PERSIAPAN SEBELUM PERJALANAN
Teritori Kalam terhampar luas di hadapanku. Aku
hendak memulai perjalanan dan pengembaraan pada
teritori ini, dengan menunggangi kendaraan
rasionalitas. Dan engkau di sini, dengan ajakanku,
menemaniku pada pengembaraan dan perjalanan ini.
Supaya tidak membuatmu lelah dan letih pengembaraan
dan pelancongan khusus ini akan berlangsung cepat.
Kelak suatu ketika engkau akan menjadi pelancong
musiman, sehingga kemudian engkau dapat menikmati
pelancongan dan pengembaraan jauh.
Kita mulai pelancongan dan pengembaraan ini tanpa
adanya prakonsepsi atau prajudis, tapi dengan
pikiran terbuka, dengan akal kita sebagai pemandunya.
Dalam memilih pemandu, kita memandang akal kita
mampu membedakan dua atau beberapa pilihan, untuk
memutuskan yang mana yang benar.
TINGKATAN
PERTAMA
Kita memulai pengembaraan ini dengan observasi
sederhana. Kita melihat dunia sekeliling kita dan
memikirkan sebuah pertanyaan klasik: Bagaimana
seluruh hal ini dapat terwujud dan dari mana
datangnya? Kita mencari di sana-sini jawaban atas
pertanyaan klasik ini. Kita menemukan tidak hanya
satu jawaban, tapi banyak jawaban yang tersedia.
Kita berikan pilihan untuk memilih bagi akal kita
yang mana yang benar di antara jawaban-jawaban
tersebut. Dalam penjelajahan kita, kita menemui
sebuah buku yang menghadirkan mata rantai penalaran,
yang membimbing kita pada sebuah jawaban atas
pertanyaan kita.
Buku tersebut berkata:
Sesuatu atau wujud yang dengan wujudnya wujud yang
lain mewujud atau yang wujudnya bergantung kepadanya
disebut sebagai sebab.
Sesuatu atau wujud yang bergantung atau berhutang
budi atas eksistensinya disebut sebagai akibat atau
fenomena.
Eksistensi sebuah akibat tidak dapat bergantung
kepada sebuah ketiadaan atau non-eksisten. Hal ini
menandakan bawha mata rantai sebuah akibat dan
sebabnya harus berujung dan bermuara pada sebuah
sebab mandiri (self-existing cause), kalau
tidak akan bermakna eksitensi sebuah wujud atau
sesuatu dimunculkan oleh sebuah ketiadaan (non-being)
atau kekosongan (naught); yang mana hal ini
merupakan hal yang absurd dan absurditasnya adalah
jelas dan gamblang dengan sendirinya (self-evident).
Dasar seluruh investigasi ilmiah menegaskan
bahwa tidak akan ada sebab tanpa adanya akibat.
Redaksi "sebab" merupakan sebuah terma yang berarti
sesuatu yang bertanggung jawab bagi wujud dan
eksisnya sebuah wujud dan eksisten: dan sebab ini
terdiri dari dua bagian, sebab struktural dan sebab
kreatif.
Struktur sebab-sebab merupakan bagian dan komponen
akibat-akibat.
Sebab kreatif atau sebab agensial merupakan sebab
yang memproduksi dan melahirkan faktor-faktor, yang
membawa struktur menjadi ada akan tetapi ia bukan
bagian dari struktur.
Sebab struktural terdiri dari dua jenis sebab,
material dan form. Sebab material merupakan sesuatu
yang terbuat dari luar struktur. Sebab forma
merupakan bentuk atau form struktur itu sendiri.
Sebab pengada bermakna bahwa faktor yang memproduksi
bagian-bagian dan pengaruh-pengaruh terhadap
susunannya. Sebab ini terdiri dari dua model,
genetik dan objektif, yang pertama disebut sebagai
sebab pertama dan sebab aktif dan yang belakangan
disebut sebagai sebab tujuan atau sebab final.
Segala sesuatu atau wujud yang terkomposisi dengan
alam merupakan sebuah akibat, artinya eksistensinya
tidak berasal dan bersumber darinya, dan sebagaimana
bergantung kepada salah satu, setidaknya, bagian dan
wujudnya adalah disebabkan oleh mereka.
Bagian-bagian sebuah wujud atau wujud-wujud ia tidak
dapat berasal dari ketiadaan.
Pertanyaan, kemudian, mengemuka di sini ihwal apakah
bagian-bagian tersebut ada dengan sendirinya atau
mereka adalah rangkapan, bergantung kepada
bagian-bagiannya? jika mereka merupakan
bagian-bagian rangkapan maka kita harus menelusuri
ke belakang proses hingga kita mencapai
komponen-komponen terakhir yang akan menuntun kepada
kesimpulan bahwa mereka merupakan wujud non-rangkapan
ada dengan sendirinya dimana seluruh bangunan besar
akibat-akibat dan sebab-sebabnya bertengger.
Akan tetapi, tidak ada wujud dari sebuah tabiat yang
memiliki dimensi dapat dihadirkan pada skop ruang
dan waktu, dan dapat menjadi sebuah tabiat non-rangkapan
sebagai wujud paling sederhana dan paling mikro yang
mendiami ruang adalah bersifat dimensional dan dapat
dibagi secara geomteris dan berantung kepada
bagian-bagiannya.
Oleh karena itu, tidak ada wujud dimensional yang
dapat dipandang sebagai sebuah wujud yang eksis
dengan sendirinya (self-existing) dan maka
dipandang sebuah Sebab Pertama dan Pemula dalam mata
rantai keawalan. Kita harus menerima baik bahwa
rantai tersebut bersandar kepada ketiadaan, yang
mana hal ini merupakan hal yang absurd atau kita
terpaksa keluar dari domain mata rantai material
dalam mencari wujud non-rangkapan, non-dimensional
dan "Ada" dengan sendirinya (self-existing
'Being') dan menegaskan bahwa mata rantai sebab
dan akibat-akibat berdasarkan kepada Wujud.
Hal ini bermakna bahwa seluruh domain dimensional
dapat dihadirkan dalam pentas ruang dan waktu dan
waktu merupakan sebuah akibat dan fenomena sebuah
Wujud non-dimensional dan non material. Bertolak
dari sini, kita harus meninggalkan domain
dimensional dan berproses mencari Wujud yang Ada
dengan sendirinya (self-existing Being) yang
bertanggung jawab atas fenomena mata rantai sebab
dan akibat dalam sebuah domain dimana logika dan
metode tidak memiliki pendekatan kepadanya sama
sekali.
Dengan demikian, Wujud Swa-Ada (Self-Existing Being)
haruslah bersifat nirbatas, tidak terangkum dalam
pentas ruang dan waktu. Ia harus di luar (beyond)
seluruh batasan dimensional dan non-dimensional, dan
sebagainya, dan wujud tersebut tidak dapat kecuali
ia Esa; lantaran konsep dua wujud swa ada
melambangkan adanya batasan-batasan dari keduanya.
Konklusi yang dapat
dicapai di sini adalah bahwa Wujud Swa-Ada itu Satu,
Unit yang real, yang tidak dapat dibagi sama sekali,
dalam artian waktu, dan dalam pandangan bentuk dan
setiap aspek imaginable (yang dapat dibayangkan).
Dengan demikian, wujud itu adalah Real Unik, wujud
yang serupa dengannya dalam artian apa pun adalah
mustahil.
Unit Unik ini yang dengannya wujud-wujud terbatas
terbagi dan sebagai sebuah keseluruhan adalah eksis,
adalah tidak alpa dan lalai dari dirinya sendiri.
Oleh karena itu, ia sadar atas dirinya sendiri.
Akal kita mengikuti penalaran yang diberikan dalam
buku itu dan tidak ditemukan setitik kesalahan pun
di dalamnya. Kita memiliki jawaban atas pertanyaan
pertama yang kita ajukan, dan jawaban ini juga
membuktikan untuk dapat dijadikan kendaaraan yang
membawa kita untuk melanjutkan perjalanan yang
tersisa.
Kita sampai pada kesimpulan bahwa terdapat, sebuah
waktu yang nirbatas, Mahakuasa, Entitas Serba
Meliputi, Yang Menciptakan segalanya dan kita
menyebut-Nya sebagai Tuhan atau Allah.
Kembara Perdana:
Alkisah, seseorang bertanya kepada seorang yang
paling bijak bestari dari suatu masa untuk memandu
dan membimbingnya kepada Tuhan, ia berkata bahwa ia
selama ia kebingungan oleh kalimat polemis yang
menyesakkan batinnya.
Sang bijak bestari bertanya: "Apakah engkau pernah
menaiki bahtera mengarungi samudera?"
Ia menjawab: "Iya."
Sang bijak bestari berkata: "Apakah bila bagian
badan bahtera itu mengalami kebocoran dan tidak ada
seorang pun di tempat itu yang dapat menyelamatkanmu
dari karam dalam amukan gelombang ombak samudera?
"Iya."
"Pada saat-saat yang genting tersebut dan asamu
putus dari segalanya, apakah engkau memiliki
perasaan bahwa sebuah kekuataan tak terbatas dan
mahakuasa yang dapat menyelamatkanmu dari nasib yang
mengenaskan itu?"
"Iya, begitulah kira-kira."
Sang bijak bestari berkata kemudian: "Dialah Tuhan
Yang menjadi sumber andalan dan kepada-Nya setiap
insan melabuhkan harapan ketika seluruh pintu-pintu
asa tertutup."
Kembara
Kedua:
Seorang materialis berkebangsaan Mesir bertolak ke
Mekkah untuk melakukan perdebatan, dan di tempat itu
ia berpapasan dengan seorang bijak bestari yang kita
jumpai pada pengembaraan kita sebelumnya dan yang
akan kita jumpai kembali pada perjalanan dan
pengembaraan berikutnya. (Nama sang bijak bestari
dan sumber-sumber bahan-bahan perjalanan ini akan
kita ketahui setelah kita sampai pada tingkatan
keempat dari perjalanan kita ini, selamat jalan)
Ketika diskusi telah dimulai, sang bijak bestari
berkata: "Apakah Anda menerima bahwa bumi ini
memiliki atas dan bawah?"
Orang Mesir itu berkata: "Iya."
Lantas bagaimana Anda tahu apa yang ada di bawah
bumi?"
Orang Mesir itu berkata: " Aku tidak tahu, tapi aku
kira tidak ada sesuatu di bawah bumi ini."
Sang bijak bestari berkata: "Berkhayal merupakan
simbol ketidakmampuan ketika Anda tidak mendapatkan
kepastian. Kini katakan kepadaku, Apakah Anda pernah
naik ke atas langit?"
"Tidak. " Jawab orang Mesir itu pendek.
"Alangkah anehnya Anda belum pernah ke Timur dan
Barat, Anda belum pernah menuruni bawah bumi dan
naik ke angkasa, atau melintasinya untuk mengetahui
apa saja yang tersimpan dan tertimbun di baliknya
akan tetapi Anda mengingkari apa yang ada di situ.
Akankah seorang bijak mengingkari realitas yang
sebenarnya ia tidak ketahui? Dan Anda mengingkari
eksistensi Sang Pencipta lantaran Anda tidak
melihat-Nya dengan mata kepala Anda?
Orang Mesir itu berkata: "Tidak ada seorang pun yang
pernah berkata hal ini kepadaku. "
Sang bijak bestari berkata: "Jadi, sesungguhnya Anda
memiliki keraguan ihwal keberadaan Tuhan; Anda pikir
bahwa Dia itu boleh jadi ada atau boleh jadi tidak?"
"Barangkali demikian."
"Duhai kisanak, orang yang tidak tahu adalah kosong
dan hampa dari segala bukti; orang jahil tidak akan
pernah memiliki bukti. Sadarlah bahwa kita tidak
pernah memiliki keraguan atau syak akan keberadaan
Tuhan. Tidakkah engkau perhatikan matahari dan bulan,
siang dan malam yang secara reguler berputar dan
mengikuti alurnya yang tetap? Jika mereka memiliki
kekuasaan dan kekuatan atas diri mereka sendiri,
biarkanlah mereka keluar dari jalurnya dan tidak
kembali. Mengapa mereka secara konstan kembali? Jika
mereka bebas dan merdeka dalam rotasi dan
perputarannya, mengapa siang tidak menjadi malam dan
malam menjadi siang? Aku bersumpah demi Tuhan mereka
tidak memiliki pilihan dalam gerakan-gerakan mereka;
Dialah yang menyebabkan fenomena ini mengikuti
sebuah jalur yang tetap? Dialah yang memerintahkan
mereka; dan kepada-Nyalah kembali segala kebesaran
dan keagungan.
Orang Mesir itu berkata: "Anda berkata benar."
Sang bijak bestari itu melanjutkan: "Jika engkau
bayangkan bahwa semestalah yang melahirkan manusia,
lalu mengapa semesta tidak menariknya? Jika ia
menariknya, mengapa ia tidak menghadirkannya?
Ketahuilah bahwa tujuh petala langit dan bumi adalah
tunduk di bawah kehendak-Nya. Mengapa tujuh petala
langit itu tidak jatuh menimpa bumi? Mengapa
lapisan-lapisan bumi tidak terguling dan mengapa
mereka tidak berjejal bertumpuk hingga mencapai
langit? Mengapa mereka yang menghuni bumi tidak
setia kepada satu dengan yang lain? "
Akhirnya, orang Mesir itu tunduk dan menerima
kebenaran, "Tuhan Dialah Penguasa dan Junjungan
tujuh petala langit dan bumi yang melindungi mereka
dari kejatuhan dan kerusakan."
Kembara Ketiga:
Seorang yang bernama Mufaddhal, yang merupakan salah
seorang pengikut sang bijak bestari ini, pernah
bertanya: "Tuanku, beberapa orang berkhayal bahwa
keteraturan dan keakuratan dalam sistem semesta yang
kita lihat ini merupakan sistem dan mekanisme kerja
alam."
Sang bijak bestari berkata: "Tanyakan pada mereka
apakah semesta melalukan semua ini dengan segala
akurasi yang terhitung berdasarkan ilmu pengetahuan,
pemikiran dan kekuasaan dirinya sendiri. Jika mereka
berkata bahwa semesta memiliki pengetahuan dan
kekuasaan, apa yang menghalangi mereka untuk
menegaskan dan membuktikan dzat azali Ilahi dan
mengakui keberadaan prinsip yang lebih suprim? Jika,
pada sisi lainnya, mereka berkata bahwa semesta
mengerjakan tugasnya secara regural dan dengan benar
tanpa pengetahuan dan kehendak, maka mekanisme bijak
dan akurat ini, hukum-hukum yang serba terhitung dan
terkalkulasi merupakan buah cipta, karya dan kerja
dari seorang pencipta yang Serba mengetahui dan
Mahabijaksana. Apa yang mereka sebut sebagai semesta,
sebuah hukum dan kebiasaan yang ditunjuk oleh tangan
kekuasan Ilahi untuk mengatur penciptaan."
TINGKATAN
KEDUA
Pada tingkatan kedua dari perjalanan dan
pengembaraan ini, kita berada di persimpangan jalan
dan menjumpai dua jalan bercabang.
Satu jalan memandang bahwa keadilan bukan merupakan
sifat Tuhan. Tuhan tidak perlu berlaku adil. Asumsi
ini tentu saja akan menuntun orang pada chaos,
lantaran membuat seluruh kehidupan, termasuk
perjalanan yang kita tempuh kali ini sepenuhnya
tanpa makna.
Akal kita (dengan kekuatannya untuk membedakan baik
dan buruk) memutuskan bahwa ketidakadilan adalah
sebuah perbuatan keliru. Dengan kata lain, asumsi
ini melambangkan dan menyiratkan ketidaksempurnaan
pada Tuhan. Tentu saja akal kita tidak dapat
menerima hal ini.
Jalan lain menyatakan adalah bahwa Tuhan senantiasa
berlaku dan berbuat adil.
Akal kita menerima dan menempuh jalan ini kemudian,
dan menuntun kita untuk mengayunkan langkah ke depan.
TINGKATAN
KETIGA
Ketika Keadilan Tuhan diterima sebagai sebuah
kenyataan, berikut ini terdapat beberapa
konklusi-konklusi logis sebagai berikut:
-
Penciptaan bukan sebuah fenomena tanpa tujuan;
-
Ketika penciptaan memiliki tujuan,
makhluk-makhluk haruslah dibimbing secara
proporsional kepada tujuan tersebut.
Kita jumpai bahwa kita telah sadar bahwa seorang
pemandu telah disiapkan pada tujuan kilat ini.
Dialah akal kita, yang mampu menuntun kita sejauh
ini dalam perjalanan rasional kita ini. Ialah
penuntun dan pemandu internal kita.
Adalah akal yang menuntun kita kepada fakta dan
realitas bahwa ia sendiri tidak memadai untuk
menuntun kita. Akal dapat menyesatkan kita. Terdapat
hajat dan kebutuhan terhadap penuntun eksternal yang
terang. Dan Tuhan adalah Hakim, hendaknya mengirim
panduan ini kepada kita dalam bentuk yang kita dapat
pahami dan ikuti.
Hajat dan kebutuhan terhadap panduan dan bimbingan
tersebut terus berlanjut. Ia harus tersedia setiap
saat.
Kajian sejarah menunjukkan bahwa terdapat beberapa
orang di masa lalu yang menyebutkan bahwa mereka
diutus oleh Tuhan untuk memandu dan membimbing
manusia. Bimbingan dan panduan ini, selama masa
hidup mereka, menunjukkan jalan yang benar kepada
umat manusia. Beberapa orang dari mereka
meninggalkan naskah-naskah, sehingga umat manusia
dapat mengikuti naskah-naskah suci ini setelah para
pemandu dan pembimbingnya beranjak dari arena
kehidupan ini.
Dituntut juga bahwa pemandu tersebut harus diutus
berulang-ulang, setelah seorang pemandu datang dan
pergi, terkadang orang-orang lantaran alasan-alasan
egois, memanipulasi ajaran-ajaran dan naskah-naskah
dan bahkan medistorsinya demi kepentingan personal
mereka.
Atas alasan ini, diperlukan untuk mengirim pemandu
dan pembimbing secara berulang, memperbaharui
naskah-naskah dan maklulmat-maklumat, pada setiap
dekade atau abad.
Pada tingkatan ini, kita memiliki tugas untuk
mengavaluasi kebenaran, stetement-stetment
orang-orang tersebut dalam sejarah, yang menyebutkan
dan mengklaim diri mereka sebagai utusan Tuhan.
Untuk setiap bentuk evaluasi, kita memerlukan
standar dan kriteria. Sekali lagi, akal kita datang
untuk menolong dan menunjukkan beberapa standar dan
kriteria kepada kita.
1. Karena orang-orang ini berasal dari sisi
Tuhan, mereka harus terbebas dari kesalahan dan
perbuatan keliru. Setiap orang yang melakukan setiap
kesalahan pada setiap waktu hidupnya tidak akan
terbimbing secara benar. Lantaran bagaimana orang
yang melakukan kesalahan, mendesak dan menuntut
orang lain untuk tidak melakukan kesalahan? Juga,
jika seseorang tidak terbebas dari kesalahan, lalu
siapa yang akan berkata bahwa bagian mana ajarannya
yang benar dan yang salah? Pada sisi lain, mereka
haruslah menjadi pemimpin bagi umat manusia dalam
kualitas-kualitas dan nilai-nilai.
2. Mereka haruslah tidak pernah mendapatkan
pelajaran dari orang lain di dunia ini. Dan lagi
mereka haruslah menjadi orang yang paling cendikia
di antara seluruh manusia pada masanya. Pengetahuan
mereka haruslah nihil dan hampa dari kesalahan dan
kekeliruan. Dan yang lain, argumen yang disebutkan
di atas, dapat juga diterapkan pada masalah berikut
ini: Jika pengetahuan mereka rawan kesalahan, siapa
yang dapat berkata bahwa bagian mana dari
perintah-perintah dan titah-titah mereka yang benar
dan yang keliru dan menyesatkan?
Hal ini akan menyisakan panduan dan bimbingan tanpa
integritas, dan oleh karena itu, tiada gunanya.
Lantaran pemandu dan pembimbing berasal dari Tuhan,
pendidikan dan pengetahuan mereka haruslah berasal
dari Sang Pencipta dan bukan berasal sesuatu yang
lain dalam penciptaan, karena hanya pengetahuan dari
Tuhanlah yang nihil dan kosong dari kesalahan.
3. Ketika diminta, mereka harus mampu menunjukkan
kekuatan-kekuatan supranatural (baca: mukjizat)
sebagai tanda-tanda dari Tuhan akan kebenaran mereka.
4. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai mereka haruslah
tidak berubah dari waktu ke waktu, karena perubahan
yang terjadi pada prinsip dan nilai-nilai yang
mereka anut menyiratkan ketidaksempurnaan pada satu
tingkatan atau pada tingkatan yang lain.
Hal yang lain, indikator-indikator kebenaran seorang
utusan Tuhan- mengutus seorang pembimbing, akan
tetapi kriteria di atas harus memadai bagi kita
untuk mengevaluasi kebenaran yang menyatakan bahwa
ia adalah seorang pembimbing yang diutus oleh Tuhan.
Dibekali dengan kriteria di atas, kita selidiki
seluruh jalan-jalan sejarah. Kita jumpai beberapa
nama yang tidak ragu lagi adalah
pembimbing-pembimbing yang merupakan utusan Tuhan.
Orang-orang tersebut disebut sebagai para rasul atau
nabi-nabi Tuhan. Beberapa nama yang kita jumpai
adalah: Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa (Semoga Tuhan
merahmati mereka seluruhnya)
Kini kita jumpai bahwa beberapa orang berhenti pada
nama Musa dan tidak melangkah lebih jauh darinya.
Orang-orang yang dalam perjalanan ini melanggeng
jauh hingga mencapai nama Isa. Beberapa orang
kemudian berhenti di sini dan menolak untuk
melangkah lebih jauh.
Kendati demikian, melihat tidak satu pun dari mereka
(seperti Musa, Isa dan orang-orang mulia lainnya)
yang menyatakan bahwa mereka merupakan utusan
terakhir dari Tuhan, beberapa orang dari kita masih
mencari dan mengkaji serta mengevaluasi criteria
kita, hingga kita sampai pada sebuah nama: Muhammad.
Mari kita amati Nabi Muhamamad Saw berkenaan dengan
empat kriteria yang disebutkan di atas:
1. Infallibilitas, bahkan sebelum mendeklarasikan
kenabiannya, Muhammad telah digelari sebagai "Shadiq"
(Orang yang benar) dan "Amin" (Orang yang dapat
dipercaya), oleh kaum politeis dan musyrik Mekkah.
Bahkan setelah orang-orang politeis ini menjadi
musuh-musuhnya (setelah deklarasi kenabiannya),
tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan bahwa di
antara kaum musyrik tersebut dapat mencari cela dan
cacat pada diri Muhammad Saw.
2. Muhammad Saw, memiliki sebuah kitab yang
diwahyukan, Kitab Suci al-Qur'an. Kitab suci ini
merupakan salah satu tanda-tanda terkuat dari
kebenaran Muhammad Saw. Ihwal buku ini, seorang
ilmuan dewasa ini, Dr Maurice Bucaille dari French
Academy of Medicine, menyatakan pandangannya sebagai
berikut:
"Objektifitas
in toto, dalam pandangan ilmu
pengetahuan modern, menuntun kita untuk mengenali
kesepakatan antara dua, sebagaimana telah
disampaikan pada berbagai kesempatan. Hal ini
membuat kita memandangnya tidak dapat dipikirkan
bagi orang-orang pada masa Muhammad untuk menjadi
pengarang atas stetment-stetment semacam itu,
mengingat kondisi ilmu pengetahuan hari ini.
Pertimbangan-pertimbangan semacam ini adalah bagian
dari apa yang menjadikan wahyu Qur'ani menduduki
tempat yang unik dan memaksa ilmuan yang jujur dan
netral untuk mengakui ketidakmampuannya untuk
menyediakan sebuah penjelasan yang semata-mata
bersandar pada penaralan materialistik.
Ia juga mengatakan:
"Sedikit pun perubahan dan distorsi yang terjadi
pada al-Qur'an pasti akan merusak pertalian dan
hubungan luar biasa yang menjadi karakterisik
al-Qur'an. Qur'an merupakan sebuah khutbah yang
diperkenalkan kepada manusia melalui pewahyuan yang
berlangsung selama dua puluh dua tahun. Pewahyuan
ini berlangsung selama dua periode yang sebanding
dengan masing-masing sisi gua Hira."
Sebagaimana jelas pada sentimen yang diekspresikan
Dr Bucaille, hanya Qur'an merupakan bukti yang
banyak atas kriteria kedua, ketiga, dan keempat bagi
seorang nabi yang benar, sebagaimana yang disebutkan
di atas.
Kini kita perhatikan bahwa Muhammad Saw, memenuhi
seluruh kriteria bagi seorang pembimbing benar dari
Tuhan, juga dikatakan bahwa ia merupakan seorang
Nabi Allah yang terakhir, dan tidak ada nabi dan
rasul lagi yang diutus selepasnya. Orang-orang yang
telah mencapai sejauh ini dalam pencarian mereka
mencari nabi-nabi Allah, adalah disebut sebagai
Muslimin dan jalan yang mereka ikuti disebut sebagai
Islam.
Pada poin ini kita hentikan pencarian kita
dan menerima Islam sebagai jalan kita. Kita meyakini
kebenaran Muhammad Saw, dan Kitab Suci Al-Quran.
Hingga kini, kita telah melakukan perjalanan dengan
menggunakan pertolongan akal semata. Pada penghujung
tingkatan ini, kini kita harus memiliki dua
kendaraan lagi untuk membawa kita melanjutkan
perjalanan ini. Kedua kendaraan ini adalah:
Ayat-ayat Qur'an dan sunnah otentik Nabi Saw.
Dan tingkatan ketiga dari perjalanan kita
ini berakhir.
Ekskursi:
Sekelompok ulama Kristen dari Najran datang kepada
Nabi Saw dan terlibat perdebatan dengannya ihwal
keyakinan Kristen melawan keyakinan Islam.
Sebagaimana Kristen meyakini bahwa Yesus Kristus
merupakan putra Tuhan memandang bahwa ia lahir
tanpat seorang ayah, Kitab Suci Al-Qur'an pertama
kali menolak penalaran mereka dengan logika, "Sesungguhnya
misal (penciptaan) 'Isa di sisi Allah adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah,
kemudian Allah berfirman kepadanya, "Jadilah" (seorang
manusia) maka jadilah ia." (Qs. Ali Imran [3]:
59)
Ketika ulama Kristen menolak menerima nalar, Tuhan
memerintahkan Nabi Saw sebagai berikut:
"Dan siapa yang membantahmu tentang kisah 'Isa
sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka
katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil
anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri
kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu;
kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan
kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada
orang-orang yang dusta."
(Qs. Ali Imran [3]; 61)
(Ayat ini juga kerap
disebut sebagai ayat Mubâhalah)
Nabi Saw menyampaikan titah Tuhan kepada para
pendeta Kristen itu. Telah disepakati bahwa esok
harinya akan menjadi hari yang menentukan.
Esok harinya, Nabi Saw, menjalankan titah Tuhan,
membawa cucundanya Hasan As dan Husain As, putri
kinasihnya Fatimah As dan saudara sepupu sekaligus
menantunya (Ali As) untuk menghadapi para pendeta
Kristen itu.
Abu Haris bin Alqama, salah seorang pemimpin
kelompok Kristen, menyaksikan prosesi Nabi Saw dan
menyampaikah hal tersebut kepada kawan-kawannya.
"Aku melihat wajah-wajah yang jika mereka berdoa
kepada Tuhan untuk memindahkan gunung, maka Tuhan
niscaya mengabulkan doa-doa mereka. Janganlah kalian
melawan mereka atau kalian akan binasa."
Kemudian, kelompok Kristen itu menerima kekalahan
mereka dan menyetujui untuk menyerahkan jizyah
(semacam pajak) kepada Nabi Saw.
Peristiwa ini dinukil secara mendetail dalam
beberapa kitab-kitab Islam termasuk, "Shahih
Muslim", "Madârij an-Nubuwwah", dan
sebagainya.
TINGKATAN
KEEMPAT
Sebagaimana yang telah kita temukan pada awal-awal
tingkatan ketiga ini, terdapat sebuah kebutuhan bagi
kemestian tersedianya bimbingan secara berkelanjutan,
kalau tidak masyarakat boleh jadi merubah
ajaran-ajaran pemandu mereka untuk kepentingan dan
kemaslahatan pribadi mereka masing-masing.
Tapi Nabi Muhammad Saw merupakan Nabi Pamungkas yang
diutus oleh Tuhan untuk membimbing manusia
kepada-Nya. Hal ini bermakna bahwa risalah yang ia
bawa harus tetap terjaga dari segala bentuk
manipulasi dan distorsi setelah ia wafat. Hal dapat
dilakukan jika suksesor Muhammad Saw tetap ada,
orang yang dipercaya untuk menunaikan tugas menjaga
risalah. Dan akal mendikte bahwa para suksesor ini
juga harus terbebas dan terjaga dari dosa dan
perbuatan salah, sebagaimana Nabi Saw sendiri.
Kemudian, apakah Muhammad Saw, dalam masa hidupnya
menunjuk pengganti dan penjaga risalah selepasnya?
Pada poin ini, terdapat dua jalan lagi yang
membentang di depan kita.
Pengembara atau pengelana salah satu jalan
tersebut mengatakan bahwa tentu saja, Nabi Saw
menunjuk seseorang sebagai khalifahnya dan tidak
masuk akal untuk mengasumsikan sebaliknya, yaitu
mengatakan bahwa Nabi Saw tidak menunjuk seseorang
untuk menggantikan kedudukannya sebagai khalifah.
Kalau tidak, bagaimana mungkin Nabi Saw menjadi
sosok yang tidak bertanggung jawab meninggalkan
agama tanpa seorang penjaga selepasnya? Orang-orang
yang memilih dan menempuh jalan ini disebut sebagai
"Syiah."
Pengelana yang menempuh jalan yang satunya
disebut sebagai "Sunni." Mereka berkata bahwa Nabi
secara khusus tidak menunjuk seseorang menjadi
pengganti dan khalifahnya. Namun, penjejalahan dan
pengembaraan kita mengindikasikan bahwa pengingkaran
terhadap adanya penunjukkan merupakan perbuatan
keliru dan tidak logis, sebagaimana telah dibuktikan
dari Ahlul Kitab yang mengingkari kenyataan ini.
Penjelajahan kita lakukan menyingkap
kenyataan-kenyataan berikut ini:
Nabi Saw menyebutkan bahwa jumlah khalifahnya adalah
dua belas orang. Hadits ini dinukil dari berbagai
sumber dalam sumber-sumber penting Ahlusunnah,
termasuk Bukhâri, Muslim, Musnad Ahmad
bin Hanbal, Sunan Abu Dawud,
Sunan Tirmidzi, Tabarani, Musnad
al-Hamidi, Mustadrak al-Hakim
dan sebagainya. Beberapa penulis telah menghitung
lebih dari dua ratus perawi hadis ini. Hal ini
membuat hadis ini tidak tertolak.
Kemudian, siapa keduabelas khalifah Nabi Saw ini?
Tanpa syak lagi, Ali bin Abi Thalib merupakan
khalifah Nabi Saw yang pertama, sebagaimana
dijelaskan oleh hadis-hadis sahih, pemimpin dari
mereka yang disebutkan pada hadis al-Ghadir
sebagai berikut:
Beberapa bulan sebelum wafatnya, Nabi Saw menunaikan
ibadah haji yang terakhir. Dalam memenuhi seruan
Nabi Saw, ribuan kaum Muslimin dari jauh dan dekat
bergabung besertanya menunaikan ibadah haji. Setelah
menunaikan ibadah haji, Nabi Saw beserta kaum
Muslimin bertolak menuju Madinah. Mereka belum pergi
terlalu jauh, sesuai dengan titah dan perintah Tuhan,
Nabi Saw meminta mereka berhenti seluruhnya di
sebuah tempat yang disebut sebgai Ghadir Khum. Di
tempat ini, Nabi Saw meminta mimbar dari
pelana-pelana unta didirikan. Ketika mimbar telah
siap, Nabi Saw naik ke atas mimbar dan menyampaikan
khutbahnya. Kemudian, ia mengangkat tangan Ali bin
Abi Thalib di atas tangannya dan berkata:
"Barang siapa yang menjadikan Aku sebagai mawlanya
maka Ali adalah mawlanya."
Dan kemudian ia mengangkat tangannya ke atas dan
berdoa kepada Tuhan, katanya:
"Wahai Tuhanku! Cintailah orang yang mencintai Ali
dan bencilah orang yang membencinya; tolonglah orang
yang menolongnya dan tinggalkanlah orang yang
meninggalkannya." Dan kemudian, di hadapan
ribuan kaum Muslimin, Nabi Saw menunjuk Ali sebagai
khalifah dan penggantinya.
Hadis ini dinukil dari sumber-sumber otentik Ahlu
Sunnah, di antaranya adalah sebagai berikut:
·
Muslim:
Sahih
·
Ahmad bin Hanbal:
Musnad
·
Nisai:
Kitâb al-Khasâis
·
Hakim Naisapuri:
Mustadrak
·
Hakim Hakani:
Syawâhid at-Tanzil
·
Suyuti:
Tafsir Durr al-Mantsur
·
Razi:
Tafsir Kabir
·
Muhammad Abduh:
Tafsir al-Manar
·
Ibn Asakir Shaafa'i:
Târikh Damaskus
·
Ibn Talha Shaafa'i:
Mathâlib as-Suâl
·
Ibn Sabagh Maliki:
Fusûl al-Muhimma
·
Sulaiman Qandazi Hanafi:
Yanabi' al-Mawadda
·
Ibn Jurair Tabari:
Kitâb al-Wilâyah
·
Badruddin Hanafi:
Umdat al-Qari
fi Sharh al-Bukhari
·
Abdulwahhab Bukhari:
Tafsir al-Qur'ân
·
Hafiz Abu Na'eem: Nuzûl al-Qur'ân
·
Humwaini:
Farâidh al-Simtain
Hadis ini telah dinukil secara langsung dari Nabi
Saw oleh setidaknya seratus sepuluh sahabat
Rasulullah Saw. Untuk lebih detilnya, silahkan rujuk
ke kitab Al-Ghadir, karya Allamah Amini Ra.
Khalifah kedua dan ketiga adalah Imam Hasan As dan
Imam Husain As, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah
As. Hal ini merupakan perkara yang jelas dari Nabi
Muhammad Saw, hadis yang menegaskan masalah ini di
antaranya adalah sebagai berikut:
"Ali adalah saudaraku, pewarisku, khalifahku dan
pemimpin kaum Mukminin setelahku; kemudian Hasan;
kemudian Husain; kemudian putra-putra Husain: Qur'an
bersama mereka dan mereka bersama Qur'an. Keduanya
tidak akan berpisah satu dengan yang lain hingga
keduanya sampai di telaga Kauthar)." (Humwaini)
Berkenaan dengan sembilan khalifah yang merupakan
keturunan Imam Husain, izinkan saya untuk menukil
satu lagi hadis (dari sekian hadis): Dalam kitab Sayid Ali Hamadan,
Shafai, Akhtab
Khawarizm dan sebagainya, dinukil dari Salman Ra
bahwa ia pernah melihat Nabi Saw sementara Husain
duduk di pangkuannya dan Nabi Saw mengecup matanya
dan bibirnya dan bersabda, "Engkau adalah sayid (tuan)
dan putra dari tuan. Engkau adalah imam dan putra
dari imam. Engkau adalah hujjah dan ayah dari
sembilan hujjah, hujjah yang kesembilan adalah Qa'im
As."
Apakah Nabi Saw pernah mengindikasikan seluruh
keduabelas khalifanya dan menyebut nama-nama mereka?
Lagi jawabannya adalah: Iya.
Seorang Yahudi bernama Natsal, bertanya kepada Nabi
Muhammad Saw beberapa pertanyaan. Dalam pertanyaan
itu, ia bertanya ihwal khalifah Nabi Saw. Nabi Saw
bersabda: "Setelahku, khalifahku adalah Ali bin Abi
Thalib dan setelahnya kedua putraku, Hasan dan
Husain, dan kemudian terdapat sembilan Imam dari
keturunan Husain." Natsal bertanya perihal nama-nama
mereka. Nabi Saw menjawab: "Ketika Husain telah
tiada, putranya Ali akan menjadi khalifah setelahnya;
ketika Ali telah tiada, putranya Muhammad akan
menjadi khalifah setelahnya; ketika Muhammad telah
tiada, putranya Ja'far akan menggantinya sebagai
khalifah; ketika Ja'far telah tiada, putranya Musa
akan menggantikannya sebagai khalifah; ketika Musa
telah tiada, putranya Ali akan menggantikannya
sebagai khalifah; ketika Ali telah tiada, putranya
Muhammad akan menggantikannya sebagai khalifah;
ketika Muhammad telah tiada, putranya Ali akan
menggantikannya sebagai khalifah; ketika Ali telah
tiada, putranya Hasan akan menggantikannya sebagai
khalifah; ketika Hasan telah tiada, putranya Al-Mahdi
akan menggantikannya sebagai khalifah. Mereka
berjumlah dua belas Imam." (Qandozi: Yanabi' al-Mawadda)
Seharusnya tidak ada keraguan ihwal nama-nama kedua
belas khalifah Nabi Muhammad Saw.
Bukti yang ada sangat banyak menegaskan kenyataan
ini bahwa Rasulullah Saw menunjuk seorang khalifah
sebelum wafatnya. Sejatinya, Nabi Saw mengumumkan
seluruh jalur khalifahnya, hingga hari Kiamat, tanpa
adanya gap yang mengantarainya. Dari hadis-hadis di
atas, jelas bahwa seluruh khalifah ini berjumlah dua
belas orang; tidak lebih, tidak kurang. Para
khalifah ini disebut sebagai "Imam."
Kedua belas Imam ini juga dirujuk sebagai "Ahlulbait"
(Keluarga Nabi Saw). Kedua ulama baik Syiah dan
Sunni menerima fakta ini. (Untuk merujuk pandangan
Sunni, silahkan lihat, "Arjah al-Mathâlib"
karya Ubaidullah Amritsari).
Adapun hadis yang dinukil di sini, dan banyak lagi
hadis-hadis yang sejenis dengannya, seluruh ahli
hadis (muhaddits) dan ulama serta mayoritas
ahli hadis Sunni menerima fakta bahwa Imam
Keduabelas merupakan putra Hasan Askari As. Namanya
adalah nama Rasulullah Saw dan ia telah dilahirkan
kurang lebih dua ribu tahun yang silam, dan ia hidup,
kendati gaib dari pandangan kita.
Ia tetap akan berada dalam masa ghaibah hingga masa
yang dikehendaki oleh Tuhan, dan kemudian, sesuai
dengan titah Tuhan, ia akan menunjukkan dirinya
kepada dunia dan menguasai dunia serta memenuhinya
dengan keadilan.
Kita hampi mendekati akhir dari perjalanan kita,
kita akan melintasi senarai pilihan beberapa
referensi Sunni, yang menegaskan fakta yang
disebutkan di atas.
Namun, beberapa orang meragukan tentang khalifah
terakhir. Mari kita mencoba menjernihkan
keraguan-keraguan ini.
Dari sumber-sumber otentik, Imam Keduabelas, yang
namanya mirip dengan nama Nabi Saw, dan yang
memiliki gelar sebagai "Al-Mahdi", lahir pada tahun
869 M. Imam Hasan al-Askari As syahid pada tahun 874
M. Hal ini berarti bahwa Imam Keduabelas telah
menjadi pemimpin umatnya pada usia lima tahun.
Beberapa orang mengajukan keberatan dan bertanya:
Bagaimana mungkin seorang bocah lima tahun menjadi
pemimpin umat ini? Ada apa sedemikian perkara ini
tidak dapat dipercaya? Tidakkah Qur'an memberikan
kita beberapa contoh orang-orang yang menjadi
pemimpin sementara usia mereka masih sangat belia?
Mari kita lihat beberap contoh:
1. Nabi Isa menjadi nabi dan berbicara dengan
orang-orang selagi ia masih seorang bayi dalam
ayunan (Qs. Maryam [19]: 29-31).
2. Berkenaan dengan Yahya, Kitab Suci al-Qur'an
berkata: "Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat)
itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan
kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak."
(Qs. Maryam [19]:12)
3. Nabi Sulaiman ditunjuk oleh Allah sebaga pewaris
ayahnya Nabi Daud, dan menjadi raja bagi umatnya
padahal ia belum lagi mencapai masa baligh.
Jika Nabi Isa, Yahya, Sulaiman dapat menjadi
pemimpin pada masa kecil mereka, lalu mengapa al-Mahdi
tidak boleh?
Keraguan yang kedua yang mengemuka bagi sebagian
orang adalah ihwal hidup panjang Sang Imam.
Ketika tidak mammpu menghadapi kenyataan ihwal hidup
panjang Imam, beberapa orang meyakini bahwa
khalifah keduabelas Nabi Saw tidak hidup sekarang,
melainkan akan lahir pada masa mendatang. Asumsi ini
tidak memiliki dasar sama sekali dalam hadis-hadis
nabawi, lantaran hal ini akan memutus mata rantai
para khalifah.
Mari kita lihat beberapa bukti yang menegaskan
keberadaan Imam Keduabelas, dari sumber al-Qur'an
dan hadis-hadis nabawi.
Pada surah ke-13, ayat ke-7, al-Qur'an menyebutkan:
"(Wahai Muhammad!) Engkau tidak lain seorang
pemberi peringatan, pada setiap umat terdapat
seorang pemberi petunjuk."
Siapakah pembimbing dan pemberi petunjuk hari ini?
Pada surah ke-8, ayat 33, al-Qur'an menyebutkan: "Allah
sekali-kali tidak akan mengazab mereka sementara
engkau berada di sisi mereka."
Banyak ulama Sunini, termasuk Ahmad bin Hanbal dalam
"Musnad", dan Ibnu Hajar dalam bukunya "Sawâiq
al-Muhriqah", menukil hadis berikut ini dari
Nabi Saw dalam menafsirkan kedua ayat di atas:
Rasulullah Saw bersabda: "Bintang gemintang
merupakan media rahmat bagi para penduduk langit,
dan jika bintang-gemintang itu binasa, maka penduduk
langit juga akan binasa. Dan Ahlulbaitku merupakan
media rahmat bagi para penduduk semesta, dan jika
Ahlulbaitku tiada, para penduduk semesta akan binasa."
Ibnu Hajar dalam mengomentari hadis tersebut berkata:
"Ahlulbait merupakan media rahmat bagi para penduduk
semesta sebagaimana Rasulullah Saw adalah media
rahmat bagi mereka." Selanjutnya ia menulis: "…Allah
menciptakan semesta ini untuk Rasulullah, dan
membuat keberadaan semesta ini bersyarat kepada
eksistensi Ahlulbait lantaran mereka memiliki
beberapa keutamaan yang sama dengan Rasulullah Saw,
sebagaima yang disebutkan oleh Fakhrurrazi, dan
lantaran Rasulullah Saw bersabda tentang keutamaan
mereka bahwa: Wahai Allah! Mereka berasal dariku dan
Aku berasal dari mereka", lantaran mereka merupakan
bagian darinya karena ibu mereka, Fatimah adalah
bagian darinya. Oleh karena itu mereka juga
merupakan amnesti bagi penduduk bumi."
Hadis-hadis di atas secara jelas menunjukkan bahwa
keberadaan khalifah Rasulullah Saw tidak boleh
terputus dan terpotong.
Hal ini bermakna bahwa khalifah keduabelas dan
khalifah terakhir Nabi Saw telah dilahirkan dan
hidup, kendati sekarang sedang melewati masa ghaibah
(tersembunyi dari pandangan kita)
Kembali kepada pertanyaan ihwal masa hidup yang
panjang, apakah hal ini sesuatu yang menakjubkan dan
sebuah hal yang baru?
Tidak. Bukti-bukti sangat melimpah dalam sejarah
umat manusia orang-orang yang memiliki usia panjang.
Dan bukti-bukti itu adalah sebagai berikut:
1. Menurut al-Qur'an (surah ke-29, ayat 14) Nabi
Nuh As berdakwah selama 950 tahun. Tentu saja
usianya lebih panjang dari bilangan itu.
2. Disepakati oleh seluruh kaum Muslimin bahwa
Nabi Khidr As masih hidup hingga saat ini. Al-Qur'an
menyebutkan kisah perjumpaannya dengan Nabi Musa
As, dan seterusnya, Khidr kini berusia lebih
dari 3000 tahun. Ia juga tersembunyi dari
pandangan manusia.
3. Ulama mazhab Hanafi, Sibt Ibn al-Jauzi, dalam
kitabnya, "Tadzkirât al-Khawâs al-Ummah"
membeberkan nama-nama 22 orang yang diyakini
oleh kaum Muslimin telah hidup dengan beragam
usia semenjak 3000 tahun turun hingga 300 tahun.
4. Bahkan berbicara secara ilmiah, tidak ada
persoalan serius untuk menegaskan usia panjang
seseorang. Sekelompok ilmuan mengadakan
serangkaian eksperimen di Rockefeller Institute
di New York pada tahun 1912 pada bagian-bagian
tertentu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.
Ilmuan ini termasuk Dr. Alex Carl, Dr. Jack
Lope, dan Dr. Warren Lewis dan istrinya, dan
lain sebagainya. Di antara eksperimen yang
dilakukan adalah ekperimen yang secara langsung
berkaitan dengan syaraf, otot, hati, kulit dan
ginjal manusia.
Organ-organ ini tidak berhubungan dengan raga
manusia. Sebagaimana disimpulkan oleh ilmuan ini
bahwa bagian-bagian ini atau organ-organ ini dapat
berlanjut hidup hampir secara pasti sepanjang
dirawat secara proporsional, dan selama organ-organ
ini dilindungi dari interaksi-interaksi negatif
dengan dunia luar seperti mikroba-mikroba dan
penghalang-penghalang lainnnya yang dapat merintangi
perkembangan organ-organ ini.
Terlebih, penegasan yang dibuat oleh para ilmuan
tersebut bahwa sel-sel dapat tumbuh secara normal di
bawah kondisi-kondisi tersebut, dan pertumbuhan
tersebut adalah secara langsung berkenaan dengan
tersedianya makanan secara proporsional.
Kembali, menjadi tua tidak memiliki pengaruh
terhadap organ-organ ini, dan mereka tumbuh setiap
tahunnya tanpa ada tanda-tanda ketuaan. Para ilmuan
itu menyimpulkan bahwa organ-organ ini akan tetap
tumbuh sepanjang kesabaran para ilmuan itu tidak
habis, yang menyebabkan mereka meninggalkan proses
pemberian makanan.
Akhirnya, lantaran kita telah menerima Tuhan, apakah
di luar kekuasaannya untuk tetap menjaga dan
memelihara seseorang untuk tetap hidup sesuai dengan
kehendak-Nya?
Orang-orang yang ragu terkadang bertanya: "Apa
faidahnya seorang pemimpin yang tidak dapat dilihat?"
Mari kita jawab pertanyaan ini dengan mengajukan
pertanyaan lain: Apakah mesti bagi seseorang harus
dilihat untuk dapat menjadi penting dan bermanfaat,
atau menerima bimbingan darinya? Dapatkah Anda
melihat Tuhan?
"Dan Allah berfirman bahwa Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang
lurus."
(Qs. Al-Baqarah [2]: 142)
Dari hadis-hadis yang dinukil di atas, cukup jelas
bahwa keberadaan bumi sendiri bergantung kepada
kehadiran seorang Imam di muka bumi. Wujudnya dalam
masa ghaibah tidak merubah situasi dan
keadaan.
Dunia mengambil manfaat dan keuntungan dari Imam
dalam masa ghaibah persis seperti ia
mengambil manfaat dari matahari yang tersembunyi di
balik gugusan awan.
Sekarang poin yang lain yang perlu dijelaskan dan
diterangkan pada tingkatan ini adalah mengapa ghaibah? Mengapa khalifah terakhir dan pamungkas
Rasulullah Saw tersembunyi dari pandangan masyarakat
dan kapan ia menunjukkan dirinya?
Terdapat banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ini dan jawaban yang paling sederhana adalah sebagai
berikut:
1. Kegaiban Imam merupakan sebuah ujian bagi
orang-orang beriman bagi para pengikutnya,
sebagaimana Musa gaib selama 40 hari dari para
pengikutnya. Kegaiban ini merupakan sebuah ujian
bagi para pengikutnya. (silahkan rujuk al-Qur'an
surah ke-7 ayat 42) (Dalam konteks ini,
perhatikan bahwa sebuah ujian dari Tuhan
sebenarnya kenyataan bagi kita sendiri adalah
sebagai saksi, selain dari itu Tuhan memiliki
pengetahuan atas segala sesuatu).
2. Kegaiban Imam adalah untuk menjaga mereka
dari kejahatan para oppresor dan tiran dunia.
Imam al-Mahdi As akan segera datang bilamana
masyarakat telah siap sedia untuk menyambut
kedatangannya. Masyarakat sepanjang sejarah
tidah pernah siap sedia. Mereka membunuh para
nabi dan para imam, secara bergiliran satu
dengan yang lainnya. Namun, Allah tetap mengirim
para nabi hingga akhirnya Dia mengutus Muhammad
Saw yang membawa risalah terakhir pada masa akal
manusia mencapai masa balighnya dan kemudian
Allah membekali mereka dengan agama yang paling
lengkap dan pamungkas. Setelahnya tidak ada lagi
keperluan untuk mengutusi dan mengirim risalah
baru.
Lalu Dia mengutus para penjaga, pembimbing, pemberi
petunjuk (para imam) yang memelihara dan menjelaskan
risalah kepada masyarakat. Akan tetapi para penindas
dan tiran di antara masyarakat tetap membunuh para
imam. Situasi dan kondisi ini terus berlanjut hingga
pada masa dimana masyarakat menyadari bahwa mereka
membutuhkan seorang imam yang ditunjuk oleh Tuhan
yang memerintah mereka.
Ketika keadaan ini terjadi secara universal, dan
tatkala orang-orang menjadi frustrasi dan kecewa
dari segala jenis dan model "dosa" dan mengangkat
tangan mereka untuk meminta tolong, kemudian
orang-orang akan menjadi siap sedia menyambutnya.
Imam al-Mahdi As akan datang ketika segala jenis
ideologi diuji dan gagal. Pada saat masyarakat
menyadari bahwa mereka tidak memiliki solusi sejati
untuk mengatasi segala problema yang mereka hadapi,
dan mereka akan menerima solusi yang ditawarkan dan
diberikan oleh Imam al-Mahdi As.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya,
mayoritas ulama dan ahli hadis Sunni, dalam
menimbang hadis-hadis yang melimpah dari Nabi Saw,
percaya kepada al-Mahdi persis sebagaimana
kepercayaan dan keyakinan Syiah. Jika kita ingin
membuat senarai dari para ahli hadis ini, senarai
akan menjadi panjang. Kami akan memilih lima dari
hadis-hadis tersebut:
·
Sulayman al-Qandozi al-Hanafi, dalam kitabnya,
"Yanabi'
al-Mawaddah".
·
Abu Abdullah Muhammad ibn Yusuf Ganji, asy-Syafi'i,
dalam "Al-Bayan fi Akhbar Sahib az-Zaman" and
"Kifayah al-Talib".
·
Shaikh Nuruddin Ali ibn Muhammad ibn Sabbagh al-Maliki,
dalam "Al-Fusûl al- Muhimmah".
·
Ibn Arabi (Muhyuddin) al-Hanbali, in his book "Al-Futûhat
al-Makkiyah".
·
Sibt ibn al-Jawzi, dalam kitabnya "Tadzkirat al-Khawwas".
Mazhab Sunni memiliki empat mazhab fiqih - Maliki,
Hanafi, Syafi'i, Hanbali – dinamakan setelah empat
imam mereka, Malik, Abu Hanifa, Syafi'i and Ahmad
bin Hanbal. Perhatikan keseluruh empat mazhab Sunni
telah terwakilkan pada kutipan dan nukilan di atas.
Hal ini mengindikasikan bahwa kepercayaan terhadap
al-Mahdi As adalah bersifat universal di kalangan
kaum Muslimin.
Sibt ibn al-Jawzi (yang dikutip di atas) menulis
ihwal Imam Keduabelas sebagai berikut:
"Gelar (Imam al-Mahdi) adalah Abu Abdullah dan Abul
Qasim. Ia merupakan khalifah terakhir Nabi Saw. Ia
merupakan Imam Pamungkas Ahlulbait. Ia merupakan hujjah (al-Hujjah) Tuhan di muka bumi. Ia
merupakan Tuan dari masa (Shâhib az-Zaman).
Ia adalah insan yang dinantikan (al-Muntazhar).
Kembara Perdana:
Yunus bin Ya'qub meriwayatkan:
Aku bersama Abu Abdillah (Imam Ja'far al-Sadiq As,
khalifah keenam Nabi Saw) ketika seorang Suriah
datang kepadanya. Ia berkata: "Aku adalah seorang
alim dalam bidang Kalam, Fiqih, dan hukum-hukum
waris. Aku datang untuk berdebat dengan para
pengikutmu."
"Apakah ilmu Kalam yang engkau miliki adalah berasal
dari Nabi Saw atau dari dirimu sendiri? Tanya Abu
Abdillah As.
"Sebagian dari Nabi Saw dan sebagian dari diriku
sendiri," jawab orang itu.
"Kalau begitu engkau adalah mitra Nabi Saw?" Tanya
Abu Abdillah As.
"Tidak," Jawabnya.
"Apakah engkau pernah mendengar ilham langsung dari
Tuhan?"
"Tidak," Jawabnya.
"Apakah ketaatan kepadamu diharuskan sebagaimana
ketaatan kepada Nabi Saw?"
"Tidak," jawabnya.
Abu Abdillah memalingkan wajahnya kepadaku dan
berkata: "Yunus bin Ya'qub, orang ini telah
menentang dirinya sendiri sebelum ia memulai (perkara
yang sesunguhnya) diskusi. Kemudian ia berkata: "Yunus,
jika engkau ahli dalam ilmu Kalam, engkau harus
berdiskusi dengannya."
Betapa sedihnya kala itu, karena aku berkata
kepadanya: "Semoga aku menjadi tebusanmu, aku pernah
mendengar bahwa Anda melarangku (ikut serta) dalam
perdebatan ilmu Kalam dan Anda berkata: Celakalah
para teolog yang berkata jalan ini yang benar dan
jalan itu yang keliru; hal ini termasuk dan hal itu
tidak termasuk; kita menerima hal ini sebagai
rasional dan tidak menerima hal itu sebagai rasional."
"Aku hanya berkata," tutur Abu Abdillah As, "Celakalah
mereka, jika mereka meninggalkan apa yang aku
katakana dan memenuhi keinginan mereka sendiri."
Lalu ia berkata kepadaku: "Keluarlah dan carilah
orang-orang yang pandai ilmu Kalam dan bawa mereka
kemari."
Aku beranjak keluar dan mendapatkan Humran bin A'in
yang mahir dan ahli dalam ilmu Kalam dan Muhammad
bin al-Nu'man al-Ahwal (juga dikenal sebagai Mu'min
Taq), yang merupakan seorang teolog, dan Hisyam bin
Salim dan Qays bin al-Masir, keduanya merupakan
teolog. Aku membawa mereka kepadanya. Setelah ia
meminta kami duduk dalam majelis – kami berada di
dalam kemah Abu Abdillah di puncak sebuah gunung di
pinggir kota Mekkah dan pada hari itu adalah
hari-hari sebelum hari ziarah haji – Abu Abdilllah
mengeluarkan kepalanya dari kemah tersebut. Di luar
tiba-tiba muncul seekor unta melenggang berwibawa.
Ia berseru, "Demi Tuhan Ka'bah, Hisyam!"
Kami berpikir bahwa orang itu adalah Hisyam, salah
seorang putra Aqil, sosok yang sangat mencintainya,
namun lihatlah, orang itu adalah Hisyam bin al-Hakam
yang datang. Wajahnya masih belum jenggotan. Seluruh
orang yang hadir di tempat itu adalah lebih tua
darinya. Abu Abdillah As mempersilahkan ia masuk dan
berkata: "(Ini dia) orang yang akan menolong kita
dengan hati, lisan dan tangannya."
Ia berkata kepada Humran, "Berdebatlah dengan orang
itu." – yang dimaksud adalah orang Syam. Humran
berdebat dan berhasil mengalahkannya. Lalu Imam
berkata, "Wahai Taqku, berdebatlah dengannya," lalu
Muhammad bin al-Nu'man berdebat dengannya dan
berhasil mematahkan argumen orang itu. Lalu ia
berkata: "Hisyam bin Salim, berdebatlah dengannya."
Lalu keduanya adu argumentasi. Abu Abdillah As mulai
tersenyum melihat perdebatan mereka berdua lantaran
orang Syam itu mencari jalan untuk lari dari
perdebatan. Ia berkata kepada orang Syam itu,
"Berdebatlah dengan kacung ini," – yang dimaksud
adalah Hisyam bin al-Hakam.
"Iya," jawab orang Syam itu dan berkata, "Wahai
kacung, Tanyakanlah ihwal imamah orang ini" –
yang dimaksud adalah Abu Abdillah As.
Hisyam gregetan marah namun kemudian berkata,
"Kisanak, apakah Tuhanmu memelihara
makhluk-makhluknya atau mereka sendiri yang mengurus
diri mereka?"
"Tentu saja," jawab orang Syam itu, "Tuhanku
memelihara makhluk-makhluk-Nya."
"Apa yang Dia lakukan untuk memelihara agama mereka?"
"Dia memberikan tugas kepada mereka dan membekali
mereka dengan hujjah dan bukti atas segala sesuatu
yang Dia tanyakan dari mereka. Dia menghilangkan
segala kelemahan yang mungkin mereka miliki."
"Apa bukti yang telah Dia ajukan untuk mereka?"
Tanya Hisyam kepadanya.
"Bukti itu adalah Nabi Saw," jawab orang Syam itu.
"Bukti apa setelah Nabi Saw?"
"Kitab dan Sunnah."
"Apakah Kitab Suci dan Sunnah memberikan manfaat
kepada ktia dengan segala perbedaan yang ada
sehingga ikhtilaf yang ada dapat dihilangkan dan
kita mampu mencapai kata sepakat?" Tanya Hisyam.
"Iya," jawab orang Syam itu.
"Kalau begitu kami berbeda denganmu." Tukas Hisyam,
"sehingga engkau datang dari Syam untuk berdebat
dengan kami? Engkau mengklaim penilaian pribadi
merupakan metode agama sementara engkau ketahui
bahwa penilaian pribadi tidak membawa orang yang
berbeda pendapat kepada satu doktrin."
Orang Syam itu terdiam sejenak seolah-olah berpikir.
Kemudian Abu Abdillah As bertanya kepadanya,
"Mengapa engkau tidak mendebatnya?"
"Jika aku berkata: Kami tidak berbeda," jawabnya,
"Aku hanyalah seorang yang berkepala batu. Jika aku
berkata: Kitab Suci dan Sunnah dapat menghilangkan
ikhtilaf yang terdapat di antara kita, aku melakukan
kesalahan keduanya memuat intepretasi yang berbeda.
Namun, aku dapat menggunakan argumen yang sama dalam
menyanggahnya."
"Kalau begitu, bertanyalah kepadanya," kata Abu
Abdillah kepadanya, "Engkau akan dapatkan ia sebagai
orang yang kompeten. "
Lalu orang Syam itu bertanya kepada Hisyam, "Siapa
yang memelihara makhluk-makhluk-Nya, Tuhan mereka
atau mereka sendiri?"
"Tentu saja Tuhan mereka memelihara mereka," jawab
Hisyam.
"Apakah Dia mengutus seseorang bagi mereka yang
mengharmoniskan doktrin mereka, menghilangkan
ikhtilaf yang ada dan menjelaskan yang benar dari
yang salah kepada mereka?" tukas orang Syam itu.
"Iya," jawab Hisyam.
"Siapa gerangan dia?" Tanya orang Syam itu.
"Pada masa-masa awal diturunkannya syariah, adalah
Nabi Saw akan tetapi selepas Nabi Saw, ada orang
lain yang menjalankan tugas tersebut."
"Siapa lagi selain Nabi Saw, yang menggantikan
posisinya sebagai hujjah Tuhan di muka bumi?"
Tanya orang Syam itu.
"Sekarang atau sebelumnya?" Hisyam bertanya.
"Pada masa sekarang ini," jawab orang Syam itu.
"Orang yang duduk di sini," kata Hisyam – yang
dimaksud adalah Abu Abdillah." Ia adalah orang yang
engkau tuju; ia adalah orang yang mewartakan kepada
kita ihwal langit dan merupakan pewaris dari ayah
dan datuknya."
"Bagaimana aku dapat memiliki pengetahuan tersebut?"
Tanya orang Syam itu.
"Bertanyalah kepadanya apapun yang terlintas dalam
benakmu," kata Hisyam kepadanya.
"Engkau telah menyanggah setiap argumenku namun kini
aku memiliki sebuah pertanyaan," orang Syam itu
mengumumkan.
"Aku akan mengatakan apa yang ingin engkau katakan."
kata Abu Abdillah As kepadanya. "Aku akan ceritakan
ihwal perjalanan dan muhibahmu. Engkau berangkat
pada hari ini dan hari itu. Jalan yang engkau lalui
seperti ini dan seperti itu. Engkau melintasi orang
ini dan orang itu."
Setiap saat ia berkata sesuatu kepadanya tentang
dirinya, orang Syam itu akan berkata, "Benar, demi
Allah." Lalu orang Syam itu berkata kepadanya, "pada
saat ini aku telah berserah diri (aslamtu)
kepada Tuhan. "
"Bahkan pada saat ini engkau telah beriman (amanta)
kepada Tuhan," kata Abu Abdillah As. Islam (berserah
diri kepada Tuhan) adalah sebelum iman (keyakinan
kepada Tuhan). Berdasarkan hal yang pertama diatur
ihwal warisan dan pernikahan; berdasarkan iman
manusia diberi ganjaran. "
"Benar," jawab orang Syam itu, "Pada saat ini aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah, dan engkau adalah (wasi
Tuhan) di antara orang-orang yang dipilih oleh
Allah."
[Kemudian, Imam mengomentari setiap jenis debat yang
diperagakan oleh para pengikutnya]
Ia berkata kepada Hisyam bin al-Hakam, ia berkata, "Hisyam
engkau hampir saja terjatuh, lantaran engkau
selitkan pada kakinmu (seperti seekor burung);
ketika engkua hendak jatuh, engkau terbang. Oleh
karena itu orang sepertimu seyogyanya berdebat
dengan masyarakat.
Kembara Kedua:
Hisyam bin Hakam merupakan seorang sahabat utama
dari Imam Keenam dan Ketujuh dan mendapatkan
perhatian atas kemahirannya berdebat dan berretorika.
Yunus bin Ya'qub meriwayatkan bahwa pada suatu hari,
orang-orang berkumpul di sekeliling Imam Keenam, di
antara orang-orang yang berada di samping Imam
Keenam adalah Humran bin A'in, Mu'min Taq (Muhammad
bin Ali bin Nu'man), Hisyam bin Salim, Hisyam bin
Hakam, dan sebagainya.
Imam berpaling kepada Hisyam bin Hakam dan berkata,
"Apa yang engkau katakan kepada Amr bin Ubaid?
Pertanyaan-pertanyaan apa yang engkau ajukan?"
Hisyam berkata, "Aku merasa malu membicarakannya
tentang hal tersebut di depan Anda, lidahku kelu dan
membisu."
"Mengapa engkau harus merasa malu ketika Aku sendiri
yang memerintahkanmu? Ceritakanlah peristiwa itu."
Hisyam memulai: "Aku mendengar bahwa Amr bin Ubaid
membincang permasalahan-permaslahan ilmiah di masjid
Basrah. Hari itu adalah hari Jum'at ketika aku tiba
di kota Basrah dan beranjak menuju masjid. Aku
melihat Amr bin Ubaid dikerumuni oleh masyarakat
sekitar. Aku melangkah maju dan mendekatinya yang
tengah dikerumuni oleh orang-orang dan berkata, "Wahai
orang yang berlimu dan bermakrifat, Aku adalah
seorang asing di tempat ini dan datang dari tempat
jauh. Izinkan aku mengajukan beberapa pertanyaan? "Silahkan,"
,jawab Amir."
Perbincangan tersebut berlangsung seperti demikian:
Hisyam: Apakah engkau memiliki mata?
Amr: Anak muda! Pertanyaan macam apa ini?
Bertanyalah sesuatu yang pantas.
Hisyam: Aku hanya akan mengajukan tiga pertanyaan
saja.
Amr: Baiklah! Bertanyalah dan aku akan menjawabnya,
kendati pertanyaanmu itu adalah pertanyaan konyol.
Hisyam: Apakah engkau memiliki mata?
Amr: Iya.
Hisyam: Apakah kegunaan mata tersebut?
Amr: Gunanya adalah untuk melihat aneka warna dan
beragam bentuk.
Hisyam: Apakah engkau memiliki hidung?
Amr: Iya.
Hisyam: Apakah kegunaan hidung tersebut?
Amr: Untuk mencium.
Hisyam: Apakah engkau memiliki mulut?
Amr: Iya.
Hisyam: Apakah kegunaan mulut tersebut?
Amr: Untuk mengecap makanan.
Hisyam: Apakah engkau memiliki akal dan pikiran?
Amr: Iya.
Hisyam: Apakah kegunaan akal dan pikiran?
Amr: Segala sesuatu yang aku rasakan melalui panca
indraku (kedua mata, hidung, mulut dan sebagainya)
aku mengenalinya melalui akal dan pikiranku.
Hisyam: Apakah panca indramu tidak membuat dirimu
terbebas dari akal dan pikiranmu?
Amr: Tidak.
Hisyam: Mengapa, ketika seluruh organmu utuh dan
lengkap?
Amr: Tatkala panca indramu menghadapi keraguan, ia
merujuk kepada akal untuk menghilangkan keraguan dan
menegaskan kebenaran.
Hisyam: Hal ini bermakna bahwa Tuhan telah
memberikan kita akal untuk menghilangkan segala
keraguan indra kita dan mewartakan kebenaran
kepadanya.
Amr: Iya, tentu saja.
Hisyam: Jadi kita bergantung pada akal kita dalam
keadaan apapun.
Amr: Iya.
Hisyam: Tuhan tidak membiarkan organ dan indra kita
tanpa seorang imam yang dapat menjelaskan dan
menerangkan keraguannya, tapi Tuhan yang sama telah
meninggalkan makhluknya di tengan keraguan mereka
dan tidak menetapkan imam bagi mereka yang dapat
menghilangkan segala keraguan dan menegaskan
kebenaran?
Amr terdiam beberapa lama, kemudian ia bertanya
keapda Hisyam, "Darimana gerangan engkau datang?
"Aku berasal dari Kufah," kata Hisyam.
"Barangkali engkau adalah Hisyam?"
Kemudian ia
mendudukkan Hisyam di tempatnya dan selama Hisyam
berada di tempat itu, ia menolak menjawab
pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang berada di
sekitarnya. Setelah beberapa lama Hisyam pergi.
Setelah Hisyam
mengisahkan peristiwa ini kepada Imam Ja'far ash-Sadiq
As, Imam tersenyum dan berkata, "Siapa yang
mengajarimu argumen ini?"
"Tidak seorang pun, Wahai Putra Rasulullah!" kata
Hisyam. "Hal itu datang begitu saja dalam benakku."
Imam berkata, "Demi Allah! Argumen ini disebutkan
dalam Mushaf Ibrahim dan Musa." (Rijal Kishi)
Kembara Ketiga:
Masih ingat tiga
pengembaraan yang kita jalani pada tingkatan pertama
dari perjalan kita? Kini kita melalui perjalanan ini
untuk menyingkap identitas sang bijak bestari yang
kita jumpai dalam pengembaraan tersebut. Kita jumpai
bahwa sang bijak bestari yang dijadikan sebagai
tempat rujukan adalah Ja'far ash-Shadiq As (702-765
M), khalifah keenam Nabi Muhammad Saw dan Imam
Keenam mazhab Syiah. Peristiwa-peristiwa yang
diungkapkan dalam pengembaran-pengembaran tersebut
adalah bersumber dari kitab "Bihar al-Anwar"
karya Majlisi, sebagaimana dinukil dalam buku "God
and His Attributes" karya Sayid Mujtaba Musavi
Lari.
TINGKATAN KELIMA
Kita menelusuri langkah-langkah kita hingga
tingkatan kedua dari pengembaraan kita ini, Keadilan
Tuhan. Dari sudut pandang ini, kita menukik pada
etape akhir dari pengembaraan dan perjalanan kita.
Tuhan adalah adil.
Keadilan Tuhan adalah sempurna dan tanpa cacat.
Keadilan tanpa cacat ini menandaskan bahwa
penciptaan kita memiliki sebuah tujuan (sebagaima
disebutkan sebelumnya). Petunjuk dan bimbingan telah
diutus keatas kita untuk menunjukkan jalan kepada
kita bagaimana memenuhi tujuan tersebut, dengan
mengenal Sang Pencipta dan menata hidup dan
kehidupan kita berdasar dan berasaskan titah dan
perintahnya.
Keadilan Tuhan juga
menegaskan bahwa seluruh manusia akan disidang dan
diadili seadil-adilnya suatu hari kelak, ihwal
seberapa jauh makhluk tersebut memenuhi tujuan
penciptaannya. Pengadilan akan berakhir dengan
mendapatkan jatah ganjaran atau hukuman, berdasarkan
niat dan perbuatan setiap manusia.
Camkan baik-baik hal
tersebut dalam benak, kini mari kita merenungkan
mata rantai sebab dan akibat.
Pikiran-pikiran yang
saya pikirkan, atau perbuatan-perbuatan yang saya
kerjakan, tidak sepenuhnya berasal dari diriku,
mandiri dari segala pengaruh eksternal. Tidak!
Terdapat pengaruh-pengaruh eksternal. Ayahku,
lingkunganku, teman bermainku, buku yang saya baca,
setiap orang – masing-masing dari hal ini telah
mempengaruhi cara saya berpikir dan jalan saya
bertindak. Sumber-sumber pengaruh ini secara
bergilir mendapatkan pengaruh dari faktor-faktor
yang lain. Dan demikian seterusnya. Dan tatkala
ketika Anda mengarahkan rantai ini ke arah yang
lain, pikiran dan tindakanku telah terpengaruhi,
dan boleh jadi akan mempengaruhi beberapa orang lain
yang melakukan kontak dan interaksi denganku.
Kemana semua hal ini berujung dan bermuara?
Hal ini menuntun kepada kenyataan bahwa bahkan jika
secuil aksi yang dilakukan akan mendapatkan
pengadilan dengan tingkat ketelitian dan akurasi
yang sangat tinggi, secuil aksi dan perbuatan harus
diadili dan disidang landasan apa yang melatari
perbuatan tersebut dan terjalin dalam sebuah
jaringan sebab dan akibat yang terangkum dalam
spektrum ruang dan waktu. Terhimpunnya jaringan ini
pada akhirnya akan mencakup seluruh umat manusia,
semenjak awal hingga akhir. Kalau hal ini tidak
dilakukan, pengadilan dan persidangan yang dijalan
ke atas diriku tidak akan berlangsung sempurna dan
komplit. Dan keadilan Tuhan adalah sempurna dan
komplit.
Dan seluruh hal yang tak terbantahkan ini
menunjukkan bahwa Hari Perhitungan harus ada – Hari
Perhitungan ketika seluruh insan yang mati bangkit
dan seluruh ciptaan Tuhan dikumpulkan bersama dan
setiap lembaran jaringan sebab dan akibat
mengelilingi mereka ditelusuri seluruhnya, dan
dengan demikian persidangan dan mahkamah dijalankan.
Banyak ayat-ayat al-Qur'an
dan Sunnah Nabi Saw berkisah ihwal Hari Kiamat (Ma'ad).
Kembara Perdana
:
Keadilan Tuhan, dan
keberadaan Hari Kiamat, yang meyiratkan adanya
kebebasan berkehendak di antara seluruh makhluk-Nya
(pada kesempatan mendatang kita akan mengulas secara
tuntas pembahasan Keadilan Tuhan, Kenabian, Imamah
dan Hari Kiamat secara filsofis dan rasional).
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh beberapa ayat
dari al-Qur'an yang tertuang dalam beberapa ayat
berikut ini:
·
"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.
Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya
pula."
(Qs. al-Zalzalah [99]:7-8)
·
"Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang
telah kamu kerjakan."
(Qs. an-Nahl [16]:93)
·
"Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama
mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka."
(Qs. ar-Ra'ad [13]:11)
·
"Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah
sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada
pada diri mereka sendiri."
(Qs. al-Anfal [8]:53)
DEBRIEFING
Kini kita tiba pada
penghujung pengembara Kalam kita ini, yang telah
membawa kita kepada lima teritori: Tauhid, Keadilan
Ilahi, Kenabian, Imamah dan Hari Kebangkitan
(Ma'ad). Kami berharap bahwa perjalanan ini
menarik dan berhasil menstimulir pikiran dan
memuaskan akal.
Sebagaimana disebutkan
pada awal-awal pengembaraan ini, pengembaraan ini
dikemas menjadi sebuah pengembaraan yang singkat.
jika Anda seorang pengembara musiman, dan ingin
menjelajah dan mengembara yang lebih jauh dan luas,
kami menyarankan untuk mengkaji buku-buku pegangan
di bawah ini sebagai buku pegangan utama yang akan
menemani Anda dalam pengembaran yang lebih jauh dan
luas: (seluruh buku ini tersedia dalam bahasa
Inggris dan sebagian telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia):
1."Nahjul Balagha", Nahjul Balagha,
Penerbit Lentera.
2."Fundamentals of Islam", karya Haji
Mirza Mehdi Pooya.
3."God and His Attributes", by Sayyid
Mujtaba Musavi Lari.
4."Some Discourses on Imam al-Mahdi" by
Ayatullah Baqir al-Sadr.
5."Then I Was Guided", (Akhirnya
Kutemukan Kebenaran) karya Dr Muhammad
Tijani.
6."The Voice of Human Justice", (Suara
Keadilan), Penerbit Lentera, karya George
Jordac.
.
Kutipan di atas diambil dari ucapan Dr
Bucaille's ihwal "Qur'an and Modern
Science", yang disampaikan di the
Commonwealth Institute, London, pada 14 Juni
1978.
No comments:
Post a Comment