Friday, July 20, 2012

Agama Filsafat Tuhan

أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Melacak asal-usul manusia menjadi landasan pokok setiap pandangan dunia. Setiap diskusi tentang bagaimana manusia harus hidup  membawa kita kembali pada masalah asal-usul manusia. Jawaban yang diberikan ilmu ataupun agama mengenai masalah ini saling bertentangan, sebagaimana yang juga terjadi dengan masalah-masalah lain.
Ilmu memandang asal-usul manusia sebagai akibat dari suatu proses panjang evolusi dari bentuk kehidupan rendah di mana tidak ada perbedaan jelas antara hewan dan manusia. Anggapan ilmu bahwa seseorang adalah manusia ditentukan oleh fakta-fakta material eksternal; berjalan tegak, membuat alat, atau berbicara. Di sini manusia adalah anak alam dan terus demikian adanya. Soal manusia merupakan produk evolusi ataukah “diciptakan” mengarah kepada pertanyaan selanjutnya: siapakah manusia itu? Apakah ia merupakan bagian dari dunia atau sesuatu yang berbeda dari dunia?
Kaum materialisme mempertahankan pendapat bahwa manusia adalah “hewan yang sempurna”. Perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada tingkatnya, bukan pada kualitasnya. Tidak ada esensi manusia yang spesifik.[1] Hanya ada “konsep histories dan konsep sosial tentang manusia” dan “sejarah yang nyata hanyalah sejarah ekonomi dan sejarah sosial”[2] Manusia adalah sebuah system seperti juga alam, dan tersubordinasikan kepada hukum-hukum alam umum yang tak terelakan. “Manusia adalah produk lingkungan dan pekerjaannya,” ujar F. Engels. “Tangan menyebabkan dan mendorong terjadinya perkembangan kehidupan psikologi, penemuan bahasa menandai berakhirnya fase sejarah zoologis dan dimulainya sejarah manusia, demikianlah materialisme, mengurai manusia.”[3]
Gagasan ini tampaknya meyakinkan. Tapi juda pada saat yang bersamaan hampir jelas bahwa itu adalah penolakan radikal atas manusia.
Darwin mengambil gambaran manusia yang inpersonal ini dan mendeskripsikan pendakian yang dilakukan manusia melalui nature selection hingga mencapai taraf manusia yang berbicara, membuat alat, dan berjalan tegak. Biologi melengkapi gambaran ini dengan memperlihatkan bahwa segala sesuatu bisa ditelusuri hingga ke bentuk kehidupan awal yang pada gilirannya adalah suatu proses kimia-fisika, suatu permainan konfigurasi molekul-molekul. Hidup, kata hati (perasaan), dan jiwa tidak ada, dan konsekuensinya esensi manusia juga tidak ada.
 
 
MANUSIA MATERIALISME
Berjuang untuk meraih kenikmatan dan menghindari kepedihan. Dengan dua kalimat padat inilah, dua pemikir besar materialisme, Epicurus di masa lampau dan Holback di masa modern ini, menjelaskan prinsip-prinsip dasar kehidupan, bukan hanya kehidupan manusia tapi juga kehidupan binatang.
Materialisme selalu menekankan pada hal yang serupa yang terdapat dalam diri manusia maupun binatang, sementara agama menekankan pada hal yang lain. Makna dari beberapa jenis sesembahan dan larangan-larangan yang terdapat dalam agama hanya dipandang sebagai hal-hal yang menggaris wawahi perbedaan ini.
 
Dalam usahanya untuk menekankan ciri kebinatangan  dalam diri manusia, materialisme kadangkala menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekedar perhatian umum terhadap kebenaran. Darwin tidak menganggap manusia sebagai binatang. Alih-alih, ia membuat manusia waspada akan asal-usul kebinatangannya. Di luar “kewaspadaan” ini, ahli-ahli terus berusaha menarik “kesimpulan layak” baik yang sifatnya moral maupun politis: suatu masyarakat manusia tidak lain adalah suatu gerombolan dalam bentuknya yang beradab, dan peradaban adalah kebangkitan manusia; penolakan terhadap pelbagai larangan, penguasaan atas alam, hidup dengan lebih mengandalkan indera ketimbang ruh, dan seterusnya.
 
SUBSTANSI KEMANUSIAAN
Dengan memantapkan kesatuan atau kesinambungan antara manusia dengan hewan, evolusi menghapuskan perbedaan antara alam dan kebudayaan. Tapi dengan mengambil titik awal yang berbeda, agama memapaankan kembali perbedaan ini. Oleh karena itulah, semenjak peristiwa penciptaan, manusia –beserta keluruh kebudayaan yang melingkupinya- tak henti-hentinya menentang seluruh perkembangan sejarahnya. Inilah mulainya perbedaan antara kebudayaan dan peradaban.
 “manusia adalah hewan yang menolak untuk menjadi demikian,” esensi seluruh perilaku keagamaan adalah penolakan ini “perhatikan apa yang dilakukan binatang, dan lakukan hal yang berlawanan: binatang melahap apa saja, maka perpuasalah kamu; binatang kawin tanpa aturan, berpantanglah kami; binatang hidup bergerombol, maka engkau harus mencoba hidup sendiri; dan lain-lain. Denga kata lain, mereka hidup denga badan, maka engkau harus hidup dengan ruhmu.
Penolakan atas posisi zoologis, “keinginan negative” yang tidak dapat diterangkan baik teori-teori Darwin maupun rasional, adalah sebuah fakta krusial yang terdapat dalam kehidupan manusia. Kenyataan ini bisa jadi merupakan kutukan atau rahmat bagi manusia, namun itu hanyalah sebuah kualitas khas yang membuat individu menjadi manusia.
Dalam kenyataannya, kesetaraan dan sekaligus ketidaksamaan absolute antara manusia dan binatang memang benar ada. Kita menemukan adanya konformitas dalam aspek biologis dan konstitusionalm, yakni aspek mekanis. Tapi di sisi lain. Tidak ada kesetaraan dalam esensi; seekor binatang tidak bersalah, tidak menanggung dosa, dan secara moral bersifat netral seperti benda-benda. Sementara manusia tidak pernah demikian dan sejak “binatang mengalami humanisasi,” sejak “percakapan di pintu surga,” atau sejak “kejatuhannya ke bumi” yang terkenal itu, manusia tidak dapat memilih untuk menjadi binatang yang tidak bersalah, manusia “dibebaskan tanpa mempunyai pilihan untuk kembali.” Maka setiap solusi Fredian dikesampingkan. Sejak saat itu, ia tidak dapat memilih menjadi seekor binatang atau seorang manusia; ia hanya dapat menjadi manusia atau non-manusia.
Jika manusia hanya merupakan binatang yang paling sempurna, maka hidupnya akan sederhana dan tanpa misteri. Dalam diri manusia bukan hanya kebenaran fundamental, tetapi juga dosa-dosa dan kejahatankita didasarkan pada fakta penciptaan ini. Di sanalah kita menemukan harga diri kita sebagai manusia, perjuangan moral, tragedi-tragedi dan dilema-dilema, ketidakpuasan, kutukan, kekejaman dan kebahagiaan.[4] Binatang tidak mengenal itu semua, dan dalam hal-hal tersebut terletak peristiwa penciptaan-epos.
Masalah penciptaan adalah benar-benar masalah kebebasan manusia. Jika seseorang menerima pernyataan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dan bahwa semua tindakannya telah ditentukan –baik oleh sesuatu yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya- maka ia akan menganggap bahwa Tuhan tidak dibutuhkan dalampenjelasan dan pemahaman tentang dunia. Jika seseorang memberikan atribut kebebasan kepada manusia, jika ia mengganggap manusia mempunyai beban tanggung jawab, maka ia akan melihat eksistensi Tuhan, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Hanya Tuhan yang dapat menciptakan mahluk bebas, dan kebebasan hanya timbul dari tindakan penciptaan. Kebebasan bukanlah akibat atau hasil dari evolusi. Kebebasan dan hasil adalah dua gagasan  yang berlainan. Tuhan tidak menghasilkan atau membangun. Ia menciptakan. Kita bisa mengatakan hal serupa kepada seniman, karena seniman yang membangun tidak menciptakan pribadi, kecuali tiruan manusia. Sebuah pribadi tidak dapat dibangun. Bisakah anda bayangkan, bagaimana sebuah potret bisa bermakna tanpa Tuhan. Mungkin, cepat atau lambat, selama abad ini atau setelah sejuta tahun peradaban berlangsung, manusia akan berhasil membuat tiruan dirinya, sejenis robot atau monster, yang sangat mirip dengan pembuatnya. Robot yang mirip dengan manusia ini mungkin akan sangat mirip dengan manusia, tapi yang pasti, ia tidak akan memiliki kebebasan, dan ia hanya akan sanggup melakukan perintah yang telah dipogramkan untuknya. Di sinilah letaknya kebebasan ciptaan Tuhan yang tidak dapat ditiru atau dibandingkan dengan apapun yang ada sebelum atau sesudah diciptakannya kosmos. Dalam satu masa keabadian, suatu mahluk bebas mulai ada. Tanpa sentuhan Ilahiah, hasil evolusi tidak akan berbentuk manusia, tapi lebih merupakan binatang yang lebih berkembang, binatang super, suatu mahluk dengan tubuh dan akal manusia tetapi tanpa hati dan kepribadian.
Akan tanpa disertai oleh pertimbangan moral barangkali akan lebih efisien tetapi, pada saat yang bersamaan, lebih kejam. Beberapa orang membayangkan mahluk serupa ini dengan sejenis mahluk yang datang dari planet yang jauh dalam alam semesta ini; sebagian lain memandang sebagai produk peradaban dalam taraf perkembangan yang lebih tinggi. Ada mahluk seperti yang terdapat dalam Faust-nya Goethe. Harus dicatat di sini bahwa tidak ada analogi antara mahluk yang kejam dan acuh tak acuh (homunculus) dengan prilaku criminal yang paling jahat. Manusia bisa memilih untuk bertindak melawan hokum-hukum moral, tetapi sebagai monster ia tidak dapat keluar dari lingkungan moral, melintasi kebaikan dan kejahatan. Manusia tidak dapat “mematikan” dirinya.
Bagaimanapun, manusia itu selalu baik atau buruk, tidak pernah polos, dan inilah yang mungkin menjadi makna puncak dalam kisah-kisah kitab suci mengenai kejatuhan, dosa dan pengampunan. Sejak saat ‘pengusirannya’ dari Surga, Adam (manusia) tidak dapat melepaskan diri dari kebebasannya dan menjadi sepolos binatang atau malaikat. Ia harus memilih, menggunakan kebebasannya untuk menjadi baik atau menjadi jahat. Singkatnya, menjadi manusia. Kemampuan untuk memilih ini adalah bentuk tertinggi yang mungkin ada dari seluruh eksistensi di alam semesta ini.
 
 
PSIKOLOGI DAN JIWA MANUSIA
Manusia mempunyai jiwa, tapi psikologi bukanlah ilmu mengenai jiwa. Tidak akan pernah ada ilmu mengenai jiwa. Psikologi berkaitan dengan beberapa bentuk kehidupan batin. Itulah sebabnya ia dapat berbicara mengenai psiko-fisiologi, psikometri, kesehatan jiwa, dan fisik dari psike. Kemungkinan yang dimiliki psikologi kuantitatif meneguhkan tesis tentang ciri luar, mekanis, dan kuantitatif (yaitu ciri tanpa jiwa) dari pikiran dan perasaan. Psikologi manusia dan hewan mungkin menjadi pelengkap satu sama lain, karena psikologi tidak ada hubungannya dengan jiwa, melainkan dengan manifestasi psikologis. Ini sejalan dengan apa yang ditulis dengan John Watson:
“Psikologi manusia, sebagaimana dipahami dalam behaviorisme, harus dibangun berdasarkan contoh objektif dan [sikologi eksperimental binatang meminjam cara penelaahan, metode, dan tujuannya. Karena itu, tidak ada dua jenis psikologi –manusia dan binatang—yang terpisah oleh tirai besi, tidak mengenal satu sama lain, atau secara mendasar mempunyai objek, metode dan tujuan yang berbeda. Jadi hanya satu psikologi yang mendapat tempat di deretan ilmu-ilmu Alam.”[5]
Kutipan ini memerlukan komentar. Jika kita menggunakan istilah dalam Islam, maka kita bisa mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang nafs, bukan ilmu tentang ruh. Jadi, merupakan ilmu yang berbeda dalam dataran biologis, bukan personal.  Terdapat tiga buah lingkaran: mekanis, biologis dan personal, yang berkaitan dengan tiga tataran realitas; materi, hidup dan kepribadian. Cara berpikir semacan ini mengarah kepada penerapan metode ilmiah, yang selalu mengimplikasikan suatu kausalitas absolute, dan dengan sendirinya hal itu berarti suatu pengingkaran atas kebebasan yang menjadi esensi jiwa. Usaha kita untuk “mempelajari” jiwa membawa kita kepada penolakan atas “subjekstudi”. Dan tidak ada jalan kelaur dari lingkaran setan ini.
 
 
DIMANAKAH POSISI AGAMA?
Persamaan dan persaudaraan manusia hanya dimungkinkan jika manusia diciptakan oleh Tuhan. Persaudaraan manusia bersifat spiritual, dan bukan fisikal-alamiah atau intelektual. Ia ada sebagai sebuah kualitas moral manusia, sebagai harkat kemanusiaannya, atau sebagai nilai kesetaraan dalam pribadi manusia. Sebaliknya, sebagai makhluk fisikal, mahluk berpikir dan mahluk sosial, sebagai anggota kelompok, kelas dan bangsa manusia sangat tidak sejajar. Jika nilai spiritual manusia tidak dikenali (dan ini adalah karakter keagamaan) maka satu-satunya dasar yang nyata bagi persamaan manusia akan hilang.
Kesejajaran, karenanya, hanya menjadi sepatah kata yang tidak memiliki dasar ata maknam dan karenanya itu akan segera kehilangan makna begitu dihadapkan  dengan bukti-bukti tentang ketidak sejajaran manusia, atau dengan keinginan alamiah manusia untuk memerintah dan menaati, dan karenanya menjadi tidak sejajar. Begitu pendekatan keagamaan digeser, maka ruang kosong yang tersedia akan diisi oleh berbagai berbagai bentuk ketidaksejajaran rasial, nasional, sosial dan politik.
Martabat manusia tidak dapat ditemukan dalam biologi, psikologi atau ilmu-ilmu lainnya. Martabat manusia adalah masalah spiritual. Setelah “pengamatan-pengamatan objektif”, maka akan lebih mudah bagi ilmu untuk mengkonfirmasikan ketidaksejajaran yang ada dalam manusia, dan dari sinilah “rasisme ilmiah” menjadi dimungkinkan dan bahkan dianggap masuk akal.
Etika Socrates, Pytagoras dan Seneca tidak lebih rendah dibandingkan etika agama, tetapi bagaimanapun tetap ada perbedaan jelas: hanya etika agama yang diwahyukanlah yang mampu mempostulasikan dengan jelas dan tampa ambiguitas kesejajaran manusia sebagai mahluk Tuhan. Bahkan plato pun menerima bahwa sewajarnyalah manusia itu berbeda. Sebaliknya, batu pertama yang mendasari agama wahyu adalah asal-usulnya yang sama, dan karenanya kesejajaran absolute dari semua manusia. Gagasan ini mengandung dampak fundamental bagi perkembangan spiritual, etis dan sosial yang selanjutnya dari manusia. Jika Tuhan tidak ada, maka jelas manusia tidak bisa diharapkan akan bisa sejajar.
Nietzsche mengklaim bahwa agama telah diperalat oleh mereka yang lemah untuk memperdaya mereka yang kuat. Sementara Marx mempertahankan hal sebaliknya. Jika kita menerima bahwa agama adalah suatu mimpi, maka interpretasi Nietzsche tampaknya lebih meyakinkan, karena hanya dalam agamalah si lemah bisa menuntut kesejajaran. Ilmu dan semua yang lain kecuali agama telah meneguhkan ketidaksejajaran tersebut.
Humanisme bukan kedermawanan, pemberi maaf, atau toleransi, meskipun ini semua bisa merupakan akibat dari humanisme. Humanisme terutama adalah penegasan atas manusia dan kebebasannya; yaitu atas nilainya sebagai manusia.   Segala sesuatu yang merendahkan kepribadian manusia yang manjatuhkan hingga sederajat dengan benda-benda, adalah tidak manusiawi. Mereduksi manusia hingga tinggal sebagai produsen atau konsumen, bahkan seandainya tiap manusia diberikan tempat dalam system produksi dan konsumsi dan menganggap hanya itulah yang terbaik, adalah bukan pertanda humanisme,melainkan dehumanisasi. Pendidikan juga bisa menjadi tidak manusiawi; jika pendidikan itu berat sebelah, langsung dan mendoktrin; jika ia tidakmengajarkan seseorang untuk berpikir mandiri, jika ia hanya memberikan jawaban-jawaban yang siap pakai, jika ia hanya menyiapkan orang untuk memenuhi fungsi-fungsi ketimbang memperluas cakrawala.
Tanpa agama dan konsep mengenai perjuangan abadi jiwa, tidak ada kepercayaan otentik tentang manusia sebagai nilai tertinggi. Tanpa itu, tidak ada kepercayaan bahwa manusia memiliki kebebasan dan bahwa ia benar-benar ada. Humanisme ateistik adalah sebuak kontradiksi, karena “jika Tuhan tidak ada, maka manusia juga tidak ada” dan jika manusia tidak ada, maka humanisme hanya sebuah kata tanpa makna. Orang yang tidak mengakui oenciptaan manusia sesungguhnya tidak mengerti makna sejati humanisme. Karena ia telah kehilangan standar dasarnya, maka ia akan selalu mereduksi humanisme sampai pada batas produksi barang-barang dan pendistribusiannya.
 “Manusia adalah  produk lingkungannya” postulat dasar materialisme ini berlaku sebagai titik awal dari semua teori  tak manusiawi yang mengikutinya dalam bidang hokum dan sosiologi, dan dalam berbagai praktik manipulasi manusia, yang dalam zaman kita ini mencapai proporsi yang mengerikan pada masa Nazisme dan Stalinisme, Saddanisme dan Bushisme. Semua teori serupa yang sama menggiurkannya tentang keutamaan masyarakat atas individu, tentang kewajiban manusia untuk mengabdi kepada masyarakat yang dikaburkan, dan seterusnya, juga termasuk di sini.
Manusia tidak boleh mengabdi kepada siapa pun, ia tidak boleh menjadi alat. Segala sesuatu selain manusialah yang harus mengabdi kepada manusia, sedangkan manusia hanya boleh mengabdi kepada Tuhan. Inilah makna hakiki dari humanisme; hakekat hewan yang memanusia!. [www.wisdoms4all.com]
 

 

[1] . “Tidak ada garis pemisah antara manusia dan binatang buas” John Watson, Psikologi Nilai, hal. 118
[2] . Eksistensialism or Materialism, G. Lukacs. Lih. Sejarah Filsafat, Magnes suseno, 2/43
[3] . Catatan Pinggir 2, G. Gunawan, hal: 99
[4] . Bandingkan dengan QS. 91: 7-8
[5] . lih. Kutipan Membangun Jalan Tengah, Ali Izegbegovic, Mizan 1992

No comments: