Tuesday, July 10, 2012

Kitab Sifat Dua Puluh : Telaah Filologis Naskah Melayu Islam Minangkabau

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan warisan budaya nenek moyang. Hal ini terbukti dengan banyaknya peninggalan-peninggalan budaya dari masa lalu yang ditemukan di kawasan ini, antara lain alat-alat perkakas sehari-hari, prasasti-prasasti, arca, bangunan-bangunan candi, dan rumah-rumah adat. Selain peninggalan budaya yang berupa material tersebut, ditemukan juga peninggalan budaya berupa non-material yaitu tulisan yang ditulis oleh nenek moyang dengan tulisan tangan dalam berbagai bahan tulisan. Bahan-bahan tulisan itu antara lain dedaunan yang dikeringkan seperti daun lontar dan daun nipah, kulit kayu, bambu, rotan, daluwang (kertas Jawa), dan kertas. Alat tulisnya pun beragam sesuai dengan bahan yang mereka gunakan untuk menulis tulisan tersebut. Untuk kulit kayu dan bambu alat tulis yang digunakan adalah peso pangot, semacam alat yang bermata runcing untuk mengukir tulisan-tulisan di atas bahan tulisan tersebut kemudian disapu dengan jelaga agar ukiran itu terlihat. Jika dikerjakan dengan teliti, cara penulisan seperti ini akan menghasilkan tulisan yang bagus. Namun kelemahannya adalah kesalahan tidak mungkin dikoreksi karena goresan atau ukiran ini tidak mungkin diperbaiki. Untuk alas naskah daluwang dan kertas alat tulis yang digunakan adalah kalam (kuas/pena) dan tinta. Peninggalan-peninggalan budaya berupa tulisan yang disebutkan di atas, lazim disebut dengan naskah. Naskah merupakan dokumen yang berisi berbagai hal yang bermanfaat bagi kita. Melalui naskah kita juga dapat mengetahui kapan suatu budaya baru masuk dan berkembang dalam budaya yang telah lama hidup di masyarakat kita dahulunya. Sebagai contoh, isi naskah tersebut bisa menginformasikan kepada kita tentang kapan pertama kali Islam masuk ke Indonesia, bagaimana penyebarannya, dan apa tanggapan dari masyarakat Indonesia yang sudah lebih dahulu menganut suatu kepercayaan sebelumnya. Semua itu akan terjawab salah satunya dengan membaca teks yang ada di dalam naskah.


Teks berisi ide-ide atau gagasan, pokok pikiran, adat istiadat, pola hidup, tata cara peribadatan dan tradisi budayanya. Karya ini memberi informasi kepada kita tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Namun seiring berkembangnya zaman, informasi yang terkandung di dalam tulisan tersebut sering mengalami transformasi. Akibatnya muncul banyak teks yang terdapat dalam berbagai bentuk dan cara penulisan. Hal ini terjadi karena teks atau tulisan itu ditulis berulang-ulang secara manual dengan menggunakan tangan sehingga ketidakjelasan huruf ataupun lubernya tinta yang mengganggu pembacaan sering menyebabkan pembaca ataupun penyalin naskah kesulitan untuk menafsirkan bacaannya. Selain itu kreatifitas penyalin yang mengubah salinan untuk menyesuaikan isinya dengan zaman juga menyebabkan informasi di dalam naskah pun mengalami perubahan. Perubahan ini akan terus berlanjut selama teks ini mengalami penyalinan secara terus-menerus. Seandainya teks yang memiliki ketidakjelasan huruf ini dijadikan sumber salinan teks baru yang benar-benar sama isinya, perubahan dan penafsiran yang keliru akan terus berlanjut pada turunan-turunan teks selanjutnya.
Penggalian informasi yang terkandung di dalam sebuah naskah, bukanlah perkara yang mudah. Banyak kesulitan dan rintangan yang mungkin akan dihadapi peneliti naskah di antaranya adalah bahan naskah yang berasal dari alam yang menyebabkan naskah mudah lapuk. Di samping itu, faktor usia naskah sendiri yang sudah tua ditambah lagi penyimpanan yang kurang cermat sehingga naskah menjadi terlantar, tertumpah benda cair, menyebabkan naskah tidak mungkin lagi disentuh apalagi dibaca. Apalagi seandainya naskah tersebut sampai hilang atau terbakar maka informasi yang terkandung di dalam naskah tersebut tidak akan pernah sampai kepada kita selaku generasi baru. Selain itu, aksara yang digunakan di dalam naskah pun sudah tidak dikenal lagi oleh masyarakat sekarang, walaupun naskah tersebut berasal dari daerahnya sendiri. Seandainya ada, jumlah orang yang masih dapat membaca aksara lama ini pun tidak banyak dan sudah berusia lanjut. Orang-orang ini umumnya hafal dengan isi naskah yang berasal dari daerah mereka tersebut. Sayangnya, hanya sedikit generasi muda yang tertarik untuk membahas dan belajar dengan mereka. Achadiati (1997:28) mengemukakan kebanyakan orang Indonesia tidak mengenal aksara mereka sendiri sehingga mereka merasa asing dengan hal itu. Dari keasingan ini timbullah sikap tak sayang yang menyebabkan mereka juga kurang menghargai keberadaan naskah. Padahal aksara dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penting timbulnya naskah.

Menurut Pradotokusumo (1986:1), aksara atau hasil goresan tangan nenek moyang Indonesia yang tertua adalah kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9 yang menggunakan aksara Jawa Kuno. Kakawin ini merupakan satu-satunya kakawin yang diketahui berasal dari Jawa Tengah yang masih dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha. Dapat diperkirakan bahwa tulisan ini merupakan tulisan pertama dalam naskah yang dikenal oleh nenek moyang kita. Sejak masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, Islam menyumbangkan aksara baru yaitu aksara Arab. Aksara ini kemudian meluas dan menyebar di beberapa daerah di Nusantara, antara lain dataran Melayu, Sunda, dan Buton. Aksara Arab kemudian mendominasi aksara-aksara daerah yang sudah ada sebelumnya di Nusantara. Aksara Arab tersebut beradaptasi dengan bunyi bahasa yang ada di Nusantara sehingga menghasilkan aksara-aksara baru yang kemudian diadopsi menjadi aksara sendiri. Misalnya di daerah Melayu, dikenal adanya aksara Arab Jawi atau Arab Melayuu, di Sunda dikenal dengan aksara Arab Pegon, dan di Buton menjadi aksara Buri Wolio.


Aksara Arab yang sudah diadaptasi ini maksudnya adalah huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa daerah, misalnya untuk aksara Arab Melayu merupakan aksara Arab yang menggunakan bahasa Melayu atau Bahasa Minangkabau. Aksara Arab tersebut akhirnya mengalami penyesuaian untuk bunyi-bunyi seperti /c/, /g/, /η/, dan /ñ/ dengan pemberian titik-titik tambahan sebagai penanda, yaitu چ untuk bunyi /c/, ک untuk bunyi /g/, ڽ untuk bunyi /η/, dan ﻉ untuk bunyi /ñ/. Dengan demikian, muncullah naskah-naskah yang menggunakan aksara ini di seluruh daerah yang menggunakannya. Aksara Arab yang mengalami modifikasi ini mengungguli aksara India yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat di Nusantara. Dapat dikatakan di sini bahwa di seluruh kepulauan Nusantara, kata dan ungkapan yang ada kaitannya dengan keislaman diterima ke dalam bahasa pribumi. Khusus untuk sastra Melayu klasik, khazanah Islam yang dimilikinya sangat luas (Achadiati, 1997:138). Terbukti dengan banyaknya naskah-naskah keagamaan yang dihasilkan di kawasan ini. Selain itu fisik tulisan sangat mendukung pernyataan ini. Salah satu daerah di Nusantara yang menggunakan aksara ini untuk menuliskan ide-ide, adat istiadat, dan pola hidup mereka adalah Melayu khususnya yang berada di ranah Minangkabau. Bangsa Melayu menyebut aksara ini dengan aksara Arab Melayu.

Pada umumnya, naskah-naskah yang berasal dari Minangkabau menggunakan Arab Melayu baik itu naskah sastra, adat istiadat, sejarah, obat-obatan, keislaman, maupun mantra-mantra untuk tujuan magis. Penggunaan aksara ini di Minangkabau mengindikasikan bahwa betapa kuatnya sendi Islam ada di Minangkabau sejak orang Minang mulai mengenal Islam. Salah satu naskah yang digali dalam penelitian ini adalah naskah Kitab Sifat Dua Puluh (selanjutnya disebut dengan KSDP). Naskah ini merupakan naskah keislaman. Hidayat (2007:1-4) mengungkapkan bahwa aspek pembeda yang menentukan naskah tersebut adalah naskah Islami adalah dari: (1) aksara, aksara yang digunakan adalah aksara Arab dan aksara Arab Pegon atau aksara Arab Melayu.; (2) penggunaan bahasa Arab dan istilah-istilah Arab dalam naskah-naskah yang berisi ajaran Islam tersebut; (3) kandungan naskah atau teksnya adalah tentang berbagai ajaran Islam dan hal-hal yang berkaitan dengan keislaman; dan (4) bahan materialnya adalah kertas baik yang dibuat secara tradisional (daluwang) ataupun kertas pabrik, alat tulisnya berupa pena dengan tinta berwarna hitam atau pada bagian tertentu menggunakan tinta merah. Naskah KSDP merupakan salah satu dari sekian banyak naskah keislaman milik masyarakat Minangkabau yang belum tergali. Naskah ini berisi pemikiran kalami (teologi Islam) yang dimaksudkan pemikiran ketuhanan (tauhid) menurut alur pikir ilmu kalam atau teologi yang berlandaskan ajaran Islam. KSDP memaparkan tentang sifat-sifat Allah SWT dan pada rasul-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam.


Naskah Kitab Sifat Dua Puluh

Ukuran naskah: 14x 21 cm; blok teks: 4,5x7 cm; rata-rata terdiri dari 14 baris tiap halaman; penomoran halaman dibuat ganda dengan menggunakan angka Arab dan Latin; terdiri dari 24 halaman; tulisan dibingkai dengan dua garis halus berwarna hitam; bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan Arab; penulis naskah ini adalah Datuk Mali Puti Alam (82 tahun). Datuk Mali Puti Alam (82 tahun). Kondisi naskah: naskah masih bagus dan tulisannya masih dapat terbaca. Naskah ini terdapat di surau Suluk yang beralamat di Nagari Katinggian, Kecamatan Harau, Kabupaten Limapuluh Kota.

No comments: