أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Melacak asal-usul manusia menjadi landasan pokok
setiap pandangan dunia. Setiap diskusi tentang
bagaimana manusia harus hidup membawa kita kembali
pada masalah asal-usul manusia. Jawaban yang
diberikan ilmu ataupun agama mengenai masalah ini
saling bertentangan, sebagaimana yang juga terjadi
dengan masalah-masalah lain.
Ilmu memandang asal-usul manusia sebagai akibat dari
suatu proses panjang evolusi dari bentuk kehidupan
rendah di mana tidak ada perbedaan jelas antara
hewan dan manusia. Anggapan ilmu bahwa seseorang
adalah manusia ditentukan oleh fakta-fakta material
eksternal; berjalan tegak, membuat alat, atau
berbicara. Di sini manusia adalah anak alam dan
terus demikian adanya. Soal manusia merupakan produk
evolusi ataukah “diciptakan” mengarah kepada
pertanyaan selanjutnya: siapakah manusia itu? Apakah
ia merupakan bagian dari dunia atau sesuatu yang
berbeda dari dunia?
Kaum materialisme mempertahankan pendapat bahwa
manusia adalah “hewan yang sempurna”. Perbedaan
antara manusia dan hewan terletak pada tingkatnya,
bukan pada kualitasnya. Tidak ada esensi manusia
yang spesifik.[1]
Hanya ada “konsep histories dan konsep sosial
tentang manusia” dan “sejarah yang nyata hanyalah
sejarah ekonomi dan sejarah sosial”[2]
Manusia adalah sebuah system seperti juga alam, dan
tersubordinasikan kepada hukum-hukum alam umum yang
tak terelakan. “Manusia adalah produk lingkungan dan
pekerjaannya,” ujar F. Engels. “Tangan menyebabkan
dan mendorong terjadinya perkembangan kehidupan
psikologi, penemuan bahasa menandai berakhirnya fase
sejarah zoologis dan dimulainya sejarah manusia,
demikianlah materialisme, mengurai manusia.”[3]
Gagasan ini tampaknya meyakinkan. Tapi juda pada
saat yang bersamaan hampir jelas bahwa itu adalah
penolakan radikal atas manusia.
Darwin mengambil gambaran manusia yang inpersonal
ini dan mendeskripsikan pendakian yang dilakukan
manusia melalui nature selection hingga
mencapai taraf manusia yang berbicara, membuat alat,
dan berjalan tegak. Biologi melengkapi gambaran ini
dengan memperlihatkan bahwa segala sesuatu bisa
ditelusuri hingga ke bentuk kehidupan awal yang pada
gilirannya adalah suatu proses kimia-fisika, suatu
permainan konfigurasi molekul-molekul. Hidup, kata
hati (perasaan), dan jiwa tidak ada, dan
konsekuensinya esensi manusia juga tidak ada.
MANUSIA MATERIALISME
Berjuang untuk meraih kenikmatan dan menghindari
kepedihan. Dengan dua kalimat padat inilah, dua
pemikir besar materialisme, Epicurus di masa lampau
dan Holback di masa modern ini, menjelaskan
prinsip-prinsip dasar kehidupan, bukan hanya
kehidupan manusia tapi juga kehidupan binatang.
Materialisme selalu menekankan pada hal yang serupa
yang terdapat dalam diri manusia maupun binatang,
sementara agama menekankan pada hal yang lain. Makna
dari beberapa jenis sesembahan dan larangan-larangan
yang terdapat dalam agama hanya dipandang sebagai
hal-hal yang menggaris wawahi perbedaan ini.
Dalam usahanya untuk menekankan ciri kebinatangan
dalam diri manusia, materialisme kadangkala
menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekedar
perhatian umum terhadap kebenaran. Darwin tidak
menganggap manusia sebagai binatang. Alih-alih, ia
membuat manusia waspada akan asal-usul
kebinatangannya. Di luar “kewaspadaan” ini,
ahli-ahli terus berusaha menarik “kesimpulan layak”
baik yang sifatnya moral maupun politis: suatu
masyarakat manusia tidak lain adalah suatu
gerombolan dalam bentuknya yang beradab, dan
peradaban adalah kebangkitan manusia; penolakan
terhadap pelbagai larangan, penguasaan atas alam,
hidup dengan lebih mengandalkan indera ketimbang ruh,
dan seterusnya.
SUBSTANSI KEMANUSIAAN
Dengan memantapkan kesatuan atau kesinambungan
antara manusia dengan hewan, evolusi menghapuskan
perbedaan antara alam dan kebudayaan. Tapi dengan
mengambil titik awal yang berbeda, agama memapaankan
kembali perbedaan ini. Oleh karena itulah, semenjak
peristiwa penciptaan, manusia –beserta keluruh
kebudayaan yang melingkupinya- tak henti-hentinya
menentang seluruh perkembangan sejarahnya. Inilah
mulainya perbedaan antara kebudayaan dan peradaban.
“manusia adalah hewan yang menolak untuk menjadi
demikian,” esensi seluruh perilaku keagamaan adalah
penolakan ini “perhatikan apa yang dilakukan
binatang, dan lakukan hal yang berlawanan: binatang
melahap apa saja, maka perpuasalah kamu; binatang
kawin tanpa aturan, berpantanglah kami; binatang
hidup bergerombol, maka engkau harus mencoba hidup
sendiri; dan lain-lain. Denga kata lain, mereka
hidup denga badan, maka engkau harus hidup dengan
ruhmu.
Penolakan atas posisi zoologis, “keinginan negative”
yang tidak dapat diterangkan baik teori-teori Darwin
maupun rasional, adalah sebuah fakta krusial yang
terdapat dalam kehidupan manusia. Kenyataan ini bisa
jadi merupakan kutukan atau rahmat bagi manusia,
namun itu hanyalah sebuah kualitas khas yang membuat
individu menjadi manusia.
Dalam kenyataannya, kesetaraan dan sekaligus
ketidaksamaan absolute antara manusia dan binatang
memang benar ada. Kita menemukan adanya konformitas
dalam aspek biologis dan konstitusionalm, yakni
aspek mekanis. Tapi di sisi lain. Tidak ada
kesetaraan dalam esensi; seekor binatang tidak
bersalah, tidak menanggung dosa, dan secara moral
bersifat netral seperti benda-benda. Sementara
manusia tidak pernah demikian dan sejak “binatang
mengalami humanisasi,” sejak “percakapan di pintu
surga,” atau sejak “kejatuhannya ke bumi” yang
terkenal itu, manusia tidak dapat memilih untuk
menjadi binatang yang tidak bersalah, manusia
“dibebaskan tanpa mempunyai pilihan untuk kembali.”
Maka setiap solusi Fredian dikesampingkan. Sejak
saat itu, ia tidak dapat memilih menjadi seekor
binatang atau seorang manusia; ia hanya dapat
menjadi manusia atau non-manusia.
Jika manusia hanya merupakan binatang yang paling
sempurna, maka hidupnya akan sederhana dan tanpa
misteri. Dalam diri manusia bukan hanya kebenaran
fundamental, tetapi juga dosa-dosa dan kejahatankita
didasarkan pada fakta penciptaan ini. Di sanalah
kita menemukan harga diri kita sebagai manusia,
perjuangan moral, tragedi-tragedi dan dilema-dilema,
ketidakpuasan, kutukan, kekejaman dan kebahagiaan.[4]
Binatang tidak mengenal itu semua, dan dalam hal-hal
tersebut terletak peristiwa penciptaan-epos.
Masalah penciptaan adalah benar-benar masalah
kebebasan manusia. Jika seseorang menerima
pernyataan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan
dan bahwa semua tindakannya telah ditentukan –baik
oleh sesuatu yang berasal dari dalam maupun dari
luar dirinya- maka ia akan menganggap bahwa Tuhan
tidak dibutuhkan dalampenjelasan dan pemahaman
tentang dunia. Jika seseorang memberikan atribut
kebebasan kepada manusia, jika ia mengganggap
manusia mempunyai beban tanggung jawab, maka ia akan
melihat eksistensi Tuhan, baik secara diam-diam
maupun secara terbuka. Hanya Tuhan yang dapat
menciptakan mahluk bebas, dan kebebasan hanya timbul
dari tindakan penciptaan. Kebebasan bukanlah akibat
atau hasil dari evolusi. Kebebasan dan hasil adalah
dua gagasan yang berlainan. Tuhan tidak
menghasilkan atau membangun. Ia menciptakan. Kita
bisa mengatakan hal serupa kepada seniman, karena
seniman yang membangun tidak menciptakan pribadi,
kecuali tiruan manusia. Sebuah pribadi tidak dapat
dibangun. Bisakah anda bayangkan, bagaimana sebuah
potret bisa bermakna tanpa Tuhan. Mungkin, cepat
atau lambat, selama abad ini atau setelah sejuta
tahun peradaban berlangsung, manusia akan berhasil
membuat tiruan dirinya, sejenis robot atau monster,
yang sangat mirip dengan pembuatnya. Robot yang
mirip dengan manusia ini mungkin akan sangat mirip
dengan manusia, tapi yang pasti, ia tidak akan
memiliki kebebasan, dan ia hanya akan sanggup
melakukan perintah yang telah dipogramkan untuknya.
Di sinilah letaknya kebebasan ciptaan Tuhan yang
tidak dapat ditiru atau dibandingkan dengan apapun
yang ada sebelum atau sesudah diciptakannya kosmos.
Dalam satu masa keabadian, suatu mahluk bebas mulai
ada. Tanpa sentuhan Ilahiah, hasil evolusi tidak
akan berbentuk manusia, tapi lebih merupakan
binatang yang lebih berkembang, binatang super,
suatu mahluk dengan tubuh dan akal manusia tetapi
tanpa hati dan kepribadian.
Akan tanpa disertai oleh pertimbangan moral
barangkali akan lebih efisien tetapi, pada saat yang
bersamaan, lebih kejam. Beberapa orang membayangkan
mahluk serupa ini dengan sejenis mahluk yang datang
dari planet yang jauh dalam alam semesta ini;
sebagian lain memandang sebagai produk peradaban
dalam taraf perkembangan yang lebih tinggi. Ada
mahluk seperti yang terdapat dalam Faust-nya
Goethe. Harus dicatat di sini bahwa tidak ada
analogi antara mahluk yang kejam dan acuh tak acuh (homunculus)
dengan prilaku criminal yang paling jahat. Manusia
bisa memilih untuk bertindak melawan hokum-hukum
moral, tetapi sebagai monster ia tidak dapat keluar
dari lingkungan moral, melintasi kebaikan dan
kejahatan. Manusia tidak dapat “mematikan” dirinya.
Bagaimanapun, manusia itu selalu baik atau buruk,
tidak pernah polos, dan inilah yang mungkin menjadi
makna puncak dalam kisah-kisah kitab suci mengenai
kejatuhan, dosa dan pengampunan. Sejak saat
‘pengusirannya’ dari Surga, Adam (manusia) tidak
dapat melepaskan diri dari kebebasannya dan menjadi
sepolos binatang atau malaikat. Ia harus memilih,
menggunakan kebebasannya untuk menjadi baik atau
menjadi jahat. Singkatnya, menjadi manusia.
Kemampuan untuk memilih ini adalah bentuk tertinggi
yang mungkin ada dari seluruh eksistensi di alam
semesta ini.
PSIKOLOGI DAN JIWA MANUSIA
Manusia mempunyai jiwa, tapi psikologi bukanlah ilmu
mengenai jiwa. Tidak akan pernah ada ilmu mengenai
jiwa. Psikologi berkaitan dengan beberapa bentuk
kehidupan batin. Itulah sebabnya ia dapat berbicara
mengenai psiko-fisiologi, psikometri, kesehatan jiwa,
dan fisik dari psike. Kemungkinan yang dimiliki
psikologi kuantitatif meneguhkan tesis tentang ciri
luar, mekanis, dan kuantitatif (yaitu ciri tanpa
jiwa) dari pikiran dan perasaan. Psikologi manusia
dan hewan mungkin menjadi pelengkap satu sama lain,
karena psikologi tidak ada hubungannya dengan jiwa,
melainkan dengan manifestasi psikologis. Ini sejalan
dengan apa yang ditulis dengan John Watson:
“Psikologi manusia, sebagaimana dipahami dalam
behaviorisme, harus dibangun berdasarkan contoh
objektif dan [sikologi eksperimental binatang
meminjam cara penelaahan, metode, dan tujuannya.
Karena itu, tidak ada dua jenis psikologi –manusia
dan binatang—yang terpisah oleh tirai besi, tidak
mengenal satu sama lain, atau secara mendasar
mempunyai objek, metode dan tujuan yang berbeda.
Jadi hanya satu psikologi yang mendapat tempat di
deretan ilmu-ilmu Alam.”[5]
Kutipan ini memerlukan komentar. Jika kita
menggunakan istilah dalam Islam, maka kita bisa
mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang
nafs, bukan ilmu tentang ruh. Jadi,
merupakan ilmu yang berbeda dalam dataran biologis,
bukan personal. Terdapat tiga buah lingkaran:
mekanis, biologis dan personal, yang berkaitan
dengan tiga tataran realitas; materi, hidup dan
kepribadian. Cara berpikir semacan ini mengarah
kepada penerapan metode ilmiah, yang selalu
mengimplikasikan suatu kausalitas absolute, dan
dengan sendirinya hal itu berarti suatu pengingkaran
atas kebebasan yang menjadi esensi jiwa. Usaha kita
untuk “mempelajari” jiwa membawa kita kepada
penolakan atas “subjekstudi”. Dan tidak ada jalan
kelaur dari lingkaran setan ini.
DIMANAKAH POSISI AGAMA?
Persamaan dan persaudaraan manusia hanya
dimungkinkan jika manusia diciptakan oleh Tuhan.
Persaudaraan manusia bersifat spiritual, dan bukan
fisikal-alamiah atau intelektual. Ia ada sebagai
sebuah kualitas moral manusia, sebagai harkat
kemanusiaannya, atau sebagai nilai kesetaraan dalam
pribadi manusia. Sebaliknya, sebagai makhluk fisikal,
mahluk berpikir dan mahluk sosial, sebagai anggota
kelompok, kelas dan bangsa manusia sangat tidak
sejajar. Jika nilai spiritual manusia tidak dikenali
(dan ini adalah karakter keagamaan) maka
satu-satunya dasar yang nyata bagi persamaan manusia
akan hilang.
Kesejajaran, karenanya, hanya menjadi sepatah kata
yang tidak memiliki dasar ata maknam dan karenanya
itu akan segera kehilangan makna begitu dihadapkan
dengan bukti-bukti tentang ketidak sejajaran manusia,
atau dengan keinginan alamiah manusia untuk
memerintah dan menaati, dan karenanya menjadi tidak
sejajar. Begitu pendekatan keagamaan digeser, maka
ruang kosong yang tersedia akan diisi oleh berbagai
berbagai bentuk ketidaksejajaran rasial, nasional,
sosial dan politik.
Martabat manusia tidak dapat ditemukan dalam biologi,
psikologi atau ilmu-ilmu lainnya. Martabat manusia
adalah masalah spiritual. Setelah
“pengamatan-pengamatan objektif”, maka akan lebih
mudah bagi ilmu untuk mengkonfirmasikan
ketidaksejajaran yang ada dalam manusia, dan dari
sinilah “rasisme ilmiah” menjadi dimungkinkan dan
bahkan dianggap masuk akal.
Etika Socrates, Pytagoras dan Seneca tidak lebih
rendah dibandingkan etika agama, tetapi bagaimanapun
tetap ada perbedaan jelas: hanya etika agama yang
diwahyukanlah yang mampu mempostulasikan dengan
jelas dan tampa ambiguitas kesejajaran manusia
sebagai mahluk Tuhan. Bahkan plato pun menerima
bahwa sewajarnyalah manusia itu berbeda. Sebaliknya,
batu pertama yang mendasari agama wahyu adalah
asal-usulnya yang sama, dan karenanya kesejajaran
absolute dari semua manusia. Gagasan ini mengandung
dampak fundamental bagi perkembangan spiritual, etis
dan sosial yang selanjutnya dari manusia. Jika Tuhan
tidak ada, maka jelas manusia tidak bisa diharapkan
akan bisa sejajar.
Nietzsche mengklaim bahwa agama telah diperalat oleh
mereka yang lemah untuk memperdaya mereka yang kuat.
Sementara Marx mempertahankan hal sebaliknya. Jika
kita menerima bahwa agama adalah suatu mimpi, maka
interpretasi Nietzsche tampaknya lebih meyakinkan,
karena hanya dalam agamalah si lemah bisa menuntut
kesejajaran. Ilmu dan semua yang lain kecuali agama
telah meneguhkan ketidaksejajaran tersebut.
Humanisme bukan kedermawanan, pemberi maaf, atau
toleransi, meskipun ini semua bisa merupakan akibat
dari humanisme. Humanisme terutama adalah penegasan
atas manusia dan kebebasannya; yaitu atas nilainya
sebagai manusia. Segala sesuatu yang merendahkan
kepribadian manusia yang manjatuhkan hingga
sederajat dengan benda-benda, adalah tidak manusiawi.
Mereduksi manusia hingga tinggal sebagai produsen
atau konsumen, bahkan seandainya tiap manusia
diberikan tempat dalam system produksi dan konsumsi
dan menganggap hanya itulah yang terbaik, adalah
bukan pertanda humanisme,melainkan dehumanisasi.
Pendidikan juga bisa menjadi tidak manusiawi; jika
pendidikan itu berat sebelah, langsung dan
mendoktrin; jika ia tidakmengajarkan seseorang untuk
berpikir mandiri, jika ia hanya memberikan
jawaban-jawaban yang siap pakai, jika ia hanya
menyiapkan orang untuk memenuhi fungsi-fungsi
ketimbang memperluas cakrawala.
Tanpa agama dan konsep mengenai perjuangan abadi
jiwa, tidak ada kepercayaan otentik tentang manusia
sebagai nilai tertinggi. Tanpa itu, tidak ada
kepercayaan bahwa manusia memiliki kebebasan dan
bahwa ia benar-benar ada. Humanisme ateistik adalah
sebuak kontradiksi, karena “jika Tuhan tidak ada,
maka manusia juga tidak ada” dan jika manusia tidak
ada, maka humanisme hanya sebuah kata tanpa makna.
Orang yang tidak mengakui oenciptaan manusia
sesungguhnya tidak mengerti makna sejati humanisme.
Karena ia telah kehilangan standar dasarnya, maka ia
akan selalu mereduksi humanisme sampai pada batas
produksi barang-barang dan pendistribusiannya.
“Manusia adalah produk lingkungannya” postulat
dasar materialisme ini berlaku sebagai titik awal
dari semua teori tak manusiawi yang mengikutinya
dalam bidang hokum dan sosiologi, dan dalam berbagai
praktik manipulasi manusia, yang dalam zaman kita
ini mencapai proporsi yang mengerikan pada masa
Nazisme dan Stalinisme, Saddanisme dan Bushisme.
Semua teori serupa yang sama menggiurkannya tentang
keutamaan masyarakat atas individu, tentang
kewajiban manusia untuk mengabdi kepada masyarakat
yang dikaburkan, dan seterusnya, juga termasuk di
sini.
Manusia tidak boleh mengabdi kepada siapa pun, ia
tidak boleh menjadi alat. Segala sesuatu selain
manusialah yang harus mengabdi kepada manusia,
sedangkan manusia hanya boleh mengabdi kepada Tuhan.
Inilah makna hakiki dari humanisme; hakekat hewan
yang memanusia!. [www.wisdoms4all.com]
[1]
. “Tidak ada garis pemisah antara manusia dan
binatang buas” John Watson, Psikologi Nilai, hal.
118
[2]
. Eksistensialism or Materialism, G. Lukacs. Lih.
Sejarah Filsafat, Magnes suseno, 2/43
[3]
. Catatan Pinggir 2, G. Gunawan, hal: 99
[4]
. Bandingkan dengan QS. 91: 7-8
[5]
. lih. Kutipan Membangun Jalan Tengah, Ali
Izegbegovic, Mizan 1992
No comments:
Post a Comment