أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Arti Kata Khuluq atau Akhlaq
Kata khuluq
berarti suatu perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa
seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu
dari dirinya, secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan atau
direncanakan sebelumnya.
Maka
apabila dari perangai tersebut timbul perbuatan-perbuatan yang baik dan
yang terpuji menurut akal sehat dan syariat, dapatlah ia disebut sbagai
perangai atau khuluq yang baik. Dan sebaliknya, apabila yang timbul darinya adalah perbuatan-perbuatan yang buruk, maka ia disebut sebagai khuluq yang buruk pula.
Kami menyebutnya sebagai perangai
atau watak yang menetap kuat dalam jiwa, karena seseorang yang jarang
atau hanya sesekali saja menyumbangkan hartanya untuk keperluan
tertentu, tidak dapat disebut sebagai seorang yang berwatak dermawan.
Yaitu sepanjang hal itu tidak merupakan sesuatu yang menetap kuat dalam
jiwanya.
Karena
itu kami mempersyaratkan bahwa ia harus merupakan sumber timbulnya
perbuatan-perbuatan tertentu secara mudah dan ringan, tanpa harus
dipikirkan atau direncanakan sebelumnya. Sebab, barangsiapa – ketika
menyumbangkan hartanya - atau – ketika menahan amarah hatinya –
melakukan semua itu dengan berat hati atau dengan susah payah, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa orang itu berwatak dermawan atau pema’af.
Oleh sebab itu, haruslah dipenuhi 4 persyaratan;
1. Adanya perbuatan yang baik dan yang buruk.
2. Adanya kemampuan untuk melakukan kedua-duanya.
3. Penjgetahuan seseorang tentang kedua-duanya.
4.
Adanya sesuatu dalam jiwa, yang membuatnya cenderung kepada salah satu
dari kedua-duanya, serta dengan mudah dapat dikerjakan: yang baik atau
yang buruk.
Jelas bahwa suatu khuluq (perangai, watak,
tabiat) tidaklah identik dengan perbuatan. Sebab, adakalanya seseorang
berwatak dermawan namun ia tidak menyumbangkan sesuatu. Baik karena ia
tidak memiliki sesuatu ataupun karena adanya hambatan lainnya.
Sebaliknya, adakalanya ia berwatak kikir namun ia menyumbang, baik
karena terdorong oleh sesuatu kepentingan dirinya ataupun karena ingin
di puji.
Ia
tidak juga identik dengan kemampuan (atau kuasa diri). Sebab, kaitan
kemampuan seseorang dalam hal memberi atau tidak memberi, adalah sama
saja. Setiap orang - secara naluriah – memiliki kemampuan atau kuasa
untuk memberi ataupun tidak. Dan hal itu tidak mengharuskan adanya watak
kekikiran ataupun kedermawanan dalam dirinya.
Ia
juga tidak identik dengan pengetahuan tentang sesuatu. Sebab,
pengetahuan berkaitan dengan yang baik maupun yang buruk. Kedua-duanya
sama saja. Yang benar adalah bahwa apa yang disebut perangai atau watak
(khuluq) ialah sesuatu yang dengannya jiwa manusia memiliki kesiapan
bagi timbulnya kedermawanan ataupun kekikiran. Dengan kata lain, ia
adalah bentuk atau rupa bathiniah dari jiwa seseorang.
Dan
sudah barang tentu keindahan bentuk lahiriah tak mungkin terwujud
dengan keindahan bentuk kedua mata saja, misalnya, tanpa keindahan
bentuk hidung, mulut dan pipi. Tetapi hanya dengan keindahan semua itu,
secara keseluruhan, akan terwujud keindahan lahiriah seseorang secara
sempurna.
Demikian
pula yang berkaitan dengan bathin seseorang. Diperlukan adanya empat
hal potensial yang kesemuanya harus dalam keadaan baik, sehingga
dengannya akhlak baik seseorang dapat menjadi sempurna.
Keempat
hal potensial ini adalah: kemampuan dasar atau kekuatan pengetahuan,
kekuatan emosi (ghadhab), kekuatan ambisi (syahwat) dan kekuatan yang
menyeimbangkan antara ketiga potensi tersebut.
Maka
apabila keempat hal potensial ini ada pada disi seseorang, secara
seimbang dan serasi, dapatlah ia dikatakan bahwa ia memiliki akhlak atau perangai yang baik.
Dengan
demikian, kemampuan atau kekuatan pengetahuan akan menjadi baik dan
sempurna bagi seseorang, apabila hal itu mampu memudahkan baginya untuk
membedakan antara ketulusan dan kebohongan dalam hal ucapan, antara yang
haq dan yang batil dalam hal kepercayaan (i’tiqad) dan antara yang baik
dan yang buruk dalam hal perbuatan.
Maka
jika kekuatan ini dalam keadaan sempurna, niscaya akan membuahkan
hikmah (kearifan). Sebab, hikmah adalah puncak dari akhlak yang baik.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
“Wa man yu’ tal khikmata faqad uutiya khairan katsiiran.”
Artinya: “...Dan barangsiapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberikan kebaikan yang amat banyak.” (Al-Baqarah: 269).
Adapun
kekuatan emosi (ghadhab) maka ia menjadi baik apabila tetap berada
didalam batas yang dibenarkan oleh hikmah, baik dalam keadaan emosi itu
sedang memuncak ataupun mereda.
Demikian
pula kekuatan ambisi (syahwat); ia menjadi baik dan berguna, selama ia
berada dibawah pengarahan hikmah. Atau dengan kata lain, di bawah
pengarahan akal dan syari’at.
Sedangkan
yang dimaksud dengan kekuatan keseimbangan adalah dikendalikannya
ambisi dan emosi oleh akal dan syariat. Akal dapat diumpamakan sebagai
seorang pemberi nasehat dan arahan.
Sedangkan
kekuatan keseimbangan adalah sesuatu yang mampu bertindak dan yang
melaksanakan apa yang diarahkan atau diperintahkan oleh akal. Adapun
emosi adalah obyek yang kepadanya perintah tersebut ditujukan.
Ia
dapat diumpamakan sebagai anjing berburu, yang perlu dilatih sedemikian
rupa, sehingga melakukan pengejaran atau berhenti sesuai dengan yang
diperintahkan, dan bukannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya
sendiri.
Sedangkan
kekuatan ambisi dapat diumpamakan sebagai seekor kuda yang ditunggangi
dalam suatu perburuan; adakalanya ia telah terlatih baik dan jinak, dan
adakalanya ia bersifat liar dan tak terkendali.
Barangsiapa
memiliki semua sifat ini dalam keadaan sedang, moderat, dan seimbang,
maka ia – tak diragukan lagi – adalah seorang yang berakhlak sempurna.
Dan barangsiapa memiliki sebagiannya saja – bukan semuanya – dalam keadaan sedang dan seimbang, maka ia dapat dianggap berakhlak baik
dalam kaitannya dengan sifat tersebut secara khusus. Sama halnya
seperti seseorang yang memiliki keindahan pada bagian – bagian tertentu
saja dari wajahnya, bukan pada wajahnya secara keseluruhan.
Adakalanya
kebaikan dan sifat ‘sedang’ dan moderat dalam kekuatan emosianal
(kemarahan atau ghadhabiyah) disebut “keberanian”, sedangkan kebaikan
dalam kekuatan ambisi (hawa nafsu, syahwat) disebut ‘iffah (penahan
nafsu dari perbuatan tercela).
Dan
manakala kekuatan emosianal dari sifat moderatnya dan lebih cenderung
kearah yang ekstrem atau berlebihan, hal itu disebut “kenekatan”.
Sebaliknya, jika ia lebih cenderung ke arah kekurangan, maka hal itu
disebut “kepengecutan”.
Dan
jika kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) lebih cenderung ke arah
berlebihan, maka hal itu disebut “kerakusan”, sedangkan jika ia lebih
cenderung ke arah kekurangan, maka hal itu disebut ”kebekuan” atau
“ke-jumud-an”.
Adapun
yang paling dipujikan adalah keadaan “tengah-tengah”, dan itulah yang
disebut fadhilah (kebajikan). Sedangkan kedua ujung yang ekstrem adalah
keburukan yang tercela.
Dan
jika sifat keseimbangan (ke-adil-an) telah hilang, maka tak ada lagi
ujung yang berlebihan ataupun yang berkekurangan. Yang ada hanyalah
sifat yang sama sekali berlawanan dengannya, yaitu kedzaliman.
Adapun
jika sifat hikmah digunakan secara gegabah dan berlebihan dalam
tujuan-tujuan yang buruk, hal itu disebut perbuatan dosa dan kejahatan,
sedangkan jika digunakan secara berkurangan, maka hal itu disebut
kedunguan. Dan pada hakekatnya, posisi yang tengah-tengah itulah yang
layak dan khusus disebut hikmah.
Pokok-pokok Akhlak dan Maknanya
Dari
uraian diatas, jelaslah bahwa pokok-pokok atau dasar-dasar akhlak ada
empat: kearifan (hikmah), keberanian, penahanan nafsu (‘iffah) dan
keadilan atau keseimbangan (dalam ketiga pokok tersebut).
Yang
dimaksud dengan hikmah, adalah keadaan jiwa seseorang yang dengannya ia
dapat membedakan antara yang benar dan yang salah dalam setiap
perbuatan.
Adapun
yang dimaksud dengan keadilan atau keseimbangan, adalah keadaan jiwa
seseorang yang mampu membatasi gerak kedua kekuatan: emosi dan ambisi,
serta mengendalikannya dalam keaktifan dan ketidak aktifannya, agar
sejalan dengan nilai-nilai hikmah.
Sedangkan
yang dimaksud dengan keberanian, adalah dipatuhinya akal oleh kekuatan
emosi (amarah, ghadhab), baik dalam tindakannya atau keengganannya untuk
bertindak.
Dan
yang dimaksud dengan penahanan hawa nafsu (‘iffah) adalah terdidiknya
kekuatan ambisi (syahwat, hasrat) oleh didikan akal dan syariat.
Dari sikap moderat dan keseimbangan pokok-pokok inilah timbul semua unsur akhlak yang baik.
No comments:
Post a Comment