Saturday, July 14, 2012

Sikap Muthahhari terhadap Sains Modern

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله

Mehdi Golshani**


Prolog

ph-10027.jpgMasuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di seantero dunia Islam. Di sini kita membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
(1) Kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
(2) Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
(3) Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang dapat dibagi lagi sebagaimana berikut:
· Sejumlah pemikir Muslim, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha memberi justifikasi terhadap sains modern berdasarkan landasan keagamaan. Mereka memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu. Oleh karenanya, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis dan sejumlah intelektual Muslim [yang sekuler].
· Sejumlah pemikir berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-Qur’an dan hadis. Motif mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern dengan ajaran Islam dan membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan. Kelompok ini yakin bahwa beberapa hasil yang telah dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa masyarakat Muslim.
· Para ulama berusaha mereinterpretasi sejumlah isu-isu teologi Islam dalam perspektif sains modern. Ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan, menggulirkan teologi alam untuk mereinterpretasi prinsip-prinsip dasar agama Islam dalam bingkai sains modern sebagaimana dapat disaksikan dalam tafsir Al-Qur’annya.
(4) Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern tesrebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja per se, tidak dapat memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas. Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur terkemuka pendapat ini.
Sikap Muthahhari terhadap Sains Modern
Sementara sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan penemuan sains modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah fundamnetal dalam sains yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para ulama. Ia percaya bahwa pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber konflik daripada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen. Seperti komentarnya:
Dalam mempelajari karya-karya setiap ilmuan, saya selalu melacak akar pemikirannya dalam rangka memahami mengapa seorang ilmuan, berdasarkan refleksi filosofisnya mengenai suatu masalah, memilih jalan tertentu dalam memulai dan menyimpulkannya? Postulat apa yang diandaikannya begitu saja sebelum berpendapat ini dan itu?[1]
Dalam pandangan Muthahari, kesalahpahaman ilmuan juga memberikan kontribusi besar pada berkembangnya konflik tersebut. Di sini, kami akan menyebutkan beberapa masalah utama yang meningkatkan konflik antara ilmu dan agama, sekaligus mengelaborasi cara Ayatullah Muthahhari mendekati masalah ini.
1. Argumen Keteraturan
Sebagaimana yang telah kami sebutkan, bersamaan masuknya sains modern ke dalam dunia Islam, sebagian ilmuan Muslim mengatakan bahwa teologi sekalipun harus tunduk pada metode-metode sains yang bersifat empiris, dan bahwa sains merupakan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Ayat-ayat Al-Qur’an mengenai fenomena-fenomena alam dijadikan argumen kememadaian (self-sufficiency) metode ilmiah. Bahkan ada pula ilmuan yang mengidentikkan kearifan Al-Qur’an dengan Positivisme.[2]
Mengenai hal ini, Muthahhari mengakui bahwa observasi dan eksperimentasi merupakan piranti penting untuk memahami alam, namun ia tidak yakin terhadap kememadaian inderawi. Menurutnya, hasil kerja intelektual sangatlah diperlukan sebelum seseorang memberikan interpretasi teistik terhadap dunia. Sains empiris juga mengakrabkan kita dengan karya-karya Tuhan, bahkan kesimpulan tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan Tuhan berdasarkan kajian mengenai alam, pun membutuhkan penalaran intelektual. Lompatan dari yang terbatas (finitum) kepada yang tak terbatas (infinitum) mensyaratkan penalaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muthahhari:
Membuktikan adanya Tuhan dengan menunjukkan adanya “keteraturan dan arah” [alam semesta] memang cara yang baik. Namun teori itu hanya berfungsi untuk menyadarkan kita bahwa alam semesta ini … berada di bawah pengawasan kekuatan yang berpengetahuan, yang mengaturnya …. Paling tidak, sains memberi tahu kita pencipta semesta ini memiliki pengetahuan tentang sesuatu yang dibuatnya, tapi bisakah sains membuktikan bahwa ‘Dia mahamengetahui segala sesuatu’ (Q.S. 57:3).[3]
Ternyata hukum-hukum fisika dan kimia juga tidak murni fakta-fakta empiris. Kesimpulan-kesimpulan keduanya juga sangat membutuhkan pengolahan intelektual. Konsep materi, misalnya, merupakan kesimpulan intelektual, sebab eksperimen hanya memberikan sifat-sifat materi tersebut kepada kita [dan bukan totalitasnya].
Berkenaan dengan teori keteraturan, Muthahhari berpandangan bahwa setiap orang dihadapkan pada dua model keteraturan: keteraturan yang berkaitan dengan sebab efisien (the efficient cause) dan keteraturan yang berkaitan dengan sebab final (the final cause). Jika yang pertama hanya menunjukkan rangkaian sebab-akibat, maka yang terakhir mengisyaratkan adanya pengetahuan dan pilihan dalam menentukan sebab efisien. Karena itu, keteraturan yang terlihat di dunia merupakan perwujudan model keteraturan yang kedua, dan keteraturan semacam itu merujuk kepada alam metafisik. Sayangnya, menurut Muthahhari, kebanyakan orang tidak membedakan dua hal ini.[4]
Menurut Muthahhari, argumentasi keteraturan yang digunakan untuk membuktikan eksistensi Tuhan pada hakikatnya memiliki unsur empiris dan teoretis sekaligus. Mengabaikan hal ini telah membuka jalan bagi kritisisme terhadap argumentasi keteraturan. Manfaat argumentasi keteraturan adalah ia menunjukkan kita batas-batas antara fisika dan metafisika. Ia menunjukkan adanya realitas supernatural. Namun, teori itu sama sekali tidak mengatakan sifat dasar realitas supernatural dan apakah ia terbatas ataukah tidak.
2. Teori Evolusi Darwin
Darwin menolak ide tentang kepermanenan spesies (the fixity of species) dan memproklamirkan ide evolusi spesies. Dia menegaskan idenya itu dengan teori mekanisme seleksi alam (the mechanism of natural selection) dan teori bertahan hidup bagi yang paling kuat (the survival of the fittest). Kaum Darwinian berusaha menjelaskan kehidupan dengan proses untung-untungan (the chance processes) dan karena itu menyangkal peran keteraturan penciptaan. Keteraturan yang kita lihat dalam kehidupan dunia mereka anggap sebagai hasil dari peluang dan seleksi alam. Hal itu antara lain disampaikan oleh Richard Dawkins di acara yang dipandunya di BBC2 pada tahun 1987:
Proses untung-untungan dalam seleks alam yang berjalan selama ribuan tahun memiliki cukup energi untuk menghasilkan keajaiban seperti dinosaurus dan diri kita.[5]
Kaum Darwinian bermaksud menghilangkan peran Sang Pencipta. Yang mereka lupakan adalah: memperkenalkan mekanisme bagi sesuatu [penciptaan] tidak serta-merta menegasikan peran pencipta. Kemunculan suatu spesies mestinya dijelaskan apakah ia terjadi secara gradual atau tiba-tiba. Sebagaimana ditunjukkan Abu Al-Majd Muhammad Rida al-Najafi al-Isfahani, seorang intelektual muslim terkemuka awal abad ke-20, teori evolusi tidak bertentangan dengan paham ketuhanan. Hanya penafsiran materialistik dari teori ini yang menegasikan Tuhan.[6]
Dalam beberapa dekade belakangan, para eksponen Darwinisme yang ateis sibuk mengajukan ketidaksesuaian antara teori evolusi dengan paham ketuhanan. Komentar Dawkins menggambarkan pertentangan tersebut berikut ini:
Akhirnya, hanya [teori tentang] Tuhan dan seleksi alam yang bisa menjelaskan mengapa kita tercipta.[7]
Namun, Dawkins yakin bahwa teori Darwin telah membuat kepercayaan pada Tuhan menjadi tampak sia-sia:
Kendati teisme dapat bertahan sebelumnya, namun Darwin dapat membuatnya menjadi pandangan intelektual yang benar-benar ateistik.[8]
Dawkins tidak melihat adanya kesesuaian antara teori seleksi alam dengan keberadaan Pencipta alam. Dalam kuliahnya tahun 1884, Uskup Agung Fredrick Temple menjelaskan duduk perkaranya dengan baik:

Apa yang dimaksudkan oleh doktrin (Evolusi) bukanlah bukti tentang penciptaan alam semesta, namun lebih pada cara penciptaan terjadi …. Dalam suatu kasus, Sang Pencipta menciptakan binatang-binatang seketika seperti yang ada sekarang, namun dalam kasus lain, Sang Pencipta menciptakannya melalui unsur-unsur materi … yakni kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalamnya, sehingga seiring perjalanan waktu, makhluk-makhluk berkembang seperti yang ada sekarang.[9]
Muthahari sepenuhnya sadar akan kerancuan ini. Dalam kuliahnya di Islamic Association of Physicians, Teheran, Muthahhari (1968) menegaskan bahwa baik secara filosofis maupun teologis, tidak ada hubungan antara teori penciptaan spontan ataupun gradual, dengan kepercayaan kepada Tuhan. Kesalahanpahaman ini merupakan akibat kesalahan dari abad ke-19 ketika orang melihat adanya korelasi antara kepercayaan kepada Tuhan dengan “teori kepermanenenan spesies”. Bagaimanapun juga, tidak ada kesenjangan logika antara kepercayaan kepada Tuhan dengan teori evolusi. Namun Muthahhari menegaskan bahwa hukum-hukum evolusi Darwinian tidaklah cukup untuk menerangkan proses evolusi spesies. Evolusi harus dilengkapi dengan hukum-hukum metafisik.[10]
Muthahari mengklasifikan dua kelompok yang memberi kontribusi pada berkembangnya tesis mengenai pertentangan antara paham ketuhanan dengan ide evolusi spesies. Kelompok pertama terdiri dari kaum beriman yang menyerang ide evolusi spesies karena menganggapnya bertentangan dengan agama mereka. Sedangkan kelompok kedua terdiri dari para materialis yang menggulirkan teori evolusi untuk melepaskan diri dari ide eksistensi Tuhan.[11]
Menanggapi orang-orang yang melihat adanya pertentangan antara cerita tentang Adam yang terdapat dalam Bibel dan Al-Qur’an, dengan teori evolusi, Muthahhari setuju dengan pandangan yang mengaggap Adam tidak harus menjadi manusia pertama. Lebih tepat jika kemunculan Adam dianggap menandai tahap maju dalam perkembangan manusia. Cerita tentang Adam dalam Al-Qur’an merupakan pelajaran-pelajaran moral:
Cerita tentang Adam memang ada dalam Al-Qur’an, namun cerita itu tidak memuat sedikit pun masalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan atau tauhid. Cerita itu sebenarnya diungkapkan untuk mengajari kita tentang akibat kesombongan setan dan kealpaan Adam. Akan tetapi, cerita penciptaan manusia [secara umum] itulah yang dimaksudkan untuk mengajari kita tentang monoteisme.[12]

3. Masalah Kehidupan
Persoalan jiwa dan raga, dan hubungan di antara keduanya merupakan permasalah lama. Seiring perkembangan dan popularitas teori evolusi dan filsafat materialistik, para ilmuan berusaha terus-menerus untuk mengkaitkan segala sifat-sifat kehidupan dengan proses psiko-kimiawi, guna mengesampingkan konsep jiwa. Muthahhari, dalam hal ini, mengakui pengaruh proses psiko-kimiawi bagi kehidupan, sekaligus menganggapnya tidak memadai. Radio, misalnya, memang penting untuk menerima sinyal yang dikirim transmiter, namun ia bukan segala-galanya. Untuk lebih jelasnya, Muthahhari mengatakannya sebagai berikut:
Sintesa, penjumlahan, pengurang, dan pengombinasian bagian-bagian materi merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk memunculkan efek-efek kehidupan, namun itu semua tidaklah cukup.[13]
Menanggapi pendapat yang mengatakan manusia dapat memproduksi efek-efek kehidupan Muthahhari berpendapat:
Tatkala kemampuan menghadirkan kehidupan dihasilkan oleh materi, [sebenarnya] Tuhanlah yang menganugrahinya kehidupan. Dengan kata lain, materi dalam gerak perkembangannya, menjadi hidup. Ia mendapatkan kesempurnaannya yang masih kurang, dan menghasilkan efek dan aktivitas yang sebelumnya jauh dari kesempurnaan.[14]
Pandangan ini sesuai dengan ajaran Al-Qur’an yang mengatakan bahwa kehidupan ini merupakan anugerah Tuhan. Muthahhari menegaskan:
Mustahil jika kondisi-kondisi pemberian jiwa [oleh Tuhan] ada, tapi tidak ada kehidupan. Bukankah Tuhan Mahakuasa, Mahasempurna, dan Mahapemurah kemudian disaingi oleh manusia? Seandainya suatu ketika manusia mencapai hal ini, apalagi yang harus mereka siapkan, jika bukan menciptakan kehidupan.[15]
Muthahhari juga mengkritisi kaum beragama yang menggali asal-muasal kehidupan hanya demi mengaitkannya dengan Tuhan. Bagi Muthahhari, mereka mencari-cari Tuhan yang hilang (God of gaps), yakni mencari Tuhan yang cocok untuk mengisi kebodohan manusia:
Di sini kami ingin mencari alasan mengapa orang-orang yang bertuhan itu mencari asal-muasal kehidupan untuk mengkaitkan kemurnian kehidupan itu dengan kehendak Tuhan. Padahal, Al-Qur’an dalam pandangan monoteistiknya, sama sekali tidak mengikuti metode semacam itu. Al-Qur’an menganggap hidup … sebagai hasil dari kehendak langsung Tuhan. Al-Qur’an, dengan kata lain, sama sekali tidak membedakan asal-muasal kehidupan dengan kelanjutannya …. Selain itu, kita tidak boleh lupa akan perbedaan fundamental antara logika Al-Qur’an dengan logika lain. Namun, sayangnya, kaum beragama itu tetap saja mencari Tuhan dari sisi gelap pengetahuan mereka. Sehingga tak mengherankan jika mereka sering kali mengkaitkan kebodohan mereka kepada Tuhan, tatkala pikiran mereka terbatas dalam memahami suatu hal.[16]
4. Penciptaan Alam Semesta
Selama Masa Pertengahan, masalah penciptaan alam semesta senantiasa dikaitkan dengan konsep ketuhanan. Penciptaan alam semesta digunakan sebagai bukti filosofis bagi keberadaan Tuhan. Namun, dalam dua abad terakhir, terutama sejak abad ke-20, kepercayaan tentang kekekalan alam semesta sangatlah populer dalam diskusi ilmu pengetahuan, dan menjadi salah satu argumen kuat kaum materealis untuk melawan konsep keberadaan Tuhan. Namun setelah Hubbel menemukan perubahan warna merah pada cahaya dari galaksi, ‘teori ekspansi alam semesta” atau dikenal dengan “teori Big Bang”, benar-benar melambung dan meraih popularitas luar biasa. Teori itu selanjutnya diterima pula oleh kaum beragama di seluruh dunia. Sebab, mereka merasa mendapatkan bukti konkret terciptanya alam semesta oleh tangan Tuhan berkat teori tersebut. Akan tetapi, para pakar kosmologi ateis segera berusaha menghadirkan argumentasi yang dapat menolak ide penciptaan alam semesta dalam satu waktu, dan perdebatan pun berlanjut. Hanya saja, sejumlah fisikawan mengakui bahwa asumsi tentang kekekalan alam semesta tidak lantas menjadikannya membuktikan apa-apa. Dalam hal ini, Paul Davies berkata:
Fakta yang menyatakan bahwa alam semesta tidak bermula dari suatu waktu tertentu tidak dapat menjelaskan eksistensi alam semesta tersebut. Fakta itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa alam semesta ini terbentuk semacam ini. Tentu saja ia tidak menjelaskan mengapa alam menempati semesta yang relevan (seperti penciptaan semesta) dan prinsip-prinsip fisik yang menciptakan kosmos yang stabil.[17]
Muthahhari menegaskan bahwa baik teori kebaharuan penciptaan maupun teori kekekalan alam semesta tidak ada hubungannya dengan masalah eksistensi Sang Pencipta. Kesalahan fatal akan terjadi, menurut Muthahhari, jika kita mengasumsikan kepercayaan bahwa Tuhan mensyaratkan konsep kebaharuan alam semesta:
Mengapa kita memperbincangkan masalah hari pertama penciptaan semesta, dan mengatakan bahwa semesta tercipta secara gradual? Padahal, ia selamanya dalam keadaan tercipta. Tidak ada sesuatu pun yang langgeng dalam semesta ini.[18]
Berdasarkan prinsip-prinsip monoteistik, sebenarnya orang dapat mengatakan bahwa alam semesta ini tidak berpermulaan. Sebab, jika alam semesta ini berpermulaan, bisa jadi ada alam lain sebelum alam ini dalam bentuk yang lain pula.[19] Dalam ungkapan Muthahhari:
Mungkin mereka benar, jika berjalan mundur ke ribuan tahun silam, kita akan dapatkan keadaan dunia yang berbeda dengan keadaan dunia saat ini. Namun, bagaimana kita dapat mengetahui jika tidak dunia lain yang memiliki keadaan berbeda sebelum dunia ini?[20]
Gagasan mengenai keberagaman alam semesta yang dikemukakan Muthahhari pertengahan 1970-an, menjadi ide terkemuka dalam kajian kosmologis tahun 1980-an dan 1990-an. Namun, para kosmolog hanya menggunakan ide itu untuk memperselisihkan keberadaan Tuhan. Sedangkan Muthahhari menggunakannya untuk mempropagandakan ide Tuhan yang Mahapengasih.
5. Prinsip Kausalitas
Para fisikawan zaman klasik mempercayai prinsip kausalitas sebagai postulat dasar. Mereka juga percaya bahwa dengan mengetahui persamaan gerak suatu sistem berikut kondisi permulaannya, seseorang dapat memprediksikan dengan tepat masa depan sistem tersebut. Pada tahun 1927, Heisenberg menggulirkan ide “relasi yang tidak menentu”, yang berisikan ketidaktahuan manusia akan posisi dan kecepatan tertentu dari suatu partikel. Setelah itu, Heisenberg meloncat dari kesimpulan epistemologisnya itu menuju kepada kesimpulan ontologis, dengan mendeklarasikan teori yang mengatakan bahwa prinsip kausalitas tidak berlaku pada realitas atom. Selanjutnya, ia menegasikan kemungkinan adanya level subkuantum dalam aturan hukum kausalitas. Ia juga beranggapan bahwa spekulasi-spekulasi itu sering kali tidak berguna dan omong kosong:
Karena sifat statistikal teori kuantum berkaitan erat dengan ketidakpastian semua persepsi, seseorang dapat mencapai anggapan bahwa di belakang dunia statistik yang di dalamnya terkandung hukum kausalitas, terdapat “dunia” tersembunyi yang ditopang oleh hukum kausalitas. Namun singkat kata, spekulasi ini tidak berarti apa-apa dan omong kosong …. mekanika kuantum telah menandaskan kegagalan mutlak teori kausalitas. [21]
Namun, fisikawan lain, seperti Einstein Nernst, menolak pandangan di atas dan mengaitkan ketidakpastian realitas atom dengan ketidaktahuan manusia. Kemudian penolakan itu ditentang oleh fisikawan dan filsuf lain yang berpikiran bahwa ide Heisenberg dapat memberikan solusi bagi masalah kebebasan kehendak manusia. Sebab, proses psikologis bergantung kepada proses fisika yang pada dasarnya tidak menentu.[22] Akan tetapi, Einstein menolak anggapan adanya pertentangan antara aturan hukum kausalitas dengan kebebasan kehendak manusia:
Sepertinya Anda menghadapi konflik antara perspektif kausalitas murni versi Spinoza dengan perspektif yang menginginkan adanya usaha-usaha aktif untuk menciptakan keadilan sosial. Bagi saya, tidak ada konflik di situ. Karena ketegangan mental tidak cukup mengandalkan keinginan saja, tapi juga harus mendorong terwujudnya keadilan sosial dengan cara menyatukan berbagai faktor yang masing-masing mengambil bagian dari sistem kausalitas yang masih terabaikan.[23]
Sejalan dengan maraknya diskusi tentang teori kuantum dan teori kausalitas, ilmuwan Islam, pada dekade terakhir ini, juga mulai merevivalisasi teori Asy’ari yang telah lama diabaikan. Mereka juga menggunakan teori kuantum untuk mendukung ide-ide mereka.[24] Namun, Muthahhari, menolak teori fisika kuantum itu. Dengan melakukan beberapa observasi, Muthahhari mengkritisi teori tentang prinsip ketidakpastian itu.[25] Hasil pengamatannya antara lain sebagai berikut:
1. Kami tidak bermaksud untuk menolak observasi ekperimental para fisikawan. Yang ingin kami lakukan hanyalah mengkritisi kesimpulan filosofis yang telah mereka capai.
2. Hukum kausalitas adalah hukum filosofis. Oleh karenanya, keberadaannya hanya dapat ditolak dengan argumentasi filosofis. Sedangkan sains tidak mungkin mampu menetapkan ataupun menolaknya. Ia hanya mampu menerimanya sebagai sebuah postulat dasar. Dalam hal ini Planck berkata:
Tentu saja kita bisa mengatakan bahwa hukum kausalitas pada dasarnya hanya sebuah hipotesis. Namun demikian, posisi hukum kausalitas tidak sama dengan hipotesis yang lainnya. Karena hukum kausalitas merupakan hipotesis yang paling fundamental. Ia adalah hipotesis yang berbentuk postulat, yang berperan penting dalam memberikan pengertian dan makna bagi seluruh penggunaan hipotesis dalam penelitian ilmiah.[26]
3. Hukum kausalitas memandang seluruh alam semesta sebagai satu kesatuan. Oleh karenanya, penerapannya pada mikrokosmos dapat merusak validitas hubungan hukum tersebut dengan keseluruhan alam semesta. Shabistari, seorang mistikus Persia pernah mengatakan hal tersebut sebagai berikut:
Jika kau buang sesuatu dari tempatnya, seluruh semesta akan hancur berantakan.
4. Tidak terprediksikanya dunia atom tidak berarti hukum kausalitas tidakvalid. Sebab, kita tidak punya alasan pasti untuk menyatakan bahwa kita telah mencapai batas akhir pengetahuan kita atau kita telah menelusuri semua faktor yang relevan. Ketidakmampuan kita dalam memprediksikan sesuatu bisa jadi merupakan hasil dari ketidaktahuan kita atas beberapa fakta yang belum diketahui. Henry Stapp, eksponen teori kuantum kontemporer, menyetir pendapat berikut:
Teori kuantum kontemporer memperlakukan kejadian-kejadian (alam semesta) ini sebagai suatu variabel tak beraturan (random variables) dengan cara menspesifikkan bobot statistiknya saja ke dalam teori ini. Artinya, teori kuantum tidak turut campur membahas pilihan aktual-spesifik suatu kejadian atau bagaimana kejadian itu berlangsung.
Yang jelas, pernyataan teori fisika kontemporer bahwa tidak ada sesuatu selain yang ada/terjadi, tidak berarti sains telah menjadi stagnan. Para fisikawan masa kini percaya pada kebenaran teori itu bisa saja demikian dan juga memuaskan, karena pilihan-pilihannya memang demikian.
Saya percaya kemungkinan itu bisa diterima sebagai ungkapan keadaan pengetahuan ilmiah kita dewasa ini, namun sains seyogyanya tidak puas dengan keadaan itu. Sains sudah selayaknya senantiasa berjuangan menuju posisi yang lebih baik. Semua cabang ilmu pengetahuan harus memainkan peranannya masing-masing …. sehingga, pada konteks perjuangan yang sangat luas itu, teori di atas seyogyanya diposisikan sebagai salah satu elemen dari sisi gelap dunia kontemporer yang masih harus dikaji. Teori itu, dengan kata lain, bukan sebagai ungkapan final yang harus puas kita terima.[27]
Beberapa ilmuan bahkan membicarakan kemungkinan sebab-sebab yang nonfisik. Pernyataan itu antara lain diungkapkan oleh seorang ahli matematika Kanada, John Byl:
Argumentasi yang menyatakan bahwa “ketiadaan sebab-sebab fisik merupakan suatu kepastian dalam peristiwa-peristiwa kuantum,” telah membuka jalan bagi kemungkinan eksistensi sebab-sebab nonfisik. Sebab-sebab nonfisik itu bisa jadi berupa akal manusia, wujud spiritual seperti malaikat, jin, atau tindakan langsung Tuhan. Tegasnya, sebab-sebab nonfisik ini berada di luar penyelidikan ilmiah, sehingga secara ilmiah, ia tidak menjamin kebenaran teori “ketidakadaan sebab fisik mengindikasikan ketidakadaan suatu sebab.[28]
Dalam semangat itulah, David Bohm membangun variabel teori kuantum yang tersembunyi, bersifat kausal, dan dapat menghasilkan seluruh hasil ekperimen teori kuantum.
  1. Generalisasi hasil-hasil eksperimen mengenai hukum baru hanya bermakna apabila telah memperoleh hukum kausalitas. Plank menyimpulkan:

Hipotesis apa pun yang mengindikasikan aturan definitif menunjukkan prinsip kausalitas itu valid.[29]
  1. Para ilmuan yang berusaha menjelaskan kebebasan manusia dengan cara menerapkan hukum kausalitas pada hakikatnya salah dalam memahami makna kebebasan berkehendak. Kita memang bebas dalam memilih melakukan ini dan itu, namun pilihan itu tergantung pada motivasi kita dan berbagai sebab-sebab lainnya.

Epilog

Menarik menyaksikan bagaimana poin-poin yang dibicarakan Muthahhari pada permulaan tahun 1950-an, mulai dibicarakan oleh ahli-fisikawan papan atas, seperti Dirac dan de Broglie pada tahun 1960-an dan 1970-an.[30] Bahkan, teori kausalitas mekanika kuantum pun menemukan momentumnya dalam dua dekade terakhir ini, sampai-sampai fisikawan terkemuka penerima Nobel Fisika Laureate seperti G. ‘t Hooft mengerjakan riset berdasarkan teori-teori kausal tersebut.***

* Makalah yang disajikan Seminar Internasional Pemikiran Murtadla Muthahhari, Jakarta, 8 Mei 2004, diterjemahkan oleh Zainul Maarif, Mahasiswa Pascasarjana ICAS-Jakarta, disunting oleh Muhammad Ilham, editor in chief pada Penerbit Teraju (Mizan), Jakarta.
** Profesor Fisika Universitas Teknologi Sharif, Teheran, Iran; Direktur Institute for Humanities and Cultural Studies, Tehran, Iran (golshani@ihcs.ac.ir)
[1] M. Muthahhari, Collected Works (in Persian) Vol. 13, (Tehran: Sadra Publication, 1374 H), h. 65.
[2] A. A. Tabbarrah, Ruh al-Din al-Islami (Beirut: Dar al-Ilm lil-Malayeen, 1982), h. 270.
[3] M. Muthhari, Collected Works (in Persian) Vol. 4, (Tehran: Sadra Publication, 1374 H). h. 209-217.
[4] Ibid. h. 86-87.
[5] Dikutip dari M. Poole, “A Critique of Aspect of the Philosophy and the Theology of Richard Dawkins”, Science and Christian Belief, 6, 1994, h. 53.
[6] Adel A. Ziadat, Western Science in the Arab World (London: the Macmillan Press Ltd., 1986), h. 97
[7] R. Dawkins, The Extended Phenotype, (Oxford: OUP, 1982), h. 181.
[8] R. Dawkins, The Blind Watch Maker (New York: W. W. Norton & Co., 1987), h. 6.
[9] Dikutip dari M. Poole, Op.Cit., h. 52.
[10] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 4, h. 220.
[11] Ibid., h. 223-224.
[12] Ibid., h. 164.
[13] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 13, h. 38.
[14] Ibid., h. 41-42.
[15] Ibid., h. 58-59.
[16] Ibid., h. 55.
[17] Paul Davies, The Mind of God (London: Simon & Schnster, 1992), h. 56.
[18] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 4, h. 169.
[19] Ibid., h. 38.
[20] M. Muthahhari, Collected Works (in Persia) Vol. 10, (Tehran: Sadra Publication, 1375 H), h. 405.
[21] Quantum Teory and Measurement, edited by J. Wheeler and W.H. Zurek (Princeton: Princeton University Press, 1983), h. 83.
[22] Max Jammer, “Indeterminancy in Physics”, in P.P Winer (ed.), Dictionary of the History of Ideas, Vol. 2 (New York: Charles Scribner’s Sons, 1973), h. 589.
[23] T. Benagen, “Stuggle with Causality”, Science in Context, 6, No. 1, h. 306.
[24] K. Harding, “Causality Then and Now: al-Ghazali and Quantum Theory”, American Journal of Islamic Social Sciences, 10, No. 2, h. 165-177.
[25] M. Muthahhari, Collected Works (in Persian) Vol. 6, (Tehran: Sadra Publications, 1377 H), h. 671-691.
[26] M. Planck, The New Sciences (USA: Meridian Books, 1959), h. 104.
[27] H.P. Stapp, Mind, Matter, and Quantum Mechanics (New York: Spinger-Verlag, 1993), h. 216.
[28] J. Byl, “Inderterminancy, Divine Action and Human Freedom”, Science and Christian Belief, 15, No. 2, Okt. 2003.
[29] M. Planck, Op.Cit., h. 104.
[30] M. Golshani, “ Cosmology in the Islamic Outlook and in Modern Cosmology”, in N. H. Gregersen, U. Gorman & H. Meisinger (eds.), Studies in Sciences & Theology, Vol. 8 (Aarhus: University of Aarhus, 2002), h. 187-188.

No comments: