أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Pendeknya, dari uraian di atas, shalat sebagai guru
sejati, hendaknya memberi dampak kenikmatan pada diri kita. Salah satu
cirinya mampu membuat haru. Haru kata Iqbal, adalah tanda spiritual
yang mendalam. Namun tanpa rekayasa atau dibuat-buat. Jika pun tidak
bisa menangis dalam shalat, maka kenikmatan lain misalnya saat
mengamalkan “shalat aktual” yaitu dengan menyantuni fakir miskin dan
anak terlantar. Jika rasa religiusitas tersentuh di sana, maka Maha
benarlah firman Allah swt. Dalam banyak ayat tentang perintah shalat
selalu menyambung kepada keluarkan zakat. “waaqiimushalah,
waatuzzakaah”. Semoga dengan shalat faktual disertai shalat aktual kita
benar-benar mendapatkan pencerahan dan juga kenikmatan nasehat dari
guru sejati, sang Shalat. Wallahu a’lam.
Shalat: Guru Sejati Kita
Di Buntet Pesantren bagian Barat, tepatnya di Kinandran, banyak warga Buntet menanam jati. Di mana-manapun kayu jati memang jadi primadona. Selain mahal, dipercaya sangat kuat menopang bangunan. Hingga salah satu Wali Songo pun dikubur di Gunung Jati, mungkin waktu itu gunung tersbut banyak pohon jatinya. Atau hanya sebagai istilah saja. Tapi hebatnya kyai dulu, lain lagi. Ketika menghadapi penjajah Belanda, istilah untuk pohon jati yang tidak bagus untuk dibuat bangunan, disebut Jati Welanda… Yang paling menarik dan menjadi tema tulisan ini adalah Shalat sebagai guru sejati. Istilah ini pernah dikemukakan oleh salah seorang Kyai Buntet. Saya ingin mencoba membuka dialog, dan mengawali tulsian tentang Fiqh. Ini berkaitan dengan permintaan Pak Jailani teman Kang Darda. Satu lagi sebuah tausiah dari Kyai Buntet yang perlu direnungi?
Kalau saya coba renungi, kata shalat sebagai guru
sejati itu mungkin berkaitan dengan persoalan masalah pembimbingan dan
pengarahan kepada Yang Maha. Coba bila kita renungi, siapakah sebenarnya
yang bisa mengarahkan kepadaNya? Rasa-rasanya hanya shalat satu-satunya
cara. Jadi shalatlah yang bisa menuntun hidup kita. Jika merasa bahwa
yang membimbing kita adalah sang shalat rasanya hidup menjadi nikmat.
Alasannya boleh jadi sebagai berikut:
Pertama, Saat shalat, kita
bertemu dengan Allah swt (bertemu dalam arti menghadap). Bukankah shalat
adalah satu-satunya cara bertemu dengan Allah? “Inni wajajhtu wajhia
lilladzii fatharassamaawati wal ard” (sungguh aku hadapkan wajahku pada
Tuhan pencipta langit dan bumi… dst). Adakah cara lain, lafadz lain yang
mengatur itu? Di sini berarti, shalat sebagai guru yang baik karena
mengajarkan dengan kalimah yang benar dan hak.
Kedua, Shalat adalah jalan
pintas menemui Allah swt. Mungkinkah mengerjakan shalat karena ingin
bertemu dengan orang lain? Jadi, di sini jelas sekali visi dan arah
tujuannya. Bukankah guru sejati adalah yang mampu mengarahkan anak
muridnya agar menjadi selamat?
Ketiga, Dilihat dari
sejarahnya, shalat merupakan hasil dari oleh-oleh pengalaman rohani saat
Isra Mi’raj. Konon, Kanjeng Nabi Muhammad saw langsung bertemu Allah di
Sidratul Muntaha… dan pengalaman ini diceritakan untuk umatnya. Jadi,
shalat merupakan produk original yang sudah berumur ribuan tahun. Jika
shalat itu produk manusia, mungkinkah bisa bertahan ribuan tahun?.
Berarti, tidak ragu lagi karena produk shalat itu langsung dari Allah
swt.
Keempat, Hidup paling enak
diatur oleh wahyu. Jika diatur oleh pikiran barangkali yang ada hanya
bingung dan terhuyung-huyung karena tidak ada pegangan. Nah karena
shalat adalah produk wahyu, maka shalat adalah pegangan yang paling
tepat.
Akhinya, setiap manusia yang kangen dengan Allah akan
melakukan shalat berkali-kali dan yang me¬nun¬tun hidup kita langsung
sang shalat. Jika ini disadari betul-betul oleh kita, pasti hidup terasa
nikmat. Sebabnya karena saat kita shalat langsung bertemu dengan Allah
swt. Karena jalan pintas menemui Allah adalah dengan cara itu (shalat).
Begitu juga karena syareat tentang shalat dan juga sejarah shalat itu
begitu jelas dari peristiwa isra-mi'raj. Maka cukuplah apa yang sudah
dicontohkan oleh Rasulullah saw itu kita ikuti dengan sebaik-baiknya.
Adapun mengenai caranya Rasulullah menyruh para
sahabatnya untuk meniru saja. titik! Tidak pakai diskusi, debat, atau
seminar. Jadi ternyata belajar shalat itu begitu singkat begitu gampang.
Syariat islam biasanya hanya membutuhkan praktek
bukan teori atau lainya. Membaca quran tidak mesti harus mengerti
artinya; shalat, tidak mesti alim dulu atau menunggu tua dulu. Begitu
pula syariat yang lainnya : zakat tidak mesti menunggu kaya.
Singkatnya dari sisi syariat shalat sebagai guru kita
akan ada selalu dihadapan kita dan siap selalu membimbing untuk bertemu
dengan Sang Pencipta… pantas saja jika nabi kangen dengan peristiwa
Isra-Mi’raj, nabi menyuruh Bilal untuk adzan. Kalau masih kangen, beliau
terus menerus shalat panjang sekali. Itulah perbuatan Nabi saw telah
mencontohkan begitu gamblang buat kita bahwa sahalat adalah sebuah guru
sejati dan realita.
Pada bagian pertama tulisan tentang ini menjelaskan
bagaimana shalat sebagai guru sejati. Di sana dijelaskan bahwa guru
sejati yang dimaksud mengarahkan pada muridnya untuk bisa berkomuniksi
dengan Allah, dan shalat sendiri merupakan oleh-oleh dari Isra Mi’raj
Kanjeng Nabi Muhammad saw. Maka pada bagian tulisan ini mencoba membuka
wacana kembali, bagaimana kita bisa menikmati bimbingan sang shalat
sebagai guru sejati itu.
Dalam sebuah buku “Menguak Tirai Gaib” (Mizan:
1998) karya Dr. Jalaluddin Rakhmat dibahas tentang seorang yang ingin
menikmati shalat. Kenikmatan yang dimaksud adalah bisa menangis saat
shalat. Yang menjadi kasus cerita itu adalah kawan kang Jalal seorang
purnawirawan. Ia mengaku sukar sekali menangis kalau shalat. Padahal ia
sendiri jika melihat tontonan seorang anak yang disakiti, kerap timbul
rasa kasihan dan bisa menangis. Namun tidak bisa saat melakukan shalat.
Padahal ia sendiri ingin sekali bisa menangis dengan keras saat shalat.
Kemudian kang Jalal mengatakan pada si Bapak :
“Lebih baik menangis ketika melihat penderitaan orang ketimbang
menangis pada waktu shalat. Menangis pertama lebih bermanfaat ketimbang
menangis yang kedua. Menangis di waktu shalat hanya menguntungkan diri
Anda saja. Boleh jadi, tidak ada bekasnya sesudah itu.”
“Betul, saya pernah menyaksikan seorang dalam
rombongan jamaah haji. Ketika dia shalat di Masjidil Haram, dia
menangis keras. Tetapi begitu keluar dari Masjidil Haram, dia tertawa
terbahak-bahak. Tidak tampak tangisan itu sesudahnya.” Tukas sang
purnawirawan.
Menurut Kang Jalal, kenikmatan dalam shalat bukanlah
ditandai atau diukur dengan menangis. Namun tidak salah jika menangis
dalam shalat. Sebab memang dianjurkan oleh Rasulullah saw : “kalau kamu
tidak bisa menangis, maka usahakan supaya kamu bisa menangis.”
Siti Aisyah bercerita. Ketika malam tiba, beliau
minta izin: “Wahai Aisyah, izinkanlah aku beribadah pada Tuhanku.”
Aisyah berkata: “Ya Rasulullah, aku senang jika engkau dekat denganku,
namun aku juga lebih senang seandainya lebih dekat dengan Tuhanmu.”
Maka segera saja tatkala Rasulullah saw takbiratul ikhram lalu membaca
surat, beliau terisak-isak dalam tangisnya. Begitupula tatkala sujud.
Sehingga ketika hendak masuk waktu subuh, Bilal memberitahukan bahwa
sesaat lagi akan masuk waktu Subuh. Ia menyaksikan Rasulullah saw masih
terisak dalam tangisnya. Bilal heran dan bertanya: “Ya Rasulllah,
mengapa engkau menangis. Bukankah Allah telah mengampuni segala
dosa-dosamu?” Waktu itu Rasulullah saw menjawab: “Bukankah aku belum
menjadi hamba yang bersyukur?”.
Cara Nabi melakukan shalat dengan
menangis lalu diikuti oleh para awliya, para sholihin. Sehingga
generasi kemudian menduga bahwa shalat itu harus menangis. Sehinggalah
kemudian banyak yang menciptakan susasana agar bisa menangis saat
berdoa. Atau diistilahkan dengan spiritual engineering. Padahal
menangis yang tulus dan tanpa rekayasa bisa tercipta dalam kondisi
sendirian. Sehingga bisa saja menangis dalam kondisi berjama’ah namun
dikhawatirkan itu karena suasana kebersamaan yang mempengaruhinya.
Lalu bagaimana dengan kita yang tidak bisa menangis dalam shalat.
Padahal sudah jelas bahwa menangis merupakan salah satu kebiasaan
Rasulullah dan generasi berikutnya. Menurut Kang Jalal, menangis dalam
shalat yang dicontohkan Rasulullah saw itu hanya terdapat pada shalat
sendirian utamanya shalat malam. Tetapi belum ditemukan keterangan jika
dalam shalat fardu. Sebab shalat fardu biasanya disunahkan dibaca
pendek-pendek suratnya. Karena di belakang kita, masih banyak
orang-orang yang memiliki keperluan mendesak atau dalam kondisi tidak
enak badan.
Jika shalat belum memperoleh kenikmatan, maka besar kemungkinan shalat kita belum bisa diterima
Allah swt. Sebab dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang mulia
bersabda: “Pada hari kiamat nanti, ada orang yang membawa shalatnya
kepada Allah swt. Kemudian dia memepersembahkan shalatnya kepadaNya.
Lalu shalatnya dilipat-lipat seperti dilipatnya pakaian yang kumal
kemudian dibantingkan ke wajahnya. Alalh tidak menerima shalatnya.”
Bukan itu saja banyak pula orang yang shalat namun justeru celaka.
“Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang melalaikan
shalatnya.” (QS.107:4-5)
No comments:
Post a Comment