ALHAMDULILLAH sekali lagi, akhirnya al-faqir ketemu jua falsafah dan perumpamaan yang sering diajarkan oleh MASYAIKH-MASYAIKH kita, ianya adalah perumpamaan makhluk ibarat WAYANG@WAYANG KULIT. Setelah diselidiki sejarah WALI SONGO, akhirnya al-faqir ketemu FALSAFAH WAYANG ini yang diajarkan oleh SUNAN BONANG atau Syeikh Maulana Makhdum Ibrahim, salah seorang WALI SONGO.
Falsafah dan perumpamaan ini adalah untuk memudahkan para santri memahami hakikat sebenar SIAPA MAKHLUK dan SIAPA KHALIK.
Sunan Bonang mengajarkan hakikat dan perumpamaan ini didalam suluk
bersama para murid-nya yang diceritakan didalam suluk-suluk sunan
Bonang. Antaranya Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan,
Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk
Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang,
Suluk Wregol dan lain-lain
Perumpamaan
paling menonjol yang dekat dengan budaya setempat ialah wayang dan
lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa yang sering dipertunjukkan dalam
pentas wayang kulit.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia seperti
Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh menggunakan perumpamaanl wayang untuk
menggambarkan hakikat ketuhanan yang dicapai seorang ahli makrifat
dengan Tuhannya. Makna simbolik wayang dan layar tempat wayang
dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayang-bayang dan cermin. Dengan
menggunakan perumpamaanl wayang dalam suluknya, Sunan Bonang seakan-akan
ingin mengatakan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui
karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastera sebelumnya, meskipun
terdapat pembaharuan di dalamnya.
Ketika ditanya oleh SUNAN KALIJAGA
mengenai falsafah yang dikandung dalam pertunjukan wayang dan
hubungannya dengan ajaran tasawuf, Sunang Bonang menunjukkan kisah
Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di
dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri,
mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar
mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili NAFI dan Pandawa mewakili ISBAT. Perang NAFI ISBAT
juga berlangsung dalam jiwa manusia dan disebut jihad besar. Jihad
besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kongkongan
dunia materialistik.
SUNAN BONANG berkata kepada Wujil(muridnya) dalam SULUK WUJIL :
“Ketahuilah
Wujil, bahwa pemahaman yang sempurna dapat dikiaskan dengan makna
hakiki pertunjukan Wayang. Manusia sempurna menggunakan ini untuk
memahami dan mengenal Yang MAHA KUASA.
TOK
DALANG dan WAYANG ditempatkan sebagai lambang dari tajalli
(pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah
maknanya:
Layar
atau kain merupakan sekelian alam. Wayang di sebelah kanan dan kiri
merupakan makhluq ilahi. Batang pokok pisang tempat wayang diletakkan
ialah tanah tempat berpijak. Lampu minyak adalah nyala hidup. Gamelan
memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian.
Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung.Bagi mereka yang tidak mendapat
tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang
menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, kerana tidak melihat hakikat di sebalik penciptaan itu.”
Selanjutnya
kata Sunan Bonang “Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhkan rasa
cinta dan kasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak
yang mirip dengan-Nya, walaupun kita pergi ke Timur-Barat, Utara-Selatan
atau atas ke bawah. Demikianlah kehidupan di dunia ini merupakan
kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita
ini. Segala tindakan, tingkah laku dan gerak gerik kita sebenarnya
secara diam-diam digerakkan oleh Tok Dalang.”
Mendengar
itu Wujil kini paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang
hakiki terdapat persamaan antara falsafah wayang dan hakikat ketuhanan.
Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno abad
ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa
menuturkan bahwa ketika dunia mengalami kekacauan akibat perbuatan
raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan memilih Arjuna sebagai
kesatria yang pantas dijadikan pahlawan menentang Niwatakawaca. Sang
Guru turun ke dunia menjelma seorang pendeta tua dan menemui Arujuna
yang baru saja selesai menjalankan pertapaan di Gunung Indrakila
sehingga mencapai kelepasan (moksa)
Di
dalam wejangannya Sang guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau
direnungkan baik-baik, hidup di dunia ini seperti permainan belaka. Ia
serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya
kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima
pancaindera kita. Manusia senantiasa tergoda oleh kegiatan
pancainderanya dan akibatnya susah. Manusia tidak akan mengenal diri
peribadinya jika buta oleh kekuasaan, hawa nafsu dan kesenangan seksual
dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa
perasaan sedih dan menangis tersedu-sedu. Itulah sikap orang yang tidak
dewasa jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai
kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh tok dalang dan dibuat
seperti berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan
indrawi. Betapa besar kebodohannya.
Selanjutnya
Sang Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini adalah
maya. Semua ini sebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang!
Kau harus mampu melihat Yang Satu di balik alam maya yang dipenuhi
bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian dia bersujud di hadapan
Yang Satu, menyerahkan diri, diam dalam hening. Baru setelah
mengheningkan cipta atau tafakur dia merasakan kehadiran Yang Tunggal
dalam batinnya. . Kata Arjuna:
Sang Guru memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin
Demikianlah,
dengan menggunakan perumpamaan wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan
Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu
lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara
spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi
kegoncangan. Memang secara zahir kedua agama tersebut menunjukkan
perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan mampu
melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya
terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti
ajaran Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.
Allahu...
No comments:
Post a Comment