أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Serat Sabdo Palon, Penguasa Ghaib Tanah Jawa (mistik dan klenik kejawen)
Nusantara kita merupakan tempat yang unik, tempat yang penuh misteri, legenda dan cerita -cerita dari peradaban lama, cerita -cerita yang terus menerus memberikan nafas bagi kehidupan masyarakat kita, menjadi sebuah tuntunan dalam kehidupan.
Kearifan Lokal dan
penghormatan terhadap alam merupakan hal yang selalu dijadikan petuah
hidup, namun perkembangan zaman senantiasa mengikis hal - hal seperti
ini dan membuat kita lupa betapa pentingnya kearifan lokal ini, berikut
merupakan sebuah cerita mengenai nusantara yang selalu diliputi oleh
legenda dan cerita.
SABDO PALON dan MBAH PETRUK
Ketika pertama Islam
masuk ke Tanah Jawa. Tidaklah semulus yang orang sangka. Sebab Tanah
Jawa sudah ada manusia. Juga ada bangsa jin yang menganut kepercayaan
kuno. Ada yang menduga mereka adalah penganut Hindu dan Budha. Yakni
agama yang pada saat itu berkembang. Namun banyak yang menduga mereka
adalah penganut kepercayaan Jawa kuno. Mereka ini dipimpin Sabdo Palon.
Karena paham mereka yang
berbeda. Maka ketika Islam masuk disambut dengan peperangan. Bukan
perang sembarang perang. Namun perang magic. Perang ilmu-ilmu gaib.
Sehingga tidak sedikit ulama Islam yang dikirim dari Mesir tewas dalam
peperangan magic itu. Dalam wadah kasar mereka tewas karena tersapu
gelombang pasang, semacam tsunami dan sebagainya. Perang itu berlanjut
dengan banyaknya jatuh korban di kedua pihak.
Maka diutuslah Syekh
Subakir(baca juga tentang walisongo), ulama asal Persia (Iran) yang
dikenal ahli ilmu ghoib dan bisa melihat bangsa jin. Dengan kedatangan
Syekh Subakir benteng pertahanan Sabdo Palon yang super ketat dapat
ditembus. Dan banyak bangsa jin atau manusia pengikut Sabdo Palon yang
binasa. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, Sabdo Palon
mengadakan gencatan senjata. Dia mengajak Syekh Subakir berunding dan
menghentikan perang. Syekh Subakir menerima ajakan tersebut dengan
tangan terbuka. Karena dia juga melihat jalan perundingan jauh lebih
baik daripada melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya.
Kemudian terjadilah
kesepakatan antara Syekh Subakir dengan Sabdo Palon. Isi kesepakatan itu
antara lain, Islam boleh berkembang atau disebarkan di Tanah Jawa
tetapi tidak boleh dilakukan dengan pemaksaan. Islam harus menghormati
dan menghargai budaya, adat istiadat setempat. Islam tidak boleh memaksa
orang yang berbeda keyakinan untuk memeluk agama baru tersebut. Dan
kalau orang Islam yang memimpin atau jadi pemimpin harus mengayomi semua
orang, semua agama, dan semua kepercayaan. Menjunjung tinggi kearifan
lokal. Dan sejak itu Sabdo Palon bersama pengikutnya, termasuk Mbah
Petruk moksa. Mereka hilang dari pandangan umum dan tidak mudah dilihat
oleh manusia biasa. Hanya mereka yang memiliki kelebihan dan paham ilmu
ghoib yang dapat melihatnya.
Sebelum menghilang Sabdo
Palon sempat berpesan kepada Syekh Subakir. Bahwa suatu ketika dia
(Sabdo Palon) atau pengikutnya (Mbah Petruk) akan kembali menunjukan
jati dirinya, kalau pemimpin negeri ini tidak amanah. Tidak mencintai
rakyat. Hanya berbuat untuk kesenangan dirinya dan kelompoknya saja.
Sementara membiarkan rakyat dalam kesengsaraan dan penderitaan.
Kemunculan Sabdo Palon dan para pengikutnya, Mbah Petruk untuk menagih
janji. Sekaligus mengingatkan agar para pemimpin negeri segera sadar,
ingat rakyat, dan ingat bangsa.
Kalau tidak. Selain akan
banyak lagi bencana yang akan melanda negeri ini. Mereka, para pemimpin
pada gilirannnya juga akan menerima bencana. Bahkan bencana yang akan
menimpa mereka lebih dasyat, lebih mengerikan, dan menakutkan. Silakah
Anda boleh percaya kepada cerita babad Tanah Jawa ini atau tidak.
Terserah saja.
Inilah Serat Sabdo Palon Penguasa Ghaib Tanah Jawa
1. Pada sira
ngelingana Carita ing nguni-nguni Kang kocap ing serat Babad Babad
nagari Mojopahit Nalika duking nguni Sang-a Brawijaya Prabu Pan samya
pepanggihan Kaliyan Njeng Sunan Kali Sabda Palon Naya Genggong
rencangira.
Ingatlah kalian semua,
Akan cerita masa lalu, Yang tercantum didalam Babad ( Sejarah ) Babad
Negara Majapahit, Ketika itu, Sang Prabhu Brawijaya, Tengah bertemu,
Dengan Kangjeng Sunan Kalijaga, Ditemani oleh Sabdo Palon dan Naya
Genggong.
2. Sang-a Prabu
Brawijaya Sabdanira arum manis Nuntun dhateng punakawan Sabda Palon
paran karsi Jenengsun sapuniki Wus ngrasuk agama Rasul Heh ta kakang
manira Meluwa agama suci Luwih becik iki agama kang mulya.
Sang Prabhu Brawijaya,
Bersabda dengan lemah lembut, Mengharapkan kepada kedua punakawan(
pengiring dekat )-nya, Tapi Sabdo Palon tetap menolak, Diriku ini
sekarang, Sudah memeluk Agama Rasul (Islam), Wahai kalian kakang berdua,
Ikutlah memeluk agama suci, Lebih baik karena ini agama yang mulia.
3. Sabda palon
matur sugal Yen kawula boten arsi Ngrasuka agama Islam Wit kula puniki
yekti Ratuning Dang Hyang Jawi Momong marang anak putu Sagung kang para
Nata Kang jumeneng ing tanah Jawi Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
Sabdo Palon menghaturkan
kata-kata agak keras, Hamba tidak mau, Memeluk agama Islam, Sebab hamba
ini sesungguhnya, Raja Dahnyang ( Penguasa Gaib ) tanah Jawa, Memelihara
kelestarian anak cucu ( penghuni tanah Jawa ), (Serta) semua Para Raja,
Yang memerintah di tanah Jawa, Sudah menjadi suratan karma (wahai Sang
Prabhu), kita harus berpisah.
4. Klawan Paduka
sang Nata Wangsul maring sunya ruri Mung kula matur petungna Ing benjang
sakpungkur mami Yen wus prapta kang wanci Jangkep gangsal atus taun Wit
ing dinten punika Kula gantos agami Gama Budhi kula sebar ing tanah
Jawa.
Dengan Paduka Wahai Sang
Raja, Kembali ke Sunyaruri (Alam kosong tapi ber-'isi'; Alam yang tidak
ada tapi ada), Hanya saja saya menghaturkan sebuah pesan agar Paduka
menghitung, Kelak sepeninggal hamba, Apabila sudah datang waktunya,
Genap lima ratus tahun, Mulai hari ini, Akan saya ganti agama (di Jawa),
Agama Buddhi akan saya sebarkan ditanah Jawa.
5. Sinten tan
purun nganggeya Yekti kula rusak sami Sun sajakken putu kula Berkasakan
rupi-rupi Dereng lega kang ati Yen durung lebur atempur Kula damel
pratandha Pratandha tembayan mami Hardi Merapi yen wus njeblug mili
lahar.
Siapa saja yang tidak mau
memakai, Akan saya hancurkan, Akan saya berikan kepada cucu saya
sebagai tumbal, Makhluk halus berwarna-warni, Belum puas hati hamba,
Apabila belum hancur lebur, Saya akan membuat pertanda, Pertanda sebagai
janji serius saya, Gunung Merapi apabila sudah meletus mengeluarkan
lahar.
6. Ngidul ngilen
purugira Nggada banger ingkang warih Nggih punika wedal kula Wus nyebar
agama budi Merapi janji mamai Anggereng jagad satuhu Karsanireng Jawata
Sadaya gilir gumanti Boten kenging kalamunta kaowahan.
Kearah selatan barat
mengalirnya, Berbau busuk air laharnya, Itulah waktunya, Sudah mulai
menyebarkan agama Budhi, Merapi janji saya, Menggelegar seluruh jagad,
Kehendak Tuhan, (Karena) segalanya (pasti akan) berganti, Tidak mungkin
untuk dirubah lagi.
Note [Suchamda] : Agama
Budhi bukan berarti semata agama Buddha, tetapi adalah AGAMA KESADARAN /
ELING / HAKIKAT yang bisa meredam kemurkaan alam..
7. Sanget-sangeting
sangsara Kang tuwuh ing tanah Jawi Sinengkalan tahunira Lawon Sapta
Ngesthi Aji Upami nyabarang kali Prapteng tengah-tengahipun Kaline
banjir bandhang Jeronne ngelebna jalmi Kathah sirna manungsa prapteng
pralaya.
Sangat sangat sengsara,
Yang hidup ditanah Jawa, Perlambang tahun kedatangannya, LAWON SAPTA
NGESTI AJI ( LAWON ; 8, SAPTA ; 7, NGESTHI ; 9, AJI ; 1 = 1978),
Seandainya menyeberangi sebuah sungai, Ketika masih berada
ditengah-tengah, Banjir bandhang akan datang tiba-tiba, Tingginya air
mampu menenggelamkan manusia, Banyak manusia sirna karena mati.
8. Bebaya ingkang
tumeka Warata sa Tanah Jawi Ginawe kang paring gesang Tan kenging dipun
singgahi Wit ing donya puniki Wonten ing sakwasanipun Sedaya pra Jawata
Kinarya amertandhani Jagad iki yekti ana kang akarya.
Bahaya yang datang,
Merata diseluruh tanah Jawa, Diciptakan oleh Yang Memberikan Hidup,
Tidak bisa untuk ditolak, Sebab didunia ini, Dibawah kekuasaan, Tuhan
dan Para Dewa, Sebagai bukti, Jagad ini ada yang menciptakan.
9. Warna-warna
kang bebaya Angrusaken Tanah Jawi Sagung tiyang nambut karya Pamedal
boten nyekapi Priyayi keh beranti Sudagar tuna sadarum Wong glidhik ora
mingsra Wong tani ora nyukupi Pametune akeh sirna aneng wana.
Bermacam-macam mara
bahaya, Merusak tanah Jawa, Semua yang bekerja, Hasilnya tidak
mencukupi, Pejabat banyak yang lupa daratan, Pedagang mengalami
kerugian, Yang berkelakuan jahat semakin banyak, Yang bertani tidak
mengahasilkan apa-apa, Hasilnya banyak terbuang percuma dihutan.
10. Bumi ilang
berkatira Ama kathah kang ndhatengi Kayu katahah ingkang ilang Cinolong
dening sujanmi Pan risaknya nglangkungi Karana rebut rinebut Risak
tataning janma Yen dalu grimis keh maling Yen rina-wa kathah tetiyang
ambengal.
Bumi hilang berkahnya,
Banyak hama mendatangi, Pepohonan banyakyang hilang, Dicuri manusia,
Kerusakannya sangat parah, Sebab saling berebut, Rusak tatanan moral,
Apabila malam hujan banyak pencuri, pabila siang banyak perampok.
11. Heru hara
sakeh janma Rebutan ngupaya anggering praja Tan tahan perihing ati
Katungka praptaneki Pageblug ingkang linangkung Lelara ngambra-ambara
Warading saktanah Jawi Enjing sakit sorenya sampun pralaya.
Huru hara seluruh
manusia, Berebut kekuasan kerajaan, Tidak tahan perdihnya hati, Disusul
datangnya, Wabah yang sangat mengerikan, Penyakit berjangkit
kemana-mana, Merata seluruh tanah Jawa, Pagi sakit sorenya mati.
12. Kesandhung
wohing pralaya Kaselak banjir ngemasi Udan barat salah mangsa Angin gung
nggegirisi Kayu gung brasta sami Tinempuhing angin agung Kathah rebah
amblasah Lepen-lepen samya banjir Lamun tinon pan kados samodra bena.
Belum selesai wabah
kematian, Ditambah banjir bandhang semakin menggenapi, Hujan besar salah
waktu, Angin besar mengerikan, Pohon-poho besar bertumbangan, Disapu
angin yang besar, Banyak yang roboh berserakan, Sungai-sungai banyak
yang banjir, Apabila dilihat bagaikan lautan.
13. Alun minggah
ing daratan Karya rusak tepis wiring Kang dumunung kering kanan Kajeng
akeh ingkang keli Kang tumuwuh apinggir Samya kentir trusing laut Sela
geng sami brasta Kabalebeg katut keli Gumalundhung gumludhug suwaranira.
Ombak naik kedaratan,
Membuat rusak pesisir pantai, Yang berada dikiri kanannya, Pohon banyak
yang hanyut, Yang tumbuh dipesisir, Hanyut ketengah lautan, Bebatuan
besar hancur berantakan, Tersapu ikut hanyut, Bergemuruh nyaring
suaranya.
14. Hardi
agung-agung samya Huru-hara nggegirisi Gumleger swaranira Lahar wutah
kanan kering Ambleber angelebi Nrajang wana lan desagung Manungsanya keh
brasta Kebo sapi samya gusis Sirna gempang tan wonten mangga puliha.
Gunung berapi semua, Huru
hara mengerikan, Menggelegar suaranya, Lahar tumpah kekanan dan
kekirinya, Menenggelamkan, Menerejang hutan dan perkotaan, Manusia
banyak yang tewas, Kerbau dan Sapi habis, Sirna hilang tak bisa
dipulihkan lagi.
15. Lindhu ping
pitu sedina Karya sisahing sujanmi Sitinipun samya nela Brekasakan kang
ngelesi Anyeret sagung janmi Manungsa pating galuruh Kathah kang
nandhang roga Warna-warna ingkang sakit Awis waras akeh klang prapteng
pralaya.
Gempa bumi sehari tujuh
kali, Membuat ketakutan manusia, Tanah banyak yang retak-retak, Makhluk
halus yang ikut membantu amarah alam, menyeret semua manusia, Manusia
menjerit-jerit, Banyak yang terkena penyakit, Bermacam-macam sakitnya,
Jarang yang bisa sembuh malahan banyak yang menemui kematian.
16. Sabda Palon
nulya mukswa Sakedhap boten kaeksi Wangsul ing jaman limunan Langkung
ngungun Sri Bupati Njegreg tan bisa angling Ing manah langkung gegetun
Kedhuwung lepatira Mupus karsaning Dewadi Kodrat iku sayekti tan kena
owah.
Sabdo Palon kemudian
menghilang, Sekejap mata tidak terlihat sudah, Kembali ke alam misteri,
Sangat keheranan Sang Prabhu, Terpaku tidak bisa bergerak, Dalam hati
merasa menyesal, Merasa telah berbuat salah, Akhirnya hanya bisa
berserah kepada Tuhan, Janji yang telah terucapkan itu sesungguhnya tak
akan bisa dirubah lagi.
(Diterjemahkan oleh : Damar Sashangka).
Sabdo Palon dan Naya
Genggong adalah 'PENUNTUN GAIB YANG MEWUJUD'. Beliau berdua senantiasa
hadir mengiringi Raja-Raja Jawa jaman Hindhu Buddha. Beliau berdua pergi
meninggalkan tanah Jawa semenjak Keruntuhan Majapahit pada tahun 1400
Saka, atau 1478 Masehi. Terkenal dengan SURYA SANGKALA (KATA SANDHI
PENANDA TAHUN KEJADIAN) yang sangat populer di Jawa, yaitu SIRNA ILANG
KERTHANING BHUMI ( SIRNA : 0, ILANG : 0, KERTHA : 4, BHUMI : 1 = 1400
Saka). Kalimat KERTHAning BHUMI, diambil dari nama asli PRABHU BRAWIJAYA
PAMUNGKAS (PAMUNGKAS=TERAKHIR), yaitu RADEN KERTHABHUMI.
Janji kedatangan Beliau
berdua diucapkan di Blambangan, ketika Majapahit hancur diserang oleh
pasukan Demak Bintara. Prabhu Brawijaya meloloskan diri ke arah Timur,
hendak menyeberang ke Pulau Bali, namun masih bertahan sementara di
Blambangan ( Banyuwangi sekarang).
Raden Patah, Pemimpin
Demak Bintara, merasa bangga telah menghancurkan Majapahit yang dia
anggap sebagai negara kafir. Serta merta, setelah mendengar kabar
berhasil dikuasainya Majapahit oleh tentara Islam, Raden Patah datang
dari Demak, ingin melihat langsung keadaan Majapahit yang berhasil
dihancurkan. Setelah itu, dengan bangga beliau meneruskan perjalanannya
ke Pesantren Ampeldhenta, hendak mengabarkan keberhasilan itu.
Namun ternyata, Nyi Ageng
Ampel, istri almarhum Sunan Ampel, malah mempersalahkannya. Nyi Ageng
Ampel mengingatkan bahwa dulu semasa Sunan Ampel masih hidup, beliau
pernah berpesan bahwsanya jangan sekali-kali murid-murid beliau ikut
campur masalah politik, atau malah berani merebut kekuasaan Majapahit.
Bahkan Nyi Ageng dengan tegas menambahkan, Raden Patah telah berdosa
tiga hal :
1.Kepada Guru, yaitu melanggar wasiat Sunan Ampel.
2.Kepada Ayah, karena Prabhu Brawijaya adalah ayah kandung Raden Patah.
3.Kepada
Raja, karena Raja adalah Imam, tidak boleh dilawan tanpa alasan yang
benar. Sebab, selama memerintah, Prabhu Brawijaya tidak pernah melarang
penyebaran agama Islam, bahkan menghadiahkan tanah Ampeldhenta (
didaerah Surabaya sekarang ), sebagai tanah otonom. Diijinkan untuk
dipakai sebagai basis pendidikan agama bagi orang-orang muslim.
Dengan sangat menyesal,
Raden Patah meminta petunjuk, bagaimanakah cara untuk menghapus
kesalahannya. Nyi Ageng menyarankan agar kedudukan Prabhu Brawijaya
Pamungkas sebagai Raja harus dikembalikan. Namun yang menjadi masalah,
kemanakah Sang Prabhu meloloskan diri? Nyi Ageng memperkirakan, Sang
Prabhu pasti menuju ke Pulau Bali.
Raden Patah berniat
menyusul sendiri, namun dicegah Nyi Ageng Ampel, karena setelah kejadian
penyerangan Majapahit oleh tentara Islam terjadi, maka, tidak akan ada
satupun orang Islam yang akan dipercayai oleh Sang Prabhu. Tidak Raden
Patah, tidak Nyi Ageng Ampel, tidak pula Para Wali yang lain, yang turut
serta membantu penyerangan tersebut. Namun, hanya ada dua Wali yang
mungkin masih beliau percayai, pertama Syeh Siti Jenar dan kedua Sunan
Kalijaga. Karena kedua Wali ini terang-terangan menentang penyerangan
pasukan Islam ke Majapahit.
Karena hubungan Raden
Patah tidak begitu baik dengan Syeh Siti Jenar, maka dia meminta
pertolongan Sunan Kalijaga untuk melacak keberadaan ramanda-nya. Dan
jika ditemukan, dimohon dengan segala hormat untuk kembali ke Trowulan,
ibukota Majapahit, untuk dikukuhkan lagi sebagai Raja. Sunan Kalijaga
bersedia membantu, ditemani beberapa santri beliau langsung melakukan
pencarian ke arah Timur.
Dan ternyata benar, di
Blambangan, banyak umbul-umbul pasukan Majapahit serta para prajurid
Majapahit yang siap tempur berkumpul disana. Dan benar pula, Prabhu
Brawijaya masih ada disana, belum menyeberang ke Pulau Bali. Agak
kesulitan Sunan Kalijaga memohon bertemu dengan Sang Prabhu. Namun
karena Sang Prabhu tahu betul, Sunan Kalijaga, yang seringkali beliau
panggil Sahid itu, menurut pasukan sandhi (intelejen) Majapahit , Sunan
Kalijaga bersama pengikutnya,sama sekali tidak ikut dalam penyerangan ke
Majapahit, maka Sunan Kalijaga dipersilahkannya menghadap, walau dengan
kawalan ketat.
Disinilah dialog SERAT
SABDO PALON terjadi. Sang Prabhu Brawijaya, ditemani Sabdo Palon dan
Naya Genggong, dihadap oleh Sunan Kalijaga,beserta sesepuh Majapahit
yang kebetulan bersama-sama Sang Prabhu hendak menuju Pulau Bali,
menyusul beberapa masyarakat Jawa lainnya yang lebih dahulu melarikan
diri kesana. Mendengar penuturan Sunan Kalijaga,Sang Prabhu luruh
hatinya. Karena sejatinya, Sang Prabhu kini tengah menggalang kekuatan
besar untuk merebut kembali tahta dari tentara Islam. Tidak bisa
dibayangkan apabila itu terjadi, karena pendukung Sang Prabhu Brawijaya
masih banyak tersebar diseluruh Nusantara.
Pertumpahan darah yang
lebih besar pasti akan terjadi. Putra-putra Prabhu Brawijaya masih
banyak yang berkuasa dan mempunyai kekuatan tentara yang besar, seperti
Adipati Handayaningrat IV di Pegging, Lembu Peteng di Madura, Bondhan
Kejawen di Tarub dan masih banyak lagi.
Sunan Kalijaga meminta,
agar pertikaian dihentikan, dan sudilah kiranya Sang Prabhu kembali
memegang tampuk pemerintahan. Prabhu Brawijaya menolak, karena jikalau
itu terjadi, maka beliau akan merasa terhina oleh putra selirnya sediri,
Raden Patah, yang lahir dari putri China Eng-Kian dan dibesarkan di
Palembang dalam asuhan Adipati Arya Damar atau Swan Liong. Bagaimana
tidak, seorang ayah harus menerima tahta dari anaknya sendiri,
memalukan. Ketika perundingan menemui jalan buntu, maka Sunan Kalijaga
mengusulkan agar beliau dengan kebesaran jiwa, mau memeluk Islam. Dengan
demikian, seluruh pendukung beliau pasti akan meninggalkan beliau satu
persatu, dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi akan terhindar.
Mendengar akan hal itu,
Prabhu Brawijaya tercenung, untuk menghindari peperangan lebih besar,
setidaknya, usulan Sunan Kalijaga memang masuk akal. Demi perdamaian,
Sang Prabhu mengesampingkan ego-nya. Maka PENUH dengan kebesaran hati,
beliau menyatakan MASUK ISLAM. Terkejut seluruh yang hadir, termasuk
Sabdo Palon dan Naya Genggong. Hingga, terlontarlah sebuah janji seperti
tercantum pada SERAT SABDO PALON diatas.
Sepeninggal Sabdo Palon
dan Naya Genggong, Sang Prabhu-pun bersedia kembali ke Trowulan, namun
bukan hendak kembali memduduki tahta, akan tetapi mendamaikan seluruh
kerabat Majapahit agar merelakan tahta dipegang oleh Raden Patah. Dalam
perjalanan pulang inilah, Sunan Kalijaga meminta bukti ketulusan Sang
Prabhu dalam memeluk Islam.
Sunan Kalijaga memohon
untuk memotong rambut panjang Sang Prabhu. Dengan sebilah keris, setelah
diijinkan, Sunan Kalijaga memotong rambut beliau. Tapi ternyata, tidak
satu helai-pun terpotong. Sekali lagi, Sunan Kalijaga meminta keikhlasan
Sang Prabhu memeluk Islam, dan sekali lagi Sunan Kalijaga memotong
rambut beliau. Kali ini, terpotong sudah. Namun, Sunan Kalijaga belum
puas, menjelang berangkat kembali ke Trowulan, Sunan Kalijaga mengambil
air comberan yang berbau tidak sedap dimasukkan kedalam sebilah bambu.
Dihadapan Sang Prabhu, beliau menyatakan, bahwasanya apabila air
comberan ini sesampainya di Trowulan airnya berubah tidak berbau busuk,
nyata sudahlah Sang Prabhu telah lahr bathin masuk Islam.
Berangkatlah rombongan
itu ke Trowulan,sesampainya di Trowulan, disambut dengan suka cita oleh
masyarakat Trowulan. Air dalam bilah bambu dicurahkan oleh Sunan
Kalijaga, dan ternyata, bau busuknya hilang, bahkan airnya berubah
jernih. Untuk mengingat kejadian itu, Blambangan diubah namanya menjadi
BANYUWANGI hingga sekarang. Tidak berapa lama di Trowulan, Sang Prabhu
jatuh sakit. Putra-putranya datang berkumpul, melalui Sunan Kalijaga,
beliau mengamanatkan agar menghentikan pertumpahan darah Hindhu-Buddha
dengan Islam. Biarkanlah Raden Patah bertahta sebagai Raja di Jawa walau
sebenarnya, keturunan dari Pengging-lah yang lebih berhak.
Menjelang akhir hayat
beliau, beliau berpesan agar diatas pusara makam beliau jangan diberi
tanda bahwasanya beliau adalah Prabhu Brawijaya, Raja Majapahit
terakhir, namun tandailah dengan nama Putri Champa Anarawati, permaisuri
beliau. Sebab beliau merasa diperhinakan sebagaimana wanita oleh
putraya sendiri. Dan penghinaan itu didukung oleh permaisurinya sendiri,
Dewi Anarawati, putri Champa yang beragama Islam. Dewi Anarawati inilah
bibi Sunan Ampel. Dewi Anarawati-lah yang menyarankan agar Sang Prabhu
memberikan Ampeldenta kepada Sunan Ampel untuk didirikan sebuah
Pesantren Islam.
Maka jangan heran,
apabila di Trowulan, tidak diketemukan makam Prabhu Brawijaya, melainkan
Putri Champa. Padahal makam Putri Champa yang asli berada di Gresik.
Begitu Majapahit diserang pasukan Islam, beliau diungsikan ke Gresik
hingga beliau wafat.
No comments:
Post a Comment