أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Di sepanjang jalan Sasak hingga jalan Penggung Surabaya, berderet puluhan toko kitab. Tidak hanya mendatangkan kitab dari Timur Tengah, mereka juga mencetak dan menerbitkan kitab-kitab karya ulama lokal.
Deretan toko yang berada di tengah komunitas Arab itu tidak begitu saja berdiri. Mereka memiliki sejarah. Dan sejarahnya merupakan bagian dari sejarah negeri ini, walau belum banyak diketahui.
Toko-toko itu juga memiliki peran penting sabagai pendukung kajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, terutama pesantren. Juga ikut serta dalam menjaga karya-karya ulama dalam negeri dengan terus-menerus menerbitkannya.
Dan satu lagi, terutama kitab lokal, memiliki ciri khas yang berbeda dengan kitab impor. Nah, bagaimana jelasnya? Silakan ikuti Ihwal edisi ini. Selamat membaca! *Thoriq/Suara Hidayatullah SEPTEMBER 2010
Toko Kitab yang Risaukan Van der Plas [1]
Toko Nabhan, dari lapak kaki lima menjadi penyuplai kitab pertama di Jawa dan pemasok dana di awal berdirinya Al Irsyad.
Al kisah, seorang perantau dari Hadramut bernama Salim bin Sa’d Nabhan mendarat di Papua pada tahun 1908. Ia bertujuan berniaga. Namun, ia tidak melihat prospek di pulau yang saat itu masih sedikit penghuninya itu. Akhirnya, ia melanjutkan perjalanan menuju Jakarta, kemudian diteruskan ke Surabaya.
Di persinggahan barunya, ia berfikir keras, bisnis apa yang memiliki prospek bagus. Muncullah peluang dibenaknya: menjual kitab. Faktanya, saat itu memang belum ada penjual kitab berbahasa Arab di Surabaya. Karena belum punya toko, ia kemudian membuka lapak kaki lima sebagai tempat penjualan.
Saat itu, kitab memang merupakan barang yang amat langka karena hanya sedikit yang beredar. Itu pun hanya orang-orang tertentu yang memilikinya, yakni para tokoh agama. Mereka memperolehnya di Tanah Suci, saat melaksanakan ibadah haji. Siapa yang ingin memilikinya, ia harus menitip terlebih dahulu kapada mereka yang hendak melaksanakan rukun Islam yang ke lima itu.
Namun, setelah Nabhan membuka lapaknya, para tokoh dan pencari ilmu tidak perlu lagi menunggu orang yang hendak pergi ke Tanah Suci. Mereka bisa memperolehnya di lapak Nabhan. Mulai saat itulah bisnis yang ia geluti meningkat pesat, hingga akhirnya bisa mendirikan sebuah toko.
Disamping mengimpor kitab-kitab dari Mesir, Nabhan mulai mencetak dan menerbitkan kitab karya beberapa ulama lokal, semisal buku kecil mengenai ilmu sharaf yang ditulis oleh seorang ulama dari Jombang.
Seiring perkembangan pesantren di seluruh Nusantara, lapak Nabhan juga berkembang. Sebab, ia mensuplai kitab-kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren tersebut. Tentu saja keuntungan yang diperoleh juga semakin besar.
Keuntungan mmelimpah, tidak lantas membuat Nabhan lalai. Pada sekitar tahun 1930-an, pria yang dikenal dermawan ini bertemu dengan Syaikh Surkati. Saat itu, ulama ini merasa khawatir dengan kondisi orang-orang Arab di Surabaya yang dirundung kebodohan terhadap ajaran Islam, sehingga beliau berinisatif untuk mendirikan organisasi Al-Iryad di Surabaya, bergerak di bidang dakwah dan social. Tujuan organisasi ini adalah membasmi penyakit masyarakat yang dinilai sudah kronis itu. Nabhan akhirnya menginfaqkan dana untuk membeli beberapa petak tanah.
Tidak hanya untuk sekolah, di atas tanah yang berhasil dibeli itu juga dibangun sebuah hotel, bernama Hotel Kemajuan. Hingga kini, hasil yang diberikan oleh hotel ini masih menjadi urat nadi Al-Irsyad.
Tentu saja Syaikh Surkati senang dengan dukungan Nabhan itu. Tapi ada yang cemas. Tak lain adalah Charles Olke Van der Plas, Gubernur Hindia Belanda untuk Jawa Timur. Toko kitab Nabhan menjadi perhatian serius Van der Plas, karena toko ini dianggap bisa membangkitkan pemberontakan rakyat jajahan. Maka Van der Plasmengirim surat kepada Nabhan, agar tidak mengimpor buku-buku tertentu yang kemungkinan bisa mempengaruhi pemikiran umat Islam, lalu melakukan gerakan yang bisa mengganggu eksistensi kekuasaan Belanda di negeri ini. Namun, jika pihaknya sudah terlanjur membeli, Gubernur yang juga seorang orientalis pandai berbahasa Arab ini meminta satu kitab, untuk diserahkan kepadanya. Tentu saja tujuannya untuk meneliti, isinya bahaya atau tidak bagi kepentingan Belanda
Tidak hanya pihak Belanda, gangguan lebih parah malah datang dari pihak dalam negeri, khususnya komunis. Pernah salah satu gudang milik Nabhan yang berada di Solo dibakar oleh mereka. Namun, aktivitas Nabhan dengan toko kitabnya tidak bisa dihentikan walau dengan cara-cara demikian.
Selanjutnya, datangnya Jepang menggantikan Belanda, tidak lebih baik keadaannya. Jepang menutup sekolah-sekolah. Keluarga Nabhan akhirnya mencari cara agar anak-anaknya tetap bisa melanjutkan pendidikan. Akhirnya, Nabhan meminta Syaikh Umar Hubaish, seorang ahli fiqih untuk mengajari putra-putranya. Bahkan Nabhan juga memberikan sebuah rumah untuk ulama ini.
Yang sempat menghentikan aktivitas toko Nabhan beberapa bulan adalah masuknya pasukan Inggris ke Surabaya tahun 1945. Saat itu Surabaya dibombardir Inggris. Nabhan bersama keluarga terpaksa mengungsi ke luar kota. Toko yang kini terletak di jalan Panggung Surabaya ia tinggalkan. Saat itu, rumah-rumah di sekitar toko Nabhan hancur. Beruntung, toko milik Nabhan masih utuh.
Lambat laun, warga keturunan Arab yang ingin menjalankan usaha seperti yang ditempuh Nabhan semakin banyak. Mereka mengambil buku dari pria yang lahir tahun 1886 ini, kemudian menjualnya. Bahkan keturunan Arab yang menetap di luar Surabaya, seperti Jombang, Pare atau Kediri ikut menempuh hal yang sama. Mereka juga membuka toko kitab untuk memasok kebutuhan kitab di beberapa pesantren besar di daerah tersebut.
Selain Jawa, pesantren-pesantren di Madura juga disuplai dari toko Nabhan. Karena toko ini, selain mencetak kitab-kitab berbahasa Arab, juga menerbitkan kitab-kitab berbahasa Madura dan Jawa. Bahkan sebelumnya juga pernah menerbitkan kitab berbahasa Sunda.
Akhirnya, toko-toko dan penerbitan kitab mulai menjamur di daerah yang berdekatan dengan situs makam Sunan Ampel ini. Kini, ada sekitar 20 toko yang sebagian juga penerbit, berderet di jalan Sasak hingga jalan Panggung, setelah 61 tahun wafatnya Nabhan. Demikian riwayat panjang toko Nabhan, yang disampaikan Mustafa, cucu Syaikh Salim Sa’ad Nabhan yang kini mengelola toko Salim Nabhan kepada Suara Hidayatullah.
Saat ini, yang mampu menerbitkan dan mendatangkan kitab tidak hanya toko Nabhan, bahkan ada pula perwakilan penerbit Timur Tengah di antara jajaran toko-toko itu. Namun, tetap saja mereka sepertinya memandang Nabhan sebagai “toko senior,” yang lebih tepat untuk dirujuk ketika konsumen tidak menemukan kitab yang dicari di toko mereka.
Beberapa kali Suara Hidayatullah bertanya mengenai beberapa judul buku tertentu di beberapa toko kitab. Jika tak tersedia di toko mereka, si penjaga biasanya mengarahkan,”Coba di Nabhan, sepertinya ada.” * Thoriq/Suara Hidayatullah SEPTEMBER 2010
Kitab Al-Bantani Banyak Dicari [2]
Karya Nawawi Al-Bantani mencapai 38 kitab. Mayoritas digunakan di pondok-pondok pesantren di Indonesia
Walau tangannya harus berlepotan dengan debu, laki-laki berkacamata itu tetap asyik membuka-buka beberapa kitab. Kejadian itu berlangsung di sebuah toko kitab di lorong jalan Sasak Surabaya. Sesekali ia terlihat mengibaskan kedua telapak tangannya, mengusir debu.
Setelah tenggelam beberapa saat, ia tersadar bahwa ia tidak sedang berada di perpustakaan dan ada penjaga yang memperhatikan gerak-geriknya. Ia segera mengatakan,”Maaf saya lihat-lihat dulu.”
Ternyata, alumnus sebuah pesantren yang berlokasi di Blitar, Jawa Timur ini sedang mencari buku-buku karya Imam Nawawi Al-Bantani, yang diajarkan di pesantrennya. Dia pun akhirnya memborong sejumlah kitab karya beliau. Karena kitabnya tidak terlalu tebal, dengan bermodal 60 Rp ribu, laki-laki yang mengaku bernama Amrullah itu, bisa membawa pulang 8 kitab.
Sebenarnya, karya-karya Nawawi Al-Bantani tidak hanya digunakan di pesantren tempat Amrullah pernah menuntut ilmu. Banyak pesantren yang mengkaji karya ulama yang digelari al-Allamah (orang yang sangat alim) ini. Pasalnya, selain sebagai guru para ulama Nusantara, Al-Bantani juga menulis kitab syarah (penjelas) kitab lain. Itu dilakukan guna mempermudah para penuntut ilmu dalam memahami karya para ulama.
Hal ini terlihat dalam salah satu bukunya berjudul Tanqih Al-Qaul Al-Hadits. Dalam muqadimah buku ini, ia menjelaskan motivasi menulis kitab tersebut, yakni karena kitab Lubab Al-Hadits, karya Al-Hafidz As-Suyuthi sudah banyak diajarkan di Jawa. Banyaknya kesalahan dalam memahami dan penulisan buku ini, mendorong dirinya menulis penjelasannya, guna meminimalisir kesalahan tersebut.
Jika sudah menjadi rujukan di pesantren Indonesia, khusunya Jawa, tak heran bila kitab Al-Bantani banyak diterbitkan penerbit lokal. Rudi, seorang penjaga salah satu toko kitab mengakui bahwa kitab Al Bantani tergolong kitab yang laris terjual,”Sangat laris, karena dijadikan rujukan di pesantren.”
Mengenal Karya Al-Bantani
Tentu, sebagai Muslim yang tinggal di Indonesia, sayang jika tidak mengenal karya-karya ulama yang sebenarnya amat populer di mata penuntut ilmu ini. Di Timur Tengah, tidak hanya para ulama Muslim, bahkan para sarjana Barat telah mengkaji karya-karyanya.
Ismail Basya Al-Baghdadi dalam karyanya, Hidayah Al-Arifin menyebutkan bahwa karya Al-Bantani mencapai 30 kitab. Sedangkan Joseph Elian Serkis dalam Al-Mu’jam Al-Mathbu’at Al-Arabiyah wa Al-Mu`arrabah menyebutkan jumlah karya ulama yang mencari ilmu di Mesir dan Hijaz ini mencapai 38 kitab.
Dari karya ulama yang wafat tahun 1316 H ini, tak ada salahnya untuk mengetahui beberapa di antaranya yang populer dikaji di banyak pesantren di Indonesia. Berikut sekilas informasi mengenai 10 kitab Al-Bantani:
Nihayah Az-Zain fi Iryad Al-Mubtadi`in
Kitab ini salah satu karya Al-Bantani dalam bidang fiqih madzhab Syafi’i. Ia merupakan syarah (penjelasan) dari Quratu Al ‘Ain bi Muhimmati Ad Din, karya Zain Ad Din Al-Malibari.
Al-Bantani sendiri menyebutkan bahwa dalam mensyarah, ia tidak mengambil pemikiran sendiri, namun menukil dari beberapa karya ulama, di antaranya Nihayah Al-Amal karya Ad-Dimyathi, Nihayah Al-Muhtj karya Ar-Ramli, Tuhfah Al-Muhtaj dan Fath Al-Jawwad karya Al-Haitmi, serta An-Nihayah Syarh Abi Syuja’.
An-Nihayah kini tercetak satu jilid tebal, mencapai sekitar 400 halaman.
Qathr Al-Ghaits
Ini syarah dari karya ulama sebelumnya, yakni Al-Mufassir Al-Muhaddits Abu Laits As-Samarkandi, membahas masalah akidah.
Kitab berjudul lengkap Qathr Al-Ghaits fi Syarh Masa`il Abi Laits ini merupakan karya Al Bantani yang cukup ringkas, 12 halaman.
Ats-Tsimar Al-Yani’ah
Karya Al-Bantani dalam bidang fiqih termasuk Ats-Tsimar Al-Yani’ah. Kitab ini syarah dari karya Syaikh Muhammad Hasbullah berjudul Ar-Riyadh Al-Badi’ah.
Ats-Tsimar terdiri dari beberapa bab seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, i’tikaf, haji dan umrah, aqiqah, dan nadzar.
Tidak seperti Nihayah Az-Zain, Ats-Tsimar lebih tipis jumlah halamannya, sekitar 100 halaman.
Nasha`ih Al-Ibad
Syarah dari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, berjudul Al-Munabbihat ‘Ala Al-Isti’dad li Al-Yaum Al-Mi’ad, berisi 214 tema berkisar masalah tazkiyah an-nafs. Dari tema-tema tersebut terdapat 45 Hadits dan sisanya atsar, serta ungkapan-ungkapan yang mengandung hikmah.
Tanqih Al-Qaul Al-Hatsits
Syarah dari kitab Lubab Al-Hadits, karya Al-Hafidz As-Suyuthi. Lubab Al-Hadits sendiri merupakan kumpulan Hadits dan atsar yang dinilai shahih oleh Al-Hafidz As-Suyuthi. Terdiri dari 40 bab, dan tiap babnya terkandung 10 Hadits dan atsar, sehingga jumlah total Hadits dan atsar mencapai 400.
Dalam At-Tanqih, pembahasan berkonsentrasi pada masalah fadhail amal.
Maraqi Al-Ubudiyah
Syarah dari matan Bidayah Al-Hidayah karya Imam Al-Ghazali yang mengupas masalah akhlak dan tazkiyah an-nafs. Pembahasannya mencakup apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam sehari serta penjagaan terhadap anggota badan dari berbuat maksiat.
Kasyifah As-Saja
Syarah matan Safinah An-Naja karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami. Sebuah kitab fiqih yang disajikan secara ringkas, membahas rukun Islam minus haji.
Selain dipelajari di pesantren-pesentren Indonesia, kitab ini juga dipelajari di beberapa madrasah madzhab As-Syafi’i di Yaman.
Qami’ At-Tughyan
Karya Al-Bantani yang mensyarah nadham (sajak) berjudul Syu’ab Al-Iman, karya Zain Ad-din Al-Malibari.
Berisi keterangan mengenai 30 nadham yang membahas masalah keimanan dan cabang-cabangnya yang berjumlah 77.
Tafsir Al Munir
Ulama dari Banten ini tidak hanya menulis soal fiqih, syarah Hadits atau tazkiyah an-nafs, namun ia juga memiliki karya yang berkenaan dengan tafsir.
Tafsir Al-Munir li Ma’alimi At-Tanzil juga dikenal dengan sebutan Tafsir Al-Jawi atau Mirah Labid fi Al-Ma’ani Al-Qur`an Al-Majid.
Penafsiran yang dilakukan Al-Bantani cukup ringkas dan jelas, menjelaskan maksud ayat-ayat. Tafsir Al-Munir tercetak dalam 2 jilid tebal.* Thoriq/Suara Hidayatullah
Kenapa Harus Kuning? [3]
Penerbit Timur Tengah sudah mulai meninggalkan HVS kuning. Penerbit lokal juga tidak melihat adanya keistimewaan pada kertas jenis ini
Suatu saat, seorang santri sedang mencari kitab Riyadh As Shalihin karya Imam An Nawawi. Disodorilah ia buku yang sesuai dengan permintaannya. Namun, si santri menolak. Alasannya, buku itu menggunakan kertas putih. Ia ingin yang berwarna kuning. Sayangnya, semua toko telah kehabisan stok kitab itu, yang tercetak menggunakan HVS kuning.
“Yang ada hanya yang seperti ini,” si penjual menjelaskan. Namun si santri tetap keukeh pendiriannya,”Gak jadi, saya lebih baik menunggu terbitan kuning yang baru.” Itulah sekelumit kisah yang dituturkan oleh Mustafa, salah satu pemilik penerbitan kitab klasik di Surabaya, mengenai perilaku konsumen.
Sebab itulah, para penerbit kitab lokal memilih konsisten menerbitkan kitab dengan HVS kuning, walau harganya lebih mahal dari HVS putih. Pengadaan kertasnya juga sulit, karena harus memesan langsung ke pabrik. Itu pun sisa impor dan harus dibayar cash alias lunas.
Para penerbit sendiri sebenarnya tidak melihat adanya keistimewaan, jika kitab dicetak dengan HVS kuning. Mastafa yang mewarisi penerbitan dari kakeknya menilai, hal seperti itu merupakan bentuk fanatisme, ”Ini merupakan bentuk fanatik terhadap warna, sebagaimana mereka juga fanatik kepada penerbit tertentu dari Timur Tengah.”
Walau demikian, pernah juga Mustafa mendapat informasi dari pembeli bahwa kertas kuning lebih sejuk di mata, dibanding yang berwarna putih.
Namun, inilah beda antara Indonesia dan Timur Tengah selaku pusat buku-buku klasik. Awalnya, kitab-kitab tersebut diterbitkan menggunakan HVS kuning. Namun, lambat laun, penerbit-penerbit Timur Tengah mulai bergeser ke HVS putih. Bahkan kini, beberapa kitab klasik telah menggunakan kertas berwarna, baik itu berwarna biru muda, hijau atau kuning cerah.
Istilah-istilah dalam Kitab Klasik
Ciri khas kitab Arab klasik dibanding buku-buku pada umumnya, disamping warna, adalah susunan isi. Dalam kitab klasik, tak jarang dalam satu kitab disisipi naskah pokok alias matan, atau penjelasan alias syarah, atau kitab lain yang membahas tema yang sama. Terkadang sisipan itu bisa sampai 2 atau 3 jumlahnya.
Sisipan inilah yang disebut dengan istilah hamisy alias hawamisy dalam bentuk jamak atau hasyiyah alias hawasyi dalam betuk plural. Kedua-duanya memiliki arti catatan pinggir, karena memang ditulis di tepi, walau pada perkembangannya ada pula yang ditulis di bawah, mirip catatan kaki.
Dengan disertakan sisipan, diharapkan pemahaman mengenai isi kitab lebih mudah didapatkan.
Untuk memudahkan pembaca pula, banyak kitab-kitab klasik yang kini dilengkapi dengan catatan kaki yang menjelaskan sumber Hadits-hadits yang termaktub dalam kitab itu, inilah yang dinamakan takhrij.
Tahqiq juga istilah yang biasa dipakai dalam kitab klasik, yakni koreksi mengenai validitas atau penulisan ulang naskah kitab yang merujuk kepada mahthut alias manuskrip. Pelakunya disebut muhaqqiq.
Ta’liq atau komentar terkadang juga disertakan dalam kitab klasik, yang biasanya ditulis di catatan kaki. Ta’liq berfungsi sebagai penjelas hal-hal yang dianggap penting oleh mualliq atau komentator untuk dijelaskan. Hampir sama dengan syarah, hanya saja syarah merupakan penjelasan secara menyeluruh terhadap kitab, sedangkan ta’liq hanya penjelasan menyangkut hal-hal yang dianggap penting saja.*
Di sepanjang jalan Sasak hingga jalan Penggung Surabaya, berderet puluhan toko kitab. Tidak hanya mendatangkan kitab dari Timur Tengah, mereka juga mencetak dan menerbitkan kitab-kitab karya ulama lokal.
Deretan toko yang berada di tengah komunitas Arab itu tidak begitu saja berdiri. Mereka memiliki sejarah. Dan sejarahnya merupakan bagian dari sejarah negeri ini, walau belum banyak diketahui.
Toko-toko itu juga memiliki peran penting sabagai pendukung kajian Islam di lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia, terutama pesantren. Juga ikut serta dalam menjaga karya-karya ulama dalam negeri dengan terus-menerus menerbitkannya.
Dan satu lagi, terutama kitab lokal, memiliki ciri khas yang berbeda dengan kitab impor. Nah, bagaimana jelasnya? Silakan ikuti Ihwal edisi ini. Selamat membaca! *Thoriq/Suara Hidayatullah SEPTEMBER 2010
Toko Kitab yang Risaukan Van der Plas [1]
Toko Nabhan, dari lapak kaki lima menjadi penyuplai kitab pertama di Jawa dan pemasok dana di awal berdirinya Al Irsyad.
Al kisah, seorang perantau dari Hadramut bernama Salim bin Sa’d Nabhan mendarat di Papua pada tahun 1908. Ia bertujuan berniaga. Namun, ia tidak melihat prospek di pulau yang saat itu masih sedikit penghuninya itu. Akhirnya, ia melanjutkan perjalanan menuju Jakarta, kemudian diteruskan ke Surabaya.
Di persinggahan barunya, ia berfikir keras, bisnis apa yang memiliki prospek bagus. Muncullah peluang dibenaknya: menjual kitab. Faktanya, saat itu memang belum ada penjual kitab berbahasa Arab di Surabaya. Karena belum punya toko, ia kemudian membuka lapak kaki lima sebagai tempat penjualan.
Saat itu, kitab memang merupakan barang yang amat langka karena hanya sedikit yang beredar. Itu pun hanya orang-orang tertentu yang memilikinya, yakni para tokoh agama. Mereka memperolehnya di Tanah Suci, saat melaksanakan ibadah haji. Siapa yang ingin memilikinya, ia harus menitip terlebih dahulu kapada mereka yang hendak melaksanakan rukun Islam yang ke lima itu.
Namun, setelah Nabhan membuka lapaknya, para tokoh dan pencari ilmu tidak perlu lagi menunggu orang yang hendak pergi ke Tanah Suci. Mereka bisa memperolehnya di lapak Nabhan. Mulai saat itulah bisnis yang ia geluti meningkat pesat, hingga akhirnya bisa mendirikan sebuah toko.
Disamping mengimpor kitab-kitab dari Mesir, Nabhan mulai mencetak dan menerbitkan kitab karya beberapa ulama lokal, semisal buku kecil mengenai ilmu sharaf yang ditulis oleh seorang ulama dari Jombang.
Seiring perkembangan pesantren di seluruh Nusantara, lapak Nabhan juga berkembang. Sebab, ia mensuplai kitab-kitab yang diajarkan di pesantren-pesantren tersebut. Tentu saja keuntungan yang diperoleh juga semakin besar.
Keuntungan mmelimpah, tidak lantas membuat Nabhan lalai. Pada sekitar tahun 1930-an, pria yang dikenal dermawan ini bertemu dengan Syaikh Surkati. Saat itu, ulama ini merasa khawatir dengan kondisi orang-orang Arab di Surabaya yang dirundung kebodohan terhadap ajaran Islam, sehingga beliau berinisatif untuk mendirikan organisasi Al-Iryad di Surabaya, bergerak di bidang dakwah dan social. Tujuan organisasi ini adalah membasmi penyakit masyarakat yang dinilai sudah kronis itu. Nabhan akhirnya menginfaqkan dana untuk membeli beberapa petak tanah.
Tidak hanya untuk sekolah, di atas tanah yang berhasil dibeli itu juga dibangun sebuah hotel, bernama Hotel Kemajuan. Hingga kini, hasil yang diberikan oleh hotel ini masih menjadi urat nadi Al-Irsyad.
Tentu saja Syaikh Surkati senang dengan dukungan Nabhan itu. Tapi ada yang cemas. Tak lain adalah Charles Olke Van der Plas, Gubernur Hindia Belanda untuk Jawa Timur. Toko kitab Nabhan menjadi perhatian serius Van der Plas, karena toko ini dianggap bisa membangkitkan pemberontakan rakyat jajahan. Maka Van der Plasmengirim surat kepada Nabhan, agar tidak mengimpor buku-buku tertentu yang kemungkinan bisa mempengaruhi pemikiran umat Islam, lalu melakukan gerakan yang bisa mengganggu eksistensi kekuasaan Belanda di negeri ini. Namun, jika pihaknya sudah terlanjur membeli, Gubernur yang juga seorang orientalis pandai berbahasa Arab ini meminta satu kitab, untuk diserahkan kepadanya. Tentu saja tujuannya untuk meneliti, isinya bahaya atau tidak bagi kepentingan Belanda
Tidak hanya pihak Belanda, gangguan lebih parah malah datang dari pihak dalam negeri, khususnya komunis. Pernah salah satu gudang milik Nabhan yang berada di Solo dibakar oleh mereka. Namun, aktivitas Nabhan dengan toko kitabnya tidak bisa dihentikan walau dengan cara-cara demikian.
Selanjutnya, datangnya Jepang menggantikan Belanda, tidak lebih baik keadaannya. Jepang menutup sekolah-sekolah. Keluarga Nabhan akhirnya mencari cara agar anak-anaknya tetap bisa melanjutkan pendidikan. Akhirnya, Nabhan meminta Syaikh Umar Hubaish, seorang ahli fiqih untuk mengajari putra-putranya. Bahkan Nabhan juga memberikan sebuah rumah untuk ulama ini.
Yang sempat menghentikan aktivitas toko Nabhan beberapa bulan adalah masuknya pasukan Inggris ke Surabaya tahun 1945. Saat itu Surabaya dibombardir Inggris. Nabhan bersama keluarga terpaksa mengungsi ke luar kota. Toko yang kini terletak di jalan Panggung Surabaya ia tinggalkan. Saat itu, rumah-rumah di sekitar toko Nabhan hancur. Beruntung, toko milik Nabhan masih utuh.
Lambat laun, warga keturunan Arab yang ingin menjalankan usaha seperti yang ditempuh Nabhan semakin banyak. Mereka mengambil buku dari pria yang lahir tahun 1886 ini, kemudian menjualnya. Bahkan keturunan Arab yang menetap di luar Surabaya, seperti Jombang, Pare atau Kediri ikut menempuh hal yang sama. Mereka juga membuka toko kitab untuk memasok kebutuhan kitab di beberapa pesantren besar di daerah tersebut.
Selain Jawa, pesantren-pesantren di Madura juga disuplai dari toko Nabhan. Karena toko ini, selain mencetak kitab-kitab berbahasa Arab, juga menerbitkan kitab-kitab berbahasa Madura dan Jawa. Bahkan sebelumnya juga pernah menerbitkan kitab berbahasa Sunda.
Akhirnya, toko-toko dan penerbitan kitab mulai menjamur di daerah yang berdekatan dengan situs makam Sunan Ampel ini. Kini, ada sekitar 20 toko yang sebagian juga penerbit, berderet di jalan Sasak hingga jalan Panggung, setelah 61 tahun wafatnya Nabhan. Demikian riwayat panjang toko Nabhan, yang disampaikan Mustafa, cucu Syaikh Salim Sa’ad Nabhan yang kini mengelola toko Salim Nabhan kepada Suara Hidayatullah.
Saat ini, yang mampu menerbitkan dan mendatangkan kitab tidak hanya toko Nabhan, bahkan ada pula perwakilan penerbit Timur Tengah di antara jajaran toko-toko itu. Namun, tetap saja mereka sepertinya memandang Nabhan sebagai “toko senior,” yang lebih tepat untuk dirujuk ketika konsumen tidak menemukan kitab yang dicari di toko mereka.
Beberapa kali Suara Hidayatullah bertanya mengenai beberapa judul buku tertentu di beberapa toko kitab. Jika tak tersedia di toko mereka, si penjaga biasanya mengarahkan,”Coba di Nabhan, sepertinya ada.” * Thoriq/Suara Hidayatullah SEPTEMBER 2010
Kitab Al-Bantani Banyak Dicari [2]
Karya Nawawi Al-Bantani mencapai 38 kitab. Mayoritas digunakan di pondok-pondok pesantren di Indonesia
Walau tangannya harus berlepotan dengan debu, laki-laki berkacamata itu tetap asyik membuka-buka beberapa kitab. Kejadian itu berlangsung di sebuah toko kitab di lorong jalan Sasak Surabaya. Sesekali ia terlihat mengibaskan kedua telapak tangannya, mengusir debu.
Setelah tenggelam beberapa saat, ia tersadar bahwa ia tidak sedang berada di perpustakaan dan ada penjaga yang memperhatikan gerak-geriknya. Ia segera mengatakan,”Maaf saya lihat-lihat dulu.”
Ternyata, alumnus sebuah pesantren yang berlokasi di Blitar, Jawa Timur ini sedang mencari buku-buku karya Imam Nawawi Al-Bantani, yang diajarkan di pesantrennya. Dia pun akhirnya memborong sejumlah kitab karya beliau. Karena kitabnya tidak terlalu tebal, dengan bermodal 60 Rp ribu, laki-laki yang mengaku bernama Amrullah itu, bisa membawa pulang 8 kitab.
Sebenarnya, karya-karya Nawawi Al-Bantani tidak hanya digunakan di pesantren tempat Amrullah pernah menuntut ilmu. Banyak pesantren yang mengkaji karya ulama yang digelari al-Allamah (orang yang sangat alim) ini. Pasalnya, selain sebagai guru para ulama Nusantara, Al-Bantani juga menulis kitab syarah (penjelas) kitab lain. Itu dilakukan guna mempermudah para penuntut ilmu dalam memahami karya para ulama.
Hal ini terlihat dalam salah satu bukunya berjudul Tanqih Al-Qaul Al-Hadits. Dalam muqadimah buku ini, ia menjelaskan motivasi menulis kitab tersebut, yakni karena kitab Lubab Al-Hadits, karya Al-Hafidz As-Suyuthi sudah banyak diajarkan di Jawa. Banyaknya kesalahan dalam memahami dan penulisan buku ini, mendorong dirinya menulis penjelasannya, guna meminimalisir kesalahan tersebut.
Jika sudah menjadi rujukan di pesantren Indonesia, khusunya Jawa, tak heran bila kitab Al-Bantani banyak diterbitkan penerbit lokal. Rudi, seorang penjaga salah satu toko kitab mengakui bahwa kitab Al Bantani tergolong kitab yang laris terjual,”Sangat laris, karena dijadikan rujukan di pesantren.”
Mengenal Karya Al-Bantani
Tentu, sebagai Muslim yang tinggal di Indonesia, sayang jika tidak mengenal karya-karya ulama yang sebenarnya amat populer di mata penuntut ilmu ini. Di Timur Tengah, tidak hanya para ulama Muslim, bahkan para sarjana Barat telah mengkaji karya-karyanya.
Ismail Basya Al-Baghdadi dalam karyanya, Hidayah Al-Arifin menyebutkan bahwa karya Al-Bantani mencapai 30 kitab. Sedangkan Joseph Elian Serkis dalam Al-Mu’jam Al-Mathbu’at Al-Arabiyah wa Al-Mu`arrabah menyebutkan jumlah karya ulama yang mencari ilmu di Mesir dan Hijaz ini mencapai 38 kitab.
Dari karya ulama yang wafat tahun 1316 H ini, tak ada salahnya untuk mengetahui beberapa di antaranya yang populer dikaji di banyak pesantren di Indonesia. Berikut sekilas informasi mengenai 10 kitab Al-Bantani:
Nihayah Az-Zain fi Iryad Al-Mubtadi`in
Kitab ini salah satu karya Al-Bantani dalam bidang fiqih madzhab Syafi’i. Ia merupakan syarah (penjelasan) dari Quratu Al ‘Ain bi Muhimmati Ad Din, karya Zain Ad Din Al-Malibari.
Al-Bantani sendiri menyebutkan bahwa dalam mensyarah, ia tidak mengambil pemikiran sendiri, namun menukil dari beberapa karya ulama, di antaranya Nihayah Al-Amal karya Ad-Dimyathi, Nihayah Al-Muhtj karya Ar-Ramli, Tuhfah Al-Muhtaj dan Fath Al-Jawwad karya Al-Haitmi, serta An-Nihayah Syarh Abi Syuja’.
An-Nihayah kini tercetak satu jilid tebal, mencapai sekitar 400 halaman.
Qathr Al-Ghaits
Ini syarah dari karya ulama sebelumnya, yakni Al-Mufassir Al-Muhaddits Abu Laits As-Samarkandi, membahas masalah akidah.
Kitab berjudul lengkap Qathr Al-Ghaits fi Syarh Masa`il Abi Laits ini merupakan karya Al Bantani yang cukup ringkas, 12 halaman.
Ats-Tsimar Al-Yani’ah
Karya Al-Bantani dalam bidang fiqih termasuk Ats-Tsimar Al-Yani’ah. Kitab ini syarah dari karya Syaikh Muhammad Hasbullah berjudul Ar-Riyadh Al-Badi’ah.
Ats-Tsimar terdiri dari beberapa bab seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, i’tikaf, haji dan umrah, aqiqah, dan nadzar.
Tidak seperti Nihayah Az-Zain, Ats-Tsimar lebih tipis jumlah halamannya, sekitar 100 halaman.
Nasha`ih Al-Ibad
Syarah dari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, berjudul Al-Munabbihat ‘Ala Al-Isti’dad li Al-Yaum Al-Mi’ad, berisi 214 tema berkisar masalah tazkiyah an-nafs. Dari tema-tema tersebut terdapat 45 Hadits dan sisanya atsar, serta ungkapan-ungkapan yang mengandung hikmah.
Tanqih Al-Qaul Al-Hatsits
Syarah dari kitab Lubab Al-Hadits, karya Al-Hafidz As-Suyuthi. Lubab Al-Hadits sendiri merupakan kumpulan Hadits dan atsar yang dinilai shahih oleh Al-Hafidz As-Suyuthi. Terdiri dari 40 bab, dan tiap babnya terkandung 10 Hadits dan atsar, sehingga jumlah total Hadits dan atsar mencapai 400.
Dalam At-Tanqih, pembahasan berkonsentrasi pada masalah fadhail amal.
Maraqi Al-Ubudiyah
Syarah dari matan Bidayah Al-Hidayah karya Imam Al-Ghazali yang mengupas masalah akhlak dan tazkiyah an-nafs. Pembahasannya mencakup apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam sehari serta penjagaan terhadap anggota badan dari berbuat maksiat.
Kasyifah As-Saja
Syarah matan Safinah An-Naja karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadrami. Sebuah kitab fiqih yang disajikan secara ringkas, membahas rukun Islam minus haji.
Selain dipelajari di pesantren-pesentren Indonesia, kitab ini juga dipelajari di beberapa madrasah madzhab As-Syafi’i di Yaman.
Qami’ At-Tughyan
Karya Al-Bantani yang mensyarah nadham (sajak) berjudul Syu’ab Al-Iman, karya Zain Ad-din Al-Malibari.
Berisi keterangan mengenai 30 nadham yang membahas masalah keimanan dan cabang-cabangnya yang berjumlah 77.
Tafsir Al Munir
Ulama dari Banten ini tidak hanya menulis soal fiqih, syarah Hadits atau tazkiyah an-nafs, namun ia juga memiliki karya yang berkenaan dengan tafsir.
Tafsir Al-Munir li Ma’alimi At-Tanzil juga dikenal dengan sebutan Tafsir Al-Jawi atau Mirah Labid fi Al-Ma’ani Al-Qur`an Al-Majid.
Penafsiran yang dilakukan Al-Bantani cukup ringkas dan jelas, menjelaskan maksud ayat-ayat. Tafsir Al-Munir tercetak dalam 2 jilid tebal.* Thoriq/Suara Hidayatullah
Kenapa Harus Kuning? [3]
Penerbit Timur Tengah sudah mulai meninggalkan HVS kuning. Penerbit lokal juga tidak melihat adanya keistimewaan pada kertas jenis ini
Suatu saat, seorang santri sedang mencari kitab Riyadh As Shalihin karya Imam An Nawawi. Disodorilah ia buku yang sesuai dengan permintaannya. Namun, si santri menolak. Alasannya, buku itu menggunakan kertas putih. Ia ingin yang berwarna kuning. Sayangnya, semua toko telah kehabisan stok kitab itu, yang tercetak menggunakan HVS kuning.
“Yang ada hanya yang seperti ini,” si penjual menjelaskan. Namun si santri tetap keukeh pendiriannya,”Gak jadi, saya lebih baik menunggu terbitan kuning yang baru.” Itulah sekelumit kisah yang dituturkan oleh Mustafa, salah satu pemilik penerbitan kitab klasik di Surabaya, mengenai perilaku konsumen.
Sebab itulah, para penerbit kitab lokal memilih konsisten menerbitkan kitab dengan HVS kuning, walau harganya lebih mahal dari HVS putih. Pengadaan kertasnya juga sulit, karena harus memesan langsung ke pabrik. Itu pun sisa impor dan harus dibayar cash alias lunas.
Para penerbit sendiri sebenarnya tidak melihat adanya keistimewaan, jika kitab dicetak dengan HVS kuning. Mastafa yang mewarisi penerbitan dari kakeknya menilai, hal seperti itu merupakan bentuk fanatisme, ”Ini merupakan bentuk fanatik terhadap warna, sebagaimana mereka juga fanatik kepada penerbit tertentu dari Timur Tengah.”
Walau demikian, pernah juga Mustafa mendapat informasi dari pembeli bahwa kertas kuning lebih sejuk di mata, dibanding yang berwarna putih.
Namun, inilah beda antara Indonesia dan Timur Tengah selaku pusat buku-buku klasik. Awalnya, kitab-kitab tersebut diterbitkan menggunakan HVS kuning. Namun, lambat laun, penerbit-penerbit Timur Tengah mulai bergeser ke HVS putih. Bahkan kini, beberapa kitab klasik telah menggunakan kertas berwarna, baik itu berwarna biru muda, hijau atau kuning cerah.
Istilah-istilah dalam Kitab Klasik
Ciri khas kitab Arab klasik dibanding buku-buku pada umumnya, disamping warna, adalah susunan isi. Dalam kitab klasik, tak jarang dalam satu kitab disisipi naskah pokok alias matan, atau penjelasan alias syarah, atau kitab lain yang membahas tema yang sama. Terkadang sisipan itu bisa sampai 2 atau 3 jumlahnya.
Sisipan inilah yang disebut dengan istilah hamisy alias hawamisy dalam bentuk jamak atau hasyiyah alias hawasyi dalam betuk plural. Kedua-duanya memiliki arti catatan pinggir, karena memang ditulis di tepi, walau pada perkembangannya ada pula yang ditulis di bawah, mirip catatan kaki.
Dengan disertakan sisipan, diharapkan pemahaman mengenai isi kitab lebih mudah didapatkan.
Untuk memudahkan pembaca pula, banyak kitab-kitab klasik yang kini dilengkapi dengan catatan kaki yang menjelaskan sumber Hadits-hadits yang termaktub dalam kitab itu, inilah yang dinamakan takhrij.
Tahqiq juga istilah yang biasa dipakai dalam kitab klasik, yakni koreksi mengenai validitas atau penulisan ulang naskah kitab yang merujuk kepada mahthut alias manuskrip. Pelakunya disebut muhaqqiq.
Ta’liq atau komentar terkadang juga disertakan dalam kitab klasik, yang biasanya ditulis di catatan kaki. Ta’liq berfungsi sebagai penjelas hal-hal yang dianggap penting oleh mualliq atau komentator untuk dijelaskan. Hampir sama dengan syarah, hanya saja syarah merupakan penjelasan secara menyeluruh terhadap kitab, sedangkan ta’liq hanya penjelasan menyangkut hal-hal yang dianggap penting saja.*
No comments:
Post a Comment