أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Hakikat Kesempurnaan
Setiap hakikat yang maujud memestikan
totalitas dirinya, zatnya, dan sifat-sifatnya. Jadi, ketika kita
mengasumsikan hakikat A memiliki sifat-sifat seperti B dan C, maka
hakikat ini dalam zatnya meniscayakan bahwa A adalah tidak nâqish (kurang) dan nâqish
dari A itu sendiri tidak lain adalah bukan A itu sendiri, sementara
kita mengasumsikan bahwa ia adalah A. Dan demikian pula hakikat ini
mesti memiliki sifat-sifat seperti B dan C dari dimensi dirinya adalah
dirinya dan nâqish dari B dan C itu sendiri tidak lain bahwa
tidak tersifati B dan C, sementara kita mengasumsikan tersifati B dan C
dan bukan selain dari mereka. Ini adalah merupakan perkara yang sangat
jelas. Dan ini sesuatu yang merupakan kemestian setiap hakikat dalam
zatnya serta sifat-sifat yang dimilikinya, dan kita menamakan hakikat
ini dengan kesempurnaan.
Selanjutnya, hakikat setiap kesempurnaan
tidak lain adalah sesuatu yang dalam zatnya terkait dengan kait
ketiadaan. Jadi setiap kesempurnaan dalam zatnya memiliki hakikat
dirinya dan tidak ada sesuatu pun yang tak termiliki zatnya kecuali dari
sisi kait ‘adami (ketiadaan) yang secara daruri menyertainya.
Hakikat A, misalnya memiliki sesuatu yang
telah diasumsikan baginya, dan batas pemisah keberadaan sesuatu ini
dari A dengan sesuatu lainnya dari A hanyalah dikarenakan kait ketiadaan
mereka, dan dikarenakan kait ini maka masing-masing dari keduanya ini
tidak memiliki kekhususan sesuatu lainnya. Karena itu, bagi hakikat A
terdapat dua tingkatan: Pertama, tingkatan zatnya, dimana tidak ada sesuatu pun yang hilang dari zatnya dan kedua, tingkatan partikularisasinya, dimana dalam bentuk ini sesuatu akan hilang dari kesempurnaannya.
Dari uraian ini menjadi jelaslah bahwa
hakikat setiap kesempurnaan adalah bentuk absolutnya,
ketakbergantungannya, dan kepermanenannya. Dan kadar kedekatan setiap
kesempurnaan terhadap hakikatnya sebanding dengan kadar zuhur
hakikatnya pada kesempurnaan tersebut; yakni kedekatannya dinisbahkan
terhadap kait dan batas yang menjadi fokus tinjauan. Oleh karena itu,
setiap sesuatu yang kaitnya banyak maka zuhurnya sedikit dan sebaliknya, setiap sesuatu yang kaitnya sedikit maka zuhurnya adalah banyak.
Dari paparan ini menjadi jelaslah bahwa
Allah SWT merupakan hakikat akhir dan final setiap kesempurnaan,
dikarenakan Allah SWT adalah kesempurnaan sejati dan keindahan murni dan
kadar kedekatan setiap eksistensi dinisbahkan kepada-Nya adalah sekadar
batas dan kait ketiadaan yang menyertainya.
Demikian pula menjadi jelaslah bahwa wusulnya (sampainya) setiap eksistensi kepada kesempurnaan hakikinya, merupakan kemestian kefanaan dari eksistensi tersebut; sebab wusul kepada
kesempurnaan hakiki merupakan kemestian dari kefanaan dari kait dan
batas dalam zat atau dalam sifat-sifat. Yakni kefanaan setiap maujud
meniscayakan kebakaan hakikat maujud itu dengan sendirinya. Tuhan
berfirman: : “Semua yang ada (di bumi) akan fana (binasa). Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman [55], ayat 26-27)
Kesempurnaan Insani
Kesempurnaan hakiki setiap mumkinul wujud
adalah kefanaan mereka pada-Nya. Dan kesempurnaan hakiki bagi manusia
adalah pemutlakan, pelepasan diri dari seluruh kait-kait, dan memfanakan
diri pada-Nya. Dan bagi manusia tidak ada kesempurnaan sedikit pun
selain dari itu.
Sebagaimana dalam pengetahuan nafs dikatakan bahwa syuhud manusia pada zatnya tidak lain adalah zatnya itu sendiri dan ini adalah syuhud
seluruh hakikat-hakikatnya dan hakikat akhirnya. Dan ketika manusia
memfanakan dirinya, maka dia pada saat yang sama dalam keadaan fana,
juga menyaksikan dirinya. Dengan kata lain, hakikat dirinya tidak lain
adalah syuhud nafsnya dalam keadaan dia fana.
Jadi, kesempurnaan hakiki bagi manusia adalah wusulnya
kepada kesempurnaan hakiki dirinya dari sisi zat, sifat, dan perbuatan,
dimana ini adalah kefanaan zat, kefanaan sifat, dan kefanaan perbuatan
pada Haq SWT yang diibaratkan dengan tauhid zat, tauhid sifat, dan
tauhid perbuatan (ketiga tauhid ini diungkapkan dengan ungkapan laa ilaaha illallah wahdahu, wahdahu, wahdahu). Maqam ini merupakan hasil dari syuhud
manusia dimana dia menemukan bahwa tidak ada satu pun zat, sifat, dan
perbuatan kecuali bagi Haq SWT dengan tanpa masalah ini berakhir kepada hulul (inkarnasi) dan penyatuan, karena Tuhan Yang Maha Suci niscaya bersih dan suci dari kedua perkara ini.
Oleh karena itu, jalan yang paling dekat bagi manusia untuk wusul
kepada kesempurnaan hakiki adalah jalan makrifat nafsnya dan jalan
makrifat nafs ini merupakan jalan penjauhan dan pelepasan diri dari
selain Tuhan dan berpaling secara totalitas kepada-Nya.
Menapak Jalan Kesempurnaan
Jika seseorang mendapatkan syuhud nafsnya maka niscaya dia akan menemukan syuhud Tuhannya (sesuai hadits: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu). Dan ini merupakan jalan yang terbaik bagi wilayat dan bagi syuhud jamal (keindahan) serta jalal (keagungan) Allah SWT.
Jika manusia ingin menyaksikan dirinya,
jalannya adalah membawa dirinya kepada kepapaan dan kefakiran. Dan
ketika dia telah membawa dirinya kepada kepapaan dan kefakiran maka dia
tidak lagi akan bertumpu pada dirinya dan tidak juga bersandar kepada
orang lain. Tapi perlu diketahui bahwa jalan ini tidak mungkin dapat
dilewati kecuali dengan tauhid. Bahkan pada hakikatnya, jalan wilayat
adalah jalan tauhid. Cara menapaki jalan ini adalah, ketika manusia
menemukan dirinya fakir sejati dan menyaksikan dirinya rabt
(hubungan, relasi, nisbah) murni; bukan suatu zat yang memiliki rabt
maka saat itu dia menemukan bahwasanya Tuhan Yang Maha Suci adalah
ketidakbutuhan (kaya) murni; bukan suatu zat yang memiliki
ketidakbutuhan, dan ketidakbutuhan itu bukanlah sifat yang datang dan
beraksiden kepada-Nya (Wahai manusia! Kamu adalah maujud-maujud
fakir di hadapan Allah dan Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji;
petikan bebas dari salah satu ayat Al-Quran).
Sedemikian hingga manusia mesti
menyaksikan kefakiran murni dirinya dan bukan zat yang memiliki
kefakiran; sebab jika dia adalah zat yang memiliki kefakiran dan
kefakiran ini adalah sifat niscaya baginya, dan karena sifat tidak
berada dalam tingkatan yang disifati (zat yang disifati) maka kemestian
dari ini bahwa manusia dalam maqam zat insan tidaklah fakir. Dan jika
kefakiran tidak punya jalan kepada zat maka zat tersebut adalah kaya dan
berdiri sendiri; sementara manusia secara zat adalah budak dan hamba
Tuhan serta kefakiran murni. Oleh karena itu, ketika manusia menyaksikan
zatnya yang sedemikian ini maka dia akan melihat bahwasanya perbuatan
dan tindakannya fana dalam fâ’il (pelaku) yang mandiri, yakni
Allah SWT. Selanjutnya baginya menjadi jelas bahwa maujud-maujud yang
lainnya juga demikian, tidak ada satu pun di antara mereka yang memiliki
kemandirian. Dan karena mereka tidak mempunyai kemandirian maka fi’il
(perbuatan) mereka juga fana dalam perbuatan Allah SWT. Dengan
demikian, manusia dengan makrifat seperti ini niscaya tidak akan berani
melakukan perbuatan-perbuatan buruk, maksiat, dan dosa. Kata urafa, alam ini seluruhnya adalah mazhar (manifestasi) Tuhan maka janganlah berbuat dosa dan maksiat dalam mazhar Tuhan.
Dan dikarenakan maksiat serta dosa akarnya kembali kepada kekurangan dan ketakberpunyaan, yakni tidak membutuhkan mabda (sumber,
pangkal) zati maka maksiat dan dosa tidak memiliki sandaran kepada
Tuhan Yang Maha Suci dan tidak berakhir kepada Zat Maha Suci Tuhan.
Dengan demikian tersisa perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna.
Dan perbuatan-perbuatan wujudi, baik, dan sempurna ini merupakan
kekhususan dan terbatas hanya bagi Allah SWT, Zat Yang Maha Kaya.
Sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya
bahwa maksiat dan dosa akarnya kembali kepada kekurangan dan kefakiran,
yakni tidak membutuhkan mabda zati, karena itu maksiat dan
dosa tidak memiliki sandaran kepada Tuhan Yang Maha Suci dan tidak
berakhir kepada Zat Maha Suci Tuhan. Sebaliknya perbuatan-perbuatan
wujudi, baik, dan sempurna merupakan kekhususan zat suci Haq SWT dan
terbatas hanya bagi Allah SWT sebagai satu-satunya Zat Yang Maha Kaya
dan Maha Sempurna, karena itu setiap perbuatan baik yang muncul dari
setiap pelaku mesti fana dalam perbuatan Tuhan dan ini merupakan asas
dari tauhid perbuatan.
Tauhid perbuatan, yakni seseorang
mencapai kedudukan dimana dia memandang seluruh perbuatan-perbuatan baik
dari setiap pelaku, semuanya fana dalam perbuatan Tuhan. Seseorang,
ketika mencapai kedudukan ini, dia akan mengizinkan dirinya berkata,
seluruh alam berada di bawah naungan rububiyyah Rabbul ‘Alamin.
Dirinya, perbuatannya, dan sifat-sifatnya, semuanya merupakan kisah dan
lukisan dari perbuatan dan sifat-sifat perbuatan Tuhan. Dan dia
menyaksikan maujud-maujud lainnya beserta sifat dan perbuatan mereka
juga seperti demikian. Oleh karena itu, ketika dia melihat perbuatannya
fana dalam perbuatan Tuhan dan menyaksikan (musyahadah)
perbuatan pelaku-pelaku lainnya juga fana dalam perbuatan Tuhan, niscaya
dia tidak akan bersandar kepada dirinya dan kepada orang lain. Dia
telah mencapai maqam dimana dia melepaskan segala bentuk sandaran,
termasuk kepada dirinya sendiri dan melihat tidak ada sama sekali
sandaran kecuali bersandar kepada Allah SWT. Dia telah melepaskan
dirinya dari kekurangan ini (bersandar kepada diri dan kepada yang lain
selain Tuhan) dan mencapai tingkatan hanya bersandar kepada Haq SWT.
Ketika telah lewat dari tauhid perbuatan,
yakni fananya seluruh perbuatan dalam perbuatan Tuhan, seseorang akan
sampai pada tauhid sifat, yakni fananya sifat pada sifat Tuhan.
Seseorang, ketika dia belum sampai pada penyaksian sifatnya dan
sifat-sifat maujud-maujud lainnya fana dalam sifat-sifat Tuhan maka pada
hakikatnya dia bukan seorang muwahhid (orang bertauhid)
hakiki. Sebab jika Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna dan sifat-sifat
itu tidak terbatas maka tidak ada tempat bagi sifat lainnya di samping
sifat tak terbatas tersebut, meskipun sifat itu terbatas. Jika Tuhan
memiliki ilmu dan ilmu itu tidak terbatas maka tidak bisa dikatakan lagi
bahwa di samping ilmu tak terbatas Tuhan terdapat ilmu-ilmu maujud
lainnya, kendatipun ilmu-ilmu itu adalah terbatas.
Pemikiran yang memandang ilmu Tuhan tidak
terbatas dan ilmu maujud-maujud lainnya terbatas atau ilmu Tuhan
mandiri dan ilmu maujud-maujud lainnya bil-ghair (bergantung
kepada yang lain); adalah suatu pemikiran yang tidak benar; sebab jika
terdapat suatu ilmu yang berhadapan dengan ilmu Tuhan, meskipun ia
terbatas, pada hakikatnya ia telah membatasi ilmu Tuhan. Padahal jika
suatu ilmu tidak terbatas maka ia dengan sendirinya tidak menyisakan
ruang sama sekali bagi keberadaan ilmu lainnya. Karena tidak terbatas,
yakni tidak berakhir dan bertepi. Jika sesuatu tidak terbatas dan tidak
berakhir maka ia tidak mempunyai batas dan akhir dimana kita dapat
mengatakan ini ilmu Tuhan dan ini ilmu selain-Nya. Oleh karena itu,
ketika sifat Tuhan dilihat tidak terbatas maka seluruh sifat-sifat mesti
juga disaksikan fana dalam sifat-sifat Tuhan. Ini adalah fananya
sifat-sifat dalam sifat-sifat Tuhan yang disebut tauhid sifat.
Ketika seseorang dalam tingkatan sifat telah muwahhid,
dimana dia menyaksikan seluruh sifat-sifat fana dalam sifat-sifat Haq
SWT, dia akan beranjak menuju tahap yang lebih tinggi, yakni tauhid zat.
Dalam tahap ini, dia telah mencapai batin alam dan batin agama. Dan
dari batin ini dia juga menyaksikan batin dan kedalaman lain, dimana
tidak lain adalah fana zati, yakni dia menyaksikan tidak ada
satupun zat yang mandiri dan tidak satupun eksistensi yang terpisah. Dia
melihat serta menyaksikan seluruh zat dan eksistensi fana dalam zat dan
eksistensi murni, sebab jika eksistensi Tuhan adalah eksistensi yang
tidak terbatas maka niscaya tidak ada lagi asumsi bahwa terdapat
eksistensi-eksistensi lain yang berhadapan dengan eksistensi tak
terbatas tersebut, apakah mereka itu terbatas ataukah tidak terbatas.
Sebagaimana asumsi terdapat dua eksistensi tidak terbatas adalah suatu
asumsi yang tidak benar maka asumsi terdapat satu eksistensi tidak
terbatas dan eksistensi lainnya terbatas juga adalah asumsi yang salah;
sebab sesuatu yang tidak terbatas niscaya ia tidak menyisakan lagi suatu
kekosongan dimana sesuatu lain yang terbatas mengisi kekosongan
tersebut. Ketika itu dia menyaksikan seluruh eksistensi-eksistensi fana
dalam eksistensi mutlak Hak SWT, seperti gambar-gambar cermin yang
menampakkan dan memperlihatkan eksistensi pemilik zat. Oleh karena itu,
seluruh alam adalah alamat dan ayat-ayat Ilahi. Dan ketika nafs sampai pada kedudukan ini maka tauhid zat telah menjadi bagiannya, yakni ia menyaksikan seluruh zat dan eksistensi fana dalam zat Haq SWT dan ini disebut dengan fana zati. Dan nafs yang sampai pada tahap ini telah sampai pada paling tingginya sair wilayat
(perjalanan wilayat) dan penyaksian, sebab ia tidak melihat lagi
dirinya dan yang lain, ia hanya menyaksikan satu zat dan itu hanya Haq
SWT.
Fana zati tidak bermakna bahwa
manusia hancur dan lenyap, sebab kehancuran, ketiadaan, dan kelenyapan
adalah kekurangan, bukan kesempurnaan; sementara paling tingginya
tingkatan wilayat insani adalah fana zati dan ini
adalah puncak kesempurnaan yang dapat diraih oleh seorang manusia dalam
perjalanan suluknya kepada Haq SWT. Oleh karena itu, fana zati,
yakni ia tidak melihat suatu zat kecuali zat suci dan agung Tuhan. Ia
tidak melihat dirinya, sifatnya, dan perbuatannya, serta ia tidak
melihat irfan dan kemurnian perjalanan suluknya. Sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Sina tentang hal ini, barang siapa menginginkan irfan
untuk irfan maka ia pada hakikatnya telah berpandangan (adanya
keberadaan dan tujuan) yang kedua.
Seorang pesuluk yang telah mencapai muwahhid
dan tauhidnya telah sempurna, dia tidak hanya tidak melihat sesuatu
yang lain, tetapi lebih dari itu dia tidak melihat dirinya dan irfannya,
yang dia lihat hanya ma’ruf (yang dikenal) dan tidak ada yang lain.
Parameter Jalan Menuju Kesempurnaan
Jika kita meneliti kandungan ayat-ayat
Al-Quran dan kandungan riwayat-riwayat manusia suci (Maksumin) serta
mempunyai kontemplasi dan perenungan yang cukup terhadap mereka, maka
kita akan mendapatkan kebenaran masalah ini bahwa ukuran dan parameter
pahala dan dosa, balasan pahala dan siksa akhirat tidak keluar dari
ketaatan dan ‘inad (penentangan) terhadap perintah dan larangan
Tuhan. Jadi sesuatu yang menjadi keniscayaan ajaran dari Al-Quran dan
riwayat adalah, dosa-dosa yang keluar dari anak dan cucu Adam, hatta itu
dosa besar, jika keluarnya dosa-dosa tersebut dikarenakan ketiadaan
pengetahuan dan terjadi dikarenakan kejahilan murni maka mereka itu
tidak akan menyebabkan balasan siksa bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah
dan perbuatan yang dilakukan jika tidak dimaksudkan untuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Tuhan dan taat kepada-Nya maka
pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan membuahkan pahala. Kecuali
ketaatan-ketaatan dan perkara-perkara yang merupakan kemestian secara
zat dari ketundukan dan kepatuhan kepada Haq SWT dimana bentuk ketaatan
dan perkara ini akan mendapatkan pahala, seperti sebagian dari
keutamaan-keutamaan akhlak mulia.
Demikian pula pekerjaan dosa yang
dilakukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang
keberdosaan dalam melakukan pekerjaan itu maka ia tidak patut dicela
dan dipandang buruk, tapi seseorang yang mengerjakan perbuatan ketaatan
dengan maksud penentangan dan mempermainkan hak Tuhan maka perbuatannya
itu tidak kosong dari celaan dan keburukan. Oleh karena itu, ukuran
ketaatan dan maksiat seseorang secara bergradasi dilihat dari tingkat
makrifatnya terhadap ketaatan dan penentangan yang dilakukannya. Dalam
riwayat terdapat hadis yang menyebutkan, paling utamanya amal adalah
paling susahnya (dalam mengerjakannya). Dan mizan serta ukuran yang
dihukumi akal terhadap pahala dan dosanya suatu perbuatan adalah
makrifat dan kepatuhan kepada Haq SWT serta makrifat dan penentangan
kepada-Nya.
Dari paparan di atas dapat diketahui
bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia baik di dunia dan terlebih di
akhirat tidak terlepas dari dua perkara tersebut, yakni ketaatan dan inad;
karena itu kepatuhan dan penentangan secara esensial dan bergradasi
memiliki medan yang sangat luas. Dan dari pendekatan ini jelaslah bagi
kita juga bahwa kebahagiaan bagi orang beragama hak (baca; orang muslim)
adalah kesempurnaannya. Adapun mutlak kebahagiaan itu sendiri tidak
terbatas bagi orang beragama hak, akan tetapi orang-orang lain juga akan
mendapatkannya dengan syarat memiliki jiwa ketaatan dan kepatuhan
kepada Haq SWT serta bersih dari sifat penentangan dan inad terhadap-Nya.
Dan ini adalah sesuatu yang dihukumi akal dan terdapat dalam matlab
syariat. Sebab syariat itu sendiri menegaskan perkara-perkara yang akal
hukumi secara rasional dan argumentatif. Sebagaimana dalam hadis dinukil
bahwa Nabi SAW bersabda: “Saya diutus untuk menyempurnakan makârim
akhlak”. Demikian juga terdapat dalam riwayat bahwa Hâtim Thâii
dikarenakan kedermawanannya maka dia tidak akan mendapatkan azab,
sedangkan si fulan dikarenakan keadilannya maka dia tidak akan disiksa.
Kebanyakan ayat-ayat Al-Quran menjanjikan
azab dan siksa bagi orang-orang yang telah sampai dalil dan penjelasan
kebenaran kepada mereka serta hujjah kebenaran telah sempurna bagi
mereka tetapi mereka tetap melakukan penentangan dan pembangkangan
terhadapnya. Dan Al-Quran juga memandang kekafiran itu berkaitan dengan
pembangkangan dan penentangan terhadap kebenaran ayat-ayat Tuhan: “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.” Di samping itu Al-Quran memandang satu-satunya ukuran kebahagiaan dan penderitaan, yaitu kebersihan jiwa dan kesucian hati: “Pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Cara ini adalah cara yang ditarbiyahkan
oleh para nabi dan seluruh agama-agama Ilahi, dan tujuan capaian jalan
ini adalah mutlak kesempurnaan insani di mana ia merupakan teori dan
pandangan para filosof dan urafa Ilahi.
Makrifat Nafs, Jalan Syariat Islam
Jalan syariat Islam dalam meraih
kesempurnaan dan kebahagiaan insani (sebagaiman telah diisyaratkan pada
paparan-paparan sebelumnya) adalah makrifat kepada Tuhan dengan jalan
makrifat kepada nafs, di mana jalan ini merupakan paling dekatnya jalan
dan paling sempurnanya natijah yang akan dicapai; sebab jalan
ini merupakan paling kuat dan kokohnya jalan dalam membangun dan
membentuk manusia menjadi manusia paripurna. Oleh karenanya ayat-ayat
Al-Quran dan riwayat serta sunnah maksumin menjadikan titik perhatian
jalan ini. Dengan berbagai bahasa dan ungkapan, manusia diajak kepada
jalan lempang dan lurus ini, Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang
yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Mahateliti terhadap apa yang
kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa Allah,
sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah
orang-orang fasik.” Ayat ini merupakan penjelasan yang
menggambarkan kebalikan dari sabda Rasulullah SAW yang telah disebutkan
sebelumnya: “Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia
mengenal Tuhannya.” Yakni, apabila orang melupakan Tuhan maka niscaya
dia akan melupakan dirinya sendiri. Sementara jika orang mengenal
dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya.
Perlu diketahui bahwa salah satu
implikasi dari pengenalan diri yang akan membawa kepada pengenalan Tuhan
adalah mengetahui hak Tuhan dan mengetahui tugas serta kewajibannya
sebagai hamba-Nya. Dan salah satu dari kewajiban hamba kepada Tuhan
adalah mematuhi segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Seluruh bangunan akidah, hukum, sosial, politik, ekonomi, dan lainnya
dalam Islam, serta akhlak sosial dan individual, semuanya bertujuan
untuk menyempurnakan manusia. Oleh karenanya menaati dan mematuhinya
akan membersihkan dan menyempurnakan nafs manusia serta membawa manusia
kepada kebahagiaan. Sebaliknya, menentang dan melanggarnya akan
mendegradasikan jiwa manusia dan menyeret manusia kepada penderitaan
akhirat. Bersedekah dan berinfak sebagai salah satu wujud perbuatan
sosial dan ekonomi Islam memiliki efek kepada nafs manusia. Sebagaimana
dijelaskan oleh naql bahwa bersedekah dan berinfaklah supaya
nafs kamu terbersihkan. Karena itu, pada hakikatnya seluruh bangunan
syariat Islam adalah jalan untuk memsucikan jiwa dan menyempurnakan
manusia.
Di dalam kitab Gurarul Hikam wa Durarul Kalim yang menyebutkan kalimat-kalimat qishâr Imam Ali, terdapat sekitar 22 hadis yang mengungkapkan tentang makrifat nafs, di antaranya: “Orang
pintar dan cerdik adalah orang yang mengenal dirinya dan ikhlas (untuk
Tuhan) dalam amal serta perbuatannya”, “Orang arif adalah orang yang
mengenal nafsnya dan membebaskannya serta mensucikannya dari segala yang
menjauhkannya (dari Tuhan)”, “Paling tingginya hikmah adalah
pengetahuan manusia pada nafsnya”, “Makrifat pada nafs adalah paling
bermanfaatnya dua makrifat.”
Allamah Thabathabai mengatakan dalam
Tafsir Al-Mizan, secara zahir maksud dari Para Imam dari dua makrifat
adalah makrifat terhadap ayat-ayat anfusi dan ayat-ayat afaqi, di mana Tuhan berfirman: “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di
segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Tuhan adalah hak. Tidak cukupkah untuk jelasnya kebenaran
Tuhanmu bahwa Dia hadir dan syahid atas segala sesuatu?”
Dengan melakukan perenungan dan kontemplasi terhadap ayat-ayat anfusi dan âfaqi
akan membawa kita kepada pengenalan kepada Tuhan, dimana ini akan
berimplikasi kepada pemahaman akan kehidupan abadi manusia yang dapat
mendidik manusia untuk meraih kesempurnaan akhlak dan insaniah. Di
samping itu, untuk mendapatkan kesempurnaan mesti berpegang kepada
keyakinan tauhid, nubuwwah, dan maad. Maka peran agama hak dan syariat
Ilahi dalam membimbing manusia dalam meraih kesempurnaan dan kebahagiaan
sangatlah urgen dan dalam menapaki jalan hidayah ini, kedua jalan,
yakni jalan anfusi dan âfaqi sangatlah berpengaruh dan
bermanfaat dalam mengantarkan manusia kepada agama, keimanan, dan
ketakwaan, namun berjalan pada jalan ayat-ayat anfusi lebih bermanfaat. Sebab berjalan pada jalan anfusi akan memberikan hasil makrifat hakiki dan hakikat makrifat.
Sebagian ulama berpandangan bahwa
pengenalan nafs sebagai kait kepada pengenalan Tuhan (Barang siapa yang
mengenal dirinya maka sungguh dia mengenal Tuhannya) adalah suatu
perkara yang mustahil, sebab pengenalan Tuhan merupakan perkara
mustahil; jadi pengenalan nafs juga adalah perkara yang tidak mungkin.
Akan tetapi hadis di atas dan lahiriah hadis-hadis yang dikatakan Imam
Ali dalam kalimat qisharnya menolak pandangan ini. Dan demikian pula sabda Nabi SAW lainnya yang menyatakan, “Paling arifnya kamu terhadap nafsnya adalah yang paling arifnya kamu kepada Tuhannya.”
Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa makrifat kepada Tuhan, bukanlah
suatu perkara mustahil (maksudnya makrifat dengan perantara ilmu
hushuli, bukan hudhuri dan syuhudi) dan dalam batas kemungkinan manusia
mengenal-Nya, bukan pengenalan dan pengetahuan yang mencakup secara
sempurna kepada Tuhan, yang mana ini adalah perkara yang mustahil untuk
dicapai manusia. Oleh karena itu, pengenalan manusia kepada Tuhan
sebatas kemampuan manusia mengenal-Nya adalah suatu perkara mungkin dan
natijah dari ini adalah kemungkinan manusia juga mengenal nafsnya (dan
ini lebih mungkin lagi dan lebih terjangkau oleh fakultas makrifat
manusia, sebab nafs, kendatipun ia wujud non-materi tetapi ia adalah
wujud mumkin).
Jadi, jalan makrifat nafs merupakan
perkara mungkin bagi setiap orang dan ini juga merupakan jalan yang
disyariatkan Islam, sebagaimana dalil naqli dan aqli yang kita
ungkapkan. Dan karena jalan ini adalah jalan yang paling dekat untuk
sampai pada kesempurnaan maka sangat urgen untuk diketahui cara sayr dan
suluk pada jalan ini. Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana cara
sayr dan suluk pada jalan ini? Siapa yang dapat menunjukkan kepada kita
cara menapak pada jalan ini? Apakah berbagai cara dapat ditempuh dalam
menapak jalan ini? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang berhubungan
dengan masalah ini.
Ibadah dengan Jalan Syariat
Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan
sebelumnya, jelaslah bahwa kadar kesempurnaan seorang hamba sesuai
dengan kadar ketaatan dan kepatuhannya kepada syariat Ilahi. Dan perkara
kesempurnaan ini memiliki gradasi dan tingkatan-tingkatan derajat.
Sebagian ahli sayr dan suluk menyatakan
bahwa meninggalkan sayr suluk syariat dan beralih kepada riyadah-riyadah
yang berat merupakan suatu bentuk pelarian dari sayr suluk yang lebih
sulit kepada yang lebih mudah!? Sebab mematuhi syariat itu sendiri
merupakan suatu bentuk mematikan nafs secara berkesinambungan dan
berangsur-angsur. Dan selama nafas masih ada maka selama itu juga mesti
riyadah-riyadah syar’i dijalankan. Akan tetapi riyadah-riyadah berat
(dimana syariat tidak mengizinkannya) terhitung sebagai mematikan nafs
secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur, karena itu bentuk riyadah
ini lebih pendek, lebih mudah, dan lebih sedikit pengorbanannya.
Singkat matlab, syariat tidak melepaskan jalan sayr dan suluk dari jalan nafs dan makrifat terhadapnya.
Di dalam hadis Maksumin disebutkan bahwa terdapat tiga bentuk ibadah hamba: Pertama, hamba beribadah dikarenakan menginginkan surga, kedua, hamba beribadah dikarenakan takut dari neraka, ketiga, hamba beribadah semata-mata dikarenakan untuk Tuhan, tidak karena takut dari neraka dan tidak karena menginginkan surga.
Dari ketiga bentuk ibadah yang disebutkan
dalam hadis tersebut, selain bentuk ketiga, kedua bentuk lainnya
ditinjau dari aspek tujuan untuk mendapatkan kemudahan dan terbebas dari
azab maka tujuan akhirnya juga terhitung sebagai hasil dari keinginan
nafsâni manusia. Oleh karena itu, arah dan tujuan ibadah kepada Tuhan
dalam bentuk seperti ini, hanya dikarenakan untuk memenuhi keinginan
nafsâni. Dalam ibadah ini manusia menjadikan Tuhan sebagai perantara
untuk mencapai keinginan-keinginan nafsâni dirinya. Karena itu, ditinjau
dari dimensi ini maka perantara sebagaimana ia perantara, tidak akan
pernah menjadi maksud dan tujuan secara zat. Ia hanya akan menjadi
maksud dan tujuan secara aksiden.
Hakikat ibadah seperti ini tidak lain
merupakan pengejewantahan ibadah syahwat nafsâni, karenanya hanya ibadah
bentuk ketiga, yakni ibadah murni untuk Tuhan yang dapat dihitung
sebagai ibadah hakiki dan menjadi jalan sayr suluk para nabi-nabi Tuhan
serta para wali-wali-Nya. Di dalam kitab suci Al-Quran diisyaratkan: “Katakanlah
(Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.” Dalam hadis Maksumin diriwayatkan: “Barang siapa
mencintai Allah Azza wa Jalla maka niscaya Allah mencintainya; dan
barang siapa yang dicintai Allah, niscaya dia berada di antara
orang-orang aman.”
Dinukil dalam kitab Manaqib bahwa
Rasulullah SAW sedemikian menangis hingga sampai pingsan. Kemudian
mereka berkata kepada Nabi SAW, Wahai Rasulullah! Bukankah Tuhan telah
mengampuni seluruh dosa-dosa kamu yang telah lalu dan akan datang?!
(maksudnya ini semua tangisan untuk apa?) Nabi SAW lantas berkata,
Apakah tidak ada aku sebagai hamba yang bersyukur ?!….
Sebenarnya, kembalinya syukur dan
kecintaan itu hanya kepada satu hal, sebab syukur itu sendiri tidak lain
adalah pujian terhadap sesuatu yang indah sebagaimana ia indah. Oleh
Karena itu, ibadah murni tidak lain merupakan perhatian yang
sungguh-sungguh dan merendah serendah-rendahnya dalam berhadapan dengan
Allah SWT, sebab hanya Dia yang secara zat Maha Indah dan Maha Agung.
Jadi hanya dengan ini ibadah kepada-Nya dapat menjadi maksud dan tujuan
bagi diri-Nya, bukan untuk maksud dan tujuan selain-Nya. Sebagaimana
difirmankan-Nya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Mahabbah Kepada Tuhan
Mahabbah dan kecintaan memiliki
pengertian yang dalam dan penuh makna di dalam relung jiwa setiap
pemiliknya. Ia bermakna kenyataan sempurna dan realitas keindahan serta
keterpesonaan. Ia menjadi penyebab terciptanya hubungan mesra dan
harmoni antara muhib (pecinta) dengan mahbub
(dicintai). Karena itu, mahabbah merupakan wasilah bagi terjalinnya
hubungan antara setiap pencari dan tujuan akhir, antara setiap murid
dengan muradnya. Setiap pecinta mendapatkan daya tarik kepada yang
dicintainya sehingga dia dengan perantara pertemuan (wusul) dengan mahbub (yang dicintai) menemukan hakikat keterpesonaan dan kefanaan.
Orang yang meyakini eksistensi pemilik
keindahan mutlak, amat sangat kecintaannya kepada-Nya dan hatinya
senantiasa terikat serta terpaut terhadap-Nya.
“Dan di antara manusia ada orang yang
menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai
seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
cintanya kepada Allah.”
Orang mukmin, hatinya terikat kepada
Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai pusat perhatian dan kecintaannya.
Para penyembah berhala menjadikan berhala-berhalanya sebagai teman
sejatinya dan kecintaannya. Akan tetapi kecintaan orang-orang mukmin
kepada Tuhan adalah lebih sangat dibandingkan kecintaan para penyembah
berhala terhadap berhala-berhala mereka. Sebab, tidak ada keindahan
seukuran kesempurnaan keindahan Tuhan dan tidak ada makrifat sempurna
seukuran kesempurnaan makrifat kepada-Nya. Dan orang mukmin adalah orang
yang paling arif (mengetahui) tentang keindahan dan kesempurnaan.
Karena itu, orang mukmin adalah orang yang paling pecinta terhadap
pemilik keindahan dan kesempurnaan mutlak.
Kecintaan tidak memiliki ukuran
kuantitatif, kendatipun ia mempunyai tingkatan-tingkatan kualitatif. Ia
memiliki gradasi keberadaan sesuai dengan derajat kecintaan itu sendiri.
Sebab itu keistimewaan dan keutamaan kecintaan orang mukmin kepada
Tuhan dibandingkan kecintaan penyembah berhala terhadap berhalanya
dikarenakan; berhala (apapun bentuknya, termasuk syahwat hawa nafsu),
kendatipun ia indah tapi keindahannya sebatas penglihatan dan pandangan
atau sebatas keindahan imajinasi dan fantasi. Mempersepsi keindahan
seperti ini dengan perantara indera dan imajinasi serta pengaruhnya
sebatas alam penginderaan atau sebatas alam imajinasi dan fantasi. Oleh
karena itu, mereka yang tenggelam dalam kecintaan berhala pada
hakikatnya mereka yang tidak mempunyai kedalaman makrifat tentang alam
realitas dan eksistensi. Mereka hanya mempunyai pengetahuan terhadap
alam ini sebatas penginderaan, imajinasi, dan fantasi. Dan tentu saja
persepsi keindahan mereka tidak akan melampaui batas-batas makrifat
mereka terhadap alam realitas dan eksistensi tersebut. Karenanya mereka
tidak akan pernah sampai pada kedalaman hakikat realitas dan eksistensi.
Adapun orang-orang mukmin tidak hanya
memandang dengan penglihatan inderawi yang efeknya sebatas efek alam
tabiat, atau memandang dengan pandangan imajinasi dan fantasi yang
efeknya sebatas efek alam mitsali, tetapi mereka juga memandang
dari jalan akal yang memiliki kesempurnaan efek lebih dari kedua alam
tersebut. Maka dari itu pandangan orang-orang mukmin terhadap alam
realitas dan eksistensi jauh lebih kuat dan lebih sempurna dari
pandangan para penyembah berhala dan ini tentu saja melahirkan kecintaan
yang lebih kuat mereka kepada Tuhan ketimbang kecintaan penyembah
berhala terhadap berhala-berhala mereka.
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Kesimpulannya, jika mahabbah dan
kecintaan seseorang kepada dunia dan akhirat atau kepada Tuhan dan
selain Tuhan adalah sama maka ia sebenarnya bukanlah seorang mukmin;
sebab orang seperti ini tidak memiliki makrifat sempurna tentang alam
realitas dan eksistensi. Padahal makrifat itu sendiri merupakan landasan
fundamental mahabbah dan kecintaan terhadap sesuatu.
Nizhami, di akhir cerita Laila dan Majnun
menuturkan: Laila, di akhir-akhir hayatnya mengalami sakit dan
kesegarannya perlahan-lahan pupus. Ia mewasiatkan kepada ibunya,
sampaikan pesanku kepada Majnun dan katakan kepadanya: Jika ia ingin
memilih kekasih maka janganlah memilih teman dan kekasih sepertiku,
dimana dengan satu sakit seluruh kesegarannya akan punah; ambillah teman
yang selamanya tetap langgeng dan tidak akan pernah musnah.
Oleh karena itu, makrifat akan memberikan
kecintaan hakiki dan kelalaian serta ketidaktahuan akan memberikan
kecintaan palsu dan imitasi.
Makrifat, Ibadah, dan Kecintaan
Orang-orang mukmin hakiki memandang
eksistensi ini memiliki ketunggalan dan keesaan. Mereka memandang
realitas hanya milik eksistensi Tuhan beserta asma-Nya dan tajalli-Nya.
Sebab sebagaimana dalil membuktikan bahwa tidak mungkin ada eksistensi
lain selain eksistensi maha sempuna dan absolut Tuhan. Jika ada
eksistensi lain, kendatipun ia wujud mungkin dan bergradasi rendah,
selama ia diyakini memiliki hakikat dan realitas maka selama itu ia
menjadi pembatas dari kesempurnaan absolut eksistensi Tuhan. Dan ini
menyalahi statemen kesempurnaan tak terbatas dan absolut eksistensi
Tuhan.
Ibadah kepada Tuhan tidak mungkin
terealisasi secara maksimum dan sempurna tanpa dibarengi dengan makrifat
yang sempurna kepada-Nya. Kendatipun ibadah itu sendiri juga merupakan
mukaddimah dan persiapan untuk meraih makrifat yang lebih sempurna
terhadap-Nya, tetapi untuk merealisasikan ibadah hakiki dibutuhkan
perjalanan makrifat. Karena itu, ibadah dan makrifat memiliki hubungan
saling meniscayakan satu sama lainnya, sebagaimana dinukil riwayat dari
Ismail bin Jabir dimana Imam Shadiq bersabda : Ilmu dan amal saling
meniscayakan satu sama lain; maka barangsiapa yang mengetahui dan
mengamalkannya maka niscaya dia akan mendapatkan ilmu. Dan juga hadis
dari Rasulullah SAW : Barangsiapa mengamalkan apa yang dia ketahui maka
Allah akan merezekikan kepadanya ilmu terhadap perkara yang belum
diketahuinya.
Dari kedua hadis tersebut di atas dapat
diketahui dengan jelas bahwa ibadah mesti dilaksanakan berdasarkan
makrifat sehingga ia dapat menciptakan ilmu dan makrifat yang lebih
dalam dan hakiki. Dan sebaliknya makrifat yang hakiki dapat mengantarkan
pada ibadah yang hakiki pula.
Firman Tuhan: “Barangsiapa
menghendaki kemuliaan maka (ketahuilah) kemuliaan itu semuanya milik
Allah. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan baik, dan amal shaleh akan
mengangkatnya.”
Demikian juga persepsi akal akan
menguatkan statemen kita tentang kecintaan. Yakni kadar kecintaan dan
keterikatan kepada sesuatu akan melahirkan kadar perhatian terhadapnya.
Dan perhatian yang diejawantahkan dalam bentuk amal perbuatan akan
menguatkan ilmu dan kecintaan.
Perlu diketahui bahwa dari ketiga
kategori di atas; makrifat, ibadah, dan kecintaan, maka yang prinsipil
dan asalah adalah makrifat. Sebab makrifatlah yang menjadi landasan
ibadah dan kecintaan. Semakin dalam dan hakiki makrifat maka semakin
hakiki ibadah dan kecintaan. Dan sebagaimana disinggung sebelumnya,
untuk mendapatkan makrifat dibutuhkan pergerakan afaqi (di luar nafs) dan pergerakan anfusi (dalam nafs). Pergerakan afaqi adalah memikirkan, merenungkan, dan memandang kepada maujud-maujud afaqi (maujud-maujud di luar nafs manusia) seperti ciptaan dan karya Tuhan di langit dan di bumi; sehingga pergerakan afaqi
ini membuahkan keyakinan kepada Tuhan, asma, dan perbuatan-Nya. Sebab
maujud-maujud, efek-efek, dan makhluk-makhluk ini membuktikan keberadaan
pengadanya Yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa.
Adapun pergerakan anfusi adalah
merujuk kepada nafs dan mengenal Tuhan dari jalannya; sebab nafs
ditinjau dari segi keberadaan adalah tidak mandiri secara murni dan
mengetahui maujud mandiri yang menjadi penegaknya tidak bisa dipisahkan
darinya.
Kesimpulannya, untuk mencapai tujuan ini terdapat dua jalan; pergerakan afaqi dan pergerakan anfusi. Dan sebagaimana dijelaskan sebelumnya pergerakan anfusi atau maktrifat nafs adalah lebih utama dari pergerakan afaqi; sebab pengetahuan terhadap maujud-maujud afaqi ditinjau
ia sebagai alamat dan efek Tuhan hanya akan membuahkan ilmu husuli
terhadap wujud Tuhan dan sifat-sfat-Nya. Dan ilmu seperti ini hanya
berhubungan dengan qadiyah yang memiliki subyek dan predikat dan
keduanya tidak lain hanyalah mafhum atau komprehensi. Untuk menjelaskan
masalah ini lebih jauh dibutuhkan uraian dan penjelasan filsafat yang
bukan tempatnya di sini.
Adapun makrifat nafs, natijahnya adalah
makrifat hakiki; sebab seseorang yang ingin memusatkan perhatiannya
kepada Tuhan dan meninggalkan setiap apa yang menjadi penghalang yang
menyibukkan dirinya kepada selain Tuhan, ia mesti menyibukkan diri
terhadap makrifat nafs sampai ia menyaksikan (dengan jalan musyahadah)
bahwa nafsnya secara zat butuh kepada Tuhan. Dan barangsiapa yang
mencapai maqam seperti ini, ia menyaksikan dirinya tidak terpisahkan
dari menyaksikan penegaknya, yakni Tuhan. Dengan demikian ia akan
mengenal Tuhan dengan makrifat badihi dan jelas.
Tidak diragukan bahwa setiap orang secara
fitrah menginginkan kesempurnaan sejati dan keindahan hakiki dan jalan
untuk menggapai tujuan ini tidak lain adalah makrifat, ibadah, dan
kecintaan kepada eksistensi pemilik kesempurnaan dan keindahan absolut.
Dengan pergerakan anfusi (makrifat nafs dan sayr suluk),
manusia selangkah demi selangkah akan bergerak menuju tingkatan
kesempurnaan insani dan menjadi manusia sempurna atau insan kamil. Dan
orang yang mencapai maqam ini layak diseru oleh Al-Quran dengan, “Wahai
jiwa (nafs) yang tenang ! Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang
ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku
dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
No comments:
Post a Comment