أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam)
Di antara lagu-lagu yang paling sering diperdengarkan pada kesempatan kesempatan semacam itu adalah sebuah ghazal Persia yang dianggap sebagai karya Amir Khusrau, penyair dan pemusik India Abad Pertengahan, yang kepadanya music Hindustan berutang budi, kalau bukan untuk dasarnya, maka setidak tidaknya untuk daya dorongnya yang sangat penting.
Dengan demikian, dalam menjelaskan tentang terminologi ayat Cahaya itu, Tustari berkata: “Ketika Allah berkehendak untuk menciptakan`Muhammad, Dia memunculkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika ia mencapai selubung Keagungan, hijab al-‘azhamah, ia membungkuk dan bersujud di hadapan Allah. Allah menciptakan dari sujudnya itu sebuah tiang yang besar bagaikan kaca kristal dari cahaya, yang dari luar maupun dari dalam dapat ditembus pandang.
Roy, Islamie Syneertistie Tradition, hal. 121 ff., terutama 127 ff., banyak membicarakan tentang kisah-kisah ini, yang dengan jelas dia anggap sebagai tradisi Bengali. Lihat juga ibid., hal. 176; nur Muhammad itu tersembunyi dalam sebuah mutiara putih pada bunga teratai di amrit kunda (air kehidupan) yang terdapat dalam wilayah ke dua tertinggi, ‘alam i jabarut. Lihat lebih jauh Razi, The Path of God’s Bondsmen, hal. 61. Yang menarik, suatu versi modern dari mitos Sufi kuno terdapat dalam ‘Abdur-Rahim, Islamie Book of the Dead, hal. 20-22. Di situ, disebutkan bukan hanya “mutiara putih bagaikan burung merak” dan penciptaannya dari keringat utusan primordial, tetapi juga peringkat peringkat manusia yang berbeda sesuai dengan peranan dari bentuk pre-eksistensi Muhammad yang di atasnya mata mereka jatuh; siapa pun yang melihat kepalanya, menjadi seorang khalifah dan sultan di antara semua makhluk; siapa pun yang melihat tangan kirinya menjadi ahli tulis; siapa pun yang melihat bayangannya menjadi seorang penyanyi, dan seterusnya; mereka yang tidak melihat apa-apa menjadi orang Yahudi, Kristen, Majusi, atau malah orang kafir.*
Aku menciptakannya dari cahayaKu sendiri Dan Aku mencintainya kemarin dan hari ini! Apa yang akan Aku lakukan dengan semua dunia ini tanpa dia? Muhammad-Ku, Ahmad—Ku yang Bercahaya!
Pemilik nur (cahaya) dengan sebatang tongkat ditangannya, memandang ke timur. Penciptaan dimulai dengan nur Muhammad. Allah membawa nur dari hatinya sendiri.
Risalah-risalah pendek dari tokoh Sufi Naqsyabandi India, Miskin, pada abad kesembilan belas memuat paragraf panjang mengenai jamal i Muhammadi, “keindahan Muhammad,” seperti: “Kekasih yang Sejati (Tuhan) telah mengambil cermin Esensi Muhammad di hadapan wajahNya dan berkata ’Aku adalah kekayaan yang tersembunyi . . .”’ (“Risala-i suluk,” dalam Ladzdzat-i Miskin, 2: 74; bandingkan dengan ibid., 2: 88, 96 dan “Tariq-i mahbub,” ibid., 2: 100; dan “Dida.r -i yar,” ibid., 2: 104).
Farista (malaikat: bahasa Persia firisyta) Israfil diciptakan dari hidung Dan Izra‘il dari telinga, Dari mulut keluar Zibril (Jibril) Dari mata munecul Mika ‘il. Bersama setiap farista datanglah 70.000 lagi Dari setiap helai rambut masing-masing farista terlahir farista lain, Dari 300 juta rambut di badan muneul 300 juta farista. Dengan demikian dari nur Muhammad terjadilah penciptaan.
Demi kehormatan sifat, khu, Muhammad dan ikal, gesu, Muhammad, _ Demi kehormatan hati, dil, Muhammad, dan lempung, gil, / Muhammad, Demi keharmatan ketampanan, jamal, Muhammad dan kesempurnaan, kamal, Muhammad, Demi kehormatan selera, dzauq, Muhammad dan kerinduah, syauq, Muhammad, Demi kehormatan jalan, thariqat, Muhammad dan hukum, syariat, Muhammad, Demi kehormatan mahkota, taj, Muhammad dan perjalanan ke langit, mi‘raj, Muhammad, Demi kehaormatan perjalanan, safar, Muhammad dan kemenangan, zhafar, Muhammad, - Demi kehormatan penengahah, syaf`at, Muhammad dan keberanian, syaja‘at, Muhammad. . .
Dan Muhammad Adalah Utusan Allah, Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam)
Salah satu tema pokok (kalau bukan satu-satunya tema pokok) dari prefetologi tasawuf adalah
Cahaya Muhammad, nur Muhammad. Itu adalah seperti cahaya matahari, yang
di sekitarnya segala sesuatu berputar; ia adalah “cahaya nama” yang
oleh Iqbal, seperti juga banyak penyair lain sebelumnya, disebutkan
dalam sajak sajaknya. Gagasan itu telah “ mewarnai setiap ungkapan
kesusasteraan dari Islam mistikal (tasawuf), dan juga telah menjadi ciri
luas dalam Islam rakyat, sejak masa-masa awal hingga abad kita sekarang
ini.
Mengenai
“cahaya” banyak terdapat dalam judul judul buku yang membicarakan
tentang Nabi atau tentang hadis, dari koleksi hadis yang berjudul Misykat Al Masabih, “Ceruk untuk Lampu-lampu,” sampai karya ‘Aqqad Matali‘ An-Nur “Tempat tempat Terbitnya Cahaya;” dari karya Busiri Al-Kawakib Ad-Durriyyah, “Planet-planet yang Bercahaya . . . ,” sampai puisi Turki modern karya Kisakurek dengan judul Cole Inean Nur, “Cahaya yang Turun ke Gurun Pasir.”
Salah satu pengalaman yang paling mengharukan yang dapat dialami oleh seorang pengunjung ke Pakistan atau India adalah qawwali, suatu
perkumpulan yang di dalamnya musik keagamaan dinyanyikan. Penyanyi
utama dan paduan suara pengiringnya lambat laun terbawa perasaannya dan,
seperti kebanyakan para pendengar mereka, tampaknya mencapai tahap
mendekati ekstase.
Di antara lagu-lagu yang paling sering diperdengarkan pada kesempatan kesempatan semacam itu adalah sebuah ghazal Persia yang dianggap sebagai karya Amir Khusrau, penyair dan pemusik India Abad Pertengahan, yang kepadanya music Hindustan berutang budi, kalau bukan untuk dasarnya, maka setidak tidaknya untuk daya dorongnya yang sangat penting.
Syair itu dimulai dengan:
Namidanam
che manzil bud syabgahi ki man budam: Aku tidak tahu tempat manakah
itu, tempat yang pernah kudatangi di malam hari.. . .
dan
setelah membicarakan tentang suatu perayaan malam yang misterius di
mana Tuhan sendiri muncul sebagai pemegang cangkir, penyair itu
mengakhirinya dengan baris yang mencengangkan:
Muhammad syam-i mahfil bud . . . Muhammad adalah lilin di sana — tempat yang pernah kudatangi di malam hari
Muhammad syam-i mahfil bud . . . Muhammad adalah lilin di sana — tempat yang pernah kudatangi di malam hari
Nabi Muhammad adalah
lilin bagi majelis itu, syam’-i mahfil, cahaya yang menerangi kegelapan
dunia ini di mana para pendengar itu berkumpul, lilin yang bersinar
yang di sekelilingnya hati manusia berkerumun bagaikan laron yang
tersihir.
Di
antara semua atribut dan penggambaran yang telah dijalin diseputar
pribadi Nabi untuk menyelubunginya dengan tabir puji-pujian yang
bercahaya, mereka yang menyatakannya sebagai bagian dari alam cahaya itu
adalah yang paling umum. Sesungguhnyalah, Al Quran sendiri (surah 33:46), sebagaimana yang kami pahami, menamai Nabi sirajun munir,
“sebuah lampu yang bersinar”. Suatu ungkapan yang diambil alih oleh
Hassan ibn Tsabit, yang pernah menggambarkan Muhammad sebagai seseorang
yang membawaceahaya dan kebenaran di dalam kegelapan (seperti dalam
surah 5:15);
Datanglah kepadamu dari Tuhan seberkas cahaya dan sebuah kitab yang jelas!
Lebih jauh lagi, dalam menggambarkan perang Badar, Hassan menyatakan bahwa wajah Nabi bersinar bagaikan bulan pumama.
Hassan
ibn Tsabit, Diwan, no. 34, baris 8: bandingkan juga dengan no. 9, baris
21. Ibn ‘Arabi menganggap sahabat Muhammad, Ibn ‘Abbas, sebagai
pencipta sebuah syair puji pujian yang, bagaimanapun juga, memuat
seluruh terminologi teosofis dari masa masa sesudahnya; pengarangnya —
siapa pun dia — menggambarkan cahaya Nabi yang menyinari bumi pada saat
kelahirannya, dan sebagajnya. Lihal: Deladriere, La Profession de Foi
d’Ibn ‘Arabi hal. 125.
Ibn Al Farid pun, dalam puisinya “Tih dallan,” berlagu :
Masyarakat Badr berada dalam arak arakan di mana engkau melakukan perjalanan di malam hari
Tidak, sebaliknya mereka bepergian di siang hari di bawah cahayamu . . .
Dikutip 0leh Arberry, Aspeets of Islamie Eivilization, hal. 66, dan Nieholson, Studies in Islamie Mystieism, hal. 174. Dan
dalam lagu belasungkawanya untuk Nabi yang dipuja puja itu dia
menyebutkan juga cahaya terang yang bersinar pada saat kelahiran
Muhammad, suatu topik yang diulang berkali kali dalam literatur:
Dan dia yang dituntun menuju cahaya yang penuh rahmat, dtunjuki dengan benar.
Pernyataan puitikal ini tampak bagaikan pendahuluan bagi
penafsiran atas ayat Cahaya dalam Al Quran sebagaimana dikemukakan oleh
ahli teologi Muqatil pada abad keenam. Kelihatannya dia adalah orang
pertama yang menafsirkan kata-kata dari ayat ini sebagai mengacu kepada
Nabi:
Allah
adalah cahaya bagi langit dan bumi; persamaan dari cahayaNya adalah
seperti sebuah ceruk yang di dalamnya terdapat sebuah lampu lampu itu
berada dalam sebuah kaca, dan kaca itu seolah olah sebuah bintang yang
bersinar yang dinyalakan dari sebatang Pohon yang Diberkahi,
sebatang pohon zaitun yang tidak berasal dari Timur maupun Barat, yang
minyaknya hampir menyala bahkan sekalipun tidak ada api yang
menyentuhnya: Cahaya di atas Cahaya Allah menuntun menuju Cahaya-Nya
siapa saja yang Dia kehendaki Allah membuat beberapa perumpamaan kepada
manusia Dan Allah mengetahui segala-galanya. (surah 24:35).
Lampu, mishbah,
itulah yang dianggap Muqatil sebagai suatu lambang yang tepat bagi
Muhammad. Melalui dia Cahaya Ilahi dapat menyinari dunia, dan melalui
dia umat manusia dituntun menuju sumber cahaya ini. Kata-kata “tidak
dari Timur maupun Barat” diambil sebagai merujuk ke sifat tugas Muhammad
yang menyeluruh, yang tidak terbatas pada satu bangsa atau ras tertentu
dan yang melampaui batasan batasan waktu dan ruang.
Lihat
Hallaj, “Tasin As Siraj,” dalam Kitab At-Tawasin, hal. 12, yang juga
menggabungkan julukan ini dengan sebutan Makki “sebab dia tabah dalam
kedekatan denganNya” dan harami, “menjadi milik tempat suci (Makkah)”
dikarenakan karuniaanya yang sangat melimpah.
Sampai masa kita ini, salah satu julukan yang paling umum bagi Nabi adalah nur al-huda, Cahaya Penuntun
yang Benar. Tidakkah Muhammad sendiri menyebutkan tentang cahaya yang
menembus dirinya di dalam salah satu doanya, yaitu doa yang termasuk
dalam khazanah kekayaan yang paling berharga dari kaum beriman dari abad
ke abad?
Wahai
Allah, tempatkan cahaya di dalam hatiku, dan cahaya di dalam jiwaku,
cahaya pada lidahku, cahaya di mataku dan cahaya di telingaku, tempatkan
cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di
belakangku dan cahaya di hadapanku, cahaya di atasku dan cahaya di
bawahku. Tempatkan cahaya di syarafsyarafku, dan cahaya di dalam
dagingku, cahaya dalam darahku, cahaya dalam rambutku dan cahaya dalam
kulitku! Berikan kepadaku cahaya, perbanyaklah cahayaku, ciptakan cahaya
bagiku.
Padwiek,
Muslim Devotions, hal. 212; M. Smith, Readings from the Mysties of
Islam, ha. 47. Meskipun ia tetap ada sampai kini melalui suatu rangkaian
lemah pam perawi, doa itu terdapat dalam hampir semua karya tasawuf,
terutama secara pas dalam karya Dard, “Syam’-i Mahfil,”
dalam Chahar Risalah, no. 341, di mana ia menjadi bab yang terakhir dan
juga kata kata Dard yang terakhir; dia meninggal segera setelah
mengulangi doa kesayangan Nabi*
Teori-teori
menyangkut karakter Muhammad yang bercahaya mulai berkembang, atas
dasar penjelasan-penjelasan Muqatil, dalam paruh kedua bas kesembilan.
Adalah seorang tokoh sufi Irak, Sahl Al Tustari (wafat 896), yang
pertama-tama mengungkapkan seluruh Heilsgeschichte itu dalam terminologl
Cahaya Muhammad, dan dia juga mengambil gagasan-gagasannya dari ayat
Cahaya itu. Sebagaimana ditulis oleh penafsir modernnya, Gerhard
Bowering, dalam telaah mendasarnya tentang peranan Nabi dalam teologi
Tustari:
Allah,
dalam keesaan-Nya yang mutlak dan realitas transenden-Nya, ditegaskan
oleh Tustari sebagai misteri yang tak tertembus dari cahaya Ilahi yang
bagaimanapun juga mengungkapkan dirinya sendiri dalam perwujudan
prakeabadian dari “persamaan cahaya-Nya” matsalu nurihi, yaitu, “persamaan cahaya
Muhammad,” nur Muhammad. Asal usul nur Muhammad dalam prakeabadian
dilukiskan sebagai suatu masa bercahaya dari pemuliaan primordial di
haribaan Allah yang mengambil bentuk suatu tiang tembus cahaya, ‘amud, cahaya Ilahi dan membentuk Muhammad sebagai ciptaan utama Allah.
Dengan demikian, dalam menjelaskan tentang terminologi ayat Cahaya itu, Tustari berkata: “Ketika Allah berkehendak untuk menciptakan`Muhammad, Dia memunculkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika ia mencapai selubung Keagungan, hijab al-‘azhamah, ia membungkuk dan bersujud di hadapan Allah. Allah menciptakan dari sujudnya itu sebuah tiang yang besar bagaikan kaca kristal dari cahaya, yang dari luar maupun dari dalam dapat ditembus pandang.
Yang
menarik, Tustari juga mengaitkan surah 53 dengan Cahaya Muhammad. Dia
tidak menafsirkan surah ini sebagai menyangkut penglihatan permulaan
Nabi _atau perjalanannya ke langit, tetapi justru menyatakan bahwa
kata-kata “Dan dia melihat-Nya lagi di waktu yang lain” (53: 13)
mengandung arti “pada awal waktu,” ketika tiang Cahaya Muhammad berdiri
di hadapan Allah, sebelum
dimulainya penciptaan selama sejuta tahun. Dia berdiri di hadapanNya
untuk memuja-Nya, ‘ubudiyyah, dengan keteguhan iman, dan (kepadanya)
diungkapkan misteri oleh Misteri itu sendiri “di pohon Sidrah di Tapal
Batas” (surah 53:14), yaitu pohon di mana pengetahuan setiap orang
berakhir.
Lalu, ketika penciptaan dimulai, Allah “menciptakan Adam dari cahaya Muhammad”.
Cahaya
para nabi berasal darinya, cahaya Muhammad dan cahaya kerajaan langit,
malakut, adalah dari cahayanya, dan cahaya dunia ini dan dunia yang akan
datang berasal dari cahayanya.
Bowering melanjutkan penafsirannya atas doktrin Tustari:
Akhimya
ketika kemunculan para nabi dan alam raya spiritual di dalam pra‘
keabadian telah sempurna, Muhammad dibentuk tubuhnya, dalam bentuk
temporal dan teresterial, dari lempung Adam, yang telah diambil dari
tiang nur Muhammad dalam pra-keabadian. Dengan demikian, penciptaan
cahaya prakeabadian telah disempurnakan: manusia pertama itu dicetak
dari cahaya Muhammad yang telah terkristal dan mengambil sosok pribadi
Adam.
Itu berarti, sebagalmana yang dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi tiga abad setelah Tustari, bahwa_Nabi adalah “seperti benih,bidzr,
umat manusia dan para penyair tak henti-hentinya menyinggung tentang
paradoks itu, yaitu bahwa Muhammad temyata ada lebih dulu dibanding Adam
dalam esensinya, meskipun secara lahiriah dia adalah keturunannya.
Spekulasi-spekulasi Tustari yang membumbung tinggi, yang mempengaruhi
aliran besar dalam pemikiran sufi, diuraikan secara lebih puitikal oleh
muridnya, Hallaj, yang mengatakan dalam Thasin Al Siraj (Thasin Lampu), bab pertama dari karyanya, Kitab Al-Thawasin:
(Dia adalah) sebuah lampu dari cahaya Yang Tak Terlihat, sebuah bulan yang bercahaya di antara bulan-bulan lainnya, yang rumahnya berada dalam lingkaran segala misteri; Kebenaran Ilahi (Tuhan) menyebutnya ummiy dikarenakan késempurnaan aspirasinya yang mulia (himmah) . . . Cahaya cahaya kenabian — dari cahayanyalah mereka muncul, dan cahaya cahaya mereka berasal dari cahayanya, dan tidak ada cahaya di antara cahaya cahaya lain yang lebih cemerang dan lebih terang serta mendahului praeksistensi, daripada cahaya tokoh mulia ini.
(Dia adalah) sebuah lampu dari cahaya Yang Tak Terlihat, sebuah bulan yang bercahaya di antara bulan-bulan lainnya, yang rumahnya berada dalam lingkaran segala misteri; Kebenaran Ilahi (Tuhan) menyebutnya ummiy dikarenakan késempurnaan aspirasinya yang mulia (himmah) . . . Cahaya cahaya kenabian — dari cahayanyalah mereka muncul, dan cahaya cahaya mereka berasal dari cahayanya, dan tidak ada cahaya di antara cahaya cahaya lain yang lebih cemerang dan lebih terang serta mendahului praeksistensi, daripada cahaya tokoh mulia ini.
*Hallaj,
“Tasin As-Siraj,” dalam Kitab At-Tawasin, hal. 9, ll. Lihat juga
puisinya (Syaibi, Syarh Diwan Al-Hallaj, hal. 188, no. 24), dengan
pembukaan ‘Ilm An-Nubuwwa Misbahun min An Nur, ”Pengetahuan kenabian
merupakan cahaya dari segala cahaya . . .”*
Kita
harus ingat bahwa kata-kata ini ditulis kurang dari tiga ratus tahun
setelah wafatnya Nabi. Dari saat itu Nabi yang bercahaya itu muncul di
mana mana dalam karya karya mistikal dan puitikal. Dia sendiri diyakini
pernah mengemukakan pernyataan pernyatan yang berkaitan dengan
peringkatnya yang sangat tinggi, misalnya, “Hal pertama yang diciptakan
Allah adalah cahayaku,”" dan perkataannya “Para sahabatku adalah
bagaikan bintang-bintang” sangat sesuai dengan peranannya sebagai
matahari sebagai pusatnya atau bulan purnama dalam Islam.
Kawan Hallaj, yaltu Syibli yang agak eksentrik, membaca di atas ranjang kematiannya sebuah sajak yang masih dilantunkan dalam qawwali:
Setiap
rumah yang engkau diami Tidak membutuhkan lampu sama sekali, Dan pada
hari ketika bukti bukti dibawakan Maka buktiku adalah wajahmu
Meskipun
sajak ini aslinya tidak dimaksudkan sebagai lagu puji pujian untuk Nabi
(yang akan bertentangan dengan sikap umum Syibli terhadapnya), ia
membuktikan bahwa sejak itu ia dianggap sebagai kiasan bagi wajah Nabi
yang bersinar. Lagi-lagi, Ibn ‘Arabi itulah yang terutama bertanggung
jawab atas peranan pokok cahaya ini dalam ajaran sufi selanjutnya.
Cahaya pertama muncul dari Selubung dari Yang Tak Terlihat, dan dari pengetahuan ke eksistensi konkret, ia adalah cahaya dari Nabi kita Muhammad.
Ibn ‘Arabi menyatakan dalam Pernyataan Keimanannya, dan selanjutnya dia membandingkan Muhammad, siraj munir,
dengan matahari, dan dari sini menyimpulkan bahwa “intelegensi, ‘uqul,
spirit, arwah, intuisi, basha’z’r, dan esensi, dzawat, semuanya
dipelihara oleh esensi yang bercahaya dari Mushthafa yang Terpilih, yang
merupakan Matahari Eksistensi”.
Gagasan-gagasan
dari Ibn ‘Arabi dan penafsirnya, ‘Abdul Karim Al Jili, menjadi dasar
bagi banyak pernyataan dalam puisi di seluruh dunia Muslim di mana Nabi
digambarkan dalam pengertian yang kadang kadang terdengar mengherankan,
bahkan juga mengagetkan, bagi orang luar.
Jili membicarakan, misalnya, tentang haqiqah muhammadiyyah dan yang muncul dalam pra-keabadian sebagaichrysolite putih, yaquta baidha.
Allah melihatnya, dan ia buyar menjadi gelombang gelombang dan zat-zat
cair lainnya, yang dari situ muncullah dunia ciptaan. Tetapi riwayat itu
jauh lebih tua umurnya. Tsa‘labi, dalam karyanya, ‘Ara’is Al Bayan,
yang ditulis tak lama setelah tahun 1000, mengetahui adanya suatu
dongeng yang penuh warna di mana “sebuah mutiara yang bersinar”
memainkan peranan utama. Dalam nada yang tidak terlalu puitikal, Najm
Daya Razi, tokoh seangkatan Ibn ‘Arabi tetapi bukan pengikutnya,
menawarkan sebuah kisah yang serupa mengenai penciptaan: Tetesan
keringat yang bagaikan mutiara yang muncul dari Cahaya Muhammad
merupakan zat untuk menciptakan 124.000 nabi.
*
Menurut Tsalabi, esensi Muhammad digabungkan dari lempung surgawi dan
air dari air mancur surga Tasmin, dan tampak seperti sebutir mutiara
putih yang, karena terpesona oleh pandangan Tuhan yang penuh kasih,
mulai berkeringat. Dari sini, dapat dengan mudah diciptakan hubungan
dengan julukan durra yatima, “si yatim,” yaitu mutiara yang unik, yang menjadi lebih bermakna lagi sebab Muhammad memang seorang anak yatim.
Untuk Tsalabi lihat Goldziher, “Neuplatonisehe und gnostisehe Elemente im hadits.”
Roy, Islamie Syneertistie Tradition, hal. 121 ff., terutama 127 ff., banyak membicarakan tentang kisah-kisah ini, yang dengan jelas dia anggap sebagai tradisi Bengali. Lihat juga ibid., hal. 176; nur Muhammad itu tersembunyi dalam sebuah mutiara putih pada bunga teratai di amrit kunda (air kehidupan) yang terdapat dalam wilayah ke dua tertinggi, ‘alam i jabarut. Lihat lebih jauh Razi, The Path of God’s Bondsmen, hal. 61. Yang menarik, suatu versi modern dari mitos Sufi kuno terdapat dalam ‘Abdur-Rahim, Islamie Book of the Dead, hal. 20-22. Di situ, disebutkan bukan hanya “mutiara putih bagaikan burung merak” dan penciptaannya dari keringat utusan primordial, tetapi juga peringkat peringkat manusia yang berbeda sesuai dengan peranan dari bentuk pre-eksistensi Muhammad yang di atasnya mata mereka jatuh; siapa pun yang melihat kepalanya, menjadi seorang khalifah dan sultan di antara semua makhluk; siapa pun yang melihat tangan kirinya menjadi ahli tulis; siapa pun yang melihat bayangannya menjadi seorang penyanyi, dan seterusnya; mereka yang tidak melihat apa-apa menjadi orang Yahudi, Kristen, Majusi, atau malah orang kafir.*
Dalam
riwayat inilah para penyair Turki dan Bengali melagukan peranan yang
menakjubkan dari cahaya Muhammad, sebagaimana, misalnya, yang dilakukan
oleh Khaqani dalam Hilyah Turkinya:
Allah (haqq) menyukai cahaya ini dan berkata: “Kawanku tercinta (habibi)!” ` Dan menjadi terpihat (‘asyiq) oleh cahaya ini. . .
Dan
kemudian cahaya primordial ini, yang berkeringat karena terpesona dan
takjub, menghasilkan bertetes tetes peluh, yang masing masing tetesnya
menjadi seorang nabi; ialu setahap demi setahap, sebuah samudera, uap
air, dan bola bola dunia muncul dari cahaya ini. Para sufi sebelum Ibn
‘Arabi senang sekali menggunakan pandangan Tustari mengenai tiang cahaya
pra-keabadian, dan beberapa bagian dari puisi Persia Abad Pertengahan
memberikan suatu gambaran yang lebih mengesankan dibanding baris baris
‘Attar dalam bagian pendahuiuan dari Manthiq Al Thayr:
Yang
pertama tama muncul dari kedalaman Yang Tak Terlihat Adalah cahayanya
yang murnl – tak perlu dipertanyakan dan tak perlu dlragukan lagi!
Cahaya yang tinggi ini membuka tanda-tanda ~ Tahta, Penunjang kaki, Pena
dan Lembaran Catatan dengan demiklan muncul. Satu bagian darl cahayanya
yang murni menjadi dunia, Dan satu bagian Adam dan benih umat manusla.
Ketika cahaya yang agung ini berslnar, la jatuh Di hadapan
Allah, bersujud dengan hormat. Selama berabad abad ia tetap bersujud
Dan lama sekali berserah diri pula, Dan dari tahun ke tahun ia berdiri
tegak dalam doa, Sepanjang hidup mengucapkan pernyataan iman: Doa Lautan
Cahaya rahasia ini Memberikan kepada umat ritus doa!
Tetapi
bukan hanya para penyair utama yang pandai saja yang membicarakan
tentang Muhammad yang bercahaya; mereka diikuti, bahkan dilampaui, oleh
para penyair kelana rakyat. Maka Yunus Emre, pada akhir abad ketiga
belas, menyatakan bahwa Allah berfirman:
Aku menciptakannya dari cahayaKu sendiri Dan Aku mencintainya kemarin dan hari ini! Apa yang akan Aku lakukan dengan semua dunia ini tanpa dia? Muhammad-Ku, Ahmad—Ku yang Bercahaya!
Pada waktu yang hampir bersamaan, seorang sufi di India menulis, dalam bahasa Persia:
Inilah cahaya Allah (haqq), yang mewujud dalam sosok pribadi Nabi, Sebagaimana cahaya bulan diambil dari matahari.
Inilah cahaya Allah (haqq), yang mewujud dalam sosok pribadi Nabi, Sebagaimana cahaya bulan diambil dari matahari.
Pangerah
Kalhora, Sarfaraz Khan, dari Sindh, yang menggubah suatu kalimat yang
menyentuh hati untuk Nabi selama berada dalam penjara pada 1774, seperti
para penulis yang tak terbilang jumlahnya sebelum dia, mengatakan
bahwa:
Tidak ada ciptaan, tldak ada malaikat, tldak ada pula langit atau bumi — Cahayamu cemerlang menyinari segalanya.
Maulana Rumi juga memuji muji sifat sifat yang menakjubkan dari cahaya primordial itu:
Jika saja satu cabang dan berjuta cabangnya terbuka, Beribu ribu eklesiastik Kristen akan segera melepas sabuk kekafiran mereka.
Begitu pula, sebagaimana dilagukan oleh Jami‘, cahaya ini dapat mengubah keadaan kaum Muslim menjadi lebih baik:
Setiap
orang yang terkena cahaya kebaikanmu (atau, matahari: mihr) Akan
menjadi merah mukanya (dihormati) diseluruh dunia bagaikan fajar.
Dan sebelumnya Rumi lagi lagi bertanya:
Bagaimana mungkin kaml melakukah kesalahan? Karena kami berada dalam cahaya Ahmad!
Keikut
sertaan dalam cahaya Muhammad inilah yang membedakan orang beriman yang
sejati, dan setelah dia menenggelamkan dirinya ke dalam cahaya
primordial ini, neraka akan berkata kepadanya: “cahayamu telah mematikan api ku”.
Sebab api neraka, sebagai ciptaan, dapat dimatikan, sedangkan Cahaya
Muhammad, yang telah ada dalam prakeabadian, tidak dapat diganggu gugat.
Pada tingkat yang berbeda konsep Muhammad sebagai nur al anwar,
“cahaya dari segala cahaya” dikaitkan dengan dongengan bahwa dia tidak
mempunyai bayangan. Sebagaimana dijelaskan oleh Najm Razi, dia, dari satu sudut pandang, adalah matahari, dan matahari tidak mempunyai bayangan
sebagaimana dia, dari sudut pandang yang lain, “adalah raja agama,” dan “raja itu adalah bayangan Tuhan
di atas bumi,” dan sebuah bayangan tentu saja tidak mempunyai bayangan. Juga dikatakan bahwa cahaya ini dapat menyala seperti lampu di gelap malam. Para seniman kaligrafi menganggap wajar bahwa karena alasan ini tak satu pun dari nama-nama asli Nabi Muhammad, Ahmad, Hamid, dan Mahmud, ataupun julukannya rasul Allah mempunyai tanda tanda pembeda dalam penulisan bahasa Arab: cahayanya tidak ternoda oleh titik-titik hitam ketika nama dan statusnya ditulis.”
di atas bumi,” dan sebuah bayangan tentu saja tidak mempunyai bayangan. Juga dikatakan bahwa cahaya ini dapat menyala seperti lampu di gelap malam. Para seniman kaligrafi menganggap wajar bahwa karena alasan ini tak satu pun dari nama-nama asli Nabi Muhammad, Ahmad, Hamid, dan Mahmud, ataupun julukannya rasul Allah mempunyai tanda tanda pembeda dalam penulisan bahasa Arab: cahayanya tidak ternoda oleh titik-titik hitam ketika nama dan statusnya ditulis.”
Di
wilayah wilayah tertentu seluruh dongengan itu berkembang dari
spekulasi spekulasi mengenai nur Muhammad. Cara yang digunakan oleh
seorang penyair sufi Bengal dari abad kelima belas, Syaikh Ehand, untuk
melukiskan awal penciptaan tentu saja tidak akan dapat diterima oleh
kaum Muslim yang lebih ortodoks dan kurang berminat kepada puisi, tetapi
itu kurang lebih merupakan suatu sarana untuk menyebarkan
pemikiran-pemikiran yang disebutkan dalam tulisan tulisan Ibn ‘Arabi dan
para penggantinya:
Pemilik nur (cahaya) dengan sebatang tongkat ditangannya, memandang ke timur. Penciptaan dimulai dengan nur Muhammad. Allah membawa nur dari hatinya sendiri.
Setelah
melukiskan bagaimana nur Muhammad dikaruniai kesadaran, nafsu, akal,
tujuan, kekuatan, dan juga kematian, dia melanjutkan:
Maka
Allah mengucapkan kata kun (Jadllah), Kaf dan nun, kedua huruf ini
tercipta, Dan dengan menggabungkan kedua huruf ini, Allah mengungkapkan
diri-Nya. Kaf mewakili kalimah (pernyataan iman) dan nun mewakili nur (cahaya), dari salah satu antara keduanya. Karena keeintaan-Nya kepada nur, Allah menetapkan alam raya, Dengan melihat keindahan nur, dia menjadi terpesona Dan terpikat dan memandang kepadanya . . .
Kesamaan
dengan pelukisan Khaqani mengenai tindak penciptaan (yang tersebut di
atas) tampak jelas. Hubungan silang antara spekulasi spekulasi Sahl
Al-Tustari, Hallaj dan Ibn ‘Arabi di satu pihak, dan doktrin doktrin
Syi‘ah tentang cahaya para Imam di pihak lain, adalah sangat mungkin,
tetapi sulit sekali untuk memperkirakan artikulasi mereka yang
setepatnya. Hal yang sama juga berlaku untuk pengaruh dari gagasan
gagasan Helenistik-Makrifat yang mungkin merupakan dasar dari seluruh
mistikisme cahaya serta dasar dari tradisi-tradisi lain di mana Nabi
ditinggikan peringkatnya menjadi hampir seperti manusia super.
Banyak
riset telah dilakukan untuk menyelidiki aspek-aspek profetologi
mistikal ini, tetapi gambaran sejarah yang sempurna masih bélum jelas
sepenuhnya. Sejalan dengan berkembangnya gagasan bahwa Muhammad
merupakan cahaya asli dalam penciptaan, timbul keinginan untuk
mengangkat Nabi dalam setiap hal yang memungkinkan, dan memberinya
kedudukan yang jauh melebihi peringkat manusia. Kecenderungan yang
semakin meningkat adalah melupakan bahwa sebagian dari para tokoh sufi paling awal — di antara mereka adalah wakil pertama tasawuf cinta, Rabi‘ah dari Basrah (wafat 801) — pemah menyatakan bahwa kecintaan kepada Allah telah memenuhi hati mereka sebegitu rapatnya sehingga tidak ada lagi ruang bagi cinta kasih yang khusus untuk Nabi.
semakin meningkat adalah melupakan bahwa sebagian dari para tokoh sufi paling awal — di antara mereka adalah wakil pertama tasawuf cinta, Rabi‘ah dari Basrah (wafat 801) — pemah menyatakan bahwa kecintaan kepada Allah telah memenuhi hati mereka sebegitu rapatnya sehingga tidak ada lagi ruang bagi cinta kasih yang khusus untuk Nabi.
Tetapi satu abad kemudian, ketika sufi Al Kharraz memberikan
jawaban yang sama kepada Nabi, yang dilihatnya di dalam mimpi, dia
menerima jawaban: “Orang yang mencintai Allah, pasti juga mencintaiku!”.
Sekalipun demikian, beberapa tokoh sufi dari masa sesudahnya masih
takut untuk memberikan kepada Nabi kedudukan yang terlalu tinggi.
Syibli, misalnya, berkata kepada Allah ketika dia mengucapkan panggilan
untuk shalat (yang
berisi dua pengakuan iman): “Jika Engkau tidak memerintahkannya, aku
tidak akan menyebutkan nama siapa pun di samping namaMu” Tetapi
keragu-raguan semacam itu, yang muncul dari perasaan bahwa menyebutkan
tentang “utusan Allah” di tempat yang begitu menonjol akan merusak
Keesaan Allah yang tak ada bandingnya, dihapuskan oleh banyak sufi dari
masa selanjutnya.
Hujwiri,
ketika berbicara tentang perjalanan Bayazid Bistami ke langit,
mengungkapkan tentang pertanyaan yang banyak membingungkan para sufi:
“Apa yang harus aku lakukan?” Allah menjawab: “Wahai Abu Yazid, engkau
harus membebaskan dirimu dari ’ke-engkau-an’ dengan menjadi pengikut
kekasih-Ku. Sapulah matamu dengan debu kakinya, dan ikutilah dia terus.”
Setidak-tidaknya
sejak masa hidup Muqatil, pemuliaan mistikal terhadap Muhammad
berkembang pesat. Banyak hadis kini dikutip untuk membuktikan bahwa dia
merupakan makna dan tujuan penciptaan. Dalam salah satu hadis dia
berkata: “Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berwujud antara
air dan lempung,” yaitu, belum tercipta.”
Nabi
juga diriwayatkan pernah berkata, “Yang pertama tama diciptakan Allah
adalah jiwaku;” tetapi orang mendapati penyataan petnyataan yang
bertentangan seperti “Yang pertama-tama diciptakan Allah adalah Pena”
(yang ternyata “identik dengan Jiwa Muhammad”) atau “Akal.” Najm Razi dengan
terampil menggabungkan ketiga hadis yang tampaknya saling bertentangan
itu dengan menafsirkan ketiganya sebagai menyangkut Nabi: “Ketika Allah
Yang Mahakuasa menciptakan jiwa Muhammad dan memandangnya dengan penuh
kasih sayang, rasa malu menguasai jiwanya, dan mengakibatkannya jadi
terbelah dua, separuh dari Pena Allah menjadi Jiwa Nabi, dan separuh
yang lain menjadi Akal Nabi”.
Yang sangat penting dalam perkembangan ini adalah sebuah hadits qudsi, yaitu wahyu di luar Al-Quran, di mana Allah berfirman: Laulaka ma khalaqtu’l-aflaka, “Jika engkau tidak ada (yaitu, tetapi demi engkau), Aku tidak akan menciptakan dunia itu”.
Hadis
ini menjadi begitu panting, terutama dalam` bahasa puitikal, sehingga
Muhammad sering disapa sebagai “penguasa laulaka”. Masih ada lagi firman
Ilahi lainnya yang dikutip berulang ulang sebagai bukti bagi peringkat
Nabi yang sangat tinggi, terutama dalam tradisi India:
“Dari
Tahta sampai ke sesuatu yang ada di bawah debu, segala sesuatu mencari
keridhaanNya, dan aku lebih dulu mencari keridhaanmu, wahai Muhammad”.
Para sufi dan penyair masa sesudahnya tidak ragu ragu untuk menerapkan kepada Nabi hadits qudsi yang berbunyi:Kuntu kanzan makhfyyan “Aku adalah kekayaan yang tersembunyi, dan Aku ingin dikenal; itulah sebabnya
Aku menciptakan dunia” Allah, karena ingin sekali dalam kesendirian
pra-keabadianNya untuk dikenal dan dicintai, meciptakan Muhammad sebagai
cermin pertama cahaya dan keindahan-Nya, suatu cermin diimana Dia dapat
melihat diriNya sendiri dengan penuh kecintaan. Oleh karena itu, hadis
yang berbunyi “Siapa yang pernah melihatku, telah melihat Al Haqq”
(telah melihat realitas, Kebenaran, yaitu Allah)“ sering ditafsirkan
sebagai mengandung arti bahwa Muhammad itu benar-benar merupakan cermin
sempurna Keindahan llahi, tempat perwujudan semua nama dan atribut
Ilahi, yang melalui keindahannya orang akan memahami Keindahan dan
Kesempurnaan Ilahi.“
*
Furuzanfar, Ahadits-i Matsnawi no. 163, dari Bukhari dan Muslim. Dalam
Suyuti, Al Jami’ As-Shaghir, yang dikutzip oleh Furuzanfar, hadis itu
dikemukakan dengan tambahan la yatazayya bi, “sebab
Setan tidak mengambil bentuknya;” yaitu bahwa melihat Nabi dalam suatu
mimpi atau bayangan berarti benar-benar melihat dia. Bagaimanapun juga,
penafsiran akan haqq, “kebenaran,” sebagai Kebenaran Ilahi menjadi umum
setidak tidaknya dari masa Al-Hallaj; dia menafsirkan perkataan ini
sebagai yang mengacu kepada Muhammad dalam keadaan menyatu mutlak dengan
Tuhan, ‘ayn al-jam‘ (Kitab At Tawasin, hal. 80, ulasan mengenai “Tasin
As-Siraj”). Rumi mengemukakan bahwa Nabi pemah berkata “Ketika engkau
melihatku berarti engkau melihat Tuhan,” dan Iqbal mengambil gagasan itu
dalam puisinya yang baru, Armaghan-i Hijaz, hal. 71. Hal itu diterima secara luas dalam pengertian ini di kalangan para Sufi.
Risalah-risalah pendek dari tokoh Sufi Naqsyabandi India, Miskin, pada abad kesembilan belas memuat paragraf panjang mengenai jamal i Muhammadi, “keindahan Muhammad,” seperti: “Kekasih yang Sejati (Tuhan) telah mengambil cermin Esensi Muhammad di hadapan wajahNya dan berkata ’Aku adalah kekayaan yang tersembunyi . . .”’ (“Risala-i suluk,” dalam Ladzdzat-i Miskin, 2: 74; bandingkan dengan ibid., 2: 88, 96 dan “Tariq-i mahbub,” ibid., 2: 100; dan “Dida.r -i yar,” ibid., 2: 104).
Ibn
‘Arabi menempatkan hadis mengenai “kekayaan tersembunyi” itu pada pusat
sistemnya, dan pada diri penggantinya serta penafsir puisinya, ‘Jami,
para penyair itu berlantun:
Allah menjadikanmu cermin Esenssi Sebuah cermln untuk Esensi yang unik
atau:
Dari “Aku adalah kekayaan” sifatmu yang sejati menjadi jelas: Sosokmu adalah cermln Cahaya sempurna
Dari “Aku adalah kekayaan” sifatmu yang sejati menjadi jelas: Sosokmu adalah cermln Cahaya sempurna
Nabi
juga dipandang sebagai benih dan buah penciptaan, atau sebagai pohon
besar — suatu cerminan dari dongeng-dongeng mengenai Pohon Kosmik atau
Pohon Kehidupan. Maulana Rumi menafsirkan mimpi seseorang mengenai
sebatang pohon di pantai samudera sebagai berikut: “Samudera yang tak
berbatas itu adalah Kebesaran Allah Yang Mahatinggi, dan pohon yang
besar itu adalah eksistensi Muhammad yang diberkahi, dan cabang cabang
pohon ini adalah peringkat peringkat para nabi dan kedudukan orang orang
suci, dan burung-burung besar itu adalah jiwa jiwa mereka, dan
lagu-lagu yang berbeda yang mereka nyanyikan adalah misteri-misteri dan
rahasia rahasia lidah mereka”.
Gagasan-gagasan
yang serupa – yang jauh lebih dikenal oleh kaum Muslim Abad Pertengahan
dibanding fakta-fakta sejarah mengenai kehidupan Nabi — terdapat,
misalnya, dalam literatur Indo-Muslim. Pada abad keenam belas Manjhan
berlantun dalam karya epiknya, Madzumalati, setelah menyebutkan tentang “cahaya Muhammad”:
Muhammad,
setelah menjadi akar pohon (kosmik), Seluruh alam raya menjadi
cabangnya. Tuhan memasanghan mahkata sembilan lakh (100.000an) di atas
kepalanya. Tidak ada yang dapat menyamainya. Dia adalah tubuh itu, dan
seluruh dunia adalah cerminannya. Dia adalah pencipta tersembunyi yang
dikenali setiap orang; Muhammad, yang merupakan perwujudan Tuhan, tak
seorang pun tahu. Dia yang bisa dilihat, tak terlihat dan tak terbatas,
Yang sama telah mengambil bentuk Muhammad,
Nama bentuk itu tetaplah Muhammad. . . .
Nama bentuk itu tetaplah Muhammad. . . .
Kepercayaan
kepada pra-eksistensi esensi Muhammad ini, yang pertama tama diuraikan
oleh Sahl Al Tustari dan Hallaj, yang dipuji puji dengan kata-kata indah
oleh para pengarang seperti Al-Tsaflabi dan dibuat sistematik menjadi
teori oleh Ibn ‘Arabi, selanjutnya meresap ke dalam ajaran tasawuf.
Sebagaimana ditulis oleh seorang India dari akhir abad kesembilan belas
dalam salah satu dari banyak risalahnya mengenai ”Sang Kekasih”.
Benih
esensi Muhammad itu diselubungi dan tak terlihat di lahan
non-eksistensi. Ketika matahari Eksisten yang Nyata dan Kekasih yang
Nyata (yaitu Tuhan) dipancarkan atasnya, dan ketika benih itu, yang
merupakan “Rahmat bagi seluruh dunia,” menerima air Rahmat, ia
mengangkat kepalanya dari lahan non-eksistensi, dan segala sesuatu di
samping Tuhan, yang terdapat di antara bumi dan Tahta, antara Timur dan
Barat, mengangkat kepalanya dari rahim yang diberkahi dari Esensi
Muhammad dan menemukan kesegaran dan pesona. Oleh karena itu Tuhan
berfirman, Laulaka, “Tetapi demi engkau . . .” jika bukan karena Muhammad, tidak akan ada manusia, Dan kedua dunia itu tidak akan tercipta.
Dalam
tasawuf setelah Ibn ‘Arabi, pra eksistensi Nabi, yang dinamakan al
haqiqah al Muhammadiyyah, dianggap sebagai sumber semua aktivitas
kenabian. Sebab haqiqah Muhammadzyyah ini — suatu istilah yang sering
diterjemahkan sebagai “Pola Dasar Muhammad” — mewujudkan dirinya pertama
kali dalam diri Adam, lalu dalam diri semua nabi lain, sampai ia
menemukan ungkapannya yang sepenuhnya sekali lagi dalam diri Muhammad
yang historikal, yang karenanya menjadi Alfa dan Omega dari penciptaan.
Muhammad sang Nabi adalah perwujudan yang mencakup keseluruhan “dan
sempurna dari cahaya primordial, dan bersamanya daur perwujudan itu
berakhir, sebab dia adalah Penutup para Nabi. Dalam tradisi Arab, Ibn Al
Farid (wafat 1235) ada di antara tokoh-tokoh pertama yang mengungkapkan
pemikiran pemikiran semacam itu, dalam Ta’iyyah-nya yang besar:
Dan
tak satu pun dari mereka (para nabi sebelumnya) yang tidak menyeru
umatnya Menuju Kebenaran dengan karunia Muhammad dan karena dia adalah
pengikut Muhammad.
Gagasan-gagasan
ini selalu diulang ulang dalam puisi sesudahnya. Dalam tradisi Persia,
Jami‘-lah yang terutama suka menyanyikan, dalam syair pembukaannya yang
panjang dari karya karya epiknya, mengenai perkembangan yang menakjubkan
ini. Menurut kata katanya, risalah setiap nabi yang pernah hidup tidak
lain adalah bagian dari risalah Muhammad yang sangat luas:
Cahayanya
muncul di dahi Adam Sehingga para malaihat menekurkan kepala mereka
bersujud; Nuh, di tengah bahaya banjir, Menemukan pertolongan darinya
dalam pelayarannya; Harum karunianya sampai kepada Ibrahim, ‘ Dan
mawarnya bermekaran dari tumpukan kayu bakar Namruj. Yusuf mendukungnya,
di istana kebaihan (Hanya) seharga seorang budak, tujuh belas dirham.
Wajahnya menyalakan api Musa, Dan bibirnya mengajarkan kepada ‘Isa bagaikan menghiduphan orang yang mati.
Baris-baris
semacam itu dapat membantu kita memahami mengapa para tokoh sufi dari
masa selanjutnya biasanya berusaha untuk menyatu dengan haqiqah
Muhammadiyyah, yang kini dianggap sebagai tahap terakhir di jalan itu.
Dalam perjalanan ke sana mereka naik, dan akhirnya mélampaui tahap-tahap
semua nabi lainnya. Dengan demikian, sufi itu mungkin merasa di satu
waktu bahwa dia telah mencapai tahap Nuh dan mengalami banjir itu, dan
ada kemungkinan bahwa dia atau yang lain lainnya akan tetap berada di
salah satu tahap ini; sebab hanya sedikit, barangkali, yang dikaruniai
penyatuan dengan prinsip pertama penciptaan, yaitu Pola Dasar Muhammad.
Kami mendapatkan catatan catatan dari para pemimpin sufi yang
menceritakan tentang jalan yang mendaki menuju haqiqah Muhammadiyyah
ini, dan puisi sufi, terutama yang ditulis oleh para pemimpin
tarikat-tarikat sufi, penuh dengan perujukan perujukan ke kemajuan dalam
tahap tahap itu.
*Menurut
Aflaki, Manaqib Al-‘Arifin, hal. 614, bab 4, para. 3, bahkan Rumi
mengatakan: “Para sarjana luar mengenal kisah kisah, akhbar, tentang
Nabi; Maulana Syamsuddin tahu tentang misteri misteri, asrar, Nabi, dan aku adalah tempat perwujudan dari cahaya cahaya, anwar, Nabi”.*
Yah, kecintaahku tumbuh sebelum Adam, Aku bersama dengan cahaya Ahmad di ketinggian
demikian
dilantunkan oleh Ibrahim Al Dasuqi, pendiri sebuah persaudaraan di
Mesir pada abad ketiga belas. Di bawah pengaruh Ibn ‘Arabi, yang
menyatakan dirinya sebagai “pewaris sifat menyeluruh Nabi,” al-thabi‘ah
al-jam‘iyyah, dan “pewaris Tahap Muhammad, al—maqam al-muhammadiy, puisi
semacam itu menjadi semakin popular. Ibn ‘Arabi sendiri telah mewarisi,
pada umur tiga puluh tiga (pada 1197-98), maqam muhammadiy melalui
suatu pentahbisan di hadapan Kawan Tertinggi, al mal’a al a‘la, dan telah menjadi “penutup orang orang suci,” orang suci terakhir di hati Muhammad, ‘ala qalb Muhammad. Pernyataan
ini mendorongnya untuk mengutarakan gagasan gagasannya dengan cara yang
sangat berani. Tetapi adalah menarik untuk dicatat bahwa rekan
sezamannya yang lebih muda, Syams-i Tabrizi, pemberi ilham yang kuat
kepada Maulana Rumi, mengatakan bahwa meskipun Ibn ‘Arabi pernah
menyatakan, “Muhammad adalah penjaga tirai kita,” ternyata “dia tidak
(benar-benar) mengikutinya” — suatu tuduhan yang telah banyak diulang
sampai masa kita sekarang ini oleh banyak golongan Muslim anti-sufi.
Dalam
sistem Ibn ‘Arabi, Muhammad tampil sebagai tokoh yang berpengaruh luas,
“dijaga oleh aliran karunia yang paling suci dan paling tinggi,” al faidh al aqdas al a‘la. Dia adalah Manusia Sempurna, yang pada dirinya pleroma atribut-atribut
dan nama nama Ilahi tercermin. Maka timbullah pernyataan dari orang
orang yang telah mencapai penyatuan dengan haqiqah Muhammadiyyah bahwa
mereka dikaruniai” sifat menyeluruh” atau dibedakan oleh julukan al-jami, Yang Komprehensif (seperti ditulis oleh Mir Dard dalam penjelasannya tentang upayanya untuk naik melalui tahap-tahap para nabi). Dalam
teori teori ini, Muhammad menempati kedudukan mikrokosmos yang
mewakili, atau mencerminkan, dalam dirinya makrokosmos — dia adalah
benar benar cermin yang diciptakan Allah untuk mengagumi Diri-Nya
Sendiri. Hatinya, seperti dikatakan oleh murid Ibn ‘Arabi, Kasyani,
dalam ulasannya mengenai surah 7:54, setara dengan Tahta llahi: kalimat
dalam Al-Quran “Siapa yang ada di Tahta” mengandung arti “di atas Tahta
hati Muhammad, dengan mewujudkan Diri-Nya sepenuhnya dengan seluruh
atribut-Nya ke dalam sosoknya.
Sebagai
insan kamil, Manusia Sempurna, Muhammad menjadi penghubung antara Allah
dan dunia ciptaan; dia, bisa dikatakan sebagai barzakh, penengah di
antara Yang Pasti dan eksistensi yang bergantung. Peranan
Nabi sebagai prinsip penengah ini terungkap, menurut ajaran Ibn ‘Arabi,
dalam kata-kata pengakuan iman itu sendiri, Muhammad rasul Allah:
Muhammad adalah “prinsip yang mewujud,” rasul, utusan, adalah
“perwujudan prinsip,” dan Allah adalah “Prinsip itu Sendiri.”
Unsur
rasul itulah yang menghubungkan Prinsip itu Sendiri dengan prinsip yang
mewujud. Dalam kedudukan ini Nabi menunjukkan suatu sifat ganda:
kontemplatif dan reseptif, sebab dia merupakan sarana bagi wahyu Ilahi,
tetapi juga tetap aktif dalam pengertian bahwa dia melaksanakan kehendak
Ilahi di dalam dunia ini. Dia dapat dipandang sebagai prinsip pertama
penciptaan, dan karenanya disamakan, oleh beberapa tokoh sufi yang lebih
cenderung kepada filsafat, dengan Akal Universal; kadang kadang, dalam
lagu lagu pujian yang puitikal, Akal Universal itu bahkan digambarkan
sebagai bayi jika dibandingkan dengannya.
*Rumi,
Diwan, no. 1793. Bandingkan juga. dengan baris yang terkenal dari karya
Nizami dalam “Makhzan Al Asrar” (Kulliyat-i Khamsah, hal. 2):
Ahmad sang Utusan, yang di hadapannya akal menjadi debu Kedua dunia terikat oleh tali pelananya (fitrak).*
Dan
karena dia adalah yang pertama tama diciptakan, maka dia merupakan nabi
terakhir yang muncul dalam wujud sebagai manusia. Dalam peranan ganda
ini dia menyandang seluruh Nama Ilahi dalam dirinya. Sedangkan seorang
manusia biasa merupakan sarana perwujudan hanya untuk satu nama saja.
Dengan demikian kalimat Al Quran dalam surah 5:5, yang diwahyukan pada
waktu Muhammad melakukan ibadah haji terakhir, ditafsirkan sebagai
mengungkapkan peringkat tertinggi Nabi ini:
“Hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Kurelakan Islam menjadi agamamu.”
Sebab
Muhammad, Penutup para Nabi, adalah penyempurna risalah para nabi, dan
pada dirinya, sebagai penutup, seluruh kesempurnaan para pendahulunya
disatukan sebagaimana jumlah suatu rangkaian aritrnatik mewakili seluruh
angka . . . Pada hakikatnya mereka menyatu dengannya dan sama sama menerima kehormatan yang diberikan kepadanya.
Lukisan
lukisan tentang Muhammad yang abadi yang diciptakan oleh para sufi
dalam bentuk karya prosa, dan kemudian juga puisi penuh dengan gaya
bahasa yang berlebih lebihan dan memancarkan keindahan puitikal: mereka
jauh sekali dari pernyataan Nabi yang sederhana, yang menganggap dirinya
hanyalah sebagai “seorang manusia yang memberi wahyu”
Sebuah
contoh yang sangat bagus terdapat dalam tulisan-tulisan ‘Abdul Qadir
Jailani, pendiri Qadiriyah, yaitu tarikat sufi dengan jumlah pengikut
terbesar, pada abad kedua belas (dia meninggal satu tahun setelah Ibn
‘Arabi dilahirkan):
Dia
telah dipuja karena seluruh sifatnya yang agung; dia diberi persembahan
segala kata. Karena sifatnya yang mulia, tiang tiang penyangga tenda
seluruh eksistensi tetap tegak dl tempatnya; dia adalah rahasia kata-kata
kitab malaikat, makna huruf huruf “penciptaan bumi dan langit;” dia
adalah pena Penulis yang telah menuliskan tumbuhnya benda benda ciptaan;
dia adalah murid di mata dunia, guru yang telah menetapkan penutup
eksistensi. Dia adalah yang menyusu kepada putihg wahyu, dan membawa
misteri abadi itu; dia adalah penerjemah bahasa keabadian, Dia membawa
bendera kehormatan dan menjaga kendali pujian; dia adalah mutiara utama
pada kalung kenabian, dan permata pada mahkota para rasul. Dia adalah
yang pertama sebagai penyebab, dan yang terakhir dalam eksistensi. Dia
diutus dengan namus terbesar
untuk membuka tabir kesedlihan, untuk membuat yang sulit menjadi mudah,
mengesampingkan godaan hati, melipur kesedihan jiwa, memoles cermin
batin, menerangi kegelapan hati, membuat kaya mereka yang miskin
hatinya, dan melonggarkan ikatan ikatan jiwa
*Andrae, Die person Muhammads, hal. 338-39, mengutip karya Syattanaufi, Bahjat Al-Asrar,
hal. 36. Namus adalah nomes dalam bahasa Yunani, tetapi di sini
digunakan sebagai kekuatan malaikat atau spiritual. Lihat EI, edisi
pertama, jil. 5, s.v. namus*
Muhammad
dengan demikian menjadi satu satunya cita cita penciptaan, sebagaimana
dilukiskan oleh hadits laulaka; tetapi lebih lebih lagi, melalui dia
sajalah dunia mendapatkan eksistensinya, dan melalui dia sajalah karunia
Ilahi disarnpaikan.
S.H.
Nashr telah mengemukakan bahwa bahkan lukisan lukisan semacam itu, yang
tampaknya begitu asing dengan gambaran sejarah Muhammad, telah
berkembang secara sangat logis dari pemujaan yang ditujukan kepada Nabi.
Meskipun Muhammad telah diingatkan dalam Al Quran agar mengatakan, “Aku
hanyalah manusia seperti kalian juga,” kaum Muslim yang saleh segera
menambahkan, “Memang benar, tetapi dia bagaikan mirah delima di tengah
berbagai batuan”.
Secara
lahiriah dia sama dengan mereka, tetapi secara batiniah dia membawa
Cahaya Ilahi, yang sinarnya menjadi semakin tampak jelas sejalan dengan
berlalunya waktu. S.H. Nashr di sini setuju dengan banyak sufi dan
penyair Muslim yang telah berdebat dengan nada yang serupa. Ketika
Ghalib, yang menulis di Delhi pada abad kesembilan belas, menyebut Nabi
sebagai imam, yaitu permata panjang dalam tasbih Muslim yang ditempatkan
terpisah dari yang lain lainnya tetapi tetap menjadi bagian integral
dari tasbih itu, dia mengungkapkan perasaan yang sama yang tampak dalam
pemhandingan Nabi dengan “mirah delima di tengah berbagai batuan.” Untuk
membuat perbandingan ini lebih dekat dengan pemahaman para pembaca
Barat, kita harus menambahkan bahwa mirah delima, menurut cerita rakyat
timur, berasal dari batu biasa yang terus menerus menerima sinar
matahari: karena itu mirah delima adalah sinar matahari yang berubah
menjadi batu. Dengan demikian padanannya dengan Nabi sebagai manusia
yang dibuat mampu menerima Cahaya Ilahi menjadi lebih bermakna.
Kita juga tidak boleh lupa bahwa Hallaj — sepanjang pengetahuan kita, untuk pertama kalinya — mengungkapkan gagasan tentang sifat ganda Nabi: sebagai siraj, sebagai lampu kenabian (nubuwwah), dia pra-abadi; tetapi peranannya sebagai utusan (rlsalah) dimulai dengan kemunculannya di atas bumi”.
Dalam teori beberapa sufi, Muhammad kadang kadang tampil sebagai mutha‘,
“0rang yang dipatuhi.” julukan ini dapat dengan mudah diketahui asalnya
dari ketentuan Al Quran untuk mematuhinya, dan dari surah 81:21. Bagi
Sa‘di, dia adalah rasuluh mutha‘un, “nabi yang dipatuhi,” dan Jami‘ menamakannya “mutha‘ (yang dipatuhi) bagi manusia, dan muthz” (orang yang patuh bagi Tuhan)“.
Dalam
karya esoterik Al Ghazali, Mlsykat Al Anwar (Ceruk untuk Cahaya) lagi
lagi suatu kiasan mengenai kedudukan Nabi menurut ayat. Cahaya dari
Al-Quran mutha‘ itu tampaknya adalah semacam Akal Pertama, sebagai pihak
yang kepadanya tuntunan di dunia ini dipercayakan “suatu kekuatan
kosmik, kepada siapa aturan dan gerakan alam raya ini bergantung.”
Hubungan
antara Allah dan matha‘ diperbandingkan dengan hubungan antara esensi
cahaya yang tak tertembus dan sinar matahari yang dapat dlihat. Teori
teori Ghazali telah membingungkan para penafsir pertama karyanya, karena
tampaknya mereka membayangkan suatu penafsiran Islam —
penafsiran “makrifat” atau “teos0fikal” — yang dia perangi dengan gigih.
Bagaimanapun juga, dalam konteks sejarah pemuliaan kepada Nabi,
penafsirannya sangat sesuai dengan penafsiran yang menjadi semakin luas
diterima di kalangan para sufi. Muhammad, purwa rupa dari alam raya dan
juga individu, “murid di mata umat manusia,” Manusia Sempurna yang
diperlukan oleh Allah sebagai perantara, yang melaluinya Dia dapat
mewujudkan diri-Nya agar dikenal dan dicintai —-{ semua gagasan ini
télah diuraikan seeara teologikal setelah Ibn ‘Arabi oleh para
pengikutnya, yang di antara mereka ‘Abdul Karim Al Jili pada akhir abad
keempat belas menempati kedudukan yang panting dikarenakan teori
teorinya mengenai Manusia Sempurna. Syair puji pujiannya untuk Nabi
mermuat teori teori yang relevan secara ringkas:
Wahai Pusat kompas! Wahai lahan terdalam kebenaran! Wahai poros kepastian dan kemungklnan!
Wahal mata seluruh daur eksistensi.’ Wahal titlk Al-Quran dan Al—Furqan! Wahal orang yang sempurna, dan penyempurna dari yang paling sempurna, yang telah diperindah oleh keagungan Allah Yang Maha Pemurah! Engkau adlalah Kutub (quthb) dari segala hal yang menakjubkan Lingkaran kesempurnaan dalam kesendirianan berpaling kepadamu. Engkau transenden, engkau kekal, milikmu adalah semua yang diketahui dan yang tldak diketahui, abadi dan takkan musnah Millkmu dalam realilas adalah Maujud dan bukan maujud: nadir dan zenit adalah dua bajumu. - Engkau sekaligus cahaya dan kebalikannya, tetapl engkau menjadi kegelapan hanya bagi suatu makrifat yang kacau
Wahal mata seluruh daur eksistensi.’ Wahal titlk Al-Quran dan Al—Furqan! Wahal orang yang sempurna, dan penyempurna dari yang paling sempurna, yang telah diperindah oleh keagungan Allah Yang Maha Pemurah! Engkau adlalah Kutub (quthb) dari segala hal yang menakjubkan Lingkaran kesempurnaan dalam kesendirianan berpaling kepadamu. Engkau transenden, engkau kekal, milikmu adalah semua yang diketahui dan yang tldak diketahui, abadi dan takkan musnah Millkmu dalam realilas adalah Maujud dan bukan maujud: nadir dan zenit adalah dua bajumu. - Engkau sekaligus cahaya dan kebalikannya, tetapl engkau menjadi kegelapan hanya bagi suatu makrifat yang kacau
Kepercayaan
kepada peranan Muhammad sebagai prinsip penggerak dunia ini menjadi
dasar bagi hampir semua lagu lagu pujian untuk menghormati Nabi,
sebagaimana itu dilagukan dalam bahasa Arab dan bahkan Persia, Turki,
dan Urdu. Hal itu juga tercermin dalam gambaran gambaran populer tentang
kelahiran Nabi dan perjalanannya ke langit.
Tampaknya
seolah olah para penyair telah mendahului para ahli teologi dengan
memberikan kepada Muhammad nama nama dan julukan julukan yang lebih
cemerlang, dan dengan memuji mujinya dengan berbagai kata pujian yang
berlebih lebihan. Syair Sana’i dan ‘Attar, yang ditulis jauh sebelum Ibn
‘Arabi melakukan sistemisasi terhadap “Muhammadologi” mistikal,
membuktikan bahwa gagasan gagasan ini telah ada jauh sebelumnya. Setelah
Ibn ‘Arabi, yang ajaran ajarannya biasanya diterima dan disebarkan ke
seluruh tarikat sufi yang berkembang pesat, mereka menyaringnya pada
semua tingkat tasawuf, dan tampil secara lebih lantang lagi dalam lagu
lagu pujian yang dinyanyikan untuk menghormati Nabi, mulai dari Maroko
hingga India.
Di
mata para sufi masa sesudahnya, Nabi tampak sebagi fajar yang berada di
antara malam dari kehidupan makhluk dan siang dari cahaya Ilahi;
melalui dialah orang bisa mengalami siang hari, dan dialah yang
merupakan awal dari Hari Ilahi. Seperti dikatakan oleh seorang sufi
Naqsybandi di Sindh pada abad kedelapan belas:
Menakjubkan
sekali realitas kawan itu (yaitu, haqiqah Muhammadiyyah): Orang tidak
dapat menyebutnya Tuhan, tetapi juga bukan makhluk. ’ Sebagaimana fajar
dia menyatukan malam dan siang.
Orang
boleh menafsirkan peranan Nabi ini dalam citra citra yang berlainan:
sebagai Penutup para Nabi, Muhammad bagi dunia ini adalah seperti batu
untuk cincin, sebab pada batu itu tertulis sesuatu yang
dipakai raja untuk menyegel peti peti hartanya. Banyaknya perujukan tak langsung kepada hati sebagai ciri pengenal dalam literatur Islam pada abad-abad setelah Ibn ‘Arabi menulis karyanya mengenai profetolegi, yaitu Fushush Al Hikam (Permata Kebijakan), mungkin karena terilhami oleh karya ini, yang pada judulnya simbolisme ciri pengenal itu tampak nyata.
dipakai raja untuk menyegel peti peti hartanya. Banyaknya perujukan tak langsung kepada hati sebagai ciri pengenal dalam literatur Islam pada abad-abad setelah Ibn ‘Arabi menulis karyanya mengenai profetolegi, yaitu Fushush Al Hikam (Permata Kebijakan), mungkin karena terilhami oleh karya ini, yang pada judulnya simbolisme ciri pengenal itu tampak nyata.
Dalam
penafsiran mistikal mengenai peranan Muhammad, perujukan perujukan tak
langsung Al Quran kepada dirinya selalu dipenuhi dengan makna baru, dan
isi perujukan perujukan tak langsung itu sering terungkap dalam citra
citra yang sangat berani — entah itu surah 54:1, “Telah dekat terjadinya
kiamat, di mana bulan akan belah” atau surah 93, “Demi cahaya Pagi!”
atau surah 17:1 dengan perujukan perujukan tak langsungnya kepada
perjalanan malam, atau surah 53, “Bintang”.
Satu
surah pendek Al Quran, surah 108, surah Al Kautsar, adalah yang paling
disukai oleh kaum sufi, yang kebanyakan di antaranya telah menganggapnya
sebagai ungkapan yang paling indah tentang kesempurnaan karunia yang
diberikan oleh Allah kepada Nabi-Nya. Kata kautsar, dari akar k-ts-r,
“banyak,” telah ditafsirkan sebagai nama sebuah air mancur yang
diberkahi di surga; tetapi sekaligus ia juga menjadi lambang karunia
sangat besar yang membedakan Nabi yang menerimanya, sedangkan musuh dan
pemfitnahnya dihukum dan menjadi abtar, “yang putus”. Sebuah contoh khas
penafsiran dari masa selanjutnya atas surah ini adalah yang ditulis
oleh seorang sufi Naqsyabandi di Sindh pada abad kedelapan belas, ‘Abdur
Rahim Girhori.
Ulasan
puitikalnya yang panjang atas surah 108, dalam bahasa Sindh, jelas
dipengaruhi oleh syair besar Jami‘, yang, seperti juga dia, menjadi
anggota tarikat Naqsyabandiyah”. Tetapi dia melangkah lebih jauh dari
gurunya di Herat dan membuat Allah berkata, di antara kata-kata pujian
yang melambung lainnya untuk Nabi:
Begitu banyak karunia yang tidak Ku berikan kepada siapa pun kecuali engkau. Engkau adalah pemegang cangkir
di depan air mancur itu teruskan kini penyebarannya, wahai orang yang
berani! Kunci kunci menuju kekuasaan telah kuserahkan ke tanganmu, wahai
kawan; Pengetahuan tentang langit dan bumi adalah karunia untuk Ahmad.
Batu filosof itu telah kuberikan kepadamu, obat ajaib Adam, wahai kawan.
Untuk Isa, sebagian tertentu dari karunia itu telah (diberikan) dari
0bat ajaib ini, Yang dengan itu orang yang mati dibangkitkan, orang yang
tuli bisa mendengar Untuk orang buta: mata jadi bisa melihat; dan orang
lepra lepaslah penyakit itu Apa pun yang tertulis dalam Taurat adalah bagaikan sesesap air dari samudera luas, seluruh ketampanan Yusuf adalah tanda karunia itu. Hanya sedikit dari cinta kasihmu, wahai Ahmad, telah sampai kepada Zulaikha Surga adalah bagian dari samudera itu, seolah olah ia merupakan es samudera itu.
Neraka berada di depan pintumu, memohon bagaikan peminta minta, Tanpa izinmu ia tak memiliki kekuatan
untuk membakar orang orang kafir Surga adalah perwujudanmu yang sangat
indah, suatu pandangan penuh cinta Rupa kemarahanmu, wahai orang yang
suci, adalah api neraka. Langit, bumi, surga tertinggi, Tahta Tuhan,
manusia, jin, dan para malaikat Hidup, Kekasihku, dengan selalu
bergantung kepadamu. Sayang, umat manusia menjadi berharga karena
cahayamu, Karena cerminanmu, Cintaku, kuncup dan bunga bermekaran. . ..
*
Semua gagasan ini tentu saja tidak baru; yang baru adalah penggunaannya
dalam bahasa Sindh. Lihat misalnya Jami‘, Diwan, h. 195, ghazal no.
157:
Wahal engkau yang cemerlang! “Demi cahaya pagi” (surah 93: 1) adalah dahimu, “Demi malam!” (surah 92:
1) adalah selubungmu yang berwama batu ambar; Thaha (surah 20) adalah
lembar dari kisahmu, Yasin (surah 36) adalah batas lengan bajumu; Surga
adalah hasil karuniamu yang berlimpah; Neraka adalah percikan bara
kemarahanmu.
Dalam tradisi Sindh, sebuah Siharfi modern
oleh Kamal Faqir (wafat 1927) mengungkapkan gagasan gagasan yang sama
dengan sangat jelas: bukan hanya para nabi itu tampil sebagai muird
murid Muhammad, tetapi Taurat dan Injil pun merupakan ulasannya; dalam
Baloch, Tih Akharyun, 1: 294-303.*
Tentu
saja mungkin bahwa gagasan-gagasan yang begitu tinggi mengenai
peringkat primordial Muhammad dan kedudukan utamanya dalam sejarah alam
raya akan merosot menjadi citra citra dongeng yang aneh, terutama pada
tingkat rakyat, dan ungkapan yang tepat dalam bahasa Persia hama ust,
“Segala sesuatu adalah Dia,” benar-benar menuntun para penyair yang
bodoh ke arah apa yang dapat dikatakan sebagai pernyataan pernyataan
“bid‘ah” karena keinginan mereka untuk memuji muji Muhammad setinggi
mungkin.
Tetapi,
para ahli teologi dan pakar yang lebih waras selalu sadar akan adanya
bahaya ini. Sesungguhnyalah, bagaimana mereka tidak begitu, sedangkan
seorang penyair Urdu pun berani berlantun: (*admin: puisi di bawah hanya
sebagai contoh betapa pemujaan terhadap Nabi Muhammad yang Agung, kadang melampaui batas keimanan, untuk itulah diperlukan kontrol kesadaran iman yang tinggi) Bagaimana orang tahu peringkat Pemimpin dunia kita itu? Jika engkau ingin mencapai Tuhan, kenali Muhammad sebagai Tuhan!
*Enamul
Haqq, Sufism in Bengal, h. 94, catatan 2. Pada bulan Desember 1982
seorang wanita Turki yang sering mengunjungi seorang guru sufi di
Istanbul mengatakan kepada saya, dengan penuh ketakutan, bahwa para
murldnya menganggap bahwa Muhammad itu benar benar sama dengan Allah —
bagaimana dia sebagai Muslim yang berpegang-teguh kepada syari‘ah dapat
bergaul dengan orang orang semacam itu?
Bahkan
para pengikut paling setia Ibn ‘Arabi mungkin akan ngeri dengan
perkataan semacam itu, “Tuhan tetap Tuhan, dan hamba tetap hamba”
Tampaknya
penambahan dongengan kepada kisah penciptaan yang menyangkut Muhammad
itu bukannya tidak diketahui, terutama di lingkungan India, Syaikh
Chand, penyair Bengal dari Abad Pertengahan yang kata katanya mengenai
Cahaya Muhammad kita kutip sebelumnya, melukiskan penciptaan dunia dari
tubuh Muhammad primordial dalam istilah istilah yang begitu konkret dan
mengingatkan kita kepada dongengan Vedic:
Tujuh
langit itu diciptakan dari tujuh bagian tubuh Muhammad: Langit pertama
adalah langit langit mulut, yang kedua dari dahi, Yang ketiga adalah
dalam lubang hidung, yang keempat adalah dasar bibir atas.
Yang kelima, engkau tahu, adalah tenggorokan, Yang keenam ada di dalam dada, Yang ketujuh ada di dalam pusar.
Yang kelima, engkau tahu, adalah tenggorokan, Yang keenam ada di dalam dada, Yang ketujuh ada di dalam pusar.
Qazi Abdal Mannan, “Sufi Literature in Bengal,” h, ll. Gagasan itu mengingatkan kepada Purusa sakta dalam
tradisi Veda, meskipun sebagian orang mungkin lebih suka melihat
pengaruh pengaruh dongeng dongeng Qadmon Adam Makrifat. Tetapi di
Bengal, pengaruh India lebih besar daripada pengaruh mitologi Timur
Dekat.
Dalam
sistem klasikalnya Jili para malaikat diciptakan dari kekuatan
spiritual Muhammad (Israil dari jantungnya, Izra‘il dari penilaiannya,
dan sebagainya).Tetapi Syaikh Chand mengatakan kepada para pen-
dengarnya bahwa mereka muncul dari tubuh primordial Nabi:
dengarnya bahwa mereka muncul dari tubuh primordial Nabi:
Farista (malaikat: bahasa Persia firisyta) Israfil diciptakan dari hidung Dan Izra‘il dari telinga, Dari mulut keluar Zibril (Jibril) Dari mata munecul Mika ‘il. Bersama setiap farista datanglah 70.000 lagi Dari setiap helai rambut masing-masing farista terlahir farista lain, Dari 300 juta rambut di badan muneul 300 juta farista. Dengan demikian dari nur Muhammad terjadilah penciptaan.
Dan,
lanjut pengarang, atas perintah Tuhan ciptaan ini menjadi murid
Muhammad. Mengingat kedudukan Muhammad yang unik maka tidaklah
mengherankan bahwa namanya dilantunkan dalam doa doa yang tak terbilang
banyaknya, dan bahkan dalam mantra-mantra sihir, untuk memastikan
keberhasilan dan meminta bantuan. Sebuah contoh yang bagus adalah doa
panjang berbahasa Persia, yang dinamakan Munajat-i kun fa yakun (Doa
“]adi, dan Jadilah”) di mana bukan hanya nama nama semua nabi, para
sahabat, imam, dan orang-orang suci disebutkan, tetapi juga empat puluh
kali permohonan “Demi kehormatan . . .Muhammad,” biasanya dilantunkan
dalam pasangan irama atau aliterasi; misalnya:
Demi kehormatan sifat, khu, Muhammad dan ikal, gesu, Muhammad, _ Demi kehormatan hati, dil, Muhammad, dan lempung, gil, / Muhammad, Demi keharmatan ketampanan, jamal, Muhammad dan kesempurnaan, kamal, Muhammad, Demi kehormatan selera, dzauq, Muhammad dan kerinduah, syauq, Muhammad, Demi kehormatan jalan, thariqat, Muhammad dan hukum, syariat, Muhammad, Demi kehormatan mahkota, taj, Muhammad dan perjalanan ke langit, mi‘raj, Muhammad, Demi kehaormatan perjalanan, safar, Muhammad dan kemenangan, zhafar, Muhammad, - Demi kehormatan penengahah, syaf`at, Muhammad dan keberanian, syaja‘at, Muhammad. . .
Puji-pujian
lain, yang dikatakan dapat “menyembuhkan penyakit,” menggunakan rumusan
rumusan yang sama: setelah pengakuan imam diikuti dengan rumusan
Tidak ada penyakit dan luka yang tidak ada obat atau penyembuhannya Demi kehormatan Muhammad Rasul Allah
Lalu diikuti dengan nama seorang Sahabat Nabi,
lalu pengulangan yang sama atas rumusan pertama, dan seterusnya sampai
semua Sahabat dan semua khalifah (atau, dalam puji pujian yang
berkaitan, semua
anggota tarikat tarikat sufi dari Nabi hingga orang orang suci terkemuka abad pertengahan) disebutkan satu demi satu. Tetapi, puji-pujian untuk Muhammad merupakan titik utama semua puji-pujian ini. Mereka juga menjadi bukti bagi kepercayaan yang tak tergoyahkan dari kaum beriman kepada kekuatan Nabi, dan keyakinan mereka kepadanya, yang pertama dan terakhir dalam rangkaian para nabi.
anggota tarikat tarikat sufi dari Nabi hingga orang orang suci terkemuka abad pertengahan) disebutkan satu demi satu. Tetapi, puji-pujian untuk Muhammad merupakan titik utama semua puji-pujian ini. Mereka juga menjadi bukti bagi kepercayaan yang tak tergoyahkan dari kaum beriman kepada kekuatan Nabi, dan keyakinan mereka kepadanya, yang pertama dan terakhir dalam rangkaian para nabi.
Adalah
mengherankan bahwa meskipun Nabi menempati kedudukan terpenting dalam
tradisi sufi, dan terutama dalam ajaran sufi populer pasca abad ketiga
belas, banyak kritikus dari luar tetap sadar akan peranan mulia yang
dimainkannya dalam kehidupan beragama para pengikutnya. Ini tampak jelas
dari contoh mengenai beberapa penafsir Hindu atas puisi Muslim di
India. Meskipun sejumlah orang Hindu adalah pengikut setia orang orang
suci Muslim, dan bahkan melantunkan lagu-lagu pujian untuk Nabi dalam
bahasa Urdu dan Sindh, tampaknya banyak di antara mereka yang tidak
dapat mengukur kedalaman pemujaan mistikal kepada Nabi.
Sebuah
contoh bagus adalah Lilaram Watanmal, yang pada 1889 menerbitkan buku
pertama yang bercakupan luas mengenai penyair sufi Sindh, Shah ‘Abdul
Latif. Dia menulis dengan cara yang rendah hati:
Shah
Latif pun, dalam karyanya Risalo, di beberapa tempat, telah mengesankan
pendengarnya tentang perlunya kepercayaan kepada Muhammad sebagai
seorang nabi dan sesuatu lainnya. Memang benar bahwa sebagian dari
puisinya yang memuji-muji nabi, yang agak kasar bahasanya, bukan milik
penyair kita . . Tetapi tidak dapat
diragukan lagi bahwa ada beberapa puisi asli di mana penyair kita telah
mengungkapkan kepercayaan penuhnya kepada nabi . . . Kaum Mahommad (sic)
mungkin mempercayainya sebagai nabi utama dari Tuhan. Tetapi kaum sufi
tidak dapat, sesuai dengan doktrin doktrin panteistik mereka, mengatakan
bahwa Mahommad adalah satu satunya sarana penyelamatan . . . Ada
kemungkinan bahwa Shah Latif ingin menuntun pikiran para pengikutnya
secara pelan pelan dan lambat laun menuju ajaran sufi yang lebih tinggi
dengan membiarkan mereka untuk pertama tama mempercayai nabi mereka, dan
kemudian setahap demi setahap naik lebih tinggi dan lebih tinggi lagi.
Watanmal,
yang, seperti semua ahli tafsir Hindu lainnya atas puisi Sindh dan
Punjab, berusaha menjelaskan ajaran sufi sebagai suatu versi yang kurang
lebih bersifat panteistik dan agak keislam-islaman dari ajaran mistik
Veda mengenai Keesaan, mungkin telah mengenal Islam dari luar tetapi
tidak begitu sadar akan kedudukan utama Muhammad sebagai penengah dan
“tiang cahaya,” sebagai Manusia Sempurna dan yang pertama dan terakhir
di antara para nabi, sebagaimana terungkap selama berabad abad dalam
berbagai citra dan lambang, dan sebagaimana hal itu ditetapkan sebagai
yang sangat menentukan dalam pengalaman keagamaan di lingkungan yang
luas di dunia Islam.
Bagaimanapun
juga, kita harus selalu ingat akan satu fakta penting: meskipun
Muhammad diangkat ke ketinggian yang terpuji dan mencapai kedudukan yang
dapat diperbandingkan, dalam cara tertentu, dengan kedudukan Logos
dalam teologi Kristen, _bahkan sebagai Manusia Sempurna, dia tetaplah
‘abduhu — hamba Tuhan dan makhluk ciptaan-Nya, yang paling dicintai di
antara semua ciptaan-Nya. Meskipun beberapa penyair tampaknya melanggar
batas-batas yang sewajarnya dalam puji-pujian mereka, gagasan mengenai suatu inkarnasi dalam pengertian Kristen mutlak mustahil dalam tradisi Islam.
Selama
berabad-abad kaum ortodoks Islam merasa, dan itu dapat dipahami, tidak
cocok dengan pemujaan mistikal yang terus tumbuh untuk Nabi, yang
tampaknya di mata kebanyakan mereka terlalu berlebih lebihan dan tidak
selaras dengan jiwa esensial Islam. Dengan tepat mereka,menyatakan bahwa
poros Islam itu bukan soosok Nabi melainkan Firman Tuhan, sebagaimana
yang diwahyukan melaluinya dan dituliskan dalam Al-Quran. Sekalipun
demikian, tampaknya kecintaan yang melimpah untuk Nabi, kepercayaan
kepadanya dan pemujaan kepadanya, merupakan faktor yang menentukan dalam
penggubahan puisi dan kesalehan rakyat, dan menawarkan kepada kaum
Muslim suatu objek manusia yang kepadanya mereka dapat menumpahkan
perasaan kelembutan dan kekaguman mereka.
Aspek
manusiawi Nabi, dan kemungkinan bertemu bermuka muka dengannya, yang
tampaknya lebih dapat dicapai dibanding Esensi Ilahi yang abadi, mengisi
hati mereka dengan kebahagiaan. Dan barangkali merupakan suatu akibat
wajar dan logis dari kecenderungan “Makrifat” tasawuf Islam dari masa
sesudahnya, di mana pertemuan yang penuh kasih sayang antara manusia dan
Tuhan Pribadi yang sekaligus adalah Pencipta, Penjaga dan Hakim, tidak
lagi dianggap mungkin, sehingga imajinasi kaum beriman berpindah kepada
penghormatan kepada Nabi, yang dengan segala kebesaran mistikalnya tetap
meyupakan sosok manusia yang kepadanya sesama makhluk dapat berpaling
dengan penuh kasih sayang, harapan, dan pemujaan, yang kemudian mereka
usahakan untuk mengungkapkannya dalam kata kata yang baru, lebih kaya
warna dan ekstatik.
No comments:
Post a Comment