أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Pelajaran Pertama
Kata Arab untuk agama adalah ‘Diin’, dan makna leksikalnya (berdasarkan kamus) adalah : ‘ ketaatan’, ‘pahala’, dan ‘ketundukan’.
Pelajaran Sebelas
Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi:
Konsep Agama
Prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya:
a)Pandangan dunia dan ideologi
b)Pandangan dunia ilahiah dan pandangan dunia materialistik
c)Agama-agama samawi dan prinsip-prinsipnya.
Konsep Agama
Manfaat buku ini adalah untuk menjelaskan kepercayaan/keimanan dalam Islam, yang dikenal dalam peristilahan Islam sebagai “Ushul al-diin”
(pokok-pokok agama). Sebelum mengkaji masalah ini, sangatlah penting
untuk mendefinisikan kata “agama” secara ringkas. Sebuah definisi, dalam
konteks ilmu logika, menandai permulaan konseptualisasi.
Kata Arab untuk agama adalah ‘Diin’, dan makna leksikalnya (berdasarkan kamus) adalah : ‘ ketaatan’, ‘pahala’, dan ‘ketundukan’.
Dalam
istilah teknis, agama berarti mempunyai satu kepercayaan/keimanan
kepada “Sang Maha Pencipta” manusia dan alam semesta.Perbuatan-perbuatan
yang ditentukan terkait dengan kepercayaan ini juga termasuk di dalam
cakupan istilah agama ini. Mereka yang percaya kepada satu Pencipta,
bahkan seandainya pun kepercayaan/keimanan mereka tercampur dengan
takhayul dan kejahatan, tetap dianggap sebagai ‘beragama’ (‘religious’).Adapun
mereka yang menganggap bahwa alam semesta ini sekedar sebuah kebetulan
saja sebagai akibat dari sebab-sebab alami dan material saja, mereka ini
disebut kaum ‘materialis”.
Atas
dasar inilah maka agama-agama kontemporer dapat dikelompokkan menjadi
agama yang benar dan agama yang palsu. Agama yang benar dapat juga
disebut sebagai sebuah tradisi, yang membawa kepercayaan yang benar,
yang sesuai dengan realitas/kenyataan, dan yang dari padanya memancar
berbagai perilaku yang menjelaskan dan menguraikan secara rinci agama
dan dikuatkan dengan perasaan menjadi benar dan aman.
Prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya
Dengan
memahami definisi teknis yang diiberikan kepada kata ‘agama’, menjadi
jelaslah bahwa agama dapat dikelompokkan menjadi dua komponen utama :
1)
Kepercayaan mendasar atau keimanan, yangmenjadi pondasi bagi
peraturan-peraturan praktis, yang terkait dengan agama dan muncul dari
dasar-dasar keimanan.
Bagian ini, yang terkait dengan kepercayaan agama, disebut sebagai “pokok-pokok” (Ushul),2). dan bagian yang terkait dengan peraturan praktis dikenal sebagai cabang-cabangnya (furu’). Para ulama Islam menggunakan istilah-istilah ini untuk mengenali dua kategori berikut :
a. Pandangan dunia dan Ideology
Pandangan dunia dapat didefinisikan sebagai “serangkaian kepercayaan universal dan harmonis mengenai manusia dan alam semesta”.
Sedangkan
‘Ideologi’ secara umum dapat dimaknai sebagai “serangkaian cara pandang
universal dan harmonis mengenai perilaku umat manusia.”
Dengan mempertimbangkan hal di atas maka istilah ‘pandangan dunia’ (‘worldview’)
dapat diterapkan kepada “prinsip-prinsip kepercayaan”, dan “ideologi”
dapat digunakan dalam kaitannya dengan ‘hal-hal cabang atau peraturan
praktis universal’. Walaupun tetap harus dicatat bahwa, pandangan dunia
maupun ideologi tidaklah mengandung aspek-aspek partikular dari
prinsip-prinsip dan cabang-cabang. Ideologi juga dapat, kadang-kadang,
tumpang tindih dengan pandangan dunia dan mengandung makna-makna dari
pandangan dunia.
b. Pandangan Dunia Ketuhanan dan Pandangan Dunia Materialis
Melalui
berbagai masyarakat manusia yang berbeda-beda, pandangan dunia yang
beraneka ragamnya muncul dan eksis. Pandangan-pandangan dunia itu dapat
dikelompokkan menjadi “yang berketuhanan (Ilahiyah)” dan “yang
materialistik”.Sebuah ‘pandangan dunia ilahiyah’ adalah berdasarkan
realitas metafisikal,sementara pandangan dunia materialistik tidak
berdasarkan realitas metafisikal.
Di masa lalu, para pengikut pandangan dunia materialistik dikenal sebagai atheis (dahree), naturalis (tabi’ee), dan kadang-kadang disebut sebagai dualists (zindiq) atau pelaku bid’ah (mulhids).
Materialisme
zaman kini muncul dalam berbagai bentuk dan ragam, yang paling terkenal
adalah ‘materialisme dialektik’, yang dapat disaksikan dalam filsafat
Marxisme.
Melalui
pelajaran dalam diskusi ini, menjadi jelas nyata bahwa istilah
pandangan dunia dan ideologi dapat juga diterapkan dalam konteks
non-agama.
c. Agama Samawi dan prinsip-prinsipnya
Ada
berbagai pendapat yang berbeda-beda di antara para sosiolog, antropolog,
dan sejarahwan agama, berkaitan dengan kemunculan agama. Bagaimana pun
juga dari bukti-bukti yang diketemukan di dalam Islam, kemunculan agama
adalah dianggap bersamaan dengan kemunculan umat manusia. Manusia
pertama di atas muka bumi ini adalah Adam (as), Rasulullah, yang
memproklamasikan monotheisme (al Tauhid).Politheisme dan
penyimpangan kebenaran yang kita lihat di sekitar kita adalah merupakan
akibat dari manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengikuti
pedoman yang benar.
Agama-agama monotheistik (Tauhidi), yang juga dikenal sebagai “agama yang diturunkan dari langit (Samawi)”, mempunyai tiga prinsip umum mendasar:
1.Beriman/percaya kepada Satu Tuhan
2.Beriman/percaya
kepada kehidupan abadi di akhirat, dan bahawa manusia akan menerima
ganjaran atau hukuman terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya semasa
hidup di dunia.
3.Beriman/percaya
kepada Rasul Utusan Tuhan, yang dikirimkan untuk membimbing umat
manusia ke arah kesempurnaan dan ke arah pencapaian kebahagian di dunia
dan di akhirat kelak.
Tiga
prinsip fundamental ini mempersiapkan jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan berikut, yang dapat dipertanyakan oleh orang-orang
berakal:
“Siapakah Sang Maha Pencipta?’;
“Apakah tujuan akhir penciptaan”
“Dari manakah kita dapat mencari petunjuk agar dapat hidup dengan benar?
Bimbingan
tersebut telah menjadi aman melalui turunnya wahyu, dan dikenal sebagai
ideologi keagamaanyang telah mewujudkan dirinya di dalam pandangan
dunia ketuhanan (illaahi).
Prinsip-prinsip
keimanan/kepercayaan agama adalah terdiri dari akibat-akibat wajar,
implikasi-implikasi dan detail-detail, yang berbeda-beda yang membawa
kepada kemunculan agama yang berbeda-beda, mazhab dan aliran sekte.
Perbedaan
dalam keimanan mengenai kenabian, dapat terlihat misalnya dalam
prinsip-prinsip Trinitas (sebagai keimanan Kristiani), dan perbedaan
dalam kepercayaan terhadap ‘Imamah’(kepemimpinan sosial-politik), yang
telah mengarah kepada perbedaan kepercayaan terhadap prinsip-prinsip
suksesi (pergantian kepemimpinan atas umat Islam) yang telah memisahkan
antara kelompok Sunni dan Syiah.
Point utama yang harus dipertimbangkan adalah monotheisme (Tauhiid); kenabian (Nubuwah), dan hari kebangkitan (Ma’ad), yang merupakan prinsip dasar (fundamental principles) dari semua agama samawi.
Akibat-akibat wajar(corollaries),
bagaimanapun juga telah dianggap sebagai satu bagian dari prinsip
dasar. Sebagai contoh, kepercayaan terhadap Eksistensi dan kesatuan
Tuhan adalah sebuah prinsip dasar. Beberapa ulama Syiah mempercayai
bahwa keadilan (‘adl) dapat dianggap sebagai sebuah prinsip
yang terpisah, namun dalam kenyataannya hal itu sebenarnya adalah bagian
dari prinsip pertama yang telah disebut tadi. Contoh lain adalah bahwa ‘Imamah,
yang dianggap oleh beberapa ulama sebagai sebuah prinsip di dalam
hak-hak miliknya, sementara kenyataannya hal itu hanyalah kelanjutan
dari prinsip kenabian.
Di
atas landasan inilahistilah ‘prinsip-prinsip agama’ dapat dikategorikan
ke dalam bentuk umum dan bentuk particular. Bentuk umum, ‘prinsip
agama’ (ushuludin) berhadapan dengan ‘cabang-cabang’ (furu’din),
danpenggunaan partikular istilah-istilahnya adalah untuk sekte
particular dan kepercayaan. Bentuk umum juga memasukkan agama-agama
samawi lainnya, yang berbagi prinsip-prinsip umum (tauhid, nubuwah, ma’ad).
Pelajaran 2
Pencarian Agama
Dorongan untuk menyelidiki
Adalah
merupakan fitrah manusia untuk mencari dan peduli kepada kenyataan
(realitas). Manusia dilahirkan dengan kualitas ini, yang tetap akan ada
sampai matinya. Kadang-kadang insting untuk mencari kebenaran mungkin
saja dirujuk sebagai sebuah “rasa ingin tahu” (‘sense of curiosity’), di
mana manusia terdorong untuk merenungkan masalah-masalah keagamaan dan
berbagai macam amal perbuatannya, yang akan menolongnya untuk memahami
dan mewujudkan sebuah agama yang benar.Dalam proses perwujudan inilah ia
menghadapi berbagai pertanyaan:
·Adakah sebuah wujud yang bukan materi yang tak dapat dilihat dan dipersepsi (ghaib)?
·Jika memang ada, adakah kaitannya antara wujud bukan materi dengan dunia materialkita?
·Dalam kehadiran hubungan ini, adakah sebuah Realitas, yang telah menciptakan alam semesta?
·Apakah keberadaan (eksistensi) manusia terbatas hanya pada bentuk/dunia material saja?
·Jika manusia tidak terbatas hanya pada materi/kehidupan dunia, adakah alam yang lain ?
·Dan
jika memang ada hubungan antara dua dunia/alam tersebut? Lebih dari itu
manusia membutuhkan ilmu pengetahuan mengenai cara terbaik, yang
dengannya dia dapat memenuhi kehidupannya dengan kebaikan yang akan
menjaminnya hidup bahagia di dunia maupun di akhirat kelak.
Sifat-sifat
utama yang dibutuhkan manusia dalam mencari realitas, adalah watak yang
intrinsik (hati nurani) dalam dirinya.Keinginan (gairah) manusia,
adalah faktor lain yang dapat menantang dan mengukuhkan diadalam mencari
kebenaran.Keinginan / gairah tersebut mungkin tidak selalu bersifat
ilahiyah (fitrah), tapi juga mungkin berupa nafsu yang diharapkannya
memenuhi kebutuhan dunia dan kekayaan materialistiknya. Hal ini
tergantung perjuangannya di dalam lapangan ilmu pengetahuan dan kemajuan
ilmu pengetahuan eksperimental. Jika agama agama dapat menyediakan alat
bagi manusia untuk mencapai tujuan-tujuan duniawinya tanpa kerugian,
hal ini akan mengilhaminya untuk lebih jauh menyelidiki agama, karena
adalah merupakan fitrah manusia untuk bergerak ke arah kesuksesan dan
mencegahnya dari kegagalan.
Dengan
memahami alam realitas yang sangat luas, sukar dan berada di luar
jangkauan, manusia melarikan diri dengan memilih alam dunia yang lebih
mudah dipahaminya dan bersifat eksperimental. Dia memiliki keraguan
apakah dia akan menerima suatu keuntungan dari pencariannya terhadap
agama, dan apakah dia akan mendapat suatu hasil pada semua hal yang
terkait dengan wataknya yang kompleks dibandingan dengan ilmu
pengetahuan yang lebih mudah dicapai, dan terus terang manusia mesti
mengenali bahwa menyelidiki suatu masalah selain daripada agama tidak
mempunyai nilai subjektif, sementara masalah-masalah keagamaan memiliki
nilai yang tertinggi.
Perlu
dicatat bahwa ilmu psikologi menghitung bahwa ibadah kepada Tuhan
adalah menjadi salah satu fitrah/insting bebas manusia, yang terwujud
dari ‘rasa keberagamaan’, yang berjalan sejajar dengan rasa ingin tahu,
kebaikan dan keagungan. Sejarah dapat meneguhkan para psikolog dan
antropolog, bahwa ibadah kepada Tuhan dalam bermacam-macam bentuknya
selalu bergabung bersama jejak langkah manusia. Ini selanjutkan
membuktikan bahwa ada sebuah kualitas intrinsic (fitrah) yang ada dalam
dirinya
Fakta bahwa
watak fitrah ini adalah inherent atau ada di dalammanusia, tidak selalu
berarti bahwa fitrah ini selalu aktif dan bergetar. Fitrah itu harus
lebih dulu ditarik kepeduliannya dan kesadarannya di antara manusia ke
arah watak alaminya yang benar. Kekurang-pedulian, konsekuensi
lingkungan danpengaruh yang menyesatkan, akan dapat menjatuhkan manusia
dari perwujudan watak fitrahnya. Lebih jauh, penyimpangan ini dapat juga
terjadi pada insting kita lainnya, yang berakar dari watak yang sangat
fitri ini.
Argumentasi
untuk pencarian agama dikuatkan dengan insting bebas manusia, yang tidak
memerlukan suatu alasan atau pembuktian untuk pertanggungjawabannya.
Bagaimanapun
juga, al-Qur’an dan Sunnah Nabi menyediakan kesaksian bahwa agama adalah
hal yang fitrah bagi manusia, walaupun kenyataannya bahwa manusia yang
bodoh mungkin akan menolak kenyataan ini.
{بَلْ يُرِيدُ الإِنسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ}(القيامة/5).
“Tidak, Manusia ( yang mengingkari hari kebangkitan dan perhitungan. Sehingga dia) berkeinginan untuk terus berbuat dosa.” ( QS Al Qiyamah, 75: 5)
Jika,
manusia tidak menyadari watak fitrahnya, dia akan gagal menyaksikan
akibatnya dan akan mengingkari eksistensinya. Fakta inilah yang akan
menyediakan pera pembaca dengan pembuktian-pembuktian intelektual
berikut ini:
a. Pentingnya pencarian ke dalam agama
Menjadisangat
jelas bahwa watak fitrah manusia untuk mengetahui realitas dan gairah
untuk memenuhi karunia duniawinya adalah daya pendorong bagi perwujudan
berbagai sudut pandang manfaat yang berbeda-beda dan penguasaan ilmu
pengetahuan.
Dengan
melihat kembali kepada sejarah, manusia menjadi peduli bahwa semua
manusia terbaik telah menyatakan bahwa mereka telah dikirim oleh Tuhan
Sang Maha Pencipta untuk membawa pesan-pesan dan petunjuk bagi umat
manusia. Lebih lanjut, untuk penyampaian pesan inilah mereka telah
meraih apa-apa yang mereka dapat lakukan dan bahkan telah mengorbankan
kehidupan mereka untuk itu.
Di
atas landasan itulah, insting alami manusia akan mengilhaminya untuk
mencari agama dan untuk merasakan apakah para Rasul dan pesan-pesannya
adalah benar dan sesuai dengan penalaran rasional atau tidak. Ketika
manusia menyadari bahwa undangan tersebut mencakup kebahagiaan dan
kenikmatan abadi, yang berakibat memalingkannya dari darihukuman dan
kerugian, untuk alasan apakah kita tidak akan menyelidiki agama?
Ada
kemungkinan bahwa manusia tidak akan memutuskan untuk mengejar
pencarian yang sesuai ini, dikarenakan kemalasannya, sikap apatis atau
prospek agama yang dianggapnya akan membawa pengekangan yang tak
diinginkannya. Dalam kasus ini manusia selayaknya mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi akibat dari perbuatannya, yang akan berakibat pada azab
hukuman yang abadi.
Kondisi
orang tersebut, yang tidak tertarik kepada agama, adalah sama seperti
anak kecil yang belum dewasa yang sakit, yang merasa takut merasakan
obat dan menghindari berdekatan dengan dokter. Anak kecil yang berusia
muda tidaklah dapat memperhitungkan keuntungan dan kerugian, namun
seorang individu yang peduli dan mempunyai kapasitas intelektual untuk
membedakan dan meramalkan hasil akhir, tidak akanmenukar kenikmatan
duniawi yang sementara ini dengan azab hukuman yang abadi. Al Qur’an
menyebutkan orang-orang yang tak peduli telah menukar kerugian abadi
dengan kenikmatan duniawi yang sementara, seperti hewan ternak atau
bahkan lebih buruk lagi.
{وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنْ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ
لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ
آذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ}(الأعراف/179).
“……Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS Al A’raaf, 7: 179)
Dalam contoh lain, Al Qur’an telah menyebutkan :
{وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآياتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ}(الأنعام/55).
“Sungguh
binatang terburuk dalam pandangan Allah adalah [mereka yang tak mau
mendengar dan masa bodoh dan tak mau memahami] orang-orang yang kafir,
karena mereka tidak beriman.”
(QS Al Anfaal, 6: 55)
a. Memecahkan keraguan
Adalah
mungkin orang-orang tertentu memandang bahwa pencarian agama adalah
tidak menguntungkannya, karena hal itu tidak akan dapat memuaskan hawa
nafsunya atau memberikan hasil yang cukup. Mereka bagaimanapun juga
lebih suka memanfaatkan waktu dan energi mereka untuk mengejarhal-hal
yang akan memberikan hasil penuh buah bagi mereka. Untuk menjawab
keraguan ini, kita mesti berargumen bahwa pemecahan masalah-masalah
keagamaan adalah tidak lebih rendah nilainya dibandingkan dengan ilmu
pengetahuan lainnya. Kita juga selalu peduli bahwa pemecahan masalah
ilmu pengetahuan dapat menjadi suatu proses yang panjang dan menyeret
keluar, oleh karena itu menyelidiki agama tidak dapat mengabaikan
landasan yang akan memanfaatkan terlalu banyak waktu dan energi.
Lebih
lanjut, kemungkinannya adalah tidak sebanding,hasil dari kemungkinan
juga harus menjadi bahan pertimbangan. Sebagai contoh: dalam bisnis ada
sekian persen peluang untuk sukses, dan dalam bisnis B punya …persen
peluang. Bagaimana pun juga hasil yang tersedia dalam A akan menjadi
$….,dan B akan menjadi $…. Karenanya bisnis A adalah 5 kali lebih
disukai daripada bisnis B karena keuntungannya yang prospektif
(menjanjikan).
Kita
dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan dari hasil akhir pencarian agama
adalah kemanfaatan yang tak terbatas. Bahkan jika hasil akhirnya adalah
kepastian, adalah sangat lemah.
Penelitian
yang telah dilakukan terhadap masalah keagamaan adalah sangat penting
dibandingan penelitian terhadap issue-issue terbatas, tanpa seseorang
dapat mencapai kepastian, penyelidikan keagamaan adalah tidak punya
point; tapi dapatkah manusia menemukan kepastian tersebut.
Pelajaran 3 :
Syarat wajib bagi kehidupan umat manusia
·Pendahuluan
- Dorongan untuk melakukan penyelidikan
- Manusia adalah makhluk yang mencari kesempurnaan
a)Kesempurnaan manusia tercapai dengan mengikuti akal (intellectual)
b)Peraturan praktis bagi akal intelek yang dibutuhkan sebagai basis spekulasi,
c)Hasil-hasil yang harus dicapai.
Pendahuluan
Pada
pelajaran terdahulu kita telah secara relatif membuktikan kebutuhan
untuk mencari agama yang benar, yang disandarkan atas watak intrinsik
manusia dan insting fitrahnya untuk mencari keuntungan.Motivasi-motivasi
inidapat diketemukan pada semua manusia yang tidak bias pandangannya
dan yang mempunyai kepedulian intuitif terhadap watak alami mereka.
Tujuan
kami dalam bab ini adalah untuk membahas masalah yang sama dari sudut
pandang yang berbeda dengan pembahasan pendahuluan lebih halus yang
berbeda. Hasil akhir dari argumentasi tersebut adalah bahwa jika
seseorang tidak menyelidiki agama dan juga tidak memegang pandangan
dunia atau ideologiyang benar, mereka tidak akan mencapai kesempurnaan
kemanusiaan. Maka sebuah kondisi yang penting bagi kesuksesan kehidupan
seseorang adalah memiliki pandangan dunia dan ideologi yang benar.
Hasil-hasil di atas tergantung pada tiga persyaratan berikut:
1.Manusia secara eksistensial berusaha meraih kesempurnaan.
2.Kesempurnaan manusia dapat tercapai melalui cahaya aktif kehendak bebas, yang muncul atas perintah akal (hukm al-aql)
3.Aturan
praktis bagi akal diambil di bawah cahaya pemahaman melalui perenungan
realitas. Bagaimanapun juga yang paling penting dari segala realitas
tersebut adalah tiga prinsip fundamental pandangan dunia:
a.Keimanan/kepercayaan kepada Tuhan Sang Pencipta,
b.Akhir kehidupan,
c.Sebuah program yang dapat menjamin kesuksesan dalam kehidupan di dunia ini dan di akhirat kelak.
Manusia adalah makhluk yang mengejar kesempurnaan
Seseorang yang peduli kepada watak fitrahnya (instrinsic nature)
dan kecenderungan psikologisnya, akan melakukan pencarian sehingga
melalui perbuatan-perbuatannya itu memungkinkannya meraih kesempurnaan.
Tidak
ada seorang pun yang suka menjadi cacat atau tidak sempurna; dia akan
selalu berusaha membuang ketidaksempurnaannya untuk meraih kondisi
kesempurnaan. Lebih lanjut ia berusaha menyembunyikan kesalahannya di
hadapan orang lain. Gairahnya untuk mengejar kesempurnaan hanya akan
efektifjika hal itu diatur melalui latihan-latihan bagi watak fitrahnya,
sebagai lawan dari jalan perbuatan yang tidak wajar,yang akan memandu
dia ke arah kualitas penyakit-penyakit hatiseperti kesombongan,
kemunafikan dan pengagungan diri sendiri.
Oleh
karena itu dorongan untuk mencari kesempurnaan adalah sebuah elemen
fitrah yang bertenaga, yang dapat dirasakan di kedalaman jiwa
manusiaoleh kesadaran masing-masing orang.
a.Kesempurnaan manusia dicapai dengan mengikuti akalnya.
Kesempurnaan
tetumbuhan di dunia tumbuhan adalah dengan menghasilkan buah tertentu
yang tergantung dari pada kondisi-kondisi tertentu yang cocok bagi
pertumbuhan dan perkembangan buah tertentu tersebut. Bagaimanapun juga
kondisi tersebut telah ditentukan bagi mereka, karena tidak adanya
kehendak bebas bagi dunia tetumbuhan. Di alam dunia binatang, kehendak
bebas adalah terbatas pada level insting, yang terbatas pada indera
jasmaniah.
Pada umat manusia, bagaimana pun juga, lebih dari dunia hewan dan tumbuhan, memiliki dua keutamaan spiritual, yaitu:
1.Gairah intuisional, yang tidak terbatas hanya pada kebutuhan fisikal saja.
2.Daya
akal, yang dengannya manusia dapat memperluas wawasan dunia
pengetahuannya secara tidak terbatas. Dua keutamaan ini akan menambah
wilayah cakupan ‘kehendak bebas’-nya ke arah yang tak terbatas.
Dengan
cara yang sama dengan kualitas tertentu yang telah membantu dunia
tumbuhan untuk mencapai kesempurnaannya, dan sama dengan alat bantu
indera jasmaniah pada dunia hewan kepada kesempurnaannya, manusia
melengkapi kesempurnaannya dengan pertimbangan akal sehat yang tergabung
dengan kepeduliannya. Inilah akal /intelek, yang akan dapat membedakan
berbagai tingkatan yang berbeda pada gairah/nafsu dan memilih yang
terbaik pada saat yang bertumpuk-tumpuk. Berdasar hal di atas, kita
dapat menarik kesimpulan bahwa perilaku manusia secara tetap dimantapkan
dengan kualitas kehendak bebas, yang berevolusi dari gairah khusus yang
terpilih dan diakui oleh akal sehat.
b. Aturan praktis bagi akal yang membutuhkan landasan perenungan (speculation)
Perilaku
manusia yang digunakan dalam kaitannya dengan ‘kehendak bebas’ adalah
sebuah alat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Perilaku ini,
karenatujuannya adalah bernilai, ini mempengaruhi kesempurnaan manusia.
Sebuah perilaku yang akan menyimpangkan dari kesempurnaan bagaimana pun
juga, akan berakibat mempunyai nilai negatif.
Ketika
akal dapat menilai perilaku manusia dan memastikan nilai harganya,
manusia kemudian akan peduli dengan keberadaannya (eksistensinya) dan
tingkatan-tingkatan kesempurnaan. Dia dapat mengetahui dimensi yang
berbeda-beda dari keberadaan maujudnya dan tujuan penciptaannya. Di atas
landasan inilah, ideologi yang benar, yang mengatur system nilai
perilaku manusia menjadi saling tercampur dengan pandangan dunia yang
benar. Bagaimana pun juga kita tidak dapat menilai perilaku manusia
tanpa kita tiba pada prinsip-prinsip tersebut. Pemahaman spekulatif
(renungan) yang membentuk pandangan dunia, adalahbasis bagi peraturan
praktis bagi akal.
c.Hasil yang tercapai
Dengan mengambil persyaratan persiapan ke dalam pertimbangan, kita dapat memahami pentingnya pencarian (inquiring) ke dalam agama dan memiliki sebuah pandangan dunia atau ideologi yang benar.
Manusia
dengan wataknya untuk mengejar kesempurnaan bermaksud mencapai
kedudukan sempurna melalui kinerja perbuatan dan perilakunya. Bagaimana
pun juga untuk mengetahui perilaku jenis apakah yang dapat membantunya
mencapai tujuan ini, ia pada awalnya harus peduli kepada tingkatannya
yang tak terbatas dari kesempurnaan.
Untuk
memahami hal ini, sangatlah perlu bagi dia untuk memahami
keberadaanyanya sendiri, mengetahui asal-usulnya, dan tujuan akhirnya,
dan kemudian untuk memahami hubungan positif dan negatif di antara
berbagai jenis perilaku yang berbeda-beda dan apa akibat-akibatnya. Dia
juga harus dapat mengenali bermacam-macam tingkatan kesempurnaan. Tanpa
dia menyadari persyaratan-persyaratan tersebut, yang secara mendasar
berlandaskan kepada pengetahuan spekulatif (renungan terhadap
prinsip-prinsip pandangan dunia), dia tidak akan dapat memahami aturan
praktis bagi akal, yaitu ideologi.
Untuk
menyimpulkannya, kita dapat mengklaim bahwa pencarian ke dalam sebuah
agama yang benar, yang terdiri dari sebuah pandangan dunia dan ideologi
yang benar, adalah sangat penting. Tanpa kepercayaan tersebut, manusia
tidak akan dapat mencapai kesempurnaannya, karena perilaku yang
didasarkan pada pandangan dunia dan ideologi yang salah tidak akan
membawanya ke mana-mana.
Mereka
yang mempertahankan kesombongannya,nafsunya yang sakit, dan
kekafirannya/ketidak-berimanannya setelah mengetahui kebenaran, pada
kenyataannya tidak lebih dari sekedar hewan. Mereka hanya terdorong
untuk memuaskan aspek instinghewaniyahnya, sebagaimana digambarkan dalam
al-Qur’an: “Mereka yang tidak
beriman dan bersenang-senang dan makan seperti binatang liar makan, maka
nerakalah yang pantas baginya.” (QS:)
Ketika manusia telah menghancurkan potensinya untuk menjadi sempurna, dia akan menghadapi akibat-akibat hukuman yang abadi:
“Biarkanlah mereka makan dan bersenang-senang, dan mereka terperdaya angan-angan, niscaya mereka akan tahu. “ (QS:)
Pelajaran ke 4 :
Cara pemecahan masalah mendasar
Pengantar
Ragam Epistemologi yang berbeda
a)Jenis-jenispandangan dunia yang berbeda-beda
b)Kritisisme dan penelitian
c)Hasil yang dicapai
Pengantar
Ketika
manusia memasuki wilayah pemecahan masalah mendasar pandangan dunia dan
cara perwujudan pemahaman prinsip-prinsip sebuah agama yang benar, dia
pada mulanya akan menemuibeberapa pertanyaan berikut: Bagaimanakah
masalah-masalah itu dapat dipecahkan? Dan bagaimana seseorang mencari
asas-asas epistemologi (asal-usul dan cara memperoleh pengetahuan)dan
apasarana untuk mencapai hal itu?
Penelitian
intensif dan profesional atas pemahaman ini dalam filsafat dikenal
sebagai ‘epistemologi’, di mana pemahaman-pemahaman yang berbeda-beda
dari manusia dibicarakan dan nilai-nilainya diakui.
Untuk
mulai memasuki sebuah diskusi tentang semua jenis pemahaman yang
beragam mungkin akan jauh menyimpangkan kita dari tujuan buku ini. Namun
kami telah meringkaskan subjek yang dibutuhkan, sebagaimana
disajikanberikut ini:
Jenis-jenis epistemologi yang beragam
Pemahaman manusia dalam dibagi ke dalam empat bagian:
1.Pemahaman Eksperimental
Pemahaman
yang kita dapatkan melalui indera jasmani dikenal sebagai
pemahaman/pengetahuan eksperimental. Akal, bagaimana pun juga memainkan
peran aktif dalam mensarikan dan menganlisis presepsi inderawi ini.
Ilmu pengetahuan eksperimental seperti fisika, kimia dan biologi adalah ilmu yang dibangun atas pemahaman eksperimental ini.
2.Pemahaman intelektual
Pemahaman
intelektual dibangun melalui abstraksi konsep-konsep. Proses ini
sebagian terbesar dibantu oleh akal/intelek, bagaimana pun jugasilogisme
mungkin kadang-kadang digunakan sebagai sebuah premis. Wilayah
pemahaman intelektual adalah logika, filsafat dan matematika.
3.Pemahamankeimananatau pemahaman religius
Pemahaman
ini didasarkan atas informasi yang telah didapat sebelumnya melalui
sumber-sumber terpecaya dan telah diterima karena berasal dari orang
yang terpercaya dan punya otoritas. Jenis pemahaman ini kadang-kadang
dapat menjadi lebih kuat dibanding kepercayaan yang telah berevolusi
dari presepsi inderawi dan pengetahuan inderawi.
4.Pemahaman mistikal atau intuitif
Jenis
pemahaman ini adalah bertentangan dengan jenis pemahaman/pengetahuan
yang telah disebutkan terdahulu. Esensi realitas diketahui tanpa satupun
bantuan konsepsi mental,perantaraan atau suatu prosedur apa pun.
Bagaimana
pun juga karena pemahaman intuitif atau mistikal didasarkan atas
penafsiran atas kesaksian,yang dapat saja berbuat kesalahan, di sinilah
kemudian kemungkinannya pemahaman ini juga akan menjadi salah.
a. Ragam pandangan dunia yang berbeda-beda
Dengan mempertimbangan pembagian epistemologi di atas, pandangan dunia pun dapat dibagi sebagai berikut:
1.Pandangan dunia ilmiah:
Didasari oleh hasil
dari ilmu pengetahuan eksperimental, manusia membangun sebuah visi
universal, yang dikenal sebagai pandangan dunia ilmiah/scientific.
2.Pandangan dunia filosofis
Pandangan dunia ini didasari oleh visi yang didapatkan dari argumentasi intelektual (akal).
3. Pandangan dunia keagamaan:
Manusiadalam
pandangan keimanannya dan kepercayaan-nya terhadap para pemimpin agama
datang menghampiri perwujudan sebuah visi, yang dapat diklasifikasikan
sebagai sebuah pandangan dunia keagamaan.
4.Pandangan dunia irfani:
Pandangan dunia yang didapat melalui pensucian diri, sebagai hasil dari pencerahan (kasyaf) dan penyaksian (syuhuud)
Kita
sekarang akan melihat apakah keempat prosedur di atas akan dapat
memecahkan masalah mendasar pandangan dunia dan menyiapkan pemecahan
masalah yang bijaksana. Kemudian kita akan memutuskan, pandangan dunia
yang mana yang paling baik.
b. Kritisisme dan Penelitian
Pemahaman
eksperimental adalah terbatas hanya pada alam/duniamateri. Ilmu
pengetahuan ilmiah dan eksperimental telah membuktikan atau menafikan
masalah-masalah yang terkait dengan prinsip-prinsip pandangan dunia.
Sebagai
contoh, seseorang tidak dapat membuktikan membuktikan atau menyangkal
eksitensi Tuhan dengan bantuan sebuah eksperimen laboratorium.
Lebih
lanjut, dunia pemahaman eksperimental adalah terbatas (tidak dapat)
dalam memahami dan menjawab masalah mengenai kenyataan/realitas
metafisikal.
Oleh
karena itu, menjadi jelaslah bahwa seseorang tidak dapat memahami
prinsip-prinsip pandangan dunia, dan memecahkan masalah yang terkait
dengannya, atau bahkan untuk menjadi peduli dengan teka-teki yang
terkait dengannya bila mendasarkan diri kepada pemahaman ilmiah &
pengetahuan eksperimental.
Pemahaman
yang memancar keluar dari ketaatan dan tuntutan agama sebagaimana telah
disebutkan, kemapanannya tergantung kepada satu sumber yang dapat
dipercaya
Pertama-tama
keberadaan ‘Yang Asli’ (‘Yang Awal’) harus dibuktikan, yang diikuti
dengan pembuktian kenabian, sehingga karenanya pesan-pesan dapat
diketahui dan aman. Prinsip eksistensi/keberadaan ‘Yang Asli’ (Yang
Awal) dan kenabian tidak dapat dibuktikan melalui pesan (ayat-ayat).
Sebagai contoh, sesorang tidak dapat berargumentasi, bahwa karena
al-Qur’an telah menyebutkan adanya Tuhan maka Tuhan telah terbukti
adanya.
Sesungguhnya,
setelah membuktikan eksistensi Tuhan, mengenali Nabi Utusan Tuhan, dan
kebenaran Al Qur’an, seseorang dapat menerima bantuan keimanan dan
amal-amal yang didasarkan saluran terpercaya (Nabi Allah) dan sumber
terpercaya (Tuhan Allah).
Oleh
karena itu, masalah-masalah tersebut tidak dapat memanfaatkan ketaatan
untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang prinsip-prinsip
(eksistensi/keberadaan Tuhan, kenabian, dll.) yang terkait dengan
pandangan dunia.
Bagaimanapun juga, sarana ma’rifat (irfan) dan pencerahan membutuhkan serangkaian diskusi :
·Sebuah
pandangan dunia adalah pemahaman yang dicapai melalui kebaikan konsepsi
mental; namun tidak ada tempat bagi konsepsi mental dalam dunia
persaksian.
·Sebuah
penafsiran kesaksian dan ekspresinya dalam kata-kata membutuhkan
pikiran intelektual dan keterampilan yang memiliki latar belakang
penelitian ekstensif dalam filsafat. Mereka yang lemah akalnya dan tidak
punya sarana yang terampil untuk membawa/menyampaikanmakna-makna secara
akurat, dapat menggunakan konsep dan kata-kata yang sama namun yang
mengarahkan ke penyimpangan umum dan ketidakwajaran.
·Seringkali,
realitas, yang telah disaksikan, berada di bawah pengaruh khayalan dan
penjelasan yang diberikan pikiran, bahkan untuk kesaksian seseorang yang
tidak akurat.
·Mendapatkan
realitas, yang dikenal sebagai pandangan dunia (sebagaimana ditafsirkan
oleh akal) adalah melampaui perjalanan spiritual (ruhaniah). Penerimaan
jalan ruhaniyah (syair wa suluk), yang dengan sendirinya
berasal dari pemahaman praktis, membutuhkan landasan
perenungan/pemikiran spekulatif dan masalah-masalah pandangan dunia.
Untuk mengawali perjalanan ruhaniah, seseorang harus memecahkan
masalah-masalah mendasar pandangan dunia. Pemenuhan masalah-masalah ini
akan melibatkan pemahaman Gnostic (Irfani/ma’rifat).Sesungguhnya, mistisisme yang benar (‘irfan),
hanya dapat terwujud pada diri seseorang yang berada dalam jalan
pengabdianibadah dan yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk
kebenaran. Proses ini adalah tunduk patuh kepada pemahaman terdahulu
terhadap Tuhan dan jalan pengabdian (ibadah) dan penyerahan diri
(Islam).
c.Kesimpulan
Satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah mendasar pandangan dunia adalah secara intelektual (aqly),
yaitu melalui penggunaan akal sehat. Untuk alasan inilah pandangan
dunia yang benar dapat dikenal sebagai pandangan dunia filosofis.
Bagaimanapun
juga mengetahui cara memecahkan masalah-masalah melalui pandangan dunia
filosofis tidaklah cukup, namun untuk mencapai sebuah pandangan dunia
yang tepat, juga tidak perlu memecahkan semua masalah filsafat. Tapi
cukup memecahkan beberapa masalah filsafat yang sederhana yang
sebenarnya swabukti (terbukti dengan sendirinya) untuk membuktikan
eksistensi Tuhan (masalah mendasarpandangan dunia).
Tidak
perlu dilihat secara berlebihan, bahwa untuk menjadi terspesialisasi
dalam masalah-masalah keagamaan dengan maksud untuk memiliki kemampuan
menjawab pertanyaan-pertanyaan dan keraguan-keraguan, membutuhkan kajian
filsafat yang mendalam. Selanjutnya, pemikiran filsafat harus
diwujudkan karena jenis lain dari epistemologi adalah terbatas bila
dibandingkan dengan pemahaman intelektual (akal), namun ini tidak
berarti bahwa hal-hal itu tidak revelan, informasi selebihnya darinya
dapat juga dimanfaatkan dalam memecahkan masalah-masalah.
Mayoritas
argumentasi intelektual menggunakan sebuah kombinasi pengetahuan
intuitif, pemahaman eksperimental dan persepsi inderawi sebagai
premis-premis. Oleh karena itu setelah menyimpulkan sebuah pandangan
dunia dan ideologi yang benar seseorang dapat sampai pada visi mistikal (mukasyafah)
melalui perjalanan ruhaniyah tanpa satupun perantara konsepsi mental.
Bagaimana pun juga intuisi-intuisi mistikal tersebut dapat dibuktikan
dengan argumentasi intelektual.
Pelajaran ke-Lima
Mengenal Tuhan
·Pendahuluan
·Pengenalan melalui Ilmu hudhuri (knowledge by presence) dan
Ilmu capaian (knowledge by acquisition).
·Pengenalan melalui watak hakiki
Pendahuluan
Dasar-dasar
agama adalah kepercayaan/keimanan terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta
Alam Semesta. Point ini membentuk bagian-bagian yang dapat dibagi lagi,
yang memisahkan pandangan dunia ketuhanan dari padangan dunia
materialistik.Faktor
utama yang muncul dalam pencarian realitas adalah apakah Tuhan itu ada
atau tidak ada (eksis atau tidak eksis). Kita harus sampai pada
kesimpulan positif atau negatif melalui penggunaan akal. Jika
kesimpulannya adalah positif, kemudian kita meneruskan untuk meninjau
masalah kedua (seperti: keesaan, keadilan, sifat–sifat Tuhan
lainnya.)Jika, dengan kata lain hasilnya membuktikan menjadi negatif,
kemudian kita menerima pandangan dunia materialistik dan tidak ada lagi
kebutuhan untuk melakukan penyelidikan ke dalam agama.
Pengetahuan melalui ‘ilmu hudhuri’ (knowledge by presence) dan ilmu capaian (knowledge by acquisition)
Ada dua cara untuk mengetahui Tuhan; cara pertama adalah melalui ilmu pengetahuan capaian(acquired knowledge/knowledge by acquisition) dan cara yang lain adalah melaui ilmu hudhuri ( Ilmu yang dihadirkan/ knowledge by presence).
Makna dari Ilmu Hudhuri
adalah berarti bahwa seseorang mengetahui Tuhan melalui sejenis
persaksian bathiniah, tanpasatupun perantara atau konsepsi mental. Hal
ini adala swabukti (terbukti dengan sendirinya)bahwa jika
seseorangmemiliki kesadaran penyaksian Tuhan –cara yang telah diakui
oleh para Irfan yang agung— kemudian dia tidak membutuhkan satupun
pembuktian intelektual ataupun penalaran. Bagaimana pun juga untuk
rata-rata orang, pengetahuan dan visi jenis ini hanya dimungkinkan
melalui pembinaan diri dan perjalanan ruhaniyah. Walaupun sebuah versi
yang lemah darinya hadir dalam rata-rata orang, ini tidak tercampur
dengan kepedulian dan tidak dianggap cukup untuk mencapai pandangan
dunia.
Makna
pengetahuan capaian adalah bahwa seseorang melalui usaha pencapaian
dengan bantuan konsep-konsep universal –seperti Sang Maha Pencipta, Sang
Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dll.— menyatakan secara intelektual (aqly) Wujud (eksistensi) Tuhan.
Bagaimana
pun juga pemahaman ini terbatas dan tidak memadai karena hal ini
melekat pada kapasitas intelektualdari orang tersebut dan kemudian dia
terkait dengan tambahan ilmu pengetahuan capaian bagi landasan ini untuk
memantapkan sebuah sistem kepercayaan yang harmonis (pandangan dunia).
Ilmu pengetahuan capaian muncul dari pembuktian intelektual (akal) dan
pemikiran filosofis. Sekali capaian dapat dimasuki oleh seseorang, dunia
pemahaman dan mewujudkan pengetahuan Hudhuri (yang dihadirkan) akan
terbuka.
Pengetahuan melalui watak fitrah (intrinsic nature)
Dalam kebanyakan wacana para wali, ‘urafadan filosof, kita
menemukan bahwa mengenal Tuhan adalah watak insting alami manusia, dan
sesuatu yang inherent dalam dirinyamelalui watak intrinsik (fitrah-nya).
Untuk mengerti definisi ini seseorang harus menentukan hakikat makna
watak fitrah (intrinsic nature).
Dalam bahasa Arab, kata ‘fitrah’ digunakan untuk menyatakan ‘sejenis Penciptaan’ . Hal tersebut, yang terkait dengan watak hakiki, disebut‘fitri’, dan melalui hal itu makhluknya tergantung pada sesuatu yang telah Wujud (eksistent)Kita menganggap hal tersebut, yang fitri, mempunyai gambaran tertentu :
1. Makhluk-makhluk
yang berbeda-beda semuanya mempunyai watak fitrah yang sama di dalam
spesies mereka, walaupun ada banyak variasi mengenai kekuatan dan
kelemahan.Hal yang terkait dengan watak fitrah dalam wacana sejarah
telah ditentukan sebagai permanen dan abadi.
Fitrah Allah, yang dengannya umat manusia telah diciptakan. Tidak ada perubahan dalam fitrah penciptaan oleh Allah. ( 30-30)
2. Watak
fitrah adalah mencukupkan dirinya sendiri dari pendidikan dan
pelatihan, bagaimana pun juga fitrah ini dapat diintensifkan dan
dibimbing melalui bantuan disiplin. Watak fitrah ini dapat dibagi ke
dalam dua bagian:
a. Pengetahuan yang terkait dengan watak fitrah yang dikaruniakan kepada manusia dan tidak didapat melalui belajar.
b. Kecenderungan
dan gerak hati yang terkait dengan watak fitrah dan yang merupakan
elemen penting dalam penciptaan setiap individu.
Di
atas landasan ini, jika kepedulian terhadap Tuhan muncul dari dalam
diri setiap umat manusia dan bukan merupakan hal yang dibutuhkan manusia
untuk didapat melalui penelitian, lalu hal ini dapat disebut “mengenal
Tuhan melalui watak ‘fitrah’. Jika semua manusia cenderung beribadah
kepada Tuhan, lalu itu dapat dikenal sebagai ‘ibadah melalui watak
fitrah’
Di
dalam pelajaran kedua kami telah menyebutkan bahwa banyak ahli di
bidang antropologi dan psikologi telah memiliki kecenderungan ke arah
agama sebagai psikologis dan telah melabelinya sebagai ‘rasa
keberagamaan’ atau ‘sentimen beragama’.
Kita
mesti menekankan bahwa ‘mengenal Tuhan’ adalah berdasarkan watak fitrah
manusiawi. Bagaimana pun juga watak fitrah pengetahuan dan pengabdian
kepada Tuhan adalah tidak dengan kepedulian penuh dalam sebuah cara
sehingga hal itu akan dapat mencukupkan orang-orang awam dari penalaran
intelektual.
Kita tidak boleh lupa bahwa elemen ilmu hudhuri
ada dalam setiap individu dalam sebuah derajat yang paling rendah dan
disempurnakan melalui penalaran intelektual.Sebagai kesimpulan, mengenal
Tuhan adalah watak fitrah, berarti bahwa hati manusia peduli terhadap
Tuhan, dan jiwanya memiliki potensi mengenal Tuhan dengan kepedulian
penuh.
Pelajaran ke-Enam
Cara sederhana mengenal Tuhan
Cara-cara mengenal Tuhan
a) Kekhususan cara-cara sederhana
b) Tanda-tanda yang mudah diketahui
Cara-cara mengenal Tuhan
Ada
beberapa medium yang melaluinya manusia dapat mengenal Tuhan, banyak di
antaranya yang telah disebutkan dalam beragam buku-buku filsafat,
theologi, dan di dalam wacana para wali (orang-orang suci).Medium tersebutatau
cara-cara yang telah menggunakan bentuk-bentuk tertentu penalaran dan
pembuktian: sebagai contoh beberapa orangtelah menggunakan indera
jasmaniah dan ilmu pengetahuan eksperimental, dengan kata lain beberapa
orang telah menerapkan argumentasi intelektual sebagai premis untuk
mengetahui Tuhan. Beberapa mazhab berusaha untuk membuktikan adanya
Tuhan secara langsung dan mazhab tertentu hanya membuktikan
keberadaan/eksistensi-Nya, yang tidak tergantung kepada satupun eksitent
(necessary existent/wajibul wujud). Untuk memahami kompleksitas-Nya (sifat-sifatnya), pembinaan argumen lainnya dibutuhkan.
Pembuktian
dan penalaran pengetahuan tentang Tuhan dapat dibandingkan kepada
keanekaragaman cara seseorang menyeberangi sebuah sungai: beberapa orang
lebih suka berenang, beberapa orang lainnya lebih suka menggunakan
jembatan kayu yang melintang di atas sungai, sehingga seorang pejalan
yang berat dapat melintasi dengan mudah dan mencapai tujuannya. Jembatan
lain mungkin dibangun dari batu-batu, sehingga menjadi lebih kuat dan
tahan lama, cara-cara tersebut lalu menjadi lebih panjang. Akhirnya,
beberapa jembatan seperti jembatan besi yang meliuk-liuk, yang terdiri
darijalur kereta api, menyiapkan cara perjalanan yang lebih kompleks.
Seorang
dengan pikiran yang sederhana dapat mengenali Tuhan melalui cara yang
sangat sederhana dan memenuhi tanggung jawabnya dalam beribadah.
Jikaseseorang menemui banyak kritisisme, yang menyebabkan keraguannya,
lalu dia lebih suka jembatan batu. Orang yang terlibat dengan keraguan
yang ekstrim dan pertanyaan yang harus memilih jalan yang kompleks; ini
adalah penting baginya, bahkan walau melalui jalannya mejadi semakin
panjang.
Kita kini bermaksud
membuat garis besar tiga tingkatan yang berbeda, yang denganya manusia
dapat mengenal Tuhan. Pertama dengan membatasi pada cara sederhana, lalu
carapertengahan, dan akhirnya cara yang lebih kompleks, jalan/cara-cara
ini menghasilkan beberapa masalah mendasar dalam filsafat dan bagi
pemikirannya, yang penuh dengan keraguan dan yang telah menjadi
menyimpang dari kenyataan dan tujuan.
a. Kekhususan cara sederhana
Cara sederhana dalam mengetahui/mengenal Tuhan diberikan dengan berbagai keuntungan dan keistimewaan, yang paling penting di anataranya dikemukankan sebagai berikut ini:
1.
Cara permulaaan adalah cara yang paling sederhana dari semuanya dan
tidak memerlukan premis yang rumit atau canggih. Ini mudah dipahami oleh
semua tingkatan pemikiran.
2.
Cara/jalanini langsung menerima Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta yang
Maha Bijaksana. Dalam jalan ini tidak seperti filsafat atau
theologi(kalam) di mana pembuktianeksistensi Tuhan adalah yang pertama
dilengkapi dan kemudian diikuti dengan pembuktian kebenaran
sifat-sifat-Nya melalui penalaran akal.
3.
Cara ini didasarkan dan penekanan pada watak fitrah manusia. Melalui
perenungan dan pemikiran manusia akan menyaksikan keindahan Tuhan dalam
penciptaan sebagaimana dalam perwujudannya yang lain.
4.
Para wali (orang suci) membimbingumat untuk memanfaatkan cara ini, yang
berdasarkan watak fitrah manusia. Bagaimana pun juga ketika berdiskusi
atau berdebatdengan kaum atheis, filosof materialis atau orang-orang
yang sok cerdas, para imam akan memilih metode yang beragam untuk
berdebat
b.Tanda-tanda yang mudah dikenal
Dengan
merenungkan tanda-tanda (ayat-ayat) di sekitar kita, manusia akan
sampai kepada sebuah pemahaman terhadap Penciptanya.Dalam peristilahan
al-Qur’an perenungan tersebut disebut sebagai ‘merenungkan atau
memikirkan tanda-tanda kebesaran Tuhan Allah’. Karena itu segala sesuatu
yang ada di langit dan di bumi dan apa-apa yang ada di dalam diri
manusia sendiri mencerminkan Tuhan dan menjadi saluran qalbu merasakan
kehadiran bimbingan Tuhan di alam semesta.
Buku
yang Anda pegang di tangan saat ini adalah sebuah tanda dari
penulisnya. Bukankah benar bahwa dengan membacanya, Anda menjadi peduli
bahwa penulisnya adalah cerdas dan mempunyai sebuah tujuan? Pernahkah
Anda berpikir bahwa karya tulis ini adalah hasil akibat dari serangkaian
reaksi tanpa tujuan? Bukan itu sebuah pikiran yang absurd jika
mengatakan bahwa sebuah ensiklopedia yang terdiri dari ratusan jilid
hadir keberadaannya sebagai sebuah efek ledakan yang terjadi di tambang
logam, pecahannya yang mengambil bentuk huruf-huruf dan melalui
perjumpaan yang terjadi secara kebetulan dengan sepotong
kertasmenjadikan tulisan muncul dan kemudian dan lalu kertas-kertas itu
juga secara kebetulan menjadi teratur dan menjadi berjilid-jilid?
Menerima
peristiwa secara buta sebagai sebuah alat untuk menjelasakan alam
semestasebagai sebuah fenomena kebetulan saja, dengan segala rahasia
tersembunyi dan yang terbukadan kebijaksanaan di balik itu, adalah
ribuan kali lebih absurd dari pada pemikiran yang sudah disebutkan tadi!
Setiap tatanan yang sudah ditentukan adalah sebuah tanda-tanda dari
sebuah penentu yang mengatur dan menentukan. Jenis keteraturan tatanan
dapat dirasakan di semua jagat alam semesta.
Keteraturan
tatanan di alam semesta ini telah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta
Yang Maha Bijaksana, yang secara terus-menerus mengelola (me-manage)
alam semesta ini.
Semak-semak
tanaman bungan mawar akarnya tertanam dalam lumpur dan tanah di dalam
sebuah kebun yang indah, yang mempunyai warna-warna tertentu dan
wewangian yang beraneka ragam, sebuah pohon apel berasal dari sebuah
biji dan setiap tahun menghasilkan banyak buah apel yang sangat enak
rasanya, bagus warnanya dan harum baunya.
Kemudian
nyanyian burung bul-bul, anak ayam yang menetas dari sebuah telur,
dengan paruhnya yang mematuk-matuk tanah, dan anak sapi yang baru lahir
yang menyusui induknya, pada saat yang sama dadanyasiap dengan suplai
susu untuk bayi manusia, dll. Semua ini adalah tanda-tanda
kekuasaan-Nya.
Bukankah
menakjubkan melihat bahwa lebah madu, sapi dan kambing menyediakan bagi
manusia madu dan susu khusus hanya untuknya dalam jumlah yang tak
terbatas?Manusia yang tak mau berterima kasih (bersyukur) bagaimana pun
juga tidak mengetahui karunia-karunia yang mudah dikenali ini, dan
menghadapi semua ini dengan konfrontasi dan pengingkaran.
Di
dalam tubuhnya sendiri manusia dapat melihat akibat yang jelas dari
kebijaksanaan pengawasan Tuhan; bentuk badan dengan pembagian fungsinya
yang seimbang, struktur luaran yang vital dengan organ dalam harmonis
yang tersusun dari jutaan sel, yang semuanya berasal dari sebuah sel
induk, masing-masing sel mengandung porsi tertentu materi khusus untuk
suatu fungsi yang tepat, seperti ketika kita bernafas: oksigen melewati
paru-paru, lalu diangkut oleh sel darah merah ke sel-sel, dan hati yang
memproduksi gula yang dibutuhkantubuh manusia, dan penggantian sel-sel
rusak dan mati dengan sel-sel yang baru, dan pertahanan tubuh manusia
oleh sel darah putih melawan virus-virus dan mikroba-mikroba, dan
berbagai jenis hormon –yang diproduksi oleh berbagai kelenjar-
mengorganisasikan tugas-tugas psysiologis dari tubuh manusia, semua yang
disebut di atas adalah tanda-tanda kekuasaan Tuhan AllahYang Maha
Kuasa.
Sistem
physiologis ini begitu misterius, dan bahkan melalui puluhan abad yang
telah lewat, manusia masih harus terus melakukan penelitian untuk
menemukan fungsi-fungsinya. Jika seseorang melakukan penelitian terhadap
detil-detil yang paling kecil dari sel hidup, dia tidak akan ragu lagi
bertanya siapakah yang telah mengatur dan menciptakannya di balik itu
semua. Ini adalah kebijaksanaan Tuhan Maha Pencipta yang Maha Sempurna
dan Maha Pengatur, yang mengurus semua urusan:
{إِنَّ
اللَّهَ فَالِقُ الْحَبِّ وَالنَّوَى يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنْ الْمَيِّتِ
وَمُخْرِجُ الْمَيِّتِ مِنْ الْحَيِّ ذَلِكُمْ اللَّهُ فَأَنَّا
تُؤْفَكُونَ}(الأنعام/95).
Yang demikian itu ialah Allah, maka mengapa kamu masih berpaling. (QS Al An’aam, 6-95).
Jelas
nyata, karena ilmu pengetahuan mengembang dan menumbuhkan hasil-hasil
dalam makin banyak penemuan hukum-hukum alam dan hubungan-hubungan antar
hukum-hukum alam tersebut, hal itu akan menghasilkan pembukaan rahasia
kebijaksanaandi balik penciptaan. Bagaimana pun juga dengan memikirkan
dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan Tuhan tersebut, yang sederhana dan
dapat dilihat dengan jelas adalah cukup bagi hati yang ikhlas dan tidak
teracuni.
Pelajaran ke-Tujuh
Pembuktian bagi Eksistensi Wajib
(Yang diperlukan adanya)
Pendahuluan
Teks-teks argumentasi (pembuktian)
Kemungkinan dan Kewajiban(Yang diperlukan)
a) Sebab dan akibat
b)Ketidakmungkinan rentetan sebab-sebab yang tak berujung.
c) Peneguhan argumentasi
Pendahuluan
Pada pelajaran terdahulu, kita telah mengetahui bahwa para filosof dan para ulama teologi (mutakalimun) telah memantapkan beberapa argumentasi pembuktian adanya Tuhan.
Pada
pelajaran ini kita akan mengambil salah satu dari sekian banyak
argumentasi tersebut, karena faktanya sangat elementer dan sederhana dan
tidak membutuhkan pengantar untuk memantapkan sebuah eksistensi sebagai
wajib (diperlukan adanya). Bagaimana pun juga kebenaran argumentasi ini
hanya untuk membuktikan eksistensi wajib (wajib al-wujud),
seperti sebuah eksistensi yang tidak membutuhkan, memerlukan atau
tergantung kepada eksistensi lain untuk keberadaannya, dan untuk
membuktikan sifat-sifat positifnya (Maha Mengetahui/’Ilm, Maha Kuasa,
tidak terikat ruang dan waktu) membutuhkan tambahan argumentasi.
Teks-teks pembuktian
Eksistensi
melalui presepsi akalapakah ituadalah eksistensi wajib ataukah
eksistensi yang mungkin. Secara akal, tidak ada eksistensi yang terletak
di luar dua asumsi ini dan setiap eksistensi tidak dapat diketahui
sebagai sebuah ‘eksistensi yang mungkin’ karena suatu ‘eksistensi yang
mungkin’ selalu membutuhkan sebuah sebab (ill’ah). Jika semua
sebab-sebab adalah eksistensi yang mungkin, masing-masing mereka pada
gilirannya membutuhkan satu sebab, maka tidak ada eksistensi yang akan
pernah ada, dengan kata lain sebuah rangkaian serial yang tak terbatas (tasalsul) dari sebab-sebab adalah tidak mungkin (muhal).
Oleh karena sebuahrangkaian yang tak terbatas dari sebab-sebab (yang di
belakang) memaksa untuk mengakhirinya dalam sebuah eksistensi (maw’jud), yang tidak memerlukan suatu sebab (ma’lul) berupa eksitensi lain, inilah eksistensi wajib.
Argumentasi
inilah yang merupakan argumentasi yang paling sederhana dalam filsafat
untuk membuktikan eksistensi (keberadaan) Tuhan.Argumen ini telah
dibangun dengan beberapa silogisme intelektual dan tidak memerlukan
satupun bentuk presepsi inderawi atau eksperimentasi ilmiah sebagai
sebuah premis.
Bagaimana
pun juga hal ini telah menggunakan istilah-istilah dan konsep-konsep
filsafat, karenanya ini membutuhkan sebuah penjelasan tentang
premis-premis dan istilah-istilah (terminologi) tersebut dalam
argumentasi.
Hal yang Mungkin dan Wajib
Semua
proposisi (pernyataan) mempunyai dua konsep mendasar (subjek dan
predikat) tanpa memperhatikan apakah hal-hal itu sederhana ataukan
kompleks, sebagai contoh adalah beberapa aksioma, ‘Matahari bersinar’
yang mengemukakan bersinarnya matahari, ‘Matahari’ adalah subjek dan
‘bersinar’ adalah predikat.
Tegaknya
sebuah predikat bagi subjek memiliki tidak lebih dari tiga kedudukan:
apakah itu tidak mungkin, seperti: ‘tiga adalah lebih besar dari empat’,
ataukah itu wajib, seperti ‘dua adalah setengah dari empat’, ataukah
hal itu mungkin dan juga wajib, seperti contoh: ‘ matahari ada di kepala
kita’. Dalam terminologi logika, proposisi pertama memiliki kedudukan
‘tidak mungkin’ (imtina’), proposisi yang kedua adalah sifat yang diberikan dari ‘yang wajib’ (wujub), dan pernyataan yang ketiga adalah dianggap sebagai mungkin (imkan).
Bagaimana
pun jugadalam filsafat hanya eksitensi yang telah didiskusikan dan
hal-hal tersebut, yang menjadi tidak mampu ada atau terjadi dan tidak
mungkin (mumtani’) tidak pernah akan memiliki sebuah eksistensi (al-wujud al-kharij).
Untuk alasan inilah filsafat memperhatikan eksistensi dari sebuah
persepsi akal sebagai keberadaan yang merupakan eksistensi yang wajib
atau eksistensi yang mungkin.
Eksitensi
yang wajib dikenal sebagai ‘existent’, yang ada dengan sendirinya dan
tidak tergantung kepada eksistensi yang lain. Sebenarnya existent
tersebut tidak memiliki awal dan akhir, karena yang bukan eksistensi
atau apa pun dalam sebagian waktu adalah indikasi bahwa keberadaannya
adalah bukan berasal dari diri sendiri, karena ‘non-eksistensi’ dari
sesuatu dalam satu waktu partikular adalah sebuah indikasi bahwa
eksistensinya adalah tidak berasal dari dirinya sendiri. Untuk menjadi
eksistensi dia membutuhkan eksistensi lain, yang berupa sebab atau
kondisi bagi perwujudannya. Ketidak hadiran kondisi tersebut atau
sebab-sebab akan menjadi alasan ketiadaan.
Eksistensi yang mungkin (mum’kin al-wujud)
dikenal sebagai sebuah eksistent yang tidak akan eksis dengan
sendirinya dan tergantung kepada eksistensi lain untukterwujudnya.
Pembagian ini, yang mengambil tempat melalui presepsi akal, secara esensial mengabaikan eksistensi ketidakmungkinan (mumtani’ al-wujud),
namun ini tidak memiliki satupun indikasi apakah eksistent itu adalah
eksistensi yang mungkin ataukah eksistensi yang wajib. Dengan kata lain
keaslian persepsi dapat dikonseptualisasikan dalam tiga bentuk esensial:
1.Setiap eksistent adalah eksistent wajib
2.Setiap eksistent adalah eksistent yang mungkin
3.Beberapa eksistent adalam eksistent wajib dan beberapa adalah eksistent yang mungkin,
Berdasarkan
asumsi yang pertama dan ketiga, keberadaan satu eksistensi wajib adalah
mantap, oleh karena itu asumsi yang harus ditinjau ulang adalah apakah
semua eksistensi (keberadaan) adalah eksistensi yang mungkin atau tidak?
Bagaimana
pun juga dengan penyangkalan asumsi ini (bahwa semua eksistents adalah
eksistent yang mungkin), keberadaan eksistensi wajib adalah jelas pasti
dan terbukti dengan meyakinkan.
Kemantapan kesatuan (unity)
dan sifat-sifat lain, harus terbukti dengan dengan argumen lain. Oleh
karena itu untuk menyangkal asumsi kedua, argumen tambahan mesti
digunakan, yaitu: “apakah mungkin bahwa semua eksistensi adalah menjadi
‘eksistensi yang mungkin’? Karena argumentasi ini tidak terbukti dengan
sendirinya, ini dapat diterangkan sebagai berikut: Setiap eksistensi
yang mungkin membutuhkan sebuah sebab dan tidaklah mungkin memiliki
rangkaian sebab yang tak berakhir (tak ada ujungnya) Maka rangkaian
sebab yang tak ada akhirnya itu terpaksa berakhir pada sebuah eksistensi
yang tak lagi membutuhkan sebuah sebab apapun, yaitu eksistensi wajib
(yang diperlukan). Argumentasi ini telah memperkenalkan konsep filsafat
yang lain, yang membutuhkan suatu penjelasan ringkas baginya dan hal-hal
yang terkait dengannya.
Sebab dan akibat
Jika
sebuah eksistensi membutuhkan eksistensi lain dan tergantung kepada
eksistensi lain untuk keberadaannya, kemudian dalam terminologi
filsafat, eksistensi yang disebabkan dikenal sebagi ‘akibat’ dan
eksistensi lainnya dikenal sebagai ‘sebab’. Bagaimana pun juga adalah
mungkin bahwa sebuah sebab dapat juga menjadi sebuah akibat, dan menjadi
sebuah eksistensi yang tergantung, tidak secara mutlak bebas dari
kebutuhan. Jika sebuah sebab secara mutlak bebas dari kebutuhan dan
tidak tergantung kepada yang lain, lalu itu akan menjadi ‘Sebab yang
Mutlak’
Sekarang
kita menjadi familiar dengan definisi istilah ‘sebab’ dan ‘akibat’.
Kita sekarang akan membuktikan sebuah penjelasan dan premis yang telah
disebutkan di muka (“setiap eksistensi yang mungkin membutuhkan sebuah
sebab”).
Eksistensi
yang mungkin, tidaklah eksis dengan sendirinya dan tidak punya
alternatif selain tergantung kepada eksistensi lainnya. Maka setiap
predikat yang dikenal untuk subjek adalah muncul baik dengan sendirinya (bil-that) atau dengan perantaraan yang lain selain dirinya (bilghayr).
Sebagai contoh: setiap hal yang bersinar di dalamnya dan dengan
sendirinya atau membutuhkan sesuatu yang lain untuk penyinarannya, atau
setiap tubuh yang berminyak dengan sendirinya atau membutuhkan minyak
untuk menjadi berminyak. Adalah tidak mungkin bagi sesuatu dalam dirinya
sendiri tidaktersinari atau terminyaki dan tidak menerima sinar atau
minyak dari apa pun, dan pada saat sama menjadi berminyak dan bersinar.
Oleh
karena itu kemunculan/tegaknya sebuah eksistensi bagi sebuah subjek
apakah melalui esensinya atau dengan perantaraan selain dirinya, dan
ketika itu tidak melalui esensinya, lalu itu harus dengan perantaraan
selain dari dirinya. Maka setiap eksistensi yang mungkin, yang terwujud
tidak melalui esensinya, menjadi terwujud dengan perantaraan yang selain
dirinya, secara tersirat itu adalah sebuah akibat. Hal ini
menyajikanprinsip fundamental bagi akal, bahwa setiap ‘eksistensi yang
mungkin’ membutuhkan sebuah sebab.
Bagaimana
pun juga, beberapa orang telah memahami bahwa prinsip penyebaban
berarti bahwa semua eksistensi membutuhkan sebuah sebab, maka Tuhan
membutuhkan sebuah sebab Primer. Mereka telah terlalu berlebihan dalam
melihat fakta bahwa subjek dari prinsip penyebaban adalah eksistensi
dalam pengertian ‘eksistensi yang mungkin’ dan akibatnya,tapi tidak
berlaku bagi ‘Eksistensi Mutlak’ (Tuhan). Tidak semua eksistensi
membutuhkan sebuah sebab, hanya eksistensi-eksistensi yang membutuhkan
dan tergantung sajalah yang membutuhkan suatu sebab.
b. Ketidakmungkinan rangkaian penyebab tanpa akhir
Premis
terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini adalah bahwa rangkaian
sebab harus berakhir pada sebuah eksistensi, yang bukan merupakan sebuah
akibat. Dalam istilah teknis sebuah rangkaian tanpa akhir dari
sebab-sebab adalah tidak mungkin. Hal ini kemudian memantapkan bahwa
eksistensi yang wajib adalah penyebab awal, yang hidup dengan sendirinya
dan tidak tergantung kepada eksistensi lain.
Filsafat telah mendatangkan banyak argumentasi untuk menyanggah rangkaian tak terbatas (tasalsul);
meskipun dengan kurangnya pemikiran, rangkaian tak terbatas akan
seolah-olah terlihat terbukti dengan sendirinya. Oleh karena itulah
dikatakan, mengingat eksistensi dari sebuah akibat membutuhkan sebuah
sebab dankondisi atas sebab itu. Lagi pula jika keadaan tersebabkan (ma’luliyyah)
dan kondisi ini adalah universal, lalu tidak adaeksistensi yang akan
terwujud di mana pun juga. Hal ini adalah karena asumsi beberapa
eksistensi yang tergantungtanpa keberadaan dari sebuah eksistensi adalah
bertentangan dengan akal.
Marilah
kita umpamakan bahwa ada sekelompok pelari yang menunggu untuk mulai
balap lari, mereka semua telah memutuskan bahwa mereka tidak akan mulai
berlari sampai yang lainnya mulai berlari. Jika keputusan ini berlaku
bagi semua di antara mereka, lalu tak ada seorang pun yang akan mulai
berlari.
Dalam
cara sama jika keberadaan setiap eksistensi adalah tergantung dari
kondisi (syarat) atas perwujudan (keberadaan) eksistensi lain, maka
tidak akan pernah ada satu pun eksistensi yang mewujud. Perwujudan
sebuaheksistensi eksternal menunjukkan bahwa ada sebuah eksistensi, yang
tidak membutuhkan apapun dan tidak tergantung pada syarat apa pun.
c. Penegasan kebenaran argumentasi
Pada peristiwa ini, dengan memahami premis-premis tersebut. Tidak ingin kembali menegaskan kebenaran argumentasi kita:
Semua hal yang dapat dipertimbangkan sebagai sebuah eksistensi, memiliki tidak lebih dari dua keadaan:
1.Eksistensi
yang dibutuhkan adanya (wajib) dan berada(eksis) dengan esensinya
sendiri. Dalam bahasa teknis ini disebut dengan ‘eksistensi yang wajib’ (necessary existent).
2.Eksistensi
yang keberadaannya tidak wajib dan perwujudannya tergantung kepada
eksistensi lain. Dalam bahasa teknis hal ini dikenal dengan istilah
‘eksistensi yang mungkin’ (the possible existent).
Adalah
terbukti dengan sendirinya bahwa jika perwujudan (realisasi) dari
sesuatu hal adalah tidak mungkin, lalu itu tidak pernah akan menjadi
wujud; maka setiap eksistensi adalah sebuah eksistensi yang mungkin atau
sebuah ‘eksistensi yang wajib’ adanya.
Dengan
memfokuskan pada konsep ‘eksistensi yang mungkin’, menjadi jelaslah
bahwa setiap rujukan konsep ini adalah sebuah akibat dan membutuhkan
sebuah sebab.
Lebih
lanjut jika sebuah eksitensi tidak eksis (ada) karena esensinya sendiri
kemudian menjadi perlu bahwa itu menjadi ada melalui eksistensi lain,
karena setiap sifat yangtidak wujud dengan esensinya sendiri, musti
eksis dengan perantaraan sebab eksistensi yang selain dirinya.
Prinsip
sebab-akibat menegaskan bahwa setiap eksistensi tergantung dan mungkin
membutuhkan sebuah sebab. Namun tidak semua eksistensi membutuhkan
sebuah sebab; sebaliknya seseorang mungkin akan menyimpulkan bahwa
kemudian mesti ada sebuah sebab bagi Tuhan. Dari sisi lain hal itu mesti
dilihat bahwa jika semua eksistensi adalah eksistensi yang mungkin,
maka tidak akan pernah ada satupun eksistensi yang mewujud. Hal ini
adalah seperti mengasumsikan bahwa sekelempok orang telah mensyaratkan
aksinya kepada yang lainnya, yang berarti tidak ada aktifitas. Bagaimana
pun juga, aktifitas eksternal dari eksistensi memunculkan keberadaan
sebuah eksistensi yang wajib.
Pelajaran ke Delapan
Sifat-Sifat Tuhan
Pendahuluan
Sifat Abadi Tuhan
a) Sifat-sifat negative
b) Penyebab yang memberikan eksistensi
a)Kekhususan penyebabyang memberikan eksistensi
a) Sifat-sifat negative
b) Penyebab yang memberikan eksistensi
a)Kekhususan penyebabyang memberikan eksistensi
Pendahuluan
Dalam
pelajaran terdahulu kita telah membicarakan argumentasi pembuktian
adanya eksistensi yang wajib (Tuhan). Dengan menurunkan argumentasi lain
kita sekarang akan membuktikan sifat negatif dan sifat positif dari
eksistensi ini. Hal ini perlu sehingga kita kita mengenali Tuhan Sang
Pencipta berbeda dari makhluk/ciptaan-Nya. Tidaklah cukup untuk hanya
mengenali Diasebagai ‘eksistensi wajib’, karena beberapa orang
menganggap bahwa materi dan energi adalah rujukan –sebagai sebuah
konsep-(misdaq) bagi eksistensi wajib ini.
Wacana berikut adalahdari dua sudut pandang:
1.Dengan
memantapkan sifat-sifat negatif maka eksistensi wajib dimuliakan dan
disucikan dari watak anthropomorphic dan tidak dibandingkan dengan
makhluk-Nya
2.Dengan
memantapkansifat-sifat positif maka Tuhan Sang Pencipta dapat diketahui
sebagai wujud yang pantas disembah dan diibadahi, dan untuk meletakkan
landasan untuk membuktikan prinsip lain seperti kenabian, hari
kebangkitan dan cabang-cabangnya.
Dari
argumentasi di atas kita telah menyadari bahwa eksistensi wajib tidak
membutuhkan satupun sebab dan bahwaDia adalah sebab bagi ‘eksistensi
yang mungkin’. Kemudian kita telah siap memantapkan dua sifat bagi
eksistensi wajib, yaitu:
1.Tidak tergantung kepada satupun eksistensi lain
2.Eksistensi wajib adalah sebab pertama bagi eksistensi yang mungkin.
Dengan
menerapkan dua hasil ini kita akan memberikan ilustrasi selanjutnya dan
memantapkan sifat negatif dan sifat posistif dari eksistensi wajib
melalui argumentasi yang mudah diketahui dan terkait dengan argumentasi
sebelumnya.
Sifat abadi Tuhan
Jika
sebuah eksistensi adalah sebuah akibat,yang tergantung dan membutuhkan
eksistensi lain, maka eksistensi yang membutuhkan ini akan hadir setelah
adanya sebab. Jika sebab tersebut tidak ada atau tidak terwujud maka
tidak akan ada akibat (eksistensi). Dengan kata lain, bagi sebuah
eksistensi untuk menjadi tidak eksis (tidak ada) dalam sebuah interval
waktu, menunjukkan bahwa itu adalah sebuah eksistensi yang tergantung
dan eksistensi yang mungkin. Karena eksistensi yang wajib eksis dengan
esensinya sendiri dan tidak membutuhkan satupun eksistensi lain untuk
keberadaannya, ia akan selalu ada dan karena itu ia tidak seperti
eksistensi yang mungkin.
Dengan alat argumentasi di atas, seseorang dapat membuktikan lagi dua sifat eksistensi wajib:
1.Tuhan adalah tanpa permulaan, berarti bahwa Dia tidak pernah memilikisebuah pendahuluan sebagai non-eksistensi.
2.Tuhan adalah tanpa akhir, berarti bahwa ia tidak akan pernah menjadi ‘non-eksistensi’ (tidak ada).
Kadang-kadang dua sifat tersebut disebutkan bersama-samadisebut sebagai ‘keabadian’ (sarmady).
Oleh karena itu setiap eksistensi yang mempunyai sebuah masa lalu
sebagai non-eksistensi atau mempunyai kemungkinan untuk menjadi tidak
ada, tidak akan pernah menjadi eksistensi yang wajib. Fakta-fakta ini
akan membuktikan bahwa anggapan materi (maddah) sebagai eksistensi wajib adalah salah.
a. Sifat sifat Negatif
Essensi
lain dari eksistensi wajib adalah terpisah dan tak dapat dilihat,
karena setiap campuran (composite) adalah sebuah sintesis
ataumembutuhkan bagian-bagian untuk menjadi lengkap. Eksistensi wajib
tersucikan dan bebas merdeka dari segala kebutuhan.
Eksistensi wajib tidak dibuat dari bagian-bagian. Hal ini karena sebuah benda yang potensial dibagi-bagi, secara intelektual (aqliyah)
lalu memiliki sebuah kemungkinan menjadi tidak ada. Telah nyata bahwa
Eksistensi wajib tidak mungkin menjadi tidak ada. Karena distribusi
bagian-bagian dalam potensi (bil ‘quwwa) dan dalam aktualitas (bil fa’il) adalah khusus untuk hal-hal yang bersifat jasmaniah, Eksistensi Wajib adalah telah nyata adalah sesuatu yang bukan jasmaniah (immaterial).
Maka hal ini berimplikasi pada kesimpulan bahwa Eksistensi Wajib tidak
dapat dilihat dengan mata jasmaniah dan tak dapat dirasakan dengan
indera jasmaniah.
Dengan
memisahkan eksistensi jasmaniah dari Eksistensi Wajib, beberapa
kemungkinan lain juga terbatalkan. Eksistensi wajib kemudian tidak
terbatas pada atau menjadi subjek dalam waktu (zaman) dan ruang/tempat (makan).
Pembatalan ini adalah karena ruang adalah terbayangkan untuk sebuah
benda, yang mempunyai sebuah tubuh, dan dengan kata lain setiap objek
temporal mempunyai kemungkinan untuk terbagi-bagi dalam interval. Karena
temporalitas (kesementaraan waktu) bukanlah sifat Eksistensi Wajib,
transisi, pertumbuhan dan gerak juga tidak berlaku bagi-Nya, karena
tidak akan ada gerakan tanpa berada dalam ruang dan waktu.
Berdasarkan
hal di atas, mereka yang percayakepada anggapan bahwa Tuhan berada
dalam singasana, turun dari langit ke bumi dan dapat dilihat dengan mata
telanjang adalah menganggap Dia sebagai subjek dalam ruang, pertumbuhan
dan gerakan. Hal ini menunjukan bahwa mereka telah gagal untuk
sepenuhnya memahami pengetahuan yang benar tentang Tuhan. Secara umum
berbicara mengenai setiap konsep yang menunjukkan ketidaksempurnaan,
kebutuhan atau keterbatasan adalah tertolak dari ke-Maha Kuasa-an Tuhan
dan hal itu dikelompokkan sebagai ‘sifat-sifat negatif ‘Tuhan.
b. Penyebab yang memberikan eksistensi
Kesimpulan
yang muncul dari argumentasi di atas adalah bahwa eksistensi wajib
adalah alasan atau penyebab bagi eksistensi yang mungkin.
Kami kini bermaksud menentukan berbagai jenis penyebab yang berbeda-beda dan kekhususan penyebab yang menganugrahkaneksistensi.
Penyebab,
dalam makna yang biasa, berarti bahwa setiap eksistensi adalah
tergantung pada eksistensi lain, dan memasukan persyaratan dan keadaan
lingkungannya. Tuhan tidak mempunyai penyebab, artinya bahwa Dia tidak
tergantung kepada satupun eksistensi lain, juga tidak membutuhkan
persyaratan bagi-Nya untuk menjadi wujud. Tuhan adalah penyebab bagi
penciptaan dan mempunyai sifat menganugrahkan eksistensi. Hal ini
dikenal sebagai jenis khusus penyebab efisien (‘illliyah fa’ileyyah).
Sebelum
menjelaskan penyebab ini, para pembaca perlu mempelajari beberapa jenis
penyebab, yang dibahas secara detil dalam buku-buku filsafat. Untuk
menumbuhkan sebutir biji, kita tahu bahwa mesti ada beberapa faktor
seperti biji-bijian, tanah, air, lingkungan yang kondusif dan faktor
aktif (manusia atau alam) yang dapat menumbuhkan biji dan memeliharanya.
Semua agen-agen tersebut adalah mengenai alasan-alasan dan
penyebab-penyebab yang beragam yang membantu tanaman untuk tumbuh.
Penyebab
yang beragam tersebut dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori
yang khas, sebagai contoh: penyebab yang secara terus menerus dibutuhkan
bagi eksistensidari sebuah akibat yang dikenal sebagai ‘penyebab riil’ (al-‘ill’ah al haqiqiyyah).
Kelangsungan
hidup eksistensi dari sebuah akibat adalah tidak tergantung kepada
kelangsungan hidup penyebab tersebut (seperti petani bagi tanaman),
jenis penyebab ini dikenal sebagai ‘penyebab yang mempersiapkan’ (the preparatory cause / ‘illah mau’edah).
Penyebab-penyebab yang mempunyai sebuah kemungkinan alternatif, dikenal sebagai penyebab substitutif (the substitute causes / ‘illah in’hesariyyah).
Walaupun
ada penyebab-penyebabjenis-jenis lain, yang sangat berbeda dari
contoh-contoh di atas dan dapat diketemukan melalui jiwa kita dan
fungsi-fungsinya. Ketika seseorang membayangkan sesuatu atau bermaksud
melakukan sesuatu, dia telah mempunyai apa yang disebut ‘bayangan’ (image) dalam pikirannya (al-surah thehniyyah),
yang diaktualisasikan dengan perantaraan ‘kehendak’, yang tergantung
kepada eksistensi (keberadaan) jiwa. Karena hal itu bergantung, hal itu
dikenal sebagai sebuah akibat, tapi akibat ini adalah sebuah akibat yang
tidak bebas merdeka dari segala penyebab dan tidak mempunyai eksistensi
dengan sendirinya.
Aktifitas
jiwa berkenaan dengan ‘kehendak’ dan ‘pikiran’(idea) adalah bersyarat
pada beberapa elemen terbatas, yang mewujud dari eksistensi yang
mungkin. Ketika aktifitas ini dibandingkan dengan aktifitas eksistensi
wajib, kita menyadari bahwa eksistensi wajib adalah Maha Agung dan Maha
Mulia, dan tiada bandingan bagi-Nya dan setiap akibat tergantung
kepada-Nya secara total.
c.Kekhususan penyebab yang menganugrahkan eksistensi.
Mengingat pertimbangan-pertimbangan yang
telah kita bicarakan di atas kita dapat mengklasifikasikan beberapa
gambaran unik penyebab yang menganugrahkan eksistensi:
a)‘Penyebab
yang menganugrahkan eksistensi’ mestilah lengkap dalam kesempurnaannya
yang eksis dalam akibat-akibatmenuju pengertian yang mutlak. Hal ini
adalahkarena penyebab dapat menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang
diperlukan bagi eksistensi sebagai lawan dari penyebab material dan
penyebab persiapan, yang hanya menciptakan lingkungan. Tidaklah perlu
bagai penyebab-penyebab ini untuk memiliki kesempurnaan relatif dari
akibat-akibat; sebagai contoh: tidaklah perlu bagi tanah untuk memiliki
kesempurnaan tanaman atau orang tua untuk memiliki kesempurnaan
anak-anaknya. Maka Tuhan yang menganugrahkan penciptaan mestilah mutlak
sempurna dalam esensi-Nya.
b)‘Penyebab
Yang menganugrahkan eksistensi’ membawa akibat-akibat-Nya dari
non-eksistensi (ketiadaan) kepada eksistensi (keberadaan), akibat-akibat
itu diciptakan, dengan perantaraan yang tidak akan mengurangi dan
menghilangkan apapun dari ‘Eksistensi (Tuhan) Penyebab yang
menganugrahkan eksistensi’.
c)‘Penyebab
Yang menganugrahkan eksistensi’ adalah penyebab riil yang akibat-akibat
sepenuhnya bergantung kepada kelangsungan-Nya, sebagai lawan dari
penyebab persiapan yang kelangsungan akibatnya tidak tergantung padanya.
Di
atas landasan inilah kita dapat menyangkal klaim yang dibuat oleh
beberapa theolog Sunni yang menyatakan bahwa alam semesta tidak
membutuhkan Tuhan untuk kelangsungannya, seperti yang dikatakan oleh
para filosof Barat yang mengklaim bahwadunia (alam) adalah seperti
sebuah jam weker, yang telah dibuat dan lalu ditinggalkan begitu saja
untuk beroperasi bebas dari Tuhan.
Sebaliknya,
alam semesta tergantung keseluruhannya kepada Tuhan, dan jika Dia
menahan atau melepaskan Ke-Agung-annya sesaat saja, maka seluruh makhluk
akan musnah.
Pelajaran Sembilan
Sifat-sifat Tuhan
Pendahuluan
Sifat-sifatesensi dan sifat-sifat perbuatan
Pembuktian untuk sifat-sifat esensi
a) Maha Hidup (‘hayat)
a) Maha Hidup (‘hayat)
b) Maha Mengatahui (‘ilm)
c) Maha Kuasa (qudrah)
Pendahuluan
Tuhan adalah penyebab utama (primal cause)
dan penganugraheksistensi. Dia sepenuhnya memiliki kesempurnaan dan
bertanggung jawab atas segala kesempurnaan yang kita saksikan dalam
eksistensi, tanpa sedikitpun mengurangi kesempurnaan esensi-Nya. Sebagai
contoh, hal ini adalah seperti seorang guru yang mengajari muridnya
dengan ilmu pengetahuan yang ia miliki tanpa ia kehilangan sedikitpun
pengetahuannya tersebut.
Bagaimanapun
juga kesempurnaan ontologis Tuhan Yang Maha Kuasa adalah jauh lebih
tinggi dari contoh bandingan tersebut. Sebuah deskripsi yang lebih
akurat dapat dikatakan bahwa penciptaan adalah tidak lain dari pada
perwujudan dan pancaran esensi suci Tuhan. Al Qur’an telah mengakatakan:
.
“Allah Cahaya langit dan bumi.”.( QS An Nuur, 24-35)
Karena
kesempurnaan Allah adalah abadi, maka setiap konsep yang menyebutkan
kesempurnaan tanpa menghadirkan sedikitpun kekurangan atau keterbatasan
adalah benar bagi Allah. Selanjutnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an al-Karim,
ada cerita suci dan permohonan doa dari Yang Maksum, (as), konsep
seperti Cahaya (nur), Kesempurnaan (kamal), Keindahan (jamal), Cinta (hubb) dan Kebahagiaan (bahjat), dll, yang semuanya terkait dengan Tuhan.
Buku-buku
filsafat dan theologi telah menggolongkan sifat-sifat Tuhan ke dalam
dua kelompok (sifat-sifat esensial dan sifat-sifat perbuatan). Kamiakan
menyajikan sebuah penjelasan ringkas tentang dua kelompok sifat
tersebut, yang diikuti dengan sebuah diskusi dan pembuktian untuk
memantapkan mana yang paling penting.
Sifat-sifat esensial dan sifat-sifat perbuatan
Sifat-sifat
terkait dengan Tuhan Yang Maha Luhur, adalah konsep-konsep yang
diabstraksikan dari esensi Ilahiyah dengan memfokuskan pada satu jenis
kesempurnaan ontologis, seperti: Maha Hidup (Hayat), Maha Mengetahui (Ilm)
dan Maha Kuasa, atau konsep-konsep yang diabstraksikan dari sejenis
hubungan antara Tuhan dengan Makhluk-makhluk-Nya, seperti, Maha Pencipta
dan Maha Pemelihara.
Konsep kelompok pertama disebut dengan sifat-sifat esensial (the attributes of essence) dan kelompok kedua disebut sebagai sifat-sifat perbuatan (the attributes of action).
Perbedaan
esensial antara dua kelompok sifat ini adalah bahwa konsep kelompok
pertama berkenaan dengan kualitas esensi Ketuhanan Yang Maha Suci,
sementara konsep kelompok kedua terkait dengan hubungan dan keterkaitan
antara Tuhan dengan makhluk-Nya. Konsep tersebut disarikan dari
ketergantungan makhluk terhadap Penciptanya, yaitu: Yang Maha Pencipta,
Maha Pemelihara, Yang Awal.
Sifat-sifat
esensial Tuhan yang paling penting adalah Maha Hidup, Maha Mengetahui,
dan Maha Kuasa. Bagaimana pun juga jika mendengar dan melihat dianggap
sebagai memiliki kekuatan (kemampuan) untuk melihat dan mendengar atau
menjadi peduli terhadap pendengaran dan penglihatan, semua itu akan
kembali kepada sifat-sifat esensial. Namun jika makna dari sifat-sifat
tersebut adalah terkait dengan sebuah aktifitas yangdisarikan karena
sebuah hubungan antara yang melihat sebuah objek dan yang mendengar
sebuah suara, maka itu akan berkenaan dengan sifat-sifat perbuatan.
Kadang-kadangsifat Maha Mengetahui digunakan dalam cara tersebut dan dianggap sebagai pengetahuan aktif (Al-Ilm al-fa’ily).
Beberapa ulama theologi menganggap Berbicara dan Berkehendak sebagai sifat-sifat esensial, yang akan didiskusikan kemudian..
Pembuktian sifat-sifat esensial
Cara
yang paling sederhana untuk membuktikan bahwa Tuhan adalah Maha Hidup,
Maha Berkuasa dan Maha Mengetahui, adalah pertama dengan menyadari
ketika konsep tersebut juga digunakan bagi makhluk, ini adalah
kesempurnaan ontologis, yang merujuk kepada-Nya. Yang lebih utama dan
sempurna dari kesempurnaan ontologis tersebut mestilah berada di dalam
sebab-sebab yang telah memberikan eksistensi.
Sang
Maha Pencipta mestilah sepenuhnya memiliki semua kesempurnaan yang ada
di dalam penciptaan,karenanya tidaklah mungkin bahwa penyedia atau
pemberi kehidupan, tidak hidup, atau penganugrah ilmu pengetahuan dan
kekuasaan, diri-Nya sendiri bodoh dan tak berdaya.
Eksistensi
kesempurnaan ontologis ini dalam makhluk maka menunjukan kehadiran
mereka di dalam Pencipta yang Maha Tinggi tanpa satupun pembatasan atau
kekurangan. Dengan kata lain Tuhan Yang Maha Agung, memiliki sifat-sifat
abadi Maha Hidup, Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, Kami sekarang akan
menyajikan penjelasan singkat mengenai sifat-sifat ini.
a. Maha Hidup (‘hayat)
Konsep
ini (Kehidupan) digunakan untuk menegaskan dua kelompok makhluk:
tetumbuhan, yang mempunyai ciri-ciri pertumbuhan, dan untuk manusia dan
hewan, yang ciri sifatnya memilikikehendak dan kesadaran. Pengertian
pertama tidak dapat disandangkan kepada Tuhan sebab ini terbatas dan
tidak sempurna, karena tetumbuhan membutuhkan faktor eksternal untuk
perkembangan dan pertumbuhannya untuk mencapai kesempurnaannya, dan hal
ini berkenaan dengan sifat-sifat negatif Tuhan sebagaimana telah
disebutkan dalam pelajaran terdahulu. Bagaimana pun juga pengertian
kedua dari kehidupan, walaupun hal itu mengandung keterbatasan dan
cacat, dapat diterapkan kepada Tuhan, namun dengan mempertimbangkan
ketidakterbatasannya.
Secara
fundamental, kehidupan adalah karakteristik esensial dari eksistensi
immaterial. Seperti ilmu pengetahuan dan aktifitas, yang selalu melekat
bersama kehidupan adalah immaterial.
Walaupun
kehidupan terkaitmakhluk hidup material, dalam kenyataannya ini adalah
sifat spiritual dari sebuah makhluk material dan jasad material dalam
akibat darinya (the spirit / ruh), yang berkaitan sebagai
kehidupan (penerapan sifat-sifat hidup kepada eksistensi material adalah
sementara). Dengan kata lain, hanya karena kemajuan adalah esensial
bagi eksistensi material, maka secara sama, hidup adalah esensial bagi
eksistensi immaterial. Dengan memfokuskan pada subjek ini, argumentasi
lain dapat ditegakkan, bahwa karena esensi suci Tuhan adalah immaterial
dan semua eksistensi immaterial memiliki sifat-sifat esensial
kehidupan,oleh karena itu Tuhan mempunyai sifat-sifat esensi kehidupan.
b. Maha Mengetahui (‘ilm)
Konsep
pengetahuan adalah yang paling jelas nyata dan terbukti dengan
sendirinya dari semua konsep, namun rujukan konsep ini di dalam makhluk
adalah terbatas dan kurang (tidak sempurna),dan dengan kekhususan ini
tidaklah mungkin untuk mengeneralisir hal ini Bagi Tuhan yang Maha
Tinggi. Bagaimana pun juga, hal ini sebelumnya telah menunjukkan bahwa
intelek (akal), untuk kesempurnaan ontologis mungkin dapat diandaikan
sebuah rujukan yang tidak memiliki satu keterbatasan atau kekurangan
(kesempurnaan ontologis) dan menjadi esensi pengetahuan itu sendiri.
Inilah pengetahuanmengenai esensi Tuhan Yang Maha Mulia. Pengetahuan
Tuhan dapat dibuktikan dari berbagai sudut yang berbeda. Salah satu cara
adalah dengan menerapkan metode yang sama sebagaimana yang digunakan
untuk membuktikan semua sifat-sifat esensial. Karena pengetahuan eksis
di dalam makhluk, sesungguhnya bentuk sempurna dan paripurna dari
pengetahuan mestilah eksis di dalam Tuhan Maha pencipta.
Cara
kedua untuk membuktikan pengetahuan Tuhan adalah melalui argumentasi
‘keteraturan’ (order):Penyajian yang sangat teratur dan sempurna atau
perwujudan (alam semesta) adalah jelas sebuah indikasi dari sebuah
pengetahuan yang tepat dan sempurna dari Sang Pewujud. Sebuah buku
intelektual, puisi yang fasih dan semua hasil karya seni adalah
tanda-tanda dari kebijaksanaan, cita rasa dan kualifikasi dari seniman,
tidaklah mungkin bahwa semua karya itu adalah hasil dari orang yang
bodoh dan dungu. Oleh karena itu, bagaimana mungkin seseorang
beranggapan bahwa alam semesta yang sangat luas ini dengan segala
rahasia dan misteri yang menakjubkan adala sebuah akibat dari satu
eksistensi yang tidak berpengetahuan?
Cara
ketiga, untuk menegakkan Pengetahuan Tuhan adalah melalui premis
filsafat spekulatif, yang tidak terbukti dengan sendirinya, seperti
prinsip ‘bahwa semua eksistensi immaterial adalah mengandung ilmu
pengetahuan dengan sendirinya.’, sebagai telah terbukti dalam buku-buku
terkait (filsafat dan theologi). Memfokuskan pengetahuan Tuhan,
memainkan peran yang dalam membangun jati diri (pensucian jiwa), dan
dari sudut pandang inilah maka telah disebutkan dalam Al Qur’an:
[رفاغ ةروس : 19 ].روُد.صلا يِفْخُت اَمَو ِنُيْعَ.ا َةَنِئاَخ ُمَلْعَي.
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
.(QS.Al Mu’min, 40: 19)
c. Maha Kuasa (qudrah)
Ketika
satu agen menghasilkan sebuah perbuatan dengan sebuah niat dan kehendak
bebas yang dimilikinya, dikatakan bahwa individu ini memiliki kemampuan
dan kekuasaan untuk mewujudkan sebuah perbuatan. Oleh karena itu
kekuasaan berarti sebuah agen sukarela yang ada pada awal (mabda’)
perbuatannya.
Level
kekuasaan adalah tergantung kepada level kesempurnaan dari sebuah
eksistensi; oleh karena itu sebuah eksistensi dengan kesempurnaan yang
tak terbatas akan memiliki kekuasaan yang juga tak terbatas.
Sesungguhnya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu..
(QS Al Mumtahanah,60: 7)
Bagaimana pun juga kita harusmenyadaribeberapa point berikut:
1.Sebuah
perbuatan yang datang dari pengawasan kekuasaan harus memiliki
kemungkinan aktualisasi, maka satu hal yang secara esensial tidak
mungkin atau secara wajib absurd (tidak masuk akal/tidak mungkin) tidak
akan pernah punya hubungan atau keterkaitan dengan kekuasaan. Fakta
bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tidak berarti bahwa Dia akan menciptakan
Tuhan yang lain atau bahwa Dia akan membuat angka dua lebih besar
daripada angka tiga, sementara nilai dari dua tetap dua, atau
menciptakan seorang anak sebelum ayahnya, sementara sang anak hadirnya setelah ayahnya.
2.Fakta
bahwa Tuhan memiliki kekuasaan untuk membentuk segala sesuatu, tidak
otomatis berarti bahwa Dia akan membentuk apa saja, namun apapun yang
Dia niatkan, Dia akan melaksanakannya, dan Tuhan Yang Maha Bijaksana,
tidak akan membentuk suatu perbuatan yang tidak bijaksana, bahkan
setelah memiliki kekuasaan untuk membentuk suatu perbuatan tak
senonoh.Dalam pelajaran berikutnya kami akan menerangkan lebih dalam
tentang kebijaksanaan Tuhan.
3.Kekuasaan,
dalam hal ini, termasuk kualitas kehendak bebas. Tuhan Yang Maha Tinggi
memiliki kekuasaan tak terbatas, yang berarti bahwa Dia mempunyai
kehendak bebas yang sempurna, yang tidak terpengaruh oleh apapun.
.
Pelajaran Sepuluh
Sifat-sifat PerbuatanTuhan
Pendahuluan
a) Tuhan Maha Pencipta ( Khaliqiyyah / Creatorship )
b) Tuhan Maha Pemelihara( Rububiyyah / Lordship )
c) Tuhan Yang Layak disembah & di-ibadah-i ( Objek Pengabdian / Uluhiyyah / Divinity)
a) Tuhan Maha Pencipta ( Khaliqiyyah / Creatorship )
b) Tuhan Maha Pemelihara( Rububiyyah / Lordship )
c) Tuhan Yang Layak disembah & di-ibadah-i ( Objek Pengabdian / Uluhiyyah / Divinity)
Pendahuluan
Kita
kini menyadari bahwa sifat-sifat perbuatan adalah konsep yang
diabstraksikan (disarikan) oleh akal denganmembuatsebuah perbandingan
khusus antara esensi ketuhanan yang suci dari Tuhan dan makhluk-Nya dan
dengan mempertimbangkan hubungan yang ada antara keduanya. Dalam konteks
ini Sang Pencipta dan yang diciptakan (makhluk) menimbulkan hubungan
bilateral (dua arah) yang darinya semua konsep penciptaan
terabstraksikan dengan sendirinya. Jika hubungan bilateral ini tidak
dipertimbangkan maka konsep ini tidak dapat diwujudkan.
Pertimbangan
hubungan yang ada antara Tuhan dan makhluk-Nya tidaklah memiliki suatu
perbatasan atau keterbatasan, bagaimana pun juga hal itu dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kelompok umum:
1.Hubungan langsung yang ada antara Tuhan danmakhluk-Nya (seperti hubungan langsung, permulaan dansumber asal).
2.Hubungan
yang merupakan akibat dari hubungan seketika (seperti hubungan yang
berkenaan dengan penyiapan kelansungan hidup bagi makhluk-Nya)
Sebelum
mensarikan sebuah sifat perbuatan bagi Tuhan kadang-kadang perlu pada
awalnya mensarikakn beberapa bentuk hubungan. Hal ini juga mungkin,
bahwa sebuah hubungan selanjutnya berdasarkan beberapa hubungan
bilateral di antara Tuhan dan makhluk-Nya. Satu contoh adalah
‘kepemaafan’/ Maha Pengampun (forgiveness), yang berdasarkan
atas legislasi Ketuhanan (hukum) ilahiyah, di mana masalah kepenguasaan
muncul dari Tuhan dan pelanggaran hukum dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.
Substansi
materi bagi perwujudan sifat-sifat perbuatan adalah melalui
perbandingan antara Tuhan Yang Maha Tinggi dan
makhluk-makhluk-Nya.Sebagaimana telah ditunjukkan, adalah mungkin bahwa
perwujudan dari sebuah sifat perbuatan adalah dengan pertimbangan sumber
asalnya, yang memperkenankan hal itu (sifat-sifat perbuatan) untuk
kembali kepada sifat-sifat esensial. Sebagai contoh jika Sang Pencipta
dipahami sebagai seseorang yang mempunyai kekuatan untuk mencipta,
kemudian hal itu dikembalikan kepada sifat-sifat ke-Maha Kuasa-an, sifat
Maha Mendengar dan Maha Melihat ditafsirkan sebagai pengetahuan
terhadap apa yang dapat didengar dan dilihat, dan ini akan kembali
kepada sifat Maha Mengetahui (‘aliim).
Adalah
memungkinkan bahwa beberapa konsep sifat-sifat esensial dianggap
sebagai berhubungan atau secara aktif terhubung. Dalam kasus ini,
hal-hal itudikenal sebagai sifat-sifat perbuatan.
Konsep ‘pengetahuan’ sebagai contoh, telah digunakan beberapa kali dalam Al-Qur’an Suci sebagai sebuah sifat perbuatan Tuhan.
Bagaimana
pun juga mestilah dipertimbangkan bahwa ketika sebuah sifat perbuatan
bagi Tuhan diabstraksikan dari hubungan yang ada di antara Tuhan dan
suatu eksistensi material,hal ini tergantung ruang dan waktu. Bagaimana
pun juga kondisi ini adalah terbatas pada sisi material, di sisi lainnya
menjadi bebas dari dan maha mulia jauh berada di luar pembatasan
tersebut. Sebagai contoh, untuk mempersiapkan kelangsungan bagi suatu
kebutuhan, yang terbatas ruang dan waktu, adalah sebuah karakteristik
yang disifatkan kepada kebutuhan dan tidak kepada Tuhan Sang Penjamin
Kelangsungan Hidup (Sustainer).
Esensi
Ketuhanan Yang Suci adalah berada jauh di balik suatu kerangka ruang
dan waktu. Point ini membutuhkan sebuah perhatian khusus dan merupakan
kunci bagi banyak kesulitan dan masalah yang muncul di antara polemik
para ulama, ketika berusaha memahami sifat-sifat esensial dan
sifat-sifat perbuatan Tuhan.
a.Tuhan Maha Pencipta(Creatorship / Khaliqiyyah)
Setelah
memapankan eksistensi wajib sebagai sebab awal/pertama bagi penampakan
eksistensi yang mungkin, konsep kepenciptaan dapat disarikan dan
diterapkan kepada eksistensi wajib, dan konsep penciptaan diterapkan
kepada eksistensi yang mungkin. Konsep Pencipta, yang disarikan atas
dasar hubungan esksistensial, adalah sama dengan sebab yang
menganugrahkan eksistensi. Semua eksistensi yang mungkin, yang
membutuhkan sebab ini, adalah kemudianberkenaan dengan penciptaan.
Kata
‘penciptaan’ kadang-kadang dapat digunakan dalam satu cara yang
terbatas, seperti ketika mendefinisikan eksistensi material sebagai
perbandingan dengan konsep ‘pembaharuan awal’ [‘primordial innovation’ (ibda’)
], di mana eksistensi, yang ada lebih dahulu daripada materi juga
dipertimbangkan. Untuk dibawa kepada eksistensi dapat dibagi menjadi
‘pembaharuan awal’ dan penciptaan. Kemampuan Tuhan untuk menciptakan
tidak akan pernah dapat dibandingkan dengan perbuatan manusia, yang
membutuhkan pergerakan dan penggunaan peralatan, yang terkait dengan
perbuatan. Pencapaian perbuatan ini dikenal sebagai hasil dari perbuatan
ini.
Bukanlah
suatu kasus bahwa ‘menciptakan’ adalah satu hal dan ‘diciptakan’ adalah
hal lain, karena Tuhan lebih penting daripada pergerakan dan kekhususan
eksistensi jasadi. JikaTuhan ‘menciptakan’ memiliki suatu rujukan nyata
(misdaq’ ‘ainy)
berupa sebuah konsepsebagai tambahan bagi esensi-Nya, hal itu dapat
dihitung sebagai eksistensi yang mungkin dan hal yang diciptakan di
anatar makhluk-makhluk-Nya dan diskusi bahwa penciptaan akan telah
diulangi (dalam kaitannya dengan hal itu). Sifat-sifat perbuatan lainnya
adalah konsep yang disarikan dengan sebuah perbandingan khusus antara
Tuhan dan makhluk-Nya dan konsistensinya adalah hak akal intelek.
b. Tuhan Yang Maha Kuasa (Lordship/Rububiyyah)
Hubungan
yang ada di antara Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya tidak hanya karena
makhluk/ciptaan adalah akibat dari Tuhan, tetapi ciptaan yang dari semua
aspek eksistensialnya memerlukanAllah SWT. Makhluk/ciptaan seluruhnya
tergantung kepada Allah SWT, dan Ia dapat campurtangan dan mengatur
urusan dengan cara apa saja yang Ia kehendaki.
Ketika
hubungan ini dipertimbangkan dalam suatu bentuk yang umum, konsep
Ketuhanan Yang Maha Kuasa diringkaskan. Manajemen urusan-urusan adalah
faktor yang penting di sini, yang darinya beberapa rujukan konsep ini
dapat diturunkan, seperti konsep: perlindungan dan pemeliharaan, memberi
kehidupan dan menyebabkan kematian, menyediakan makanan atau minuman
bergizi untuk kelangsungan hidup dan memberi bimbingan, dll.
Maqom/stasiun Ketuhanan Yang Maha Kuasa dapat dibagi menjadi dua kelompok umum:
I.Kuasametafisik,
yang meliputi me-manage/mengelola urusandari semua yang ada
danmenyediakan kebutuhan mereka – dengan begitu menyebabkan alam
semesta.
II.
Kuasa legislatif, yang khusus bagi eksistensi itu, yang
mempunyaikemauan bebas dan kecerdasan. Hal Itu meliputi masalah seperti
menjadikan wakil (mengutus) para nabi,menurunkan kitab suci, menyarankan
tanggung-jawab dankedisiplinan dan pembuatan aturan.
Kemutlakan
Kuasa Tuhan berarti bahwa semua makhluk tergantung pada Tuhan.
Ketergantungan yang ada antara makhluk juga kembalinya kepada
ketergantungan kepadaTuhan.
Ia
adalah Yang mengatur urusan-Nya melalui makhluk-Nya, dan Yang
memandueksistensi yang cerdas (melalui akal dan persepsi lainnya) dan
menugaskantanggung-jawab, peraturan dan hukum untuk mereka.
Tuhan
Yang Maha Kuasa adalah serupa dengan konsep Tuhan Yang Maha Pencipta
dalam konsep terkait, bagaimanapun dengan perbedaan bahwa kadang-kadang
hubungan antara makhluk adalah juga dipertimbangkan, seperti tersebut di
awalketika mendiskusikan keberlangsungan hidup.
c. Ketuhanan (uluhiyyah)
Berkenaan dengan konsep Tuhan (illah) dan ketuhanan (Uluhiyyah),
beberapa wacana telah dibahas, yang direkam di dalambuku-buku tafsir
al-Qur’an. Makna yang lebih disukai oleh kita untuk Tuhan (illah) adalah: Sesuatu yang disembah(Ma’abud), atau Sesuatu Yangpantas untuk disembah dan ditaati ( salih lil ‘ ibadah wa ita’a'ah).
Ini adalah cara yang sama dengan konsep: ‘suatu buku’ berarti suatuyang
ditulis dan suatu hal yang mempunyai suatu keunggulan yang tertulis.
Menurut
makna tersebut, sifat Ketuhanan harusdiringkas melalui hubungan
pertanggungjawaban, kewajiban dan pemujaan ataupenyembahan. Walaupun
mereka yang tersesat sudah mengenalidewata/tuhan palsu bagi diri mereka,
satu-satunya yang berhak/layak disembah adalah Tuhan Yang telah
menciptakan mereka, dan itu adalah Tuhan Pencipta alam semesta. Terlepas
dari mengenali Tuhan sebagai EksistensiYang diperlukan Adanya (necessary existent),
Pencipta, Yang Maha Kuasa dan Pemula, tiap-tiap individu harus
mengetahui bahwa Ia (Allah) adalah pantas untuk disembah (diibadahi).
Oleh karenanya inilah seluruh aspek yang dikenaldi dalam kesaksian
Islam: ‘ Tidak ada tuhan (ilahi) selain Allah ( La ilaha illa Allah).
Sifat-sifat Perbuatan Tuhan
Pendahuluan
Kehendak (iradah)
a) Maha Bijaksana (hikmah)
b) Maha Berbicara (kalam)
c) Maha Benar (sidq)
Pendahuluan
Masalah
Kehendak Tuhan adalah suatu hal yang telah sering diperdebatkan.
Berbagai pandangan telah dibahas dan diperdebatkansecara berlebihan,
seperti apakah hal itu dianggap sebagai suatu sifat esenssial (inti
sari) atau sifat perbuatan, apakah hal ituada sejak awal (pre-existent/qadim) atau sementara (haadith) dan apakah hal itu bentuk tunggal atau jamak, dll.
Batas luar dan unsur-unsur
‘Kehendak’ tersebut, dan terutama ‘Kehendak Tuhan’, dibahas di dalam
filsafat. Topik ini adalah sangat luas dan tidak bisa dibahas di sini
secara detil, tetapi kita akan menyediakan suatu definisi ringkas konsep
‘Kehendak’, yang diikuti oleh suatu diskusi ringkas mengenai batas luar
‘Kehendak Tuhan’.
Maha Berkehendak
Ekspresi
‘Kehendak’ dalam penggunaan yang umum diterapkan paling tindak dalam dua
cara: yang pertama, adalah pengharapan atau keinginan, dan yang
lainnyaadalahmemutuskan untuk melaksanakan suatu tindakan. Maknayang
pertama adalah lebih luas dibandingkanmakna yang kedua,sebab makna yang
pertama meliputi menginginkan tindakan diri sendiri, tindakan dari yang
lain dan menginginkan berbagai hal didunia yang eksternal. Makna yang
keduabagaimanapun meliputi hanya tindakannya sendiri.
Kehendak dalam pengertian yang pertama adalah setara dengan cinta kasih (muwaddah) kepada apapun jugaderajat tingkatannya. Di dalam kasus manusia adalah dari kualitas kebetulan dan fisikal (kaif nafsany)
dan dapat diringkas dalam suatu pengertian yang tak terbatas (sebagai
konsep umum) melalui bantuan akal. Konsepumum ini dapat berlaku untuk
eksistensi yang substansiil (muwjudat juwhareyyah) dan bahkan
untuk Tuhan, Yang Maha Tinggi, seperti yang dibahas sebelumnya berkenaan
dengan pengetahuan. Dari sudut pandang inikita dapat mempertimbangkan
cinta (hubb), yang dapat diterapkan bagi Cinta Tuhan dalam
hubungan dengan inti sari (esensi)-Nya (atau dengan kata lain Tuhan
mencintai Esensi-Nya sendiri) sebagai suatu sifat esensi. Karenanya
Kehendak Tuhanberarti cinta kesempurnaan ontologisyangpadatingkatan
awaldiarahkan untukkesempurnaan Tuhandan padatingkatan bawahan diarahkan
untukkesempurnaan eksistensi, yang meluap dari kebaikan dan
kesempurnaanEsensi Ketuhanan.
Bagaimana
pun makna kedua dari Kehendak, yang membutuhkan pembuatan keputusan
untuk mewujudkan sebuah tindakan, adalah suatu sifat perbuatan karena
hal itu terkait dengan keputusan yang terkait dengan waktu dan mempunyai
suatu kualifikasi keruangan. Lebihlanjut al-Qur’an al Karim juga
menggunakan makna ini dalam beberapa kesempatan seperti :
“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalahberkata kepadanya: ‘Jadilah!’ maka terjadilah dia.” (QS Surat Yasin, 36 : 82)
Penting
diingat bahwa terkait dengan sifat perbuatan Tuhan, hal ini tidak
berarti bahwa sebuah perubahan telah terjadi di dalam esensi ketuhanan
atau bahwa suatu kualitas aksidental telah terjadi untuk
menyusun/menperkembangkan Tuhan. Dengan kata lain hal itu dapat
dipertimbangkan sebagai sebuah hubungan dengan sifat perbuatan yang
diterapkan kepada Tuhan, yang disarikan dengan membandinkan perbuatan
penciptaan kepada esensi Tuhan.
MengenaiKehendak,
hubungan, yang dijadikan pertimbangan, adalah bahwa sesuatu yang
diciptakan telah diciptakan dari aspek yang mempunyai kebaikan,
kesempurnaan dan kemanfaatan (maslahat). Keberadaan mereka adalah dalam
ruang dan waktu tertentu danterkait dengan pengetahuan Tuhan dan
cinta.Dia menciptakan mereka diluar keinginan nafsu-Nya dan bukan karena
Dia terpaksa melakukan hal itu. Pengamatan terhadap hubungan ini
menjadi alasan bagi abstraksi konsep terkait yang disebut Kehendak,yang
berada dalam hubungan dengan sesuatu hal yang terbatas dan terlarang
menjadi terbatas dan terlarang. Oleh karena itu konsep relatif (mafhuwm idafiy) adalah memberikan sifat temporalitas dan keberagaman.
a. Maha Bijaksana
Menjadi
sangat terang melalui penjelasan yang diberikan berkenaan dengan
‘Kehendak Tuhan’, bahwa kehendak Tuhan tidaklah terkait dengan
menciptakan sesuatu secara absurd; malahan hal ini secara mendasar lebih
terkait dengan aspek kebaikan dan kesempurnaan dari sesuatu itu.
Meskipun
demikian dalam kaitannya dengan fakta bahwa ada benturan perihal, hasil
daridalam pembusukan dan pembinasaannya, penentuan Cinta Tuhanuntuk
kesempurnaan adalah bahwa keseluruhanpenciptaan adalah dalam yang suatu
cara sedemikian sehingga mereka menerima sebanyak mungkin kesempurnaan
dan kebaikan. Dengan pertimbangan atas hubungan jenis ini, kita dapat
memahami konsep kebermanfaatan, yang tidak berada dengan bebas dari
eksistensi ciptaan, dan oleh karena itu tidak akan menyebabkan produksi
mereka (ciptaan), jauh dari menjadi agen efektif untuk Kehendak Tuhan(
iradah).
Kita
dapat simpulkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menemukan sumbernya
dalam ilmu pengetahuan, kekuasaan, dan cinta kepada kesempurnaan dan
kebaikan, yang merupakan sifat-sifat esensi Tuhan, hal-hal itu akan
selalu terwujud sebagai sesuatu yang bermanfaat. Tipe Kehendak ini (yang
ingin mengirimkan kebaikan dan kesempurnan paripurna) dikenal sebagai
Kehendak yang Bijaksana (iradah hakimah).Sifat perbuatan Tuhan yang lainnya dari sini dapat diabstraksikan, dengan nama Maha Bijaksana (Hakim), yang juga sebagaimana sifat perbuatan yang lainnya kembali kepada sifat-sifat esensi Tuhan.
Orang
perlu ingat bahwa hanya karena pemenuhan manfaat suatu tugas,itu tidak
berarti bahwa manfaat itu adalah penyebab yang terakhir (‘illah gha’iyyah)
bagi TuhanYang Maha Tinggi. Melainkan hal itu terhitung sebagai jenis
sarana untuk mencapai tujuan itu. Penyebab akhir yang pokok untuk
pemenuhan suatu pekerjaan adalah cinta ke arah kesempurnaan esensial
tanpa batas, yang juga secara subordinat berhubungan dengan kesempurnaan
ciptaan.
Maka dari sinilah dikatakan bahwa penyebab utama bagi perbuatan Tuhan adalah penyebab sangat aktif (‘illah fa’ilieyyah)
dan Tuhan Yang Tinggi tidak mempunyai tujuan ekstra selain esensi-Nya.
Bagaimanapun juga subjek ini tidak bertentangan dengan pemahaman bahwa
kesempurnaan, kebaikan dan kemanfaatan dari eksistensi dianggap sebagai
tujuan sekunder. Untuk alasan perbuatan-perbuatan Tuhan di dalam al
Qur’an al-Karim dianggap sebagai penyebab segala urusan, yang kesemuanya
akan kembali kepada kesempurnaan dan kebaikan bagi penciptaan.
b. Maha Berbicara
Salah satu konsep yang terkait dengan Tuhan Yang Maha Agung, adalah konsep ‘berbicara’ (kalam).
Diskusi
tentang‘pembicaraan’ Tuhan, sudah ada sejakmasa lalu di antara
parasarjana filsafat dan theology dan bahkan dikatakan bahwa karena
itulah mengapa mereka menamakan theology sebagai ilmu pembicaraan (ilm al-kalam).
Para penganut ilmu ini yang biasa berdebat tentang apakahBicara-nya
Tuhan adalah sebuah sifat esensi Tuhan, seperti yang kaum Ashariyah
percayai, ataukah hal ini terkait dengan sifat-sifat perbuatan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayaai oleh kaum Mu’tazilah. Salah satu konflik
keras di antara dua mazhab pemikiran ini adalah apakah al-Qur’an yang
merupakan kalam Tuhan diciptakan (makhluk) ataukah bukan makhluk. Hal
ini seringkali membawa kedua kelompok ini mengecam satu sama lain.
Dengan menfokuskan kepada definisi yang diberikan bagi sifat-sifat
esensi dan bagi sifat-sifat perbuatan, menjadi jelaslah bahwa berbicara
adalah sifat perbuatan. Untuk mengabstraksikan konsep ini, seseorang
harus mempertimbangkan siapakah yang dituju (dialamatkan/mukhatab)
dan siapakah yang memahami keperluan pembicaraan melalui sarana
mendengarkan suara, membaca sebuah teks, atau dengan memahami sebuah
konsep dalam pikiran seseorang. Dalam kenyataannya konsep ini
diabstrasikan dari hubungan yang ada di antara Tuhan dan yang
dituju-Nya, di mana Tuhan berkehendak untuk menyampaikan kebenaran
kepada tujuannya, yang menyadari kebenaran. Bertentangan dengan itu,
jika berbicara dianggap sebagai kemampuan atau kekuatan untuk berbicara,
maka kemudian itu menjadi sifat-sifat esensi. Jenis aliran ini telah
kita sebutkan di muka mengenai sifat-sifat perbuatan Tuhan. Bagaimanapun
juga Al Qu’an, dalam pengertian huruf-huruf, kata-kata atau konsep yang
hadir di dalam benak pikiran seseorang adalah makhluk (yang
diciptakan).
Jika
sesorang menganggap ilmu pengetahuan Tuhan sebagai realitas Al Qur’an,
hal ini akan menjadi sifat-sifat esensi Tuhan. Bagaimana pun jenis
penafsiran ini adalah jauh dari pada pemahaman umum dan tak perlu
diindahkan.
c. Maha Benar (Sidq/Truth)
Jika
kalam Tuhan dirujukkan kepada struktur dari, atau sebagai sebuah
perintah, penyataan atau larangan, kerangka itu keluar dari tanggung
jawab praktis dari pengabdian, di mana hal itu tidak dapat disifatkan
sebagai benar atau salah.Bagaimana pun juga sekiranya
(pembicaraan/kalam) adalah dalam bentuk sebuah ramalan kenabian
(prophecy), lalu itu akan disifati sebagai kebenaran, karena Al-Qur’an
al-Karim menyebutkan:
.اًثيِدَح ِهّللا َنِم ُقَدْصَأ ْنَمَو.
[ءاسنلا ةروس : 87 ]
“Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) selain daripada Allah?” (QS, An-Nissa, 4:87)
Maka
tak seorang pun akan punya alasan untuk tidak menerima hal ini.
Sifat-sifat ini dianggap sebagai sebuah dasar untuk berbagai jenis
argumen (yang dikenal sebagai tradisional dan pengabdian/ibadah), yang
digunakan untuk membuktikan topik-topik yang berkaiatan dengan pandangan
dunia atau ideologi.
Di
sisi lain, argumentasi intelektual untuk membuktikan sifat-sifat ini
dapat ditegakkan, pembicaraan Tuhan berasal dari maqom ketuhanan (Ilahiyah/lordship), dan pengelolaan (management)
alam semestadan manusia adalah didasarkan atas ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan. Dengan kata lain, ini berarti bahwa panduan bagi
penciptaan dan sarana untuk mewujudkan kebenaran bagi yang dituju telah
terbukti.
Pelajaran keduabelas
Memeriksa alasan penyimpangan
Pendahuluan
Alasan-alasan penyimpangan
a) Alasan-alasan psikologis bagi penyimpangan
b) Aasan-alasan sosiologis bagi penyimpangan
c) Alasan-alasan Intelektual bagi penyimpangan
Kampanye melawan elemen-elemen yang menyimpang
Pendahuluan
Sebagaimana
telah disebutkan dalam pelajaran pertama, pandangan dunia dapat dibagi
ke dalam dua kelompok: pandangan dunia Ilahiyah dan pandangan dunia
materialistik. Perbedaan utama di antara kedua pandangan dunia tersebut
adalah bahwa pandangan dunia Ilahiyah (Ketuhanan) menerima satu Tuhan
Pencipta Yang Maha Bijaksana sebagai prinsip fundamental, sementara hal
ini ditolak oleh pandangan dunia materialistik.
Pada
pelajaran sebelumnya, kami telah membuktikan wacana yang tepat untuk
membuktikan eksistensi Tuhan, menegakkan sifat-sifat negatif dan
sifat-sifat positif yang sangat penting dan memberikan diskusi berkenaan
dengan sifat-sifat esensi dan sifat-sifat perbuatan.
Untuk
meneguhkan kepercayaan dengan prinsip fundamental ini, kami akan
memberikan kritisisme singkat terhadap pandangan dunia materialistik
dengan menegakkan pandangan dunia Ilahiyah (berketuhanan), yang akan
menyingkapkan bahwa pandangan dunia materialistik adalah tidak berdasar
dan impoten.
Untuk
mewujudkan hal ini, kami akan memulai diskusi berikut dengan
menyediakan alasan-alasan bagi keberangkatan pandangan Ilahiyah ke arah
bid’ah, yang diikuti dengan sebuah penjelasan kelemahan elemen-elemen
dalam pandangan dunia materialistik.
Alasan-alasan penyimpangan
Bid’ah,
atheisme, dan materialisme telah mempunyai masa lalu yang panjang dalam
sejarah umat manusia. Namun demikian, selalu ada jejak-jejak kepercayaan
kepada Sang Pencipta dalam masyarakat manusia. Meskipun
demikian, penyebaran kecenderungan anti-agama yang telah dimulai di
Eropa selama abad ke delapan, dan secara bertahap menyebar luas ke
bagian-bagian lain di dunia.
Walaupun
kedatangan kecenderungan anti agama ini adalah merupakan sebuah respon
terhadap sistem gereja dan ditujukan untuk menghadapi Kritenitas, namun
gelombangnya telah menyapu bagian lain dunia. Kecenderungan anti agama
ini, bersamaan dengan industri, seni dan teknologi Barat, telah diekspor
ke bagian-bagian lain dunia. Selanjutnya, pada abad-abad terakhir,
tranformasi ini dan penyebarannya telah mewarnai secara ekonomi dan
sosial; pemikiran Marxist, yang diterapkan di berbagai negara, hasilnya
adalah kejatuhan nilai-nilai kemanusiaan.
Alasan-alasan
dan faktor-faktor yang diperlukan bagi kemunculan dan pengembangan
pemikiran yang terdistori ini adalah banyak, penyelidikan tentangnya
akan membutuhkan buku terpisah tersendiri. Namun demikian, hal itu dapat
digeneralisasikan ke dalam 3 kelompok, yaitu:
a. Alasan psikologis bagi penyimpangan
Kualitas-kualitas
(manusia) seperti tidak bertanggung jawab, kecerobohan dan hawa nafsu
untuk mengejar kenikmatan adalah semua kecenderungan yang akan
memperdayakan individu manusia ke arah atheisme.
Untuk
individu seperti itu, dari satu sisi, hal ini berarti adanya rasa sakit
dalam penelitian dan penyelidikan yang perlu, khususnya ketika isu-isu
tersebut tidak menyediakan kenikmatan jasmaniah dan material.Maka bagi
mereka yang malas berusaha seperti itu, akan menjadi rintangan terbesar
dalam jalannya. Dari sudut lain, kecenderungan manusia ke arah kebebasan
kebinatangannya, kecerobohannya, kebebasan dari segala batasan dan
disiplin, hanya akan semakin menjauhkannya dari pandangan dunia Tuhan (Ilahiyah).
Penerimaan
terhadap pandangan dunia Tuhan berdasarkan atas kepercayaan kepada
Tuhan Maha Pencipta Yang Maha Bijaksana, akan memunculkan serangkaian
kepercayaan, yang akan mewajibkan tanggung jawab atas setiap perbuatan
sukarela manusia.
Tanggung
jawab ini membutuhkan pengorbangan dan kedisiplinan dalam banyak
bidang. Menerima kedisiplinan dengan kecerobohan di dalamnya adalah
kontradiksi. Maka kecenderungan ke arah kebebasan hewaniyah, bahkan
sekiranya masing-masing individu tidak perduli padanya, menjadi alasan
utama yang karenanya akar tanggung jawab terpenggal, dan secara lebih
fundamental membawa penolakan terhadap eksistensi Tuhan.
Ada
beberapaelemen lainnya, yang menyimpangkan manusia dari
keberagamaannya, dan inilah yang menjadi lebih nampak ketika
kecenderungan lainnya telah terungkap.
b.Alasan Sosiologis bagi Penyimpangan
Ketika
suatu perubahan bentuknampak di dalam suatu masyarakat, yang secara
parsial terkait dengan tokoh-tokoh agama, maka kejadian ini dapat
digolongkan sebagai alasan sosiologis. Perubahan bentuk dari suatu
masyarakat bisa memaksa orang-orang menyalahkan para tokoh pemuka agama,
akibatnya masyarakat yang menjadi tidak puas dengan agamadan
doktrin-doktrinnya.
Alasan
di belakang ini adalah orang kebanyakan itu secara intelektual lemah,
dan tidak mampu untuk menganalisa, menafsirkan dan menyadari
pertimbangan yang benar di belakang peristiwa jahat (korup). Mereka
berpikir bahwa kekacauan dan kebingungan ini adalah karena keterlibatan
otoritas religius dan sebagai hasil dari agama, dengan demikian mereka
berasumsi bahwa kepercayaan religius adalah alasan bagi perubahan bentuk
dan penyimpangan ini. Mereka sesudah itu menjadi tidak puas terhadap
agama dan doktrinnya.
No comments:
Post a Comment