أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
GURU SUCI TANAH JAWA (1)
SUNAN Kalijaga
mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Kocap kacarita,
Raden Mas Sahid putra kanjeg Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama
yang cerdik dan pandai. Bahkan beliu sudah dapat merasakan mati di dalam
hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut
diacungi jempol. Namun beliu belum puas dengan apa yang sudah didapat.
Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan
inging memperoleh petunjuk diri seseorang yang sudah menemukan hakikat
kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk
yang dipagang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya
semakin membaja, menyebabkan beliu melakukan perjalanan hidup yang tidak
mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya
menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang.
Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu biarpun harus
menyeberang samudra api!”.
Ling lang ling
lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa
yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan
dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun beliu merasa selalu tergoda
oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha
ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan
sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja
dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu
pasrah kepada Allah tempat berserah diri.
Ling lang ling
lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih, semoga
dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras
dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada
putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan
kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan
oleh Gusti Allah. Sekian lama beliu berdoa, namun tak ada tanda-tanda
terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas diri. Mengapa petunjuk yang
ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan
bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa
dasar ilmu yaqin?
Ling lang ling
lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu
menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini,
dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam
batingnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan
suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi
pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan
buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal
tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti
perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk
keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Ling lang ling
lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak
menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena
didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliu berusaha bertapa
berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya,
kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang
dimakan. Ling lang ling lung, menuruti kesenangan memperindah diri,
selalu meminta upah. Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid meminta upah
dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliu akhirnya
menyadari kebodohannya dan tersemyun sendiri. Mengapa sampai teganya Dia
menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti
Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak
berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada
bedanya, dan Allah Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak
pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri
untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu
dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah Raden
Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi
diri di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon
kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh
Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah
bertapa menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Ling lang ling
lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang
kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya.
Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta
II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya
sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta
Nyawa yang sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari
kasih Sayang Allah. Syekh Malaya berguru menuntut
ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata,
rasanya Cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak
bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda”
yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan
tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat”
yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban.
Setelah setahun mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia
dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian laku tapa yang ketiga,
yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur
ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya sudah
genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja,
Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu,
kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu
diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga
atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut
menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu
tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau
harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah.
Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar
kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta
meliputi segala kebutuhan perang, yang demian itu tidak lain adalah
anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan).
Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingn memelihara, yang mencukupi bayi,
menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan,
karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung, karena
itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.
MERASAKAN HIDAYAH IMAN (02)
Syekh Malaya
berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sugguh hamba sangat
bermatur nuwun, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba
memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud
sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering
disebut iman hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti
Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba
mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan
semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui
kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap
belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.
Kanjeng Sunan
Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa
kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat
perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah
itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau
petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak
dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum
mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya
keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda
Gusti Allah”.
Berkata
Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon
dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa
nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir
kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalai kamu
ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri,
belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi
dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.
Sudah habis
segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera
meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah
langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh
Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.
Raden Mas
Sahid menjalankan laku kidang, berbaur dengan kidang menjangan, segala
gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara
tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari
makan mengikuti seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang
mengetahui, para kidang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga
ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan
merangkak, seperti larinya kidang, pontang panting jangan sampai
ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.
Nyata sudah
cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang
telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke
Mekah, dlam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang
kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh
Malaya bahwa laku kidangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia
melihat kidang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan
Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak
kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang, barangkali di sana
ditemukan Syekh Malaya.
Syekh Malaya
yang kebutulan sedang berlaku meniru kidang tahu akan didekati gurunya.
Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia,
gurunya juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati
manusia biarpun oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa
memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan
diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat
melompat.
Marahlah sang
guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku
tak peduli, memanaskan hati kau kidang, bagiku memegang angin yang lebih
lembut saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap
mustahil akan gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku
tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.
Kanjeng Sunan
Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliu berusaha menciptakan nasi
tiga kepal atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3
genggam, sgera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Syekh Malaya
untuk melemparkanya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam
hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan
yang sedang laku kidang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi
satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh
Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan
yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian
dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia
berbakti pada Kanjeng Sunan Bonang.
Syekh Malaya
berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru
Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat
kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah
dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu
adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat,
Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya
berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas
yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu
melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.
PERGI HAJI KE MEKAH (03)
Syekh Malaya
menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya
memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah
sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan
selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak
air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samodera memutar
otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.
Kocap kacarita
tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat, mengetahui
kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang
Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya
dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai
cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha
mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat
menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.
Syekh Malaya
ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan
nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai
tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi
dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra. Beliu
kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa
tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam
di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di
permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya.
Ternyata
disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup
dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang
berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya.
Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang
diatas air.
Orang yang
mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng nabi Khidir yang
menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu
mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini
tidak ada apa-apa! Tidak ada yang ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan
dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup
yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak
makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”.
Sunan Kalijaga
heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khidir berkata lagi
kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau
tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di
sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya.
Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut
mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungking mendapat apa
yang kau maksudkan!”.
Syekh Malaya
bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan
Kanjeng Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang
sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan
dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi
Khidir , katanya terasa memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khidir
menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”.
Akhirnya
Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!”
“Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang
yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka
ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan
lika-liku kehidupan ini”. “Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju
dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan
berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah
sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas
amalkanlah!”.
“Demikianlah
seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas,
oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia.
Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada
siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya ketika
mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah
mendapati kenyataan Kanjeng Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang
tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami
dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta
kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan?
Mengapa di sini sendirian? Sang Mahyuningrat menjawab, “sesungguhnya
saya ini Kanjeng Nabi Khidir”.
Syekh Malaya
berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan
junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak
tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan
di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian
diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat
keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.
Maka berkata
dengan manisnya Sang Kanjeng Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga. “Jika
kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang
sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas
saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah
yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu
dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung
didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu
sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya
menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu
tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya
sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa
menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik
haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenernya dari ibadah haji tentu
kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang
kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu,
tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah
(Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu
yakinkan dalam hati”.
Kanjeng Nabi
Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke
dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi,
keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata
halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya
tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah
usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua
ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal
penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup
masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin
takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng
Nabi Khidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah
Kanjeng Nabi Khidir, ini jalan di telingaku ini”.
ESSENSI ILMU SYARIAT (04)
Syekh Malaya masuk
dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidir. Sesampainya di dalam
tubuh Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada
bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya.
Kanjeng Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apay yang kamu lihat?”
Syekh Malaya
segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak
kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara
selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka
belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”.
Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya
nampak Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khidir
malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu
Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan
jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaringf
matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidir, rasanya
berada di alam yang lain dari yang lain.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah
dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya
menjawad, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah
tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah
kuning dan putih”.
Berkata
Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak
tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di
dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu
disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membingbing dirimu ke dalam
sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal
bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu.
Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan
terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh
Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta
gembira.
Kanjeng Nabi
Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam
serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah
lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang
tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan
ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga
macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan
kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya
hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia. Jika tidak tercampur
oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan
mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi.
Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta. Namun yang
perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada
dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus
sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah,
mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang
menghalangi, menutup kepada kebajikan.
Sedangkan yang
berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala
keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan,
hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup
yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya
mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik.
Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya
membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang
putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini
itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Kanjeng Nabi
Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan
penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat
dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya,
hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat
dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri
dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam,
besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama,
padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat
dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang
timbul dari tiga hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa
berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia
dan Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai
berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir
kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Kanjeng Nabi
Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna
ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata,
“Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu
delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin
jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada
yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Kanjeng
Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirmu
sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada
dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga
seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara,
barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah,
kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam
semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada
dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia
kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa
yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang
ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat
semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti
kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi,
apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan?
Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Kanjeng
Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan,
yang dapat mmenguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat
kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak
dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan
oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran
(simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang
kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang
benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana
itulah sebutannya.
Hidupnya ada
pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak
merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka
dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana
meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah
seluruh badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan
kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang
mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh
di sekitar raga.
Hidupnya
karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan,
mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila
bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa
yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang
sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang
tidak berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya
satu asal.
Menjawablah
Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng
Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan
nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya
menyela pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham
betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan
tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan
sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya
seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang
bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang
penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di
sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir
yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu
ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar,
ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam
keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap
pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah
hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena
sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal
atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan
nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad
itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu
sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang
disebut atau dinamakan neqdu”.
Sambil
menghela nafas Kanjeng Nabi Khidir berkata pelan, “Sekarang jauhar
sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup
dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah
yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah,
tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang
hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah.
Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba
perhatikan orang mati! Apa daranya? Darah itu kini hilang, hilangnya
bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali
pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian jisim Latif ialah Jisim
Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling.
Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar,
tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya, menjadi
Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu
bagian Dzatullah”?.
Setelah
mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang
menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata, “Adapun wujud
sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang
dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan
terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya
Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga.
Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani
memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri!
Adapu sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu
berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena
adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi
Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah
kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai
berikut : kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau
disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan
keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya
Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud
Dzat-Ku.
Dan untuk
menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan
Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu
semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang
Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin
dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak
mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan
setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik
(Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidir bertanya, “Apakah kamu
sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di
akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah,
sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku……”.
Kanjeng Nabi
Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan
memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu,
ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula
Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati
sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk
mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan
memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara
tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan
jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi
iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan
kepada Allah. Alif tercipka karena sudah menjadi ketentuan yang sudah
digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak
dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan,
itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu
Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo
dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar
awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak
akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia.
Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu,
telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di
dalam jauhar awal.
Dari
keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan,
diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya
demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah
disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan,
bukankah juga berdiri tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati,
bersidekep menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu
juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu.
Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang
jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rhasia iman dapat kau
resapi. Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi?
Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi
pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah,
biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah
melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ikhsan). Dengan adanya
agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di
langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati
yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan
segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah
semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa
sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan
menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu
Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah.
Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat
kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.
Dan janganlah
sekali-kali dirimu menggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula
menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang
sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan
rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala
rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan
Allah. Beliu sering menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya,
kalau mau mengeluarkan shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat
naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah
shalat”.
ESSENSI ILMU MAKRIFAT (05)
(05)Kanjeng
Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu berkata “matahari berbeda dengan
bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah
hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting
untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk
mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata
telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata. Maka dari
itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang
Asli, asli dari Allah.
Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup. Segala afalnya (perbuatanya)
adalah bersal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati. Kalau
hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat
(kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairat
(mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu
secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil
(penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal
dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang
tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari
Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah
itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked ghaib insan kamil,
itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi
(usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan
kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan
Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng Nabi
Khidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini.
Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang
diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku
Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama
dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang
mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela
seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT.
Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan
Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu
termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang
menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa
diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa
hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang
dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai
akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah.
Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak
berwarna, yang senantiasa meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu
mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta
mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Ruh Idhafi seudah ada sebelum
tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat menerima sesuatu
yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning. keenamnya jauhar awal. Jauhar
awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga agra
nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan. Bermula dari ibarat
ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan
menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh serba
psrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal
itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu
mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan.
Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat
maupun buang kotoran. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu
termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada
Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau
mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih. Adanya itu
menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya.
Kehidupan itu
seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna
dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu.
Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan
nama Allah. Bukakah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah?
Dapat pula disebut utusan Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan
mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh
Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut iman maksum, kalau sudah mendapat
ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu?
Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu
adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui
ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun
bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan
dipahamilebih seksama baru dikerjakan, Allah itu tidak berjumlah tiga.
Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya
orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya bingung
karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran
mendekatkan pada kufur kafir. Fakhir dekat dengan kafir. Sebabnya karena
kafir itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka.
Fakhir tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud
pendekatan ini, tidak menyembah dan memuji, karena kekafirannya. Seperti
itulah kalau fakhir terhadap Dzatullah. Dan sesungguhnya Gusti Allah,
mematikan kefakhiran manusia, kepastianny ada di tanga Allah
semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada stu makhluk pun yang
mengetahui kecuali Allah sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh
Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman
tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang
Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Dan kamu harus menyatu bahwa Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Ruh
Idhafi ada di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut
Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya.
Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selalu
menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut
menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang
pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan
sekarat.
Ruh Idhafi
tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa
keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup dan menghidupi dirimu,
dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif (huruf alif) harus
dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah
payah mendalaminya. Terlebih lagi poengetahuan tentang kafir dan
syirik! Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat
maksud sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu berarti sudah
mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah. Sebagai sarana pengabdian hamba
kepada Gusti Allah. Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga. Raga yang
shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang
menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka
tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang
tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang
menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hambanya.
Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang
mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi.
Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan
yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang
tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah). Syarat jisim lathif
(jasad halus0 itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya
berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang
mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus
mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit
(mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Setelah
semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akherat.
Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi. Asal mula
manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta.
Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari
tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan
kepada yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti
sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai srana untuk makrifat? Titipan
yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya
kemiripan dengan yang tujuh
hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu
masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur.
Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan
kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang
merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan.
Mati atau
hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah
yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara
keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun
dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya
cahaya yang bersember dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal
pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat
Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang
tertinggal. Kembalinya pada allah sudah dalam keaadaan yang sempurna.
Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna
seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh Malaya
terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya
Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya senang hatinya
sehingga beliu belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir.
Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula
madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih
nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita, tiada selera makan
tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus bersusah payah dan
bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan
manfaat”. Kanjeng Nabi Khidir memperingatkan, “yang demikian tidak boleh
kalau tanpa kematian”.
Kanjeng Nabi
Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Kanjeng
nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap hambatan upaya.
Jangan sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah
kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat
saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah. Tidak diperkenankan
mengobrol kepada sesama manusia, kalau tanpa seizin-Nya! Sekiranya akan
ada yang mempersolakan, memperbincangkan masalah ini! Jangan sampai
terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan peduli terhadap
gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar! Cobaan hidup
yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang
sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada yang
menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu.
Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, bersama lainnya selalu ada
dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak pernah
memberitahunakan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak
perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara
mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara
melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adpun telingannya, matanya yang
diberikan oleh allah. Ada padamu itu. Secara batinnya ada pada sukma itu
sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon
yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya.
Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai
gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma, sekiranya kita
mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita kehendaki ada,
diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena datanglah
segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagd. Bentuk wayang adalah
sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya
tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan
semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam
bentuknya. Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika
berhias.
Yang berkaca
itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama
manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi
pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad
raya, karena lebih lembutseperti lembunya air. Bukankah lebih lembut
kematian manusia ini? Artinya lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih
dari, karena menentukan segalanya. Sekali lagi artinya lembut ialah
sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup
semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar serba lebih.
Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan pada
ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya.
Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai
ibarat benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal kacang
dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada
saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila
kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah
penglihatanmu sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan
kembali kepada yang Empunya suara! Justru kau hanya mengakui saja
sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatasnamai saja. Maka dari itu
kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada
Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga Sukma. Yaitu kata hatimu sudah
bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah manurut pendapatmu!
Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan
was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu
dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang
kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah
benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di
dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya
semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.
Masalah itu
satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh
lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya
tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan
dengan baik, berguna dimana saja! Artinya mati di dalam hidup. Atau sama
dengan hidup di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya.
Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya.
Kenyataannya satu wujud. Raga sukma, sukma muksa. Jelasnya mengalami
kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang
hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu. Seperti bulan yang
diterangi cahaya temaram. Bukankah turnya wahyu meninggalkan kotoran?
Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang
dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan
keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat
peperangan”. Habislah sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya
merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya
sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa
batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh jagad raya,
jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya bunga
yang masih lam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya
semerbak mewangi. Karena sudah mendapat san Pancaretna, kemudian Sunan
Kalijaga disuruh kelura dari raga Kanjeng Nabi Khidir kembali ke alamnya
semula”.
Lalu Kanjeng
Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang Sukma.
Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang
memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi.
Artinya godaan hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat
memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku
yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi
dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan
kemauan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekermu atau
akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan
Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap
gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin
mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita
itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat
kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat
mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.
Tampak
oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai
hambatan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau
cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus
diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan
sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai
penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu
didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali melekat atau
mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran.
Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya
malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam
penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi murung. Ia hanya
sekedar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik
rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru. Ada
orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya di
masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele.
Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk
kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai
putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya
ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka.
Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut
pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih
berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat
dan martabat. Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia
utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan
kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian
tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat,
tanpa mengahasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti mengalami
kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa kebiasaan
ketika hidup didunia. Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah
biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan
dunia yang tersangkal lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan
duniawi. Begitulah beratnya amencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa
terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajatnya. Bila salah
menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau
matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar.
Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya
tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan
pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Yaitu bagaimana hilang
dan mati bersama raganya ialah diidamkannya. Sehingga mempertinggi
semedinya, untuk mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk
Allah, apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan ilmu.
No comments:
Post a Comment