Friday, June 8, 2012

Perbedaan Wali dan Nabi

Khidhir as, seorang wali atau nabi ?

Di sana ada beberapa kasus yang perlu ditanggapi, diantaranya adalah kisah Khidir dengan nabi Musa. Di dalam surat Al Kahfi disebutkan bahwa nabi Musa as pernah belajar kepada Khidhir. Sebagian kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa Khidhir adalah seorang wali, mereka menyimpulkan bahwa seorang wali lebih afdhol dari seorang nabi, dengan bukti nabi Musa belajar kepada Khidir. Keyakinan ini, akhirnya berkembang lebih luas lagi dan menyebabkan bermunculnya orang- orang yang mengaku dirinya wali Allah, bahkan sebagian mereka sudah tidak mengakui ajaran Islam yang di bawa oleh nabi Muhammad saw, karena beranggapan bahwa wali lebih utama dari nabi, dan tidak perlu mentaati ajaran- ajarannya.

Sungguh keyakinan semacam itu sangat menyesatkan, karena akan mengakibatkan rusaknya ajaran Islam ini. Padahal menurut pemahaman Ahlu al-Sunnah wa al- Jama’ah bahwa nabi dan rosul merupakan manusia yang paling utama dan mulia di sisi Allah swt. Untuk lebih jelasnya, kami sebutkan di bawah ini, urutan umat manusia yang paling utama sejak awal diciptakannya, hingga hari kiamat kelak-berdasarkan pendapat para Ulama Ahlu Sunnah- :

1-Urutan Pertama adalah para rosul dan nabi adalah kelompok manusia yang paling mulia di sisi Allah, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa mereka lebih mulia dari para Malaikat. Diantara para rosul dan nabi tersebut, terdapat Ulul Azmi ( Nabi Muhammad saw, Isa as, Musa as, Ibrahim as, Nuh as) mereka itu, adalah orang – orang yang terbaik di antara para nabi dan rosul. Dan Nabi Muhammad saw adalah yang terbaik diantara ulul azmi sekaligus sebagai pemimpin para nabi dan rosul.

2.Setelah itu, baru para wali Allah. Dan kelompok Wali Allah yang paling baik dalam sejarah manusia adalah para sahabat Rosulullah saw . Diantara para sahabat tersebut, Abu Bakar As-Siddiq adalah yang terbaik. Kemudian Khulafa Rosyidin sesudahnya yaitu : Umar bin Khottob ra, Utsman bin Affan ra, serta Ali bin Abi Tholib ra)

Barangkali diantara kita ada yang bertanya, kalau begitu di mana Khiddhir as di dalam urutan- urutan tersebut ? Bagaimana dengan wali-wali Allah yang lainnya, khususnya yang sangat dikenal oleh masyarakat awam ? Dan bagaimana dengan wali songo yang ada di Indonesia ?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan diatas, kita harus mengetahui terlebih dahulu, apakah Khidhir as itu nabi atau wali ? Sampai sekarang masalah ini, masih menjadi polemik yang hangat dikalangan sebagian orang. Dan hal ini, sangatlah wajar karena tidak ada teks Al-Qur’an maupun Hadist yang menyebutkan secara terus terang tentang status Khidhir as. Oleh karenanya kita dapatkan sebagian orang beranggapan bahwa Khidhir as, adalah seorang wali besar, bahkan mungkin Imamnya para wali. Dan Allah telah menganugrahkan kepada-nya wahyu dan ilmu, serta hikmah. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa Khidir as adalah salah satu dari Nabi Allah. Tapi yang jelas, keduanya sepakat bahwa Khidir as adalah hamba Allah yang pernah bertemu dan menjadi guru nabi Musa as, yang kisahnya disebutkan dalam Al Qur’an, tepat di dalam surat Al Kahfi.

Paling tidak, ada dua hal yang menunjukkan bahwa Khidhir adalah seorang nabi.

Pertama : Ibnu Katsir di dalam bukunya “ Al Bidayah wa al -Nihayah “ telah memberikan alasan yang cukup menarik untuk menolak pendapat yang mengatakan bahwa Khidhir as membunuh anak kecil yang ditemuanya di jalan, karena perasaannya mengatakan bahwa anak kecil tersebut, kelak akan menjadi anak yang durhaka kepada orang tuanya. Ibnu Katsir menyatakan bahwa seorang wali, bagaimanapun juga derajatnya, tidak begitu saja berbuat sesuatu yang sangat besar hanya berdasar perasaan belaka. Karena sebuah “perasaan” tidak boleh dijadikan standar untuk semudah itu menghabisi nyawa anak kecil yang belum punya dosa.

Abu Bakar as Siddiq ra saja- yang nota benenya adalah pemimpin para wali - masih bimbang , ragu-ragu, dan berpikir tujuh kali, sebelum akhirnya mantap untuk menjalankan proyek “ jam’ul quran “ ( mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf ) . Abu Bakar as Siddiq ra bimbang untuk melangkah, karena kawatir apa yang akan dilakukannya nanti akan menyalahi ajaran Rosulullah saw. Padahal proyek “ jam’ul quran “ merupakan proyek yang sangat masuk akal, dan mempunyai dasar pijakan yang kuat. Walau begitu, Abu Bakar as Siddiq masih ragu dan penuh kekhawatiran. Lain dengan Khidhir as, yang dengan begitu mudah membunuh anak kecil yang ditemuinya tanpa sebab apa-apa. Ini semua menunjukkan bahwa Khidhir as adalah seorang nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah swt, sehingga dengan wahyu tersebut,tanpa pikir panjang beliau segera menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya, walau perbuatan tersebut, secara sekilas terlihat sebagai sebuah kemungkaran.

Kedua : Nabi Musa as belajar dari nabi Khidhir as. Ini juga , merupakan indikasi bahwa Khidhir as adalah seorang nabi. Karena sangat kecil kemungkinannya seorang Nabi sekaliber Musa as, diperintahkan belajar dari seseorang yang bukan Nabi.

Bagi orang yang hanya membaca kisah Khidhir as dengan nabi Musa as secara sekilas, akan terkesan baginya, bahwa Khidhir as lebih pandai dari nabi Musa as. Dan itu, akan memberikan dampak yang kurang bagus pada keyakinan masyarakat, karena akan mengesankan bahwa Khidhir as ( yang menurut mereka adalah seorang wali ) ternyata lebih mulia dari seorang Nabi Musa as, salah seorang nabi yang mendapatkan julukan Ulil Azmi ( Nabi- nabi yang memiliki ketangguhan yang luar biasa )

Seseorang yang menyakini bahwa seorang wali lebih mulia dari nabi, bahkan lebih mulia dari para nabi yang tergolong dalam kelompok Ulul Azmi, maka orang tersebut telah terjerumus di dalam kebodohan yang nyata. Keyakinan tersebut merupakan keyakinan yang sesat, dan merusak aqidah kaum muslimin, karena beranggapan bahwa seorang wali berhak untuk berbuat sesuka hatinya, walau perbuatan itu bertentangan dengan syara’ dan akal sehat serta fitrah manusia. Dia, bisa saja merusak barang milik orang lain dengan dalih menyelamatkannya, atau bahkan akan dengan mudah membunuh siapa saja yang dia kehendaki, dengan alasan dia adalah seorang wali, dan dia meniru apa yang dilakukan oleh Khidhir as.

Pendapat bahwa Khidir as, adalah seorang nabi, dikuatkan dengan perkataan seorang tokoh Islam, yang karya-karyanya menjadi rujukan kaum muslimin yang bermadzhab ahlu al–sunnah wa al-jama’ah, yaitu Imam Thohawi, beliau menulis di dalam matan “ Aqidah Al- Thohawiyah “ :

“ Keyakinan kita (ahlu al–sunnah wa al-jama’ah) adalah tidak memuliakan seorang wali di atas nabi, bahkan sebaliknya kita berkeyakinan bahwa satu orang Nabi lebih mulia dari seluruh wali “

Begitu juga wali- wali lain yang telah dikenal luas oleh masyarakat, baik di Timur Tengah, maupun di belahan bumi yang lain, termasuk di Indonesia sendiri, mereka itu, bagaimanapun tingginya keimanan dan kehebatan mereka, namun kedudukan mereka, tetap di bawah para sahabat Rosulullah saw, karena para sahabat adalah generasi terbaik sepanjang sejarah manusia , tentunya setelah para nabi dan rosul. Merekalah ( para sahabat ) wali-wali Allah yang bukan saja bisa menyebarkan Islam , tapi mereka juga telah mampu menaklukan dunia ini dan membekuk dua kekuatan super power pada waktu itu, Persi dan Romawi.

Sedangkan wali- wali Allah yang lain, khususnya yang hidup pada zaman ini, keimanan mereka jauh di bawah keimanan para sahabat. Apalagi yang mengaku-ngaku bahwa diri mereka wali, tentunya sangat jauh perbedaannya. Inipun, kalau mereka benar- benar wali Allah. Karena wali Allah yang sebenarnya, adalah mereka yang memberikan kontribusi pada masyarakat dengan semaksimal mungkin. Yaitu selalu berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi mungkar, memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi di masyarakat , bahkan akan mampu mnggerakkan reformasi yang sebenar- benarnya. Dan tentunya Umat Islam, dan bangsa Indonesia khususnya, akan bisa merasakan kehadiran mereka. Namun kenyataannya, justru yang terjadi adalah kerusakan demi kerusakan, kekacuan demi kekacuan, bahkan suara mereka, yang mengaku wali- wali Allah, tidak pernah terdengar.Wallahu a’lam.

Rujukan

Sejarah singkat munculnya ilmu wali dan ilmu hitam

Sejarah singkat munculnya ilmu wali dan ilmu hitam

Ketika Sunan Bonang membaiat Sunan Kalijaga di atas perahu tiba-tiba perahu tersebut bocor lalu sunan Bonang menghentikan pembaiatan dan mengambil tanah dari daratan untuk menambal kebocoran perahu ternyata di dalam tanah tersebut terdapat cacing, kemudian pembaiatan terhadap Sunan Kalijaga dilanjutkan, karena terlalu dahsyatnya pembaiatan Sunan Bonang maka cacing tersebut dapat mendengarkan dan mengikuti proses pembaiatan dan pada akhirnya cacing tersebut mampu berubah menjadi manusia. Karena belum sempurnanya ilmu yang dikuasai oleh sunan Kalijaga, beliau tidak mengetahui kalau ada orang yang ikut menguping wejangan sunan Bonang, setelah sempurna menerima ilmu dari Sunan Bonang akhirnya sunan Kalijaga tahu ada orang yang juga mencuri ilmu tersebut secara sembunyi maka orang tersebut diusir oleh sunan Kalijaga. Orang tersebut lari ke daratan dan menyebarkan ilmu yang tidak sempurna tersebut kepada masyarakat hingga terkenal dimana-mana. Setelah Sunan Kalijaga telah menela’ah dan menyempurnakan ilmu dari Sunan Bonang dan siap menyiarkan di daratan. Betapa kagetnya Sunan Kalijaga ternyata ilmu tersebut sudah tersebar luas. Sunan Kalijaga teringat akan kejadian di atas kapal bersama Sunan Bonang ketika menerima ilmu ada orang yang berasal dari cacing yang ikut mendengarkan wejangan tersebut oleh Sunan Kalijaga dinamakan Siti Jenar. Karena ilmu yang tanpa izin dari guru (sunan Bonang) dapat menyimpang/ menyesatkan/ merusak ilmu Tauhid. Hal ini menyebabkan munculnya ilmu hitam. Sampai sekarang ilmu tersebut menjadi pegangan dan keyakinan masyarakat luas karena dianggap sebagai ilmu yang benar. Hal tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa ilmu yang tidak sempurna (tidak dilandasi dengan tauhid yang murni) dan tidak kita ketahui asal mulanya, walaupun luarnya sangat bagus dan sangat indah tetapi di dalamnya sangat kotor dan menyesatkan bagi kita, na’udzubillah.Maka dari itu karena ilmu kewalian/tauhid yang telah begitu lama tidak muncul,yang tersebar selama ini hanya ilmu syari’at dan syari’at dari haqiqat. Alhamdulilah,dengan sifat Rohman dari Allah S.W.T ilmu tersebut sekarang telah muncul/beredar dengan perantara para guru mursyid yang tersebut dalam silsilah mursyid yang sahih.

Selanjutnya

Wali Allah

Subahanallah Walhamdulillah Alhuakbar.

Tasawuf bukan membaca buku-buku Tasawuf dan mengkaji dari berbagai teori tasawuf
seperti Ibnu Arabi, Syadzili, Qodiri, Mevlevi Rumi seperti banyak kajian tasawuf diberbagai Masjid saat ini. Itu hanya baru mempelajari mengenal tasawuf bukan
bertasawuf. Sangat berbeda jauh antara bertasawuf dan mempelajari buku atau hadir dalam ceramah tasawuf jauh, dampak dan pemahamannya bagai setetes air
dibanding samudera. Bertasawuf adalah melaksanakan dzikir dan mengambil Mursyid dengan berbayat. Bila ia mendengarkan ceramah dari Mursyid tasawuf yang Wali
Allah, maka ia akan mendapatkan ilmu sekaligus Hikmah.

Ilmu seperti pesawat terbang yang indah bentuknya.
Hikmah seperti Bahan Bakarnya. Begitu banyak orang
yang bangga dengan keindahan ilmunya, tetapi tanpa
bahan bakar hikmah ia tetap didarat tak dapat terbang.
Hikmah didapatkan dari mendengarkan langsung dan
bersama Wali Allah, sementara ilmu dari ulama biasa
kadnag membebani. Himah tak dapat terlupa dan
mengatkan, sementara ilmu ketika kita sudah tua, maka
yang menghancurkan ilmu adalah LUPA ( Hadist Nabi
saw). Hikmah adalah langsung mendengar dan bertemu,
karena ada dua macam ilmu. Ilmu Awroq ( tulisan) dan
Ilmu Azwaq (Rasa). Ketika kita mendengar seorang
Kekasih Allah/Wali Allah bicara, maka ilmu rasa yang
ditransfer langsung kedalam kalbu kita. Ketika kita
menulis dari ceramah Wali Allah, maka yang semula kita
terima dalam bentuk Hikmah, berubah menjadi Ilmu.
HImah adalah RASA, peretmuan langsung dengan Para Wali
Allah. Berjamaah dengan wali Allah, bagaikan iabadah
70 tahun, maka carilah para Wali Allah.

Keterangan lanjut

Sunday, April 08, 2007

Kontrak Solat

Kontrak Solat, turut nafsu lesu


Maryam 59

Projek dan kontrak solat

Solat itu hubungan dengan Allah, umpama bercakap dengan Allah. Ibadat yang mula diperkenalkan, sejak Nabi Adam. Bezanya dulu solat cuma 2 waktu (sebelum naik matahari dan selepas jatuh matahari), sekarang 5 waktu.

Allah sayang kita umat Muhammad, bagi kontrak solat 5 waktu. (seperti kontrak dunia, lagi banyak kerjanya, lagi banyak bayaran). Asalnya Allah bagi 50, tapi setelah Nabi Musa nasihat, tinggal 5 waktu - kerana mengikut pengalaman dakwahnya manusia tak mampu siapkan projek 50 waktu solat. Allah kurangkan kontrak dari 50 waktu solat ke 5 waktu tapi bayarannya sama. Allah bagi kita berbagai kontrak solat dan puasa agar kita dapat kedudukan yang tinggi di syurga. (more…)



3 kategori nafsu



Secara amnya nafsu terbahagi kepada 3 kategori-

1.Mutmainah. Nafsu yang mendorong kearah kebaikan dan membawa ke syurga.

Al-Fajr [27] (Setelah menerangkan akibat orang-orang yang tidak menghiraukan akhirat, Tuhan menyatakan bahawa orang-orang yang beriman dan beramal soleh akan disambut dengan kata-kata): Wahai orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa tenang tetap dengan kepercayaan dan bawaan baiknya!

[28] Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan engkau berpuas hati (dengan segala nikmat yang diberikan) lagi diredhai (di sisi Tuhanmu)!

[29] Serta masuklah engkau dalam kumpulan hamba-hambaku yang berbahagia

[30] Dan masuklah ke dalam SyurgaKu!

2.Lawwamah.Nafsu yang juga mendorong kearah kebaikan dan membawa ke syurga, tetapi apabila tidak dapat dilakukan kebaikan itu ia kemudian mencela dirinya kerana tidak dapat melakukan kebaikan.

3.Ammarah. Nafus yang mendorong kearah kejahatan dan membawa ke neraka.

Mereka yang mendalami ilmu tarekat memecahkan kategori nafsu ini sehingga kepada 5 dan 7 bahagian.

Nafsu berada didalam darah dan subur apabila makanan masuk kedalam badan. Syaitan ambil peluang melalui nafsu yang tercetus.

Puasa dapat mengurangkan nafsu (yang jahat) kerana kurangnya makanan yang masuk kedalam badan dan darah. Hasil dari puasa ialah taqwa (takut kepada Allah). Takut disini bukannya seperti takut kan harimau tapi takut bermakna hormat.Takut Allah murka, takut Allah tidak suka.

Orang lelaki buta bila nafsunya tegak. selepas reda nafsunya baru nampak dunia dan insaf.

Nabi Yusuf juga kata beliau tidak gerenti dengan ujian nafsu:-

Yusuf [53] Dan tiadalah aku berani membersihkan diriku; sesungguhnya nafsu manusia itu sangat menyuruh melakukan kejahatan, kecuali orang yang telah diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani



DALAM HATI ADA CINTA


Cinta itu sebenarnya suci.
Cuma manusia yang mengotorkannya.
Kerana cinta lah terhasilnya ULAMA dan para WALI.Cinta itu letaknya di HATI.Bagaimana hati hendak memahami rahsia ALLAH sedang DOSA masih banyak.
Hati yang banyak DOSA dikuasai NAFSU..
NAFSU itu berlawanan dengan kehendak ALLAH.ALLAH berserta kamu dimana kamu berada..katanya
Sesungguhnya AKU sangat hampir.Musibah itu dari dari ALLAH, utk membersihkan DOSA.

Semakin bersih dari DOSA, semakin banyak RAHSIA ALLAH yang diketahui…
kerana CAHAYA hidayah (NUR) semakin terang..

Hati itu suka yang BATIN
Pandanglah mata HATI

Akhirat itu lebih baik.
Manusia utamakan DUNIA kerana hati dikuasai NAFSU, dipenuhi DOSA.

Bersihkan diri dari DOSA, hati akan MERDEKA..
NAFSU akan dikuasai HATI.

Bertaubatlah..Lari dari DOSA menuju ALLAH
Selagi Taubat tidak betul, perjalanan pun tidak betul
Sifat para wali itu sentiasa bertaubat.
Kalau berlarutan dalam dosa, tidak akan faham rahsia ALLAH.

ALLAH suka yang GANJIl..
Hati yang GANJIL..
Didalam hati yg cuma ada ALLAH sahaja..


NAFSU dan SYAITAN


Belenggu NAFSU - kurangkan makan.
Sempitkan perjalanan syaitan dengan berlapar…
Syaitan berjalan dalam badan manusia melalui saluran darah
Bila NAFSU buruk tercetus, SYAITAN akan masuk campur.SYAITAN itu bangsa JIN..
NAFSU itu kepunyaan kita.

ALLAH itu 2 langkah dari manusia.
untuk menuju ALLAH..
1.pijak NAFSU
2.ALLAH

SYAITAN ada dalam diri NABI..
walaupun syaitan itu tidak masuk ISLAM
Tapi NABI berjaya mengawal SYAITAN agar mengikutnya

Berjayalah orang yang membersihkan NAFSU…
SYAITAN ambil peluang atas NAFSU yang tercetus.

http://nasbunnuraini.wordpress.com/

Thursday, March 29, 2007

Definisi Sufi

Definisi Sufi

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur’an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

Oleh;
Harun Nasution

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.

——————————————–
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

catatan: Artikel ini tidak mewakili pendirian Muassasah. Hanya sekadar untuk bacaan.

Wednesday, March 28, 2007

ISA DAN ORANG-ORANG BIMBANG

ISA DAN ORANG-ORANG BIMBANG

Diceritakan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang
lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Mariam, berjalan-jalan
di padang pasir dekat Baitulmukadis bersama-sama sekelompok
orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.

Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada
mereka Kata Rahasia yang telah dipergunakannya untuk
menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu
padamu, kau pasti menyalahgunakannya."

Mereka berkata, "Kami sudah siap dan sesuai untuk
pengetahuan semacam itu; tambahan lagi, hal itu akan
menambah keyakinan kami."

"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," katanya -tetapi
diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.

Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu
tempat yang terlantar dan mereka melihat seonggok tulang
yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan Kata itu," kata
mereka, Dan diucapkanlah Kata itu.

Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itupun segera
terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar
yang kelaparan, yang kemudian merobek-robek mereka sampai
menjadi serpih-serpih daging.

Mereka yang dianugerahi nalar akan mengerti. Mereka yang
nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.

Catatan

Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra Maria. Kisah ini
mengandung gagasan yang sama dengan yang ada dalam Magang
Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di samping selalu
muncul dalam dongeng-dongeng lisan para darwis tentang
Yesus. Jumlah dongeng semacam itu banyak sekali.

Yang sering disebut-sebut sebagai tokoh yang suka
mengulang-ngulang kisah ini adalah salah seorang di antara
yang berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir putra al-Hayan,
yang dalam bahasa Latin di sebut Geber, yang juga penemu
alkimia Kristen.

Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia orang Sabia, menurut
para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia
penting.

BATAS DOGMA

BATAS DOGMA

Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di
Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli
mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung
di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu,
Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah:

"Jatuhkan batu itu, kuli."

Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada
di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin
lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga
memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu.

Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif,
terpaksa menjawab.

"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak
bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab
kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja
hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu
itu disitu."

Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan
itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia
meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang
masih menghormati perintah raja.

Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya
berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing
sesuai dengan kemampuannya.

Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah
itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha
mempertahankan kekuasaannya.

Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap
perintah, betapapun tidak menyenangkannya.

Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa
memahami nasehat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan
batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan
gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud
mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi -dan sekaligus
menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan
dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan.

Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari
kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran.

Catatan

Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal,
Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz
Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam
versi ini.

Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari
Qandahar, yang meninggal tahun 1965. Kisah ini merupakan
pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman
terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya
berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung
yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan
bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding,
agar pintu bisa mendengar."

Tuesday, March 27, 2007

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Sebagai bahan untuk memahami mengenai tahapan-tahapan
Tasawuf, kami memuat tulisan tulisan Drs. Mahjuddin, dosen tetap pada
Fakultas Tarbiyah Jember, IAIN “Sunan Ampel” dalam bukunya “Kuliah
Akhlaq-Tasawuf” dan diterbitkan oleh Penerbit Kalam Mulia, Jakarta Pusat 10560

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran
Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebutnya sebagai “As-Sa’aadah”
menurut Al-Ghazaliy dan Al-Insaanul Kaamil” menurut Muhyddin bin ‘Arabiy.
Keempat tahapan itu terdiri dari Syari’at, Tarekat, Hakikat dan Marifat.
Dari tahapan-tahapan tersebut, dapat dikemukakan penjabarannya sebagai
berikut:

1.Syariat

Istilah syari’at, dirumuskan definisinya oleh As-Sayyid Abu Bakar
Al-Ma’ruf dengan mengatakan: “Syari’at adalah suruhan yang telah diperintahkan
oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.”

Kemudian Asy-Syekh Muhammad Amin AL-Kurdiy
mengatakan:
“Syari’at adalah hukum-hukum yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang
telah ditetapkan oleh Ulama (melalui) sumber nash Al-Qur’an dan Sunnah ataupun
dengan (cara) istirahat: yaitu hukum-hukum yang telah diternagkan dalam ilmu
Tauhid, Ilmu Fiqh dan Ilmu Tasawuf.”

Hukum-hukum yang dimaksud oleh Ulama Tauhid;
meliputi keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab Suci-Nya, Rasul-Nya, Hari
Akhirat, Qadha dan Qadar-Nya; dalam bentuk ketaqwaan dengan dinyatakan dalam
perbuatan Ma’ruf yang mengandung hukum wajib, sunat dan mubah; dan
meninggalkan mungkarat yang mengandung hukum haram dan makruh.

Dan hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Fuqaha, meliputi seluruh perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan-nya; yang disebut “ibadah mahdhah” atau
taqarrub (ibadah murni atau ibadah khusus) serta hubungannya dengan sesama
manusia dan makhluk lainnya, yang disebut “ibadah ghairu mahdhah” atau “ammah”
(ibadah umum).

Kemudian hukum-hukum yang dimaksudkan oleh Ulama Tasawuf, yang meliputi
sikap dan perilaku manusia, yang berusaha membersihkan dirinya dari hadats dan
najis serta maksiat yang nyata dengan istilah “At-Takhali”. Lalu berusaha
melakukan kebaikan yang nyata untuk menanamkan pada dirinya kebiasaan-kebiasaan
terpuji, dengan istilah “At-Thalli”.

Bila syari’at diartikan secara sempit, sebagaimana dimaksudkan dalam
pembahasan ini, maka hanya meliputi perbuatan yang nyata, karena perbuatan yang
tidak nyata (perbuatan hati), menjadi lingkup pembahasan Tarekat. Oleh karena
itu, penulis hanya mengemukakan perbuatan-perbuatan lahir, misalnya perbuatan
manusia yang merupakan penomena keimanan, yang telah dibahas dalam Ilmu Tauhid.
Penomena keimanan itu, terwujud dalam bentuk perbuatan ma’ruf dan menjauhi yang
mungkar.

2. Tarekat

Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada Hakikat
atau dengan kata lain pengalaman Syari’at, yang disebut “Al-Jaraa” atau
“Al-Amal”, sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga
macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:

1) Tarekat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan
tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah (ibadah), yang
sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.

2) Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan sesuai
dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang
tidak (batin).

3) Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal
mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang
diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di
bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan
suatu tujuan.

Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan
Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah
Tarekat mempunyai dua macam pengertian.

a) Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai
suatu tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqamaat”
dan “Al-Ahwaal”.

b) Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran
yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu.
Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut
aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.

Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu
amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan
kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara
bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu
tingkatan kerohanian yang disebut “Al-Maqaamaat” dan “Al-Akhwaal”, meskipun
kedua istilah ini ada segi prbedaannya. Latihan kerohanian itu, sering juga
disebut “Suluk”, maka pengertian Tarekat dan Suluk adalah sama, bila dilihat
dari sisi amalannya (prakteknya). Tetapi kalau dilihat dari sisi
organisasinya (perkumpulannya), tentu saja pengertian Tarekat dan Suluk
tidak sama.

Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan
dari dua segi:

a). Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh dengan cara
pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan ahwaal, di
samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat juga diperoleh
manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan, meskipun ia tidak
pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-sungguh.

b) Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau bertahan
lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada diri manusia,
dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan
bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya, namun penulis mengikuti pendapat
yang membedakannya beserta alasan-alasannya.

Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama
Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh,
sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh.

Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan
sebagai berikut:

a). Tingkatan Taubat (At-Taubah);
b) Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang makruh,
serta yang syubhat (Al-Wara’);
c). Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu).
d) Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru).
e). Tingkatan Sabar (Ash-Shabru).
f). Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul).
g). Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).

Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat
dikemukakan sebagai berikut;

a). Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
b). Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
c). Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
d). Tingkatan takut (Al-Khauf)
e). Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
f). Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
g). Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu).
h). Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi’naan)
i). Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
j). Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).

Hakikat :

Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau
dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu
kebenaran. Kemudian beberapa ahli merumuskan definisinya sebagai berikut:

a. Asy-Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf mengatkan :

“Hakikat adalah (suasana kejiwaan) seorang Saalik (Shufi) ketika ia mencapai
suatu tujuan …sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan
mata hatinya”.

b. Imam Al-Qasyairiy mengatakan:

“Hakikat adalah menyaksikan sesuatu yang telah ditentukan, ditakdirkan,
disembunyikan (dirahasiakan) dan yang telah dinyatakan (oleh Allah kepada
hamba-Nya”.

Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu
menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena
itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

1) “Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan
indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran
Allah sebagai penciptanya;

2) “Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis
pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

3) “Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani Shufi
tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya
mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung
disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal”.

Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat
kaitan antara hakikat dengan mari”fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal
Tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.

Marifat :

Istilah Ma’rifat berasal dari kata “Al-Ma’rifah” yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma’rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam
dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara
lain:

a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang
mengatakan:

“Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib
adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.”

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth
Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan:

“Ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)…dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan Nur Ilahi…”

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin
Abdillah yang mengatakan:

“Ma’rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat
ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma’rifatnya, maka
meningkat pula ketenangan (hatinya).”

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan
ma’rifat. Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki
tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang
mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai
kepada tingkatan ma’rifat, antara lain:

a. Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya.
Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu
bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan
kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat
menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin
Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat
ma’rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai berikut:

a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat,
bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah
di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah
larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin,
kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma’rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna
gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu
menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang
Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya
kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma’rifat itu adalah keadaan
yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan
Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.

Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran
Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat,
Hakikat dan Ma’rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidk
pula secara terputus-putus.

Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini, seorang hamba
tidak akan mengalami kegagalan dan tiak pula mengalami kesesatan.

http://syamalifasa.wordpress.com/2007/03/11/tasawuf/

Syair Uzlah

Syair Uzlah

Syair ini gubahan Imam Al-Ghazai bagi menggambarkan sifat dan tabiatnya:

Cita-cita mereka yang menuntut taqarub kepada Tuhan telah berhasil dan telah sampai kepada tujuan, maka berbahagialah kekasih menemui kekasih.

Tinggallah kita terombang ambing kebingungan antara sampai dan belum.

Kita hanyalah mendekati hamba, padahal taqarrub kepada Allah adalah suatu perkara yang mahal harganya, demikian ini adalah menurut fikiran yang sihat.

Berilah kami siraman yang dapat melenyapkan rasa bingung dan menunjuk kepada jalan yang benar dan lurus.

Wahai doktor, balutlah luka-luka agar aku dapat diselamatkan dari penyakit parah.

Aku tidak tahu apakah aku harus mengubati penyakitku dan dengan apa aku dapat keuntungan daripada hisab.

Rujukan: Kitab Minhajul Abidin- Imam Al-Ghazali

Seperti semuanya salah

Seperti semuanya salah

Sekali waktu Anda pernah mengira bahwa segala yang Anda
pelajari dan cermati adalah kebenaran. Tetapi kemudian Anda
maju ke langkah berikutnya, dan menemukan bahwa semua yang
telah Anda pelajari bukanlah kebenaran. Dan pada masa yang
akan datang ketika Anda masih melangkah lebih berikutnya dan
memandang kembali semua yang sekarang Anda anggap benar,
ternyata Anda juga akan melihatnya sebagai kepalsuan. Dengan
cara ini, setiap kali Anda melangkah maju ke level yang baru,
maka Anda akan menemukan bahwa semua yang Anda pelajari pada
masa lalu adalah kepalsuan (salah). Akhirnya, ketika Anda
mencapai maqam (keadaan) Tuhan dan maqam kearifan-Nya, maka
Anda akan menyadari bahwa semua pemikiran Anda adalah keliru.
Semuanya keliru. Hanya Dialah kebenaran. Kebijakan-Nya adalah
kebenaran sejati, dan sifat-sifat-Nya adalah emas kekayaan
yang sesungguhnya.

Apabila Anda memahami hal ini, maka Anda akan memohon
ampunan-Nya atas segala kesalahan yang Anda lakukan pada masa
yang lalu. Anda akan melihat dengan jelas dan pasti bahwa
hanya ada satu keluarga, satu doa dan satu Tuhan. Kita harus
memikirkan hal ini. Ini adalah kearifan yang berharga, hikmah
kebenaran.

M.R. Bawa Muhayyaddin
-------------------------

Sambung

* Seperti penambang emas



Apabila seorang penambang mencari emas, dia harus mengayak
tanah untuk menyaring logam yang berharga itu. Dia memungut
yang berharga dan membuang sisanya. Demikian pula, di mana pun
Anda mencari, apakah itu di timur, barat, utara, atau selatan,
apakah itu umat Hindu, Zoroaster, Kristen, Yahudi, atau Islam,
Anda harus mencari dan memungut hanya suatu yang bernilai,
yaitu emas, khazanah Tuhan, yaitu kebenaran. Selama Anda
mencari melalui semua kitab suci, Anda harus menyisihkan apa
pun yang lainnya, seperti penambang emas membuang kotoran dan
batu-batu. Hanya kekayaan Tuhan yang Anda butuhkan untuk
kehidupan Anda dan untuk kecerahan jiwa Anda.

M.R. Bawa Muhayyaddin
-------------------------

Seperti menggali sumur

Seperti menggali sumur


Apabila Anda menggali sumur, Anda harus menggalinya jauh ke
dalam sampai Anda menemukan sumber mata airnya. Dapatkah sumur
itu penuh tanpa mencapai sumber yang dalam itu? Bila Anda
bergantung pada hujan atau sumber luar lain untuk mengisi
sumur itu, maka air itu hanya akan menguap atau diserap oleh
tanah. Lalu, bagaimana Anda dapat membasuh diri Anda atau
menghilangkan dahaga Anda? Hanya jika Anda menggali cukup
dalam untuk mendapatkan mata air, maka Anda akan sampai pada
sumber air yang tak habis-habisnya. Demikian juga halnya, jika
Anda hanya membaca ayat-ayat dari kitab suci, tanpa menggali
lebih dalam untuk mencari maknanya, hal itu seperti menggali
sebuah sumur tanpa mencapai mata airnya atau seperti mencoba
mengisinya dengan air hujan. Kedua cara ini tidak akan
memadai. Hanya apabila Anda membuka mata air yang ada di
dalamnya dan ilmu Tuhan mengalir dari sana, maka mata air
sifat-sifat Tuhan akan mengisi hatimu. Hanya setelah itu Anda
dapat menerima kekayaan-Nya. Hanya setelah itu Anda akan
mendapatkan kedamaian dan ketenangan. Kearifan dan ilmu Tuhan
ini harus timbul dari dalam diri Anda; kisah Tuhan dan doa
mesti dipahami dari sisi batin. Maka Anda akan memperoleh
semua yang Anda butuhkan untuk diri Anda, dan Anda juga akan
merasa cukup untuk berbagi dengan orang lain.

M.R. Bawa Muhayyaddin

-------------------------







Sambung

* Seperti semuanya salah
* Seperti penambang emas

Sebuah wahyu langsung untuk 'Ali

* Sebuah wahyu langsung untuk 'Ali

SEBUAH WAHYU LANGSUNG UNTUK 'ALI

Suatu hari ketika 'Ali sedang berada dalam pertempuran, pedang
musuhnya patah dan orangnya terjatuh. 'Ali berdiri di atas
musuhnya itu, meletakkan pedangnya ke arah dada orang itu, dia
berkata, "Jika pedangmu berada di tanganmu, maka aku akan
lanjutkan pertempuran ini, tetapi karena pedangmu patah, maka
aku tidak boleh menyerangmu."

"Kalau aku punya pedang saat ini, aku akan memutuskan
tangan-tanganmu dan kaki-kakimu," orang itu berteriak balik.

"Baiklah kalau begitu," jawab 'Ali, dan dia menyerahkan
pedangnya ke tangan orang itu.

"Apa yang sedang kamu lakukan", tanya orang itu kebingungan.
"Bukankah saya ini musuhmu?"

Ali memandang tepat di matanya dan berkata, "Kamu bersumpah
kalau memiliki sebuah pedang di tanganmu, maka kamu akan
membunuhku. Sekarang kamu telah memiliki pedangku, karena itu
majulah dan seranglah aku". Tetapi orang itu tidak mampu.
"Itulah kebodohanmu dan kesombongan berkata-kata," jelas 'Ali.
"Di dalam agama Allah tidak ada perkelahian atau permusuhan
antara kamu dan aku. Kita bersaudara. Perang yang sebenarnya
adalah antara kebenaran dan kekurangan kebijakanmu. Yaitu
antara kebenaran dan dusta. Engkau dan aku sedang menyaksikan
pertempuran itu. Engkau adalah saudaraku. Jika aku menyakitimu
dalam keadaan seperti ini, maka aku harus
mempertanggungjawabkannya pada hari kiamat. Allah akan
mempertanyakan hal ini kepadaku."

"Inikah cara Islam?" Orang itu bertanya.

"Ya," jawab 'Ali, "Ini adalah firman Allah, yang Mahakuasa,
dan Sang Unik."

Dengan segera, orang itu bersujud di kaki 'Ali dan memohon,
"Ajarkan aku syahadat."

Dan 'Ali pun mengajarkannya, "Tiada tuhan melainkan Allah.
Tiada yang ada selain Engkau, ya Allah."

Hal yang sama terjadi pada pertempuran berikutnya. 'Ali
menjatuhkan lawannya, meletakkan kakinya di atas dada orang
itu dan menempelkan pedangnya ke leher orang itu. Tetapi
sekali lagi dia tidak membunuh orang itu.

"Mengapa kamu tidak membunuh aku?" Orang itu berteriak dengan
marah. "Aku adalah musuhmu. Mengapa kamu hanya berdiri saja?,'
Dan dia meludahi muka 'Ali.

Mulanya 'Ali menjadi marah, tetapi kemudian dia mengangkat
kakinya dari dada orang itu dan menarik pedangnya. "Aku bukan
musuhmu", Ali menjawab. "Musuh yang sebenarnya adalah
sifat-sifat buruk yang ada dalam diri kita. Engkau adalah
saudaraku, tetapi engkau meludahi mukaku. Ketika engkau
meludahi aku, aku menjadi marah dan keangkuhan datang
kepadaku. Jika aku membunuhmu dalam keadaan seperti itu, maka
aku akan menjadi seorang yang berdosa, seorang pembunuh. Aku
akan menjadi seperti semua orang yang kulawan. Perbuatan buruk
itu akan terekam atas namaku. Itulah sebabnya aku tidak
membunuhmu."

"Kalau begitu tidak ada pertempuran antara kau dan aku?" orang
itu bertanya.

"Tidak. Pertempuran adalah antara kearifan dan kesombongan.
Antara kebenaran dan kepalsuan". 'Ali menjelaskan kepadanya.
"Meskipun engkau telah meludahiku, dan mendesakku untuk
membunuhmu, aku tak boleh."

"Dari mana datangnya ketentuan semacam itu?"

"Itulah ketentuan Allah. Itulah Islam."

Dengan segera orang itu tersungkur di kaki 'Ali dan dia juga
diajari dua kalimat syahadat.

-------------------------

Sambung:

Seperti menggali sumur
* Seperti semuanya salah
* Seperti penambang emas

Gambar-gambar astronomi.




Explanation: Celestial and terrestrial lights are featured in this stunning image that includes the Moon in phases of the total lunar eclipse of March 3rd. In the foreground, the distinctively-shaped Eiffel Tower, over 300 meters tall, is a well-known tourist destination and one of the most visited buildings in the world. Of course the Moon is even more recognizable, but harder to visit. The last lunar tour was undertaken nearly 35 years ago, during the Apollo 17 mission.


Gambar kajian yang menarik tentang kebesaran Allah S.W.T

Pergi ke laman web gambar-gambar yang ditambah setiap hari.



Jalan Tasawuf

Apabila saya tengah dalam hendak tertidur. Fikiran saya sudah mengingat sesuatu. Iaitu satu bidang yang tidak asing lagi bagi umat islam dan tokoh islam yang masyur. Ianya adalah tasawuf.

Oleh kerana saya ingin memilih domain tasawuf tetapi sudah ada yang memilikinya maka saya menambah jalantasawuf.blogspot.com sebagai domain saya. Saya cari dalam enjin carian dan menjumpai "tasawuf dalam bahasa arab artinya jalan". Maka saya dapat namakannya jalan-jalan. Sudah tentu ia satu makna yang sama.

Sebuah jalan mengenal atau mendekatkan diri kepada Allah. Sudah tentu dapat anda bersama saya mempelajari ilmu tasawuf di sini. Semoga apa yang dipaparkan menjadi pedoman kepada anda semua. Wallahu'alam

No comments: