Rasulullah menegaskan bahwa seseorang yang beribadah / menyembah Allah,
seharusnya dirasakan “seakan-akan melihat Tuhan. Lafal hadits itu adalah
:
“Ihsan, adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah”(HR. Muslim dari ‘Umar r.’a)
Dalam
lafal hadits terdapat “Ka-anna” yang terdiri dari dua kata “ka” dan
“anna”. Dalam tata bahasa Arab, perkataan “ka” dinamakan “hartfut
tamstil” (menunjukan umpama atau contoh). Sedang perkataan “anna” adalah
“lit-taukid” (untuk menguatkan), yang dalam bahasa Indonesia umumnya
diartikan sesungguhnya. Maka arti yang tepat dari kata “ka-anna” adalah
“seperti sesungguh-sungguhnya”. Seorang aktor atau aktris yang baik,
harus mampu menunjukan permainannya seperti sungguhan sesuai dengan
peran yang dimainkannya. Expresi wajah/mimik, vokal, lagu dan lain-lain
harus cenderung kepada keadaan yang sebenarnya.
Maka setiap
melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai
perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak
tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik) Allah SWT. berfirman :
“Sesungguhnya
sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu
yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan
sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)
Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat tentang “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Dapat melihat Tuhan di akhirat
2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat
3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati, sedang
di akhirat dengan lebih nyata.
Seluruh
Ulama di kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang
mukmin akan melihat Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada
firman Allah :
“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena memandang kepada Tuhan-Nya”. (QS. Al-Qiyamah : 22-23).
“Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10 : 26).
“Ketahuilah, sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS Al-Muthaffifin 83 : 15).
Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah melihat Allah :
“Dari
Abi Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya
Rosulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka
Rasulullah menjawab : “Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan
purnama ? Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasulullah
berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan
?”Pra sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Sesungguhnya kamu akan
melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu Hurairah )
Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi’i berkata :
“Kami
tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak
terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”.
“Sesungguhnya
kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni sorga yang melihat
sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan
seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka ialah
yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria
memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau
dari Ibnu ‘Umar r.a )
Adapun golongan Mu’tazilah meyakini bahwa
mustahil untuk dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat dengan
berpedoman pada firman Allah :
“Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan, tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )
Demikian
pula dengan ayat 22-23 Al-Qiyamah, perkataan n a z h i r a h (melihat)
mereka artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan
apa yang terdapat pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari,
seorang Ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil
dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat” tanpa memberikan
penjelasan dan dasar alasan yang lebih meyakinkan.
Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan Syi’irnya:
Orang Mukmin melihat Tuhannya,
tanpa bentuk tanpa umpama,
nikmat lain tiada arti,
dibanding melihat Ilahi Rabbi,
kaum Mu’tazilah rugi seribu rugi.
Di
kalangan Al-Asy’ari (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) masih dipertanyakan,
apakah melihat Tuhan hanya khusus di akhirat saja ?. Dalam membahas hal
tersebut terdapat dua pendapat :
1. Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.
2.
Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat melihat
Tuhan selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin” (bashirah).
Kedua
pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada
waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan, sehingga Sayidina
Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu.
Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim
dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan:
“Kesimpulannya,
Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa
Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata / mata, pada malam Isra
berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.
Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra :
“Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan nyata/mata”.
Para
Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata batinnya,
sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk
Rasulullah SAW. Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama
Shufi umumnya mengemukakan :
“Apabila ruhaniyah dapat menguasai
basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin.
Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang
terlihat oleh mata batin”
Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai
basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu.
Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila
ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau
daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan
karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang menakutkan.
Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan :
“Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”.
Diklalangan
ulama Shufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan
pandangan mata batin yang mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh
Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan. Syeikh Junaid terkenal sebagai
seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang
Shufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak
sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain,
Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan
lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara
terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat
pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70
Surat. Al-Baqarah.
Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid beliau bertanya :
“Ya
Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau
menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan
menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan
bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”.
Kesimpulannya
adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif bila
bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah. Dalam hal iniyang perlu
diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti
melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat
Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin
min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak
diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka
lihat di dunia sekarang.
“Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah
SWT di dunia (dengan mata hati) a dapat diterima akal. Kalau sekiranya
tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan
adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa
yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya)
Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.
(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an)
“Dan
firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli /tampak nyata pada gunung itu,
kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bisa
tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak
mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?”
(Kawasyiful-Jilliyah)
NABI MUSA A.S MEMOHON UNTUK MELIHAT TUHAN
Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :
“Dan
tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan
Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku,
nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan
berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu,
bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat
melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu
menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa sadar
kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku
orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)
Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :
1. Tidak akan melihat Aku
2. Tuhan tajalli pada gunung / bukit.
3. Bukit / gunung hancur, dan
4. Musa a.s pingsan.
Tidak
akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga
mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan
daya lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti
menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu
dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul
bashirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan
nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala
sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan
seluruh kemampuan fisikal (jasmani) yang oleh orang Shufi digambarkan
dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi itulah terjadinya melihat Tuhan.
Ibnu Taimiyah berkata :
“Banyak orang-orang Shufi berkata : “
Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad
(As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?”
Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya
berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak
mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi
Tuhan dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan
sebenarnya)”
Tafsir Imam Qurthuby sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut.
Tuhan
tajalli pada gunung / bukit, bukanlah berarti “Allah menampakan
diri-Nya mengambil tempat pada bukit / gunung. Allah Yang Maha Esa, Maha
Meliputi, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat dalam insidentil
atau permanen. Saidina ‘Ali berkata :
“Allah tidak bertempat, dialah yang mencipatakan waktu dan tempat”.
(Alqozhul Himam)
Pengertian
tajali menurut pandangan Shufi / ‘Arif Billah adalah: DIA MENAMPAKKAN
DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN
SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN. Laisa kamistlihi
syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,-
tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan,
tak ada pula huruf yang dapat dirangkai. Tajalli Allah pada gunung,
merupakan isyarat bahwa Allah bisa saja bertajalli pada benda apapun
juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada
siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia
kasihi, maka Allah akui bahwa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan
seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT.
Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal
itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi
Umamah dalam Kitab Al-Kabir :
“Hamba-Ku yang selalu merasa dekat
pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan,
sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan
itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat,
Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang
menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta /
memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong
kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang
mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR.
Thobrani dari Umamah r.a.)
Untuk mencapai tajalli, harus melalui
beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan
ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada
teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli.
Takhalli
berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian
menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi
tahalli adalah pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan
duniawi dan menghiasinya dengan hanya semata-mata “dzikirullah”.
Pengosongan dalam arti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan
pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada
tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang
tiada berasa”.
Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua
sudah nyata, maka itulah “mukasyafah”. Disitulah tajalli Ke-Esa-an,
laksana Musa yang sedang pingsan dan gunung yang hancur berantakan. Musa
a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung ? Mana Tuhan
?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat
Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan
bagaimana”.
Allah berfirman:
“Segala sesuatu hilang sirna/hancur tiada arti, kecuali wajah-Nya/Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)
“semua
pasti lenyap sirna, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang
Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)
“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)
Disinilah
makna hancurnya gunung dan pingsannya Musa a.s. Seorang yang berjiwa
Shufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan meneteskan
air mata dan berkata lirih “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar
engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung
batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan, kesirnaan
dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang
tiada tara.
MENYINGKAP RAHASIA MAKNA “THURSIN” SI GUNUNG SINAI
Firman Allah dalam Al-Qur’an “Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS. At-Tin : 1-2)
Diriwayatkan
orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau bahwa
beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu
masing-masing gunung dan bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat
pertemuan agung dan dialog tingkat maha tinggi itu. Masing-masing
menunjukan penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik
dan paling baik”, “Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang
paling kokoh dan paling tegar diantara jajaran gunung dan bukit di
wilayah ini”. Musa a.s. diam seribu bahasa. Sambil memandang dengan
penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara dan kata, terlihat oleh
beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan sepatah kata
juapun. Itulah si bukit Sinai (THURSIN). Musa a.s. mendatangi si bukit
itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti
temanmu yang lain ? “Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku
bahwa engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun
merasa kerendahan diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya
Allah berkenan, Aku tentu menyampaikan puji syukurku yang tiada
terhingga kehadirat Allah”. Akhirnya, si THURSIN inilah yang mendapat
anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan tidak
mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di
hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di
dalam Al-Qur’an.
Adakah makna yang tersembunyi dibalik pengertian
bukit yang bernama THURSIN ? Adakah hal-hal yang metaporis dari
kenyataan yang terjadi sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan
amtsal dan ibarat ?. Salahkan bila ada yang hendak berimajinasi
merenungkan makna hakiki atas bukit yang berbahagia itu sepanjang tidak
menyalahi dan bertentangan dengan itikad keimanan yang hak dan benar ?
Tentu di dalam diri ini akan menjawab “tidak”. Ini imajinair. Bukan
tafsir yang mempunyai kekuatan arti hukum dan hujjah.
Dalam Surat
At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang
ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw
lil-qosam” (huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir
menyebutnya “waw lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan).
Buah Tin
bila diperas, berintikan minyak sebagai bahan pokok minyak wangi.
Demikian pula buah Zaitun jika diperas, berintikan sari minyak untuk
bahan makanan. Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan
tentang buah kelapa : “tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah
thariqat, bila dikukur/diparut lalu diperas menjadi santan yaitu
hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah makrifat.
Bukit
THURSIN (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi bahasa berarti
“Puncak Sin”. Thur artinya puncak, dan sin adalah sin.
Siapakah Sin ?
“Ya
Sin (Wahai Sin = manusia). Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya
engkau (Wahai Sin) adalah seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)
Seorang Rasul yang menerima Al-Qur’an adalah Muhammad SAW. Maka panggilan Wahai Sin berarti Wahai Muhammad.
Allah Tajalli Di puncak Sin.
Bukankah
nama Muhammad sudah tertulis di pintu gerbang ‘Arasy ?, Bukankah Nabi
Adam memohon ampun dengan wasilah Muhammad ?, bukankah Nabi Musa
‘alaihis-salam pernah berdoa kepada Allah; “Ya Allah andaikata aku hidup
di zaman Muhammad , aku bersedia jadi pengikutnya ?, bukankah Muhammad
SAW. Adalah RAHMATAN LIL’ALAMIN , alam yang lalu, kini yang akan datang ?
(madly wal hadlir wal mustaqbal)
Masya Allah ….. betapa mulianya
Muhammad di sisi Allah. Tanpa Muhammad tak akan ada rahmat yang
dirasakan oleh alam dan isinya. Dalam hadis qudsi Allah berfirman :
“Kalau bukan engkau, kalau bukan engkau (Hai Muhammad) tidak kujadikan semua ini”.
Tidak
heran bila Ibnu ‘Araby berkata : “Dia awal kejadian, dia pula akhir
kenabian”. Muhammad bukan Tuhan. Bukanpula penjelmaan Tuhan. Dia makhluk
yang diciptakan. Tetapi dia awal kejadian :
“Yang mula-mula diciptakan adalah Nur Nabimu Hai Jabir” (Al-Hadits).
Muhammad
adalah rahmat bagi alam semesta dan segala isinya. Rahmat selalu ada di
mana-mana, waktu lalu, kini dan akan datang. Rahmat datang dari sifat
rahmaniyah dan rahimiyah Allah SWT. Sifat tidak berpisah dengan zat.
Di
puncak Sin, di sari patinya tin dan zaitun, di sari patinya kelapa
itulah dia “baladil amin” (negeri yang aman sentosa). Adakah negeri di
muka bumi ini yang benar-benar aman dalam arti hakiki ? Tidak. Tak
pernah ada kedamaian hakiki di muka bumi ini.
Lalu dimana ?
Di sana bukan tempat, di sana bukan ruang, tetapi itulah BALADIL AMIN, itulah dia HADRAT KETUHANAN.
“Di sisi Allah Maha Raja Diraja, Maha gagah perkasa“ (Al-Qur’an)
Seuntai bait syi’ir yang terasa amat berkesan :
“Sholawat dan salam untuknya,
manusia yang tiada otak bila tidak begitu,
Cahayanya cemerlang, sumber kejadian segalanya,
lenyap sirna aku dalam Nur-Nya Yang Agung,
tenggelam aku dalam Ke-Esa-an-Mu,
dengan rahasia-Mu, ya Tuhanku yang memiliki kemuliaan, tiada kata tiada huruf hanya kerinduan”.
MENGENAL DIRI DI HADAPAN TUHAN NYA : Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar, Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro, Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo. . .
Labels
KITAB
(58)
KITAB ISTIQAL
(30)
RAHASIA MAKRIFATULLAH
(26)
SYEH SITI JENAR
(22)
HAKEKAT
(17)
Al muntahi
(15)
Kitab Ta'limul Muta'alim
(15)
MISYAKAATUL ANWAR IMAM AL GHAZALI
(14)
GURU MURSYID
(12)
ULAMA BESAR INDONESIA
(12)
WALI SONGO
(11)
KITAB FUTUHAT AN-NAJHAH
(10)
MENGENAL BID'AH
(10)
PRO DAN KONTRA Yesus Bukan Tuhan
(10)
Di Manakah Allah??
(9)
Futuhat Al Makiyyah
(9)
Ibnu Araby Dalam Kitab Khatamul Auliya'
(9)
MAQAM MUSYAHADAH
(9)
Membongkar Kedok Sufi
(9)
kitab akhir zaman
(9)
Asas Tareqat
(7)
PERANG SALIB
(7)
Kitab Durun Nafis
(6)
DOWNLOAD
(5)
KITAB NASHOIHUL IBAD
(5)
KITAB RAHASIA APPONA KALI BARRU
(5)
Mukjizat Al-Qur'an
(5)
TAUHID MUFADDHAL
(5)
ADAB AS SULUK
(4)
RAHASIA
(4)
Mafahim Yajibu An Tushohhah
(3)
Asia
(1)
Government
(1)
Indonesia
(1)
Islam
(1)
Kali
(1)
Kata
(1)
Tasikmalaya
(1)
Wali
(1)
No comments:
Post a Comment