Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam bukunya kitab al-luma’ fit tasawwuf. Di
terangkan adanya tujuh maqam secara urut yang masing-masingnya umum
terdapat dalam kitab-kitab lainya. Ketujuh maqam itu ialah:
Maqam sabar, maqam tawakkal, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar, maqam tawakkal, dan maqam ridlo (rela).
Maqam ke tujuh adalah maqam puncak yakni pembebasan hati dari segala
ikatan dunia.yaitu menciptakan suasana hati yang netral dan memandang
sepele terhadap dunia.
Ihsanuddin dalam kitab makrifat misalnya menyetir suatu syair yang menggambarkan sikap sufi terhadap dunia sebagai berikut:
# setiap apa yang dicipta Alloh, serta apa yang belum tercipta,
tak berharga dalam hatiku, harta seperti sehelai rambut yang terlepas
dari kepalaku #
Dalam kitab hikam diungkapkan suatu syair yang artinya sebagai berikut:
# seseorang hamba merdeka selama berjiwa qona’ah, sebaliknya
seorang yang merdeka jadi hamba (budak) bila berkeinginan. Maka
berqona’alah dan jangan tamak, tak ada sesuatu yang aib selain banyak
keinginan #
Dalam ajaran tasawuf dunia (apa yang selain tuhan) itu di ibaratkan
wanita bahu laweyan, yang molek tapi siapa yang mengawini tentu segera
binasa. Hal ini diungkapkan dalam syair Bahar Thawil yang artinya
sebagai berikut;
#apakah kamu ingin mengawini si laila sedangkan kamu tahu bahwa setiap yang mengawini dia tentubinasa #
Menurut al- Ghozali setiap sufi yang ingin mendapatkan penghayatan
makrifat pada tuhan sementara waktu menempuh jalan kepada tuhan harus
sanggup membelakangi dunia secara keseluruhan, karena makrifat pada
tuhan tidak bisa di madu dengan dunia.
Fatwa ini didasari suatu hadist sewaktu emas belum di haramkan bagi
pria, pernah suatu waktu nabi membuang cincin emas di tengah-tengah
khotbah beliau. Sesudah turun dari mimbar menjawab pertanyaan hal itu di
lakukan karena cincin itu menganggu konsentrasi ibadah khotbah beliau.
Upaya pemutusan ikatan keduniaan ini di mulai dengan pengalaman :
1. Maqam Taubat.
Dalam ajaran tasawuf konsep taubat di
kembangkan dan mendapat berbagai macam pengertian. Namun yang membedakan
antara taubat dalam syariat biasa dengan maqam taubat dalam tasawuf
diperdalam dan dibedakan antara taubatnya orang awam dengan orang
khawas. Dalam hal ini dzu al-Nun an-Mishri mengatakan :
“Taubatnya orang-orang awam taubat dari dosa-dosa, taubatnya orang khawas taubat dari ghoflah (lalai mengingat tuhan)”.
Bagi golongan khowas atau orang yang telah
sufi, yang di pandang dosa adalah ghoflah (lalai mengingat tuhan).
Ghoflah itulah dosa yang mematikan. Ghoflah adalah sumber munculnya
segala dosa. Dengan demikian taubat adalah merupakan pangkal tolak
peralihan dari hidup lama (ghoflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni
hidup selalu ingat tuhan sepanjang masa.
Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghoflah, maka
kesempurnaan taubat menurut ajaranntasawuf adalah apabila telah tercapai
maqam “attaubatu min taubatihii” yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan keasadaran akan taubatnya itu sendiri.
2. Maqam wara’
Dalam risalah al-qusyairiyah banyak membahas tentang makam wara’
beserta pandangan atau rumusan para sufi tentang hal ini. Wara’ adalah
meninggalkan hal yang syubhat: tarku syubhat yakni menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halalnya.
Abu bakar as-shiddiq mengatakan “Kami tinggalkan tujuh puluh pintu
menuju yang halal lantaran takut jatuh pada satu pintu menuju haram”.
Wara’ memang salah-satu sendi etika islam yang sangat penting, oleh karena itu nabi bersabda yang artinya “Ibadah itu sepuluh suku, Sembilan dari padanya dalam mencari halal”. Jadi Sembilan persepuluh dari ibadah adalah mencari halal.
Pada hadist lain nabi bersabda yang artinya “hendaknya kamu menjalankan laku wara’, agar kamu jadi ahli ibadah”. Laku
hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas ke-islaman,
apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua
sesudah taubat, dan disamping merupakan pembinaan mentalitas (akhlak)
juga merukan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.
Wara’ itu ada dua tingkat, wara’ segi lahir yaitu hendaklah kamu
tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Alloh. Dan wara’ batin,
yakni agar tidak masuk dalam hatimu terkecuali Alloh ta’ala.
Wara’ adalah meninggalkan setiap yang berbau syubhat dan meninggalkan
apa yang tidak perlu, yaitu meninggalkan apa yang tidak perlu, yaitu
meninggalkan berbagai macam kesenangan.
3. Maqam zuhud
sesudah maqam wara’ di kuasai mereka baru berusaha mengapai maqam
(station) di atasnya, yakni maqam zuhud. Berbeda dengan wara’ yang pada
dasarnya merupakan laku menjahui yang syubhat dan setiap yang haram,
maka zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi.
Dalam hal ini ‘Abdul Hakim Hasan dalam bukunya al-Tashawuf fi al-Arabi mengatakan sebagai berikut :
Adapun zuhud menurut bahasa Arab materinya tidak berkeinginan.
Dikatakan, zuhud pada sesuatu apabila tidak tamak padanya. Adapun
sasaranya adalah dunia. Dikatakan pada seseorang apabila bila dia
menarik diri untuk tekun beribadah dan menghindarkan diri dari keinginan
menikmati kelezatan hidup adalah zuhud pada dunia. Inilah makna agamis
daripada zuhud. Nabi bersabda: “jika kamu melihat seseorang dianugerahi
zuhud di dunia dan cerdas nalarnya, maka kau dekatilah dia, bahwasanya
dia adalah orang bijaksana……Dikatakan zuhud adalah setengah dari firman
Alloh: “(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu; dan supaya kamu jangan selalu
gembira terhadap apa yang diberikanya padamu” (al-qur’an, 57 ;23). Maka
seorang zahid tidak gembira dengan dunia yang ada di tanganya, dan juga
tidak bersedih hati dengan hilangnya dunia dari tanganya. Abu ustman
berkata; “zuhud kamu tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapa
yang mengambilnya”.
Dalam tasawuf zuhud dijadikan maqam dalam upaya melatih diri dan
menyucikan hati untuk melepas ikatan hati dengan dunia. Maka di dalam
tasawuf diberi pengertian dan diamalkan secara bertingkat. Pada dasarnya
dibedakan zuhud pada tingkat awal (biasa) dan zuhud bagi ajaran sufi.
Misalnya Abu Sulaiman aal-Darani mengatakan :
“Sufi itu suatu ilmu dari ilmu-ilmu tentang zuhud. Maka tidak
pantas mengenakan kain suf dengan uang tiga dirham di tanganya kok dalam
hatinya menginginkan lima dirham”.
Pada tempat lain Abu Sulaiman al-Darani mengatakan :
“zuhud adalah meninggalkan segala yang melalaikan hati dari Alloh”.
Ruwaim mengatakan:
“zuhud adalah memandang kecil arti dunia dan menghapus pengaruhnya dari hati”.
4. Maqam Fakir
Mengenai maqam fakir, R.A.Nicholson dalam bukunya the mystics of islam mengatakan :
Fakir dan dervish adalah nama-nama di mana para sufi bangga untuk
disebutnya, karena kedua itu bahwa dialah golongan yang telah
memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan pikiranyan
daripada tuhan. Kosongnya seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan
masa kini dan kehidupan yang akan dating, dan tidak menghendaki apapun
kecuali tuhan penguasa kehidupan masa kini dan masa yang akan
dating-itulah fakir yang sesungguhnya. Fakir yang sedemikian itu adalah
orang yang lenyap kesadaran keberadaan dirinya, sehingga dirinya tidak
mendaku punya kemampuan, perasaan, dan perbuatan.
Di terngkan bahwa Dawud al-Thail tidak punya apa-apa
terkecuali rumput kering untuk tikar, sebuah bata sebagai bantal, dan
sebuah mangkok untuk minum dan mencuci.
Sebagai salah satu maqam dalam ajaran tasawuf maka fakir juga
mendapat pembahasan perumusan yang bertingkat-tingkat disesuaikan dengan
tujuan penyucian hati terhadap ikatan keduniaan. Dalam al-Risalah al-Qusyairiyah maqam fakir ini dibahas agak panjang lebar. Di antara perumusan-perumusan tentang fakir,
Misalnya al-muzayin mengatakan;
“jalan menuju Alloh itu lebih banyak dari bilangan bintang di
langit, tak ada yang ketinggalan daripadanya terkecuali satu jalan saja,
yaitu fakir, itulah yang paling lurus dari segala jalan”.
Al-Nuri mengatakan :
“sifat orang fakir itu diam saja ketika tak punya apa-apa, dan tak membutuhkan ketika punya apa-apa”.
Dzu-al-Nun mengatakan :
“alamat seorang hamba akan mendapat murka tuhan adalah takut fakir”.
Menurut syibli hakikat fakir itu ;
“Adalah orang yang tidak membutuhkan sesuatu apapun selain Alloh”
Menurut Abu baker al-Mishri
“fakir yang sesungguhnya adalah tidak memiliki sesuatu dan hatinya juga tidak menginginkan sesuatu”,
Jadi pada dasarnya wara’ berusaha meninggalkan syubhat agar hidup
hanya mencari yang jelas halal, kemudian dengan zuhud telah mulai
menjahui keinginan terhadap yang halal-halal dan hanya yang amat penting
dalam hidupnya. Di dalam maqam fakir telah sampai puncaknya, yaitu
mengosngkan hati dari ikatan dan keinginan terhadap apa saja sealain
tuhan. Maka maqam fakir merupakan perwujudan upaya “tathir al-qolbi bi ‘l-kulliyati’an ma siswa ‘llah”. Yaitu penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang selain Tuhan. Inilah ajaran qath’u al-ala’iq atau tajrid yakni ajaran untuk membelakangi atau membuang dunia.
Al-Ghozali menganjurkan atau mengajarkan untuk membuang dunia itu
sama sekali. Maka fakir di rumuskan dengan “tidak punya apa-apa dan juga
tidak menginginkan apa-apa”.
5. Maqam Sabar
Dalam islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi
akhlak mulia. Dalam al-Qur’an dinyatakan sabar merukan laku yang terpuji
dan merupakan perintah suci agama.
Jadi penguasaan diri dan bersabar dalam waktu mengalami kesempitan,
susah, penderitaan, tantangan dan perang, adalah mentalitas Islam. Sikap
sabar di tinggikan sebagai mentalitas sikap seorang mukmin dan muttqin,
seperti di jelaskan dalam surat Al-Baqarah, ayat 153 yang artinya “hai
orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar”.
Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir. Karena
persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus mencapai
maqam fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam penderitaan dan
kepincangan. Oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Sebagai
satu maqam dalam tasawuf direnungkan dan dikembangkan menjadi konsep
yang diungkapkan dalam berbagai pengertian.
Ibnu ‘Atha misalnya mengatakan :
Sabar adalah menerima segala bencana dengan laku sopan atau rela.
Dan dikatakan pula bahwa sabar adalah fana’ di dalam balai bencana tanpa ada keluhan:
Bergulat dengan kesengsaraan tanpa ada keluhan.
Jadi dengan maqam sabar para sufi memang
telah menyengaja dan menyiapkan diri dengan seribu satu kesulitan dan
derita dalam hiduonya dengan sikap sabar, tanpa ada kesulitan. Itulah
laku maqam sabar di dalam tasawuf.
6. Maqam Tawakkal
Dalam syariat islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan sesudah segala
daya upaya dan ikhtiar dijalankanya. Jadi yang ditawakkalkan atau
digantungkan pada rahmat pertolongan Alloh adalah hasil usahanya sesudah
segala ikhtiar dilakukanya. Yakni tawakkal yang di landasi oleh aktif
kerja keras. Tasawuf menjadikann maqam tawakkal sebagai wasilah atau
sebagai tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia agar tidak
terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain
Alloh. Oleh karena itu sesuai cita ajaran tasawuf tawakkal dijadikan
prinsip ajaran yang mengarah ke paham jabbariyah mutlak. Yakni
tawakkal tanpa memikirakan usaha, orang harus sepenuhnya mengantungkan
diri sepenuhnya kepada takdir dan pemeliharaan langsung dari Alloh.
Dalam Risalah Qusyairiyah diterngkan bahwa Sahlu Bin Abdulloh mengatakan;
Permulaan dari maqam tawakkal itu adalah seorang hamba (manusia)
di depan Alloh yang maha kuasa laksana mayat di depan oaring yang
memandikan, di bolak-balikan sekehendaknya tanpa bergerak dan ikhtiar.
Seterusnya dalam Risalah Qusyairiyah disebutkan bahwa Hamdun mengatakan:
Tawakkal itu berserah diri (mempercayakan diri) pada jaminan pemeliharaan Alloh sepenuhnya.
Abd al-Dayim dalam bukunya Al-Tashawuf al-islami Bain al-falsafat wa al-Din mengatakan tentang maqam tawakkal sebagai berikut :
Dalam ordo-ordo tarekat, tawakkal ini diterapkan terhadap guru
tarekat yang membuat mereka juga seperti kutipan tersebut di atas. Yakni
para murid harus melepaskan kemauan pribadinya, dan berserah diri pada
syaih (gurunya) disuruh apa saja harus tunduk.
7. Maqam Ridlo
Setelah mencapai maqam tawakkal, nasib hidup mereka bulat-bulat
diserahkan pada pemeliharaan dan rahmat Alloh, meniggalkan membelakangi
segala keinginan terhadap apa saja selain Tuhan, maka harus segera
diikuti menata hatinya untuk mencapai maqam. Maqam ridlo adalah ajaran
menanggapi dan mengubah segala bentuk penderitaan, kesengsaraan, dan
kesusahan, menjadi kegembiraan dan kenikmatan. Yakni sebagaimana di
katakana imam ghozali, rela menerima apa saja.
Dalam ajaran kawruh beja Suryamataram ridlo itu dirumuskan dalam ungkapan “aku saiki neng kene ngene, gelem”
jadi dengan maqam ridlo segala derita dan percobaan tuhan ditanggapinya
sebagai rahmat nikmt Alloh. Dalam risalah al-Qusyairiyah misalnya
diceritakan ada seorang sufi yang selama hidupnya selalu bermuram hati
dan tidak pernah tertawa terkecuali setelah kematian anak satu-satunya.
Tertawa lantaran syukur diberi cobaan yang paling akbar di dunia bisa
diatasinya (kuat), dan bahkan cobaan itu bisa di tanggapinya sebagai
nikmat. Masih diperhatikan Tuhan, yakni masih mau menegurnya melalui
cobaan tadi.
Mengenai maqam ridlo ini dalam Risalah al-Qusyairiyah dinukilkan macam-macam pemahaman terhadap maqam ridlo sesuai dengan renungan took sufi itu sendiri.
Misalnya Ruwaim mengatakan :
Ridlo itu, itu seandainya Alloh menjadikan neraka jahannam di kananya, tidak akan meminta untuk dipindah ke kirinya.
Ibnu Khafif mengatakan tentang ridlo adalah :
“Kerelaan hati menerima ketentuan tuhan, dan persetujuan hatinya terhadap yang diridlai Alloh untuknya”.
Abu Bakar Thahir mengatakan :
“Ridlo itu hilangnya ketidak senangan dari hatinya, sehingga yang tinggal kegembiraan dan kesenangan (sukacita) dalam hatinya”.
Al-Nuri mengatakan :
”Ridlo itu kegirangan hati menanggapi kepedihan ketentuan Tuhan”.
Rabi’ah al-Adawiyah tentang ridlo:
”Jika dia telah telah gembira menerima musibah seperti kegembiraanya menerima nikmat”.
Dengan mencermati ungkapan-ungkapan tentang maqam-maqam tersebut, dan
sebenarnya masih banyak lagi maqam-maqam selain yang tujuh di atas,
jelas sekali maqam-maqam ini erat dengan laku (mujahadah) pembinaan
moral sikap hidup dan mentalitas para sufi. Bahwa kunci segala bentuk
laku korup dan tindak kekerasan dan kejahatan adalah nafsu tamak dan
serakah memperebutkan kedudukan dan keduniaan. Maka langkah menjahui
keduniaan dan dan mengutamakan tuhan langsung atau tidak langsung pasti
merupakan langkah yang jitu bagi pembinaan akhlak mulia.
Hanya saja sebagaimana telah disinggung cacat ajaran tasawuf
pembinaan kelurusan pengalaman islam adalah eskrem kerohanian dan yang
pada dasarnya berwatak eskapisme (asketik). Tasawuf mengubah citra islam
sebagai agama jihad untuk membina masyarakat dan Negara yang baldatun
thoyyibatun wa robbun ghofur; menjadi berwatak egois kerohanian.
Menciptakan orang-orang yang suka merenung dan berzikir yang merindukan
kebahagian pribadi dalam penghayatan ma’rifat pada Tuhanya.
Metode mawas diri atau mengaca diri seperti yang digalakkan oleh para
sufi semisal al-Ghozali, memang merupakan sarana atau tangga yang amat
jitu untuk menemukan jatidiri dan kesadaran rahmat dan keagungan Alloh
SWT. Bisa dihayati dengan terang-benderang Dali al-Ghozali pada halaman
pertama kitab ihya’ Ulum al-Din juz III “man arofa nafsahu
faqad ‘arofa robbahu” yakni barang siapa telah mengenal jati dirinya,
tentu akan lebih mengenal dan menghayati keagungan Tuhanya
MENGENAL DIRI DI HADAPAN TUHAN NYA : Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar, Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro, Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo. . .
Labels
KITAB
(58)
KITAB ISTIQAL
(30)
RAHASIA MAKRIFATULLAH
(26)
SYEH SITI JENAR
(22)
HAKEKAT
(17)
Al muntahi
(15)
Kitab Ta'limul Muta'alim
(15)
MISYAKAATUL ANWAR IMAM AL GHAZALI
(14)
GURU MURSYID
(12)
ULAMA BESAR INDONESIA
(12)
WALI SONGO
(11)
KITAB FUTUHAT AN-NAJHAH
(10)
MENGENAL BID'AH
(10)
PRO DAN KONTRA Yesus Bukan Tuhan
(10)
Di Manakah Allah??
(9)
Futuhat Al Makiyyah
(9)
Ibnu Araby Dalam Kitab Khatamul Auliya'
(9)
MAQAM MUSYAHADAH
(9)
Membongkar Kedok Sufi
(9)
kitab akhir zaman
(9)
Asas Tareqat
(7)
PERANG SALIB
(7)
Kitab Durun Nafis
(6)
DOWNLOAD
(5)
KITAB NASHOIHUL IBAD
(5)
KITAB RAHASIA APPONA KALI BARRU
(5)
Mukjizat Al-Qur'an
(5)
TAUHID MUFADDHAL
(5)
ADAB AS SULUK
(4)
RAHASIA
(4)
Mafahim Yajibu An Tushohhah
(3)
Asia
(1)
Government
(1)
Indonesia
(1)
Islam
(1)
Kali
(1)
Kata
(1)
Tasikmalaya
(1)
Wali
(1)
No comments:
Post a Comment