أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Apa yang dimaksudkan oleh doktrin (Evolusi) bukanlah bukti tentang penciptaan alam semesta, namun lebih pada cara penciptaan terjadi …. Dalam suatu kasus, Sang Pencipta menciptakan binatang-binatang seketika seperti yang ada sekarang, namun dalam kasus lain, Sang Pencipta menciptakannya melalui unsur-unsur materi … yakni kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalamnya, sehingga seiring perjalanan waktu, makhluk-makhluk berkembang seperti yang ada sekarang.[9]
Hipotesis apa pun yang mengindikasikan aturan definitif menunjukkan prinsip kausalitas itu valid.[29]
Mehdi Golshani**
Prolog
Masuknya
sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi
bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan
bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi
pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa
mendengar sikap yang berbeda-beda di seantero dunia Islam. Di sini kita
membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
(1) Kelompok
minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena
menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi
mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan
mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
(2) Kelompok
intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan
mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka,
menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan
dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern sebagai
satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
(3) Sejumlah
ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap
kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap
menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini
terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang dapat dibagi lagi
sebagaimana berikut:
· Sejumlah
pemikir Muslim, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha
memberi justifikasi terhadap sains modern berdasarkan landasan
keagamaan. Mereka memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains
yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu. Oleh karenanya, mereka
menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga
independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis dan
sejumlah intelektual Muslim [yang sekuler].
· Sejumlah
pemikir berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam
Al-Qur’an dan hadis. Motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan
sains modern dengan ajaran Islam dan membuktikan bahwa temuan-temuan
sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan.
Kelompok ini yakin bahwa beberapa hasil yang telah dicapai oleh sains
modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad
pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu
kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa masyarakat
Muslim.
· Para
ulama berusaha mereinterpretasi sejumlah isu-isu teologi Islam dalam
perspektif sains modern. Ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan,
menggulirkan teologi alam untuk mereinterpretasi prinsip-prinsip dasar
agama Islam dalam bingkai sains modern sebagaimana dapat disaksikan
dalam tafsir Al-Qur’annya.
(4) Terakhir,
para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan
pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena itu, meskipun mereka
menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan
teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai
penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains.
Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan
beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak
dapat memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus
dikombinasikan dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran
komprehensif mengenai realitas. Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur
terkemuka pendapat ini.
Sikap Muthahhari terhadap Sains Modern
Sementara
sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan
penemuan sains modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah
fundamnetal dalam sains yang dapat menimbulkan persilangan pendapat
antara para ilmuwan dan para ulama. Ia percaya bahwa pandangan filosofis
terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber konflik daripada ilmu itu
sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari asumsi-asumsi
filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen. Seperti komentarnya:
Dalam
mempelajari karya-karya setiap ilmuan, saya selalu melacak akar
pemikirannya dalam rangka memahami mengapa seorang ilmuan, berdasarkan
refleksi filosofisnya mengenai suatu masalah, memilih jalan tertentu
dalam memulai dan menyimpulkannya? Postulat apa yang diandaikannya
begitu saja sebelum berpendapat ini dan itu?[1]
Dalam
pandangan Muthahari, kesalahpahaman ilmuan juga memberikan kontribusi
besar pada berkembangnya konflik tersebut. Di sini, kami akan
menyebutkan beberapa masalah utama yang meningkatkan konflik antara ilmu
dan agama, sekaligus mengelaborasi cara Ayatullah Muthahhari mendekati
masalah ini.
1. Argumen Keteraturan
Sebagaimana
yang telah kami sebutkan, bersamaan masuknya sains modern ke dalam
dunia Islam, sebagian ilmuan Muslim mengatakan bahwa teologi sekalipun
harus tunduk pada metode-metode sains yang bersifat empiris, dan bahwa
sains merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an
mengenai fenomena-fenomena alam dijadikan argumen kememadaian (self-sufficiency) metode ilmiah. Bahkan ada pula ilmuan yang mengidentikkan kearifan Al-Qur’an dengan Positivisme.[2]
Mengenai
hal ini, Muthahhari mengakui bahwa observasi dan eksperimentasi
merupakan piranti penting untuk memahami alam, namun ia tidak yakin
terhadap kememadaian inderawi. Menurutnya, hasil kerja intelektual
sangatlah diperlukan sebelum seseorang memberikan interpretasi teistik
terhadap dunia. Sains empiris juga mengakrabkan kita dengan karya-karya
Tuhan, bahkan kesimpulan tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan Tuhan
berdasarkan kajian mengenai alam, pun membutuhkan penalaran intelektual.
Lompatan dari yang terbatas (finitum) kepada yang tak terbatas (infinitum) mensyaratkan penalaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari:
Membuktikan
adanya Tuhan dengan menunjukkan adanya “keteraturan dan arah” [alam
semesta] memang cara yang baik. Namun teori itu hanya berfungsi untuk
menyadarkan kita bahwa alam semesta ini … berada di bawah pengawasan
kekuatan yang berpengetahuan, yang mengaturnya …. Paling tidak, sains
memberi tahu kita pencipta semesta ini memiliki pengetahuan tentang
sesuatu yang dibuatnya, tapi bisakah sains membuktikan bahwa ‘Dia
mahamengetahui segala sesuatu’ (Q.S. 57:3).[3]
Ternyata
hukum-hukum fisika dan kimia juga tidak murni fakta-fakta empiris.
Kesimpulan-kesimpulan keduanya juga sangat membutuhkan pengolahan
intelektual. Konsep materi, misalnya, merupakan kesimpulan intelektual,
sebab eksperimen hanya memberikan sifat-sifat materi tersebut kepada
kita [dan bukan totalitasnya].
Berkenaan
dengan teori keteraturan, Muthahhari berpandangan bahwa setiap orang
dihadapkan pada dua model keteraturan: keteraturan yang berkaitan dengan
sebab efisien (the efficient cause) dan keteraturan yang berkaitan dengan sebab final (the final cause).
Jika yang pertama hanya menunjukkan rangkaian sebab-akibat, maka yang
terakhir mengisyaratkan adanya pengetahuan dan pilihan dalam menentukan
sebab efisien. Karena itu, keteraturan yang terlihat di dunia merupakan
perwujudan model keteraturan yang kedua, dan keteraturan semacam itu
merujuk kepada alam metafisik. Sayangnya, menurut Muthahhari, kebanyakan
orang tidak membedakan dua hal ini.[4]
Menurut
Muthahhari, argumentasi keteraturan yang digunakan untuk membuktikan
eksistensi Tuhan pada hakikatnya memiliki unsur empiris dan teoretis
sekaligus. Mengabaikan hal ini telah membuka jalan bagi kritisisme
terhadap argumentasi keteraturan. Manfaat argumentasi keteraturan adalah
ia menunjukkan kita batas-batas antara fisika dan metafisika. Ia
menunjukkan adanya realitas supernatural. Namun, teori itu sama sekali
tidak mengatakan sifat dasar realitas supernatural dan apakah ia
terbatas ataukah tidak.
2. Teori Evolusi Darwin
Darwin menolak ide tentang kepermanenan spesies (the fixity of species) dan memproklamirkan ide evolusi spesies. Dia menegaskan idenya itu dengan teori mekanisme seleksi alam (the mechanism of natural selection) dan teori bertahan hidup bagi yang paling kuat (the survival of the fittest). Kaum Darwinian berusaha menjelaskan kehidupan dengan proses untung-untungan (the chance processes)
dan karena itu menyangkal peran keteraturan penciptaan. Keteraturan
yang kita lihat dalam kehidupan dunia mereka anggap sebagai hasil dari
peluang dan seleksi alam. Hal itu antara lain disampaikan oleh Richard Dawkins di acara yang dipandunya di BBC2 pada tahun 1987:
Proses
untung-untungan dalam seleks alam yang berjalan selama ribuan tahun
memiliki cukup energi untuk menghasilkan keajaiban seperti dinosaurus
dan diri kita.[5]
Kaum
Darwinian bermaksud menghilangkan peran Sang Pencipta. Yang mereka
lupakan adalah: memperkenalkan mekanisme bagi sesuatu [penciptaan] tidak
serta-merta menegasikan peran pencipta. Kemunculan suatu spesies
mestinya dijelaskan apakah ia terjadi secara gradual atau tiba-tiba.
Sebagaimana ditunjukkan Abu Al-Majd Muhammad Rida al-Najafi al-Isfahani, seorang
intelektual muslim terkemuka awal abad ke-20, teori evolusi tidak
bertentangan dengan paham ketuhanan. Hanya penafsiran materialistik dari
teori ini yang menegasikan Tuhan.[6]
Dalam
beberapa dekade belakangan, para eksponen Darwinisme yang ateis sibuk
mengajukan ketidaksesuaian antara teori evolusi dengan paham ketuhanan.
Komentar Dawkins menggambarkan pertentangan tersebut berikut ini:
Akhirnya, hanya [teori tentang] Tuhan dan seleksi alam yang bisa menjelaskan mengapa kita tercipta.[7]
Namun, Dawkins yakin bahwa teori Darwin telah membuat kepercayaan pada Tuhan menjadi tampak sia-sia:
Kendati teisme dapat bertahan sebelumnya, namun Darwin dapat membuatnya menjadi pandangan intelektual yang benar-benar ateistik.[8]
Dawkins tidak melihat adanya kesesuaian antara teori seleksi alam dengan keberadaan Pencipta alam. Dalam kuliahnya tahun 1884, Uskup Agung Fredrick Temple menjelaskan duduk perkaranya dengan baik:
Apa yang dimaksudkan oleh doktrin (Evolusi) bukanlah bukti tentang penciptaan alam semesta, namun lebih pada cara penciptaan terjadi …. Dalam suatu kasus, Sang Pencipta menciptakan binatang-binatang seketika seperti yang ada sekarang, namun dalam kasus lain, Sang Pencipta menciptakannya melalui unsur-unsur materi … yakni kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalamnya, sehingga seiring perjalanan waktu, makhluk-makhluk berkembang seperti yang ada sekarang.[9]
Muthahari sepenuhnya sadar akan kerancuan ini. Dalam kuliahnya di Islamic Association of Physicians, Teheran,
Muthahhari (1968) menegaskan bahwa baik secara filosofis maupun
teologis, tidak ada hubungan antara teori penciptaan spontan ataupun
gradual, dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kesalahanpahaman ini merupakan
akibat kesalahan dari abad ke-19 ketika orang melihat adanya korelasi
antara kepercayaan kepada Tuhan dengan “teori kepermanenenan spesies”.
Bagaimanapun juga, tidak ada kesenjangan logika antara kepercayaan
kepada Tuhan dengan teori evolusi. Namun Muthahhari menegaskan bahwa
hukum-hukum evolusi Darwinian tidaklah cukup untuk menerangkan proses
evolusi spesies. Evolusi harus dilengkapi dengan hukum-hukum metafisik.[10]
Muthahari
mengklasifikan dua kelompok yang memberi kontribusi pada berkembangnya
tesis mengenai pertentangan antara paham ketuhanan dengan ide evolusi
spesies. Kelompok pertama terdiri dari kaum beriman yang menyerang ide
evolusi spesies karena menganggapnya bertentangan dengan agama mereka.
Sedangkan kelompok kedua terdiri dari para materialis yang menggulirkan
teori evolusi untuk melepaskan diri dari ide eksistensi Tuhan.[11]
Menanggapi
orang-orang yang melihat adanya pertentangan antara cerita tentang Adam
yang terdapat dalam Bibel dan Al-Qur’an, dengan teori evolusi,
Muthahhari setuju dengan pandangan yang mengaggap Adam tidak harus
menjadi manusia pertama. Lebih tepat jika kemunculan Adam dianggap
menandai tahap maju dalam perkembangan manusia. Cerita tentang Adam
dalam Al-Qur’an merupakan pelajaran-pelajaran moral:
Cerita
tentang Adam memang ada dalam Al-Qur’an, namun cerita itu tidak memuat
sedikit pun masalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan atau tauhid.
Cerita itu sebenarnya diungkapkan untuk mengajari kita tentang akibat
kesombongan setan dan kealpaan Adam. Akan tetapi, cerita penciptaan
manusia [secara umum] itulah yang dimaksudkan untuk mengajari kita
tentang monoteisme.[12]
3. Masalah Kehidupan
Persoalan
jiwa dan raga, dan hubungan di antara keduanya merupakan permasalah
lama. Seiring perkembangan dan popularitas teori evolusi dan filsafat
materialistik, para ilmuan berusaha terus-menerus untuk mengkaitkan
segala sifat-sifat kehidupan dengan proses psiko-kimiawi, guna
mengesampingkan konsep jiwa. Muthahhari, dalam hal ini, mengakui
pengaruh proses psiko-kimiawi bagi kehidupan, sekaligus menganggapnya
tidak memadai. Radio, misalnya, memang penting untuk menerima sinyal
yang dikirim transmiter, namun ia bukan segala-galanya. Untuk lebih
jelasnya, Muthahhari mengatakannya sebagai berikut:
Sintesa,
penjumlahan, pengurang, dan pengombinasian bagian-bagian materi
merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memunculkan efek-efek
kehidupan, namun itu semua tidaklah cukup.[13]
Menanggapi pendapat yang mengatakan manusia dapat memproduksi efek-efek kehidupan Muthahhari berpendapat:
Tatkala
kemampuan menghadirkan kehidupan dihasilkan oleh materi, [sebenarnya]
Tuhanlah yang menganugrahinya kehidupan. Dengan kata lain, materi dalam
gerak perkembangannya, menjadi hidup. Ia mendapatkan kesempurnaannya
yang masih kurang, dan menghasilkan efek dan aktivitas yang sebelumnya
jauh dari kesempurnaan.[14]
Pandangan
ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kehidupan ini
merupakan anugerah Tuhan. Muthahhari menegaskan:
Mustahil
jika kondisi-kondisi pemberian jiwa [oleh Tuhan] ada, tapi tidak ada
kehidupan. Bukankah Tuhan Mahakuasa, Mahasempurna, dan Mahapemurah
kemudian disaingi oleh manusia? Seandainya suatu ketika manusia mencapai
hal ini, apalagi yang harus mereka siapkan, jika bukan menciptakan
kehidupan.[15]
Muthahhari
juga mengkritisi kaum beragama yang menggali asal-muasal kehidupan
hanya demi mengaitkannya dengan Tuhan. Bagi Muthahhari, mereka
mencari-cari Tuhan yang hilang (God of gaps), yakni mencari Tuhan yang cocok untuk mengisi kebodohan manusia:
Di
sini kami ingin mencari alasan mengapa orang-orang yang bertuhan itu
mencari asal-muasal kehidupan untuk mengkaitkan kemurnian kehidupan itu
dengan kehendak Tuhan. Padahal, Al-Qur’an dalam pandangan
monoteistiknya, sama sekali tidak mengikuti metode semacam itu.
Al-Qur’an menganggap hidup … sebagai hasil dari kehendak langsung Tuhan.
Al-Qur’an, dengan kata lain, sama sekali tidak membedakan asal-muasal
kehidupan dengan kelanjutannya …. Selain itu, kita tidak boleh lupa akan
perbedaan fundamental antara logika Al-Qur’an dengan logika lain.
Namun, sayangnya, kaum beragama itu tetap saja mencari Tuhan dari sisi
gelap pengetahuan mereka. Sehingga tak mengherankan jika mereka sering
kali mengkaitkan kebodohan mereka kepada Tuhan, tatkala pikiran mereka
terbatas dalam memahami suatu hal.[16]
4. Penciptaan Alam Semesta
Selama
Masa Pertengahan, masalah penciptaan alam semesta senantiasa dikaitkan
dengan konsep ketuhanan. Penciptaan alam semesta digunakan sebagai bukti
filosofis bagi keberadaan Tuhan. Namun, dalam dua abad terakhir,
terutama sejak abad ke-20, kepercayaan tentang kekekalan alam semesta
sangatlah populer dalam diskusi ilmu pengetahuan, dan menjadi salah satu
argumen kuat kaum materealis untuk melawan konsep keberadaan Tuhan.
Namun setelah Hubbel menemukan perubahan warna merah pada cahaya dari
galaksi, ‘teori ekspansi alam semesta” atau dikenal dengan “teori Big Bang”,
benar-benar melambung dan meraih popularitas luar biasa. Teori itu
selanjutnya diterima pula oleh kaum beragama di seluruh dunia. Sebab,
mereka merasa mendapatkan bukti konkret terciptanya alam semesta oleh
tangan Tuhan berkat teori tersebut. Akan tetapi, para pakar kosmologi
ateis segera berusaha menghadirkan argumentasi yang dapat menolak ide
penciptaan alam semesta dalam satu waktu, dan perdebatan pun berlanjut.
Hanya saja, sejumlah fisikawan mengakui bahwa asumsi tentang kekekalan
alam semesta tidak lantas menjadikannya membuktikan apa-apa. Dalam hal
ini, Paul Davies berkata:
Fakta
yang menyatakan bahwa alam semesta tidak bermula dari suatu waktu
tertentu tidak dapat menjelaskan eksistensi alam semesta tersebut. Fakta
itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa alam semesta ini
terbentuk semacam ini. Tentu saja ia tidak menjelaskan mengapa alam
menempati semesta yang relevan (seperti penciptaan semesta) dan
prinsip-prinsip fisik yang menciptakan kosmos yang stabil.[17]
Muthahhari
menegaskan bahwa baik teori kebaharuan penciptaan maupun teori
kekekalan alam semesta tidak ada hubungannya dengan masalah eksistensi
Sang Pencipta. Kesalahan fatal akan terjadi, menurut Muthahhari, jika
kita mengasumsikan kepercayaan bahwa Tuhan mensyaratkan konsep
kebaharuan alam semesta:
Mengapa
kita memperbincangkan masalah hari pertama penciptaan semesta, dan
mengatakan bahwa semesta tercipta secara gradual? Padahal, ia selamanya
dalam keadaan tercipta. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng dalam
semesta ini.[18]
Berdasarkan
prinsip-prinsip monoteistik, sebenarnya orang dapat mengatakan bahwa
alam semesta ini tidak berpermulaan. Sebab, jika alam semesta ini
berpermulaan, bisa jadi ada alam lain sebelum alam ini dalam bentuk yang
lain pula.[19] Dalam ungkapan Muthahhari:
Mungkin
mereka benar, jika berjalan mundur ke ribuan tahun silam, kita akan
dapatkan keadaan dunia yang berbeda dengan keadaan dunia saat ini.
Namun, bagaimana kita dapat mengetahui jika tidak dunia lain yang
memiliki keadaan berbeda sebelum dunia ini?[20]
Gagasan
mengenai keberagaman alam semesta yang dikemukakan Muthahhari
pertengahan 1970-an, menjadi ide terkemuka dalam kajian kosmologis tahun
1980-an dan 1990-an. Namun, para kosmolog hanya menggunakan ide itu
untuk memperselisihkan keberadaan Tuhan. Sedangkan Muthahhari
menggunakannya untuk mempropagandakan ide Tuhan yang Mahapengasih.
5. Prinsip Kausalitas
Para
fisikawan zaman klasik mempercayai prinsip kausalitas sebagai postulat
dasar. Mereka juga percaya bahwa dengan mengetahui persamaan gerak suatu
sistem berikut kondisi permulaannya, seseorang dapat memprediksikan
dengan tepat masa depan sistem tersebut. Pada tahun 1927, Heisenberg menggulirkan
ide “relasi yang tidak menentu”, yang berisikan ketidaktahuan manusia
akan posisi dan kecepatan tertentu dari suatu partikel. Setelah itu,
Heisenberg meloncat dari kesimpulan epistemologisnya itu menuju kepada
kesimpulan ontologis, dengan mendeklarasikan teori yang mengatakan bahwa
prinsip kausalitas tidak berlaku pada realitas atom. Selanjutnya, ia
menegasikan kemungkinan adanya level subkuantum dalam aturan hukum
kausalitas. Ia juga beranggapan bahwa spekulasi-spekulasi itu sering
kali tidak berguna dan omong kosong:
Karena
sifat statistikal teori kuantum berkaitan erat dengan ketidakpastian
semua persepsi, seseorang dapat mencapai anggapan bahwa di belakang
dunia statistik yang di dalamnya terkandung hukum kausalitas, terdapat
“dunia” tersembunyi yang ditopang oleh hukum kausalitas. Namun singkat
kata, spekulasi ini tidak berarti apa-apa dan omong kosong …. mekanika
kuantum telah menandaskan kegagalan mutlak teori kausalitas. [21]
Namun,
fisikawan lain, seperti Einstein Nernst, menolak pandangan di atas dan
mengaitkan ketidakpastian realitas atom dengan ketidaktahuan manusia.
Kemudian penolakan itu ditentang oleh fisikawan dan filsuf lain yang
berpikiran bahwa ide Heisenberg dapat memberikan solusi bagi masalah
kebebasan kehendak manusia. Sebab, proses psikologis bergantung kepada
proses fisika yang pada dasarnya tidak menentu.[22] Akan tetapi, Einstein menolak anggapan adanya pertentangan antara aturan hukum kausalitas dengan kebebasan kehendak manusia:
Sepertinya
Anda menghadapi konflik antara perspektif kausalitas murni versi
Spinoza dengan perspektif yang menginginkan adanya usaha-usaha aktif
untuk menciptakan keadilan sosial. Bagi saya, tidak ada konflik di situ.
Karena ketegangan mental tidak cukup mengandalkan keinginan saja, tapi
juga harus mendorong terwujudnya keadilan sosial dengan cara menyatukan berbagai faktor yang masing-masing mengambil bagian dari sistem kausalitas yang masih terabaikan.[23]
Sejalan
dengan maraknya diskusi tentang teori kuantum dan teori kausalitas,
ilmuwan Islam, pada dekade terakhir ini, juga mulai merevivalisasi teori
Asy’ari yang telah lama diabaikan. Mereka juga menggunakan teori
kuantum untuk mendukung ide-ide mereka.[24] Namun, Muthahhari,
menolak teori fisika kuantum itu. Dengan melakukan beberapa observasi,
Muthahhari mengkritisi teori tentang prinsip ketidakpastian itu.[25] Hasil pengamatannya antara lain sebagai berikut:
1. Kami
tidak bermaksud untuk menolak observasi ekperimental para fisikawan.
Yang ingin kami lakukan hanyalah mengkritisi kesimpulan filosofis yang
telah mereka capai.
2. Hukum
kausalitas adalah hukum filosofis. Oleh karenanya, keberadaannya hanya
dapat ditolak dengan argumentasi filosofis. Sedangkan sains tidak
mungkin mampu menetapkan ataupun menolaknya. Ia hanya mampu menerimanya
sebagai sebuah postulat dasar. Dalam hal ini Planck berkata:
Tentu
saja kita bisa mengatakan bahwa hukum kausalitas pada dasarnya hanya
sebuah hipotesis. Namun demikian, posisi hukum kausalitas tidak sama
dengan hipotesis yang lainnya. Karena hukum kausalitas merupakan
hipotesis yang paling fundamental. Ia adalah hipotesis yang berbentuk
postulat, yang berperan penting dalam memberikan pengertian dan makna
bagi seluruh penggunaan hipotesis dalam penelitian ilmiah.[26]
3. Hukum
kausalitas memandang seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan. Oleh
karenanya, penerapannya pada mikrokosmos dapat merusak validitas
hubungan hukum tersebut dengan keseluruhan alam semesta. Shabistari, seorang mistikus Persia pernah mengatakan hal tersebut sebagai berikut:
Jika kau buang sesuatu dari tempatnya, seluruh semesta akan hancur berantakan.
4. Tidak
terprediksikanya dunia atom tidak berarti hukum kausalitas tidakvalid.
Sebab, kita tidak punya alasan pasti untuk menyatakan bahwa kita telah
mencapai batas akhir pengetahuan kita atau kita telah menelusuri semua
faktor yang relevan. Ketidakmampuan kita dalam memprediksikan sesuatu
bisa jadi merupakan hasil dari ketidaktahuan kita atas beberapa fakta
yang belum diketahui. Henry Stapp, eksponen teori kuantum kontemporer, menyetir pendapat berikut:
Teori
kuantum kontemporer memperlakukan kejadian-kejadian (alam semesta) ini
sebagai suatu variabel tak beraturan (random variables) dengan cara
menspesifikkan bobot statistiknya saja ke dalam teori ini. Artinya,
teori kuantum tidak turut campur membahas pilihan aktual-spesifik suatu
kejadian atau bagaimana kejadian itu berlangsung.
Yang
jelas, pernyataan teori fisika kontemporer bahwa tidak ada sesuatu
selain yang ada/terjadi, tidak berarti sains telah menjadi stagnan. Para
fisikawan masa kini percaya pada kebenaran teori itu bisa saja demikian
dan juga memuaskan, karena pilihan-pilihannya memang demikian.
Saya
percaya kemungkinan itu bisa diterima sebagai ungkapan keadaan
pengetahuan ilmiah kita dewasa ini, namun sains seyogyanya tidak puas
dengan keadaan itu. Sains sudah selayaknya senantiasa berjuangan menuju
posisi yang lebih baik. Semua cabang ilmu pengetahuan harus memainkan
peranannya masing-masing …. sehingga, pada konteks perjuangan yang
sangat luas itu, teori di atas seyogyanya diposisikan sebagai salah satu
elemen dari sisi gelap dunia kontemporer yang masih harus dikaji. Teori
itu, dengan kata lain, bukan sebagai ungkapan final yang harus puas
kita terima.[27]
Beberapa
ilmuan bahkan membicarakan kemungkinan sebab-sebab yang nonfisik.
Pernyataan itu antara lain diungkapkan oleh seorang ahli matematika
Kanada, John Byl:
Argumentasi
yang menyatakan bahwa “ketiadaan sebab-sebab fisik merupakan suatu
kepastian dalam peristiwa-peristiwa kuantum,” telah membuka jalan bagi
kemungkinan eksistensi sebab-sebab nonfisik. Sebab-sebab nonfisik itu
bisa jadi berupa akal manusia, wujud spiritual seperti malaikat, jin,
atau tindakan langsung Tuhan. Tegasnya, sebab-sebab nonfisik ini berada
di luar penyelidikan ilmiah, sehingga secara ilmiah, ia tidak menjamin
kebenaran teori “ketidakadaan sebab fisik mengindikasikan ketidakadaan
suatu sebab.[28]
Dalam
semangat itulah, David Bohm membangun variabel teori kuantum yang
tersembunyi, bersifat kausal, dan dapat menghasilkan seluruh hasil
ekperimen teori kuantum.
- Generalisasi hasil-hasil eksperimen mengenai hukum baru hanya bermakna apabila telah memperoleh hukum kausalitas. Plank menyimpulkan:
Hipotesis apa pun yang mengindikasikan aturan definitif menunjukkan prinsip kausalitas itu valid.[29]
- Para ilmuan yang berusaha menjelaskan kebebasan manusia dengan cara menerapkan hukum kausalitas pada hakikatnya salah dalam memahami makna kebebasan berkehendak. Kita memang bebas dalam memilih melakukan ini dan itu, namun pilihan itu tergantung pada motivasi kita dan berbagai sebab-sebab lainnya.
Epilog
Menarik
menyaksikan bagaimana poin-poin yang dibicarakan Muthahhari pada
permulaan tahun 1950-an, mulai dibicarakan oleh ahli-fisikawan papan
atas, seperti Dirac dan de Broglie pada tahun 1960-an dan 1970-an.[30]
Bahkan, teori kausalitas mekanika kuantum pun menemukan momentumnya
dalam dua dekade terakhir ini, sampai-sampai fisikawan terkemuka
penerima Nobel Fisika Laureate seperti G. ‘t Hooft mengerjakan riset
berdasarkan teori-teori kausal tersebut.***
* Makalah yang disajikan Seminar Internasional Pemikiran Murtadla Muthahhari, Jakarta, 8 Mei 2004, diterjemahkan oleh Zainul Maarif, Mahasiswa Pascasarjana ICAS-Jakarta, disunting oleh Muhammad Ilham, editor in chief pada Penerbit Teraju (Mizan), Jakarta.
** Profesor Fisika Universitas Teknologi Sharif, Teheran, Iran; Direktur Institute for Humanities and Cultural Studies, Tehran, Iran (golshani@ihcs.ac.ir)
[1] M. Muthahhari, Collected Works (in Persian) Vol. 13, (Tehran: Sadra Publication, 1374 H), h. 65.
[2] A. A. Tabbarrah, Ruh al-Din al-Islami (Beirut: Dar al-Ilm lil-Malayeen, 1982), h. 270.
[3] M. Muthhari, Collected Works (in Persian) Vol. 4, (Tehran: Sadra Publication, 1374 H). h. 209-217.
[4] Ibid. h. 86-87.
[5] Dikutip dari M. Poole, “A Critique of Aspect of the Philosophy and the Theology of Richard Dawkins”, Science and Christian Belief, 6, 1994, h. 53.
[6] Adel A. Ziadat, Western Science in the Arab World (London: the Macmillan Press Ltd., 1986), h. 97
[7] R. Dawkins, The Extended Phenotype, (Oxford: OUP, 1982), h. 181.
[8] R. Dawkins, The Blind Watch Maker (New York: W. W. Norton & Co., 1987), h. 6.
[9] Dikutip dari M. Poole, Op.Cit., h. 52.
[10] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 4, h. 220.
[11] Ibid., h. 223-224.
[12] Ibid., h. 164.
[13] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 13, h. 38.
[14] Ibid., h. 41-42.
[15] Ibid., h. 58-59.
[16] Ibid., h. 55.
[17] Paul Davies, The Mind of God (London: Simon & Schnster, 1992), h. 56.
[18] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 4, h. 169.
[19] Ibid., h. 38.
[20] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 10, (Tehran: Sadra Publication, 1375 H), h. 405.
[21] Quantum Teory and Measurement, edited by J. Wheeler and W.H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), h. 83.
[22] Max Jammer, “Indeterminancy in Physics”, in P.P Winer (ed.), Dictionary of the History of Ideas, Vol. 2 (New York: Charles Scribner’s Sons, 1973), h. 589.
[23] T. Benagen, “Stuggle with Causality”, Science in Context, 6, No. 1, h. 306.
[24] K. Harding, “Causality Then and Now: al-Ghazali and Quantum Theory”, American Journal of Islamic Social Sciences, 10, No. 2, h. 165-177.
[25] M. Muthahhari, Collected Works (in Persian) Vol. 6, (Tehran: Sadra Publications, 1377 H), h. 671-691.
[26] M. Planck, The New Sciences (USA: Meridian Books, 1959), h. 104.
[27] H.P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (New York: Spinger-Verlag, 1993), h. 216.
[28] J. Byl, “Inderterminancy, Divine Action and Human Freedom”, Science and Christian Belief, 15, No. 2, Okt. 2003.
[29] M. Planck, Op.Cit., h. 104.
[30]
M. Golshani, “ Cosmology in the Islamic Outlook and in Modern
Cosmology”, in N. H. Gregersen, U. Gorman & H. Meisinger (eds.), Studies in Sciences & Theology, Vol. 8 (Aarhus: University of Aarhus, 2002), h. 187-188.
No comments:
Post a Comment