أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Habibunal mahbub al Habib Munzir Bin Fuad AlMusawa
Assalamualaikum wr wb,
Habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf
Jika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.
Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat.
Amin.
Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bil Faqih
HABIB ABDULLOH BIL FAQIH
Habib Abdullah bin ‘Abdul Qadir
bin Ahmad BalFaqih al-’Alawi adalah ulama yang masyhur alim dalam ilmu
hadits. Beliau menggantikan ayahandanya Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad
BalFaqih sebagai penerus mengasuh dan memimpin pesantren yang diasaskan
ayahandanya tersebut pada 12 Rabi`ul Awwal 1364 / 12 Februari 1945 di
Kota Malang, Jawa Timur. Pesantren yang terkenal dengan nama Pondok
Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pesantren
ini telah melahirkan ramai ulama yang kemudiannya bertebaran di segenap
pelusuk Nusantara. Sebahagiannya telah menurut jejak langkah guru
mereka dengan membuka pesantren-pesantren demi menyiarkan dakwah dan
ilmu, antaranya ialah Habib Ahmad al-Habsyi (PP ar-Riyadh, Palembang),
Habib Muhammad Ba’Abud (PP Darun Nasyi-in, Lawang), Kiyai Haji ‘Alawi
Muhammad (PP at-Taroqy, Sampang, Madura) dan ramai lagi.
Bak Pinang Dibelah Dua
Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah.
Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah.
Masyarakat Malang dan
sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik,
sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah
bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul
Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak”
anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi ilmunya.
Ketika
menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam
Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia
memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak
tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits.
Beberapa
bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal
1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul
Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian
diberi nama Abdullah.
Sesuai
dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir
pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya
itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih
berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran.
Hal
itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja
sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak
sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing
dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan
semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin.
Menjelang
dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan
At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang,
kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul
Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga
pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri.
Sebagai
murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah
berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah
jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena
ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir
pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits.
Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain.
Tidak
hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah
hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut
perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby.
Empat Madzhab
Selain
dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf
dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia
mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi.
Setelah
ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H),
otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok
peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga
Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan
penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti
penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta
Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang.
Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor.
Sebagaimana
ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung.
Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama
menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik
yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian
dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri.
Sebagai
guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir
setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol
para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya
tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri.
Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika
sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke
dokter.
Seperti
halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan
kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa
tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq,
yang bathil tetap dikatakannya bathil.
Sikap
konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja
ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap
kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah
selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato
maupun tulisan.
Habib
Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media
cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah).
Habib Abdullah wafat pada hari
Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun.
Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah
dishalatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan
dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur.
Orator
ulung ini rajin menyampaikan taushiah di sejumlah majelis taklimdi
Indonesia. Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim Jindan, sang
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Tangerang, Banten
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal oleh kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya kini menginjak 30 tahun. Tapi reputasinya sebagai ulama dan mubalig sudah diakui oleh kaum muslimin di Indonesia. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis-majelis haul dan maulid yang digelar di berbagai tempat; seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung,Palembang, Pontianak, Kalimantan, hampir berbagai daerah di negeri ini sudah dirambahinya.
Bakatnya sebagai dai memang bukan tidak saja karena dia adalah cucudari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, "Singa Podium" dan seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906 - 1969. Dai yang satu ini memang sedari kecil telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius. Wajar, jika agamanya pun cukup mendalam. Wajah ulama muda yang saleh ini tampak bersih, tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan bin Syekh Abubakar, salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Habib Jindan bin Novel juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. "Ketika dia menerjemahkan taushiah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar," tutur seorang habib diJakarta.
Lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majlis taklim dan sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. "Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di
Jakarta oleh saya punya Abah, yakni Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur," kenang Bapak 5 anak (4 putri, 1 putri) ini kepada alKisah.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai mubalig yangtermasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. Pada umur dua tahun, ia bersama keluarganya tinggal di Pasar Minggu bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad (PasarMinggu).
Lepas itu, pada umur lima tahun ia juga pernah dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba'bud dan putranya, yakni Habib Ali bin Muhammad
bin Husein Ba’abud, tepatnya di kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). "Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama disana dibilang mengaji, tidak juga. Tapi berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang," ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur 6 tahun ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur, pria berkacamata ini mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah Madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti di Bungur.
Ia kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah di Madrasah Jami’atul
Kheir, Jakarta hingga tingkat Aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami'atul Kheir, banyak guru-guru yang mendidiknya seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, KH. Sabillar Rosyad, KH.Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada Habaib dan Ulama di Jakarta,seperti di Madrasah Tsagofah Islamiyah yang diasuh oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya Ust AbuBakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senin, Jakpus) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sore nya ia juga sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Taklim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majlis itu, banyak habaib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulakhela Ustadz Hadi Jawwas dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, sehingga ia banyak berjumpa para ulama-ulama dari mancanegara yang datang ke Kwitang, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan masih banyak lainnya.
Pada setiap hari Minggu pagi, ia selalu hadir di Kwitang bersama Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar tahun 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Minggu pagi. Pertemuan kedua terjadi terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jamiat Kheir. Saatitu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulakhela dan UstadzHadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki oleh Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar, kalau dirinya juga bermarga bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum dengan khasnya sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelas yang masih terkenangnya sampai sekarang.
Sejak itulah hatinya tergerak untuk belajar ke Hadramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, namun sayang, sang pembawa Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas) meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi salah satu saudaranya sakit. Hingga akhirnya dalam keputusasaan tersebut, tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan kalau Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Diantaranya yakni Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadramaut. "Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim, kami tinggal di rumah Habib Umar, " tuturnya.
Baru dua minggu di Hadramaut, pecah perang antar saudara di Yaman berkecamuk. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan Pondok, karena Habib Umar perang atau tidak perang, ia tetap mengajar murid-muridnya. Dampak perang saudara ini dirasakan oleh seluruh penduduk Yaman, dimana listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. "Terpaksa kita masak dengan kayu bakar," katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. "Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah," tambahnya.
Saat itu Darul Musthofa memang belum berdiri seperti sekarang, situasi yang serba terbatas. Walau pun situasi yang susah, itu sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran taklim selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis-majelis taklim yang biasa di gelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba'alwi, Taklim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadramaut), belajar Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, yakni Syeikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan dengan salah satugurunya itu. "Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar Beliau mengomel atau memaki-maki kita. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun," katanya.
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah, para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh masing-masing santri dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum, itu juga menjadi saling menasehati antar santri. Setelah satu tahun menjadi santri ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih 4 tahun, sekitar tahun 1998 ia pulang ke Indonseia bersama dengan rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa murid-muridnya. Perlu diketahui, angkatan pertama ini hampir 98% semua dari Indonesia, hanya dua - tiga orang dari santrisetempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkanacara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia oleh sang Abah diperintahkan untuk berziarahdengan para Habaib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor dan sekitarnya. Ada beberapa pendorong dan memberikan motivasi dirinya untuk berdakwah, seperti sang Ayahanda, Habib Novel bin Salim bin Jindan, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf dan Habib Anis Al-Habsyi.
Menurutnya; masukan, didikan, motivasi oleh sang Abah memang ia rasakan. "Ikhlaslah dalam berdakwah. Yang penting, apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati," kata Habib Jindan menirukan Abahnya. Habib Novel bin Salim bin Jindan (alm) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya yakni Habib Salim bin Jindan.Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yangtangguh.
"Kalau ceramah jangan terlalu panjang.Selagi orang lagi asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosen, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau disitu ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain". Sampai masalah akhlak dan sopan santun dengan semua orang diajarkan, itu kesan dan masukan dari Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan kepadanya.
Selain berceramah, ia bersama sang adik, Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan dan adik-adiknya yang lain sekarang waktuya banyak dicurahkan untuk mengasuh pondok pesantren Al-Fakhriyyah yang terletak di Jln. Prof. Dr. Hamka, Kp. Gaga, RT 001 RW 04 No. 1 Larangan Selatan, Ciledug.
Habib abdurrahman Bilfaqih Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fakhriyah, Tangerang, Banten
Wajah dai yang satu ini tentu sudah banyak dikenal oleh kalangan habaib dan muhibbin yang ada di Indonesia. Usianya kini menginjak 30 tahun. Tapi reputasinya sebagai ulama dan mubalig sudah diakui oleh kaum muslimin di Indonesia. Tidak saja di Jakarta, tapi juga di banyak majelis-majelis haul dan maulid yang digelar di berbagai tempat; seperti Gresik, Surabaya, Solo, Pekalongan, Tegal, Semarang, Bandung,Palembang, Pontianak, Kalimantan, hampir berbagai daerah di negeri ini sudah dirambahinya.
Bakatnya sebagai dai memang bukan tidak saja karena dia adalah cucudari Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, "Singa Podium" dan seorang pejuang dakwah di Betawi pada tahun 1906 - 1969. Dai yang satu ini memang sedari kecil telah tertempa dalam lingkungan pendidikan yang sarat religius. Wajar, jika agamanya pun cukup mendalam. Wajah ulama muda yang saleh ini tampak bersih, tutur katanya halus, dengan gaya berceramahnya enak didengar dan mengalir penuh untaian kalam salaf serta kata-kata mutiara yang menyejukan para pendengarnya. Seperti kebanyakan habib, ia pun memelihara jenggot, dibiarkannya terjurai.
Dialah Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan, putra Habib Novel bin Salim bin Jindan bin Syekh Abubakar, salah seorang ulama yang terkenal di Jakarta. Habib Jindan bin Novel juga dikenal sebagai penerjemah bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang andal. "Ketika dia menerjemahkan taushiah gurunya, Habib Umar bin Hafidz, makna dan substansinya hampir sama persis dengan bahasa aslinya. Bahkan waktunya pun hampir sama dengan waktu yang digunakan oleh Habib Umar," tutur seorang habib diJakarta.
Lahir di Sukabumi, pada hari Rabu 10 Muharram 1398 atau 21 Desember 1977, sejak kecil ia selalu berada di lingkungan majlis taklim dan sarat dengan pendidikan ilmu-ilmu agama. "Waktu kecil saya sering diajak ke berbagai majelis taklim di
Jakarta oleh saya punya Abah, yakni Habib Novel bin Salim bin Jindan. Dari situ saya mendapat banyak manfaat, antara lain berkah dari beberapa ulama dan habaib yang termasyhur," kenang Bapak 5 anak (4 putri, 1 putri) ini kepada alKisah.
Bisa dimaklumi, sebab ayahandanya memang dikenal sebagai mubalig yangtermasyhur pula. Pengalaman masa kecil itu pula yang mendorongnya selalu memperdalam ilmu agama. Pada umur dua tahun, ia bersama keluarganya tinggal di Pasar Minggu bersebelahan dengan rumah keluarga Habib Salim bin Toha Al-Haddad (PasarMinggu).
Lepas itu, pada umur lima tahun ia juga pernah dititipkan untuk tinggal di rumah Habib Muhammad bin Husein Ba'bud dan putranya, yakni Habib Ali bin Muhammad
bin Husein Ba’abud, tepatnya di kompleks Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien (Lawang, Malang). "Di Lawang, sehari-hari saya tidur di kamar Habib Muhammad Ba’bud. Selama disana dibilang mengaji, tidak juga. Tapi berkah dari tempat itu selama setahun saya tinggal, masih terasa sampai sekarang," ujarnya dengan senyum khasnya.
Menginjak umur 6 tahun ia ikut orangtuanya pindah ke Senen Bungur, pria berkacamata ini mengawali belajar di SD Islam Meranti, Kalibaru Timur (Bungur, Jakarta Pusat). Ia juga belajar diniyah pada sebuah Madrasah yang diasuh oleh Ustadzah Nur Baiti di Bungur.
Ia kemudian melanjutkan ke tingkat Tsanawiyah di Madrasah Jami’atul
Kheir, Jakarta hingga tingkat Aliyah, tapi tidak tamat. Selama di Jami'atul Kheir, banyak guru-guru yang mendidiknya seperti Habib Rizieq Shihab, Habib Ali bin Ahmad Assegaf, KH. Sabillar Rosyad, KH.Fachrurazi Ibrahim, Ustadz Syaikhon Al-Gadri, Ustadz Fuad bin Syaikhon Al-Gadri, dan lain-lain.
Sejak muda, sepulang sekolah ia selalu belajar pada Habaib dan Ulama di Jakarta,seperti di Madrasah Tsagofah Islamiyah yang diasuh oleh Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf dan putranya Ust AbuBakar Assegaf. Habib Jindan juga pernah belajar bahasa Arab di Kwitang (Senin, Jakpus) di tempat Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi dengan ustadz-ustadz setempat.
Selain itu pada sore nya ia juga sering mengikuti rauhah yang digelar oleh Majelis Taklim Habib Muhammad Al-Habsyi. Di majlis itu, banyak habaib dan ulama yang menyampaikan pelajaran-pelajaran agama seperti Habib Abdullah Syami’ Alattas, Habib Muhammad Al-Habsyi, Ustadz Hadi Assegaf, Habib Muhammad Mulakhela Ustadz Hadi Jawwas dan lain-lain.
Beruntung, karena sering berada di lingkungan Kwitang, sehingga ia banyak berjumpa para ulama-ulama dari mancanegara yang datang ke Kwitang, seperti Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Habib Ja’far Al-Mukhdor, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf dan masih banyak lainnya.
Pada setiap hari Minggu pagi, ia selalu hadir di Kwitang bersama Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan yang juga selalu didaulat berceramah. Sekitar tahun 1993, ia bertemu pertama kali dengan Habib Umar Hafidz di Majlis Taklim Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang) saat pengajian Minggu pagi. Pertemuan kedua terjadi terjadi saat Habib Umar bin Salim Al-Hafidz berkunjung ke Jamiat Kheir. Saatitu yang mengantar rombongan Habib Umar adalah Habib Umar Mulakhela dan UstadzHadi Assegaf.
Uniknya, satu-satunya kelas yang dimasuki oleh Habib Umar adalah kelasnya, padahal di Jami’at Kheir saat itu ada belasan kelas. Begitu masuk kelas, Ustadz Hadi Assegaf dari depan kelas memperkenalkannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz. Saat itu, Ustadz Hadi menunjuknya sambil mengatakan kepada Habib Umar, kalau dirinya juga bermarga bin Syekh Abu Bakar bin Salim, sama klannya dengan Habib Umar bin Salim Al-Hafidz.
Saat itulah Habib Umar tersenyum dengan khasnya sambil memandang Habib Jindan. Itulah perkenalan pertama Habib Jindan dengan Habib Umar Al-Hafidz di ruang kelas yang masih terkenangnya sampai sekarang.
Sejak itulah hatinya tergerak untuk belajar ke Hadramaut. Pernah suatu ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, namun sayang, sang pembawa Habib Bagir bin Muhammad bin Salim Alattas (Kebon Nanas) meninggal. Pernah juga ia akan berangkat dengan salah satu saudaranya, tapi salah satu saudaranya sakit. Hingga akhirnya dalam keputusasaan tersebut, tiba-tiba Habib Abdul Qadir Al-Haddad (Al-Hawi, Condet) datang ke rumahnya mengabarkan kalau Habib Umar bin Hafidz menerimanya sebagai santri.
Lalu ia berangkat bersama rombongan pertama dari Indonesia yang jumlahnya 30 orang santri. Diantaranya yakni Habib Munzir bin Fuad Al-Musawwa, Habib Qureisy Baharun, Habib Shodiq bin Hasan Baharun, Habib Abdullah bin Hasan Al-Haddad, Habib Jafar bin Bagir Alattas dan lain-lain. Ia kemudian belajar agama kepada Habib Umar bin Hafidz di Tarim, Hadramaut. "Ketika itu Habib Umar belum mendirikan Pesantren Darul Musthafa. Yang ada hanya Ribath Tarim, kami tinggal di rumah Habib Umar, " tuturnya.
Baru dua minggu di Hadramaut, pecah perang antar saudara di Yaman berkecamuk. Memang, situasi perang tidak terasa di lingkungan Pondok, karena Habib Umar perang atau tidak perang, ia tetap mengajar murid-muridnya. Dampak perang saudara ini dirasakan oleh seluruh penduduk Yaman, dimana listrik mati, gas minim, bahan makanan langka. "Terpaksa kita masak dengan kayu bakar," katanya.
Baginya, Habib Umar bin Hafidz bukan sekadar guru, tapi juga sumber inspirasi. "Saya sangat mengagumi semangatnya dalam berdakwah dan mengajar. Dalam situasi apa pun, beliau selalu menekankan pentingnya berdakwah dan mengajar. Bahkan dalam situasi perang pun, tetap mengajar. Beliau memang tak kenal lelah," tambahnya.
Saat itu Darul Musthofa memang belum berdiri seperti sekarang, situasi yang serba terbatas. Walau pun situasi yang susah, itu sangat mengesankan baginya. Dahulu para santri tinggal di sebuah kontrakan yang sederhana di belakang kediaman Habib Umar. Sedangkan pelajaran taklim selain diasuh sendiri oleh Habib Umar, para santri juga belajar di berbagai majelis-majelis taklim yang biasa di gelar di Tarim, seperti di Rubath Tarim, Baitul Faqih, Madrasah Syeikh Ali, mengaji kitab Bukhari di Masjid Ba'alwi, Taklim di Zawiyah Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad (Al-Hawi, Hadramaut), belajar Ihya di Zanbal di Gubah Habib Abdullah bin Abubakar Alaydrus, Zawiyah Mufti Tarim, yakni Syeikh Fadhal bin Abdurrahman Bafadhal dan lain-lain.
Selama mengaji dengan Habib Umar, ia sangat terkesan dengan salah satugurunya itu. "Beliau dalam mengajar tidak pernah marah. Saya tidak pernah mendengar Beliau mengomel atau memaki-maki kita. Kalau ada yang salah, ditegurnya baik-baik dan dikasih tahu. Selain itu, Habib Umar terkenal sangat istiqamah dalam hal apa pun," katanya.
Habib Jindan mengaku sangat beruntung bisa belajar dengan seorang alim dan orator ulung seperti Habib Umar. Memang Habib Umar mendidik santri-santrinya bisa berdakwah, para santri mendapat pendidikan khusus untuk memberikan taushiah dalam bahasa Arab tiap sehabis shalat Subuh masing-masing santri dua orang, walaupun hanya sekitar lima sampai sepuluh menit. Latihan kultum, itu juga menjadi saling menasehati antar santri. Setelah satu tahun menjadi santri ada program dakwah tiga hari sampai seminggu bagi yang mau dakwah berkeliling. Bahkan dirinya sudah mengajar untuk santri-santri senior pada akhir-akhir masa pendidikan.
Setelah selama kurang lebih 4 tahun, sekitar tahun 1998 ia pulang ke Indonseia bersama dengan rombongan Habib Umar yang mengantar sekaligus santri-santri asal Indoensia dan berkunjung ke rumah beberapa murid-muridnya. Perlu diketahui, angkatan pertama ini hampir 98% semua dari Indonesia, hanya dua - tiga orang dari santrisetempat. Untuk itulah, ia pulang seminggu terlebih dahulu, untuk mempersiapkanacara dan program kunjungan Habib Umar di Indonesia.
Saat pertama kali pulang, ia oleh sang Abah diperintahkan untuk berziarahdengan para Habaib sepuh yang ada di Jakarta, Bogor dan sekitarnya. Ada beberapa pendorong dan memberikan motivasi dirinya untuk berdakwah, seperti sang Ayahanda, Habib Novel bin Salim bin Jindan, Habib Hadi bin Ahmad Assegaf dan Habib Anis Al-Habsyi.
Menurutnya; masukan, didikan, motivasi oleh sang Abah memang ia rasakan. "Ikhlaslah dalam berdakwah. Yang penting, apa yang keluar dari hati akan sampai ke hati," kata Habib Jindan menirukan Abahnya. Habib Novel bin Salim bin Jindan (alm) memang dikenal sebagai orator ulung sebagaimana abahnya yakni Habib Salim bin Jindan.Wajarlah bila Habib Novel ingin putra-putranya menjadi dai-dai yangtangguh.
"Kalau ceramah jangan terlalu panjang.Selagi orang lagi asyik, kamu berhenti. Jangan kalau orang sudah bosen, baru berhenti, nanti banyak audiens kapok mendengarnya. Lihat situasi dan keadaannya, sesuaikan dengan materi ceramahnya dan waktu ceramahnya. Lihat, kalau disitu ada beberapa penceramah, kamu harus batasi waktu berceramah dan bagi-bagi waktunya dengan yang lain". Sampai masalah akhlak dan sopan santun dengan semua orang diajarkan, itu kesan dan masukan dari Abahnya, Habib Novel bin Salim bin Jindan kepadanya.
Selain berceramah, ia bersama sang adik, Habib Ahmad bin Novel bin Salim Jindan dan adik-adiknya yang lain sekarang waktuya banyak dicurahkan untuk mengasuh pondok pesantren Al-Fakhriyyah yang terletak di Jln. Prof. Dr. Hamka, Kp. Gaga, RT 001 RW 04 No. 1 Larangan Selatan, Ciledug.
Hampir seluruh waktu Habib Abdurrahman
Bilfaqih dipergunakan dijalan dakwah dan mengajar di pesantren. Memang
buah jatuh tidak jauh dari induknya. Sejal kecil, anak ketiga pasangan Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih
dan Syarifah Azizah Al-Jufri ini ( lahir pada 16 Desember 1972 ) di
didik orangtuanya di pesantren. Setelah agak besar, beliau melanjutkan
ke PP Darus Surur Kabupaten Bandung, dibawah asuhan Abuya Yahya, murid
tarekat Habub Abdul Qodir Bilfaqih, kakeknya, yang paling sepuh yang kini masih hidup.
Di pondok pesantren ini, Habib abdurrahman Bilfaqih belajar ilmu
agama dan tarekat dari tahun 1988- 1993. Di masa belajar itu, beliau
melangsungkan pernikahan dengan Syarifah Laila binti Utsman Alaydrus
pada tahun 1991 dan menetap dengan isterinya di dekat pondok pesantren.
Usai mondok di Darus Surur, beliau dan isterinya menetap di Indramayu,
kota asal isterinya. Namun setahun kemudian, Habib Abdurrahman
melanjutkan belajar lagi ke PP At-Tauhidiyyah Giren Talang Tegal, Jawa
Tengah, di bawah asuhan Syaikh Akhmad Said dan Syaikh Muhammad Khasani.
Beliau belajar disana selama lima tahun, 1994 - 2000."Saya tertarik
belajar di pesantren ini karena pesantren ini menitikberatkan pelajaran
tauhid. Pendirinya dulu, Syaikh Ubaidillah, sudah dikenal sebagai ahli
kajian tauhid, sehingga mendapat undangan Sayyid Ahmad Zaini Dahlan,
mufti Makkah pada abad ke-19, untuk bersama-sama membahas masalah
tauhid bersama para ulama Timur Tengah waktu itu," tuturnya. Selepas
belajar di Tegal, beliau dipanggil pulang ke Malang untuk memperkuat
Dewan Pengasuh PP Darul Hadits. Dewan Pengasuh terdiri dari semua anak
Habib Abdullah Bilfaqih, yaitu dua kakak lelakinya ( Habib Abdul Qodir dan Habib Muhammad
), baru kemudian dirinya dan dua adik perempuannya ( Syarifah Ummu
Hani dan Syarifah Khadijah ). Namun karena sehari-hari tinggal di
Indramayu,Jawa Barat, Beliau hanya beberapa hari datang ke Malang. Di
Indramayu, Habib Abdurrahman mengasuh pesantren, yang diberi nama
Ribath Rahmatul Muhammadiyah. Pondok pesantren yang beralamat di Jl.
Nyi Resik RT 01 RW 01 Sindang Indramayu, Jawa Barat. "Menjadi santri
disini gratis, yang penting bisa mencuci pakaian dan merawat kamarnya
sendiri," ujar ayah empat anak ini. Di pesantren itu, selain diajarkan
ilmu agama, juga diajarkan tarekat tingkat dasar. Dalam perjalanan
dakwahnya, Habib Abdurrahman mendapati, umat Islam sekarang kurang
memperhatikan pendidikan cinta dan mengikuti teladan Rosulullah SAW.
"Saya gambarkan, dulu di zaman Rosulullah masih hidup, para sohabat
cinta, tunduk, dan meneladani Rosulullah SAW. Mereka setiap hari bisa
bertemu junjungan mereka, dan mendengar pelajaran maupun bertanya
tentang hal yang mereka tidak ketahui. Namun bisakah kita sekarang
memposisikan diri sebagai para sahabat, yang setiap hari cinta, tunduk,
dan meneladani Rosulullah SAW dalam kehidupan kita sehari-hari? Kalau
kita ingin belajar dan bertanya , segeralah membaca A-lqur'an atau
Hadits, atau bertanya kepada para ulama yang mengetahui kedua sumber
Islam tersebut," katanya.Menurutnya, sikap seperti itu kini kurang
diajarkan para ustadz kepada santrinya. Karena itulah, kaum muslimin
sekarang memahami Islam sebagaimana dirinya dipengaruhi oleh budaya
sekitar. Mestinya, kaum muslimin memahami Islam sebagaimana para sohabat
mendapat bimbingan dari rosulullah SAW. " Apa yang kita petik dari
meneladani cara para sohabat belajar kepada Nabi Muhammad SAW ? Mereka
tidak ada satupun yang murtad hingga akhir hayatnya, dan hidup mereka
selalu diterangi cahaya Islam. Dan saya yakin, semuanya masuk
surga."Disamping mempelajari kitab kuning dan Tarekat Awaliyah, Habib
Abdurrahman juga menerapkan kepada santrinya, yaitu membiasakan mereka
berpuasa Senin Kamis, kemudian puasa Nabi Daud (sehari puasa sehari
tidak), dan terakhir puasa Dahr (puasa setiap hari,selain lima hari
terlarang-yaitu 'Idul fitri, Idul Adha, dan tiga hari setelah Idul Adha)
Puasa ini dengan tujuan untuk membersihkan hati dan menghindar dari
segala godaan yang sering muncul ketika kita tidak puasa.Selain menjadi
Ustadz di dua pesantren itu, Habib Abdurrahman masih menyempatkan diri
belajar lagi di luar negeri. Tepatnya, pada tahun 2003 beliau belajar
ke PP Darul Musthafa Tarim, yang di asuh oleh Habib Umar bin Hafidz.
"Belia hanya tabarukan, sebab disana hanya 40 hari saja. Selain itu,
beliau juga banyak berkunjung ke beberapa Habib sepuh, seperti
Al-Maghfurlah Sayyid Muhammad Al-Maliki, Al-Maghfurlah Habib Abdurrahman
Assegaf, Habib Zain bin smith, Habib Salim Asy-Syathiri, untuk
mendapatkan ijazah beberapa aurad Alawiyin. Tentu saja tidak hanya itu,
dengan mendekatkan diri kepada para Habaib dan Ulama, banyak ilmu dan
teladan yang diperoleh dari mereka. Setelah banyak belajar dari berbagai
guru, saatnya Habib Abdurrahman mengajarkan apa yang telah
didapatkannya. Selain memberikan kuliah umum kepada para santri Darul
Hadits Malang, beliau juga mengasuh Ribath di Indramayu dan berbagai
majlis ta'lim di berbagai kota.Pada malam Ahad pertama, pembacaan
manaqib di majlis ta'lim Habib Muhammad bin Abdurrahman Assegaf di
Indramayu. Sedang pada malam Ahad kedua, pembacaan kitab fiqih yang
diikuti ratusan jamaah. Ada juga jadwal di Bandung, yaitu pada malam
Selasa awal bulan. Kemudian di Jakarta, ada beberapa tempat. Pada Rabu
kedua setiap bulan di Masjid Al-Bahri di jl.D.I Panjaitan. Pada Kamis
malam di ribath yang terletak di Pondok Bambu. Belum lagi ta'lim yang
sifatnya undangan khusus yang diselenggarakan di beberapa kota di
Indonesia maupun luar negeri.
Istiqomah Berpuasa Dahr
Di tengah jadwal dakwah yang padat itu, Habib Abdurrahman
mengamalkan puasa Dahr. Kebiasaan itu sudah berjalan sejak lima tahun
lalu. Beliau merasa tidak berat, tetapi justru merasakan bahwa puasanya
itu semakin mendukung kesehatan ruhani dan jasmaninya. Beliau mengaku
tidak pernah terkena stres atau penyakit jasmani lainnya.
Habibunal mahbub al Habib Munzir Bin Fuad AlMusawa
Assalamualaikum wr wb,
Limpahan puji syukur kehadirat Allah swt yang selalu menjaga umat
Islam dengan mengutus waliNya di muka bumi agar selalu terpelihara umat
ini hingga akhir zaman,shalawat dan salam semoga Allah swt limpahkan
kepada junjungan Agung Sayyidina Muhammad saw yang diutus dan dibekali
ilmu langsung dariNya untuk diajarkan kepada seluruh manusia agar
terhindar dari kemusyrikan dan godaan setan yang lilaknat.
Sekilas kami akan menyajikan tentang karomah/keutamaan2 Guru kami
Habibunal mahbub al Habib Munzir Bin Fuad AlMusawa yang kami rangkum
dari orang terdekat beliau,agar menjadi pelajaran bagi kita dan makin
yaqinnya kita sebagai murid2nya dalam mengikuti arahan beliau.
Pernah ada seorang wali besar di Tarim, guru dari Guru Mulia
Almusnid alhabib Umar bin Hafidh, namanya Hb Abdulqadir Almasyhur,
ketika hb munzir datang menjumpainya, maka habib itu yg sudah tua renta
langsung menangis.. dan berkata : WAHAI MUHAMMAD...! (saw), maka Hb
Munzir berkata : saya Munzir, nama saya bukan Muhammad.., maka habib itu
berkata : ENGKAU MUHAMMAD SAW..!, ENGKAU MUHAMMAD.. SAW!, maka hb
Munzir diam... lalu ketika ALhabib Umar bin Hafidh datang maka segera
alhabib Abdulqadir almasyhur berkata : wahai umar, inilah Maula Jawa
(Tuan Penguasa Pulau Jawa), maka Alhabib Umar bin Hafidh hanya senyam
senyum.. (kalo ga percaya boleh tanya pada alumni pertama DM)lihat
kemanapun beliau pergi pasti disambut tangis ummat dan cinta, bahkan
sampai ke pedalaman irian, ongkos sendiri, masuk ke daerah yg sudah
ratusan tahun belum dijamah para da'i, ratusan orang yg sudah masuk
islam ditangannya, banyak orang bermimpi Rasul saw selalu hadir di
majelisnya,
Bahkan ada orang wanita dari australia yg selalu mimpi Rasul saw,
ia sudah bai'at dengan banyak thariqah, dan 10 tahun ia tak lagi bisa
melihat Rasul saw entah kenapa, namun ketika ia hadir di Majelis Hb
Munzir di masjid almunawar, ia bisa melihat lagi Rasulullah saw..maka
berkata orang itu, sungguh habib yg satu ini adalah syeikh Futuh ku, dia
membuka hijabku tanpa ia mengenalku, dia benar benar dicintai oleh
Rasul saw, kabar itu disampaikan pada hb munzir, dan beliau hanya
menunduk malu..
"Beliau itu masyhur dalam dakwah syariah, namun mastur (menyembunyikan diri) dalam keluasan haqiqah dan makrifahnya".
bukan orang yg sembarangan mengobral mimpi dan perjumpaan gaibnya
ke khalayak umumketika orang ramai minta agar Hb Umar maulakhela
didoakan karena sakit, maka beliau tenang tenang saja, dan berkata : Hb
Nofel bin Jindan yg akan wafat, dan Hb Umar Maulakhela masih panjang
usianya.. benar saja, keesokan harinya Hb Nofel bin Jindan wafat, dan Hb
Umar maulakhela sembuh dan keluar dari opname.., itu beberapa tahun yg
lalu..
ketika Hb Anis Alhabsyi solo sakit keras dan dalam keadaan kritis,
orang orang mendesak hb munzir untuk menyambangi dan mendoakan Hb Anis,
maka beliau berkata pd orang orang dekatnya, hb anis akan sembuh dan
keluar dari opname, Insya Allah kira kira masih sebulan lagi usia
beliau,..betul saja, Hb Anis sembuh, dan sebulan kemudian wafat..
Ketika gunung papandayan bergolak dan sudah dinaikkan posisinya
dari siaga 1 menjadi "awas", maka Hb Munzir dg santai berangkat kesana,
sampai ke ujung kawah, berdoa, dan melemparkan jubahnya ke kawah, kawah
itu reda hingga kini dan kejadian itu adalah 7 tahun yg lalu (VCD nya
disimpan di markas dan dilarang disebarkan).
Demikian pula ketika beliau masuk ke wilayah Beji Depok, yg
terkenal dg sihir dan dukun dukun jahatnya., maka selesai acara hb
munzir malam itu, keesokan harinya seorang dukun mendatangi panitya, ia
berkata : saya ingin jumpa dg tuan guru yg semalam buat maulid
disini..!, semua masyarakat kaget, karena dia dukun jahat dan tak pernah
shalat dan tak mau dekat dg ulama dan sangat ditakuti, ketika ditanya
kenapa??, ia berkata : saya mempunyai 4 Jin khodam, semalam mereka
lenyap., lalu subuh tadi saya lihat mereka (Jin jin khodam itu) sudah
pakai baju putih dan sorban, dan sudah masuk islam, ketika kutanya
kenapa kalian masuk islam, dan jadi begini??, maka jin jin ku berkata :
apakah juragan tidak tahu?, semalam ada Kanjeng Rasulullah saw hadir di
acara Hb Munzir, kami masuk islam..!
Kejadian serupa di Beji Depok seorang dukun yg mempunyai dua ekor
macan jadi jadian yg menjaga rumahnya, malam itu Macan jejadiannya
hilang, ia mencarinya, ia menemukan kedua macan jadi2an itu sedang duduk
bersimpuh didepan pintu masjid mendengarkan ceramah hb munzir..
Demikian pula ketika berapa muridnya berangkat ke Kuningan Cirebon,
daerah yg terkenal ahli santet dan jago jago sihirnya, maka hb munzir
menepuk bahu muridnya dan berkata : MA'ANNABIY.. !, berangkatlah, Rasul
saw bersama kalian..maka saat mereka membaca maulid, tiba tiba terjadi
angin ribut yg mengguncang rumah itu dg dahsyat, lalu mereka mnta
kepada Allah perlindungan, dan teringat hb munzir dalam hatinya, tiba
tiba angin ribut reda, dan mereka semua mencium minyak wangi hb munzir
yg seakan lewat dihadapan mereka, dan terdengarlah ledakan bola bola
api diluar rumah yg tak bisa masuk kerumah itu..ketika mereka pulang
mereka cerita pd hb munzir, beliau hanya senyum dan menunduk malu..
Demikian pula pedande pndande Bali, ketika Hb Munzir kunjung ke
Bali, maka berkata muslimin disana, habib, semua hotel penuh, kami
tempatkan hb ditempat yg dekat dengan kediaman Raja Leak (raja dukun
leak) di Bali, maka hb munzir senyum senyum saja, keesokan harinya Raja
Leak itu berkata : saya mencium wangi Raja dari pulau Jawa ada
disekitar sini semalam..
Bukankah kita lebih senang guru yg mengajar syariah namun tawadhu,
tidak sesohor, sebagaimana Rasul saw yg hakikatnya sangat berkuasa di
alam, namun membiarkan musuh musuhnya mencaci dan menghinanya, beliau
tidak membuat mereka terpendam dibumi atau ditindih gunung, bahkan
mendoakan mereka.
Demikian pula ketika hb munzir dicaci maki dg sebutan Munzir ghulam
ahmad..!, karena ia tidak mau ikut demo anti ahmadiyah, beliau tetap
senyum dan bersabar, beliau memilih jalan damai dan membenahi ummat dg
kedamaian daripada kekerasan, dan beliau sudah memaafkan pencaci itu
sebelum orang itu minta maaf padanya, bahkan menginstruksikan agar
jamaahnya jangan ada yg mengganggu pencaci itu,kemarin beberapa minggu
yg lalu di acara Masjid alMakmur tebet hb munzir malah duduk
berdampingan dg si pencaci itu, ia tetap ramah dan sesekali bercanda dg
Da'i yg mencacinya sebagai murtad dan pengikut ahmadiyah..
Demikian sekilas tulisan yang kami dapat sampaikan kepada para
pembaca yang budiman agar dapat mengambil hikmah yang tersirat dalam
kisah2 tadi,bukan maksud sombong dalam menyampaikan kisah2 tadi namun
semoga kita dapat Istiqomah dalam mengikuti Beliau.
wassalamualaikum.wr.wb
Habib Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad
Penulis Hebat, Sejarawan dan Mufti Johor
Sayid
Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad, seorang penulis yang hebat dan
sejarawan yang suka meneliti. Ia pernah menjabat sebagai mufti Johor
Jika
berbicara tentang suatu persoalan, beliau memaparkan segala seginya
dan menguatkannya dengan dalil-dalil aqli dan naqli. Beliau seorang
yang memiliki ghirah (kecemburuan) terhadap Islam dan menjadi
pembelanya. Di samping itu, beliau juga pembela keluarga Rasulullah
SAW. aktif berhubungan dengan para ahli ilmu di berbagai tempat di
seluruh dunia Islam, dan selalu menghindari pertentangan-pertentangan
mazhab.
Nama
lengkapnya ialah Habib Alwi bin Thahir al-Haddad bin Abdullah bin
Thaha Abdullah bin Umar bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin
Abi Bakar Abu Thahir al-Alawi asy-Syarif al-Huseini. Sampai nasabnya
kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib yang kawin dengan Sayidatina Fatimah
binti Nabi Muhammad SAW. Habib Alwi bin Thahir al-Haddad lahir di
Bandar Qaidun, Hadhramaut, Yaman pada 14 Syawal 1301 H/ 7 Agustus 1884
M.
Habib
Alwi bin Thahir Al-Haddad sedari kecil telah bercita-cita menjadi
ulama. Ini didukung oleh kecerdasan dan keteguhannya dalam menuntut
ilmu, dan selalu menyertai ulama-ulama besar sehingga dapat mencapai
puncak keilmuannya dan menghimpunkan berbagai ilmu naqli dan aqli yang
membuatnya melebihi rekan-rekan seangkatannya. Bahkan, Sayid Alwi mampu
melakukan istinbat dan ijtihad yang cermat dan tidak dapat dicapai
oleh sebagian orang.
Guru-gurunya
di Hadhramaut ialah Habib Ahmad bin al-Hasan al-Attas al-Alawi, Habib
Thahir bin Umar al-Haddad, dan Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad.
Banyak bidang ilmu tradisi yang beliau peroleh daripada keluarganya
sendiri yang berketurunan Nabi Muhammad SAW.
Sayid Alwi sangat menggemari pelajaran Hadits. Berkali-kali Sayid Alwi al-Haddad menamatkan kitab As-Sittah, Riyadh ash-Shalihin, Bulugh al-Maram, Jami’ ash-Shaghir. Untuk memperdalam ilmu hadits Sayid Alwi al-Haddad mempelajari kitab-kitab mengenai sanad hadits seperti ad-Dhawabidh al-Jaliyah fi al-Asanid al-‘Aliyah karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Syamsuddin Abdullah bin Fathi al-Farghali al-Hamisyi. Demikian juga kitab ats-tsabat yang berjudul as-Samth al-Majid
karya Syeikh al-Allamah al-Musnid Shafiyuddin Ahmad bin Muhammad
al-Qasyasy al-Madani. Sayid Alwi al-Haddad telah berhasil memperoleh
ilmu dan ijazah daripada para gurunya serta dengan sanad-sanad yang
bersambung sampai Rasulullah SAW.
Selain
guru tersebut, Sayid Alwi al-Haddad juga memperoleh ilmu daripada ayah
saudaranya Imam Habib Abdullah bin Thaha al-Haddad, juga dengan Habib
Thahir bin Abi Bakri al-Haddad. Guru-guru beliau yang lain adalah
al-Mu’ammar Sirajuddin Umar bin Utsman bin Muhammad Ba Utsman al-Amudi
ash-Shiddiqi al-Bakari. Sayid Alwi al-Haddad juga sempat mendengar
riwayat hadits dari Sayid ‘Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal yang wafat
tahun 1250 H/1834 M.
Diriwayatkan
bahawa Sayid Alwi al-Haddad ialah seorang yang sangat cergas. Sedikit
saja belajar namun penguasaan akan ilmu pengetahuannya langsung
meningkat. Pada umur 12 tahun, Sayid Alwi al-Haddad menghatamkan Ihya ‘Ulumidin
karya Imam al-Ghazali. Dalam usia 17 tahun ia telah mengajar dan
mengajar kitab yang besar-besar dan ilmu yang berat-berat seperti ilmu
tafsir, hadits, fiqh, usul fiqh, tarikh, falak, nahwu, shorof,
balaghah, filsafat dan tasawuf.
Beliau
juga memiliki karangan-karangan yang banyak dan kajian-kajian di
berbagai surat kabar dalam bermacam-macam persoalan kemasyarakatan,
politik, aqidah, sejarah dan fatwa yang mencapai 13000 masalah.
Sebagai
ulama dan mufti, ia kerap diminta untuk berpidato dan memberikan
ceramah pada pertemuan-pertemuan umum. Ceramah yang disampaikannya di
depan Jong Islamieten Bond (Perkumpulan Pemuda Muslimin) telah
diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Arab. Pemimpin Sarekat Islam
yang terkenal, Haji Oemar Said Cokroaminoto sering berhubungan
dengannya. Ketika dia sedang mengarang buku tentang sejarah Nabi dalam
bahasa Indonesia, dia menunjukkan kepada Sayid Alwi yang kemudian
memeriksanya dan memberikan kata pengantar untuk buku itu. Pertama kali
buku itu dapat diterbitkan atas biaya seorang dermawan dan kemudian
buku itu dapat diterbitkan untuk yang kedua kalinya.
Sayid
Alwi memiliki karangan-karangan yang banyak yang akan kami sebutkan
berikut ini agar dapat diketahui betapa luas pengetahuannya. Beberapa
diantara karangannya adalah: Al-Qaul al-Fashl fi Maa li Bani Hashim wa Quraisy wal-Arab Min al-Fadhl (dua jilid), Kumpulan Fatwa (berisi sekitar 12000 fatwa), masalah Durus as-Sirah an-Nabawiyah dalam dua jilid kecil, Kitab tentang hukum-hukum nikah dan qadha dalam bahasa Melayu (diterbitkan dalam dua jilid), Mukhtashar Aqd al-Aali karangan Sayid Idrus bin Umar al-Habsyi, I’anah an-Nahidh fi Ilm al-Faraidh, Majmuah min Ulum al-Falak (jilid besar), Ath-Thabaqat al-Alawiyyah dan lain-lain.
Sayid
Alwi al-Haddad mengembara ke pelbagai negara untuk berdakwah dan
mengajar, di antaranya Somalia, Kenya, Mekah, Indonesia, Malaysia dan
lain-lain. Di Jakarta, Sayid Alwi al-Haddad pernah mengajar di Madrasah
Jam’iyah al-Khair yang didirikan oleh keturunan Sayid di Indonesia.
Madrasah Jam’iyah al-Khair ialah sekolah Islam yang mengikut sistem
pendidikan moden yang pertama di Indonesia, Sayid Alwi al-Haddad pula
termasuk salah seorang guru yang pertama sekolah. Jabatan pertama Sayid
Alwi adalah Wakil Mudir sekolah. Sementara itu, Mudirnya ialah Sayid
Umar bin Saqaf as-Saqaf.
Para
guru didatangkan dari pelbagai negara. Antara mereka ialah Ustadz
Hasyimi yang berasal dari Tunis, Syeikh Ahmad bin Muhammad as-Surkati
yang berasal dari Sudan (mengajar di Madrasah Jam’iyah al-Khair tahun
1911 - 1914), Syeikh Muhammad Thaiyib al-Maghribi yang berasal dari
Maghribi, Syeikh Muhammad Abdul Hamid yang berasal dari Mekah.
Sayid
Alwi bin Thahir termasuk salah seorang pendiri ar-Rabithah
al-Alawiyyah di Indonesia. Selain mengajar di Jakarta beliau juga
pernah mengajar di Bogor dan tempat-tempat lain di Jawa. Beberapa
muridnya dikenal menjadi ulama besar yang pernah menjadi murid Sayid
Alwi al-Haddad, diantaranya: Habib Alwi bin Syeikh Bilfaqih al-Alawi,
Habib Alwi bin Abbas al-Maliki, Habib Salim Aali Jindan, Habib Abu
Bakar al-Habsyi, Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad, Habib Abdullah bin
Abdul Qadir Bilfaqih, Habib Husein bin Abdullah bin Husein al-Attas,
Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath al-Makki, KH Abdullah bin Nuh dan
lain-lain.
Belakangan
Kesultanan Johor di Malaysia memilihnya untuk menjabat sebagai mufti
di sana. Beliau menjabat sebagai mufti Kerajaan Johor dari tahun 1934
hingga tahun 1961. Sayid Alwi menjadi mufti Johor menggantikan
Allahyarham Dato’ Sayid Abdul Qader bin Mohsen Al-Attas. Beliau wafat
pada 14 November 1962 (1382 H) dan dikebumikan di Tanah Perkuburan
Mahmoodiah Johor Bahru. Beliau mempunyai keturunan yang kemudian pindah
ke Jazirah Arab bagian selatan, di antaranya adalah putranya Sayid
Thahir dan Sayid Hamid.
In Memorian, The Smiling Habib, (Al-Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi)
Habib
Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928.
Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah syarifah
Khadijah. Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke
Solo. Setelah berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap
di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.
Sejak kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di
madrasah Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada
usia 22 tahun, beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf,
setahun kemudian lahirlah Habib Ali.
Tepat pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau,
Habib Alwi yang meninggal di Palembang. Habib Ali bin Alwi Al Habsyi
adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak muda yang
berpakaian tua”.
Habib Anis merintis kemaqamannya sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid simthud-Durar dan
haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman
Bukhari pada bulan sya’ban, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan.
Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di zawiyah pada tengah hari.
Pada waktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios
di pasar Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau.
Namun ketika kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha
perdagangan batik dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama.
Dari perkawinan dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai
enam putera yaitu Habib Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi,
Habib Hasan, dan Habib AbdiLlah. Semua putera beliau tinggal di sekitar
Gurawan.
Dalam masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama. Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam
sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa jawa
halus kepada orang jawa, berbicara bahasa sunda tinggi dengan orang
sunda, berbahasa indonesia baik dengan orang luar jawa dan sunda, serta
berbahasa arab Hadrami kepada sesama Habib.
Penampilan beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum) dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The smilling Habib.
Habib Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan
doping semangat hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu
tersebut berpangakat atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua
diperlakukan dengan hormat.
Seorang tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman
(pemurah, suka memberi). Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan
Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya orangnya sangat
sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah menyakiti hati orang
lain apalagi membuatnya marah”.
Saat ‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata
melalui RT sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau
non Muslim. Kalau dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit,
Habib Anis tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau
bersilautrahmi. Tukang becak yang mangkal di depan Masjid Wiropaten
tempat Habib Anis melaksanakan shalat jum’at selalu mendapatkan uang
sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul Fitri Habib Anis juga
sering memberikan sarung secara Cuma-Cuma kepada para tetangga, muslim
maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini mereka belum
masuk islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan masuk
islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib
Hasan salah seorang puteranya.
Meskipun Habib Anis bin Alwi bin Ali al Habsyi telah meninggalkan
kita, namun kenangan dan penghormatan kepada beliau terus saja mengalir
disampaikan oleh para habib atau para muhibbin. Habib Husein
Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat meninggalnya Habib
Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan baru
keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta.
Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib
Anis di kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat
minyak wangi sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam salah satu tausiyah, Habib JIndan mengatakan, “Seperti saat ini
kkita sedang mengenang seorang manusia yang sangat dimuliakan, yaitu
Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang telah
meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib
Anis bin alwi bin Ali Al-Habsyi.
Ketika kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang
diangkat tampak seperti pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya
yang baru. Bagi Habib Anis, kita melihat semasa hidup berjuang untuk
berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul Jannah,
taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada
orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti
para sahabat Habib Ali Al-habsyi, penggubah maulid Simtuh-durar
yang mengatakan bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka
seolah-olah tidak merasakan hidup di dunia tetapi hidup di surga. Sebab
setiap hari diceritakan tentang akhirat, tentang ketentraman bathin di
surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka hidup di dunia yang penuh
cobaan.
Kita selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa dalam kesempatan rauhah
dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai kesempatan itu kita
mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga sepertinya
kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang fana
ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan
beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti
kita.
Habib AbduLlah Al-hadad ketika menyaksikan kepergian para guru beliau,
mengatakan, “Kami kehilangan kebaikan para guru kami ketika mereka
meninggal dunia. Segala kegembiraan kami telah lenyap, tempat yang
biasa mereka duduki telah kosong, Allah telah mengambil milik-Nya Kami
sedih dan kami menangis atas kepergian mereka. Ah…andai kematian hanya
menimpa orang-orang yang jahat, dan orang-orang yang baik dibiarkan
hidup oleh Allah. Aku akan tetap menangisi mereka selama aku hidup dan
aku rindu kepada mereka. Aku akan selalu kasmaran untuk menatap wajah
mereka. Aku akan megupayakan hidupku semampukun untuk selalu mengikuti
jalan hidup para guruku, meneladani salafushalihin, menempuh jalan
leluhurku.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita,
“Ayahku Habib Ahmad bin AbduRrahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdulkadir
engkau lihat aku, ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang
tuamu’”. Ketika Habib Ahmad bin AbduRrahman meninggal dunia, Habib
AbdulKadir tetap menempuh jalan orang tuanya dan dia tidak menyipang
sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh Habib Ahmad bin AbduRrahman.
Begitu juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang
ditempuh oleh ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib
Alwi , yang tetap menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib
Ali bin Muhammad Al-Habsyi Dan Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sama
juga menempu jalan orang tua, guru dan teladan beliau hingga sampai
Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan
Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu
Habib Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis
didapatkan bukan karena berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua
itu beliau peroleh setelah bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah
SWT, para shalihin dan kepada kaum muslimin umumnya. Semoga beliau
dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis ini, bahwa kita sebagai
anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam Al-Qur’an
disebutkan, ‘Dan
sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah
Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang’.
Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah
menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta
kepadanya, sebagaimana disabdakan RasuluLlah SAW dalam hadits yang
diriwayatkan imam Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah
akan memanggil Jibril, menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan.
Mulai saat itu Jibril akan mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril
kemudian memanggil ahli langit untuk menyaksikan bahwa Allah mencintai
Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua utuk eneicintai Fulan. Dengan
begitu para penghuni langit mencintai Fulan. Setelah itu Allah
letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang yang dicintai
Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Ada
empat hal yang selalu disampaikan oleh Habib Anis kepada jama’ah yang
hadir di majlis beliau, “Pertama, Kalau engkau ingin mengetahui diriku,
lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah
mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng
akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan
buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan
keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena
setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk
mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW”…….
Manakib Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi
Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi atau nama lengkapnya Al-Habib Muhammad bin Idrus bin Muhammad bin Ahmad bin Ja’far bin Ahmad bin Zain Al-Habsyi, beliau lahir di kota Hauthah (khala’Rasyid) hadramaut pada tanggal 20 syawwal tahun 1265 H. Sebelum beliau lahir ayahnya Al-Imam Al-‘Arif Billah Al-Habib Idrus bin Muhammad Al-Habsyi telah berpergian ke Indonesia untuk berdakwah. Al-Habib Muhammad tidak sempat mengenal ayahnya bahkan tidak pernah melihatnya, karena ketika sang ayah wafat di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat beliau belum lahir. Adapun ibunya Syaikhah Salamah binti Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Semir (Sumair).
Status sebagai anak yatim tidak berpengaruh kepada terhadap diri beliau, karena ibunya dengan penuh kesabaran mendidiknya dan tidak menikah lagi. Di tambah lagi asuhan dan perhatian dari para pamannya, terutama Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi yang menjadi munshib Al-Habsyi di negerinya, beliau dibesarkan dalam didikan pamannya ini sehingga mengikuti jalan dan perilakunya.
Sebelum genap berusia tujuh tahun, beliau telah mulai mempelajari Al-Qur’an kepada mu’allim Ali Syuwa’i pada tempat pengajian umum di Hauthah. Kemudian beliau menghatamkannya pada Syaikh Ahmad Al-Baiti, munsyid di kubah datuknya, sayyidina Ahmad bin Zain Al-Habsyi. Dalam perjalanan menuntut ilmunya beliau mengerahkan seluruh segala kemampuannya untuk belajar baik ketika masih di Hauthah maupun di berbagai tempat lain di Hadramaut. Disebagian tempat beliau menetap dalam waktu lama dan di sebagian yang lain beliau hanya tinggal beberapa saat. Al-Ghorfah, Sewun, Tarim, Syibam dan Du’an adalah sebagian diantara kota-kota yang didatanginya.
Selain mempelajari Al-Qur’an, sejak kecil beliau juga belajar ilmu fiqih, hadits, tafsir, tasawwuf, nahwu, sharaf, dan sebagainya. Di dalam Qurrah al-‘Ain disebutkan, di antara kitab-kitab yang dibacanya pada pamannya, Al-Habib Sholeh dan pamannya yang lain Al-Habib Abdullah, adalah kitab Ar-Risalah Al-Jami’ah karya datuknya Al-Habib Ahmad bin Zain, Bidayah Al-Hidayah dan umdah as-Salik dalam fiqih, Al-Jurummiyah dan Al-Mutammimah dalam nahwu. Kepada gurunya Al-Habib Abdullah bin Thoha Al-Haddar Al-Haddad, beliau belajar membaca kitab Fathul-Mu’in, rujukan sangat penting dalam fiqih syafi’i.
Guru-gurunya yang lain dalam fiqih dan tasawwuf adalah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, Al-Habib Idrus bin Abdul Qadir bin Muhammad Al-Habsyi, Al-Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Al-Habib Hasan bin Husein bin Ahmad Al-Haddad, dan lain-lain. Di antara semua gurunya yang menjadi syaikh fath (guru pembukanya) adalah Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sejak kecil beliau sering didoakan dan diilbas (dikenakan pakaian, yang tujuannya sebagai pengangkatan atau pengakuan) oleh para alim ulama. Muridnya, Al-Allamah As-Sayyid Abdullah bin Thahir Al-Haddad mengatakan dalam kitab qurrah Al-‘Ain bahwa, di antara yang mendoakan dan meng-ilbas-nya adalah Al-Habib Hasan bin Sholeh Al-Bahr seorang ulama terkemuka. Banyak gurunya yang telah melihat kelebihannya sejak kecil. Mereka telah melihat tanda-tanda kewalian pada dirinya.
Tahun 1281 H, pada usia 16 tahun beliau menunaikan haji untuk pertama kalinya dengan menaiki kapal dagang yang menuju ke Jeddah. Setelah itu kembali ke negerinya, Hauthah. Tetapi hanya beberapa bulan berada di tengah-tengah keluarganya, setelah itu belaiu kembali lagi ke Hijaz untuk menunaikan haji yang kedua, setelah musim haji selesai beliau tidak pulang melainkan menetap di Haramain dan menimba ilmu kepada para ulama.
Di antara para gurunya di Haramain adalah sayyid Fadhl bin Alwi bin Alwi bin Muhammad bin Sahl maulad Dawileh (yang kemudian menjadi tokoh habaib di Turki, Al-Allamah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, mufti syafi’I di Makkah, Al-Allamah Sayyid Umar bin Abdullah Al-Jufri, dan Al-Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-‘Azab, beliau juga mendalami tajwid kepada sayyid Muhammad An-Nuri.
Kemudian takdir Allah menentukan beliau untuk pergi ke India, tetapi karena hatinya merasa tak tenang tinggal disana akhirnya beliau menuju singapura dalam perjalannya di jawa. Selama beberapa tahun beliau tinggal di Jakarta menggeluti perdagangan di samping belajar kepada Al-Allamah Al-Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Attas, Al-Allamah Al-Habib Umar bin Hasan Al-Jufri dan sejumlah tokoh ulama lainnya.
Demikianlah terus berlanjut sampai Allah melimpahinya cahaya ilmu dan kewalian yang membuatnya terkenal dimana-mana, maka berdatanganlah orang-orang yang ingin belajar dan mendapatkan manfaat darinya dari berbagai tempat di antaranya Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar, Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi, Al-Habib Thahir bin Alwi Al-Haddad, Al-Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf.
Ahklak dan budi pekertinya sangatlah baik, beliau adalah seorang yang pemurah dan berkasih sayang terhadap orang lain, apalagi kepada orang-orang yang lemah, apa-apa yang Allah berikan kepadanya tidak segan-segan beliau memberikannya kepada siapa saja yang mendatanginya, beliau seorang yang murah senyum, lemah lembut tutur katanya dan sangat baik sambutannya, itulah perangainya meneladani perangai datuknya, Nabi Muhammad SAW. Setiap orang yang duduk di sampingnya akan merasa bahwa dirinyalah yang paling dicintai dan dipilihnya sebagai sahabat karib.
Ayah bagi orang miskin
Apabila ada orang bertamu kepadanya, beliau selalu bertanya tentang hal-ihwal anak-anak dan cucu-cucu orang tersebut, demikian juga dengan tamu dari luar kota, beliau menyambutnya dengan ramah dan senang hati, bahkan apabila yang datang fakir miskin, beliau memberikan ongkos pulang disertai hadiah untuk anak-istrinya. Inilah kebiasaan selama hidupnya. Rumahnya selalu terbuka untuk para tamu dan pernah kosong dari mereka. Terlebih lagi fakir miskin yang tidak mempunyai penghasilan yang menentu mereka menginap dirumahnya.
Anak-anak yatim yang dipelihara olehnya menilainya lebih baik dari ayah-ayah mereka karena beliau menyamakan mereka dengan anak-anaknya sendiri dalam memberikan pakaian, makanan, minuman dan tempat tidur. Ketika anak-anak yatim itu telah besar beliau juga mengurus perkawinan mereka dam memberikan apa-apa yang mereka butuhkan. Tidak mengherankan apabila dikatakan bahwa beliau adalah ayah bagi anak-anak yatim dan orang-orang miskin.
Beliau pun sangat dicintai oleh masyarakat umum maupun kalangan khusus, beliau selalu mendamaikan pihak-pihak yang bertengkar walaupun masalahnya besar dan sulit dapat beliau selesaikan dengan baik. Di antara amal jariyahnya adalah pembangunan masjid di purwakarta, Masjid Ar-Raudhah di jombang, dan lain-lain. Beliau juga adalah perintis penyelenggaraan haul para wali Allah dan orang-orang sholeh. Dialah yang pertama kali mengadakan haul Al-Imam Al-Habib Muhammad bin Thohir Al-Haddad yng terkenal di kota Tegal. Beliau juga banyak berziarah ke tempat bersejarah, makam para wali dan orang-orang sholeh dan kegiatan itu pula diikuti oleh khalayak ramai. Semasa hidupnya beliau rajin berdakwah ke beberapa daerah, dalam perjalanan dakwahnya beliau tidak pernah menginap di hotel atau tempat penginapan lain, melainkan di rumah salah satu seorang habib.
Pada setiap hari kamis bulan Rabi’ul Awwal, beliau mengadakan pembacaan maulid Nabi seperti yang dilakukan oleh gurunya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al-Habsyi di Sewun. Beliau melaksakannya di daerah jatiwangi dekat Cirebon. Lalu memindahkannya ke Bogor sampai timbul rintangan-rintangan dan fitnah dari orang-orang yang dengki. Kemudian beliau memindahkannya lagi ke Surabaya dengan bantuan kapten Arab dari keluarga Boubseith. Demikianlah hal itu berlangsung terus sampai beliau wafat. Sepeninggalnya yang meneruskan adalah Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi di Jakarta di sekolah jamiat kheir, setelah meminta izin kepada para pengurusnya. Maulid ini berlangsung terus sejak tahun 1338 H/1920 M sampai tahun 1355 H/1936 M (17 tahun). Ketika Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi membangun masjidnya di Kwitang ia pun memindahkan gelaran maulid ke masjid itu pada tahun 1356 H/1937 M.
Menjelang wafatnya, Habib Muhammad menyampaikan wasiat, “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu ingat kepada Allah SWT, semoga Dia menganugerahkan keberkahan kepada kalian dalam menegakkan agama terhadap istri, anak, dan para pembantu rumah tangga. Hati-hatilah, jangan menganggap remeh masalah ini, karena seseorang kadang mendapat musibah disebabkan orang-orang yang dibawah tanggungannya yaitu istri, anak, dan pembantu. Sebab, dia adalah pemegang kendali rumah tangga.”
Beliau wafat pada malam rabu 12 Rabi’uts Tsani 1337 H di Surabaya, dimakamkan pada waktu Ashar hari Rabu. Yang mengimami shalat jenazah tokoh besar ini adalah tokoh besar juga yang sekaligus juga menantunya Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar.
Habib Abubakar Bin Muhammad Assegaf
Silsilah beliau adalah : Habib Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Imam Wadi Al-Ahqaf Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Toha bin Umar Ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawiliyah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali-‘Uraidhi bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.
Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf, beliau lahir di Besuki, Jawa
Timur, pada tahun 1285 H. Cahaya kebaikan dan kewaliannya telah nampak
dan terpancar dari wajah beliau. Saat usia 3 tahun, beliau mampu
mengingat semua kejadian yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu
karena kekuatan dan kejernihan hati beliau. Bersama ayahnya beliau
pindah ke Gresik. Tak lama kemudian, ayah beliau meninggal dunia di
Gresik, saat itu habib Abubakar masih kecil. Mendengar anaknya (Ayah
Habib Abubakar) meninggal dunia, maka neneknya di Hadramaut, yaitu
Hababah Fatimah binti Abdullah ‘Allan, meminta supaya cucunya ini (Habib
Abubakar) dikirimkan ke Hadramaut. Maka, pada tahun 1293 H dengan
mengikut kenalan keluarga, yaitu, Syeikh Muhammad Bazemur, Habib
Abubakar berangkat ke Hadramaut. Kala itu Habib Abubakar masih berusia
delapan tahun.
Sesampainya di Seiwun, Hadramaut, beliau disambut oleh pamannya, Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Pertama kali melihat Habib Abubakar, sang paman menyambut beliau dengan sangat gembira, seraya mengucapkan bait syair : “Hati para auliya, memiliki ketajaman mata, mereka mampu memandang apa yang tidak dilihat oleh manusia lainnya”. Pertama kali, Habib Abubakar tinggal di rumah paman beliau, Al-Habib Syekh bin Umar bin Segaf Assegaf, seorang ulama yang disegani di
Hadramaut. Habib Abubakar belajar ilmu fikih dan ilmu tasawuf kepada pamannya. Setiap malam, beliau dibangunkan untuk bersama-sama menunaikan shalat tahajjud, walaupun waktu itu beliau masih dalam usia kecil.
Habib Abubakar juga belajar kepada para ulama dan auliya’ di Seiwun,
Hadramaut, antara lain : Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Shahibul
maulid simthudurar), Al-Habib Muhammad bin Ali Assegaf, Al-Habib Idrus
bin Umar Al-Habsyi, Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, Al-Habib
Abdurrahman Al-Masyhur, Al-Habib Syeikh bin Idrus Al-Aydrus, dan
lain-lain. Saat pertama kali melihat Habib Abubakar, Al-Habib Ali bin
Muhammad Al-Habsyi telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri
Habib Abubakar dan yakin bahwa Habib Abubakar, kelak akan menjadi
seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi,padahal saat itu Habib
Abubakar dalam usia kanak-kanak. Jauh sebelum kedatangannya ke
Hadramaut, ketika itu Habib Abubakar masih di tanah Jawa, Al-Habib Ali
bin Muhammad Al-Habsyi berkata kepada salah seorang muridnya, “Lihatlah
mereka itu, mereka tiga orang besar, nama mereka sama, keadaan mereka
sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam
barzakh, yaitu Al-Qutub Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-Aydrus. Yang
kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil,
yaitu Al-Qutub Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-Attas
Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu.” Ketika murid tersebut sudah menginjak usia senja, murid tersebut bermimpi melihat Nabi shallahu ‘alaihi wasalam dalam lima malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi shalalluahu ‘alaihi wasalam menuntun seorang anak kecil sambil berkata kepadanya, “Terdapat kebenaran bagi yang melihatku di setiap mimpinya. Telah aku hadapkan kepadamu cucuku yang shaleh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assegaf . Perhatikanlah ia.” Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali dalam mimpinya itu. Setelah ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, yang mengatakan, “Lihatlah mereka itu, tiga auliya, nama mereka sama, keadaan mereka sama dan kedudukan mereka sama.” Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, murid tersebut meninggal dunia, tepat sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, bahwa ia akan melihat Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf di akhir umurnya. Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari guru beliau, Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Al-habsyi, sampai-sampai habib Ali sendiri yang meminangkan beliau sekaligus merayakan pernikahannya. Pada tahun 1302 H. Habib Abubakar kembali ke Indonesia bersama Al-Habib Alwi bin Segaf dan langsung menuju Besuki, kota di mana beliau lahir. Di kota tersebut beliau melakukan dakwah. Setelah menetap di Besuki selama tiga tahun, pada tahun 1305 H, beliau pindah ke kota Gresik. Ketika itu usianya baru 20 tahun. Habib Abubakar juga belajar dan mengambil ijazah kepada ulama dan auliya’ yang berada di Indonesia, diantaranya : Al-Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil),
Al-Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas (Pekalongan), Al-Habib Abubakar bin Umar bin Yahya (surabaya), Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor (Bondowoso).
Disaat menjelang akhir hayatnya, Habib Abubakar selalu mengatakan “Aku berbahagia untuk berjumpa dengan Allah”. Beliau melakukan puasa selama 15 hari berturut-turut. Dan pada tahun 1376 H, Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf wafat dalam usia 91 tahun. Jasad beliau dimakamkan di samping Masjid Agung Jami’, Gresik, Jawa Timur, bersanding dengan makam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assegaf.
HABIB MUHAMMAD BIN AHMAD AL-MUHDOR (Bondowoso)
Perawakannya tampan dan gagah, orang yang melihatnya pasti mengetahui kalau beliau memiliki charisma yang sangat besar.Dari wajahnya terpancar cahaya yang begitu hebat. Beliau adalah menantu dari seorang tokoh auliya di masanya, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Hubungan antara keduanya begitu erat. Satu sama lain saling menghormati dan lebih memandang kelebihan ada pada yang lain. Menantu dan mertua sama-sama auliyaHabib Muhammad Al-Muhdhor lahir di desa Quwaireh, Du’an Al-Ayman, Hadramaut, pada tahun 1280 H atau sekitar tahun 18633 M. Ayahnya, Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor, seorang ulama rujukan para ahli ilmu di zamannya. Beliau lahir di Ar-Rasyid Ad-Du’aniyah 1217 H dan wafat pada tahun 1304 H bertepatan dengan tahun 1886 M.
Lingkungan keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Itulah yang terjadi pada kalangan Alawiyin di Hadramaut masa itu hingga saat ini. Sebagaimana lazimnya pendidikan para Alawiyin di Hadramaut, Habib Muhammad mendapat bimbingan agama langsung dari ayahnya. Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an dan belajar berbagai kitab keilmuan pada ayahnya. Beliau juga belajar kepada kakaknya, Al-Habib bin Ahmad Al-Muhdhor. Jika kita perhatikan kita dapat mengetahui, bahwa pendidikan para ulama bain alawi di Hadramaut menghasilkan sanad keilmuan dari seorang wali bin wali dan seterusnya, hingga bersambung kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Setelah belajar kepada ayah dan kakaknya, Habib Muhammad kemudian belajar mendapatkan ijazah dari para ulama dan auliya’ di saat itu. Salah sarunya adalah Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas. Dan Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas inilah yang merupakan guru pembentuk karakter dan kepribadian Habib Muhammad Al-Muhdhor. Ketika itu, Haibi Muhammad selalu mengikuti majelis Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, dan beliau pula yang meyertai kemana pun sang guru ini pergi.
Dalam kitab Tajul A’ras halaman 469 di ceritakan bahwa, Habib Muhammad Al-Muhdor mengisahkan salah satu peristiwa dalam kehidupannya ketika menuntut ilmu pada waktu itu.
“Saya membaca kitab Al-Muhadzab kepada Al-Imam Al-Walid Al-Habib
Ahmad bin Hasan Al-Attas. Tetapi ketika itu tidak mudah bagi kami untuk
menyelesaikan, beliau meminta saya untuk menemaninya dalam perjalanan
pulang ke Huraidhah, desa di mana beliau tinggal. Maka saya pun menuruti
perintah beliau. Dalam perjalanan itulah saya membaca kitab tersebut
bersama beliau, sampai akhirnya saya dapat menyelesaikan pembacaan kitab
itu pada hari keberangkatan kami dari Gaidun. KEtika itu kami berjalan
mengendarai dua kuda berdampingan”.
Selanjutnya, ketika ayah beliau wafat. Bersama Habib Hamid kakaknya,
Habib Muhammad melakukan perjalanan dakwah ke berbagai negeri untuk
merayu ke Jalan Allah dan Rasulnya. Berdua mereka melakukan perjalanan
ke Singapura dan Indonesia. Dimana pun tempat beliau singgah, mereka
selalu di sambut oleh para penduduk negri dengan suka cita dan penuh
penghormatan. Setelah itu, berdua mereka kembali ke kampong halaman di
Hadramaut.
Selang beberapa waktu, Habib Hamid kakaknya, melakukan perjalanan ke
tanah suci, untuk melaksanakan ibasah haji dan berziarah ke makam
datuknya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam di Madinah. Sekembalinya
kakak beliau dari tanah suci, pada tahun 1308 H, Habib Muhammad
melakukan perjalanan dakwah ke kotaHeydrabad di India. Beliau dating
untuk memenuhi undangan Sultan ‘Awad bin Umar AL-Qu’aythi. Di India,
beliau mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakatnya, ribuan
manusia segala lapisan dan golongan berbondong-bondong datang untuk
menemui beliau. Dari India, beliau melanjutkan perjalanan dakwahnya ke
Indonesia, dan beliau memilih Bondowosao. Disanalah beliau menetap dan
berdakwah. Beberapa waktu kemudian, Habib Muhammad Al-Muhdhor beremu
dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya). Dari pertemuan
itulah yang mendorong beliau untuk berguru kepada Al-Imam Al-Habib
Muhammad bin Idrus AL-Habsyi. Karena eratnya hubungan keduanya, akhirnya
Habib Muhammad Al-Muhdhor menikah dengan putrid Al-Habib Muhammad bin
Idrus Al-Habsyi.
Dalam berdakwah, beliau menggunakan cara yang santun dan bijak.
Beliau berbicara kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka. “Kallimu
an-naas ‘ala qadri uquulihim”. Dalam beramar ma’ruf nahi munkar beliau
menggunakan cara yang santun dan halus. Hingga semua lapisan
masyarakat dapat menerima dengan baik nasehat-nasehatnya. Semua
kalangan, baik dari kalanganAlawiyin, orang-orang Pribumi, bahkan para
pembesar Belanda pun, hormat dan segan kepada beliau.
Habib Muhammad sangat senang menerima tamu yang datang ke rumah
beliau. Dengan wajah berseri-seri beliau menyambut para tetamunya di
depan pintu dan menghormatinya bak raja yang datang. Beliau sendiri yang
menyiapkan dan melayani kebutuhan para tamunya itu.
Beliau yang sangat peduli dengan keadaan kaum muslimin,
terlebih-lebih pada para Saadah Alawiyin. Karena kepeduliannya yang
begitu besar terhadap para Alawiyin, hingga beliau seakan-akan sebagai
bapak dari para Alawiyin yang ada pada masa itu. Selain ulama, beliau
juga ahli di bidang sastra, banyak tulisan dan karya syair-syair beliau.
Beliau merupakan sosol ulama yang sering melakukan kontak hubungan
dengan para ulama di negeri lain guna memeahkan berbagai masalah tentang
dakwah Islam. Diantara para ulama itu adalah : Al-Habib Muhammad bin
Ali Al-Hiyed, Al-Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, dan AL-Habib
Muhammad bin Agil bin Yahya dari Hadramaut.
Setelah beberapa hari menjalani perawatan di Surabaya akibat sakit
yang di deritanya, pada malam selasa 21 Syawal 1344 H, bertepatan dengan
4 Mei 1926 M, Habib Muhammad bin Ahmad Al Muhdhor wafat. Beliau
meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Dengan kewafatannya, para
pecinta beliau seakan-akan menjadi yatim dan kehilangan sosok ayah. Pada
keesokan harinya, dengan diiringi seruan tahlil dan uraian mata,
ribuan kaum muslimin mengantarkan jenazah beliau ke pemakaman. Jasad
beliau di makamkan dalam qubah di pemakaman Al-Habib Hasan Al_habsyi.
Makam beliau bersanding dengan makam Al-Imam Al-Habib Muhammad bin
Idrus Al-Habsyi, yang merupakan mertua, guru sekaligus sahabat beliau.
BEliau meninggalkan lima anak laik-laki yang menjadi khalifah penerus
dakwahnya, mereka dalah : Al-Habib Abdullah bin Muhammad Al-Muhdhor,
Al-Habib Alwi bin Muhammad Al-Muhdhor, Al-Habib Sholeh bin Muhammad
Al-Muhdhor, Al-Habib Husein bin Muhammad Al-Muhdhor dan Al-Habib Muhdhor
bin Muhammad Al-Muhdhor, yang mereka kesemuanya menjadi ulama, beliau
juga meninggalkan 3 anak perempuan.
Habib Muhammad bin Adrus Al-Habsyi (Surabaya) | |
| |
Habib
Muhammad bin Idrus Al-Habsyi lahir di kota Khola’ Rasyid, Hadramaut,
pada tahun 1265 H. Ayah beliau, Al-Imam Al-‘Arifbillah Al-habib Idrus
bin Muhammad Al-Habsyi telah dahulu datang ke Indonesia untuk berdakwah.
Beliau wafat dan di makamkan di kota CIrebon. Sedangkan ibu beliau di
asuh oleh pamannya, Al-Habib Sholeh bin Muhammad Al-Habsyi. Sejak itu
beliau besar dalam didikan pamannya. Sang paman inilah yang membentuk
jiwa dan kepribadian Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi.
Pada mudanya, Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi giat dalam menuntut
ilmu. Walaupun usianya masih muda, beliau mampu dengan mudah menguasai
dan memahaminya. Berbagai ilmu agama yang beliau dapatkan dari para
ilama dan auliya’, diantaranya ilmu tafsir, hadis dan fikih. Para
gurunya telah menyaksikan ketaqwaan dan kedudukan beliau sebagai
seorang yang tak kenal lelah dalam mengamalkan ilmunya.
Salah seorang auliya’ Al-Imam Al-Qutub Al-Habib Ali bin Muhammad
Al-Habsyi (Shahib Maulid Simtudurrar) telah mengutarakan dalam
surat-menyurat beliau : “Sesungguhnya orang-orang berpergian ke
Indonesia untuk bekerja dan mencari harta keduniaan, akan tetapi, putra
kami Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi bekerja untuk Allah, dia
berdakwah untuk mencapai Ash-Shidiqiyyah Al-kubra.” (Tingkat tertinggi
dikalangan Auliya).
Ketika beranjak remaja beliau pergi ke tanah suci untuk menunaikan
obadah haji dan berziarah ke makam datuknya Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam di Madinah. Disana beliau menetap beberapa waktu. Hal
itu dipergunakan oleh beliau untuk menimba ilmu dari para ulama yang
berada di Haramain (Mekkah dan Madinah), diantaranya kepada Al-Imam
Al-habib Husein bin Muhammad Al-Habsy.
Sebagaimana para pendahulunya, beliau berdakwah dari satu daerah ke
daerah yang lain. Dalam setiap kali perjalanannya itu, beliau tidak
bermalam di sebuah tempat yang di singgahi kecuali di tempat tersebut
terdapat Ahlul Bait Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam.
Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi di kenal memiliki akhlak serta budi
pekerti yang luhur, beliau murah tangan dan kasih saying terhadap
sesame. Hrta miliknya tidak segan-segan diberikan kepada siapapun yang
membutuhkannya. Beliau adalah seorang tutur katanya lemah lembut serta
penuh dengan hikmah dan selalu tersenyum bila bertemu dengan siapapun.
Ahklak dan perangainya meneladani datuknya, Rasulullah shallahu
‘alaiyhi wassalam.
Beliau memelihara anak-anak yatim di rumahnya. Anak-anak yatim
menganggap Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi adalah ayah mereka
sendiri, di dalam memberikan pakaian, makanan, minuman dan tempat
tidur. Apabila anak-anak yatim itu telah beranjak dewasabeliau yang
mengurus perkawinan mereka dan memberikan segala sesuatu yang mereka
butuhkan. Tidak mengherankan, jika beliau dianggap sebagai ayah dari
anak-anak yatim tersebut.
Rumah beliau selalu terbuka bagi para tetamu yang dating. Tidak
sedikit para tamu tersebut yang menginap di rumah beliau, dan beliau
sendirilah yang menyiapkan dan melayani kebutuhan para tamunya itu.
Setiap tamu yang dating ke tempat beliau, baik dalam maupun luar kota
selalu disambut dengan ramah dan sendang hati, bahkan apabila tamu yang
dating orang yang tidak mampu, maka diberikan kepadanya ongkos untuk
pulang dengan disertai hadiah utnuk anak dan istrinya. Hal ini yang
menjadikan Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi begitu disegani dan
dicintai masyarakat luas. Beliau memiliki kebiasaan mendamaikan dua
belah pihak yang bertengkar dan berselisih faham. Meskipun masalah itu
besar dan sulit, tapi dapat beliau selesaikan dengan baik. Sebagian
amal jariyah beliau, diantaranya adalah, pembangunan masjid di
Purwakarta, pembangunan Masjid Ar-Raudhah di kota Jombang, dan
lain-lainnya. Beliau sebagai perintis pertama pengadaan haul para
auliya’ dan kaum shalihin baik yang masih hidup ataupun yang sudah
meninggal. Untuk pertama kalinya, beliau mengadakan haul guru beliau
Al-Imam Al-hHabib Muhammad bin Thohir Al-Haddad, yang makamnya berada
di kota Tegal. Beliau senantiasa berziarah ke tempat para auliya’ dan
shalihin, baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal yang di
ikuti oleh khalaya ramai.
Semasa hidurpnya, beliau selalu taat dan takwa kepada Allah dan
Rasul-Nya, serta senantiasa menladani para shalaf bani alawi yang
merupakan leluhurnya. Beliau selalu memberikan maanfaat kepada para
hamba Allah, dengan memanfaakan waktu, umur, serta membelanjakan
hartanya di jalan Allah hingga akhir hayatnya.
Habib Muhammad bin Idrus Al-habsyi wafat pada pertengahan malam, hari
rabu, 12 Rabiul Tsani 1337 H, di Kota Surabaya. Jasad beliau di
makamkan dalam Qubbha di pemakaman Al-Habib Hasan Al-Habsyi di kawasan
Masjdi Ampel Surabaya, pada hari Rabu waktu Ashar. Bertindak sebagai
imam dalam shalat jenazah beliau adalah, Al-habib Muhammad bin Ahmad
Al-Muhdhorm, yang merupakan menantu, murid sekaligus sahabat beliau.
|
KH. A.Muchit Muzadi Makin Berisi Makin Merunduk
Kalau ada kiai disebut sebagai pakar khitthah, maka yang dimaksud adalah KH Abdul Muchit Muzadi. Salah satu deklarator PKB.
Sebab kiai kelahiran Tuban tahun 1925 inilah yang punya konsep
khithah, kembalinya Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (NU) ke kancah perjuangan
keagamaan, meninggalkan dunia politik praktis.
Sejak diputuskan khithah bagi Jam’iyah NU pada Muktamarnya tahun 1984 di Ponpes Salafiyah syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo, kesibukan Mbah Muchit (sapaan akrabnya) bertambah. Sebab mbah Muchit-lah yang selalu memberikan penjelasan masalah khithah ke masyarakat. Selain itu juga sering menulis tentang khithah di majalah AULA terbitan PWNU Jawa Timur.
Kendati kelahiran daerah pesisir yang kebanyakan bertemperamen keras, tetapi tidak ada sifat keras pada diri mbah Muchit, bahkan sebaliknya penuh dengan kesabaran dan tawadlu’, bahkan terkesan sangat hormat kepada siapa saja yang bertamu kepadanya. Hal ini karena keilmuannya yang tinggi dan sudah banyak “makan garam” kehidupan. Pada suatu kesempatan mbah Muchit mengatakan bahwa dirinya dipanggil kiai karena dia punya adik seorang kiai, yakni KH. Hasyim Muzadi pengasuh pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang, yang juga ketua umum PBNU. Itulah sekilas gambaran Kiai Muchit, ibarat padi makin berisi makin merunduk..
Masa Pembentukan
Walau anggota mustasyar PBNU ini mengaku bukan sebagai anak kiai atau aktivis pergerakan, tetapi suasana revolusi telah memaksanya untuk aktif di dunia pergerakan, sejak dari pergerakan keilmuan hingga kemerdekaan. Setelah belajar di pesantren Tuban ia melanjutkan belajar kepada Hadlratussyaikh KH. Hasyim /asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang. Di Tebuoreng ia tidak hanya belajar agama saja, tapi juga belajar berorganisasi. Karena itu, pada tahun 1941, saat usia muda ia telah menjadi anggota NU. Selain itu, disana ia juga bertemu dengan beberapa santri terkenal dari daerah lain, diantaranya Ahmad Shidiq.
Karena ia tidak memiliki prestasi yang menonjol saat itu, makanya ketika KH. A.Wahid Hasyim mendirikan pendidikan kader khusus, Muchit muda tidak termasuk santri yang direkrut. Namun demikian ia banyak belajar pada peserta kader khusus itu, sehingga iua mendapatkan pengetahuan umum yang memadai. Kemampouan itu yang dijadikann bekal untuk memasuki dunia luar pesantren, yang selanjutnya ia banyak berkiprah di sana dalam berbagai profesi.
Untuk menerapkan pengetahuannya itu, maka setamat dari Tebuireng ia kembali ke kampung halamannya di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru ia juga tidak bertopang dagu, yapi ikut berjuang melawan penjajah, masuk ke Lasykar.
Ketika suasana kembali normal, pada tahun 1952 mbah Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), selanjutnya pada tahun 1954 juga mendirikan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama. Begitu juga ketika pada tahun 1961 mendapatkan tugas sebagai pegawai di IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, maka digunakan kesempatan untuk mbelajar lagi dengan mengikuti kuliyah di Universitas Cokroaminoto. Di kota gudeg itulah rupanya ia menemukan ide-ide pembaharuan. Maka ketika ditugaskan di IAIN Malang tahun 1963 iapun sempat merintis SMP NU. Begitu juga ketika menjadi PD II di IAIN Sunan Ampel Jember ia juga mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Di seluruh sekolahan yang dirintisnya itu ia bertindak sebagai kepala sekolah. Gerak hidup yang dinamis itu rupanya yang membuat ia tidak mendirikan pesantren secara fisik, sebab pesantren yang dibangunnya lebih luas, seluas komunitas NU.
Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember rupanya sebuah beberuntungan tersendiri buatnya, sebab disana ia bertemu dengan sahabat seperguruannya yang mengasuh pesantren besar disana, yaitu KH. Achmad Shidiq. Dengan demikian ia menemukan partner diskusi yuang seimbang dan sekaligus guru yang bisa diteladani. Masa-masa itu yang semakin mematangkan pemikirannya, sehingga banyak lahir pemikiran keislaman yang ditulis.
Ketika sahabatnya itu menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang saat itu dituntut untuk membuat rumusan konseptual mnengebnai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, maka KH Achmad Shidiq semakin membutuhkan pikiran mbah Muchit. Karenanya ia diangkat sebagai sekretaris yang sekaligus penasehat pribadinya.
Dengan dibantu mbah Muchit, maka langkah Kiai Ahmad (panggilan KH Ahmad Shiddiq) mampu mengimbangi gerak pembaharuan yang dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur), sehingga dalam waktu singkat NU menjadi organisasi yang sangat maju, dan berperan besar baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan termasuk kenegaraan. Sukses duet Gus Dur dan Kiai Ahmad ini tidak bisa lepas dari pikiran kreatif mbah Muchit Muzadi yang menjaga “dapur” pemikiran Kiai Ahmad.
Kendati berwatak tawadlu’ tetapi sikap tegas dan konsekuen adalah ciri khas pribadinya. Hal hal ini pernah beliau tunjukkan baru-baru ini, ketika proses pencalonan gubernur Jawa Timur baru dimulai. Dimana Mbah Muhith dan para kiai sepuh se Jawa Timur berkumpul untuk membahas calon gubernur dari PKB. Diantara keputusan rapat para kiai itu ialah memunculkan nama Saifullah Yusuf, Sekjen DPP PKB, namun nama ini ditolak oleh Ketua dewan Syuro PKB, KH. Abdurrachman Wahid. Bahkan akhirnya Gus Dur menetapkan nama Kahfi sebagai calon dari PKB.
Melihat kenyataan ini Kiai Muhith ketika ditemui di acara silaturrahmi antara PWNU dengan PCNU se Jatim awal Juli lalu mengatakan, “kalau saya gelo tapi kalau Kiai Masduki mangkel,” kata mbah Muhith mengakhiri pembicaraan dengan Suara Santri di ruang VIP Bir Ali Asrama Haji Sukolilo Surabaya. (m.muslih albaroni)
Sejak diputuskan khithah bagi Jam’iyah NU pada Muktamarnya tahun 1984 di Ponpes Salafiyah syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo, kesibukan Mbah Muchit (sapaan akrabnya) bertambah. Sebab mbah Muchit-lah yang selalu memberikan penjelasan masalah khithah ke masyarakat. Selain itu juga sering menulis tentang khithah di majalah AULA terbitan PWNU Jawa Timur.
Kendati kelahiran daerah pesisir yang kebanyakan bertemperamen keras, tetapi tidak ada sifat keras pada diri mbah Muchit, bahkan sebaliknya penuh dengan kesabaran dan tawadlu’, bahkan terkesan sangat hormat kepada siapa saja yang bertamu kepadanya. Hal ini karena keilmuannya yang tinggi dan sudah banyak “makan garam” kehidupan. Pada suatu kesempatan mbah Muchit mengatakan bahwa dirinya dipanggil kiai karena dia punya adik seorang kiai, yakni KH. Hasyim Muzadi pengasuh pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang, yang juga ketua umum PBNU. Itulah sekilas gambaran Kiai Muchit, ibarat padi makin berisi makin merunduk..
Masa Pembentukan
Walau anggota mustasyar PBNU ini mengaku bukan sebagai anak kiai atau aktivis pergerakan, tetapi suasana revolusi telah memaksanya untuk aktif di dunia pergerakan, sejak dari pergerakan keilmuan hingga kemerdekaan. Setelah belajar di pesantren Tuban ia melanjutkan belajar kepada Hadlratussyaikh KH. Hasyim /asy’ari di pesantren Tebuireng Jombang. Di Tebuoreng ia tidak hanya belajar agama saja, tapi juga belajar berorganisasi. Karena itu, pada tahun 1941, saat usia muda ia telah menjadi anggota NU. Selain itu, disana ia juga bertemu dengan beberapa santri terkenal dari daerah lain, diantaranya Ahmad Shidiq.
Karena ia tidak memiliki prestasi yang menonjol saat itu, makanya ketika KH. A.Wahid Hasyim mendirikan pendidikan kader khusus, Muchit muda tidak termasuk santri yang direkrut. Namun demikian ia banyak belajar pada peserta kader khusus itu, sehingga iua mendapatkan pengetahuan umum yang memadai. Kemampouan itu yang dijadikann bekal untuk memasuki dunia luar pesantren, yang selanjutnya ia banyak berkiprah di sana dalam berbagai profesi.
Untuk menerapkan pengetahuannya itu, maka setamat dari Tebuireng ia kembali ke kampung halamannya di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru ia juga tidak bertopang dagu, yapi ikut berjuang melawan penjajah, masuk ke Lasykar.
Ketika suasana kembali normal, pada tahun 1952 mbah Muchit mendirikan Sekolah Menengah Islam (SMI), selanjutnya pada tahun 1954 juga mendirikan Madrasah Muallimin Nahdlatul Ulama. Begitu juga ketika pada tahun 1961 mendapatkan tugas sebagai pegawai di IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, maka digunakan kesempatan untuk mbelajar lagi dengan mengikuti kuliyah di Universitas Cokroaminoto. Di kota gudeg itulah rupanya ia menemukan ide-ide pembaharuan. Maka ketika ditugaskan di IAIN Malang tahun 1963 iapun sempat merintis SMP NU. Begitu juga ketika menjadi PD II di IAIN Sunan Ampel Jember ia juga mendirikan Madrasah Tsanawiyah. Di seluruh sekolahan yang dirintisnya itu ia bertindak sebagai kepala sekolah. Gerak hidup yang dinamis itu rupanya yang membuat ia tidak mendirikan pesantren secara fisik, sebab pesantren yang dibangunnya lebih luas, seluas komunitas NU.
Penugasan ke IAIN Sunan Ampel Jember rupanya sebuah beberuntungan tersendiri buatnya, sebab disana ia bertemu dengan sahabat seperguruannya yang mengasuh pesantren besar disana, yaitu KH. Achmad Shidiq. Dengan demikian ia menemukan partner diskusi yuang seimbang dan sekaligus guru yang bisa diteladani. Masa-masa itu yang semakin mematangkan pemikirannya, sehingga banyak lahir pemikiran keislaman yang ditulis.
Ketika sahabatnya itu menjadi Rais Am Syuriyah PBNU yang saat itu dituntut untuk membuat rumusan konseptual mnengebnai Aswaja, menuntaskan hubungan Islam dengan negara dan mencari rumusan pembaruan pemikiran Islam, serta strategi pengembangan masyarakat NU, maka KH Achmad Shidiq semakin membutuhkan pikiran mbah Muchit. Karenanya ia diangkat sebagai sekretaris yang sekaligus penasehat pribadinya.
Dengan dibantu mbah Muchit, maka langkah Kiai Ahmad (panggilan KH Ahmad Shiddiq) mampu mengimbangi gerak pembaharuan yang dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur), sehingga dalam waktu singkat NU menjadi organisasi yang sangat maju, dan berperan besar baik dalam bidang keagamaan, kemasyarakatan termasuk kenegaraan. Sukses duet Gus Dur dan Kiai Ahmad ini tidak bisa lepas dari pikiran kreatif mbah Muchit Muzadi yang menjaga “dapur” pemikiran Kiai Ahmad.
Kendati berwatak tawadlu’ tetapi sikap tegas dan konsekuen adalah ciri khas pribadinya. Hal hal ini pernah beliau tunjukkan baru-baru ini, ketika proses pencalonan gubernur Jawa Timur baru dimulai. Dimana Mbah Muhith dan para kiai sepuh se Jawa Timur berkumpul untuk membahas calon gubernur dari PKB. Diantara keputusan rapat para kiai itu ialah memunculkan nama Saifullah Yusuf, Sekjen DPP PKB, namun nama ini ditolak oleh Ketua dewan Syuro PKB, KH. Abdurrachman Wahid. Bahkan akhirnya Gus Dur menetapkan nama Kahfi sebagai calon dari PKB.
Melihat kenyataan ini Kiai Muhith ketika ditemui di acara silaturrahmi antara PWNU dengan PCNU se Jatim awal Juli lalu mengatakan, “kalau saya gelo tapi kalau Kiai Masduki mangkel,” kata mbah Muhith mengakhiri pembicaraan dengan Suara Santri di ruang VIP Bir Ali Asrama Haji Sukolilo Surabaya. (m.muslih albaroni)
KH. Maimon Zubair
Matahari Dari SarangJika matahari terbit dari timur, maka mataharinya para santri ini terbit dari Sarang. Pribadi yang santun, jumawa serta rendah hati ini lahir pada hari Kamis, 28 Oktober 1928. Beliau adalah putra pertama dari Kyai Zubair. Seorang Kyai yang tersohor karena kesederhanaan dan sifatnya yang merakyat. Ibundanya adalah putri dari Kyai Ahmad bin Syu’aib, ulama yang kharismatis yang teguh memegang pendirian.
Mbah Moen, begitu orang biasa memanggilnya, adalah insan yang lahir dari gesekan permata dan intan. Dari ayahnya, beliau meneladani ketegasan dan keteguhan, sementara dari kakeknya beliau meneladani rasa kasih sayang dan kedermawanan. Kasih sayang terkadang merontokkan ketegasan, rendah hati seringkali berseberangan dengan ketegasan. Namun dalam pribadi Mbah Moen, semua itu tersinergi secara padan dan seimbang.
Kerasnya kehidupan pesisir tidak membuat sikapnya ikut mengeras. Beliau adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau yang hidup dalam tradisi pesantren diasuh langsung oleh ayah dan kakeknya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati ataupun ekslusif dibanding yang lainnya.
Kesehariannya adalah aktualisasi dari semua itu. Walau banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikannya tercerabut dari basis tradisinya semula. Sementara walau sering kali menjadi peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar, tepatnya yang tidak berhubungan dengan kebiasaan di pesantren sekalipun.
Kematangan ilmunya tidak ada satupun yang meragukan. Sebab sedari balita ia sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama. Sebelum menginjak remaja, beliau diasuh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Manthiq, Balaghah dan bermacam Ilmu Syara’ yang lain. Dan siapapun zaman itu tidaklah menyangsikan, bahwa ayahnda Kyai Maimoen, Kyai Zubair, adalah murid pilihan dari Syaikh Sa’id Al-Yamani serta Syaikh Hasan Al-Yamani Al- Makky. Dua ulama yang kesohor pada saat itu.
Kecemerlangan demi kecermelangan tidak heran menghiasi langkahnya menuju dewasa. Pada usia yang masih muda, kira-kira 17 tahun, Beliau sudah hafal diluar kepala kiab-kitab nadzam, diantaranya Al-Jurumiyyah, Imrithi, Alfiyyah Ibnu Malik, Matan Jauharotut Tauhid, Sullamul Munauroq serta Rohabiyyah fil Faroidl. Seiring pula dengan kepiawaiannya melahap kitab-kitab fiqh madzhab Asy-Syafi’I, semisal Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Pada tahun kemerdekaan, Beliau memulai pengembaraannya guna ngangsu kaweruh ke Pondok Lirboyo Kediri, dibawah bimbingan KH. Abdul Karim yang terkenal dengan Mbah Manaf. Selain kepada Mbah Manaf, Beliau juga menimba ilmu agama dari KH. Mahrus Ali juga KH. Marzuqi.
Di pondok Lirboyo, pribadi yang sudah cemerlang ini masih diasah pula selama kurang lebih lima tahun. Waktu yang melelahkan bagi orang kebanyakan, tapi tentu masih belum cukup untuk menegak habis ilmu pengetahuan.
Tanpa kenal batas, Beliau tetap menceburkan dirinya dalam samudra ilmu-ilmu agama. Sampai pada akhirnya, saat menginjak usia 21 tahun, beliau menuruti panggilan jiwanya untuk mengembara ke Makkah Al-Mukarromah. Perjalanan ini diiringi oleh kakeknya sendiri, yakni KH. Ahmad bin Syu’aib.
Tidak hanya satu, semua mata air ilmu agama dihampirinya. Beliau menerima ilmu dari sekian banyak orang ternama dibidangnya, antara lain Sayyid ‘Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al-Masysyath, Sayyid Amin Al-Quthbi, Syaikh Yasin bin Isa Al- Fadani dan masih banyak lagi.
Dua tahun lebih Beliau menetap di Makkah Al- Mukarromah. Sekembalinya dari Tanah suci, Beliau masih melanjutkan semangatnya untuk “ngangsu kaweruh” yang tak pernah surut. Walau sudah dari Arab, Belaiau masih meluangkan waktu untuk memperkaya pengetahuannya dengan belajar kepada Ulama-ulama’ besar tanah Jawa saat itu. Diantara yang bisa disebut namanya adalah KH. Baidlowi (mertua beliau), serta KH. Ma’shum, keduanya tinggal di Lasem. Selanjutnya KH. Ali Ma’shum Krapyak Jogjakarta, KH. Bisri Musthofa, Rembang, KH. Abdul Wahhab Hasbullah, KH. Mushlih Mranggen, KH. Abbas, Buntet Cirebon, Sayikh Ihsan, Jampes Kediri dan juga KH. Abul Fadhol, Senori.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan diri untuk berkhidmat pada ilmu-ilmu agama. Hal itu diiringi dengan berdirinya Pondok Pesantren yang berada disisi kediaman Beliau. Pesantren yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar. Satu dari sekian pesantren yang ada di Sarang.
Keharuman nama dan kebesaran Beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi dengan peta geografis. Banyak sudah ulama-ulama dan santri yang berhasil “jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren Beliau. Sudah terbukti bahwa ilmu-ilmu yang Belaiu miliki tidak cuma membesarkan jiwa Beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari Beliau.
Tiada harapan lain, semoga Allah melindungi Beliau demi kemaslahatan kita bersama di dunia dan akherat.
Amin.
No comments:
Post a Comment