أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
seorang salik untuk sampai pada puncak kesempurnaannya harus melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun dalam perjalanan sair dan suluk. Tingkatan-tingkatan ini meski disebutkan dengan nama-nama dan bilangan-bilangan yang berbeda, namun kesemuanya menunjuk pada satu perjalanan tunggal. Tingkatan-tingkatan ini secara umum bermula dari thalab (menuntut), dan setelah mujahadah, memperoleh makrifat dan cinta, berakhir pada puncak perjalanan yaitu perjumpaan dengan Allah Swt (liqauLlah). Ungkapan al-Quran terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah Islam, iman, hijrat, jihad, syahâdah, imâmah dan liqaulllâh.
[7].
Sehubungan dengan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun sair-suluk
silahkan lihat, "Ali Akbar Khanjani, Sair wa Suluk 'Irfâni
(Ahwâl-Marâhil wa Maqâmât), artikel Sayad Tu Basyi, hal. 209
seorang salik untuk sampai pada puncak kesempurnaannya harus melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun dalam perjalanan sair dan suluk. Tingkatan-tingkatan ini meski disebutkan dengan nama-nama dan bilangan-bilangan yang berbeda, namun kesemuanya menunjuk pada satu perjalanan tunggal. Tingkatan-tingkatan ini secara umum bermula dari thalab (menuntut), dan setelah mujahadah, memperoleh makrifat dan cinta, berakhir pada puncak perjalanan yaitu perjumpaan dengan Allah Swt (liqauLlah). Ungkapan al-Quran terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah Islam, iman, hijrat, jihad, syahâdah, imâmah dan liqaulllâh.
Salah satu penjelasan yang terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan
sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq
al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan
sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan
stasiun-stasiun itu adalah:
Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) Fana.[1]
Kasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak
menyoroti masalah perjalanan batin seorang salik (pejalan). Adapun
simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang
begitu ditonjolkan. Kendati pada sebagian penjelasan lainnya
tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi
obyek perhatian.
Sebagian juga membagi tingkatan sair-suluk menjadi tujuh tingkatan:
yakzha (kesadaran), taubat, takwa, tahliyah, tajliyah dan liqauLlâh."[2]
Sebagian arif juga menghitung adanya seratus atau seribu tingkatan suluk (perjalanan).[3]
Salah satu penjelasan eksklusif terkait dengan pelbagai tingkatan sair
dan suluk disebutkan dalam risalah yang disandarkan kepada Sayid Bahrul
Ulum. Beliau dalam tingkatan-tingkatan sair-suluk menyebutkan dua belas
hal[4]
yang kesemuanya terhitung sebagai tingkatan-tingkatan dan
derajat-derajat dari Islam, iman, hijrah dan jihad. Adapun dua belas hal
tersebut adalah sebagai berikut:
Islam asghar (kecil). Iman asghar
(kecil). Islam akbar (besar). Iman akbar yaitu ruh dan makna Islam
akbar. Hijrah akbar atau hijrah dari ahli maksiat dan kezaliman. Jihad
akbar. Penaklukan dan kemenangan atas lasykar setan. Islam a'zhâm
(teragung) atau dominasi atas syahwat-syahwat dan angan-angan. Iman
a'zhâm (teragung) atau penyaksian ketiadaan dan fananya ia di hadapan
Allah Swt. Hijrah agung atau perpindahan dari wujudnya dan melupakan
dirinya. Jihad a'zhâm (teragung) yang ditempuh oleh seorang salik
setelah hijrah dari dirinya dan berperantara kepada Zat Suci Allah Swt
sehingga seluruh pengaruh ananiyah lebur dan hancur dan melangkah di
alam tauhid mutlak. Alam khulush.
Dalam Risâlah Sair wa Sulûk yang disandarkan kepada Allamah Bahrul Ulum
setelah menyebutkan alam-alam dan tingkatan-tingkatan atas, dibahas
tentang proses bagaimana melintasi jalan yang penuh liku dan kehormatan
ini. Allamah Bahrul Ulum membeberkan dua puluh lima instruksi untuk
sampai pada tujuan-tujuan menjulang ini yang akan kami sampaikan secara
ringkas sebagaimana berikut ini:
Salik ilaLlâh (pejalan menuju Allah) dan pengelana jalan untuk meraih
kedekatan di sisi Allah, setelah mengetahui prinsip-prinsip agama
demikian juga hukum-hukum agama, siap-siap melangkahkan kaki dan
melakukan perjalanan, ia harus menjalankan dua puluh lima instruksi
berikut ini untuk sampai tujuan:[5]
Pertama:
Meninggalkan adab, adat dan kebiasaan yang menghalangi manusia untuk
melintasi jalan ini dan tenggelam dalam pelbagai noda dan kontaminasi.
Kedua:
Tekad bulat untuk melintasi jalan, tidak takut kepada siapapun dan
dengan bersandar kepada Allah Swt ia tepiskan segala keraguan yang
datang menghampiri.
Ketiga:
Bersikap lembut dan moderat yang bermakna bahwa pada saat itu jangan
menimpakan banyak hal kepada dirinya karena jangan sampai muncul
kebencian dan kejenuhan dalam dirinya sehingga tertinggal dalam
perjalanan.
Keempat:
Istiqâmah yang bermakna bahwa ia harus tetap setia terhadap taubatnya
dan supaya tidak lagi kembali melakukan kesalahan dan dosa. Demikian
juga ia harus setia menjalankan apa yang dipesankan oleh sang guru.
Kelima:
Stabil dan dawam yang bermakna program-program yang ia pilih dijadikan
sebagai adat yang berterusan sehingga tidak lagi menyisakan peluang
baginya untuk kembali kepada kebiasaannya yang telah lalu.
Keenam: Murâqabah yang bermakna menaruh perhatian kepada dirinya dalam segala kondisi supaya tidak melakukan kesalahan.
Ketujuh: Muhâsabah yang telah disinggung dalam hadis "Bukan dari kami yang tidak melakukan muhasabah atas dirinya setiap hari."
Kedelapan: Muakhâdzah yang bermakna bahwa setiap kali ia melakukan kesalahan maka ia harus menghukum dirinya.
Kesembilan: Musâra'ah yang bermakna bersegera, sesuai dengan tuntutan perintah, "Bersegeralah menuju pengampunan Tuhanmu"[6] yang disebutkan dalam al-Qur'an sebelum setan membisikan was-was kepadanya.
Kesepuluh:
Irâdah yang bermakna bahwa batinnya sedemikian ia ikhlaskan sehingga
tidak tersisa lagi unsur pengecohan di dalamnya dan melabuhkan seluruh
cintanya pada Nabi Saw dan para washinya.
Kesebelas:
Adab yang bermakna menjaga adab terkait dengan Allah Swt, Rasulullah
Saw dan para khalifah maksumnya. Dalam menjaga adab ini sekali-kali kita
tidak melontarkan ucapan yang bernada protes dan berusaha dalam
mengagungkan orang-orang suci ini bahkan dalam mengemukakan keperluan
menghindari menggunakan kata-kata perintah dan larangan.
Keduabelas: Niat yang bermakna memurnikan niat dalam perjalanan dan seluruh amalan yang dilakukan sepenuhnya untuk Allah Swt.
Ketigabelas: Shamt yang bermakna diam dan menjaga lisan untuk tidak banyak berkata-kata kecuali seperlunya.
Keempatbelas:
Ju' dan makan sedikit yang merupakan salah satu syarat penting untuk
dapat melintasi jalan ini namun tidak sampai menyebabkan kelemahan dan
kelemasan.
Kelimabelas:
Khalwat yang bermakna mengasingkan diri dari ahli maksiat dan pecinta
dunia. Dan menjauhkan diri dari kebisingan dan keonaran tatkala ibadah
dan berdzikir.
Keenambelas: Sahar dan bangun ketika dini malam (khususnya akhir malam) yang berulang kali ditekankan pada ayat dan riwayat.
Ketujuhbelas: Senantiasa menjaga kesucian yang bermakna senantiasa dalam keadaan wudhu yang memberikan cahaya khusus kepada batin manusia.
Kedelapanbelas: Thadarru' (tunduk rendah) di hadapan Tuhan. Sedapat mungkin mengungkapkan kerendahan di hadapan Tuhan.
Kesembilanbelas: Sedapat mungkin tidak memenuhi keinginan nafsu (bahkan pada hal-hal mubah).
Kedupuluh:
Menjaga rahasia yang merupakan syarat terpenting mengingat para guru
sangat menekankan hal ini. Demikian juga seluruh amalan dan programnya
di jalan dirahasiakan (supaya tidak memunculkan riya dan pamer dalam hal
ini). Apabila ia mencapai tingkatan mukasyafah alam-alam gaib, ia juga
harus merahasiakannya dan tidak mengungkapnya kepada siapa pun (supaya
tidak dijangkiti penyakit ujub dan ananiyah).
Keduapuluh satu:
Memiliki guru dan murabbi baik itu guru umum yang membimbing dan
menemani seluruh aktifitas yang terkait dengan sair dan sulûk dan guru
khusus yaitu Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.
Namun salik harus memperhatikan bahwa tingkatan ini merupakan tingkatan
yang sangat sublim dan subtil. Sepanjang Anda tidak memiliki
pengetahuan tentang kelayakan ilmiah dan agama tentangnya maka jangan
pernah mengandalkan bimbingan-bimbingannya karena terkadang setan muncul
dalam pakaian seorang guru. Srigala berpakaian gembala dan
menyimpangkan salik dari jalan yang ingin ia tuju.
Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata, "Bahkan nampaknya sesuatu
yang di luar kebiasaan dan memiliki ilmu gaib serta rahasia-rahasia
tersembunyi manusia, melintasi air dan api, mengetahui masa depan dan
semisalnya tidak dapat dipastikan bahwa orang-orang yang melakukan hal
seperti ini memiliki maqam tinggi di jalan sulûk ilaLlâh. Karena, semua
ini diperolah pada tingkatan mukâsyafah mental, dan dari tingkatan itu
masih terbentang jalan yang sangat panjang untuk sampai tingkatan wushûl
dan kesempurnaan.
Keduapuluh dua: Wirid yaitu dzikir-dzikir lisan yang membuka jalan bagi salik dan membantunya untuk melintasi jalan berliku menuju Allah Swt.
Keduapuluh tiga: Menafikan
segala kenangan yang bermakna menguasai hatinya dan memerintah atasnya
serta konsentrasi pikiran sedemikian sehingga tiada gambaran dan
kenangan yang muncul dalam benaknya kecuali mengikut izin dan dalam
kondisi ikhtiar. Dengan kata lain, jangan biarkan pikiran disibukkan
dengan hal-hal yang tidak jelas dan hal ini merupakan salah satu
pekerjaan yang pelik.
Keduapuluh empat: Pikiran
yang bermakna bahwa salik dengan pikiran yang dalam dan benar dalam
pengetahuan dan makrifat berusaha seluruh pikirannya terkait dengan
sifat dan nama-nama Ilahi serta segala manifestasi dan perbuatan-Nya.
Keduapuluh lima: Dzikir
yang bermakna perhatian hati kepada Zat Suci Ilahi; bukan dzikir lisan
yang disebut sebagai wirid. Dengan kata lain, seluruh perhatiannya
diarahkan kepada keindahan Allah Swt dan menutup matanya dari
selain-Nya.
Demikianlah ringkasan dari Risâlah Sair dan sulûk yang disandarkan
Allamah Bahrul Ulum dimana Allamah Thabathabai juga mengikut metode ini,
sesuai dengan apa yang diuraikan pada Risalah Lubb al-Lubâb, dengan
sedikit perbedaan.
Akhir kata perlu untuk diingat bahwa masing-masing dari pusaka yang
penuh nilai ini berada pada tataran menjelaskan tingkatan-tingkatan sair
dan suluk dari para pendahulu yang sampai kepada kita. Bagi orang-orang
yang sementara dalam perjalanan Irfan, penjelasan tingkatan-tingkatan
dan stasiun-stasiun ini sangat bernilai namun demikian penyusunan
pelbagai tingkatan sair dan suluk yang memiliki metode Qurani dan
mencakup ajaran-ajaran suci Syiah dan peran sentral imam tetap merupakan
sebuah kemestian.
Di
samping itu, menaruh perhatian pada seluruh sisi eksoterik dan esoterik,
teoritis dan praktis, personal dan sosial yang menjawab seluruh
persoalan dan kebutuhan seorang salik pada masa sekarang ini adalah
suatu hal yang niscaya diperlukan.[7] [iQuest]
[1].
Atthar dalam Manthiq al-Thair menyebut tujuh stasiun suluk, "Thalab,
isyq, ma'rifat,... " Lughat Nâme Dekhâda, terkait dengan klausul haft
wâdi.
[2].
Husain Mazhahiri, Kâwusyi Nu dar Akhlâq Islâmi wa Syu'un Hikmat 'Amali,
jil. 1, Fashl Panjum, Cegunegi Tazkiyah, Dengan judul, "Syiweh-hâye Pâk
Kardan Nafs az Pelesytihâ, Muassasah Nasyr wa Tahqiqat-e Dzikr,
Teheran, 1382 S.
[3].
Di antara buku terpenting Khajah Abdullah Anshari adalah Shad Maidân
dan Manâzil al-Sâirin yang menulis tentang tingkatan-tingkatan sair dan
suluk. Dalam buku Shad Maidân dengan bersandar pada tuturan Khidir As
yang menyatakan bahwa terdapat ribuan makam antara hamba dan Tuannya,
Khaja Abdullah Anshari berkata, "Dan ribuan makam itu adalah
stasiun-stasiun yang dilalui oleh para pejalan menuju Tuhan." Syarat
setiap stasiun adalah taubat batin dan taubat lahir, semenjak makrifat
hingga cinta terbentang ribuan stasiun dan dari pengetahuan hingga
kelancangan terbentang ribuan stasiun. Kalimat ini kemudian tertulis
pada Shad Maidan (Seratus Medan), "Awal gerakan salik (pejalan) adalah
taubat – medan pertama – dan ujung perjalanan adalah fana yaitu medan
keseratus."
[4].
Mahdi bin Sayid Murtadha Bahr al-'Ulum, Risâlah Sair wa Suluk, Mansub
be Bahrul Ulum, Kata Pengantar Sayid Husain Tehrani, hal. 76 – 109,
Intisyarat Allamah Thabathabai, Masyhad 1417 H.
[5]. Ibid, hal. 145 - 172
[6]. (Qs. Ali Imran [3]:133)
No comments:
Post a Comment