PUSAKA KALIMASADHA DAN CHUNDAMANI
Kalimasadha dalam Budaya Jawa
Dalam cerita pewayangan, dikenal pusaka keramat milik Prabu
Yudhistira dari kerajaan Amartha, sebagai warisan dari Kyai Semar yakni
Jamus Kalimasada. Jamus Kalimasada adalah pusaka untuk menangkal
kesengsaraan, nasib celaka, bebendu atau hukuman dari Tuhan.
Kalimasada (Kalima usada=jajampi wari gansal) lima macam ‘jamu’ atau lima macam tindakan (lelampahan gangsal ) yang harus dilakukan setiap orang agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat (kawilujengan). Lima macam tindakan tersebut adalah:
1. Suci = setia, jujur
2. Sentausa = adil paramarta. tanggungjawab
3. Kebenaran= sabar, belas kasih, rendah hati
4. Pintar/kepandaian= pandai ilmu, pandai mengenakkan hati sesama, pandai meredam hawa nafsu
5. Kesusilaan= selalu sopan-santun, teguh memegang tatakrama
Langkah Kelima perkara tadi tidak boleh diabaikan salah satunya. Jadi
harus dilakukan serempak bersama-sama, atau diistilahkan Jawa; ayam kapenang.
Sebutan ayam kapenang tersebut kemudian digunakan sebagai paugeran atau patokan yang menjadi petunjuk hidup. Dalam pewayangan, ayam kapenang tersebut menjadi perwujudan watak masing-masing Satria Pendawa Lima. Sehingga disebut sebagai ayam kapenang artinya telur ayam sak petarangan, yang mengandung maksud; pecah satu maka akan pecah semua. Ini untuk membahasakan guyub rukun nya para kesatria Pendawa Lima dalam tali persaudaraan, ada yang mati satu maka yang lain pasti akan membelanya.
Langkah Lima perkara tersebut harus dijalankan secara kompak
bersama-sama, jika salah satu tidak jalan maka akan mengalami kegagalan.
Seumpama, walaupun sudah menjalankan kesetiaan, kesentausaan,
kepandaian, kesusilaan, tetapi buta akan kebenaran sudah tentu tidak
menjadi manungso pinunjul. Kebenaran dilupakan, artinya tidak
memahami akan benar salahnya tindakan, perbuatan, dan pekerjaan. Maka
kesetiaan dan kesantausaannya hanya untuk mendukung kepada perbuatan,
tindakan, pekerjaan yang tidak benar. Kepandaian dan kesusilaannya juga
hanya untuk membodohi (baca;Jawa; minteri) orang lain.
Perbuatan demikian yang menjadikan musabab menganggap enteng segala
bahaya dan resiko, yang tidak bisa ditolak hanya dengan doa, justru
sebaliknya, niscaya manusia akan jatuh dalam duka dan kesengsaraan.
Kalimasadha Dalam Cerita Pewayangan
Jamus Kalimasada diwahyukan kepada Pendawa Lima dan diteruskan kepada
para puteranya. Jadi para putera Pendawa Lima merupakan pralampita,
pengejawantahan dari panca indera manusia yang meliputi mata, hidung,
telinga, lidah, dan kulit dan anggota badan. Pertama adalah Sang
Pretiwindya putera dari Prabu Yudhistira sebagai perlambang indera
penglihatan, Sang Sutasoma, putera Sang Werkudara sebagai perlambang
dari indera penciuman, ketiga yakni Sang Sutakirti putera Sang Arjuna
sebagai perlambang indera pendengaran, ke empat yakni kembar Raden
Nakula dan Raden Sadewa, putera Raden Nakula yakni Sang Satanika sebagai
perlambang lidah sebagai indera perasa, dan Sang Srutakarma putera dari
Raden Sadewa sebagai perlambang kulit dan seluruh anggota badan
sebagai indera perasa pula. Kelima putera tersebut dari satu isteri
Pendawa Lima yakni Dewi Drupadi sebagai wujud retasan dari Yang Maha
Kuasa (purbawisesaning gesang). Sehingga dapat diambil
intisarinya yakni asal muasalnya panca indera tidak lain dari wujud
ciptaan Sang Khaliq, Tuhan Yang Maha Kuasa, Sang Hyang Wenang, Gusti Kang Maha Wisesa.
Tetapi, Sang Werkudara dari isteri Dewi Arimbi kemudian dikaruniai anak bernama Gatutkaca, selanjutnya sebagai perlambang dari pamicara. Pamicara atau bicara dengan bahasa manusia, bukanlah kewenangan Sang Hyang Wenag, purbawasesaning gesang
hanya menciptakan suara untuk makhluknya, tidak menciptakan bahasa
manusia. Bahasa atau bicara, wicara, merupakan hasil karya peradaban
manusia, sehingga Gatutkaca bukan menjadi putera Werkudara dengan Dewi
Drupadi, tetapi dengan Dewi Arimbi. Sang Werkudara sendiri merupakan
perlambang hawa atau udara, maka Gatutkaca adalah putera Werkudara
dengan Dewi Arimbi, bukan dengan Dewi Drupadi. Artinya, bahwa nafas dan
suara asalnya dari hawa atau udara. Maka jika mulut dubungkam, dan
hidung ditutup, pati tidak akan bisa bicara.
Pusaka Chundamani,
Senjata Ampuh untuk Mewujudkan Harapan dan Cita-cita
Gatutkaca melengkapi Pendawa Lima, menjadi Sadrasa, rahsa nem, atau enam rasa. Yang dapat mengalahkan Pendawa Lima plus Gatutkaca, sebagai enam rasa, adalah Aswatama. Oleh Aswatama, sadrasa dapat
disirnakan. Aswa = kapal perang, tama = utama, baik, mulia, luhur.
Aswatama = kendaraan atau alat yang dapat mengantarkan kepada keutamaan
lahir batin. Kendaraan atau alat bermakna juga sebagai perbuatan atau
pekerjaan yang baik, utama, mulia, luhur. Aswatama mendapat pusaka dari
orang tuanya Sang Durna, pusaka bernama chundamani. Chunda = chunduk, mani = manik = rahsa. Chunduk artinya cocok, tunggal, membaur. Sehingga chundamani
merupakan intisari dari segala perbuatan yang baik untuk mencapai
tujuan yang mulia, dengan cara menyatukan rasa atau tunggal rasa, yakni
membaurnya ke enam rasa atau sadrasa. Sebagaimana tata cara
orang berdoa agar supaya tijab, makbul, terkabul, diterima Tuhan, bukan
dengan doa berkuantitas banyak dan repetitif, atau mencari waktu-waktu
tertentu yang dianggap baik, tetapi justru dengan cara menyatukan
seluruh komponen indera yang kita punya, yakni hati, fikiran, ucapan,
dan tindakan. Orang sering salah memahami hakekat dari doa. Doa bukan
sekedar yang tersirat dan yang terucap. Doa merupakan keseluruhan dari
sebuah tindakan yang kompakdan harmonis, meliputi hati, fikiran, ucapan,
tindakan. Keempat komponen tersebut tidak bisa dipisahkan, pecah satu
pecah semua, seperti makna Pendawa Lima dan Pusaka Kalimasada. Sebagai
contoh, jika hati dan ucapan kita berdoa memohon kesehatan kepada Tuhan,
namun fikiran dan perbuatan selalu tergoda dengan makanan lezat
mengandung kolesterol tinggi, maka hanya akan menggagalkan doa
permohonan sehat tersebut. Atau, ucapan dan tindakannya menghindari
makanan dan perbuatan yang dapat merusak badan, tetapi hati dan
fikirannya tidak kompak, maka hanya menghasilkan perbuatan enggan,
setengah hati, dan malas. Lahiriah dan batiniahnya tidak kompak, suka
membohongi diri sendiri, membantah diri sendiri, dan munafik.
TANDA-TANDA PENCAPAIAN Neng Ning Nung Nang
TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG
TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng;
menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi
luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi
sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada
hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang
baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama
tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan
manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun
sikap eling dan waspadha. Neng adalah tingkat dasar,
barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air,
mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan,
tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang
dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui
pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH
diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya
puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih
diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara
misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih,
kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati
leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs
sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan
menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara
ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini
dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN
kita secara benar dan tepat.
Kehidupan
sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi,
artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan.
Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat
dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya
perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak
mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan
santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah
Pada
tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun
belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum
tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang
masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin
diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan
suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat
yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila
tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi
bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat
diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya
masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada
tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an
(api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan
harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir.
Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri
paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !
TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening;
ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini
sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting; Saloka Jati). Waspadha terhadap apa saja yang
dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni
penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan
sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan tulus,
hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari
semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin
maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan,
serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil
(diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai
melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa
geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni
ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa
banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis
suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap
reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan).
4. Tapa
mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri.
Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar
bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku,
ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga
berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri.
Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya.
Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di
atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar
mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah
Jangan
lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab
pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan
yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di
sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha.
Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa
lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan
segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus
dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih
menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara
pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia.
Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai
sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam
tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan
dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.
TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungan
dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan.
Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan
serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik
menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang
baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus
dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa
terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian tataran ini sama halnya laku
hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar,
tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran),
yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini
ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan
kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap
ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh
sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan
tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak
munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang
rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh
karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata
bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau
jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau
cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada
batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak
dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok,
pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh
semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.
NAH,
orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di
mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan,
“buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda
terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari
pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari
“pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian Nung,
ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam
segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai
orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam
terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk
meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri
secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang
harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad
dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ;
retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi
rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat
menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan
seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang
yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena.
Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya
adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang
tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda
terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu
negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci)
mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru
Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas
kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi
kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat,
menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan.
Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.
Salam sejati
No comments:
Post a Comment