Hadis palsu dalam kitab kuning
أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
ADA sebuah kesepakatan di Pondok Pesantren Al Hikmah, Brebes, Jawa Tengah:
menjauhkan beberapa kitab kuning dari dunia pesantren. Kesepakatan itu,
setidaknya, datang dari 75 murid Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki, ulama besar
non-Wahabi di Mekah, akhir Desember lalu. "Kami bersepakat untuk tidak
membaca kitab-kitab itu," kata K.H. Najih Maimoen, 38 tahun, salah seorang
bekas murid itu, yang kini mengasuh sebuah pondok pesantren. Soalnya, di
beberapa kitab klasik tersebut, misalnya Durrotun Nasihin, Wasyiyatul Mustofa,
Ushfuriyah, dan Qurrotul Uyun, ditemukan hadis palsu. Yang populer, di
antaranya, "Barang siapa menghormati hari kelahiran saya (maulid Nabi)
niscaya saya akan memberi syafaat di hari kiamat."
Itu menyesatkan, menurut mereka. K.H. Maimoen Zubeir, kiai sepuh pemimpin
Pondok Pesantren Al Anwar, Rembang, membenarkan masalah itu. Kata Maimoen
Zubeir, 65 tahun, Nabi sendiri melarang mengatakan sesuatu yang bukan sabda
Rasul sebagai hadis sahih.
Masalahnya, andai kata kesepakatan tak membaca kitab kuning berkembang luas,
itu tentu akan memiskinan khazanah intelektual Islam, setidaknya di kalangan
suni yang banyak menggunakan kitab itu. Soalnya, seperti yang dikatakan Masdar
Masudi, tokoh muda intelektual Islam, kitab-kitab itu tidak hanya berisi hadis
maudlu, tapi juga ayat-ayat Quran, hadis-hadis sahih, dan pendapat para ulama
yang bagus. Jadi, perlu pertimbangan sungguh-sungguh apakah kitab itu akan
ditinggalkan atau tetap dipakai.
Bila hal itu ditelusuri lebih jauh, menurut Masdar, tentu akan menyerempet
kitab-kitab lain, misalnya Ihya Ulumuddin karangan Imam Al Ghazali. Soalnya,
dalam kitab yang sangat kaya tradisi keilmuan Islam itu banyak ditemukan hadis
daif alias lemah, bahkan palsu.
K.H. Sahal Mahfudh, pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati, Jawa
Tengah, lebih tegas lagi. "Kitab kuning itu banyak manfaatnya," kata Wakil
Rais Am Syuriah PB Nahdlatul Ulama itu. Soalnya, kata Sahal, sebagian besar
isinya bisa memotivasi kebaikan. Misalnya, Hubbul wathon minal iman, bahwa
cinta tanah air itu sebagian dari iman. Ungkapan ini, meskipun bukan hadis,
kata Sahal, isinya mendorong masyarakat agar berjiwa nasional.
Dari pernyataan Sahal tersebut, setidaknya tergambar bahwa para pengarang
kitab itu memiliki tujuan tertentu dengan memasukkan hadis maudlu itu. Mungkin
untuk merangsang masyarakat tertarik pada Islam, seperti yang dikatakan K.H.
Maimoen Zubeir. Ini tentu baik. Tapi hal sebaliknya juga bisa terjadi,
mengingat sejarah munculnya hadis-hadis palsu atau lemah.
Menurut Adib Masruchan, yang juga alumni santri Alawi, masalah hadis palsu
ini telah muncul pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ketika
itu, telah terjadi perpecahan dalam tubuh umat Islam. Setiap kelompok, kata
Adib, mencari dasar atau landasan agama untuk memperkukuh kelompoknya. Itu,
antara lain, dilakukan dengan mengarang hadis.
Keadaan itu, agaknya, semakin diperburuk oleh terlambatnya penulisan hadis.
Setidaknya selama satu abad hadis disampaikan lewat lisan. Tentu hal ini akan
menyulitkan generasi berikutnya, termasuk ulama pengarang kitab kuning, dalam
menilai hadis. Imam Buchari, pengumpul dan peneliti hadis terkemuka, misalnya,
hanya menemukan 7.275 hadis dari 600 ribu yang diseleksinya. Begitu banyaknya
hadis yang tak memenuhi syarat tersebar ketika itu. Jadi, tak mengherankan
bila dalam kitab-kitab klasik itu terselip hadis-hadis palsu.
Bahkan, Jalaluddin Rakhmat, dalam penelitiannya, tidak saja menemukan hadis
palsu pada kitab-kitab kuning, tapi juga pada kitab yang dipandang sahih oleh
orang banyak. Misalnya, hadis Nabi kena sihir sampai tak menyadari apa yang
dilakukannya. "Hadis ini palsu," kata Jalaluddin, meskipun ada dalam shohih
Buchari.
Meskipun sudah ada yang menghimpun hadis daif dan maudlu, seperti yang
dilakukan Nasiruddin al Albani, seorang penghafal hadis, tak tertutup
kemungkinan hadis palsu berkembang dalam masyarakat muslim. Sebab, kata Adib
Masruchan, pengasuh Pondok Pesantren Al Hikmah, kitab-kitab klasik itu
diajarkan pada masyarakat tanpa penjelasan hadis ini palsu atau tidak. Adalah
para dai sebagai faktor lainnya yang mendukung perkembangan hadis palsu.
Sebab, menurut Adib, hadis palsu banyak mengandung cerita yang jarang
terdengar sehingga cepat menarik perhatian.
Tapi apa dampak hadis palsu? Menurut Jalaluddin, itu berpengaruh bila
berkenaan dengan amal. Jika hadis itu tidak ditarik, ada sebagian orang
beramal berdasarkan hadis palsu. Maka, otomatis amalnya juga palsu. Tapi tak
akan ada pengaruh apa pun bila hadisnya tak berkaitan dengan amal.
Untuk itu, Adib menyarankan agar para ulama menyeleksi kitab-kitab kuning
yang beredar di masyarakat dan memberikan catatan kaki terhadap hadis-hadis di
dalamnya, seperti yang pernah dilakuan Al Iroqi, dari Universitas Al Azhar,
terhadap kitab Ihya Ulumuddin. Jika ini dilakukan, tentu, kitab-kitab itu tak
perlu ditarik.
Persoalan ini, agaknya, memberikan indikasi bahwa dalam tubuh Nahdlatul Ulama
telah tumbuh gerakan puritanisasi atau pemurnian, seperti halnya Muhammadiyah
atau Persis tempo dulu. Gerakan yang berkembang di kalangan ulama muda
Nahdlatul Ulama itu lebih ke masalah substansial daripada sanad.
No comments:
Post a Comment