membuka tirai antara hamba dengan Allah
Kasyf, menurut kaum shufi adalah melihat hal yang ghaib dan
menyaksikannya dengan tegas. Dengan demikian mereka mengaku atau
meyakini, kalau sampai pada derajat kasyf itu maka mereka dapat
mengetahui hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan
memecahkan segala soal-soal yang pelik.
Di antaranya ialah kepandaian membedakan hadits yang shahih dari
yang dha’if (lemah). Maksud tujuannya ialah memperkuat madzhab dan
kepercayaannya dengan hadits-hadits yang dibikin-bikin dan hadits-hadits
yang dha’if, lalu dianggap sebagai hadits shahih dengan perantaraan
kasyf itu. (ibid, hal 16).
Orang-orang yang meyakini kasyf membantah ulama yang tidak mau
menjadikan lintasan-lintasan hati kaum shufi dan ilham-ilham mereka
sebagai hujjah dalam hukum Islam. Karena kaum shufi meyakini bahwa
ilham-ilham, lintasan-lintasan hati shufi, dan kasyfnya itu tidak
mungkin akan salah. Hingga seorang pengarang kitab Fawatihur rahamaut
syarah musallamits tsubut di dalam ushul fiqh, dan dia termasuk salah
seorang yang memiliki kecenderungan shufi yang dhahir, menyanggah
Al-Allamah Ibnul Hammam Al-Hanafi, yang menafikan atau menolak ilham
sama sekali sebagai hujjah. Pengarang kitab Fawatih (yang shufi itu)
mengatakan: “Sesungguhnya ilham tidak akan terjadi kecuali disertai
penciptaan ilmu dharuri (ilmu yang ada dengan sendirinya) yang datang
dari sisi Allah SWT, atau dari ruh Muhammady (ruh Nabi Muhammad). Maka
pada saat itu tidak akan ada keraguan yang timbul akibat adanya
kesalahan padanya (ilham). Ilmu seperti ini derajatnya lebih tinggi
dibanding ilmu yang dihasilkan dengan dalil-dalil yang tidak qoth’i
(tidak pasti). Maka aneh sekali, seorang syeikh seperti Al-Allamah
Ibnul Hammam Al Hanafy menolak salah satu bejana ilmu. Barangkali
beliau beranggapan bahwasanya ilham itu adalah sesuatu yang terjadi di
dalam hati yang berasal dari
lintasan-lintasan hati, padahal bukan demikian.
Apakah kamu belum mendengar atau mengetahui apa yang telah ditulis
oleh Syaikh Quthbu Waqtihi (wali quthub pada zamannya) yaitu Abu Yazid
Al-Bustamy -semoga Allah mensucikan kerahasiaannya yang mulia- terhadap
sebagian ahli hadits: ‘Kamu mengambil ilmu dari yang telah menjadi
mayit, kemudian kalian kaitkan kepada Rasulullah saw, sedangkan kami
mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan Tidak Pernah Akan Mati
(Allah)!’
(kitab Fawatihur Rahamaut, dicetak menjadi satu dengan kitab Al
Mustashfa karya Imam Ghazaly: 2/372, sep i dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawy
dalam Mawaqiful Islam minal Ilham wal Kasyf….. diterjemahkan menjadi
Sifat Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat, Perdukunan, dan Jampi,
Bina Tsaqafah Jakarta, cet I, 1417H/ 1997, hal 79-80).
Kemudian Dr Yusuf Al-Qardhawi menukil bantahan dari Ibnu Taimiyah
terhadap klaim ilham dan kasyf yang dianggap ma’shum (terjaga dari
kesalahan) itu sebagai berikut:
“Umat ini tidak membutuhkan kepada muhaddatsun dan mulhamun
disebabkan telah sempurnanya risalah nabi umat ini dan telah
sempurnanya syari’at beliau saw. Oleh karena itu bentuk lafadz
(shighoh) hadits tersebut:
“Fain yakun fii ummatii ahadun fa ‘umar”
“Jika ada di antara umatku seseorang (seperti mereka) maka Umar-lah orangnya.”
Sedangkan apa yang disebutkan oleh pengarang kitab Al Fawatih
merupakan pendapat subyektif dan tidak ilmiah, dan semata-mata
merupakan klaim-klaim yang menyimpang tanpa ada buktinya. Dia telah
mencampur adukkan di dalam nama-nama yang telah dia kumpulkan itu,
antara orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang cerdas, antara
ahlus sunnah dan ahli bid’ah, antara orang yang bertauhid dan orang
yang berfaham hululi (kepercayaan bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam
makhluk) serta ittihady (kepercayaan bahwa dunia dan seisinya adalah
Tuhan). Dan yang lebih mengherankan mengapa hal seperti ini ditulis
dalam ilmu ushul (fiqh), padahal ilmu ushul merupakan timbangan akal
dan logika manqul (penalaran yang masuk akal dan berdasarkan
dalil-dalil naqli)!
Apa yang dikatakan oleh pengarang kitab Al-Fawatih ini dan
orang-orang yang seperti dia, mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum
syi’ah tentang imam-imam mereka, padahal perkataan seperti ini amat
sangat diingkari oleh ahlus sunnah.
Pendapat kaum syi’ah itsna ‘asyariyah telah sampai kepada puncaknya
dengan menyatakan kema’shuman ilham para imam mereka yang dua belas.
Maka, apa saja yang diilhamkan kepada mereka (para imam yang 12) tidak
mungkin akan berlaku padanya kemungkinan salah, karena apa yang
diilhamkan kepada mereka bukan tumbuh dari hasil ijtihad, seperti hasil
ijtihadnya para imam madzhab fiqh, yang kemungkinan benar dan
kemungkinan salah, sehingga yang benar diberikan pahala dengan dua
pahala, dan yang salah diberi satu pahala. Sesungguhnya ilham mereka
adalah ilham yang datang dari Allah untuk seorang imam, dimana Allah
akan menyingkapkan baginya dengan ilham tersebut perkara yang gaib bagi
orang lain, dan ilham tersebut pasti benar, baik berupa kabar ataupun
hukum. Jika berupa kabar maka pasti benar dan jika berupa hukum maka
pasti adil dan tidak perlu dibantah lagi!
Dengan keyakinan seperti ini mereka pada hakekatnya telah menetapkan sifat ‘Isham
(suci dari kesalahan) kepada selain Rasulullah saw dan juga berarti
telah mewajibkan ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, yang mana
keyakinan demikian tentu bertolak belakang dengan apa yang telah
diputuskan oleh hukum-hukum yang sudah jelas (muhkamat) di dalam
al-Quranul Karim, dan penjelasan-penjelasan hadits yang mulia.
Kemudian Ibnu Taimiyah seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi
menegaskan bahwa tidak ada yang suci dari kesalahan (Ishmah) selain
Al-Quran dan As-Sunnah. Penjelasannya sebagai berikut:
Di antara kewajiban yang mesti kami putuskan di sini dengan
sejelas-jelasnya dan seyakin-yakinnya, yang tidak tercampuri oleh
keraguan adalah: Bahwasanya tidak ada yang suci dari kesalahan (‘ishmah)
selain sesuatu yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan setiap
orang setelah itu perkataannya (pendapatnya) bisa diambil (diterima) dan
bisa ditolak. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita untuk
merujuk kepada kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya dalam rangka mengetahui
hukum-hukum syari’at-Nya. Allah swt berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS 7:3).
Dan Allah berfirman: “Katakanlah” ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul…” (QS 24:54).
Dan Allah berfirman: “Dan jika kamu taat kepadanya (Rasul), niscaya kamu pasti akan mendapat petunjuk…” (QS 24:54).
Dan Allah berfirman: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS 59:7).
Dan Allah berfrman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS 24:63).
Dan Allah berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan
Rasul-Nya (Sunnahnya).” (QS 4:59).
Selanjutnya, Ibnu Taimiyah seperti dikutip Al-Qardhawi menegaskan:
Dan Allah swt tidak memerintahkan kepada kita untuk merujuk (kembali)
kepada hati-hati kita, atau perasaan batin kita (dzauq), atau kepada
lintasan-lintasan hati kita, serta perkara gaib yang tersingkap bagi
kita. Karena sesuatu yang berasal dari hal demikian itu tidak ada
jaminan suci dari kesalahan baginya, karena suatu saat bisa benar dan
pada saat yang lain bisa salah.
Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily mengatakan:
“Sungguh telah ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari
kesalahan) dalam hal yang datang dari Al-Kitab (Al-Quran) dan
As-Snnah, dan tidak ada bagi kita jaminan ‘ishmah (suci dari kesalahan)
dalam hal kasyf dan ilham.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil
dari Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili di dalam fatwa-fatwanya (Al-Hikam),
Majmu’ul Fatawa: 2/91, dikutip oleh Dr Yusuf Al-Qardhawy, Sikap Islam
terhadap Ilham, Kasyf… hal 82-84).
Tentang keyakinan shufi mengenai kasyf itu di antaranya dijelaskan
oleh Ibnu ‘Arabi dalam kitab Futuhatnya dan Al-Jili dalam Insanul
Kamil-nya. Sedangkan al-Ghazali sendiri telah mengakui bahwa ia tidak
memperoleh keyakinan sesudah dihinggapi syak dan kesangsian kecuali
dengan perantaraan kasyf. Yaitu setelah ia beri’tikaf beberapa tahun di
menara Masjid Damaskus dan di Masjid Baitul Maqdis. (Lihat kitab
Al-Ghazali, Al-Munqidzu minaddholaal, dan Al-lamus Syamikh hal. 370,
dan Akhlaq, hal. 42, seperti dikutip HSA Al-Hamdani dalam Sanggahan
terhadap tashawuf… hal 16).
Kasyf Syaithani dan Kasyf Haqiqi
Sorotan yang tajam terhadap batilnya kasyf ini juga ditulis oleh Al
Allamah Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Dr Yusuf
Al-Qardhawi mengutipnya sebagai berikut:
Bahwa ilham atau kasyf semata-mata merupakan salah satu contoh dari
pengetahuan jiwa yang berbicara, tidak tetap (baku) dan tidak teratur.
Dan bukan merupakan pengetahuan yang berlandaskan kepada akal dan tidak
pula bersandarkan kepada dalil syar’i, akan tetapi cuma merupakan
pengetahuan yang kurang, yang terkadang salah terkadang benar, dan
sebab-sebabnya yang alamiah pun mudah untuk diketahui. Sebagian ada
yang bersifat bawaan (fithry), sebagian ada yang diperoleh dengan usaha
(kasby) dan sebagian lagi hasil ciptaan (shina’i), seperti hipnotis
yang dikenal di abad ini, dan apa yang mereka namakan dengan membaca
fikiran, komunikasi fikiran, dan yang mereka serupakan dengan transfer
berita lewat kawat listrik maupun transfer berita tanpa kawat listrik.
Pengetahuan seperti ini tentu bisa dikuasai oleh orang mu’min maupun
orang kafir, orang yang baik maupun orang yang jahat, sebagaimana
diakui oleh para shufi muslim bahwa pengetahuan semacam ini dikuasai
pula oleh shufi beragama hindu. Para shufi muslim mengakui bahwa
pengetahuan yang dikuasai oleh mereka bercampur aduk dengan pengelabuan
syetan, dan sedikit sekali orang yang mempunyai kemampuan untuk
membedakan antara kasyf syaithani (kasyf yang berasal dari syetan) dan
kasyf haqiqi (sesungguhnya), dan tidaklah boleh dinamakan kasyf haqiqi
kecuali jika bersesuaian dengan nash yang qoth’i (nash/ teks ayat atau
hadits yang pasti).
Di antara berbagai bukti kesalahan dan kepalsuan serta khayalan
yang ada pada kasyf mereka, yang biasa mereka namakan dengan An-Nurany
(yang berkilauan), dan apa yang mereka sebutkan di dalam kasyf mereka
berupa pengetahuan mereka yang bermacam-macam, berdasarkan keberagaman
pengetahuan mereka tentang seni, kekhurafatan dan syari’ah adalah
terjadinya pertentangan para ahlinya dan saling salah menyalahkan satu
sama lain dalam hal ini. Oleh karena itu, anda akan mengetahui sebagian
dari mereka menyebutkan di dalam kasyfnya Jabal Qof (gunung qof) yang
mengelilingi bumi!
Dan Al hayyah (ular) yang mengelilinginya! Sebagaimana dapat anda
ketahui dalam biografi Asy Sya’rani oleh Syaikh Abu Madyan, yang isinya
merupakan kekhurafatan-kekhurafatan yang tidak ada hakekatnya.
Di antara mereka ada pula yang menyebutkan di dalam kasyfnya
bintang-bintang dan tempat peredarannya dengan cara Yunani yang batil.
Dan kebanyakan mereka menyebutkan di dalam ksyf mereka hadits-hadits
yang maudhu’ (palsu), walaupun mereka dan orang-orang yang terfitnah
dengan kasyf mereka ditentang oleh ulama hadits. Mereka mengatakan: ‘Sesungguhnya
sebuah hadits terkadang dianggap shahih dalam kasyf kami, walaupun
hadits tersebut tidak shahih menurut riwayat-riwayat kalian (ahli
hadits), dan kasyf kamilah yang lebih benar, karena kasyf kami berasal
dari ilmul yaqin sedangkan ilmu kalian berasal dari dugaan (dhon)!’
Kesimpulannya adalah, bahwa kasyf ini adalah urusannya sendiri dan
urusan para ahlinya, jika sah bagi kita untuk membenarkannya tentu
ketika tidak terjadi pertentangan dengan syari’at, aqidah-aqidahnya
serta hukum-hukumnya. Maka tidak dibenarkan bagi orang yang beriman
kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya membenarkan sebagian dari kasyf
yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Dan tidak
dibenarkan pula menetapkan kasyf dengan didasari perintah dari alam
gaib selama tidak ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. lagi pula kita
tidak membutuhkan semua ini (kasyf seperti ini). (Tafsir Al-Manar oleh
Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha, Jilid 11/447, cetakan keempat,
seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi, Sikap Islam terhadap Ilham,
Kasyf… hal. 86-87).
Penjelasan-penjelasan tersebut sangat gamblang bahwa kasyf shufi itu
batil. Orang mu’min maupun kafir bisa memperolehnya, orang jahat
maupun shalih dapat juga, sebagaimana hasil kasyf itu ada yang dari
syaitan, dan ada yang mengandung kebenaran, tidak ada patokannya.
Dan dari sinilah bisa kita fahami, kenapa orang-orang Syi’ah,
sekluer, dan pengacau Islam kini justru ramai-ramai menjajakan
tasawwuf. Ternyata, dalam hal kepercayaan/ aqidah maupun sikap mereka
terhadap hadits adalah sama-sama, yaitu mengacaukan. Hingga ketatnya
aqidah dalam Islam ini jelas-jelas mereka tabrak, sedang ketatnya
pembatasan tentang keshahihan hadits pun terang-terang mereka tabrak
pula. Bila aqidah, suatu fondasi tempat berdirinya Islam, telah mereka
kacaukan, dan hadits sebagai landasan utama yang kedua setelah Al-Quran
telah mereka halalkan untuk dipalsukan dengan cara mengklaim
ke-kasyf-an untuk menshahihkan kepalsuan, maka hancurlah Islam ini.
Masih pula ditambahi dengan tabiat shufi yang tunduk patuh bahkan
sering mendukung kepada penguasa dhalim –walaupun menghancurkan Islam–
maka sempurnalah konspirasi dan konvigurasi mereka (shufi, syi’ah,
sekluer, munafiqin, kafirin, musyrikin, pengacau agama, dukun,
paranormal, ahli bid’ah, politikus licik anti Islam, dan penguasa
dhalim) dalam menghancurkan Islam dengan wajah yang pura-pura teduh
karena berkedok main batin.
Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku Ummat Islam, jangan sampai
tertipu oleh permainan mereka yang sudah dibabat oleh para ulama pada
awal abad keempat Hijriyah dengan dibunuh dan disalibnya dedengkot
shufi bernama Al-Hallaj, namun kemudian digali dan dihidup-hidupkan
lagi oleh para orientalis Barat antek penjajah anti Islam, kemudian
dikembangkan lagi oleh antek-antek orientalis di mana-mana sampai kini
lewat aneka sarana. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada para
pengamal Islam dan penyerunya yang setia dan istiqomah hingga mampu
menghancurkan kebatilan mereka yang mengancam Islam itu.
Amien.
No comments:
Post a Comment