أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat AlQuran yang menceritakan tentang kisah penciptaan Nabi Adam AS. Dalam AlQuran, nama Adam disebut sebanyak 25 kali, dan kisahnya antara lain dipaparkan dalam surah Al-Baqarah [2]: 30-39, Al-A’raf [7]: 11-25, Al-Hijr [15]: 26-38, Al-Isra’ [17]: 61-65, Thaha [20]: 115-127, dan Shad [38]: 71-78.
“Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada disana sesukamu. (tetapi) janganlah kamu dekati pohon itu (khuldi), nanti kamu akan termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Baqarah[2]: 35).
Salah Kaprah di Jabal Rahmah
PUNCAK GUNUNG TERTINGGI
Tempat Adam Diturunkan ke Bumi
Gunung Everest di Himalaya merupakan puncak gunung tertinggi di dunia. Puncaknya mencapai 8.848 meter dari permukaan laut.
M
|
enyebut nama Nabi Adam Alaihissalam
(AS), maka akan terlintas dalam benak pikiran manusia, sosok manusia
pertama cerdas (berakal) yang diciptakan Allah SWT. kisah penciptaan
Adam terdapat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
“Ingatlah
ketika Tuhamu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang-orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 30)
Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat AlQuran yang menceritakan tentang kisah penciptaan Nabi Adam AS. Dalam AlQuran, nama Adam disebut sebanyak 25 kali, dan kisahnya antara lain dipaparkan dalam surah Al-Baqarah [2]: 30-39, Al-A’raf [7]: 11-25, Al-Hijr [15]: 26-38, Al-Isra’ [17]: 61-65, Thaha [20]: 115-127, dan Shad [38]: 71-78.
Secara
umum disebutkan, Adam adalah salah satu makhluk Allah, Ia bersama Hawa
(istrinya) menjalani kehidupan di surga, kemudian Allah menurunkannya ke
bumi untuk menjadi khalifah (pengelola bumi). Bersama istri dan
keturunannya, Adam menjadi penghuni dan pengelola bumi.
Kisah diturunkannya Adam ke bumi diawali saat Adam dan Hawa memakan
buah Khuldi di surga. Allah melarang keduanya untuk memakan buah Khuldi.
Keduanya pun terbujuk dengan rayuan iblis, hingga mereka memakan buah khuldi tersebut.
Menurut
Ibnul Atsir, Adam AS awalnya menolak mengikuti bujukan iblis, namun
desakan Siti Hawa yang begitu kuat, akhirnya membuat Adam ikut memakan
buah tersebut. Lihat An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, karya Ibnul Atsir jilid 3 hlm. 158.
Keduanya lalu bertobat dan memohon ampun kepada Allah dan Allah
menerima tobat mereka dan memilih Adam sebagai Rasul-Nya.
Kendati
Allah SWT telah menerima tobat Adam dan Hawa, namun sebagaimana
kehendak Allah untuk menjadikannya sebagai khalifah di bumi, maka Adam
dan Hawa lalu diturunkan ke bumi.
Di
bumi, Adam dan Hawa bertempat tinggal serta mengembangkan keturunannya.
Lihat firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf [7]: 24-25.
Selain Adam dan Hawa, Allah juga menurunkan Iblis dan ular ke bumi.
Sebelumnya, iblis lebih dahulu diusir dari surga karena tidak mau sujud
kepada Adam. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari RA
dalam tafsirnya ketika menerangkan ayat ke-36 surah Al-Baqarah [2],
membawakan sebuah riwayat dengan sanad bersambung kepada para sahabat
Nabi SAW seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lainnya
“Ketika
Allah memerintahkan kepada Adam dan Hawa untuk tinggal di surga dan
melarang keduanya memakan buah khuldi, iblis memiliki kesempatan untuk
menggoda Adam dan Hawa, namun, ketika akan memasuki surga, iblis
dihalangi oleh malaikat. Dengan tipu muslihatnya, iblis kemudian
mendatangi seekor ular, yang waktu itu ia adalah hewan yang mempunyai
empat kaki seperti unta, dan ia adalah hewan yang paling bagus
bentuknya. Setelah berbasa-basi, iblis lalu masuk ke mulut ular dan ular
itu pun masuk ke surga sehingga iblis lolos dari pengawasan malaikat.”
(Tafsir At-Thabari)
Gunung Tertinggi
Lalu,
setelah dikeluarkan dari surga, dimanakah Adam dan Hawa diturunkan?
Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Mayoritas ulama sepakat
bahwa keduanya diturunkan secara terpisah dan kemudian bertemu di Jabal Rahmah, di Arafah.
Mengenai tempat diturunkannya inilah yang menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Al-Imam At-Thabari dalam Tarikh Thabari (jilid 1 hlm 121-126), menyatakan, Mujahid meriwayatkan keterangan dari Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang mengatakan: “Adam diturunkan dari surga ke bumi di negeri India.” Keterangan ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah, dan Ibnu Asakir dari Abu Hurairah RA.
Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Umar :
“Ketika
Allah menurunkan Adam, Dia menurunkannya di tanah India. Kemudian dia
mendatangi Makkah, untuk berhaji kemudian pergi menuju Syam (Syria) dan
meninggal di sana.”
(HR. Thabrani)
Abu Shaleh meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawa diturunkan di Jeddah
(Arab: nenek perempuan) yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian
dalam riwayat lain At-Thabari meriwayatkan lagi bahwa Iblis diturunkan
di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan
Wasith, sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran).
Riwayat lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Siti Hawa di bukit Marwah.
Sedangkan riwayat lain menyebutkan Adam AS diturunkan diantara Makkah
dan Thaif. Ada pula yang berpendapat Adam diturunkan di daerah India
sementara Hawa di Irak.
AlQuran sendiri tidak menerangkan secara jelas di mana Adam dan Hawa
diturunkan. AlQuran hanya menjelaskan tentang proses diturunkannya Adam
dan Hawa ke bumi. Lihat Al-Baqarah [2]: 30-39 dan Al-A’raf [7]: 11-25.
Sementara
itu, menurut legenda agama Kristen, setelah diusir dari Taman eden
(Surga), Adam pertama kali menjejakan kainya di muka bumi di sebuah
gunung yang dikenal sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun yang terdapat di Sri Langka.
Menurut
At-Thabari, tempat Adam diturunkan adalah di puncak gunung tertinggi di
dunia. Keterangan At-Thabari ini kemudian diikuti oleh para ahli
geografi modern, dan merupakan pendapat yang paling kuat dasarnya.
Pendapat ini juga diikuti oleh Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Atlas Al-Qur’an, dan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Atlas Sejarah Nabi dan Rasul.
Para ahli geologi telah melakukan berbagai penelitian mengenai gunung
tertinggi di dunia, mulai dari dartan Asia, Eropa, Afrika, Amerika,
hingga Australia. Dan dari penelitian itu disepakati bahwa gunung
tertinggi di dunia adalah Gunung Everest (Mount Everest)
yang ada di daerah Himalaya, mencapau 8.848 meter dari permukaan laut
(dpl). Dari sinilah para ahli meyakini bahwa Adam memang diturunkan di
daerah ini, yaitu di puncak tertinggi di dunia (Mount Everest). Wa Allahu A’lam
Diturunkan untuk Menjadi Khalifah
Dalam berbagai riwayat, termasuk dalam kepercayaan orang-orang
non-muslim sebagaimana keterangan kitab-kitab mereka, Adam dan Hawa
diturunkan ke bumi akibat perbuatan mereka yang melanggar larangan Allah
SWT. larangan tersebut adalah memakan buah khuldi, karena tergoda oleh
rayuan dan bujukan Iblis. Sebagian umat islam juga mempercayai hal ini,
yaitu mereka (Adam dan Hawa) diturunkan ke bumi ini akibat melanggar
larangan Allah yaitu memakan buah khuldi.
Tentu saja, anggapan ini keliru dan sangat berbahaya bagi akidah umat
islam. Sebab, dengan meyakini diturunkannya Adam dan Hawa karena
perbuatan mereka memakan buah khuldi, berarti umat manusia saat ini
menanggung dosa (warisan) sebagaimana kepercayaan dalam agama lain.
Hal
inilah yang ditolak oleh islam. Dalam ajaran islam, tidak ada istilah
dosa warisan. Setiap orang yang berbuat keburukan, maka dialah yang
menanggung dosanya dan tidak ada dosa bagi orang lain yang tidak
mengikutinya.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan, andai dosa Adam itu
ditanggung pula oleh umat manusia, hal itu bertentangan dengan
keterangan AlQuran yang menyatakan bahwa manusia tidak akan memikul dosa
orang lain.
“(Yaitu) bahwasanya, seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS An-Najm [53]: 38). Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-An’am [6]: 164, Al-Isra’ [17]: 15, Fathir [35]: 18, Az-Zumar [39]: 7.
Ibnu Katsir menjelaskan, diturunkannya Adam AS ke bumi ini memang
direncanakan dan sesuai dengan skenario Allah SWT untuk menjadikannya
sebagai khalifah yakni mengelola bumi dan seisinya (QS [2]: 30).
Karena itulah, Allah mengejarkan (ilmu) tentang nama-nama setiap benda
kepada Adam, dan tidak diajarkan kepada malaikat, termasuk iblis (QS [2]: 31-37).
Dengan ilmu itu agar nantinya anak-cucu Adam di bumi bisa mengetahui
dan mengelolanya dengan baik untuk kehidupan mereka di masa-masa
berikutnya.
Dengan penguasaan ilmu itu, maka Allah memerintahkan kepada malaikat
dan iblis untuk bersujud kepada Adam. Malaikat melaksanakan perintah
Allah dan bersujud, sedangkan iblis menolaknya. Dan atas penolakan iblis
itu, maka Allah pun mengutuk dan mengusirnya dari surga.
Keterangan
inilah yang akhirnya membuat seorang peneliti bidang matematika dari
Universitas Kansas, Amerika Serikat, Prof. Dr. Jeffrey Lang, untuk
memeluk islam. “Adam diturunkan ke bumi bukan karena dosa yang
diperbuatnya, melainkan karena Allah SWT menginginkan seorang khalifah
di bumi untuk mengatur dan mensejahterakan alam.” Ujarnya. Lang
mengatakan, ia benar-benar berupaya keras memahami ayat 30-39 surah Al-Baqarah [2]
yang menjelaskan tentang penciptaan Adam hingga ia diturunkan ke bumi.
Ia membandingkannya dengan ajaran agama yang dianutnya terdahulu didalam
berbagai literatur dan kitab suci. Namun, ia kecewa dengan hasilnya.
Maka ia berusaha untuk terus mencari hingga akhirnya menemukan
jawabannya di dalam AlQuran.
Penjelasan terperinci Jeffrey Lang mengenai hal ini dan pergulatannya dalam memahami islam, ia kemukakan dalam bukunya Losing My Religion: A Call for Help.
Adam bukan Makhluk Pertama
Nabi Adam AS adalah manusia cerdas pertama yang diciptakan Allah SWT.
ia diberikan akal pikiran dan dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk
yang menciptakannya, Allah SWT. dan Adam diciptakan oleh Allah SWT untuk
menjadi khalifah di muka bumi, yakni mengelola, merawat dan
melestarikannya untuk anak cucunya kelak. (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).
Banyak pendapat yang mengatakan, Adam bukanlah manusia pertama. Pendapat ini terekam dalam berbagai buku. Bahkan beberapa diantaranya ditulis oleh penulis muslim. Menurut mereka maknanya bukan menciptakan (khalaqa), melainkan menjadikan (ja’ala).
Sebagaimana
diketahui, Adam AS memang bukan makhluk pertama yang diciptakan Allah.
Sebab, masih ada makhluk lain yang lebih dahulu diciptakan-Nya, seperti
Malaikat dan Iblis.
Pendapat yang menyatakan bahwa Adam bukan manusia pertama, salah satunya dikemukakan ole Dr. Abdul Shabur Syahin. Dalam bukunya Ar-Rawafid al-Saqafiyah (Adam Bukan Manusia Pertama? Mitos atau Realita), Syahin mengatakan, Adam adalah Abul Insan, bukan Abul Basyar. Keduanya bermakna sama, yakni bapak (nenek moyang) manusia.
Abdul Shabur Syahin membedakan makna antara al-Insan dan al-Basyar.
Karena perbedaan itu, Syahin menegaskan, Adam bukanlah manusia pertama.
Menurutnya, Adam bukan diciptakan, melainkan dilahirkan. Makna dari
dilahirkan berarti ada orangtuanya. Ia membedakan antara kata ja’ala (menjadikan) dan khalaqa
(menciptakan). Menurutnya, dalam surah Al-Baqarah [2]: 30, An-Naml
[27]:62, Fathir [35]: 39, kata ‘menjadikan khalifah’ bukanlah
menciptakan manusia baru, tetapi meneruskan cara kerja manusia yang
sudah ada sebelumnya. Karenanya, kata dia, Adam bukanlah manusia
pertama.
Pendapat ini dibantah oleh Syekh Abdul Mun’im Ibrahim. Menurutnya,
pendapat yang diutarakan oleh Abdul Shabur Syahin tentang Adam
dilahirkan, sangat bertentangan dengan sejumlah ayat AlQuran maupun
beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan awal mula penciptaan
Adam dari tanah. “Pendapat Abdul Shabur Syahin bahwa Adam dilahirkan ole
kedua orangtuanya, mengingatkan kita pada teori evolusi yang dikemukan
Charles Darwin, seorang Yahudi picik yang menulis dalam bukunya Ashl al-Anwa’
(Asal Mula Penciptaan). Darwin berpendapat, manusia berevolusi dari
bentuk aslinya ke bentuk sekarang,” tegas Syekh Mun’im Ibrahim, dalam
bukunya Ma Qabla Khalqi Adam (Adakah Makhluk Sebelum Adam, Menyingkap Misteri Awal Kehidupan), dan Wafqat Ma’a Abi Adam.
Syekh
Mun’im setuju bahwa ada makhluk lain sebelum Adam diciptakan. Artinya,
Adam bukan makhluk pertama. Namun demikian, ia sangat yakin bahwa Adam
adalah manusia pertama yang berakal yang diciptakan Allah SWT.
Pendapat senada dengan penjelasan Syekh Mun’im ini, juga terdapat dalam buku Al-Jamharah karya Abu Darid, At-Tahzib karya Al-Azhari, Diwan al-Adab karya al-Farabi, Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris, Lisanu al-Arab karya Ibnu al-Manzhur Al-Ifriqi, lalu As-Shahhah karya Al-Jauhari, dan al-Mukhtar karya Ar-Razi.
Sejumlah pihak mengatakan, bahwa sebelumnya telah ada makhluk lain yang
disebut manusia dan mengelola bumi ini. Namun, mereka bukanlah manusia
yang berakal sehingga dalam pengelolaannya makhluk itu banyak melakukan
kerusakan dan kehancuran. Itulah, menurut berbagai pendapat, sehingga
malaikat berkata kepada Allah, bahwa makhluk yang diciptakannya untuk
mengelola bumi itu akan melakukan kerusakan, sebagaimana pendahulunya. Wa Allahu A’lam.
Makhluk Pertama
Lalu, apa atau siapa makhluk yang pertama kali diciptakan Allah SWT? menurut Syekh Mun’im, makhluk yang pertama kali diciptakan adalah qalam(pena). Dari Ubadah bin As-Shamit, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Awal makhluk yang Allah SWT
ciptakan adalah pena, lalu Dia berkata kepada pena, ‘Tulislah.’ Pena
berkata, ‘Apa yang aku tulis?’ Allah berkata, ‘Tulislah apa yang akan
terjadi dan apa yang telah terjadi hingga hari Kiamat.”
Imam Ahmad RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa
makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia berkata
kepada pena tersebut, ‘Tulislah.’ Maka pada saat itu berlakulah segala
apa yang ditetapkan hingga akhir kiamat.” (Lihat Musnad Ahmad RA).
Dalam riwayat lain, ada yang mengatakan, makhluk yang pertama diciptakan adalah dawat (tinta), lalu pena. Ada pula yang menyebutkan, air pertama kali diciptakan.
Menurut Syekh Mun’im, pena adalah makhluk pertama yang diciptakan. Pendapat ini telah di-tarjih dan dikuatkan oleh Ibnu jarir dan Nashiruddin al-Albani RA. Setelah Allah menciptakan qalam, maka kemudian dilanjutkan dengan penciptaan tinta (dawat). Selanjutnya, Allah menciptakan air, kemudian arasy (singgasana), kursi, lauh al-mahfuzh, langit dan bumi (semesta), malaikat, surga, neraka, jin dan iblis (syaitan), dan Adam AS.
Wa Allahu A’lam.
JABAL RAHMAH
Tempat Bertemunya Adam dan Hawa
Mayoritas
ulama sepakat, bahwa keduanya diturunkan secara terpisah (Adam di India
sedangkan Hawa di Jeddah), lalu bertemu di Jabal Rahmah, di Arafah.
S
|
etelah
beberapa lama berpisah, Adam merasa rindu dengan istrinya. Ia pun
mencarinya, hingga Allah memerintahkan Adam melaksanakan ibadah haji ke
Makkah. Disebutkan dalam kitab Ara’is al-Majlis karya Al-Tsa’aibi, Allah mewahyukan kepada Adam: “Aku
memiliki tanah haram (terhormat) dalam posisi sejajar dengan
singgasana-Ku (Arasy). Karena itu, datanglah kesana dan berkelilinglah
(thawaf) sebagaimana dikelilinginya singgasana-Ku. Shalatlah di sana
sebagaimana dilaksanakan shalat di sisi singgasana-Ku. Disanalah Aku
memperkenankan doamu.”
Maka berangkatlah Adam kearah yang dimaksud dengan bimbingan dari
Malaikat Jibril. Imam Thabari meriwayatkan, dari India Adam berangkat
menuju Makkah, lalu ia mencari Hawa. Keduanya mendekat di Muzdalifah (mendekat), lalu mengetahui dan saling mengenali di Arafah, untuk berkumpul di Jama’i.
Jabal Rahmah yang berarti bukit atau gunung kasih sayang, diyakini umat
islam sebagai tempat bertemunya antara Nabi Adam dan Hawa, setelah
terpisah selama puluhan tahun sejak diturunkan dari surga. Seperti
diketahui sebelumnya keduanya adalah penghuni surga.
“Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada disana sesukamu. (tetapi) janganlah kamu dekati pohon itu (khuldi), nanti kamu akan termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Baqarah[2]: 35).
Al-Imam Al-Auza’ie meriwayatkan dari Hasan bin Athiyyah bahwa Adam dan
Hawa menangis ketika turun di bumi selama 60 tahun karena menyesali
berbagai kenikmatan di surga yang tidak didapati lagi oleh keduanya di
bumi ini. Keduanya juga menangis karena menyesali dosa yang dilakukan
oleh keduanya. Demikian Ibnu Katsir meriwayatkannya dalam Al-Bidayah Wa Al-Nihayah, jilid 1 hlm 74.
Mayoritas ulama berpendapat, Adam dan Hawa diturunkan secara terpisah
(Adam di India, Hawa di Jeddah). Keduanya kemudian bertemu di Jabal
Rahmah, di Arafah. Keyakinan bahwa bertemunya Adam dan Hawa di Jabal
Rahmah itu kemudian dikukuhkan dengan dibangunnya sebuah tugu oleh
pemerintah Arab Saudi di tempat tersebut.
Sementara itu, mengenai makam Nabi Adam, masih banyak diperdebatkan.
Ada yang menyebutkan makamnya terletak di gunung (Jabal) Abu Qubais. Ada
juga yang mengatakan, di gunung Baudza (India), tempat pertama kali
turun ke bumi. Dan, ada juga yang berpendapat, setelah terjadi angin
topan, Nuh mengunjungi makamnya di Baitul Maqdis.
Salah Kaprah di Jabal Rahmah
Tugu peringatan yang dibangun oleh pemerintah Arab Saudi itu ternyata
banyak ‘disalahpahami’ oleh umat islam. Tugu yang dibuat sebagai monumen
peringatan atas sebuah sejarah ternyata dijadikan ‘berhala modern’
untuk meminta. Ada yang meminta jodoh, rezeki, panjang umur, dan lain
sebagainya. Umumnya, hal itu banyak dilakukan oleh orang-orang yang
(katanya) berpredikat mampu, yakni jemaah haji dan umrah. Didepan tugu
itu mereka melakukan sejumlah ritual seperti menempelkan foto,
tanda-tangan, tulisan coretan, dsb.
Para jemaah haji itu seakan menganggap perbuatan tersebut bagian dari
ritual yang dianjurkan ketika berada di Jabal Rahmah, sehingga mereka
melupakan asal muasalnya berdirinya tugu tersebut. Padahal pemerintah
Arab Saudi telah memperingatkan para jemaah haji untuk tidak melakukan
praktik ritual ibadah apapun di tempat tersebut. Hal ini terlihat jelas
dari tulisan yang tertera di tempat tersebut. Diantaranya, mendirikan
shalat di tempat tersebut.
Mungkin, dari sinilah pentingnya meningkatkan kualitas pemahaman bagi
para jemaah haji tentang makna ibadah haji dan umrah.
Arafah Tempat Saling Mengenal
Arafah berarti kenal atau tahu. Di tempat inilah khususnya jemaah haji
dari seluruh dunia setiap tahunnya saling bertemu untuk melaksanakan
salah satu rukun haji yaitu wukuf di padang Arafah. Arafah memiliki
nilai sejarah yang sangat penting bagi umat islam, sebab ditempat inilah
Rasulullah SAW menerima wahyu dari Allah SWT tentang kesempurnaan agama
islam (QS Al-Maidah[5]: 3). Menurut sejumlah pendapat itulah wahyu terakhir.
Ada beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa para malaikat mengingatkan
Adam dan Hawa, setelah keduanya diturunkan ke bumi. Hal ini dimaksudkan
agar mereka mengakui (mengetahui; ‘arafa) atas dosa-dosanya dan memohon
ampun kepada Allah SWT. kemudian Adam dan Hawa telah mengetahui (arafa) akan kesalahan dan dosa-dosanya. Mereka juga diberitahu (yu’rafu) cara bertobat.
Ada pula kisah lain yang menyebutkan, saat Jibril memberi tahu Ibrahim
cara menunaikan ibadah haji di tempat ini. Jibril bertanya: “Arafta (tahukah kamu?), ya Ibrahim,” Ibrahim menjawab: “Araftu (aku mengetahui).”
Berdasarkan keterangan ini pula seluruh jemaah haji melaksanakan wukuf
(berdiam diri) sebagai salah satu rukun dalam haji. Rasulullah SAW
bersabda: “Al-Hajju ‘Arafah”
(haji itu adalah arafah). Tidak sah haji seseorang, bila tidak
melaksanakan wukuf di padang Arafah, termasuk orang yang sakit sekali
pun saat menunaikan ibadah haji.
Jemaah haji saat berada di Jabal Rahmah, tempat pertemuan Nabi Adan dan istrinya, Siti Hawa.
Di tempat ini dan saat pelaksanaan haji (wukuf),
semua manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Tidak ada
jabatan, pangkat, kedudukan, kaya, miskin, golongan atas maupun bawah.
Semuanya sama di hadapan Allah SWT, dan hanya ketakwaan yang
membedakannya. Pakaian mereka pun sama dan seragam, tidak ada bedanya
antara kaya dan miskin, yang pangkatnya tinggi dan rendah. Tidak ada
rasa sombong dan angkuh, semua merendah diri mengharap ampunan Ilahi.
Keutamaan Arafah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, yang artinya: “Doa yang paling afdhal (utama) adalah doa di hari arafah.”. dalam riwayat lain, Nabi bersabda: “Tidak ada hari yang paling banyaa\k Allah menentukan pembebasan hamba-Nya dari neraka, kecuali hari arafah.”
Setelah wukuf, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mina sekitar 5 kilometer untuk melempar jumrah. Kemudian Thawaf ifadhah di Makkah, Sai’ (berlari kecil) dan tahallul (memotong rambut). Selesailah prosesi ibadah haji, mereka pulang dengan sebutan haji dan hajjah yang diterima (mabrur).
Konon,
di tempat ini pula nantinya saat terjadi hari kiamat seluruh umat
manusia akan dikumpulkan, yakni di padang Mahsyar. Mereka akan
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT atas segala
perbuatannya selama di dunia.
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment