أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Kisah mengenai Mukjizat Nabi Musa
(Moses) yang membelah Laut Merah dengan tongkatnya untuk menghindari
kejaran Fir’aun dan bala tentaranya tentunya sudah tak asing lagi
ditelinga kita. Di kitab suci Al-Qur’an dan Alkitab, kronologi
pengejaran dikisahkan begitu gamblang walaupun terdapat sedikit
perberbedaan kisah diantara keduanya.
Namun yang pasti, kedua kitab suci
tersebut mengisahkan kepada kita mengenai akhir yang menggembirakan bagi
Musa beserta Kaum Bani Israel karena dapat meloloskan diri dari kejaran
Fir’aun beserta bala tentaranya. Dan bagi sang Fir’aun, ia justru
menemui ajalnya setelah tenggelam bersama pasukannya di Laut Merah.
Walaupun Al-Quran dan Alkitab sudah
cukup jelas mengisahkan kronologi peristiwa itu terjadi, namun masih
terdapat teka-teki mengenai siapa sebenarnya Fir’aun yang memimpin
pengejaran terhadap Musa beserta kaum Bani Israel? Al-Quran dan Alkitab
tidak menyebutkan secara mendetail siapakah Fir’aun yang dimaksud.
Fir’aun (Pharaoh) merupakan gelar yang diberikan kepada raja-raja Mesir
kuno.
Asal usul istilah Fir’aun sebetulnya
merujuk kepada nama istana tempat berdiamnya seorang raja, namun lama –
kelamaan digunakan sebagai gelar raja-raja Mesir kuno. Banyak Fir’aun
yang telah memimpin peradaban yang terkenal dengan penginggalan Piramida
Khufu-nya itu, mulai dari Raja Menes -sekitar 3000 SM, pendiri
kerajaan, pemersatu Mesir hulu dan hilir – hingga Mesir jatuh dibawah
kepemimpinan raja-raja dari Persia.
Sejauh ini telah banyak studi yang
dilakukan untuk mengidentifikasi siapakah Fir’aun yang sedang berkuasa
saat peristiwa keluarnya Musa beserta Bani Israel dari tanah Mesir.
Berikut beberapa kandidatnya :
- Ahmose I (1550 SM – 1525 SM)
- Thutmose I (1506 SM – 1493 SM)
- Thutmose II (1494 SM – 1479 SM)
- Thutmose III (1479 SM – 1425 SM)
- Amenhotep II (1427 SM – 1401 SM)
- Amenhotep IV (1352 SM – 1336 SM)
- Horemheb (sekitar 1319 SM – 1292 SM)
- Ramesses I (sekitar 1292 SM – 1290 SM)
- Seti I (sekitar 1290 SM – 1279 SM)
- Ramesses II (1279 SM – 1213 SM)
- Merneptah (1213 SM – 1203 SM)
- Amenmesse (1203 SM – 1199 SM)
- Setnakhte (1190 SM – 1186 SM)
Dari daftar beberapa Fir’aun diatas,
nama Ramesses II selama ini memang kerap diidentifikasikan sebagai
Fir’aun yang sedang berkuasa pada saat itu. Ia merupakan sosok Fir’aun
terbesar dan terkuat yang pernah memimpin peradaban Mesir kuno. Ramesses
II juga merupakan salah satu Fir’aun yang paling lama berkuasa, yakni
66 tahun lamanya.
Sifatnya yang kadang tirani terhadap
masyarakat kelas bawah, membuat sejarawan banyak yang berspekulasi
dengan menyebutkan ia sebagai raja yang memperbudak Bani Israel.
Walaupun demikian, tidak ada bukti arkeologi yang benar-benar memperkuat
dugaan tersebut. Selain itu periode masa hidupnya juga dikatakan tidak
cocok dengan kemungkinan terjadinya peristiwa keluaran.
Kemudian menilik ke Raja Merneptah –
putra Ramesses II – yang berkuasa setelah Ramesses II mangkat, ia juga
bukan merupakan Fir’aun yang dimaksud mengingat pada masa
pemerintahannya, Merneptah pernah mengatakan bahwa Bangsa Israel telah
tiba di tanah Kana’an. Itu artinya, peristiwa keluarnya Musa beserta
Bani Israel telah lama terjadi sebelum ia berkuasa. Lalu bagaimana
dengan Seti I, ayah dari Ramesses II ?
Bagaimanapun juga, ahli sejarah Alkitab
mengatakan peristiwa keluaran ini terjadi disekitar 1400 SM, itu jauh
dari masa pemerintahan Seti I. Beberapa Sejarawan yang menggunakan
metode penelitian dengan cara mencocokkan kronologi di dalam
catatan-catatan peninggalan Mesir Kuno dengan perkiraan waktu keluaran
pada kitab suci menyimpulkan, kemungkinan peristiwa itu terjadi saat
Mesir kuno dibawah pimpinan Raja-raja Dinasti ke-18.
Dinasti ke-18 mencakup beberapa raja,
yakni Thutmose I (1506 SM – 1493 SM), Thutmose II (1494 SM – 1479 SM),
diselingi oleh kepempinan Fir’aun wanita yaitu Ratu Hatsepsut (1479 SM
-1458 SM) kemudian Thutmose III (1479 SM – 1425 SM).
Benarkah Thutmose II, Fir’aun yang tenggelam di Laut Merah?
Menurut studi yang dilakukan oleh
Sejarawan Alan Gardiner, setelah kematian Thutmose I dan masa
persinggahannya selama 40 tahun di Madyan / Midian, Musa memutuskan
untuk kembali ke tanah Mesir tempat beliau dibesarkan. Allah menugaskan
Musa untuk menyampaikan ajaran agama yang hakiki kepada Fir’aun.
Pada saat itu, Mesir dipimpin oleh Raja
Thutmose II yang memperistri Ratu Hatshepsut. Thutmose II, menurut
sejarah bukanlah sosok Fir’aun yang hebat, sebaliknya istrinya
Hatshepsut yang banyak berperan penting bagi kemajuan kerajaan. Walaupun
bukan merupakan sosok pemimpin yang dikatakan berpengaruh, Gardiner
tetap meyakini Thutmose II merupakan kandidat terkuat fir’aun yang
melakukan pengejaran terhadap Musa beserta kaum Bani Israel.
Hal itu dikarenakan banyaknya kecocokan
dengan studi sejarah yang ia lakukan. Garnier juga menambahakan bahwa di
pusara tempat berdiamnya mummi Thutmose II, hampir tidak ditemukan
ornamen-ornamen dan benda-benda berharga “semewah” pusara raja-raja
Mesir kuno yang lainnya. Ada kesan bahwa raja ini tidak begitu disukai
dan dihormati oleh rakyatnya, sehingga mereka tak peduli dengan kematian
sang Raja.
Selain itu, kematiannya yang mendadak
juga menjadi salah satu alasannya. Penelitian terhadap Mummi Thutmose II
yang ditemukan di situs Deir el-Bahri pada tahun 1881 mengungkapkan
bahwa terdapat banyak bekas cidera di tubuhnya, dan Mummi-nya ditemukan
tidak dalam kondisi yang bagus. Hal ini mungkin menandakan Thutmose II
mati secara tidak wajar. Apakah cidera di tubuhnya itu akibat hempasan
kekuatan gelombang Laut Merah yang secara tiba-tiba tertutup kembali?
Wallahu ‘alam Bishawab Al-Quran sendiri mengisahkan detik-detik terakhir
kehidupan Sang Fir’aun :
Dan Kami memungkinkan Bani Israel
melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya,
karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu
telah hampir tenggelam berkatalah ia ;” Saya percaya bahwa tidak ada
Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israel, dan saya
termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. ( QS Yunus 90).
Dari ayat diatas kita dapat mengetahui
bahwa Fir’aun mencoba memohon kepada Allah agar ia diselamatkan ketika
air mengenggelamkan raganya. Namun sangatlah jelas bahwasannya tindakan
Fir’aun hanyalah suatu kebohongan semata sebagai alasan untuk
menyelamatkan dirinya sendiri dari maut.
Setelah sang Fir’aun tewas pada periode
pemerintahannya yang tergolong singkat, besar kemungkinan jalannya roda
pemerintahan diambil alih sementara oleh sang Ratu yang tak lain ialah
Hatshepsut sebelum akhirnya Thutmose III naik tahta. Jika benar Thutmose
II merupakan Fir’aun yang dimaksud, ada suatu kemungkinan kronologi
sejarahnya menjadi demikian :
Pertama, Musa dibesarkan dilingkungan
kerajaan Mesir saat Thutmose I berkuasa, dan istri Thutmose I yang
menemukan bayi Musa saat hanyut di Sungai Nil. Kedua, selang puluhan
tahun setelah Musa melarikan diri dari tanah Mesir karena ancaman
hukuman mati akibat peristiwa terbunuhnya seorang prajurit kerajaan
olehnya, ia kembali untuk menyampaikan ajaran Allah kepada Fir’aun.
Namun pada saat itu mungkin Thutmose I telah meninggal dan digantikan
putranya Thutmose II.
Mummi Thutmose II
Mengapa Thutmose II Diyakini Sebagai
Firaun Yang Tenggelam di Laut Merah Sedangkan Mummi-nya Sendiri Berhasil
Ditemukan? Pertanyaan diatas memang kerap ditanyakan. Mereka yang
bertanya kebanyakan beranggapan bahwa Jasad Fir’aun tidak mungkin
berhasil ditemukan apalagi dalam bentuk Mummi, sebab telah tenggelam di
Laut Merah bersama bala tentaranya.
Bagi kawan-kawan muslim, Al-Quran
mengisahkan kepada kita sebagai berikut: Apakah sekarang (kamu baru
percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu
termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang
yang datang sesudahmu dan sesunguhnya kebanyakan dari manusia lengah
dari tanda-tanda kekuatan Kami. (QS Yunus 91-92). Tentunya ayat diatas
sudah cukup menjelaskan mengapa Allah dengan sengaja menyelamatkan jasad
sang Fir’aun.
No comments:
Post a Comment