktu yang terbaik.
Bagi Sunan Kalijaga waktu terbaik adalah setelah ba’da mahgrib sebelum
ba’da isya. Selama kurun waktu yang tidak terlalu lama tersebut
seyogyanya digunakan oleh manusia, guna mencetak pribadinya menjadi
leader yang baik dan benar. Tembang ini selalu dilantunkan oleh
masyarakat tradisional setelah sholat magrib, apalagi bagi seorang calon
bapak. Seorang calon bapak melantunkannya disamping istrinya yang
sedang mengandung jabang bayi. Nilai-nilai etika dan estetika yang
tinggi sekali, kasih sayang dijalin oleh seorang bapak dan ibu
tradisional. Sebagai sebuah tanggung jawab yang tinggi kepada Sang
Pencipta, akan berkah Nya dalam bentuk karya cipta sexualitas manusia
yaitu calon manusia. Barangkali pada masa kini akan dianggap ‘ out of
date ‘ oleh masyarakat modern. Namun perlu dicoba oleh keluarga muda dan
modern, apakah pada masanya nanti anak tersebut akan menjadi sosok
manusia yang “ wiji pinilih “ ?. Tidak ada sebuah bukti yang bisa diraih
tanpa mencobanya, dengan maksud bukan untuk coba-coba. Kecanggihan
teknologi yang demikian pesat, patut dijadikan sebagai sebuah alat.
Cukup dengan sebuah CD player, mengosongkan segala pikiran, memfokuskan
diri pada Sang Pencipta, mohon ampun kepada NYA dan menyerahkan seluruh
jiwa, raga serta kehidupan dalam tangan NYA.
Dengan sikap
yang baik dan rileks mulai mendengarkan tembang, serasa dibawa melayang
jauh keatas pada sebuah tempat yang terang, damai penuh ketenangan. Di
situlah langit sap tujuh itu berada. Apapun yang dijumpai ketika
mendengarkan dalam posisi tersebut dan memejamkan mata, bukanlah sebuah
ilusi atau halusinasi bahkan obsesi. Semua itu adalah bahasa alam, alam
semesta yang baik dan benar mencoba bersahabat dan bertutur kata pada
diri manusia. Bisa juga dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama
dalam sebuah ruangan yang bersih dan harum. Tata cara tradisional ini,
akan sangat bermanfaat bagi manusia yang mengalami kepenatan berfikir
pada setiap harinya. Setelah melakukan dan mendengarkan tembang ini akan
terasa ringan dan enteng ditubuh, terasa tenang di hati, terasa tenang
pula dalam pola pikir. Tempat dimana kita melakukan itupun akan
berdampak bersih dari atmosfer negatif. Sehingga tercapai sehat jiwa,
sehat raga, sehat pola pikir dan sehat papan.
No comments:
Post a Comment