أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
filsafat sebagai modal dasar ilmu pengetahuan dunia hilang berganti menjadi kasyaf sufi
Al-Qadli ‘Iyad (544 H)
Ia Berkata:
Syaikh Abu Hamid (Al Ghazali) memiliki karangan-karangan yang berlebihan dalam membahas tarekat sufinya dan memuat berita-berita yang keji yang tiada bandingnya dalam rangka membela mazhabnya. Sehingga ia menjadi seorang penyeru kepada jalan tersebut. Beliau telah menyusun karangan yang terkenal sehingga ia harus (menerima celaan) karena beberapa perkara yang ada pada tulisannya itu, sehingga buruklah sangkaan umat terhadapnya.
Allah lebih mengetahui tentang rahasia-Nya. Perintah penguasa berlaku bagi kami di Maroko dan para fuqaha (ahli fiqih) telah ber-fatwa agar membakar kitab tersebut dan menjauhinya, maka (perintah) itupun ditaati. (Siyar A’lamin Nubala XIX/327)
Ibnu Al-Jauzi (597 H)
Beliau berkata dalam (kitab) Al Muntazham jilid 9 hal 169-170:
Beliau (Al Ghazali) mulai menulis kitab Al Ihya di kota Al Quds (palestina) kemudian menyempurnakannya di Damaskus. la menulis dengan mendasarkan kepada aliran sufi serta meninggalkan pemahaman yang benar dalam penulisan (kitabnya) tersebut.
Sebagai contoh, seseorang yang ingin menghapus kewibawaanya (agar tidak dihormati) dan berusaha menahan hawa nafsunya, maka dia masuk kamar mandi dan memakai baju yang bukan miliknya, kemudian memakai bajunya di atas baju (yang bukan miliknya tadi), lalu ia keluar sambil berjalan perlahan-lahan sehingga orang-orang mendapatinya, kemudian mereka pun mengambil pakaian tersebut darinya dan kemudian dia dinamakan ‘pencuri kamar mandi’.
Cara seperti ini dalam mengajar murid adalah cara yang buruk karena pemahaman yang benar menghukuminya dengan keburukan. Hal itu disebabkan bahwa kamar mandi itu memiliki penjaga, maka pencuri tersebut (seharusnya) dipotong (tangannya). Selain itu tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukan sesuatu yang membuat orang tergoda untuk menzhalimi haknya.
Dan ia menyebutkan bahwasanya seorang lelaki membeli daging dan ia malu membawa daging tersebut ke rumahnya, maka ia meggantungkannya di leher dan berjalan. Ini juga termasuk sebuah keburukkan (yang ada dalam Ihya) dan yang seperti itu banyak sekali, namun bukan di sini tempat untuk menjelasannya.
Sungguh telah saya kumpulkan kesalahan-kesalahan kitab ini (dalam sebuah karangan tersendiri dan sayaa beri judul I’IamuI Ahya bi Aghlaathil Ihya dan saya juga telah menyinggung sebagian hal tersebut dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis.
Juga seperti apa yang tersebut di dalam kitab An Nikah (di Ihya) bahwasanya Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Engkaulah yang mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah.” Pernyataan ini tidak mungkin (diucapkan oleh ‘Aisyah).
Sesungguhnya yang menyebabkan berpalingnya (Al Ghazali) dari pemahaman yang benar dalam apa-apa yang dia tulis adalah karena ia menekuni (aliran) sufi dan dia berpendapat bahwa keadaan orang-orang sufl itu adalah sebagai tujuan.
Ia berkata, “Sesungguhnya saya mengambil metode ini dari Abu Ali Al Farmadzi. Saya mengikuti apa yang telah ditunjukkan olehnya berupa kewajiban-kewajiban dalam peribadatan dan terus-menerus (istimrariyah) dalam zikir sehingga saya berhasil melalui rintangan-rintangan (dalam peribadatan) itu walaupun saya dibebani kesulitan. Namun saya tetap tidak mendapatkan apa yang saya cari.” Kemudian ia melihat kitab Abu Thalib Al Makki dan perkataan orang-orang sufi yang terdahulu, sehingga ia lebih tertarik kepadanya daripada apa yang dituntut oleh pemahaman yang benar.
Dia membawakan hadits-hadits yang maudlu’ (palsu) di dalam kitab Al Ihya dan tidak sedikit pula hadits-hadits yang tidak sah, hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan dia tentang hadits. Maka alangkah baiknya apabila ia memperlihatkan terlebih dahulu hadits-hadits tersebut kepada mereka yang mengetahuinya. Akan tetapi (dalam hal ini) ia hanyalah menukil, sebagaimana seorang pencari kayu bakar yang mencari kayu bakarnya di malam hari.
Dahulu sebagian orang sangat mencintai kitab Al Ihya, oleh karena itu saya jelaskan kepada mereka aib-aibnya, kemudian saya tulis untuk mereka kitab yang seperti itu (kitab Minhajul Qashidin) dan saya buang apa-apa yang mesti dibuang dan saya tambah apa yang pantas untuk ditambah.
Dalam kitab Shaidul Khathir hal. 374 ketika berbicara tentang kesalahan-kesalahan Al Ghazali di dalam sejarah, beliau (Ibnul Jauzi) berkata:
Saya melihat hal-hal yang membingungkan dalam kitab Ihya’ Ulumudin karya Al Ghazali yaitu percampuran antara hadits-hadits dan sejarah-sejarah, maka saya kumpulkan kesalahan-kesalahannya di dalam suatu kitab.
Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam (kitab) Talbis Iblis (hal 186):
Abu Hamid Al Ghazali datang (kepada suatu kaum), kemudian menulis Kitab Al-Ihya bagi mereka berdasarkan metode kaum sufi dan memenuhiniya dengan hadits-hadits yang batil yang ia tidak mengetahui kebatilannya. la juga berbicara tentang ilmu mukasyafah yang telah keluar dari pemahaman yang benar. Dan ia (Al Ghazali) berkata, “Sesungguhnya maksud dari bintang matahari dan bulan yang dilihat oleh Nabi Ibrahim shalawatullah ‘alaihi adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab (tabir) Allah Azza wa Jalla dan bukannya (hakiki) seperti apa yang kita telah ketahui dan ini termasuk dalam bentuk ucapan para pengikut aliran Bathiniyyah.”
Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam Minhajul Qaashidiin (hal. 3 dalam ringkasannya)
Ketahuilah bahwasanya dalam kitab Al Ihya ini terdapat kerusakan-kerusakan yang hanya dapat diketahui oleh para ulama. Yang terkecil dari kerusakan tersebut adalah terdapatnya hadits-hadits yang batil, maudlu’ dan mauquf kemudian ia menjadikannya marfu’. Dan ia hanya menukil sebagaimana yang telah ia terima, bukan karena ia (sengaja) berdusta dengannya. Tidak sepantasnya seseorang beribadah dengan hadits maudlu’ (palsu) dan tertipu dengan lafazh yang dibuat-buat.
Bagaimanakah saya bisa ridla terhadapmu yang shalat sepanjang siang dan malam padahal tidak ada satu kata pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan tentang hal itu? Bagaimanakah saya membiarkan telingamu mendengar ucapan orang-orang sufi yang dikumpulkan dan dianjurkan (oleh Al Ghazali) untuk diamalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, baik berupa perkataan-perkataan mereka tentang kebinasaan, kekekalan, perintah untuk berlapar-lapar, keluar untuk mengembara tanpa keperluan dan masuk ke padang luas tanpa membawa bekal?
Selain itu saya telah menyingkap kekeliruannya dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis dan saya akan menulis bagimu suatu kitab (yaitu Minhajul Qaashidiin) yang bersih dari kerusakan-kerusakan dan tidak kosong dari faedah.
An Nawawi (676 H)
An Nawawi pernah ditanya tentang shalat raghaib yang sering dilakukan orang di malam Jum’at pertama di bulan Rajab, apakah ia merupakan sunnah, keutamaan ataukah bid’ah? Maka beliau menjawab: la adalah bid’ah yang buruk lagi diingkari dengan pengingkaran yang sangat keras.
Kemudian ia berkata: Janganlah kamu tertipu dengan banyaknnya orang yang melakukan amalan tersebut di banyak negeri dan tidak pula karena ia disebutkan dalam (kitab) Quutul Qulub atau Ihya Ulumuddin dan semisalnya maka sesungguhnya shalat itu adalah bid’ah yang batil.
Ibnu Katsir (774 H)
Beliau berkata dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah jilid 12 hal. 174 tentang Al Ghazali:Dalam masa tersebut ia menulis kitab yang berjudul Ihna Ulumuddin yang merupakan kitab yang mengherankan dan mencakup banyak ilmu dari ilmu-ilmu syari’at. Kitab ini telah tercampur dengan sesuatu yang halus yang berasal dari (ajaran) tasawuf dan amalan-amalan hati. Akan tetapi di dalamnya terdapat hadits-hadits yang aneh, mungkar dan maudlu’(palsu), sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab cabang yang dapat diambil darinya hukum halal dan haram. Akan tetapi kitab Ihya ini berguna untuk melunakkan hati, memberi kabar gembira dan mengancam (akan azab).
Abul Faraj Ibnul Jauzi begitu juga dengan Ibnu Ash Shalah telah berulangkali mencela Al Ghazali, bahkan Al Maazari ingin membakar kitab Ihya Ulumuddin tersebut. Begitu juga dengan yang lainnya yang tinggal di belahan bumi bagian barat.
Mereka berkata, “(Kitab Ihya) ini adalah kitab penghidup ilmu-ilmu agamanya (Al Ghazali). Sedangkan kami, menghidupkan ilmu-ilmu agama kami dengan kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasul-Nya.” Sebagaimana yang telah saya tulis pada biografinya dalam kitab At Thabaqat.
Sungguh Ibnu Syakr telah meneliti di beberapa tempat dalam Ihya Ulumuddin sekaligus menjelaskan penyimpangannya dalam sebuah kitab yang bermanfaat. Al Ghazali sendiri pernah berkata, “Perbendaharaanku dalam ilmu hadits sangat sedikit.”
Ibnu Hamdain Al-Qurthubi
Beliau berkata: Sebagian ahli nasehat yang berpegang dengan pemahaman (yang benar) berlepas diri dan meninggalkan pemahaman tersebut, karena cintanya yang mendalam kepada ajaran dan kebiasaan Al Ghazali, serta ajaran-ajaran sufi. Kemudian mereka pun menulis karangan yang berisi tentang kefanatikan mereka terhadap Abu Hamid (Al Ghazali) Imam bid’ah mereka. Lalu dimanakah tanggung jawab Al Ghazali atas para pengikutnya ini dan atas kesesatan ajarannya terhadap agama ini?
Dia menyangka bahwasanya hal itu termasuk dalam ilmu mu’amalah yang dapat mengantarkan manusia kepada ilmu mukasyafah (penyingkapan) yang diyakini dapat menyingkap rahasia ketuhanan (rububiyyah) serta membuka semua tabir yang menutupinya. Tidak ada yang dapat menyingkapkan hal tersebut, kecuali orang yang mau ikut tersesat dalam jalan yang ia tentukan dan mengikuti apa yang ia perintahkan. (Siyar A’lamin Nubalaa’ (XIX/332)
……………..
tulisan ini dicopy paste dari berbagai web sunni
———————————————————————–
“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)
kelemahan kitab ihya’ ulumuddin :
1. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)
.
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupa-kan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
.
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah k telah berfirman:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
.
Ibnu Katsir v berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah n bersabda:
خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’, 6/361]
.
Ibnu Hajar v berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah k. Dan segala perkara ghaib yang Nabi n kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah k kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)
.
Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah
.
2.Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
.
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)’
.
Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
.
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
.
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`. Allah k berfirman:
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
.
Rasulullah n bersabda:
لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ …
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
.
Bahkan Rasulullah n dengan jelas menyatakan:
لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
.
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).
3. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
.
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah k, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)
.
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesung-guhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
.
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)
.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)
.
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
.
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)
.
4. Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)
.
Ibnul Jauzi v berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)
.
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah k berfirman:
وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas c yang didoakan oleh Nabi n: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)
.
Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah n sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah k berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
5. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah jk dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)
.
Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)
6.Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
.
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)
.
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah k baginya.
Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
Tidak berbicara.
Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)
.
Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
.
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)
7. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah k, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)
.
Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para ahlulbait, “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan ahlulbait atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).”
.
“Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.”)
.
Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah k:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
8. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)
.
Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah k berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
.
Asy-Syaikh As-Sa’di v berkata: “Allah n memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)
.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)
.
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah n telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)
.
Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
9. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah n, seperti nikah
.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
.
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah n:
تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat.
.
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”
.
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berba-gai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”
.
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
.
Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah n. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”
.
Semoga Allah k selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah k yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
Iran adalah sebuah negeri yang unik. Setelah revolusi Islam, tidak
ada orang asing datang ke Iran untuk mencari hiburan. Nyaris tidak ada
hiburan di sana. Kalau hiburan itu diartikan pesta minum-minuman keras,
berjudi, bermalas-malasan di pantai, ataupun mencari seks. Mereka yang
hari-hari ini ke Iran datang untuk mencari alam yang indah (seperti
kelompok “Kartini Petualang” yang akan mendaki gunung Damavand),
spiritualitas (mengunjungi kota suci Syiah Qom), mencari celah bisnis
(mumpung di Iran sejak diembargo tidak ada lagi perusahaan Amerika
seperti Coca Cola, McDonald atau Microsoft) atau berinteraksi dengan
para ilmuwan Iran.
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa Ialu, bahkan juga dari masa pra Islam. Nama-nama intelektual besar Islam “hadir” dalam kehidupan sehari-hari. Banyak jalan, taman atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu. Daftar ilmuwan Islam di era keemasan Islam yang pernah lahir, dibesarkan atau berkarya di wilayah Iran sekarang amatlah panjang. Yang paling terkenal saja (dan diabadikan sebagai nama jalan, taman, lapangan) ada lebih dari 200 ilmuwan. Berikut ini cuplikannya saja.
Di bidang matematika ada Abu Abdallah Muhammad bin Musa Al Khawarizmi lahir 780 M di Khwarezm, Provinsi Khurasan Raya yang dulu meliputi Iran dan Uzbekistan sekarang. Al-Khwarizmi sangat berjasa dalam penggunaan angka desimal dalam Matematika, serta penggunaan aljabar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan perhitungan rumit dengan menggunakan persamaan matematika. Namanya abadi dalam istilah “Algoritma” sebagai langkah-langkah yang harus diikuti secara konsisten agar suatu persoalan dalam diselesaikan secara matematis dengan hasil yang tepat dan juga konsisten. Al Khwarizm yang kemudian bekerja di Baitul Hikmah di Baghdad, wafat pada 850 M.
Di bidang astronomi ada Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad bin Katsir Al Farghani alias Alfraganus pada abad 9 M. Dia terlibat dalam perhitungan diameter bumi melalui pengukuran meridian dalam sebuah tim bentukan Khalifah Al Ma’mun. Bukunya tentang “elemen-elemen astronomi dan gerakan benda langit” yang ditulis pada 833 M diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad-12 dan sangat populer di Eropa hingga era Johannes Muller von Konigsberg (1436-1476), astronom Jerman yang lebih terkenal dengan julukan Regiommontanus. Al Farghani kemudian bekerja di Mesir membangun sistem peringatan dini sungai Nil (Nilometer) pada 856 M dan wafat di Cairo.
Di bidang kimia ada Abu Musa Jabir ibn Hayyan (Leber) yang lahir tahun 721 M di Tus Kharasan, Iran dan wafat 815 M di Kufah, Iraq. Selain dikenal terutama sebagai pendiri kimia eksperimental (yang membersihkan unsur sihir dari ilmu kimia), dia juga seorang astronom, geologis, dokter dan insinyur. Dia menulis 193 buku dalam semua bidang ilmu yang dikuasainya itu.
Di bidang kedokteran ada Abu Ali Al Husayn ibn Abd Allah ibn Sina (Avicenna), yang lahir tahun 980 M di Afshana, masuk Provinsi Khorasan Raya. Ayahnya Abdullah dari Balkh, kini masuk Afghanistan; ibunya dari Bukhara, kini masuk Uzbekistan. Ibnu Sina menulis hampir 450 makalah tentang topik yang sangat lugs, termasuk 150 di bidang filsafat dan 40 terfokus pada kedokteran. Namun bukunya yang paling legendaris adalah “Qanun fit Thib” (Canon of Medicine) yang merupakan buku standard medis di Eropa hingga abad-18. Ibnu Sina wafat di Hamadan, Iran 1037 M.
Di bidang ilmu bumi ada Abu Al Rayhan Muhammad bin Ahmad Al Biruni (Alberonius) yang lahir 973 M di Kats, Khwarezm (sama seperti al-Khwarizm) dan wafat 1048 M di Ghazni, semua di Iran. Dia adalah seorang polymath yang menghasilkan banyak karya terutama di bidang ilmu bumi, tetapi juga di matematika, astronomi, anthropologi, psikologi dan kedokteran.
Pada masa rezim sekuler Syiah Iran, prestasi sains dan teknologi Iran sempat sangat terpuruk. Tetapi sejak revolusi Islam, trend-nya berbalik. Apalagi embargo yang diterapkan Amerika dan sekutunya pada Iran membuat Iran mau tak mau harus berdiri dengan kaki sendiri. Ini justru membuat prestasi Iran melonjak.
Menurut Science Metrix Report – sebuah lembaga di Inggris, pertumbuhan sains dan teknologi Iran, diukur dari jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten teknologi, naik 1000 persen antara 1995-2004. Tahun 2008, Iran sudah menghasilkan 1.08 persen dari total output sains dunia. Iran memiliki 500 saintis per sejuta orang, yang bekerja dalam riset dan pengembangan (bandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 50 saintis per sejuta orang). Iran adalah negara ke-9 di dunia yang berhasil membuat roket dan satelit serta meluncurkannya sendiri ke orbit. Negara sebelumnya adalah AS, Russia, Perancis, India, Israel, Cina, Jepang dan Konsorsium Eropa (ESA).
Kalau Iran sendirian dengan revolusi Islamnya saja bisa bangkit demikian, apalah lagi kalau khilafah yang bangkit dan mempersatukan potensi negeri-negeri Muslim sedunia serta menjadi magnet bagi para saintis Muslim yang saat ini bertebaran di dunia Barat.
.
Benarkah Indonesia terbelakang dan miskin karena mayoritasnya penduduknya Muslim Sunni ? Benarkah Islam Sunni justru menghambat kemajuan peradaban? Apakah Indonesia memiliki pemimpin dan elite nasional yang bervisi cinta ilmu pengetahuan dan peradaban?
Adakah politisi dan elite nasional yang bervisi demikian? Ternyata tidak. Dengan menyesal harus kita katakan demikian. Buktinya, parpol dan para penguasa hanya mengejar kekuasaan belaka. Sementara para elite serta pemimpin nasional tak punya komitmen kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban seperti di zaman keemasan Islam dahulu.
Setidaknya itulah komentar Prof Dr Mulyadi Kartanegara, guru besar UIN Jakarta . Pandangan Mulyadi itu dibenarkan oleh Tisnaya Kartakusuma, Hans Satya Budi dan Abas Jauhari MA dosen UIN Ciputat, dalam seminar ‘Kontribusi Islam dan Jala Sutra dalam Ruang Peradaban Indonesia Raya’ yang dipandu akademisi muda PSIK Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Seminar diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina bersama Industry & Labor Watch, Jakarta
Mulyadi mengingatkan, perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Dunia Islam-lah yang menyebabkan kebangkitan dan kemajuan Eropa setelah Barat lama dilanda abad kegelapan. Dan dewasa ini Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia, namun disebut oleh negara-negara Barat sebagai the sleeping giant (raksasa tidur) karena krisis peradaban.
“Jika Indonesia mau bangkit, maka penterjemahan dan alih bahasa naskah-naskah Islam klasik mutlak diperlukan untuk membangkitkan khasanah intelektual dan peradaban Islam,” tegas Mulyadi.
Tidak ada bangsa yang bangkit dan maju tanpa kebangkitan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tradisi ilmiah Islam di masa lampau sangatlah kaya. Ibnu Sina menghasilkan karya tentang psikologi dan botani.
Memang ada perbedaan antara fisika Islam dan matematika Islam dengan yang di Barat. Kalau mereka hanya tahu yang dari Barat, maka mereka tidak tahu bahwa ada yang lain. Jika mereka kenal khazanah keilmuan pasti akan terkagum-kagum. Masalahnya, ilmuwan banyak yang kurang mengapresiasi keilmuan Islam karena mereka belum tahu.
Mulyadi, Tisnaya, Abas dan Hans menegaskan, dalam Islam itu ada ilmu rasional dan ilmu agama. Sejauh itu ilmu rasional, maka diskusi akan terjadi di sana . Tapi, ilmu rasional dalam Islam tidak boleh melanggar prinsip-prinsip keislaman, tauhid, keyakinan kepada hari akhir.
Jadi, kata Mulyadi, dalam upaya membangun peradaban maka kita harus membangun kurikulum pendidikan yang meliputi seluruh level eksistensi mulai dari yang fisik, matematik dan metafisik. Dengan tiga disiplin yang dirangkai itu maka kita akan memiliki pandangan yang holistik. Tidak seperti sekarang fisika, matematika, biologi berjalan sendiri-sendiri atau tidak saling berkaitan.
Dalam tradisi keilmuan Islam selalu ada hirarki. Misalnya, ilmu dibagi dua yakni naqliyah dan aqliyah. Dalam aqliyah ada nazhariyah dan amaliyah. Nazhariyah ada fisika, matematika dan metafisika. Kemudian, amaliyah ada etika, ekonomi dan politik. Tapi yang praktis tidak boleh dilepaskan dari yang teoritis.
Oleh karena itu, ada satu kesatuan yang holistik. Ilmu jiwa misalnya, dalam tradisi ilmiah Islam bisa menyatukan antara fisika dan metafisika. Masuk fisika ketika jiwanya masih dalam tubuh. Tapi ketika jiwanya sudah tidak ada dalam tubuh, maka masuk dalam metafisika.
Dalam hal ini, kata Mulyadi dan Tisnaya, betapa pentingnya universitas dan perpustakaan. Sejarah telah mencatat bahwa perpustakaan merupakan sebuah entitas yang tidak bisa di nafikkan dalam mendukung kemajuan intelektual sebuah komunitas. Setidaknya ini ditunjukkan oleh Harun al-Rasyid yang membangun Khizanah al-Hikmah.
Khizanah al-Hikmah ini lebih dari sekedar perpustakaan, namun juga merupakan pusat penelitian. Khizanah al-Hikmah yang kemudian oleh al-Makmun diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah pada tahun 815 M, pada masanya telah menyangga berbagai kegiatan ilmiah. Selain perpustakaan dan penelitian, juga sebagai tempat kegiatan studi, riset astronomi dan matematika.
Mulyadi menambahkan, sebagai contoh Ibnu Sina, yang merupakan seorang ahli kedokteran dan juga seorang filosof. Dengan buku terkenalnya, Al-Kanun, namanya dikenal dunia. Dan bukunya telah dijadikan rujukan ilmu kedokteran selama berabad-abad.
Uraian di atas merupakan sedikit contoh perkembangan keilmuan yang ada di dunia timur. Perpustakaan universitas di zaman keemasan Islam, yang banyak orang menyebutnya sebagai jantung universitas dan peradaban Islam era kekhalifahan, merupakan salah satu penyangga kegiatan keilmuan dan peradaban Islam masa itu. Sisa-sisanya bisa dilihat di Timur Tengah sampai sekarang. Apakah pemerintah mau melakukan itu semua? Kita belum tahu
“Sesungguhnya engkau berada pada akhlaq yg agung ”
Muqoddimah Melihat perkembangan terakhir ummat Islam di Indonesia tergambar dgn jelas betapa merosotnya akhlaknya sebagian ummat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama dikalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dgn konsep yg tidak jelas.
Rusaknya moral ummat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar ummat yg dgn sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar ummat loyo dan berikutnya tumbang. Sehingga yg tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama` dan tokoh masyarakat.
Padahal nilai suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas akhlak-nya seperti dikemukakan penyair Mesir Syauki Bik “Suatu bangsa sangat ditentukan kualita akhlak-nya jika akhlak sudah rusak hancurlah bangsa tersebut.”
Hampir semua sektor kehidupan ummat mengalami krisis akhlak. Para mengalami pertikaian internal dan merebutkan vested interest dan jarang terkooptasi oleh kekuasaan yg dzalim. Para ulama`nya mengalami kemerosotan moral sehingga tidak lagi berjuang utk kepentingan ummat tetapi hanya kepentingan sesaat; mendukung status quo. Para pengusahanya melarikan diri dari tanggung jawab zakat infaq dan sedekah sehingga kedermawanan menjadi macet dan tidak jarang berinteraksi dgn sistem ribawi serta tidak mempedulikan lagi cara kerja yg haram atau halal. Para siswa dan mahasiswa terlibat banyak kasus pertikaian narkoba dan kenakalan remaja lainnya.
Kaum wanita muslimah terseret jauh kepada peradaban Barat dgn slogan kebebasan dan emansipasi yg berakibat kepada rusaknya moral mereka maka tak jarang mereka menjadi sasaran manusia berhidung belang dan tak jarang dijadikan komoditi murahan . Dan berbagai macam lapisan masyarakat muslim termasuk persoalan kaum miskin yg kurang sabar sehingga menjadi obyek garapan pihak lain termasuk seperti bentuk nyatanya pemurtadan semisal kristenisasi.
Pengertian akhlak Secara etimotogi bahasa akhlak dari akar bahasa Arab “khuluk” yg berarti tabiat muruah kebiasaan fithrah naluri dll . Secara epistemologi Syar’i akhlak adalah sesuatu yg menggambarkan tentang perilaku seseorang yg terdapat dalam jiwa yg baik yg darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya. Dan jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yg baik dan muliayang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat maka ia dinamakan akhlak yg mulia nammun jika sebaliknya maka ia dinamakan akhlak yg tercela
Memang perlu dibedakan antara akhlak dan moral. Karena akhlak lbh didasari oleh faktor yg melibatkan kehendak sang pencipta sementara moral lbh penekanannya pada unsur manusiawinya. Sebagai contoh mengucapkan selamat natal kepada non muslim secara akhlak tidak dibenarkan tetapi secara moral itu biasa-biasa saja.
Sentral Akhlak Akhlak secara teoritis memang indah tapi secara praktek memerlukan kerja keras. Oleh krn itu Allah SWT mengutus Nabi SAW-Nya utk memberi contoh akhlak mulia kepada manusia.Pekerjaan itu dilakukan oleh Nabi SAW sebaik mungkin sehingga mendapat pujian dari Allah SWT “Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yg agung “. Bahkan Rasulullah SAW sendiri bersabda “Aku diutus utk menyempurnakan Akhlak“. Lebih dari itu beliau menempatkan muslim yg paling tinggi derajatnya adl yg paling baik akhlaknya. “Sesempurna-sempurna iman seseorang mukmin adl mereka yg paling bagus akhlaknya”
Maka tak heran Aisyah mendiskripsikan Rasulullah SAW sebagai Al Qur`an berjalan ; “Akhlak Rasulullah SAW adl Al Qur`an“.
Cakupan Akhlak Mulia Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu ;
Jakarta Barat kawasan terbesar kasus narkoba krn dikawasan itu banyak terdapat tempat maksiat sisanya di Jakarta Pusat Jakarta Utara dan Jakarta Timur . Bahkan telah merambat kekota-kota kecil dan kampung-kampung.
Pembentengan dari krisis Akhlak Tentunya ummat Islam tidak berjaya kalau melepaskan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Makanya mereka harus kembali menghidupkan Islam sebagaimana yg telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan 12 imam ahlul bait
Kita harus kembali menghidupkan masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam. Memperkuat daya tahan rumah tangga dari ancaman dekadensi moral termasuk film-film ysng bobrok menjaga disiplin dan keamanan sekolah serta memberikan lingkungan materi agama yg cukup serta menjaga daya tahan lingkungan masyarakat dari berbagai arus perusakan dan penyesatan sekaligus mengaktifkan pemerintah utk membentengi masyarakat dari berbagai bentuk kemaksiatan. Wallahu A`lam.
PENDAHULUAN
“Dalam pandangan saya, sains menawarkan jalan yang lebih pasti menuju Tuhan ketimbang agama. Benar atau salah, fakta bahwa sains benar-benar maju ke titik di mana apa yang sebelumnya merupakan pertanyaan-pertanyaan religius dapat ditangani sendiri secara serius, mengindikasikan konsekuensi-konsekuensi fisika baru yang merentang jauh.” (Davies, 2002: v)
Ungkapan Paul Davies di atas telah mewakili juru bicara sains abad ini, dimana sains dianggap menjadi ukuran satu-satunya kehidupan manusia saat ini. Apa yang dinilai sains sebagai benar, maka diterimalah hal itu oleh manusia, dan yang dinilai sains sebagai mitos maka dipercaya manusia sebagai mitos pula. Sains bukan hanya telah menjadi kendali pikiran, tetapi juga pengontrol perilaku manusia. Sains menjadikan para saintis sebagai pemandu utama manusia menuju kebahagiaan dibandingkan para saint (santo/orang suci). Singkatnya sains telah menjadi paradigma dan ideologi abad ini.
Posisi sains yang begitu sentral saat ini didukung pula oleh perkembangan teknologi sebagai sisi praktisnya. Hal ini membuat takjub sebagaian orang, tetapi membuat khawatir pula sebagain lainnya. Bagi yang takjub, sains dan teknologi adalah puncak kreativitas manusia dalam menaklukkan alam, sedangkan bagi yang khawatir sains dan teknologi juga akan merusak manusia dan alam semesta. Bagi yang takjub sains dan teknologi akan memberikan berkah, tetapi bagi yang khawatir sains dan teknologi berpotensi mendatangkan bencana. Bagi para ilmuan sains dan teknolgi membantu manusia mengatasi penyakit-penyakit yang ada, tetapi bagi yang khawatir sains dan teknologi juga akan mendatangkan penyakit-penyakit baru yang lebih berbahaya. Bagi yang takjub, sains dan teknologi memudahkan manusia dalam bekerja, tetapi juga mengancam pengangguran dimana-mana. Sains dan teknologi telah menciptakan mesin-mesin raksasa yang mengolah alam untuk kepentingan manusia, tetapi juga telah mengakibatkan manusia menjadi mesin-mesin mekanis yang kehilangan sisi terdalam kemanusiaannya yakni moralitas (etika).
Tidak hanya sampai di situ, sains yang mendapat kehormatan menjadi pangeran abad ini, ternyata tidak menemukan kebebasan yang dibanggakannya. Sebab ternyata sains tetap tak mampu menembus kekuasaan politik dunia. Para pengambil kebijakan saat ini, ternyata bukanlah para saintis, tetapi para politisi. Dalam kondisi ini, sains menjadi pelayan politik, yang akhirnya sains sebagai sarana untuk mengambil dan mempertahankan kekuasaan. Karena kekuasaan di dunia ini tak selamanya dipegang oleh manusia-manusia bijak, maka penggunaan sains yang destruktif menjadi ancaman serius kemanusiaan. Karena itu, tidak hanya sains dan kekuasan, kepribadian para penguasa juga hal penting untuk mendapat perhatian serius agar peradaban dunia mengarah pada progresifitas yang menjanjikan. Untuk itulah memperhatikan dinamika sain, kekuasaan dan moralitas menjadi agenda utama manusia abad ini.
MENCARI ALTERNATIF PARADIGMA SAINS MODERN
Konon, seorang pasien rumah sakit jiwa mengadu kepada dokternya, “Dokter, saya sudah mati!” Dokter berusaha meyakinkannya bahwa ia masih masih hidup, tetapi selalu gagal. Maka dengan hampir putus asa, dokter itu berkata, “Baiklah, orang mati tidak mengeluarkan darahkan?” Pasien itu mengangguk, “Benar, orang mati tidak berdarah”. Pada saat itu, dengan cepat dokter menusukkan jarum ke jari pasien. Ketika darah menetes pasien itu berkata, “Ok Dok, saya keliru, orang mati ternyata berdarah.” Apapun yang terjadi akhirnya diletakkan pada bingkai paradigma awal: Ia sudah mati.
Cerita di atas menunjukkan bahwa cara kita memandang sesuatu bergantung pada paradigma yang mendasarinya, sehingga apapun yang terjadi akan diletakkan orang dalam paradigma yang diyakininya. (Rakhmat, 2003: 12)
Paradigma menjadi populer dengan didengungkan oleh Thomas Kuhn pada tahun 1970 melalui karyanya yang cemerlang The Structure of Scientific Revolutions. Dalam karyanya ini dia telah mendeskripsikan berbagai makna paradigma. Yang menarik adalah temuannya yang mengemukakan bahwa analisis sains mendasarkan diri pada paradigma yang dianut seorang saintis, sehingga dapat terjadi perbedaan para saintis dalam kajian risetnya dikarenakan perbedaan paradigma yang dianut. (Kuhn, 1989: 108-109)
Paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Karena dikatakan sebagai asumsi-asumsi filosofis maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.
Fritjop Chapra menyebutkan bahwa sains modern menganut paradigma mekanistik-positivisme Cartesian-Newtonian yang memisahkan antara pikiran dan materi sehingga membawa kita pada pandangan alam semesta sebagai sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda yang terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat-sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan alam semesta Cartesian semacam ini kemudian dikembangkan lebih jauh hingga pada organisme hidup, yang dianggap sebagai mesin yang dibangun atas bagian-bagian yang terpisah. Kita akan melihat bahwa konsep dunia mekanis semacam ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu kita dan tetap memiliki pengaruh yang luar biasa pada banyak aspek kehidupan kita. Konsep ini telah menimbulkan pemisahan yang begitu terkenal dalam disiplin akademik dan sistem pemerintahan kita dan telah berfungsi sebagai dasar pemikiran untuk memperlakukan lingkungan alam seolah-olah terdiri dari bagian-bagian yang terpisah untuk dieksploitasi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan. (Chapra, 2007: 27-28)
Dalam bukunya Pradigma Holistik (2003) Husain Heriyanto, menganalisis bahwa sains modern didasarkan pada paradigma tertentu yang disebut “Paradigma Cartesian-Newtonian.” Paradigma ini memiliki enam asumsi, yakni:
Begitu pula, paradigma sains modern ini telah memberikan berkah yang melimpah, kemudahan materi, dan memperluas cakrawala pikiran. Namun, ia juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat, dan hilangnya perhatian kita secara bertahap pada pedoman spiritual dan etika—kebenaran, kehormatan, dan keadilan—yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu. Sekarang ini, hal-hal absolut tampaknya menjadi impian yang tidak bisa terwujud. Saat kita sekarang ini adalah sebuah dunia relativis yang baru dan asing. Penting bagi kita menemukan suatu pengganti yang bermakna bagi kesadaran kita akan makna yang telah hilang.” (Walters. 2003: 1)
Bahkan Paul Davies seorang ilmuan yang memuja sains dan mendeskreditkan agama menegaskan bahwa sains mungkin telah mengurangi bencana penyakit dan pengangguran, tetapi ia juga menimbulkan senjata-senjata pemusnah massal yang menakutkan dan menurunkan kualitas hidup secara serius. Dampak sains pada masyarakat industrial telah menjadi rahmat yang campur aduk”. (Davies, 2002: 5) Untuk itu, mengawal sains adalah hal yang mesti dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan yang tinggi.
Ted Peters mengatakan sudah saatnya para teolog bersuara tentang permasalahan etis yang timbul dari krisis lingkungan dan kebutuhan untuk merancang masa depan jangka panjang planet kita. Tantangan ekologis muncul dari krisis ledakan penduduk; proses produksi pertanian dan industri yang menghabiskan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui sekaligus menyebabkan pencemaran udara, tanah, dan air; semakin melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan miskin di seluruh dunia; dan hilangnya rasa tanggungjawab terhadap kesejahteraan generasi mendatang. Teknologi modern banyak bertanggungjawab atas terjadinya krisis ekologi ini dan para teolog bersama dengan kaum moralis sekuler berjuang keras unutk meraih kendali etis atas kekuatan-kekuatan teknologi dan ekonomi, yang jika dibiarkan akan membawa kita kepada kehancuran. (Peters, 2006: 112)
SAINS DAN KEKUASAAN
Merujuk pada analaisis Huston Smith dalam Why Religion Matters, saat memasuki abad modern, mulai terjadi pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul dalam satu ideologi modern yakni sekularisme. Sains— dalam balutan sekularisme berubah menjadi saintisme— berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai akibatnya, agama dipinggirkan. Dalam dimensi intelektual, sains tidak memberikan tempat bagi wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan ketika kaum modernis cenderung berpikir ala sains dalam soal kebenaran, kepercayaan kepada wahyu semakin hilang. Sedangkan secara politik (politikisme), transportasi dan perpindahan penduduk yang lebih mudah memperkenalkan gejala baru yaitu pluralisme kultural. Hasilnya, lagi-lagi penyingkiran agama dari kehidupan publik, karena agama membeda-bedakan, sementara politik justru mau mengupayakan landasan bersama yang dapat menengahi perbedaan-perbedaan warganya. (Smith, 2003: 186-187).
Saintisme telah mengobarkan peperangan melawan agama, dengan menyatakan kemenangan mutlaknya terhadap kekuatan takhayul, dogma, dan ilmu pengetahuan semu. Saintisme adalah sebuah ideologi yang dibangun berdasar pada sebuah asumsi bahwa ilmu bisa memberikan pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Hanya ada satu realitas, yaitu yang alami, dan ilmu pengetahuan memonopoli pengetahuan kita tentang alam. Maka saintisme adalah sebuah agama sekuler. (Peters, 2006: 102) Hal ini juga dinyatakan oleh Paus Yohanes Paulus II yang menulis di dalam Fides et Ratio bahwa saintisme adalah sebuah pengertian filosofis yang menolak mengakui keabsahan bentuk-bentuk pengetahuan yang berada di luar ilmu-ilmu positif; paham ini mengasingkan pengetahuan-pengtahuan religius, teologis, etis, dan estetis dalam wilayah fantasi saja. (Peters, 2006: 421)
Banyak para ahli membuktikan bahwa sains dan teknologi tidak bersifat netral. Tetapi, sebagian besar ilmuwan saat ini meyakini netralitas sains. Karena sains merupakan suatu upaya yang bebas nilai, maka perbedaan antara pelbagai tradisi ilmiah, sepenuhnya timbul pada tingkat justifikasi, bukan pada tingkat eksperimen dan cara kerja. Jadi, ketika seorang saintis, baik Muslim, Kristen, Hindu, atau ateis mengamati komponen kimiawi mineral, mereka akan melihat sesuatu yang sama, bekerja pada perangkat elemen yang sama, menurut perangkat kondisi yang sama, dan akan sampai pada kesimpulan yang sama. Aplikasi praktis temuan-temuan ini pada berbagai bidang dan teknologilah yang membuat perbedaan. (Kalin, dalam Peters, 2006: 78)
Seperti halnya ilmu pengetahuan, teknologi juga bersifat netral, kata Henry Steele Commager (dalam Lapham, 1989: 27). Manusialah yang menerapkannya, dan manusialah yang bertanggungjawab atas teknologi—manusia yang bekerja sendiri, atau melalui perusahaan atau pemerintah. Teknologi merupakan sarana utama untuk kemajuan, atau bagi kematian, begitu manusia telah memilih menggunakannya. Kita tidak punya pilihan selain mengendalikan teknologi. Jika kita tiak mengendalikannya, maka teknologi akan menguasai kita.
Jadi, sekalipun kita sepakat ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat netral dan bebas nilai, maka kita harus tetap memperhitungkannya disaat mempergunakannya dalam kehidupan ini. Sebab, sifat netralnya tersebut membuat sains dan teknologi bisa digunakan oleh siapa saja, dan untuk apa saja, kebaikan atau keburukan. Ini berarti, sains dan teknologi sangat bergantung pada sifat manusia yang menggunakannya. Jika manusianya berpegang pada nilai-nilai mulia, maka sains dan teknologi akan berjalan menuju arah kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Inilah diantara sisi positifnya.
Namun jika sains dan teknologi dikuasai oleh para manusia-manusia rakus dan haus kekauasaan maka ianya akan menjadi alat politisasi untuk melestarikan kekuasaanya yang merusak. Misalnya, teknologi nuklir. Teknologi merupakan hasil kemajuan sains dalam analisanya terhadap semesta. Krisis energi yang dialami manusia, bisa teratasi dengan adanya energi nuklir. Inilah diantara manfaat positifnya. Namun, tatkala manusia mengambil keputusan untuk memanfaatkan teknologi nuklir guna memmenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak kehidupannya, para penguasa dunia yang haus kekuasaan memaksa para ilmuan untuk membuat bom nuklir. Bom-bom nuklir ini berada di tangan orang-orang yang haus kekuasan. Dengan bom itu, ia mengancam dan menakut-nakuti siapa saja yang hendak menghirup udara kebebasan. Di sini, kemampuan manusia untuk mencipta telah menjadi tawanan orang-orang yang haus kekuasaan. Pada titik ini, ilmu dan teknologi tak mendapatkan kebebasannya. (Muthahari, 1996: 33)
Murtadha Muthahhari (1996: 34) menggambarkan kondisi sains sebagai alat kekuasaan, sebagai berikut :
“Sekiranya Anda memperhatikan dengan teliti, niscaya Anda mengetahui bahwa seandainya ada seorang ilmuan menemukan sesuatu yang baru atau seorang ahli psikologi mahir, maka kekuatan politik yang berkuasa akan segera berusaha mendapatkan dan memaksanya untuk bekerja demi kepentingan mereka. Tidak ada pilihan lain bagi sang ilmuan itu. Mungkin contoh yang paling tepat dalam hal ini adalah para ilmuan ahli nuklir. Di manapun di dunia ini, jika ada seorang ilmuan ahli nuklir terkemuka ditemukan, maka kekuatan politik dunia akan segera mendatangi dan menawannya agar dia menyerahkan pengetahuannya kepada mereka atau terkadang dengan maksud agar pihak musuh tidak bisa memanfaatkannya. Kekuatan politik itu memberikan suatu program kepada sang ilmuan, dan mereka meminta kepadanya untuk bekerja sesuai dengan program mereka. Ia tidak boleh keluar atau menyimpang dari program yang telah ditetapkan. Bahkan ia tak punya hak hidup kecuali menekuni program itu. Mereka kehilangan kebebasan. Inilah mengapa bisa kita katakan bahwa saat ini adalah masa ilmu pengetahuan yang terpenjara. Terpenjara oleh kekuasaan dan kekuatan yang memerintah umat manusia. Abad ini adalah abad di mana ilmuan dan ilmu pengetahuan dijadikan alat bagi mencapai cita-cita para penguasa”.
“Dari sini kita memahami bahwa di samping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia juga mempunyai kemungkinan untuk menyimpang. Para guru akhlak/etika telah memberitahukan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu tentang hal ini. Mereka mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang tidak menunjukkan bahwa ia akan menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab, mungkin saja. Ada seorang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi kepentingan syahwatnya. Atau kerja keras para ilmuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk maksud-maksud kejahatan dan ambisi kekuasaan.”
Gambaran Muthahhari di atas menunjukkan dinamika antara sains dan kekuasan, dimana pada saat ini kekuasan mendominasi sains. Kekuasaan menjadi raja, sedangkan sains menjadi panglima. Betapa banyak kekuasaan yang ditegakkan di atas kekuatan sains. Negara adidaya di dunia tidak hanya dinilai dari kekuatan senjata, tetapi juga dari kekuatan sains. Perlombaan senjata antara Amerika dan Rusia untuk saling mengentarkan musuh-musuhnya, juga di nilai sebagai perlombaan para ilmuwan dalam meningkatkan kualitas pengetahuan mereka. Beragam penemuan dan penelitian yang dilakukan disponsori oleh elit-elit pengusaha atau elit penguasa. Dan tentunya kedua elit ini lebih memperhatikan sisi ekonomi dan kekuasaan mereka dalam mendukung aktivitas saintis. Karena itulah, sains sebagai pelayan kekuasaan memang telah menjadi fenomena abad ini.
Itulah mengapa sejak masa Yunani hingga saat ini para filosof melihat bahwa kekuasaan tidaklah layak berada di tangan para individu yang dikendalikan oleh nafsu syahwatnya. Kesejahteraan hanya akan terjadi, jika para intelektual menjadi pemegang dan pengendali kekuasaan (Aristokrasi). Dalam ungkapan Plato, “dunia tidak akan melihat kebahagiaan, kecuali bila orang-orang ahli ilmu dan hikmah menjadi penguasa, dan para penguasa menjadi orang ahli hikmah dan ilmu pengetahuan. Selama para ahli hikmah dan pengetahuan berada pada satu tingkatan, dan para penguasa berada pada tingkatan lain, maka selama itu pula kebahagiaan tidak akan dapat dirasakan oleh dunia.” (Muthahari, 1996: 37)
Manusia dikatakan sebagai makhluk berakal dan dengan akallah manusia beragama dan berpengetahuan. Karena itu, sains sebagai hasil penalaran akal tidak layak digunakan sebagai penolak keagamaan, begitupula agama yang disimpulkan dengan argumentasi-argumentasi rasional mustahil menafikan ilmu pengetahuan.
Demikian juga terhadap dunia politis, manusia merupakan makhluk terbaik hasil kreasi Tuhan, dijadikan sebagai pengemban amanah untuk memakmurkan jagat raya. Kemakmuran hanya didapatkan dengan sistem amanah bukan kekuasaan. Amanah ini didasarkan pada kepercayaan dan tanggung jawab, sedangkan kekuasaan diazaskan dengan kepemilikan dan kebebasan. Karenanya, pengelolaan semesta dengan amanah akan menghasilkan pemeliharaan yang sesuai dengan karakteristik alam semesta, sedangkan pengelolaan berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan hanya akan memberlakukan alam sesuai dengan keinginan dan kesenangan. Sebab itu, politik yang amanah akan menjadikan kekuasaan sebagai sarana menuju kemaslahatan jagat raya termasuk mengantarkan manusia pada kesempurnaannya.
Secara jujur mesti diakui bahwa manusia mengharapkan kesempurnaan diri. Dengan fitrah ini, manusia mencari sarana untuk mencapai hasrat kesempurnaan tersebut. Apa sarana tersebut? sains etika atau kekuasaan (politik)? Jawaban idealnya bukanlah salah satunya, melainkan ketiganya. Kalau begitu, konsekuensi semestinya dari fitrah kesempurnaan adalah keterpaduan sains, etika dan kekuasaan. Artinya semakin orang berpengatahuan maka semakin baik pula dirinya, sehingga ia menggunakan kekuasaan dengan dasar keadilan.
SAINS DAN MORALITAS
Ketika seorang ilmuwan menemukan teori gelombang dan cahaya sehingga bisa membuat alat merekan gambar dan suara. Dengan temuan ini, manusia bisa merekam berbagai kegiatan manusia, mulai dari pelajaran sampai acara keluarga, sehingga manusia mendapatkan banyak manfaat untuk mengembangkan kehidupannya. Namun kemudian, alat itu juga bisa digunakan untuk memuaskan hasrat nafsu manusia dengan menampilkan gambar-gambar dan film-film cabul yang banyak memberikan keuntungan ekonomis tetapi merusak jiwa dan kehidupan masyarakat. Apa yang kita harapkan dilakukan oleh sang ilmuwan itu? Dalam kondisi ini, kita dihadapkan pada persoalan moral (etika).
Jika sains berpijakan pada fenomena alam, maka moral berdasar pada kebijakan manusia. Sains membawa kita pada beragam penemuan, sedangkan moral mengarahkan kita dalam mengunakan penemuan-penemuan tersebut. Sains membicarakan salah dan benar, maka moral membahas baik dan buruk. Sains bekerja melalui data-data ilmiah, maka moral mengabdi dalam perbuatan-perbuatan amaliyah (baik). Karena itu, sains dan moralitas adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan. Memisahkan sains dan moralitas, sama dengan memisahkan manusia dari kemanusiaannya. Sebab berkah dan kutuk yang diberikan sains kepada kita, tergantung pada sendi-sendi moralitas yang kita pegang. Sebagaimana disebutkan oleh Walters bahwa sains adalah pemberi begitu banyak berkah, juga mendatangkan apa yang mungkin menjadi ujian terbesar yang pernah dihadapi umat manusia. Masalahnya bukan apakah kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi sebab kehancuran manusia. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah kemampuan kita untuk menyeimbangkan prestasi lahiriah dengan pencerahan batiniah (spiritual). (Walters, 2003: 4)
Namun, yang menimpa dunia kita saat ini adalah kehampaan nilai-nilai moralitas. Penganggungan ekstrim pada kebebasan ilmiah mengubah manusia menjadi ‘binatang-binatang yang berilmu,” yang hidup dalam kepalsuan dan keterasingan. Jika awalnya kita merasa terasing dari alam semesta, kini kita telah merasa terasing pula dari kemanusiaan kita sendiri. Hal ini telah mendatangkan beragam krisis. J. Donald Walters (2003: 3)dengan baik melukiskan hal ini :
“Kita sekarang ini hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat di mana-mana: dalam pertentangan global yang kuat dari ideologi-ideologi sosial yang tak sepaham; dalam kebingungan spiritual yang dipicu oleh pengetahuan modern; dalam tantangan terhadap konsep-konsep moral kuno tentang amoralitas yang sinis dan terus berkembang; dalam pola hidup serba cepat dan kacau yang sungguh-sungguh menyerang kesehatan jiwa kita. Kita berbicara tentang perdamaian, meskipun tahu dalam hati bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan, dan keraguan. Kita berbicara tentang kemakmuran, namun menyeret diri kita sendiri ke dalam utang yang mencemaskan. Kita meneriakkan ‘kemerdekaan’, namun menyamakan cita-cita ini dengan kebebasan orang lain untuk menjadi persis seperti diri kita sendiri. Kita memuji-muji persamaan hak, meskipun kata itu sering kali dibuat menjadi hukuman bagi keunggulan, dan ‘kebersamaan’ menjadi slogan yang membelenggu inisiatif.”
Kemudian Walters menunjukkan sikap optimismenya dengan mengungkapkan :
“Namun demikian, dari sudut pandang manusia, mungkin di sini ada harapan untuk menemukan nilai-nilai yang tetap, dan oleh karena itu mengalahkan pandangan menyedihkan dari ilmu pengetahuan bahwa nilai-nilai itu tidak ada. Dari sudut pandang kita, bagaimanapun juga, ada hal-hal seperti kerjasama, kehormatan, dan kejujuran. Ada juga kualitas-kualitas yang berlawanan, ketidaksetiaan, kelemahan karakter, dan ketidakjujuran, yang merupakan sifat-sifat yang (kita asumsikan) tidak disetujui semua orang. (Walters, 2003:
Krisis yang melanda dunia ini dipandang sebagai implikasi dari sekularisme. Sekularisme telah memisahkan jasad dan ruh, materi dan immateri. Sekularisme juga telah memisahkan rasio dan iman, sains dan moral. Bagaimana proses sekularisasi ini berjalan. Huston Smith menyebutkan proses sekularisasi ini dilakukan oleh sains dan teknologi dengan agennya adalah universitas tempat para ilmuwan bekerja. Smith menulis :
“Penyebab paling penting sekularisasi itu adalah “teknologisasi” progressif dunia Barat atas nama kemajuan, dan universitas merupakan agen utama proyek itu. Para ilmuwan diperlukan untuk menemukan hukum-hukum baru alam, dan para teknolog diperlukan untuk membuatnya berguna. Setiap orang terlibat, bukan hanya universitas dan ilmuwan, karena sejak kesehatan tubuh sampai oven microwave dan televisi, benda-benda material merupakan piala kehidupan yang paling nyata. Karena itu, tidak ada yang dapat mencegah ledakan sains dan teknologi di kampus-kampus. Kampus secara eksplisit didirikan untuk mengembangkan sisi praktis pendidikan…Para pendatang baru dalam industri pendidikan yang berkembang pesat adalah sekolah-sekolah bisnis dan manjemen….Dalam dunia modern, maraknya sains, teknologi dan sekolah-sekolah bisnis di kampus-kampus merupkan hal yang tak terelakkan, dan dalam dirinya sendiri wajar. Namun, itu mempunyai harganya sendiri. Humaniora dan ilmu-ilmu sosial, yang mengkaji masyarakat, sudah digeser ke pinggir. (Smith, hal. 100-101)
Lebih jauh Huston Smith dalam menyikapi perkembangan Universitas-Universitas di Barat terhadap sains ilmiah menulis sbb :
“Munculnya universitas Amerika pada paruh kedua abad ke-19 membawa revolusi dalam pemahaman kita mengenai kehidupan intelektual. Semangat itu paling tercermin pada universitas-universitas yang mengakomodasi sains dan sekularisme, membebaskan diri dari orientasi religius yang membimbing mereka pada masa lampau, memegang rasa ingin tahu sebagai nilai pada dirinya sendiri, dan memuja rasio sebagai kekuatan penentu dalam kehidupan intelektual…Semangat baru ini kelihatan jelas, khususnya pada kalangan profesionalisme baru, yang menata kembali profesi-profesi lama dan mengembangkan profesi-profesi baru. Kalangan profesionalisme lama mengambil kajian-kajian libreal (humniora) secara serius karena manusia menjadi pusat perhatian mereka. Profesionalisme baru mengkaji benda-benda, dan mengajukan pertanyaan bukan tentang peran ultimat dan tanggungjawab manusia, melainkan tentang apakah X atau Y yang merupakan jalan lebih baik untukmencapai tujuan yang bersifat langsung dan terbatas. Ini bukan prbedaan pada tingkatan, melainkan pada hakikatnya. Dengan mendewakan pengetahuan instrumental dan menjadikannya sebagai pusat, universitas yang marak di mana-mana mengubah panggilan menjadi profesi. Dalam proses itu, tidak hanya fokus pada tujuan dan makna hidup lalu hilang, tetapi juga fokus manusia sebagai manusia karena sudah mereduksi manusia menjadi sekedar instrumen bagi kemajuan pengetahuan duniawi tersebut.” (Smith, 2003: 126-127)
Senada dengan Huston Smith, Jacques Ellul dalam The Technological Society juga melihat ancaman teknologi yang begitu dahsyat saat ini. Ia menyebutkan bahwa teknologi modern semakin otonom, lepas dari pengendalian manusia. Proses teknologi menciptakan kebutuhan yang hanya dapat dipuaskan oleh teknologi. Teknologi membentuk struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga masyarakat harus menyesuaikan dirinya dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, telah terjadi adaptasi yang terbalik (reverse adaptation). Padahal niat awal manusia menggunakan teknologi adalah agar ia dapat mengendalikan alam. Kini, manusia malah tunduk kepada teknologi, alam kedua yang ia ciptakan sendiri. (Heriyanto, 2002: 106)
Karena itu menyatupadukan sains dan etika adalah proyek besar abad ini. Di saat dunia dilanda manusia-manusia hedonis yang menyalurkan hasratnya dalam segala bidang, maka sudah selayaknya, moral kembali menduduki fungsi mahkota yang mengarahkan sains dalam kerjanya. Saat jasad dimanjakan oleh kaum materialis, sudah sewajarnya, moral membuktikan ada cinta dan kasih pada sisi terdalam manusia. Saat kebebasan diagungkan oleh kaum liberalis, sudah semestinya moralitas menunjukan bahwa ‘keteraturan’ adalah pilihan sejati manusia. Saat sains membanggakan diri atas beragam penemuannya, maka moral mengingatkannya dalam mengunakannya, sebab terkadang temuan-temuan itu merupakan produk syahwat manusia. Saat sains menjadikan “manusia dituhankan”, maka sudah semestinya moral memandu kita untuk menghadirkan “Tuhan dalam kemanusiaan.”
ALTERNATIF PARADIGMA : SUATU TAWARAN
Jika kita berkeinginan kuat untuk mengawal perkembangan sains maka tidak bisa tidak, kita mesti terlebih dahulu meletakkan paradigma yang utuh dalam barometer dan standard yang benar. Dengan fondasi dan kerangka paradigma inilah sains akan dibangun dengan megah dan unik. Beberapa paradigma yang ingin saya tawarkan pada saat ini adalah :
PENUTUP
Sains, kekuasaan dan moralitas memiliki dinamika yang unik dalam mazhab syi’ah imamiyah.
Kita tak bisa hidup tanpa sains, kekuasaan dan moralitas, tetapi kita juga khawatir, ketiganya akan bertanding daripada bersanding. Untuk itu suatu paradigma alternatif yang bisa memandu ketiganya menuju persandingan yang progressif dalam merajut peradaban dunia yang lebih baik menjadi agenda serius abad ini. Tawaran paradigmatik yang ada dalam tulisan ini tidak lain adalah secuil sumbangan arah dalam langkah besar yang akan ditujunya. Semoga!.
BAHAN BACAAN
Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan. (Bandung: Mizan, 2003)
Chapra, Fritjop. The Turning Point: Tititk Balik Peradaban. (Yogyakarta: Jejak, 2007)
Davies, Paul. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
Heriyanto, Husein. Paradigma Holistik (Bandung: Teraju, 2003)
Kuhn, Thomas. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Bandung: Rosda, 1989).
Lapham, Lewis H. (ed). Teknologi Canggih dan Kebebasan Manusia. (Jakarta: Obor, 1989)
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2003)
Nasr, Syed Hossein. The Heart of Islam. (Bandung: Mizan, 2003)
Peters, Ted. (ed). Tuhan, Alam, Manusia : Perspektif Sains dan Agama. (Bandung: Mizan, 2006)
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. (Bandung: Mizan, 2003)
Smith, Huston. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains (Bandung: Mizan, 2003)
Sardar, Ziauddin. Jihad Intelektual. (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1998)
Walters, J. Donald. Crises in Modern Thought. (Jakarta, gramedia, 2003).
Jahromi ditangkap pada 30 Maret. Sejak saat itu dia dibawa ke sebuah lokasi yang tidak diketahui, mahasiswa dan koleganya sangat prihatin tentang keadaannya.
Masoud Jahromi meraih gelar master dalam Kontrol dan Teknologi Informasi dari University of Manchester, Inggris. Dia kemudian memperoleh gelar PhD dari University of Kent di Canterbury.
Sejak awal protes anti-rezim di Bahrain pada pertengahan Februari, Manama telah meluncurkan penumpasan keras terhadap demonstran anti-pemerintah, penangkapan tokoh oposisi senior dan aktivis dalam serangan fajar dan menangkap dokter, perawat, pengacara dan wartawan yang telah menyuarakan dukungan bagi gerakan protes.
Sementara keberadaan banyak tahanan masih belum diketahui.
Kelompok hak asasi manusia dan keluarga korban yang ditangkap dalam tindakan keras pemerintah terhadap demonstran menyalahkan aparat keamanan Bahrain untuk memperlakukan demonstran anti-pemerintah, mengatakan bahwa mereka disiksa secara fisik dan mental.
Amnesty International dan Human Rights Watch telah mengkritik pemerintah Teluk Persia atas tindakan keras yang brutal terhadap penduduk sipil
Ilmuwan Iran mengklaim menciptakan piring terbang pertama, meskipun belum jelas seberapa tinggi objek itu mampu terbang, Media menyebut pesawat itu mirip UFO.
Piring terbang bernama Zohal yang berarti Saturnus itu merupakan pesawat ruang angkasa tak berawak yang dirancang untuk pencitraan udara.
Namun, berdasarkan keterangan Daily Mail, objek itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai misi yang tidak disebutkan terperinci. Kantor media Fars menggambarkan piring terbang itu mirip UFO di film Hollywood pada1950-an.
“Alat transportasi yang mudah diluncurkan dan terbang, sedikit bunyi dan memiliki keuntungan yang sama dengan pesawat lain,” tulis laporan ISNA (Iran’s Student’s News Agency).
Perangkat itu dilengkapi autopilot, pengatur stabilitas gambar, GPS dan alat perekam kualitas HD. Program luar angkasa Iran yang ambisius tampaknya menjadi peringatan bagi dunia Barat, karena pada waktu yang sama, teknologi misil yang digunakan untuk program luar angkasa sama dengan teknologi membangun rudal balistik antarbenua.
Tahun lalu, Iran mengumumkan kesuksesan mereka berhasil mengirim tikus, kura-kura dan cacing ke luar angkasa. Mereka berambisi mengirim manusia ke antariksa, sembilan tahun mendatang.
Barat Baru Menyadari Kalau Ilmuwan Iran Cerdas Ilmuwan Iran telah mampu memproduksi sendiri Bahan bakar nuklir tipe plat, demikian ditegaskan Wakil Republik Islam Iran di Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Ali Asghar Soltanieh. Hal ini disampaikan Soltanieh saat diwawancarai Televisi CNN. Ia menandaskan, keberhasilan ini menunjukkan sejumlah pihak tidak mengetahui kecerdasan ilmuwan Iran.
Wartawan CNN yang mewawancarai Soltanieh, Christiane Amanpour di awal wawancaranya menanyakan, pemberitahuan Iran kepada IAEA soal pengayaan uranium. Ia juga meminta Soltanieh memastikan kadar pengayaan yang akan dilakukan Iran. Menjawab pertanyaan tersebut, Soltanieh mengatakan, “Berdasarkan instruksi, sekitar pukul 12:00 waktu Wina saya menulis surat resmi ke IAEA dan telah kami informasikan bahwa Iran bertekad memulai pengayaan uranium hingga 20 persen.” Sehingga kebutuhan bahan bakar nuklir dalam negeri dapat terpenuhi.
Soltanieh menambahkan, dalam surat tersebut saya mengundang investigator IAEA untuk hadir dan mengawasi jalannya program ini. Selain itu, Soltanieh juga mengkonfirmasikan mendapat penghargaan dari IAEA atas suratnya itu. Ia menekankan, seluruh tim investigasi yang berada di Iran akan mengawasi program ini. Kebijakan Iran ini menurut Soltanieh disebabkan Tehran sudah tidak bisa lebih lama menanti untuk mendapatkan bahan bakar reaktor nuklirnya. Padahal Iran telah lama menulis surat kepada IAEA sejak kepemimpinan Mohammad Elbaradei untuk menjadi mediator soal suplai bahan bakar nuklir Iran. Namun hingga sembilan bulan berlalu belum ada tindakan apapun.
Dalam wawancara ini, Soltanieh menjelaskan bahwa Iran berniat memproduksi bahan bakar untuk reaktor riset Tehran antara 116-120 kg. Menurutnya bahan bakar tersebut seperti yang diterima Iran dari IAEA 20 tahun lalu. Iran telah sepakat penukaran bahan bakar secara bersamaan, namun hingga kini belum mendapat jawaban. Selama ini Iran telah bersikap lunak dalam menghadapi proses ini dan menekankan pertukaran bahan bakar itu harus dilaksanakan serempak, karena Tehran telah kehilangan kepercayaan terhadap negara-negara pemilik teknologi nuklir.
Sebelumnya Iran telah menandatangani kontrak dengan AS dan membayar lebih dari dua juta dolar. Namun setelah kemenangan Revolusi Islam, Iran bukan hanya tidak mendapat kiriman bahan bakar nuklir, bahkan uang tersebut juga tidak mereka kembalikan. Oleh karena itu, kali ini Tehran meminta jaminan kepastian bahwa Iran akan menerima bahan bakar tersebut. Hal inilah yang membuat Iran bersikeras meminta proses pertukaran dilaksanakan serentak.
Tasawuflah yang menjadi penyebab kemunduran kekuatan Islam.. Tasawuf menjadi penyebab penukaran pengetahuan rasional kaum muslim dengan pengetahuan takhayul.. Ia menjadi penyebab bagi kaum muslim untuk mengabaikan sains.. Tasawuf merupakan gerakan yang juga besar keburukannya dalam sejarah peradaban Islam.
.filsafat sebagai modal dasar ilmu pengetahuan dunia hilang berganti menjadi kasyaf sufi
Tasawuf Penyebab Kemunduran Islam Karena Kecintaan Mereka Pada Sains Lemah, Mereka Cinta Mistisme
.Al-Qadli ‘Iyad (544 H)
Ia Berkata:
Syaikh Abu Hamid (Al Ghazali) memiliki karangan-karangan yang berlebihan dalam membahas tarekat sufinya dan memuat berita-berita yang keji yang tiada bandingnya dalam rangka membela mazhabnya. Sehingga ia menjadi seorang penyeru kepada jalan tersebut. Beliau telah menyusun karangan yang terkenal sehingga ia harus (menerima celaan) karena beberapa perkara yang ada pada tulisannya itu, sehingga buruklah sangkaan umat terhadapnya.
Allah lebih mengetahui tentang rahasia-Nya. Perintah penguasa berlaku bagi kami di Maroko dan para fuqaha (ahli fiqih) telah ber-fatwa agar membakar kitab tersebut dan menjauhinya, maka (perintah) itupun ditaati. (Siyar A’lamin Nubala XIX/327)
Ibnu Al-Jauzi (597 H)
Beliau berkata dalam (kitab) Al Muntazham jilid 9 hal 169-170:
Beliau (Al Ghazali) mulai menulis kitab Al Ihya di kota Al Quds (palestina) kemudian menyempurnakannya di Damaskus. la menulis dengan mendasarkan kepada aliran sufi serta meninggalkan pemahaman yang benar dalam penulisan (kitabnya) tersebut.
Sebagai contoh, seseorang yang ingin menghapus kewibawaanya (agar tidak dihormati) dan berusaha menahan hawa nafsunya, maka dia masuk kamar mandi dan memakai baju yang bukan miliknya, kemudian memakai bajunya di atas baju (yang bukan miliknya tadi), lalu ia keluar sambil berjalan perlahan-lahan sehingga orang-orang mendapatinya, kemudian mereka pun mengambil pakaian tersebut darinya dan kemudian dia dinamakan ‘pencuri kamar mandi’.
Cara seperti ini dalam mengajar murid adalah cara yang buruk karena pemahaman yang benar menghukuminya dengan keburukan. Hal itu disebabkan bahwa kamar mandi itu memiliki penjaga, maka pencuri tersebut (seharusnya) dipotong (tangannya). Selain itu tidak halal bagi seorang muslim untuk melakukan sesuatu yang membuat orang tergoda untuk menzhalimi haknya.
Dan ia menyebutkan bahwasanya seorang lelaki membeli daging dan ia malu membawa daging tersebut ke rumahnya, maka ia meggantungkannya di leher dan berjalan. Ini juga termasuk sebuah keburukkan (yang ada dalam Ihya) dan yang seperti itu banyak sekali, namun bukan di sini tempat untuk menjelasannya.
Sungguh telah saya kumpulkan kesalahan-kesalahan kitab ini (dalam sebuah karangan tersendiri dan sayaa beri judul I’IamuI Ahya bi Aghlaathil Ihya dan saya juga telah menyinggung sebagian hal tersebut dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis.
Juga seperti apa yang tersebut di dalam kitab An Nikah (di Ihya) bahwasanya Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Engkaulah yang mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah.” Pernyataan ini tidak mungkin (diucapkan oleh ‘Aisyah).
Sesungguhnya yang menyebabkan berpalingnya (Al Ghazali) dari pemahaman yang benar dalam apa-apa yang dia tulis adalah karena ia menekuni (aliran) sufi dan dia berpendapat bahwa keadaan orang-orang sufl itu adalah sebagai tujuan.
Ia berkata, “Sesungguhnya saya mengambil metode ini dari Abu Ali Al Farmadzi. Saya mengikuti apa yang telah ditunjukkan olehnya berupa kewajiban-kewajiban dalam peribadatan dan terus-menerus (istimrariyah) dalam zikir sehingga saya berhasil melalui rintangan-rintangan (dalam peribadatan) itu walaupun saya dibebani kesulitan. Namun saya tetap tidak mendapatkan apa yang saya cari.” Kemudian ia melihat kitab Abu Thalib Al Makki dan perkataan orang-orang sufi yang terdahulu, sehingga ia lebih tertarik kepadanya daripada apa yang dituntut oleh pemahaman yang benar.
Dia membawakan hadits-hadits yang maudlu’ (palsu) di dalam kitab Al Ihya dan tidak sedikit pula hadits-hadits yang tidak sah, hal itu disebabkan karena kurangnya pengetahuan dia tentang hadits. Maka alangkah baiknya apabila ia memperlihatkan terlebih dahulu hadits-hadits tersebut kepada mereka yang mengetahuinya. Akan tetapi (dalam hal ini) ia hanyalah menukil, sebagaimana seorang pencari kayu bakar yang mencari kayu bakarnya di malam hari.
Dahulu sebagian orang sangat mencintai kitab Al Ihya, oleh karena itu saya jelaskan kepada mereka aib-aibnya, kemudian saya tulis untuk mereka kitab yang seperti itu (kitab Minhajul Qashidin) dan saya buang apa-apa yang mesti dibuang dan saya tambah apa yang pantas untuk ditambah.
Dalam kitab Shaidul Khathir hal. 374 ketika berbicara tentang kesalahan-kesalahan Al Ghazali di dalam sejarah, beliau (Ibnul Jauzi) berkata:
Saya melihat hal-hal yang membingungkan dalam kitab Ihya’ Ulumudin karya Al Ghazali yaitu percampuran antara hadits-hadits dan sejarah-sejarah, maka saya kumpulkan kesalahan-kesalahannya di dalam suatu kitab.
Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam (kitab) Talbis Iblis (hal 186):
Abu Hamid Al Ghazali datang (kepada suatu kaum), kemudian menulis Kitab Al-Ihya bagi mereka berdasarkan metode kaum sufi dan memenuhiniya dengan hadits-hadits yang batil yang ia tidak mengetahui kebatilannya. la juga berbicara tentang ilmu mukasyafah yang telah keluar dari pemahaman yang benar. Dan ia (Al Ghazali) berkata, “Sesungguhnya maksud dari bintang matahari dan bulan yang dilihat oleh Nabi Ibrahim shalawatullah ‘alaihi adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab (tabir) Allah Azza wa Jalla dan bukannya (hakiki) seperti apa yang kita telah ketahui dan ini termasuk dalam bentuk ucapan para pengikut aliran Bathiniyyah.”
Beliau (Ibnul Jauzi) berkata dalam Minhajul Qaashidiin (hal. 3 dalam ringkasannya)
Ketahuilah bahwasanya dalam kitab Al Ihya ini terdapat kerusakan-kerusakan yang hanya dapat diketahui oleh para ulama. Yang terkecil dari kerusakan tersebut adalah terdapatnya hadits-hadits yang batil, maudlu’ dan mauquf kemudian ia menjadikannya marfu’. Dan ia hanya menukil sebagaimana yang telah ia terima, bukan karena ia (sengaja) berdusta dengannya. Tidak sepantasnya seseorang beribadah dengan hadits maudlu’ (palsu) dan tertipu dengan lafazh yang dibuat-buat.
Bagaimanakah saya bisa ridla terhadapmu yang shalat sepanjang siang dan malam padahal tidak ada satu kata pun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan tentang hal itu? Bagaimanakah saya membiarkan telingamu mendengar ucapan orang-orang sufi yang dikumpulkan dan dianjurkan (oleh Al Ghazali) untuk diamalkan sesuatu yang tidak ada manfaatnya, baik berupa perkataan-perkataan mereka tentang kebinasaan, kekekalan, perintah untuk berlapar-lapar, keluar untuk mengembara tanpa keperluan dan masuk ke padang luas tanpa membawa bekal?
Selain itu saya telah menyingkap kekeliruannya dalam kitab saya yang berjudul Talbis Iblis dan saya akan menulis bagimu suatu kitab (yaitu Minhajul Qaashidiin) yang bersih dari kerusakan-kerusakan dan tidak kosong dari faedah.
An Nawawi (676 H)
An Nawawi pernah ditanya tentang shalat raghaib yang sering dilakukan orang di malam Jum’at pertama di bulan Rajab, apakah ia merupakan sunnah, keutamaan ataukah bid’ah? Maka beliau menjawab: la adalah bid’ah yang buruk lagi diingkari dengan pengingkaran yang sangat keras.
Kemudian ia berkata: Janganlah kamu tertipu dengan banyaknnya orang yang melakukan amalan tersebut di banyak negeri dan tidak pula karena ia disebutkan dalam (kitab) Quutul Qulub atau Ihya Ulumuddin dan semisalnya maka sesungguhnya shalat itu adalah bid’ah yang batil.
Ibnu Katsir (774 H)
Beliau berkata dalam kitab Al Bidayah wan Nihayah jilid 12 hal. 174 tentang Al Ghazali:Dalam masa tersebut ia menulis kitab yang berjudul Ihna Ulumuddin yang merupakan kitab yang mengherankan dan mencakup banyak ilmu dari ilmu-ilmu syari’at. Kitab ini telah tercampur dengan sesuatu yang halus yang berasal dari (ajaran) tasawuf dan amalan-amalan hati. Akan tetapi di dalamnya terdapat hadits-hadits yang aneh, mungkar dan maudlu’(palsu), sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab cabang yang dapat diambil darinya hukum halal dan haram. Akan tetapi kitab Ihya ini berguna untuk melunakkan hati, memberi kabar gembira dan mengancam (akan azab).
Abul Faraj Ibnul Jauzi begitu juga dengan Ibnu Ash Shalah telah berulangkali mencela Al Ghazali, bahkan Al Maazari ingin membakar kitab Ihya Ulumuddin tersebut. Begitu juga dengan yang lainnya yang tinggal di belahan bumi bagian barat.
Mereka berkata, “(Kitab Ihya) ini adalah kitab penghidup ilmu-ilmu agamanya (Al Ghazali). Sedangkan kami, menghidupkan ilmu-ilmu agama kami dengan kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasul-Nya.” Sebagaimana yang telah saya tulis pada biografinya dalam kitab At Thabaqat.
Sungguh Ibnu Syakr telah meneliti di beberapa tempat dalam Ihya Ulumuddin sekaligus menjelaskan penyimpangannya dalam sebuah kitab yang bermanfaat. Al Ghazali sendiri pernah berkata, “Perbendaharaanku dalam ilmu hadits sangat sedikit.”
Ibnu Hamdain Al-Qurthubi
Beliau berkata: Sebagian ahli nasehat yang berpegang dengan pemahaman (yang benar) berlepas diri dan meninggalkan pemahaman tersebut, karena cintanya yang mendalam kepada ajaran dan kebiasaan Al Ghazali, serta ajaran-ajaran sufi. Kemudian mereka pun menulis karangan yang berisi tentang kefanatikan mereka terhadap Abu Hamid (Al Ghazali) Imam bid’ah mereka. Lalu dimanakah tanggung jawab Al Ghazali atas para pengikutnya ini dan atas kesesatan ajarannya terhadap agama ini?
Dia menyangka bahwasanya hal itu termasuk dalam ilmu mu’amalah yang dapat mengantarkan manusia kepada ilmu mukasyafah (penyingkapan) yang diyakini dapat menyingkap rahasia ketuhanan (rububiyyah) serta membuka semua tabir yang menutupinya. Tidak ada yang dapat menyingkapkan hal tersebut, kecuali orang yang mau ikut tersesat dalam jalan yang ia tentukan dan mengikuti apa yang ia perintahkan. (Siyar A’lamin Nubalaa’ (XIX/332)
……………..
tulisan ini dicopy paste dari berbagai web sunni
———————————————————————–
“Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesat-kan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)
kelemahan kitab ihya’ ulumuddin :
1. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)
.
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupa-kan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
.
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah k telah berfirman:
قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا. إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)
.
Ibnu Katsir v berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)
Rasulullah n bersabda:
خَمْسٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ تَعَالَى
“Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Kemudian beliau membaca ayat:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’, 6/361]
.
Ibnu Hajar v berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah k. Dan segala perkara ghaib yang Nabi n kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah k kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203)
.
Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah
.
2.Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
.
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)’
.
Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
.
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
.
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`. Allah k berfirman:
وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
.
Rasulullah n bersabda:
لَتَتْبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ …
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
.
Bahkan Rasulullah n dengan jelas menyatakan:
لاَ رَهْبَانِيَّةَ فَي اْلإِسْلاَمِ
“Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
.
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).
3. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
.
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah k, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)
.
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesung-guhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
.
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)
.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)
.
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
.
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)
.
4. Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)
.
Ibnul Jauzi v berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)
.
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah k berfirman:
وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَ يَفْقَهُوْنَ
“Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas c yang didoakan oleh Nabi n: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)
.
Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah n sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah k berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)
5. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah jk dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai2. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)
.
Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)
6.Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
.
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)
.
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah k baginya.
Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
Tidak berbicara.
Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)
.
Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.
Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
.
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)
7. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah k, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)
.
Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para ahlulbait, “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan ahlulbait atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).”
.
“Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.”)
.
Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah k:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)
8. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)
.
Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah k berfirman:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)
.
Asy-Syaikh As-Sa’di v berkata: “Allah n memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)
.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)
.
Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah n mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah n telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)
.
Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)
9. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah n, seperti nikah
.
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
.
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah n:
تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلاَ تَكُوْنُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى
“Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)
Peringatan Ulama Salaf terhadap Kitab Ihya` ‘Ulumiddin3
Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menu-lis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat.
.
Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.”
.
Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berba-gai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”
.
Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
.
Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah n. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”
.
Semoga Allah k selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.
1 Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah k yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
2 Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
artikel ini ditulis oleh Amin Farazala Al Malaya (nick name : Ustad Syi’ah Ali / Ibnu Jakfari )
——————————————————————————————————————–
Iran beruntung memiliki warisan kejayaan Islam masa Ialu, bahkan juga dari masa pra Islam. Nama-nama intelektual besar Islam “hadir” dalam kehidupan sehari-hari. Banyak jalan, taman atau lapangan dinamai dengan tokoh-tokoh itu. Daftar ilmuwan Islam di era keemasan Islam yang pernah lahir, dibesarkan atau berkarya di wilayah Iran sekarang amatlah panjang. Yang paling terkenal saja (dan diabadikan sebagai nama jalan, taman, lapangan) ada lebih dari 200 ilmuwan. Berikut ini cuplikannya saja.
Di bidang matematika ada Abu Abdallah Muhammad bin Musa Al Khawarizmi lahir 780 M di Khwarezm, Provinsi Khurasan Raya yang dulu meliputi Iran dan Uzbekistan sekarang. Al-Khwarizmi sangat berjasa dalam penggunaan angka desimal dalam Matematika, serta penggunaan aljabar dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang membutuhkan perhitungan rumit dengan menggunakan persamaan matematika. Namanya abadi dalam istilah “Algoritma” sebagai langkah-langkah yang harus diikuti secara konsisten agar suatu persoalan dalam diselesaikan secara matematis dengan hasil yang tepat dan juga konsisten. Al Khwarizm yang kemudian bekerja di Baitul Hikmah di Baghdad, wafat pada 850 M.
Di bidang astronomi ada Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad bin Katsir Al Farghani alias Alfraganus pada abad 9 M. Dia terlibat dalam perhitungan diameter bumi melalui pengukuran meridian dalam sebuah tim bentukan Khalifah Al Ma’mun. Bukunya tentang “elemen-elemen astronomi dan gerakan benda langit” yang ditulis pada 833 M diterjemahkan ke bahasa Latin pada abad-12 dan sangat populer di Eropa hingga era Johannes Muller von Konigsberg (1436-1476), astronom Jerman yang lebih terkenal dengan julukan Regiommontanus. Al Farghani kemudian bekerja di Mesir membangun sistem peringatan dini sungai Nil (Nilometer) pada 856 M dan wafat di Cairo.
Di bidang kimia ada Abu Musa Jabir ibn Hayyan (Leber) yang lahir tahun 721 M di Tus Kharasan, Iran dan wafat 815 M di Kufah, Iraq. Selain dikenal terutama sebagai pendiri kimia eksperimental (yang membersihkan unsur sihir dari ilmu kimia), dia juga seorang astronom, geologis, dokter dan insinyur. Dia menulis 193 buku dalam semua bidang ilmu yang dikuasainya itu.
Di bidang kedokteran ada Abu Ali Al Husayn ibn Abd Allah ibn Sina (Avicenna), yang lahir tahun 980 M di Afshana, masuk Provinsi Khorasan Raya. Ayahnya Abdullah dari Balkh, kini masuk Afghanistan; ibunya dari Bukhara, kini masuk Uzbekistan. Ibnu Sina menulis hampir 450 makalah tentang topik yang sangat lugs, termasuk 150 di bidang filsafat dan 40 terfokus pada kedokteran. Namun bukunya yang paling legendaris adalah “Qanun fit Thib” (Canon of Medicine) yang merupakan buku standard medis di Eropa hingga abad-18. Ibnu Sina wafat di Hamadan, Iran 1037 M.
Di bidang ilmu bumi ada Abu Al Rayhan Muhammad bin Ahmad Al Biruni (Alberonius) yang lahir 973 M di Kats, Khwarezm (sama seperti al-Khwarizm) dan wafat 1048 M di Ghazni, semua di Iran. Dia adalah seorang polymath yang menghasilkan banyak karya terutama di bidang ilmu bumi, tetapi juga di matematika, astronomi, anthropologi, psikologi dan kedokteran.
Pada masa rezim sekuler Syiah Iran, prestasi sains dan teknologi Iran sempat sangat terpuruk. Tetapi sejak revolusi Islam, trend-nya berbalik. Apalagi embargo yang diterapkan Amerika dan sekutunya pada Iran membuat Iran mau tak mau harus berdiri dengan kaki sendiri. Ini justru membuat prestasi Iran melonjak.
Menurut Science Metrix Report – sebuah lembaga di Inggris, pertumbuhan sains dan teknologi Iran, diukur dari jumlah publikasi ilmiah internasional dan paten teknologi, naik 1000 persen antara 1995-2004. Tahun 2008, Iran sudah menghasilkan 1.08 persen dari total output sains dunia. Iran memiliki 500 saintis per sejuta orang, yang bekerja dalam riset dan pengembangan (bandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 50 saintis per sejuta orang). Iran adalah negara ke-9 di dunia yang berhasil membuat roket dan satelit serta meluncurkannya sendiri ke orbit. Negara sebelumnya adalah AS, Russia, Perancis, India, Israel, Cina, Jepang dan Konsorsium Eropa (ESA).
Kalau Iran sendirian dengan revolusi Islamnya saja bisa bangkit demikian, apalah lagi kalau khilafah yang bangkit dan mempersatukan potensi negeri-negeri Muslim sedunia serta menjadi magnet bagi para saintis Muslim yang saat ini bertebaran di dunia Barat.
.
Benarkah Indonesia terbelakang dan miskin karena mayoritasnya penduduknya Muslim Sunni ? Benarkah Islam Sunni justru menghambat kemajuan peradaban? Apakah Indonesia memiliki pemimpin dan elite nasional yang bervisi cinta ilmu pengetahuan dan peradaban?
Adakah politisi dan elite nasional yang bervisi demikian? Ternyata tidak. Dengan menyesal harus kita katakan demikian. Buktinya, parpol dan para penguasa hanya mengejar kekuasaan belaka. Sementara para elite serta pemimpin nasional tak punya komitmen kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban seperti di zaman keemasan Islam dahulu.
Setidaknya itulah komentar Prof Dr Mulyadi Kartanegara, guru besar UIN Jakarta . Pandangan Mulyadi itu dibenarkan oleh Tisnaya Kartakusuma, Hans Satya Budi dan Abas Jauhari MA dosen UIN Ciputat, dalam seminar ‘Kontribusi Islam dan Jala Sutra dalam Ruang Peradaban Indonesia Raya’ yang dipandu akademisi muda PSIK Universitas Paramadina Herdi Sahrasad. Seminar diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina bersama Industry & Labor Watch, Jakarta
Mulyadi mengingatkan, perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Dunia Islam-lah yang menyebabkan kebangkitan dan kemajuan Eropa setelah Barat lama dilanda abad kegelapan. Dan dewasa ini Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia, namun disebut oleh negara-negara Barat sebagai the sleeping giant (raksasa tidur) karena krisis peradaban.
“Jika Indonesia mau bangkit, maka penterjemahan dan alih bahasa naskah-naskah Islam klasik mutlak diperlukan untuk membangkitkan khasanah intelektual dan peradaban Islam,” tegas Mulyadi.
Tidak ada bangsa yang bangkit dan maju tanpa kebangkitan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tradisi ilmiah Islam di masa lampau sangatlah kaya. Ibnu Sina menghasilkan karya tentang psikologi dan botani.
Memang ada perbedaan antara fisika Islam dan matematika Islam dengan yang di Barat. Kalau mereka hanya tahu yang dari Barat, maka mereka tidak tahu bahwa ada yang lain. Jika mereka kenal khazanah keilmuan pasti akan terkagum-kagum. Masalahnya, ilmuwan banyak yang kurang mengapresiasi keilmuan Islam karena mereka belum tahu.
Mulyadi, Tisnaya, Abas dan Hans menegaskan, dalam Islam itu ada ilmu rasional dan ilmu agama. Sejauh itu ilmu rasional, maka diskusi akan terjadi di sana . Tapi, ilmu rasional dalam Islam tidak boleh melanggar prinsip-prinsip keislaman, tauhid, keyakinan kepada hari akhir.
Jadi, kata Mulyadi, dalam upaya membangun peradaban maka kita harus membangun kurikulum pendidikan yang meliputi seluruh level eksistensi mulai dari yang fisik, matematik dan metafisik. Dengan tiga disiplin yang dirangkai itu maka kita akan memiliki pandangan yang holistik. Tidak seperti sekarang fisika, matematika, biologi berjalan sendiri-sendiri atau tidak saling berkaitan.
Dalam tradisi keilmuan Islam selalu ada hirarki. Misalnya, ilmu dibagi dua yakni naqliyah dan aqliyah. Dalam aqliyah ada nazhariyah dan amaliyah. Nazhariyah ada fisika, matematika dan metafisika. Kemudian, amaliyah ada etika, ekonomi dan politik. Tapi yang praktis tidak boleh dilepaskan dari yang teoritis.
Oleh karena itu, ada satu kesatuan yang holistik. Ilmu jiwa misalnya, dalam tradisi ilmiah Islam bisa menyatukan antara fisika dan metafisika. Masuk fisika ketika jiwanya masih dalam tubuh. Tapi ketika jiwanya sudah tidak ada dalam tubuh, maka masuk dalam metafisika.
Dalam hal ini, kata Mulyadi dan Tisnaya, betapa pentingnya universitas dan perpustakaan. Sejarah telah mencatat bahwa perpustakaan merupakan sebuah entitas yang tidak bisa di nafikkan dalam mendukung kemajuan intelektual sebuah komunitas. Setidaknya ini ditunjukkan oleh Harun al-Rasyid yang membangun Khizanah al-Hikmah.
Khizanah al-Hikmah ini lebih dari sekedar perpustakaan, namun juga merupakan pusat penelitian. Khizanah al-Hikmah yang kemudian oleh al-Makmun diubah namanya menjadi Bait al-Hikmah pada tahun 815 M, pada masanya telah menyangga berbagai kegiatan ilmiah. Selain perpustakaan dan penelitian, juga sebagai tempat kegiatan studi, riset astronomi dan matematika.
Mulyadi menambahkan, sebagai contoh Ibnu Sina, yang merupakan seorang ahli kedokteran dan juga seorang filosof. Dengan buku terkenalnya, Al-Kanun, namanya dikenal dunia. Dan bukunya telah dijadikan rujukan ilmu kedokteran selama berabad-abad.
Uraian di atas merupakan sedikit contoh perkembangan keilmuan yang ada di dunia timur. Perpustakaan universitas di zaman keemasan Islam, yang banyak orang menyebutnya sebagai jantung universitas dan peradaban Islam era kekhalifahan, merupakan salah satu penyangga kegiatan keilmuan dan peradaban Islam masa itu. Sisa-sisanya bisa dilihat di Timur Tengah sampai sekarang. Apakah pemerintah mau melakukan itu semua? Kita belum tahu
“Sesungguhnya engkau berada pada akhlaq yg agung ”
Muqoddimah Melihat perkembangan terakhir ummat Islam di Indonesia tergambar dgn jelas betapa merosotnya akhlaknya sebagian ummat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama dikalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dgn konsep yg tidak jelas.
Rusaknya moral ummat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar ummat yg dgn sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar ummat loyo dan berikutnya tumbang. Sehingga yg tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas. Keadaan semakin buruk ketika pihak aparat terlibat dan melemahnya peran ulama` dan tokoh masyarakat.
Padahal nilai suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas akhlak-nya seperti dikemukakan penyair Mesir Syauki Bik “Suatu bangsa sangat ditentukan kualita akhlak-nya jika akhlak sudah rusak hancurlah bangsa tersebut.”
Hampir semua sektor kehidupan ummat mengalami krisis akhlak. Para mengalami pertikaian internal dan merebutkan vested interest dan jarang terkooptasi oleh kekuasaan yg dzalim. Para ulama`nya mengalami kemerosotan moral sehingga tidak lagi berjuang utk kepentingan ummat tetapi hanya kepentingan sesaat; mendukung status quo. Para pengusahanya melarikan diri dari tanggung jawab zakat infaq dan sedekah sehingga kedermawanan menjadi macet dan tidak jarang berinteraksi dgn sistem ribawi serta tidak mempedulikan lagi cara kerja yg haram atau halal. Para siswa dan mahasiswa terlibat banyak kasus pertikaian narkoba dan kenakalan remaja lainnya.
Kaum wanita muslimah terseret jauh kepada peradaban Barat dgn slogan kebebasan dan emansipasi yg berakibat kepada rusaknya moral mereka maka tak jarang mereka menjadi sasaran manusia berhidung belang dan tak jarang dijadikan komoditi murahan . Dan berbagai macam lapisan masyarakat muslim termasuk persoalan kaum miskin yg kurang sabar sehingga menjadi obyek garapan pihak lain termasuk seperti bentuk nyatanya pemurtadan semisal kristenisasi.
Pengertian akhlak Secara etimotogi bahasa akhlak dari akar bahasa Arab “khuluk” yg berarti tabiat muruah kebiasaan fithrah naluri dll . Secara epistemologi Syar’i akhlak adalah sesuatu yg menggambarkan tentang perilaku seseorang yg terdapat dalam jiwa yg baik yg darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya. Dan jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yg baik dan muliayang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat maka ia dinamakan akhlak yg mulia nammun jika sebaliknya maka ia dinamakan akhlak yg tercela
Memang perlu dibedakan antara akhlak dan moral. Karena akhlak lbh didasari oleh faktor yg melibatkan kehendak sang pencipta sementara moral lbh penekanannya pada unsur manusiawinya. Sebagai contoh mengucapkan selamat natal kepada non muslim secara akhlak tidak dibenarkan tetapi secara moral itu biasa-biasa saja.
Sentral Akhlak Akhlak secara teoritis memang indah tapi secara praktek memerlukan kerja keras. Oleh krn itu Allah SWT mengutus Nabi SAW-Nya utk memberi contoh akhlak mulia kepada manusia.Pekerjaan itu dilakukan oleh Nabi SAW sebaik mungkin sehingga mendapat pujian dari Allah SWT “Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yg agung “. Bahkan Rasulullah SAW sendiri bersabda “Aku diutus utk menyempurnakan Akhlak“. Lebih dari itu beliau menempatkan muslim yg paling tinggi derajatnya adl yg paling baik akhlaknya. “Sesempurna-sempurna iman seseorang mukmin adl mereka yg paling bagus akhlaknya”
Maka tak heran Aisyah mendiskripsikan Rasulullah SAW sebagai Al Qur`an berjalan ; “Akhlak Rasulullah SAW adl Al Qur`an“.
Cakupan Akhlak Mulia Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu ;
- Akhlak kepada Allah SWT dgn cara mencintai-Nya mensyukuri ni’mat-Nya
malu kepada-Nya utk berbuat maksiat selalu bertaubat bertawakkal takut
akan adzab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
- Akhlak kepada Rasulullah SAW dgn cara beradab dan menghormatinya
mentaati dan mencintai beliau menjadi kaumnya sebagai perantara dalam
segala aspek kehidupan banyak menyebut nama beliau menerima seluruh
ajaran beliau menghidupkan sunnah-sunnah beliau dan lbh mencintai beliau
daripada diri kita sendiri anak kita bapak kita dll.
- Akhlak terhadap Al Qur`an dgn cara membacanya dgn khusyuk tartil dan
sesempurna mungkin sambil memahaminya menghapalnya dan mengamalkannya
dalam kehidupan riil.
- Akhlak kepada makhluk Allah SWT mulai diri sendiri orangtua kerabat
handaitaulan tetangga dan sesama mukmin sesuai dgn tuntunan Islam.
- Akhlak kepada orang kafir dgn cara membenci kekafiran mereka tetapi
tetap berbuat adil kepada mereka berupa membalas kekejaman mereka atau
memaafkannya dan berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal
itu tidak bertentangan dgn syariat Islam dan mengajak mereka kepada
Islam.
- Akhlak terhadap makhluk lain termasuk kepada menyayangi binatang yg
tidak mengganggu menjga tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan melestarikannya
dll.
Jakarta Barat kawasan terbesar kasus narkoba krn dikawasan itu banyak terdapat tempat maksiat sisanya di Jakarta Pusat Jakarta Utara dan Jakarta Timur . Bahkan telah merambat kekota-kota kecil dan kampung-kampung.
Pembentengan dari krisis Akhlak Tentunya ummat Islam tidak berjaya kalau melepaskan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Makanya mereka harus kembali menghidupkan Islam sebagaimana yg telah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan 12 imam ahlul bait
Kita harus kembali menghidupkan masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam. Memperkuat daya tahan rumah tangga dari ancaman dekadensi moral termasuk film-film ysng bobrok menjaga disiplin dan keamanan sekolah serta memberikan lingkungan materi agama yg cukup serta menjaga daya tahan lingkungan masyarakat dari berbagai arus perusakan dan penyesatan sekaligus mengaktifkan pemerintah utk membentengi masyarakat dari berbagai bentuk kemaksiatan. Wallahu A`lam.
PENDAHULUAN
“Dalam pandangan saya, sains menawarkan jalan yang lebih pasti menuju Tuhan ketimbang agama. Benar atau salah, fakta bahwa sains benar-benar maju ke titik di mana apa yang sebelumnya merupakan pertanyaan-pertanyaan religius dapat ditangani sendiri secara serius, mengindikasikan konsekuensi-konsekuensi fisika baru yang merentang jauh.” (Davies, 2002: v)
Ungkapan Paul Davies di atas telah mewakili juru bicara sains abad ini, dimana sains dianggap menjadi ukuran satu-satunya kehidupan manusia saat ini. Apa yang dinilai sains sebagai benar, maka diterimalah hal itu oleh manusia, dan yang dinilai sains sebagai mitos maka dipercaya manusia sebagai mitos pula. Sains bukan hanya telah menjadi kendali pikiran, tetapi juga pengontrol perilaku manusia. Sains menjadikan para saintis sebagai pemandu utama manusia menuju kebahagiaan dibandingkan para saint (santo/orang suci). Singkatnya sains telah menjadi paradigma dan ideologi abad ini.
Posisi sains yang begitu sentral saat ini didukung pula oleh perkembangan teknologi sebagai sisi praktisnya. Hal ini membuat takjub sebagaian orang, tetapi membuat khawatir pula sebagain lainnya. Bagi yang takjub, sains dan teknologi adalah puncak kreativitas manusia dalam menaklukkan alam, sedangkan bagi yang khawatir sains dan teknologi juga akan merusak manusia dan alam semesta. Bagi yang takjub sains dan teknologi akan memberikan berkah, tetapi bagi yang khawatir sains dan teknologi berpotensi mendatangkan bencana. Bagi para ilmuan sains dan teknolgi membantu manusia mengatasi penyakit-penyakit yang ada, tetapi bagi yang khawatir sains dan teknologi juga akan mendatangkan penyakit-penyakit baru yang lebih berbahaya. Bagi yang takjub, sains dan teknologi memudahkan manusia dalam bekerja, tetapi juga mengancam pengangguran dimana-mana. Sains dan teknologi telah menciptakan mesin-mesin raksasa yang mengolah alam untuk kepentingan manusia, tetapi juga telah mengakibatkan manusia menjadi mesin-mesin mekanis yang kehilangan sisi terdalam kemanusiaannya yakni moralitas (etika).
Tidak hanya sampai di situ, sains yang mendapat kehormatan menjadi pangeran abad ini, ternyata tidak menemukan kebebasan yang dibanggakannya. Sebab ternyata sains tetap tak mampu menembus kekuasaan politik dunia. Para pengambil kebijakan saat ini, ternyata bukanlah para saintis, tetapi para politisi. Dalam kondisi ini, sains menjadi pelayan politik, yang akhirnya sains sebagai sarana untuk mengambil dan mempertahankan kekuasaan. Karena kekuasaan di dunia ini tak selamanya dipegang oleh manusia-manusia bijak, maka penggunaan sains yang destruktif menjadi ancaman serius kemanusiaan. Karena itu, tidak hanya sains dan kekuasan, kepribadian para penguasa juga hal penting untuk mendapat perhatian serius agar peradaban dunia mengarah pada progresifitas yang menjanjikan. Untuk itulah memperhatikan dinamika sain, kekuasaan dan moralitas menjadi agenda utama manusia abad ini.
MENCARI ALTERNATIF PARADIGMA SAINS MODERN
Konon, seorang pasien rumah sakit jiwa mengadu kepada dokternya, “Dokter, saya sudah mati!” Dokter berusaha meyakinkannya bahwa ia masih masih hidup, tetapi selalu gagal. Maka dengan hampir putus asa, dokter itu berkata, “Baiklah, orang mati tidak mengeluarkan darahkan?” Pasien itu mengangguk, “Benar, orang mati tidak berdarah”. Pada saat itu, dengan cepat dokter menusukkan jarum ke jari pasien. Ketika darah menetes pasien itu berkata, “Ok Dok, saya keliru, orang mati ternyata berdarah.” Apapun yang terjadi akhirnya diletakkan pada bingkai paradigma awal: Ia sudah mati.
Cerita di atas menunjukkan bahwa cara kita memandang sesuatu bergantung pada paradigma yang mendasarinya, sehingga apapun yang terjadi akan diletakkan orang dalam paradigma yang diyakininya. (Rakhmat, 2003: 12)
Paradigma menjadi populer dengan didengungkan oleh Thomas Kuhn pada tahun 1970 melalui karyanya yang cemerlang The Structure of Scientific Revolutions. Dalam karyanya ini dia telah mendeskripsikan berbagai makna paradigma. Yang menarik adalah temuannya yang mengemukakan bahwa analisis sains mendasarkan diri pada paradigma yang dianut seorang saintis, sehingga dapat terjadi perbedaan para saintis dalam kajian risetnya dikarenakan perbedaan paradigma yang dianut. (Kuhn, 1989: 108-109)
Paradigma adalah asumsi-asumsi filosofis yang mendasari suatu bidang peradaban seperti misalnya sains dan teknologi. Dalam sains, paradigma berarti asumsi-asumsi filosofis yang diyakini ilmuan secara umum dalam usaha mengkaji sesuatu. Karena dikatakan sebagai asumsi-asumsi filosofis maka ia mengandung asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, aksiologis, visi, bahkan sistem nilai.
Fritjop Chapra menyebutkan bahwa sains modern menganut paradigma mekanistik-positivisme Cartesian-Newtonian yang memisahkan antara pikiran dan materi sehingga membawa kita pada pandangan alam semesta sebagai sebuah sistem mekanis yang terdiri dari benda-benda yang terpisah, yang nantinya bisa direduksi menjadi balok-balok bangunan materi pokok yang sifat-sifat dan interaksinya dianggap sangat menentukan semua fenomena alam. Pandangan alam semesta Cartesian semacam ini kemudian dikembangkan lebih jauh hingga pada organisme hidup, yang dianggap sebagai mesin yang dibangun atas bagian-bagian yang terpisah. Kita akan melihat bahwa konsep dunia mekanis semacam ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu kita dan tetap memiliki pengaruh yang luar biasa pada banyak aspek kehidupan kita. Konsep ini telah menimbulkan pemisahan yang begitu terkenal dalam disiplin akademik dan sistem pemerintahan kita dan telah berfungsi sebagai dasar pemikiran untuk memperlakukan lingkungan alam seolah-olah terdiri dari bagian-bagian yang terpisah untuk dieksploitasi oleh berbagai kelompok yang berkepentingan. (Chapra, 2007: 27-28)
Dalam bukunya Pradigma Holistik (2003) Husain Heriyanto, menganalisis bahwa sains modern didasarkan pada paradigma tertentu yang disebut “Paradigma Cartesian-Newtonian.” Paradigma ini memiliki enam asumsi, yakni:
- Subjektivisme-antroposentik: sebuah kesadaran subjektif yang meyakini manusia sebagai pusat dunia
- Dualisme: dikotomi antara subjek dan objek, manusia dan alam, dengan menempatkan subjek/manusia sebagai yang superior
- Mekanistik deterministik: alam merupakan mesin raksasa yang bekerja secara mekanis, tak bernyawa dan statis serta telah dikondisikan seluruhnya oleh sistem yang telah pasti secara alamiah
- Reduksionisme-Atomistik: kepercayaan bahwa keseluruhan dapat dipahami secara sempurna dengan menganalisis bagian-bagiannya, dan segalanya itu adalah unsur atom-atom
- Instrumentalisme: Kebenaran mesti diukur secara kuantitatif dan sejauh mana ia dapat digunakan untuk kepentingan material dan praktis
- Materialisme-Saintisme: materilah yang merupakan yang riil, dan alam merupakan dunia materi yang mandiri tanpa sebab atau kendali supranatural dan yang dapat menjelaskan alam semesta secara memuaskan hanyalah sains.
Begitu pula, paradigma sains modern ini telah memberikan berkah yang melimpah, kemudahan materi, dan memperluas cakrawala pikiran. Namun, ia juga mendatangkan kegelisahan jiwa yang hebat, dan hilangnya perhatian kita secara bertahap pada pedoman spiritual dan etika—kebenaran, kehormatan, dan keadilan—yang telah menjadi benteng kokoh setiap peradaban besar masa lalu. Sekarang ini, hal-hal absolut tampaknya menjadi impian yang tidak bisa terwujud. Saat kita sekarang ini adalah sebuah dunia relativis yang baru dan asing. Penting bagi kita menemukan suatu pengganti yang bermakna bagi kesadaran kita akan makna yang telah hilang.” (Walters. 2003: 1)
Bahkan Paul Davies seorang ilmuan yang memuja sains dan mendeskreditkan agama menegaskan bahwa sains mungkin telah mengurangi bencana penyakit dan pengangguran, tetapi ia juga menimbulkan senjata-senjata pemusnah massal yang menakutkan dan menurunkan kualitas hidup secara serius. Dampak sains pada masyarakat industrial telah menjadi rahmat yang campur aduk”. (Davies, 2002: 5) Untuk itu, mengawal sains adalah hal yang mesti dilakukan dengan kesungguhan dan keseriusan yang tinggi.
Ted Peters mengatakan sudah saatnya para teolog bersuara tentang permasalahan etis yang timbul dari krisis lingkungan dan kebutuhan untuk merancang masa depan jangka panjang planet kita. Tantangan ekologis muncul dari krisis ledakan penduduk; proses produksi pertanian dan industri yang menghabiskan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui sekaligus menyebabkan pencemaran udara, tanah, dan air; semakin melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan miskin di seluruh dunia; dan hilangnya rasa tanggungjawab terhadap kesejahteraan generasi mendatang. Teknologi modern banyak bertanggungjawab atas terjadinya krisis ekologi ini dan para teolog bersama dengan kaum moralis sekuler berjuang keras unutk meraih kendali etis atas kekuatan-kekuatan teknologi dan ekonomi, yang jika dibiarkan akan membawa kita kepada kehancuran. (Peters, 2006: 112)
SAINS DAN KEKUASAAN
Merujuk pada analaisis Huston Smith dalam Why Religion Matters, saat memasuki abad modern, mulai terjadi pembunuhan pada agama. Hal itu dilakukan oleh dua raksasa yang berkuasa, yaitu kekuasaan politik (politikisme) dan kekuasaan sains (saintisme) yang tersimpul dalam satu ideologi modern yakni sekularisme. Sains— dalam balutan sekularisme berubah menjadi saintisme— berdiri atas nama metode ilmiah, yang menggantikan posisi wahyu sebagai jalan menuju pengetahuan. Secara konseptual, itu membentuk pandangan dunia ilmiah, sementara teknologinya membentuk dunia modern. Sebagai akibatnya, agama dipinggirkan. Dalam dimensi intelektual, sains tidak memberikan tempat bagi wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan ketika kaum modernis cenderung berpikir ala sains dalam soal kebenaran, kepercayaan kepada wahyu semakin hilang. Sedangkan secara politik (politikisme), transportasi dan perpindahan penduduk yang lebih mudah memperkenalkan gejala baru yaitu pluralisme kultural. Hasilnya, lagi-lagi penyingkiran agama dari kehidupan publik, karena agama membeda-bedakan, sementara politik justru mau mengupayakan landasan bersama yang dapat menengahi perbedaan-perbedaan warganya. (Smith, 2003: 186-187).
Saintisme telah mengobarkan peperangan melawan agama, dengan menyatakan kemenangan mutlaknya terhadap kekuatan takhayul, dogma, dan ilmu pengetahuan semu. Saintisme adalah sebuah ideologi yang dibangun berdasar pada sebuah asumsi bahwa ilmu bisa memberikan pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Hanya ada satu realitas, yaitu yang alami, dan ilmu pengetahuan memonopoli pengetahuan kita tentang alam. Maka saintisme adalah sebuah agama sekuler. (Peters, 2006: 102) Hal ini juga dinyatakan oleh Paus Yohanes Paulus II yang menulis di dalam Fides et Ratio bahwa saintisme adalah sebuah pengertian filosofis yang menolak mengakui keabsahan bentuk-bentuk pengetahuan yang berada di luar ilmu-ilmu positif; paham ini mengasingkan pengetahuan-pengtahuan religius, teologis, etis, dan estetis dalam wilayah fantasi saja. (Peters, 2006: 421)
Banyak para ahli membuktikan bahwa sains dan teknologi tidak bersifat netral. Tetapi, sebagian besar ilmuwan saat ini meyakini netralitas sains. Karena sains merupakan suatu upaya yang bebas nilai, maka perbedaan antara pelbagai tradisi ilmiah, sepenuhnya timbul pada tingkat justifikasi, bukan pada tingkat eksperimen dan cara kerja. Jadi, ketika seorang saintis, baik Muslim, Kristen, Hindu, atau ateis mengamati komponen kimiawi mineral, mereka akan melihat sesuatu yang sama, bekerja pada perangkat elemen yang sama, menurut perangkat kondisi yang sama, dan akan sampai pada kesimpulan yang sama. Aplikasi praktis temuan-temuan ini pada berbagai bidang dan teknologilah yang membuat perbedaan. (Kalin, dalam Peters, 2006: 78)
Seperti halnya ilmu pengetahuan, teknologi juga bersifat netral, kata Henry Steele Commager (dalam Lapham, 1989: 27). Manusialah yang menerapkannya, dan manusialah yang bertanggungjawab atas teknologi—manusia yang bekerja sendiri, atau melalui perusahaan atau pemerintah. Teknologi merupakan sarana utama untuk kemajuan, atau bagi kematian, begitu manusia telah memilih menggunakannya. Kita tidak punya pilihan selain mengendalikan teknologi. Jika kita tiak mengendalikannya, maka teknologi akan menguasai kita.
Jadi, sekalipun kita sepakat ilmu pengetahuan dan teknologi bersifat netral dan bebas nilai, maka kita harus tetap memperhitungkannya disaat mempergunakannya dalam kehidupan ini. Sebab, sifat netralnya tersebut membuat sains dan teknologi bisa digunakan oleh siapa saja, dan untuk apa saja, kebaikan atau keburukan. Ini berarti, sains dan teknologi sangat bergantung pada sifat manusia yang menggunakannya. Jika manusianya berpegang pada nilai-nilai mulia, maka sains dan teknologi akan berjalan menuju arah kemajuan peradaban dan kesejahteraan manusia. Inilah diantara sisi positifnya.
Namun jika sains dan teknologi dikuasai oleh para manusia-manusia rakus dan haus kekauasaan maka ianya akan menjadi alat politisasi untuk melestarikan kekuasaanya yang merusak. Misalnya, teknologi nuklir. Teknologi merupakan hasil kemajuan sains dalam analisanya terhadap semesta. Krisis energi yang dialami manusia, bisa teratasi dengan adanya energi nuklir. Inilah diantara manfaat positifnya. Namun, tatkala manusia mengambil keputusan untuk memanfaatkan teknologi nuklir guna memmenuhi kebutuhan-kebutuhan mendesak kehidupannya, para penguasa dunia yang haus kekuasaan memaksa para ilmuan untuk membuat bom nuklir. Bom-bom nuklir ini berada di tangan orang-orang yang haus kekuasan. Dengan bom itu, ia mengancam dan menakut-nakuti siapa saja yang hendak menghirup udara kebebasan. Di sini, kemampuan manusia untuk mencipta telah menjadi tawanan orang-orang yang haus kekuasaan. Pada titik ini, ilmu dan teknologi tak mendapatkan kebebasannya. (Muthahari, 1996: 33)
Murtadha Muthahhari (1996: 34) menggambarkan kondisi sains sebagai alat kekuasaan, sebagai berikut :
“Sekiranya Anda memperhatikan dengan teliti, niscaya Anda mengetahui bahwa seandainya ada seorang ilmuan menemukan sesuatu yang baru atau seorang ahli psikologi mahir, maka kekuatan politik yang berkuasa akan segera berusaha mendapatkan dan memaksanya untuk bekerja demi kepentingan mereka. Tidak ada pilihan lain bagi sang ilmuan itu. Mungkin contoh yang paling tepat dalam hal ini adalah para ilmuan ahli nuklir. Di manapun di dunia ini, jika ada seorang ilmuan ahli nuklir terkemuka ditemukan, maka kekuatan politik dunia akan segera mendatangi dan menawannya agar dia menyerahkan pengetahuannya kepada mereka atau terkadang dengan maksud agar pihak musuh tidak bisa memanfaatkannya. Kekuatan politik itu memberikan suatu program kepada sang ilmuan, dan mereka meminta kepadanya untuk bekerja sesuai dengan program mereka. Ia tidak boleh keluar atau menyimpang dari program yang telah ditetapkan. Bahkan ia tak punya hak hidup kecuali menekuni program itu. Mereka kehilangan kebebasan. Inilah mengapa bisa kita katakan bahwa saat ini adalah masa ilmu pengetahuan yang terpenjara. Terpenjara oleh kekuasaan dan kekuatan yang memerintah umat manusia. Abad ini adalah abad di mana ilmuan dan ilmu pengetahuan dijadikan alat bagi mencapai cita-cita para penguasa”.
“Dari sini kita memahami bahwa di samping mempunyai kemajuan dan perkembangan, manusia juga mempunyai kemungkinan untuk menyimpang. Para guru akhlak/etika telah memberitahukan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu tentang hal ini. Mereka mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang tidak menunjukkan bahwa ia akan menggunakannya demi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab, mungkin saja. Ada seorang berilmu yang memanfaatkan ilmunya demi kepentingan syahwatnya. Atau kerja keras para ilmuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk maksud-maksud kejahatan dan ambisi kekuasaan.”
Gambaran Muthahhari di atas menunjukkan dinamika antara sains dan kekuasan, dimana pada saat ini kekuasan mendominasi sains. Kekuasaan menjadi raja, sedangkan sains menjadi panglima. Betapa banyak kekuasaan yang ditegakkan di atas kekuatan sains. Negara adidaya di dunia tidak hanya dinilai dari kekuatan senjata, tetapi juga dari kekuatan sains. Perlombaan senjata antara Amerika dan Rusia untuk saling mengentarkan musuh-musuhnya, juga di nilai sebagai perlombaan para ilmuwan dalam meningkatkan kualitas pengetahuan mereka. Beragam penemuan dan penelitian yang dilakukan disponsori oleh elit-elit pengusaha atau elit penguasa. Dan tentunya kedua elit ini lebih memperhatikan sisi ekonomi dan kekuasaan mereka dalam mendukung aktivitas saintis. Karena itulah, sains sebagai pelayan kekuasaan memang telah menjadi fenomena abad ini.
Itulah mengapa sejak masa Yunani hingga saat ini para filosof melihat bahwa kekuasaan tidaklah layak berada di tangan para individu yang dikendalikan oleh nafsu syahwatnya. Kesejahteraan hanya akan terjadi, jika para intelektual menjadi pemegang dan pengendali kekuasaan (Aristokrasi). Dalam ungkapan Plato, “dunia tidak akan melihat kebahagiaan, kecuali bila orang-orang ahli ilmu dan hikmah menjadi penguasa, dan para penguasa menjadi orang ahli hikmah dan ilmu pengetahuan. Selama para ahli hikmah dan pengetahuan berada pada satu tingkatan, dan para penguasa berada pada tingkatan lain, maka selama itu pula kebahagiaan tidak akan dapat dirasakan oleh dunia.” (Muthahari, 1996: 37)
Manusia dikatakan sebagai makhluk berakal dan dengan akallah manusia beragama dan berpengetahuan. Karena itu, sains sebagai hasil penalaran akal tidak layak digunakan sebagai penolak keagamaan, begitupula agama yang disimpulkan dengan argumentasi-argumentasi rasional mustahil menafikan ilmu pengetahuan.
Demikian juga terhadap dunia politis, manusia merupakan makhluk terbaik hasil kreasi Tuhan, dijadikan sebagai pengemban amanah untuk memakmurkan jagat raya. Kemakmuran hanya didapatkan dengan sistem amanah bukan kekuasaan. Amanah ini didasarkan pada kepercayaan dan tanggung jawab, sedangkan kekuasaan diazaskan dengan kepemilikan dan kebebasan. Karenanya, pengelolaan semesta dengan amanah akan menghasilkan pemeliharaan yang sesuai dengan karakteristik alam semesta, sedangkan pengelolaan berdasarkan kekuasaan dan kepemilikan hanya akan memberlakukan alam sesuai dengan keinginan dan kesenangan. Sebab itu, politik yang amanah akan menjadikan kekuasaan sebagai sarana menuju kemaslahatan jagat raya termasuk mengantarkan manusia pada kesempurnaannya.
Secara jujur mesti diakui bahwa manusia mengharapkan kesempurnaan diri. Dengan fitrah ini, manusia mencari sarana untuk mencapai hasrat kesempurnaan tersebut. Apa sarana tersebut? sains etika atau kekuasaan (politik)? Jawaban idealnya bukanlah salah satunya, melainkan ketiganya. Kalau begitu, konsekuensi semestinya dari fitrah kesempurnaan adalah keterpaduan sains, etika dan kekuasaan. Artinya semakin orang berpengatahuan maka semakin baik pula dirinya, sehingga ia menggunakan kekuasaan dengan dasar keadilan.
SAINS DAN MORALITAS
Ketika seorang ilmuwan menemukan teori gelombang dan cahaya sehingga bisa membuat alat merekan gambar dan suara. Dengan temuan ini, manusia bisa merekam berbagai kegiatan manusia, mulai dari pelajaran sampai acara keluarga, sehingga manusia mendapatkan banyak manfaat untuk mengembangkan kehidupannya. Namun kemudian, alat itu juga bisa digunakan untuk memuaskan hasrat nafsu manusia dengan menampilkan gambar-gambar dan film-film cabul yang banyak memberikan keuntungan ekonomis tetapi merusak jiwa dan kehidupan masyarakat. Apa yang kita harapkan dilakukan oleh sang ilmuwan itu? Dalam kondisi ini, kita dihadapkan pada persoalan moral (etika).
Jika sains berpijakan pada fenomena alam, maka moral berdasar pada kebijakan manusia. Sains membawa kita pada beragam penemuan, sedangkan moral mengarahkan kita dalam mengunakan penemuan-penemuan tersebut. Sains membicarakan salah dan benar, maka moral membahas baik dan buruk. Sains bekerja melalui data-data ilmiah, maka moral mengabdi dalam perbuatan-perbuatan amaliyah (baik). Karena itu, sains dan moralitas adalah dua hal yang tak boleh dipisahkan. Memisahkan sains dan moralitas, sama dengan memisahkan manusia dari kemanusiaannya. Sebab berkah dan kutuk yang diberikan sains kepada kita, tergantung pada sendi-sendi moralitas yang kita pegang. Sebagaimana disebutkan oleh Walters bahwa sains adalah pemberi begitu banyak berkah, juga mendatangkan apa yang mungkin menjadi ujian terbesar yang pernah dihadapi umat manusia. Masalahnya bukan apakah kemajuan ilmu pengetahuan akan menjadi sebab kehancuran manusia. Tetapi, yang dipertaruhkan adalah kemampuan kita untuk menyeimbangkan prestasi lahiriah dengan pencerahan batiniah (spiritual). (Walters, 2003: 4)
Namun, yang menimpa dunia kita saat ini adalah kehampaan nilai-nilai moralitas. Penganggungan ekstrim pada kebebasan ilmiah mengubah manusia menjadi ‘binatang-binatang yang berilmu,” yang hidup dalam kepalsuan dan keterasingan. Jika awalnya kita merasa terasing dari alam semesta, kini kita telah merasa terasing pula dari kemanusiaan kita sendiri. Hal ini telah mendatangkan beragam krisis. J. Donald Walters (2003: 3)dengan baik melukiskan hal ini :
“Kita sekarang ini hidup di zaman krisis. Tanda-tandanya dapat dilihat di mana-mana: dalam pertentangan global yang kuat dari ideologi-ideologi sosial yang tak sepaham; dalam kebingungan spiritual yang dipicu oleh pengetahuan modern; dalam tantangan terhadap konsep-konsep moral kuno tentang amoralitas yang sinis dan terus berkembang; dalam pola hidup serba cepat dan kacau yang sungguh-sungguh menyerang kesehatan jiwa kita. Kita berbicara tentang perdamaian, meskipun tahu dalam hati bahwa perdamaian bukanlah hasil dari kegelisahan, ketakutan, dan keraguan. Kita berbicara tentang kemakmuran, namun menyeret diri kita sendiri ke dalam utang yang mencemaskan. Kita meneriakkan ‘kemerdekaan’, namun menyamakan cita-cita ini dengan kebebasan orang lain untuk menjadi persis seperti diri kita sendiri. Kita memuji-muji persamaan hak, meskipun kata itu sering kali dibuat menjadi hukuman bagi keunggulan, dan ‘kebersamaan’ menjadi slogan yang membelenggu inisiatif.”
Kemudian Walters menunjukkan sikap optimismenya dengan mengungkapkan :
“Namun demikian, dari sudut pandang manusia, mungkin di sini ada harapan untuk menemukan nilai-nilai yang tetap, dan oleh karena itu mengalahkan pandangan menyedihkan dari ilmu pengetahuan bahwa nilai-nilai itu tidak ada. Dari sudut pandang kita, bagaimanapun juga, ada hal-hal seperti kerjasama, kehormatan, dan kejujuran. Ada juga kualitas-kualitas yang berlawanan, ketidaksetiaan, kelemahan karakter, dan ketidakjujuran, yang merupakan sifat-sifat yang (kita asumsikan) tidak disetujui semua orang. (Walters, 2003:
Krisis yang melanda dunia ini dipandang sebagai implikasi dari sekularisme. Sekularisme telah memisahkan jasad dan ruh, materi dan immateri. Sekularisme juga telah memisahkan rasio dan iman, sains dan moral. Bagaimana proses sekularisasi ini berjalan. Huston Smith menyebutkan proses sekularisasi ini dilakukan oleh sains dan teknologi dengan agennya adalah universitas tempat para ilmuwan bekerja. Smith menulis :
“Penyebab paling penting sekularisasi itu adalah “teknologisasi” progressif dunia Barat atas nama kemajuan, dan universitas merupakan agen utama proyek itu. Para ilmuwan diperlukan untuk menemukan hukum-hukum baru alam, dan para teknolog diperlukan untuk membuatnya berguna. Setiap orang terlibat, bukan hanya universitas dan ilmuwan, karena sejak kesehatan tubuh sampai oven microwave dan televisi, benda-benda material merupakan piala kehidupan yang paling nyata. Karena itu, tidak ada yang dapat mencegah ledakan sains dan teknologi di kampus-kampus. Kampus secara eksplisit didirikan untuk mengembangkan sisi praktis pendidikan…Para pendatang baru dalam industri pendidikan yang berkembang pesat adalah sekolah-sekolah bisnis dan manjemen….Dalam dunia modern, maraknya sains, teknologi dan sekolah-sekolah bisnis di kampus-kampus merupkan hal yang tak terelakkan, dan dalam dirinya sendiri wajar. Namun, itu mempunyai harganya sendiri. Humaniora dan ilmu-ilmu sosial, yang mengkaji masyarakat, sudah digeser ke pinggir. (Smith, hal. 100-101)
Lebih jauh Huston Smith dalam menyikapi perkembangan Universitas-Universitas di Barat terhadap sains ilmiah menulis sbb :
“Munculnya universitas Amerika pada paruh kedua abad ke-19 membawa revolusi dalam pemahaman kita mengenai kehidupan intelektual. Semangat itu paling tercermin pada universitas-universitas yang mengakomodasi sains dan sekularisme, membebaskan diri dari orientasi religius yang membimbing mereka pada masa lampau, memegang rasa ingin tahu sebagai nilai pada dirinya sendiri, dan memuja rasio sebagai kekuatan penentu dalam kehidupan intelektual…Semangat baru ini kelihatan jelas, khususnya pada kalangan profesionalisme baru, yang menata kembali profesi-profesi lama dan mengembangkan profesi-profesi baru. Kalangan profesionalisme lama mengambil kajian-kajian libreal (humniora) secara serius karena manusia menjadi pusat perhatian mereka. Profesionalisme baru mengkaji benda-benda, dan mengajukan pertanyaan bukan tentang peran ultimat dan tanggungjawab manusia, melainkan tentang apakah X atau Y yang merupakan jalan lebih baik untukmencapai tujuan yang bersifat langsung dan terbatas. Ini bukan prbedaan pada tingkatan, melainkan pada hakikatnya. Dengan mendewakan pengetahuan instrumental dan menjadikannya sebagai pusat, universitas yang marak di mana-mana mengubah panggilan menjadi profesi. Dalam proses itu, tidak hanya fokus pada tujuan dan makna hidup lalu hilang, tetapi juga fokus manusia sebagai manusia karena sudah mereduksi manusia menjadi sekedar instrumen bagi kemajuan pengetahuan duniawi tersebut.” (Smith, 2003: 126-127)
Senada dengan Huston Smith, Jacques Ellul dalam The Technological Society juga melihat ancaman teknologi yang begitu dahsyat saat ini. Ia menyebutkan bahwa teknologi modern semakin otonom, lepas dari pengendalian manusia. Proses teknologi menciptakan kebutuhan yang hanya dapat dipuaskan oleh teknologi. Teknologi membentuk struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga masyarakat harus menyesuaikan dirinya dengan perkembangan teknologi. Dengan demikian, telah terjadi adaptasi yang terbalik (reverse adaptation). Padahal niat awal manusia menggunakan teknologi adalah agar ia dapat mengendalikan alam. Kini, manusia malah tunduk kepada teknologi, alam kedua yang ia ciptakan sendiri. (Heriyanto, 2002: 106)
Karena itu menyatupadukan sains dan etika adalah proyek besar abad ini. Di saat dunia dilanda manusia-manusia hedonis yang menyalurkan hasratnya dalam segala bidang, maka sudah selayaknya, moral kembali menduduki fungsi mahkota yang mengarahkan sains dalam kerjanya. Saat jasad dimanjakan oleh kaum materialis, sudah sewajarnya, moral membuktikan ada cinta dan kasih pada sisi terdalam manusia. Saat kebebasan diagungkan oleh kaum liberalis, sudah semestinya moralitas menunjukan bahwa ‘keteraturan’ adalah pilihan sejati manusia. Saat sains membanggakan diri atas beragam penemuannya, maka moral mengingatkannya dalam mengunakannya, sebab terkadang temuan-temuan itu merupakan produk syahwat manusia. Saat sains menjadikan “manusia dituhankan”, maka sudah semestinya moral memandu kita untuk menghadirkan “Tuhan dalam kemanusiaan.”
ALTERNATIF PARADIGMA : SUATU TAWARAN
Jika kita berkeinginan kuat untuk mengawal perkembangan sains maka tidak bisa tidak, kita mesti terlebih dahulu meletakkan paradigma yang utuh dalam barometer dan standard yang benar. Dengan fondasi dan kerangka paradigma inilah sains akan dibangun dengan megah dan unik. Beberapa paradigma yang ingin saya tawarkan pada saat ini adalah :
- Teosentris. Ini berarti semesta berpusat pada ketuhanan. Teosentris bukan berarti menafikan kemanusiaan, akan tetapi menjadikan Tuhan sebagai poros aktivitas manusia. Ini juga berarti apa yang dilakukan manusia, diantaranya ilmu pengetahuan bukan saja untuk dirinya sendiri (ilmu untuk ilmu) atau untuk sipencari ilmu (manusia), tetapi juga dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
- Keteraturan-Kausalitas. Artinya bahwa peristiwa-peristiwa dan fenomena apapun sebenarnya suatu hal yang padanya berlaku hukum sebab-akibat karenanya proses itu berjalan teratur.
- Pluralitas epistemologi. Asumsi ini menegaskan bahwa perolehan pengetahuan, sumber pengetahuan, pengujian pengetahuan, hingga neracanya, bukanlah satu, akan tetapi plural (beragam). Kita mengakui indera, akal, dan juga intuisi. Pada aspek lain sumber pengetahuan bukanlah hanya dalam kitab suci, tapi juga alam semesta yang terbentang, diri manusia itu sendiri, masyarakat, dan berbagai fenomena yang menyertainya.
- Pluralitas ontologis. Dengan paradigma ini kita menerima akan kesejatian eksistensi dan memahami bahwa terdapat hal-hal yang terindera (empiris/material) maupun tidak terindera (immaterial). Yang mana eksistensi itu terbentang dari eksistensi tertinggi (the ultimate reality) hingga eksistensi terendah dengan relasi yang tak terputus (gradasi eksistensi). Eksistensi semesta ini terus menerus bergerak untuk memperoleh kesempurnaannya yang sejati.
- Objektivitas yang menunjukkan kemungkinan diperolehnya pengetahuan yang benar. Untuk itu, sebaiknya tidak mencampurkan standard ilmu dan nilai sebab akan menghasilkan kerancuan. Ilmu berpijak pada level epistemologis benar dan batil, sedangkan nilai berpijak pada level aksiologis baik atau buruk. Bagi penganut netralitas ilmu ataupun tidak, tetap mesti dibedakan evaluasi antara ilmu dan nilai. Artinya, standard ilmu adalah epistemologi ilmu dan standard nilai adalah nilai. Tidak layak kita mengesampingkan penelitian ilmiah dengan argumen subjektivitas atas nilai sesuatu.
- Penalaran filosofis merupakan jembatan antara sains, etika dan agama. Sebuah kemajuan agama dan ilmu tidak akan tercapai tanpa filsafat. Sebab wawasan kemandirian dalam suatu penyelidikan sulit dibentuk, karena tanpa berpikir filosofis keyakinan dan rasa percaya diri akan sulit diwujudkan. Filsafat adalah sebuah model berpikir yang membahas berbagai hal untuk melahirkan temuan-temuan matang dan rumus-rumus tentang realitas yang sangat berguna untuk membangun sebuah kehidupan yang berperadaban. Inilah proyek “menghidupkan kembali pemikiran filosofis”.
PENUTUP
Sains, kekuasaan dan moralitas memiliki dinamika yang unik dalam mazhab syi’ah imamiyah.
Kita tak bisa hidup tanpa sains, kekuasaan dan moralitas, tetapi kita juga khawatir, ketiganya akan bertanding daripada bersanding. Untuk itu suatu paradigma alternatif yang bisa memandu ketiganya menuju persandingan yang progressif dalam merajut peradaban dunia yang lebih baik menjadi agenda serius abad ini. Tawaran paradigmatik yang ada dalam tulisan ini tidak lain adalah secuil sumbangan arah dalam langkah besar yang akan ditujunya. Semoga!.
BAHAN BACAAN
Barbour, Ian G. Juru Bicara Tuhan. (Bandung: Mizan, 2003)
Chapra, Fritjop. The Turning Point: Tititk Balik Peradaban. (Yogyakarta: Jejak, 2007)
Davies, Paul. Tuhan, Doktrin dan Rasionalitas. (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)
Heriyanto, Husein. Paradigma Holistik (Bandung: Teraju, 2003)
Kuhn, Thomas. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Bandung: Rosda, 1989).
Lapham, Lewis H. (ed). Teknologi Canggih dan Kebebasan Manusia. (Jakarta: Obor, 1989)
Muthahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta. (Jakarta: Lentera, 2003)
Nasr, Syed Hossein. The Heart of Islam. (Bandung: Mizan, 2003)
Peters, Ted. (ed). Tuhan, Alam, Manusia : Perspektif Sains dan Agama. (Bandung: Mizan, 2006)
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. (Bandung: Mizan, 2003)
Smith, Huston. Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains (Bandung: Mizan, 2003)
Sardar, Ziauddin. Jihad Intelektual. (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1998)
Walters, J. Donald. Crises in Modern Thought. (Jakarta, gramedia, 2003).
Ilmuwan Iran Disiksa di Bahrain
IslamTimes. Sebuah laporan mengatakan seorang ilmuwan
Iran diculik oleh pasukan Saudi dan Bahrain dan telah mengalami
penyiksaan brutal sejak penahanannya.
Dr Masoud Jahromi, adalah kepala Jurusan Teknik Telekomunikasi di
Universitas Ahlia Bahrain, yang mengalami penyiksaan brutal di tangan
pasukan pemerintah Bahrain, jaringan berita Atynews melaporkan pada hari
Selasa.Jahromi ditangkap pada 30 Maret. Sejak saat itu dia dibawa ke sebuah lokasi yang tidak diketahui, mahasiswa dan koleganya sangat prihatin tentang keadaannya.
Masoud Jahromi meraih gelar master dalam Kontrol dan Teknologi Informasi dari University of Manchester, Inggris. Dia kemudian memperoleh gelar PhD dari University of Kent di Canterbury.
Sejak awal protes anti-rezim di Bahrain pada pertengahan Februari, Manama telah meluncurkan penumpasan keras terhadap demonstran anti-pemerintah, penangkapan tokoh oposisi senior dan aktivis dalam serangan fajar dan menangkap dokter, perawat, pengacara dan wartawan yang telah menyuarakan dukungan bagi gerakan protes.
Sementara keberadaan banyak tahanan masih belum diketahui.
Kelompok hak asasi manusia dan keluarga korban yang ditangkap dalam tindakan keras pemerintah terhadap demonstran menyalahkan aparat keamanan Bahrain untuk memperlakukan demonstran anti-pemerintah, mengatakan bahwa mereka disiksa secara fisik dan mental.
Amnesty International dan Human Rights Watch telah mengkritik pemerintah Teluk Persia atas tindakan keras yang brutal terhadap penduduk sipil
Iran akan mampu perang udara dengan BARAT jika Perang Dunia 3 terjadi !!!
Kemajuan Iran Dibidang Ilmiah Membuktikan Syi’ah Imamiyah Tidak Sesat !!! Bosan dengan mazhab yang tidak maju maju ?? Masuk syi’ah aja
Di Iran upaya-upaya mendorong penelitian ilmiah terus dilakukan dan semakin banyak ilmuwan Iran yang kembali ke negerinya, usai menyabet gelar sarjana dari luar negeri. Bidang ilmu pengetahuan Iran memang maju pesat belakangan ini, seperti nanoteknologi dan kedirgantaraan. Dalam proses pengayaan nuklir pun, Iran telah mencapai derajat pengetahuan yang setara dengan sejumlah negara maju di Barat.
Iran kini tengah mengembangkan teknologi militer anti pesawat siluman, bukti integrasi mazhab syi’ah dengan iptek sains
Robot Operasi Bedah Iran Segera Dipamerkan, Syi’ah Mengintegrasikan Agama Dengan Iptek Sains
Konsep Taklid Dalam Mazhab Syi’ah berhasil karena kami memiliki pemimpin tertinggi sedunia yaitu Rahbar di Iran
Ilmuwan Iran Klaim Ciptakan Piring Terbang Pertama
Ilmuwan Iran mengklaim menciptakan piring terbang pertama
Ilmuwan Iran mengklaim menciptakan piring terbang pertama, meskipun belum jelas seberapa tinggi objek itu mampu terbang, Media menyebut pesawat itu mirip UFO.
Piring terbang bernama Zohal yang berarti Saturnus itu merupakan pesawat ruang angkasa tak berawak yang dirancang untuk pencitraan udara.
Namun, berdasarkan keterangan Daily Mail, objek itu bisa dimanfaatkan untuk berbagai misi yang tidak disebutkan terperinci. Kantor media Fars menggambarkan piring terbang itu mirip UFO di film Hollywood pada1950-an.
“Alat transportasi yang mudah diluncurkan dan terbang, sedikit bunyi dan memiliki keuntungan yang sama dengan pesawat lain,” tulis laporan ISNA (Iran’s Student’s News Agency).
Perangkat itu dilengkapi autopilot, pengatur stabilitas gambar, GPS dan alat perekam kualitas HD. Program luar angkasa Iran yang ambisius tampaknya menjadi peringatan bagi dunia Barat, karena pada waktu yang sama, teknologi misil yang digunakan untuk program luar angkasa sama dengan teknologi membangun rudal balistik antarbenua.
Tahun lalu, Iran mengumumkan kesuksesan mereka berhasil mengirim tikus, kura-kura dan cacing ke luar angkasa. Mereka berambisi mengirim manusia ke antariksa, sembilan tahun mendatang.
Barat Baru Menyadari Kalau Ilmuwan Iran Cerdas Ilmuwan Iran telah mampu memproduksi sendiri Bahan bakar nuklir tipe plat, demikian ditegaskan Wakil Republik Islam Iran di Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Ali Asghar Soltanieh. Hal ini disampaikan Soltanieh saat diwawancarai Televisi CNN. Ia menandaskan, keberhasilan ini menunjukkan sejumlah pihak tidak mengetahui kecerdasan ilmuwan Iran.
Wartawan CNN yang mewawancarai Soltanieh, Christiane Amanpour di awal wawancaranya menanyakan, pemberitahuan Iran kepada IAEA soal pengayaan uranium. Ia juga meminta Soltanieh memastikan kadar pengayaan yang akan dilakukan Iran. Menjawab pertanyaan tersebut, Soltanieh mengatakan, “Berdasarkan instruksi, sekitar pukul 12:00 waktu Wina saya menulis surat resmi ke IAEA dan telah kami informasikan bahwa Iran bertekad memulai pengayaan uranium hingga 20 persen.” Sehingga kebutuhan bahan bakar nuklir dalam negeri dapat terpenuhi.
Soltanieh menambahkan, dalam surat tersebut saya mengundang investigator IAEA untuk hadir dan mengawasi jalannya program ini. Selain itu, Soltanieh juga mengkonfirmasikan mendapat penghargaan dari IAEA atas suratnya itu. Ia menekankan, seluruh tim investigasi yang berada di Iran akan mengawasi program ini. Kebijakan Iran ini menurut Soltanieh disebabkan Tehran sudah tidak bisa lebih lama menanti untuk mendapatkan bahan bakar reaktor nuklirnya. Padahal Iran telah lama menulis surat kepada IAEA sejak kepemimpinan Mohammad Elbaradei untuk menjadi mediator soal suplai bahan bakar nuklir Iran. Namun hingga sembilan bulan berlalu belum ada tindakan apapun.
Dalam wawancara ini, Soltanieh menjelaskan bahwa Iran berniat memproduksi bahan bakar untuk reaktor riset Tehran antara 116-120 kg. Menurutnya bahan bakar tersebut seperti yang diterima Iran dari IAEA 20 tahun lalu. Iran telah sepakat penukaran bahan bakar secara bersamaan, namun hingga kini belum mendapat jawaban. Selama ini Iran telah bersikap lunak dalam menghadapi proses ini dan menekankan pertukaran bahan bakar itu harus dilaksanakan serempak, karena Tehran telah kehilangan kepercayaan terhadap negara-negara pemilik teknologi nuklir.
Sebelumnya Iran telah menandatangani kontrak dengan AS dan membayar lebih dari dua juta dolar. Namun setelah kemenangan Revolusi Islam, Iran bukan hanya tidak mendapat kiriman bahan bakar nuklir, bahkan uang tersebut juga tidak mereka kembalikan. Oleh karena itu, kali ini Tehran meminta jaminan kepastian bahwa Iran akan menerima bahan bakar tersebut. Hal inilah yang membuat Iran bersikeras meminta proses pertukaran dilaksanakan serentak.
No comments:
Post a Comment