KATALOG
TINJAUAN PUSTAKA
Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri dari dua Permaisuri, dari permaisuri yang pertama mempunyai dua orang putra, yaitu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar. Namun sewaktu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar masih kecil ibunya telah meninggal.
KESIMPULAN
Moksanya Prabu Siliwangi
PENDAHULUAN
a) Pengertian Mitos
Mitos
atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang ditokohi oleh para
dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain (kahyangan)
pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya
cerita atau penganutnya. Mitos juga disebut Mitologi, yang kadang
diartikan Mitologi adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar
terjadi dan bertalian dengan terjadinya tempat, alam semesta, para dewa,
adat istiadat, dan konsep dongeng suci. Jadi, mitos adalah cerita
tentang asal-usul alam semesta, manusia, atau bangsa yang diungkapkan
dengan cara-cara gaib dan mengandung arti yang dalam. Mitos juga
mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, kisah perang
mereka dan sebagainya.
b) Pengertian Siluman
Siluman dalam berbagai cerita rakyat adalah makhluk halus
yang tinggal dalam komunitas dan menempati suatu tempat. Mereka
melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari layaknya manusia biasa. Mereka
juga mengenal peradaban. Siluman dapat berasal dari manusia
biasa yang kemudian meninggalkan alam kasar atau setelah orang
meninggal ruhnya masuk dalam masyarakat itu, atau memang sudah merupakan
makhluk halus sejak awalnya. Pertemuan antara manusia dengan siluman
seringkali menjadi bagian dari cerita-cerita misteri yang digemari.
Siluman dikenal pula sebagai orang bunian dalam tradisi masyarakat Sumatera. Mitos tentang Kanjeng Ratu Kidul merupakan satu mitos tentang masyarakat siluman yang sangat dikenal suku-suku di Jawa, bahkan digunakan sebagai legitimasi kekuasaan raja-raja pewaris Mataram.
Beberapa mitos tentang siluman lain:
- Siluman Rawa Lakbok
- Nyai Blorong atau Nyai Roro Kidul
- Masyarakat penghuni Gunung Merapi (konon dipimpin oleh Sunan Merapi) dan Gunung Lawu (konon dipimpin oleh Sunan Lawu)
- Dll.
Moksanya Prabu Siliwangi dan pengikut-pengikutnya di Gunung Gede
Melalui kaidah linguistik, peneliti mencoba menemukan ceritheme-ceritheme (istilah entropologi) yang ada dalam mitos Moksanya Prabu Siliwangi dan selanjutnya menyusun secara sintagmatis dan paradigmatis (istilah linguistik). Ceritheme ini,
merupakan satuan-satuan (unit-unit) kelinguistikan yang akan
menunjukkan pola tertentu dan makna yang jelas. Melalui perbandingan
terhadap ceritheme tersebut, selanjutnya dibangun suatu model yang dapat digunakan untuk memahami versi mitos Moksanya Prabu Siliwangi secara komprehensif.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Badcock (1975:52-55), mitos memang merupakan “something with tells a story” . Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa mitos “does
not convey common sence information, it is not for political purpose.
It serves no utilitarian end whatsoever, and conveys no information
about the everyday world. Nor is it necesuriley morally or political
pedagogic. Batasan ini mengarahkan bahwa mitos adalah ceritera yang
spesifik, artinya tidak semua ceritera tentang kekinian dapat disebut
mitos. Mitos adalah bagian dari fenomena budaya yang menarik.
Yang
perlu dicamkan, menurut Levi-Strauss (Ember dan Ember, 1986:48),
fenomena sosial budaya merupakan representasi struktur luar yang
mendasarkan diri pada struktur dalam (underlying structure) dan human.
Untuk mencermati makna mitos, Levi-Strauss (Paz, 1995:9) menggariskan
bahwa sistem linguistik terbangun dari relasi antarfonem sehingga
membentuk pertentangan dwitunggal (oposisi biner) yang
dapat dijadikan landasan penafsiran. Dalam kaitan itu, Levi-Strauss
(1974:232) menjelaskan bahwa dalam mitos terdapat hubungan unit-unit
(yang merupakan struktur) yang tidak terisolasi, tetapi merupakan
kesatuan relasi hubungan tersebut dapat dikombinasikan dan digunakan
untuk mengungkap makna di balik mitos itu.
Dalam konteks demikian, analisis mitos seperti halnya mempelajari sinar-sinar terbias ke dalam mitem yang
kemudian dipadukan ke dalam struktur tunggal. Kalau demikian tidak
keliru jika Kerk (1983:42) berpendapat bahwa mitos memang berhubungan
dengan masyarakat pendukungnya dan merupakan satu-kesatuan. Bahkan,
Leach (1968:42) juga menegaskan bahwa mitos dan ritual beresensi sama.
Maksudnya, jika keduanya ditinjau sudut pandang linguistik, terdapat
hubungan secara struktural. Hal semacam ini telah diakui oleh
Levi-Strauss (1980:14-15) yang berusaha menganalisis mitos dengan model
linguistic atau Paradigma Struktural Dia berpendapat bahwa semua versi
mitos memang berhubungan dengan budaya pemilik mitos tersebut.
Levi-Strauss
(1963:208) menyatakan bahwa penciptaan mitos memang tidak teratur,
sebab si empunya ceritera terbiasa menceriterakan kembali dengan
mitosnya sekehendak hati. Namun, di balik ketidakteraturan itu
sebenarnya ada keruntutan yang tidak disadari oleh pencipta mitos.
Keteraturan dalam mitos itu sering disebut struktur. Oleh karena itu,
dalam menganalisis mitos diupayakan untuk menemukan struktur. Untuk
menemukan struktur mitos, Levi-Strauss (Bertens, 1996:186) menggunakan
model linguistik sebagai pemahaman fenomena sosial budaya.
Asumsi
dasarnya adalah bahwa linguistik dianggap sebagai suatu sistem,
terlepas dari evolusi sejarah, dan dalam sistem itu memuat relasi-relasi
yang meyakinkan. Alasan lain yang mengukuhkan Levi-Strauss (Rossi,
1974:89) menggunakan model linguistik, karena ia memandang bahwa
fenomena sosial budaya sebagai sistem tanda dan simbol yang dapat
ditranformasikan ke dalam linguistik
Bertolak
dari sistem linguistik tersebut, Levi-Strauss (dalam Ahimsa-Putra,
1995:5) menggunakan prinsip asosiasi ataupun analog bahwa mitos memiliki
struktur yang tidak berbeda dengan linguistik. Jika linguistik
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan, demikian pula mitos. Dalam
mitos terkandung berbagai macam pesan, yang baru dapat dipahami jika
kita telah mengetahui struktur dan makna berbagai elemen yang ada dalam
mitos tersebut.
Dalam
model linguistik tampak adanya sistem “berpasangan” (oposisi) sehingga
pada gilirannya melahirkan struktur “dua”, “tiga”, “empat”, dan
seterusnya. Sistem ini dapat diterapkan pada analisis mitos. Model
linguistik yang digunakan Levi-Strauss dalam analisis struktural mitos,
awalnya diadopsi dari teori linguistik struktural Saussure, Jakobson,
dan Troubetzkoy. Model-model yang diadopsi adalah konsep sintagmatig dan paradigmatik, langue dan parole, sinkronis
dan diakronis (Pettit, 1977:1). Dari model tersebut, Levi-Strauss
(Ahimsa-Putra, 1994:45) berasumsi hahwa mitos pada dasarnya juga mirip
dengan gejala linguistik.
Pemakaian
model linguistik dalam analisis struktural Levi-Strauss tersebut, telah
diakui Greimas (Wagner, 1987:viii) sebagai pisau analisis mitos yang
relevan. Dalam analisis mitos, Levi-Strauss (Bertens, 1996:20) perlu
menunjukkan adanya oposisi-oposisi, sebab mitos merupakan hasil kreasi
jiwa manusia yang sama sekali bebas. Sistem oposisi termaksud menurut
Creimers dan Santo (1997:151) disebut sistem oposisi biner.
Sistem ini, akan mampu mencerminkan struktur neurobiologis kedua belah
otak manusia yang berfungsi secara “digital”. Hal ini berarti bahwa
setiap orang dan bangsa memiliki struktur oposisi biner yang
sama dan hanya berbeda perwujudannya. Melalui sistem linguistik,
Levi-Strauss berupaya menggabungkan garis diagonal itu guna membentuk
struktur sintagmatik dan paradigmatik yang dapat dimanfaatkan untuk
mengungkap makna mitos secara komprehensif.
METODE PENELITIAN ATAU ANALISIS
Pemilihan teks tersebut karena keduanya manifestasi sastra lisan yang telah dicetak sehingga mudah ditemukan ceritheme-ceritheme di dalamnya.Dari pembacaan secara cermat, ditemukan satuan-satuan (mitem) berupa ceritheme-ceritheme, yaitu kata, frasa, dan kalimat yang mendukung mitos. Ceritheme-ceritheme itu membentuk episode-episode mitos. Ceritheme adalah bangunan kategorisasi dalam kajian Levi-Strauss.
Analisis
data menggunakan model linguistik Levi-Strauss. Dalam analisis mitos,
Levi-Strauss menyarankan bahwa analisis dan interpretasi dilakukan
melalui dua langkah yaitu (a) membandingkan mitos satu dengan yang lain
dan (b) menghubungkan secara etnografi dari masyarakat di mana mitos itu
muncul. Perbandipan mitos “Moksanya Prabu Siliwangi” dengan model linguistik ini berusaha menemukan homologi teks. Homologi adalah unsur-unsur teks yang mirip atau sama (homogin).
Berdasarkan konsep analitis tersebut, tulisan ini mencoba membandingkan mitos “Moksanya Prabu Siliwangi”
dengan menemukan relasi-relasi. Untuk memahami makna di balik struktur
model yang ditemukan, artikel ini juga menggunakan informasi etnografi
masyarakat Jawa sebagai pendukung mitos. Penafsiran semacam ini, juga
didasarkan sugesti Lane (1970:15-17) bahwa dalam analisis struktural
mitos kita tidak sekedar melihat yang tersurat, namun harus sampai pada yang tersirat (di balik kenyataan empiris.
CERITA PRABU SILIWANGI
Di Jawa Barat pada jaman dahulu kala ada sebuah Kerajaan Hindu yang besar dan cukup kuat, yaitu berpusat di kota Bogor. Kerajaan itu adalah Kerajaan “Pajajaran”,
pada saat itu raja yang memerintah yaitu Prabu Siliwangi. Waktu mudanya
Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan
satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang
(istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal,
orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu
Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang
hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa
orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai
silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya
saja):
“Di
medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia
senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di
seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di
pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran
Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga,
menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh
karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu
Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.
Demikianlah menurut penuturan orang Sunda”.
Saat prabu lanjut usia beliau bermaksud mengangkat Putra Mahkotanya sebagai penggantinya.
Prabu Siliwangi mempunyai tiga orang putra dan satu orang putri dari dua Permaisuri, dari permaisuri yang pertama mempunyai dua orang putra, yaitu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar. Namun sewaktu Banyak Cotro dan Banyak Ngampar masih kecil ibunya telah meninggal.
Maka
Prabu Siliwangi akhirnya kawin lagi dengan permaisuri yang kedua, yaitu
Kumudaningsih. Pada waktu Dewi Kumuudangingsih diambil menjadi
Permaisuri oleh Prabu Siliwangi, ia mengadakan perjanjian, bahwa jika
kelak ia mempunyai putra laki-laki, maka putranyalah yang harus
meggantikan menjadi raja di Pajajaran.
Dari
perkawinannya dengan Dewi Kumudaningsih, Prabu Silliwangi mempunyai
seorang putra dan seorang putri, yaitu: Banyak Blabur dan Dewi
Pamungkas.
Pada
suatu hari Prabu Siliwangi memanggil Putra Mahkotanya, Banyak Cotro dan
Banyak Blabur untuk menghadap, maksudnya ialah Prabu Siliwangi akan
mengangkat putranya untuk menggantikan menjadi raja di Pajajaran karena
beliau sudah lajut usia.
Namun
dari kedua Putra Mahkotanya belum ada yang mau diangkat menjadi raja di
Pajajaran. Sebagai putra sulungnya Banyak Cokro mengajukan beberapa
alasan, antara lain alasannya adalah:
* Untuk memerintahkan Kerajaan dia belum siap, karena belum cukup ilmu.
* Untuk memerintahkan Kerajaan seorang raja harus ada Permaisuri yang mendampinginya, sedangkan Banyak Cotro belum kawin.
Banyak
Cotro mengatakan bahwa dia baru kawin kalau sudah bertemu dengan
seorang putri yang parasnya mirip dengan ibunya. Oleh sebab itu Banyak
Cotro meminta ijin pergi dari Kerajaan Pajajaran untuk mencari putri
yang menjadi idamannya.
Prabu Siliwangi dan Maung
Aji
suket kalanjana adalah ilmu yang tercipta dari pengaruh islam dan
aliran kepercayaan masyarakat jawa-sunda. Ajian ini pernah dikuasi oleh
Prabu Kean Santang (putra Prabu Siliwangi) dan Syeh Siti Jenar. Ajian
ini merupakan ilmu yang sangat tinggi dan untuk mendapatkannya pun tidak
mudah karena harus punya niat yang baik dan tekad yang membaja. Konon
ajian ini merupakan ajian yang langka dikuasai orang. Ia termasuk
tingkatan paling tinggi diantara ilmu kejawen lainnya. Namun begitu,
mereka yang menginginkan ajian ini bisa saja mendapatkannya tentu dengan
laku tirakat dan tahu kunci amalan rahasianya.
Ajian
ini awalnya merupakan ilmu terawangan alam gaib, dan kemudian
berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk meraga sukma dan
menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik). Intinya berfungsi
mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap gejala alam, baik
alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang
menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada
gerakan rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap
pada tempatnya semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa
memasuki dimensi gaib atau berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada
tempatnya.
Adapun
legenda ajian suket kalanjana ini terdapat berbagai versi. Diyakini
ajian ini sudah adal sebelum islam masuk ke tanah jawa. Sumber
kontroversinya mengatakan ajian ini ada ketika islam masuk ke tanah
pasundan. Tepatnya pada pemerintahan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran.
Dan konon, dari sinilah ajian ini bermula.
Pada
masa itu memang pengaruh islam di kerajaan pajajaran belum meluas,
sehingga ilmu-ilmu kesaktian para pendekan jaman pajajaran merupakan
ilmu yang tiada banding dan banyak jenisnya. Ada yang mampu terbang,
menghilang dll.
Mitos
yang berkaitan dengan kegaiban pun terbukti. Misal, sampai kini makam
prabu siliwangi tidak pernah ditemukan. Itu sebabnya masyarakat pasundan
mempercayai bahwa prabu siliwangi moksa (menghilang) dari bumi dan
berubah wujud menjadi harimau. Hal ini bisa dilacak dari cerita rakyat
garut. Konon prabu siliwangi tidak mau masuk islam. Ia lebih baik keluar
dari keraton daripada mengikuti ajakan prabu kean santang, anaknya
untuk masuk agama islam.
Prabu
siliwangi akhirnya lari menuju hutan sancang. Maka untuk menjaga
hal-hal yang akan terjadi prabu kean santang membendung larinya prabu
siliwangi beserta pengikutnya yang telah menjadi harimau. Dan harimau
jejadian itu kemudian digiring menuju sebuah gua di pantai selatan
kawasan hutan sancang, garut selatan. Ketika itulah prabu kean santang
mengerahkan aji suket kalanjana dan berhasil mengalahkan ayahnya yang
juga terkenal sakti itu. Kemudian prabu siliwangi akhirnya mendapat
hidayah dari Allah dan masuk islam.
Namun
sampai sekarang ilmu sakti ini mengalami perkembangan seiring banyaknya
minat kalangan keraton pajajaran menuntut ilmu. Dan prabu kean santang
adalah orang yang paling suka mempelajari segala macam ilmu agama,
kesatriaan maupun ilmu gaib.
Menurut
versi lain, aji suket kalanjana juga dimiliki oleh syeh dari tanah
jawa. Dari syeh inilah ajian diturunkan kepada murid-muridnya. Syeh ini
dikenal dengan sebuatn syeh lemah abang alias syeh siti jenar. Pada masa
mudanya, siti jenar juga mendalami ilmu kebatinan. Setelah mendalami
bidang agama melalui Syarif Hidayatullah atau sunan gunung jati, semakin
bertambah tinggilah ilmu kesaktiannya. Tidak heran jiak banyak pemuda
berguru kepada syeh siti jenar.
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
“Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta
tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina
urang reya, ja loba di sanghiyang siksa“.
(Ajaran
dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh,
baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara,
barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang
banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari
Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat
Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.
Wangsit Prabu Siliwangi.
Naskah asli Uga Wangsit Siliwangi.
Saur
Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana
ngahiang : “Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka
ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu
hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun
hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa
ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu
anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal
ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu
somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”
Daréngékeun!
Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu
hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah
kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan!
Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!
Daréngékeun!
Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya
turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi
masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna.
Jig geura narindak!
Dia
nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna,
turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut
salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa.
Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora
tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di
Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura
narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!
Dia
nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak.
Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal
jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana
engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi
batur anu nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh
turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu.
Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah,
tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun
ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu
rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi
anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun
ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti
mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna,
leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran
pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi
engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih
deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba
nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.
Engké
bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu
disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding
ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta
budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun,
kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain
kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul.
Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian
disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah
jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun.
Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang
jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna
nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.
Daréngékeun!
Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah
bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya,
sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma
jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo
bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu
karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti
dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi
lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu
manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan
urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger
sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi
jalan nu pasingsal!
Nu
tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju
sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri
teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét,
leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné
rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang
sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina
bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh
kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari
nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti
deui lalakon.
Laju
hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra
megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu
mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk.
Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh
teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh.
Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung
tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa;
ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung
disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda
tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi,
kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.
Laju
ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan
raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan
raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman.
Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti
beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara
urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana
lain teureuh Pajajaran.
Laju
aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang
dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di
tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta
duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong
eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani
ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan.
Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah
berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan;
da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé
sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana
aseupan……………………….. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina
ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.
Ti
dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén
kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho.
Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan.
Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina
pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana
ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur
batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun.
Sing
waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun.
Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala
jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong,
ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku
sato!
Jayana
buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka
somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal
jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus
témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti
lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut,
dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan.
Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling
caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu
garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang
bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan.
Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun
ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di
birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum
ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta
tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung
budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak
Cawéné!
Nu
kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun!
Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu,
disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda
disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara
sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu
sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!
Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi:
Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang:
“Perjalanan
kita hanya sampai disini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku!
Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian
susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup
kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa
mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang
baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang,
sebab untukku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin”
Dengarkan!
Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang
ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke
utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat
memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat
memisahkan diri ke barat!
Dengarkan!
Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian!
dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang
lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan
semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!
Kalian
yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti,
keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain.
Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang
baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung
Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua
keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan
sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi!
Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Kalian
yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi,
yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian,
kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Adapun yang menjadi penguasa tetap
tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu,
banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!
Semua
keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan
saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu
yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang
takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku
akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang
mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga
mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku
datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.
Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya,
hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama
untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak
yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang
bisa diteemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai
dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. dan
bahkan berlebihan kalau bicara.
Suatu
saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab
terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri
terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan,
melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang
sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang.
Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau
ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia
terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui
banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman
yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap
waktu akan berulang itu dan itu lagi.
Dengarkan!
yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu.
Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang
kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh
kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di
pusat kota. semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang
kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu
tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.
Semenjak
itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan
ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang
hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar
sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang
tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh
negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang
salah arah!
Yang
memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara
pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang
terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh
penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit,
perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan
kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk
menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya
masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan
kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka
lahan. mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.
Lalu
sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan
telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling
menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan
kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa,
jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan
musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung
semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk
tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan,
yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang
mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya.
seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang
menghentikan adalah orang sebrang.
Lalu
berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang
keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau
Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya!
Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak
lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet
yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara.
Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.
Lalu
akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak
boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat
pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang
penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala
penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang
sudah susah. Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu
bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya.
Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil
menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya
menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti
aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian
semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang
berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka,
terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.
Pada
saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam
sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah,
mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar
kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah
memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda
berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak
tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja
membuat permusuhan.
Waspadalah!
sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab
takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa
yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka
tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.
Kekuasaan
penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan
menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk
mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya
sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ
akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin
besar meluas di seluruh negara. yang tidak tahu menjadi gila dan
ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut!
Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih,
yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya
menonton tapi tetap terbawa-bawa.
Yang
bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan
kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para
penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan
negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai
yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan
hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada,
sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak
Cawéné!
Yang
ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan
berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh
tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil,
orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa
jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.
Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.
Silahkan pergi, ingat jangan menoleh kebelakang
HASIL ANALISIS ATAU PENELITIAN
Untuk
memelihara kelangsungan hidup, acapkali masyarakat menyalurkan atau
melahirkan perilakunya dalam mitologi, ritual dan organisasi sosial.
Mitologi yang dimaksudkan adalah suatu konsepsi tentang kenyataan yang
mengandaikan bahwa penjelmaan pengalaman seharí-hari, terus menerus
diresapi oleh kekuatan yang keramat. Cara ini sekaligus menciptakan
sosialisasi kembali bagi setiap masyarakat dengan sesuatu yang dianggap keramat.
J.Van
Baal (1987:44) mengklarifikasi mitos sebagai ceritera dalam kerangka
sistem suatu religi yang dimasa lalu atau kini telah atau sedang berlaku
sebagai kebenaran agama-agama. Berkat kerangka acuan yang disediakan
mitos, manusia dapat berorientasi dalam kehidupan ini, ia tahu dari mana
ia datang dan kemana ia pergi, asal usul dan tujuan hidupnya dibeberkan
baginya dalam berbagai mitos yang menyediakan pegangan hidup (Dister,
1982:32-33).
Bagi
Barthles (dalam Barrer, 2005:93), menyebutkan mitos adalah sistem
semiologis tingkat kedua atau metabahasa. Mitos merupakan bahasa kedua
yang berbicara mengenai sebuah bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem
yang pertama (penanda dan pertanda) yang memunculkan berbagai makna
adalah denotatif menjadi sebuah penanda bagi suatu makna mitologi
konotatif tingkat kedua.
a) Pendekatan Paradigma Struktural (Levi-Strauss)
Dalam
pendekatan paradigma Struktural ini kami akan menganalisis memakai
semiotik dimana semiotik adalah bagian dari bahasa yang berarti sebuah
simbol atau simbolik.Semiotik juga termasuk kedalam Kajian teoritis
Paradigma Struktural (Levi-Strauss).Adapun beberapa Semiotik yang kami
ambil dalam cerita “Moksanya Prabu Siliwangi” ini adalah penjelmaan Prabu Siliwangi menjadi seekor harimau putih.
Dunia keilmuan Antropologi mengenal teori sistem simbol yang
diintrodusir oleh Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika. Dalam
bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz
menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan.
Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java”
itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu.
Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan
dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem
simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk
kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem
pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah
sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi
menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem
nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung atau harimau dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang)
Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca
penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh
keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah
dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta
para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang.
Simbol harimau atau Maung disini memiliki banyak makna,arti atau
tersimbolik sesuatu hal yang sangat mendalam,apalagi bagi masyarakat
Sunda atau Jawa Barat yang sangat peka dan respon terhadap simbol-simbol
yang dimunculkan. Masyarakat
Jawa Barat, khususnya Etnis Sunda, pada umumnya mempunyai kebiasaan
dalam mengartikan dan memaknai sesuatu yang bersifat eksternal dikaitkan
dengan sesuatu yang internal. Hal ini terjadi karena kedekatan yang
begitu erat dengan alam sekitar baik fisik/kontur alam, flora maupun
fauna. Dengan demikian kekuatan Mithos Lama sebagai acuan
berperilaku/berkehidupan masih mendapat perhatian yang sangat menentukan
di masyarakat Sunda.
Terkadang begitu kuat kharisma Mithos ini, sehingga sesuatu yang asalnya hanya sebatas “Metafora” berlanjut menjadi “Personifikasi” dan akhirnya menjadi indikator “Identifikasi” (pemaknaan diri). Konsep inilah yang menyebabkan timbulnya kebudayaan “Totemisme”, “Heraldica” (Ilmu lambang), “Ikon” (penanda khas). Masyarakat Sunda pun secara psikologis tidak terlepas dari konsep budaya metafora.
Berdasarkan
wacana di atas selain dari Kajian Ekologis Ilmiah, terasa perlu ada
kajian khusus mengenai fauna yang akan dijadikan “Ikon” Jawa Barat dari sudut pandang Kajian Sosio Budaya.Berbincang tentang “sosio-budaya” maka akan bersinggungan dengan Mitos.
Tentang
mithos bermacam pendapat telah disajikan para pakar. Pada intisarinya
Mithos atau Kepercayaan Tradisional adalah “Ekspresi relasional antara
manusia dengan alamnya di mana dia tinggal”. Relasi Urang Sunda dengan
alam fauna di lingkungan hidupnya, terekam dalam kandungan folkloriknya
antara lain bisa ditelusuri dari Cerita Pantun, Upacara Adat, Ornamen
Kriya, Toponimi, Penamaan Diri. Untuk bisa menelusuri makna yang
terkandung dalam aspek folklorik tersebut, para seniman / budayawan
Sunda akan menggunakan “Ilmu Panca Curiga (lima senjata)” yaitu
kemampuan untuk mengartikan/memaknai secara “Silib” (allude), “Sindir” (allusion), “Simbol” (symbol, icon), “Siloka” (aphorism) dan “Sasmita” (depth aphorism), dalam kajian sastra modern disebut dengan Heurmanetica dan Semiotica, seperti:
- Maung Sancang, dimaknai sebagai kesetiaan rakyat Pajajaran terhadap Pemimpinnya.
- Maung Lodaya, dimaknai sebagai gambaran kualitas para pemimpin Sunda yang bersifat: pemberani, luwes dalam bertindak, bertenaga kuat, terampil, berkharisma, egaliter (antara lain telah dijadikan ikon pribadi Bp. R. Ema Bratakoesoemah (Alm), tokoh masyarakat Sunda).
- Maung Bodas, sering disebut Macan Putih, dimaknai sebagai Ikon Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja, dimaknai: berwibawa, bertuah, berkepribadian tulus ikhlas.
- Maung Hideung (Macan Kumbang), dimaknai sebagai gambaran keberanian para penjaga/prajurit negara, dianggap sebagai jelmaan dari para prajurit kerajaan Pajajaran.
Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Wangsit,
yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi
kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah
bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelah bertapa hingga
akhir hidup di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah
memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah
hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda
(bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi
menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup
bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung
dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat
seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang
terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan
dengan aspek perilaku (behaviour).
Hasil metamporfosa Prabu Siliwangi menjadi seekor maung atau Harimau adalah bukti bahwa sebuah mitos mengenai “Moksanya Prabu Siliwangi” adalah
sebuah mitos tentang siluman (Manusia berubah wujud menjadi hewan) yang
berkembang pada kehidupan masyarakat Jawa Barat atau Sunda sehingga
memberikan dampak yang sangat mendalam dalam kehidupan sekarang atau
modern ini.
Cerita
lain yang ada kaitan erat dengan Prabu Siliwangi dengan Harimau atau
Maung adalah legenda hutan Sancang atau leuweung Sancang di Kabupaten
Garut. Konon di hutan inilah Prabu Siliwangi beserta para loyalisnya
menjelma menjadi harimau atau maung. Proses penjelmaannya pun
terdapat dalam beragam versi. Seperti yang telah disinggung sebelumnya,
ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi menjelma menjadi maung setelah
menjalani tapadrawa atau bertapa. Tetapi ada pula sebagian masyarakat
Sunda yang berkeyakinan bila Prabu Siliwangi dan para pengikutnya
menjadi harimau karena keteguhan pendirian mereka untuk tidak memeluk
agama Islam. Menurut kisah tersebut, Prabu Siliwangi menolak bujukan
putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk
agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu
Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung. Akhirnya, Prabu Siliwangi
pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma
menjadi harimau loreng.
Hingga
kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih
dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang.
Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom).
Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang
berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan
“berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi.
Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat
dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan
ekologi. Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya
keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen
pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan
mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol
sosial tersebut.
Dalam
cerita Hutan Sancang ini maka cerita Prabu Siliwangi berkembang menjadi
berbagai versi sehingga cerita atau Mitos ini mengalami Evolusi.
b) Pendekatan Melalui Paradigma Fungsional.
Dalam
cerita “Moksanya Prabu Siliwangi” beredar mitos yang menyebutkan bahwa
Prabu Siliwangi berubah menjadi siluman yaitu seekor siluman Harimau.Hal
ini terjadi karena Prabu Siliwangi menghindar dan tidak ingin memeluk
agama Islam atas ajakan putranya,sehingga beliau lari ke hutan Sancang
dan berubah menjadi Harimau.Tetapi Prabu Siliwangi dihadang Oleh
putranya dan melawannya dengan “Ajian Suket Kalajana”.Ajian tersebut adalah suatu hal yang akan kami analisis melalui pendekatan “Paradigma Fungsional Mitos”
dimana analisis ini melihat Mitos melalui aspek fungsi mitos dalam
masyarakat,termasuk kaitannya dengan ritual-ritual yang menjadi turunan
dari Mitos dan tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan masyarakat.
Menurut analisis kami mengenai “Ajian Suket Kalajana” melalui pendekatan “Paradigma Fungsional Mitos”
bahwa ajian tersebut masih berkembang dalam masyarakat kejawen atau
jawa (Sunda) sehingga ajian tersebut masih banyak dipelajari pada
masa-masa modern ini dengan berbagai cara dan proses yang berbeda.Adapun
beberapa cara atau proses untuk mendapatkan ilmu “Ajian Suket Kalajana” dewasa ini adalah [1]Ajian
suket kalanjana dapat dikuasai siapa saja sepanjang orang tersebut
mampu mensucikan dirinya dan mampu melakoni apa yang dipersyaratkan,
antara lain harus mampu menjalani puasa 40 hari dan makan hanya boleh
dilakukan jam 12 malam. Selain itu juga harus ngrowot (hanya makan
umbi-umbian) dan tidak boleh makan jenis lainnya selama 40 hari. Hal
lain yang harus dilakukan adalah menjalankan tapa kungkum (berendam) di
dalam suangi selama 7 malam berturu-turut, dan yang paling berat harus
pati geni yaitu tidak makan,minum,tidur dan bersemedi di ruang gelap
selama 7 hari 7 malam. Selama ritual itu pula harus membaca mantra
khusus yang harus dihapalnya. Bila ingin melihat alam gaib, mantra ini
dibaca tiga kali sambil membuka telapak tangan lalu diusap ke mata.
c) Analisis Mitos Melalui Paradigma Struktural (Semiotik)
Ø Semiotik “Ngaing bakal datang deui”
dalam Teks Wangsit Prabu Siliwangi.Kalimat tersebut memeliki arti”Aku
Akan Datang Lagi” dalam sepotong kalimat tersebut memilki arti yang
sangat terselubung atau masih samar.Melalui pendekatan Semiotik kami
mengalisis sepotong kalimat tersebut.Kalimat tersebut memiliki arti yang
mengaju pada sebuah wangsit atau peringatan kepada rakyat luas.Dimana
hal ini ada hubungannya dengan kalimat selanjutnya yaitu “nulungan
nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun
ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang
ngaing bakal datang.” Yang artinnya “Aku
akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya
mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat;
apabila aku berbicara takkan terdengar.” Dalam konteks ini mungkin
Prabu Siliwangi memang akan datang nantinya meskipun beliau dating tak
berwujud.Prabu Siliwangi akan dating dalam bentuk lain yaitu dengan
wangsit,pesan dan sejarah Prabu Siliwangi-lah beliau akan datang pada
masa modern ini.Karena semua yang berhubungan dengan Sejarah Prabu
Siliwangi telah melegenda dan melekat pada masyarakat Jawa Barat
sehingga Prabu Siliwangi menjadi Suri tauladan bagi masyarakat Jawa
Barat.Suri Tauladan inilah yang menjadi aspek Semiotik dari kalimat
wangsit “Ngaing bakal datang deui”.Prabu
Siliwangi dating dalam bentuk Suri tauladan yang mengajarkan
kebaikan.Hal ini berhubungan erat dengan kalimat selanjutnya “Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup.” Yang artinya “Ketika
aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan
wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata.”.Dalam
kalimat wangsit disini memilki makna yang berhubungan erat dengan “Suri
Tauladan” yaitu Beliau akan dating tetapi dengan wewangian.”Wewangian”
disini memilki arti yang sama dengan suri tauladan.Pada kalimat
selanjutnya dinyatakan bahwa semenjak hari itu Padjajaran Hilang,yang
dimaksud hilang dsisini adalah semua jejak mengenai Kerajaan Padjajaran
hanya tinggal sebuah sejarah ,pesan dan wangsit dari prabu siliwangi
yang mewangi.
Ø Analisis Semiotik “Dialah Anak Gembala”
“Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang” yang artinya “Dialah Anak Gembala. Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang.”Dalam
pendekatan semiotik anak gembala disini memilki arti sebagai masyarakat
yang sedang menggembala atau merawat sesuatu.Tapi gembala yang dimaksud
disini bukan gembala yang memilki arti sebenarnya,karena pada kalimat
selanjutnya dijelaskan bahwa gembala tersebut bukan mengembala seekor
hewan melainkan menggembala ranting-ranting dan daun-daun kering serta
sisa-sisa pohon.Yang dimaksud disini adalah dimasa masyarakat akan
selalu mengais-ngis sisa-sisa sejarah yang telah mengering atau telah
mulai menghilang,sehingga mereka akan selalu berkutat pada sisa-sisa
atau jejak-jejak sejarah yang masih samar dan masih belum dipahami apa
sebenarnya sejarah Prabu Siliwangi tersebut sehingga terjadi banyak
versi yang menceritakan Prabu Siliwangi dan memilki banyak persepsi
mengenai “Moksa” yang terjadi pada Prabu Siliwangi.Inilah wangsit yang
dilontarkan oleh prabu Siliwangi.
Ø Analisis Semiotik “ Kerbau Bule”
“Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun.” Yang memiliki arti “Nah
di situlah, sebuah nagara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang
digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota.”.Dalam
wangsit tersebut yang menjadi subjek yang merusak Negara adalah kerbau
Bule,yang dimaksud kerbau bule disini adalah masyarakat atau bangsa
asing yang akan menghancurkan dan memecah belahkan Negara dan bangsa
kita ini.karena pada arti dari kalimat berikutnya adalah “semenjak
itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan
kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab
semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.”Disana
telah dijelaskan bahwa Negara atau pemimpin akan dibelenggu oleh seorang
kerbau,dimana kerbau tersebut adalah hewan yang tuli atau masa
bodoh,sehingga pemerintah yang telah terbelenggu akan bersikap masa
bodoh yang tidak mau mendengarkan dan melihat kondisi sekitar dan
masyarakatnya sehingga Negara akan pecah dan hancur.Mungkin kerbau
disini yang dimaksudkan adalah bangsa asing yang masuk kenegara kita
sehingga mempengaruhi kultur kita yang nantinya dimana pengaruh tersebut
membuat moral,sikap dll masyarkat kita hancur.
Mitos
maung yang dilekatkan pada sejarah Prabu Siliwangi dan Kerajaan
Pajajaran pun sudah terpatahkan oleh serangkaian bukti dan catatan
sejarah yang telah penulis uraikan. Memang sebagai sebuah sistem simbol,
maung telah melekat pada kebudayaan masyarakat Sunda. Simbol dan mitos maung
juga menyimpan filosofi serta berfungsi sebagai sistem pengetahuan
masyarakat berkaitan dengan lingkungan alam. Hal demikian tentu harus
kita apresiasi sebagai sebuah kearifan lokal masyarakat Sunda.
Namun
sebagai sebuah fakta sejarah, identifikasi maung sebagai jelmaan Prabu
Siliwangi dan pengikutnya merupakan kekeliruan dalam menafsirkan
sejarah. Hal inilah yang perlu diluruskan agar generasi berikutnya,
khususnya generasi baru etnis Sunda, tidak memiliki persepsi yang keliru
dengan menganggap mitos maung Siliwangi sebagai realitas sejarah.
Kekeliruan
mitos maung hanya salah satu dari sekian banyak ”pembengkokkan” sejarah
di negeri ini yang perlu diluruskan. Hendaknya kita jangan takut
menerima realitas sejarah yang mungkin berlawanan dengan keyakinan kita
selama ini, karena sebuah bangsa yang tidak takut melihat kebenaran masa
lalu dan berani memperbaikinya demi melangkah menuju masa depan akan
menjelma menjadi bangsa yang memiliki kepribadian tangguh.
No comments:
Post a Comment