أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Lebih Mudah Mengenal Tuhan
Mukadimah
Berbagai
argumentasi telah ditulis, dihimpun dan disampaikan oleh para filosof
Ilahi dan para ulama Kalam untuk membuktikan wujud Tuhan Pencipta.
Pembahasan ini dibahas dalam kitab-kitab Filsafat dan Kalam secara
jeluk. Pada pembahasan berikut ini, kami akan memilih sebuah argumen
saja dari sekian banyak argumen tersebut. Argumen ini berlandaskan pada
premis-premis yang lebih minim, sehingga lebih mudah untuk dipahami.
Namun demikian, argumen ini nampak lebih kuat.
Perlu diketahui
bahwa argumen filosofis ini hanya dapat membuktikan wujud Tuhan Pencipta
sebagai Wâjib al-Wujud (wujud yang pasti). Artinya bahwa Tuhan Pencipta
itu maujud, dan wujud-Nya merupakan hal yang dharuri (niscaya) tanpa
memerlukan apa dan siapapun -selain-Nya- yang mewujudkan-Nya.
Adapun untuk
menetapkan sifat-sifat-Nya, baik yang positif (tsubutiyah=menetapkan
sifat-sifat kesempurnaan) seperti; sifat ilmu, kuasa maupun yang negatif
(salbiyah=menafikan sifat-sifat kekurangan) seperti; tidak beraga, tak
terbatas oleh ruang dan waktu. Hal ini tidak dapat dibuktikan dengan
argumen filosofis ini, melainkan harus dibuktikan dengan argumen lain.
Bentuk Argumentasi
Berdasarkan asumsi
rasional, realitas terbagi menjadi dua; Wâjib al-wujud (wujud yang
bersifat pasti) dan mumkin al-wujud (wujud yang bersifat mungkin).
Setiap fenomena dan realitas, baik yang dapat diindera, dipersepsi
maupun tidak -secara rasional- tidak keluar dari asumsi tersebut. Yaitu
terkadang bersifat wâjib al-wujud dan terkadang bersifat mumkin
al-wujud. Dengan demikian, kita tidak mungkin mengatakan bahwa seluruh
realitas itu bersifat Wâjib al-wujud ataupun mumkin al-wujud. Karena
segala yang bersifat mumkin al-wujud itu membutuhkan kepada sebab dan
pencipta yang mandiri atau Wâjib al-wujud. Sementara jika dikatakan
bahwa segala yang ada itu bersifat Wâjib al-wujud, maka hal ini
memestikan kemandirian semua itu, dan hal ini merupakan hal yang badhihi
(gamblang) kebatilannya, sehingga tidak memerlukan argumen.
jika setiap
sebab itu masih berupa mumkin al-wujud, maka ia merupakan akibat yang
tentunya membutuhkan kepada sebab yang lain yang mewujudkannya. Dan pada
akhirnya, jika setiap sebab itu bersifat mumkin al-wujud, maka tidak
akan ada realitas apa pun sama sekali. Artinya, bahwa rangkaian
sebab-sebab itu sebenarnya adalah merupakan rangkaian akibat "yang
mungkin" dan keberadaannya tidak bersifat pasti.
Oleh karena itu,
rangkaian mumkin al-wujud menjadi ada manakala ia berakhir kepada suatu
realitas yang bukan lagi akibat dari realitas apapun. Artinya, bahwa
rangkaian wujud itu akan berakhir pada Wâjibul wujud.
Argumen di atas
ini adalah argumen filsafat yang paling sederhana untuk menetapkan
(itsbât, to proof) wujud Tuhan Sang Pencipta. Argumen di atas terdiri
dari beberapa premis rasional, tanpa melibatkan premis empirik di
dalamnya. Tetapi, karena argumen semacam ini biasanya menggunakan
sejumlah konsep dan istilah filosofis, terlebih dahulu kita harus
menjelaskan beberapa istilah dan premis yang menyusun argumen ini.
Wujub, Imkan dan Mumtani’
Setiap proposisi,
yang paling sederhana sekalipun, sekurang-kurangnya mesti tersusun dari
dua konsep; subjek (maudhu’) dan predikat (mahmul). Misalnya proposisi
yang berbunyi: "Matahari itu bersinar". Proposisi ini terdiri dari
matahari sebagai subjek dan bersinar sebagai predikat. Dan setiap
predikat suatu subjek itu tidak akan keluar dari salah satu tiga kondisi;
ada yang bersifat dharuri (niscaya dan tidak terpisahkan), ada yang
bersifat imkan (mungkin) dan ketiga ada yang bersifat mumtani’
(tercegah
atau mustahil). Predikat yang bersifat dharuri dan pasti seperti
proposisi yang berbunyi: Angka 2 adalah setengah dari angka 4, dan gula
itu manis. Predikat yang bersifat imkan seperti pada proposisi: Bunga
itu merah, dan matahari di atas kepala kita. Dan predikat yang bersifat
mumtani’ (mustahil) seperti pada proposisi: Angka 5 itu lebih besar dari
angka 7, dan madu itu pahit. Mengingat bahwa filsafat hanya membahas
sesuatu yang ada, dan tidak membahas sesuatu yang tidak ada, maka para
filosof membagi realitas hanya kepada dua bagian, yaitu Wâjib al
wujud
dan mumkin al-wujud.
Wâjib al-wujud
adalah realitas yang ada dengan sendirinya, artinya wujudnya bersifat
mandiri dan tidak bergantung kepada realitas yang lain. Dan realitas
yang wujudnya dharuri ini bersifat azali (tidak bermula) dan abadi
(tidak berakhir) walau sekejap pun. Dia senantiasa ada dan tidak pernah
mengalami ketiadaan. Karena, jika sesuatu itu ma'dum (tiada) pada
masa tertentu -meskipun hanya sekejap saja- maka hal ini menunjukkan
bahwa wujudnya itu bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi
membutuhkan kepada realitas selainnya yang merupakan sebab yang
mewujudkannya atau sebagai syarat keberadaannya. Dengan demikian, jika
sebab atau syarat itu tidak ada, maka sesuatu tersebut tidak akan ada.
Sedangkan mumkin al-wujud adalah realitas yang wujud dan keberadaannya
tidak dengan sendirinya, melainkan wujudnya itu diadakan dan bergantung
kepada realitas selainnya. Dengan kata lain, mumkin al-wujud tidak
mungkin terwujud kecuali dengan perantara selainnya.
Penjelasan
rasional ini menafikan secara pasti adanya mumtani' al-wujud (sesuatu
yang wujudnya bersifat mustahil). Pada saat yang sama, penjelasan ini
tidak mengidentifikasi; apakah realitas di luar itu Wâjib al-wujud
ataukah mumkin al-wujud. Dengan kata lain, kita dapat menggambarkan
kebenaran sebuah proposisi tersebut dengan tiga asumsi:
Pertama,
setiap realitas itu Wâjib al-wujud.
Kedua,
setiap realitas itu mumkin al-wujud.
Ketiga,
sebagian realitas itu Wâjib al-wujud, dan sebagian lainnya adalah mumkin
al-wujud.
Berdasarkan asumsi
pertama dan ketiga, keberadaan Wâjib al-wujud telah dapat ditetapkan.
Namun yang perlu kita bahas lebih lanjut adalah asumsi kedua, yaitu
apakah mungkin setiap realitas itu bersifat mumkin al-wujud? jika
kita dapat menggugurkan asumsi ini, maka keberadaan Wâjib al-wujud dapat
ditegaskan secara pasti, meskipun untuk menetapkan keesaan dan seluruh
sifat-sifat-Nya diperlukan argumentasi tersendiri.
Untuk menggugurkan
asumsi kedua, kita perlu menambahkan premis lain ke dalam argumen
terdahulu itu, yaitu bahwa seluruh realitas tidak mungkin bersifat
mumkin al-wujud. Premis ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
o Bahwa
mumkin a-
wujud itu butuh kepada sebab yang mewujudkannya.
o Bahwa rangkaian
sebab-sebab yang tak berujung adalah mustahil. Oleh karena itu,
rangkaian sebab-sebab itu harus berakhir kepada realitas yang bukan
berupa mumkin al-wujud yang tidak butuh lagi kepada sebab. Artinya, ia
adalah Wâjib al-wujud. Dengan dua premis tersebut, maka dapat ditetapkan
bahwa tidak setiap realitas itu bersifat mumkin al-wujud. Artinya ada
ralitas yang bersifat Wâjib al-wujud dan selainnya adalah mumkin
al-wujud.
Illah
dan Ma’lul
jika wujud
suatu realitas itu bergantung kepada realitas yang lain, maka -di dalam
Filsafat- realitas yang bergantung itu disebut sebagai akibat (ma'lul),
dan realitas yang disandarinya atau digantunginya itu disebut sebagai
sebab (‘illah). Dan hal ini tidak menafikan bahwa sebab ini sendiri
masih bergantung kepada sebab yang lainnya. Artinya, bahwa pada
gilirannya sebab itu sendiri masih membutuhkan dan bergantung kepada
sebab yang lainnya, dimana ia juga merupakan akibat dari realitas ketiga
ini. Namun, jika sebab itu bukan akibat dan tidak bergantung kepada yang
lain, maka ia adalah sebab mutlak yang tidak butuh kepada selainnya sama
sekali. Dengan penjelasan ini kita telah mengenal dua istilah filsafat;
Illah dan Ma’lul, serta definisi keduanya.
Selanjutnya,
kami akan menjelaskan premis bahwa setiap mumkin al-wujud itu
membutuhkan kepada sebab. Mengingat bahwa keberadaan mumkin al-wujud
itu
tidak dengan sendirinya, maka wujud mumkin al-wujud tersebut bergantung
kepada realitas yang lain. Kemudian perlu juga diketahui bahwa suatu
predikat jika dinisbatkan kepada suatu subjek, adakalanya predikat itu
bisa ditetapkan pada subjeknya itu secara dzati (esensial), dan
adakalanya ditetapkan secara aradhi (aksidental). Misalnya, adakalanya
sesuatu itu terang secara esensial, yakni terang dengan sendirinya
seperti matahari, adakalanya ia terang karena sesuatu yang lain,
misalnya rembulan. Atau, setiap benda (jism) adakalanya berminyak dengan
sendirinya seperti minyak, atau berminyak dengan perantara yang lainnya
seperti rambut yang diminyaki. Adapun jika didapati asumsi bahwa sesuatu
itu terang atau berminyak tidak dengan sendirinya, tidak pula melalui
perantara yang lain, maka hal itu merupakan asumsi yang absurd (muhâl).
Dengan demikian,
adakalanya ketetapan wujud (sebagai predikat) pada suatu subjek itu
secara esensial, yaitu dengan sendirinya dan tanpa perantara yang lain,
atau dengan perantara yang lain. jika ketetapan wujud pada suatu
subjek tidak dengan sendirinya, maka pasti wujudnya itu ditetapkan
dengan perantara yang lain. Atas dasar ini, setiap mumkin al-wujud
(yang
mungkin wujudnya) itu ada dengan perantara yang lain dan ia adalah
akibat baginya.
Adalah kaidah
Logika yang diterima oleh semua orang yang berakal, bahwa setiap mumkin
al-wujud membutuhkan sebab. Namun, berangkat dari pengertian Hukum
Kausalitas; bahwa setiap realitas membutuhkan kepada sebab, sebagian
orang menganggap bahwa seharusnya wujud Tuhan Pencipta itu pun mempunyai
sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah
realitas secara mutlak, tetapi realitas yang bersifat mumkin atau
ma'lul (akibat). Dengan kata lain, setiap realitas "yang tidak berdiri sendiri"
membutuhkan sebab, bukan setiap realitas tanpa ajektif itu.
Kemustahilan
Tasalsul
Premis
terakhir yang digunakan dalam argumentasi ini ialah bahwa mata rantai
sebab-sebab itu harus berakhir pada realitas yang dirinya bukan lagi
akibat, melainkan sebab yang mandiri. Sebagaimana yang telah dikemukakan
oleh para teolog, bahwa tasalsul (mata rantai sebab-akibat yang tak
berujung) itu mustahil. Atas dasar ini, dapat dibuktikan wujud Tuhan
sebagai Wâjib al-wujud. Bahwa Wajib al-wujud merupakan sebab pertama
yang ada dengan sendirinya dan tidak perlu kepada wujud yang lain.
Para filosof
telah mengajukan berbagai argumen untuk menunjukkan kemustahilan
tasalsul ini, meski pada dasarnya hal itu adalah masalah yang nyaris
badihi dan tidak perlu kepada pembuktian. Dan setiap orang yang mau
merenung, walau sejenak, pasti akan dapat memastikan kemustahilan
tasalsul tersebut. Artinya, setiap wujud akibat itu membutuhkan kepada
sebab dan keberadaannya disyarati oleh keberadaan sebab tersebut.
jika diasumsikan bahwa segala sesuatu itu adalah akibat dan semuanya
itu membutuhkan kepada sebab, maka tidak akan terealisasi realitas apa
pun. Karena tidaklah logis meng-asumsikan adanya mata-rantai yang saling
bergantungan tanpa suatu wujud yang merupakan puncak kebergantungan mata
rantai tersebut. Sebagai contoh, lomba lari maraton. jika seluruh
peserta lomba berdiri di garis start, berarti mereka siap untuk berlomba.
Tetapi, jika setiap anggota tidak mau memulai untuk berlari kecuali
jika yang lainnya memulai lari terlebih dahulu, jika keputusan
semacam ini diambil oleh seluruh peserta, maka tidak akan terjadi yang
namanya perlombaan tersebut. Begitu pula, jika wujud segala sesuatu
itu disyarati dengan wujud yang lain, tidak akan terwujud sesuatu apa
pun, sama sekali. Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di luar ini
merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang
wujudnya itu tidak disyarati oleh wujud selainnya. Dialah Tuhan Pencipta
yang wujud-Nya bersifat mandiri dan tidak butuh dan berhajat kepada
selain-Nya.
No comments:
Post a Comment