Istilah Sufi
KAMUS SUFI anda.........
MUSYAHADAH = berpandang-pandangan, melihat akan Tuhan
NISBAT = pemindahan, salinan, salin
QAUL = perkataan , pendapat, pandangan
QALBU
NURANI = hati yang merupakan rahsia insan, sumber dari segala-galanya,
hati inilah yang dipelihara oleh ahli sufi untuk ingat kepada Allah.
Nama lain = hakikat anbia’, ruh idhafi.
RIA’ / RIYAK = membuat ibadah atau kebaikan dengan tujuan untuk menunjuk-nunjuk kepada orang untuk mendapat pujian .
BAB DUA
Ketahuilah olehmu wahai talib.....
Ketahuilah olehmu wahai talib.....
Adapun ASAL DIRI YANG BATIN itu daripada anasir yang empat ( 4 )
WUJUD / Ada
ILMU / Tahu
NUR / Cahaya
SHUHUD / Pandang
Adapun
murad dengan Wujud itu ialah ZAT-NYA dan ILMU itu SIFAT-NYA dan NUR itu
ASMA'-NYA dan murad dengan SHUHUD itu ialah AF'AL-NYA
Adapun erti – ZAT-NYA = DIRINYA – yaitu – RAHSIA kepada kita
Adapun erti – SIFAT-NYA = KELAKUANNYA – yaitu – NYAWA kepada kita
Adapun ertinya – ASMA'-NYA = NAMANYA – yaitu – HATI kepada kita
Adapun ertinya – AF'AL-NYA = PERBUATANNYA – yaitu – TUBUH kepada kita
Adapun – AWAL MUHAMMAD itu = NURANI – yaitu NYAWA kpd kita
Adapun – AKHIR MUHAMMAD itu = RUHANI – yaitu HATI kpd kita
Adapun – ZAHIR MUHAMMAD itu = INSANI – yaitu TUBUH kpd kita
Adapun- BATIN MUHAMMAD itu = RABBANI – yaitu RAHSIA kpd kita
Ketahuilah olehmu wahai talib...............
Adapun kejadian kita dijadikan Allah saperti dibawah :-
4 perkara daripada bapa yaitu – kulit / aurat / tulang / ?
4 perkara daripada ibu yaitu – darah / lemak / rambut / daging
6 perkara daripada Allah – pendengar / penglihat / pencium / perkasa / akal / ruh
dengan
sempurnanya kejadian cukup dengan mata, telinga, kepala, hidung, mulut
dan lidah dan lain lain saperti yang ada ditubuh kamu.
Ketahuilah olehmu wahai talib...............
Adapun DIRI itu Af'al 4 perkara :-
Pertama – DIRI YANG BERDIRI – yaitu TUBUH – bagi kita
Kedua – DIRI YANG TERDIRI – yaitu HATI – bagi kita
Ketiga – DIRI YANG TERPERI – yaitu NYAWA bagi kta
Keempat – DIRI YANG TERASLI – yaitu RAHSIA bagi kita
Kerana yang 4 itu asal 4 perkara yaitu – ZAT / SIFAT / ASMA' & AF'AL.
Adapun yang dikatakan ZAT itu berhimpun 4 perkara yaitu :-
SIFAT JALAL / SIFAT JAMAL / SIFAT QAHAR & SIFAT KAMIL
Adapun Asal Nabi MUHAMMAD itu 4 perkara yaitu :-
WUJUD / ILMU / NUR & SHUHUD
Yaitu MUHAMMAD namanya.
Adapun Asal ADAM itu 4 pekara juga yaitu :-
TANAH / AIR / ANGIN & API
Yaitu ADAM namanya
Adapun Asal CUCU CICIT ADAM itu empat perkara yaitu :-
WADI / MADI / MANI & MAKNIKAM
Yaitu MANI JADI DARAH namanya.
Adapun TUBUH kita itu dijadikan Allah daripada 4 perkara juga yaitu :-
KULIT / DAGING / AURAT & TULANG
Yaitu TUBUH namanya.
Adapun HURUF itu asalnya daripada 4 perkara juga yaitu :-
AKAL / BUDI / CITA & NYAWA
Maka bertemu yang empat itu dinamai DIRI DAK namanya yaitu Diri Yang Halus
Ketahuilah olehmu wahai talib...............
KELAKUAN WUJUD itu 8 bahagian yaitu :-
A’YAN KHARIJAH / A’YAN SABITAH / WUJUD AM’MA / WUJUD MUHAZAH
SYARIAT / TARIQAT / HAKIKAT & MAKRIFAT
Adapun A’YAN KHARiJAH itu yaitu kulit / daging / aurat / tulang / hati / jantung / rabu / buah pinggang
Adapun rupa KULIT itu pada hakikatnya ialah kulit yang putih yang jerneh tempat tajallinya Sifat Tuhan bernama HAKIM
Adapun rupa AURAT itu pada hakikatnya ialah aurat yang kuning yang jerneh tempat tajallinya Sifat Tuhan bernama QAWIYYUN
Adapun rupa TULANG itu pada hakikatnya ialah tulang yang hitam yang jerneh tempat tajallinya Sifat Tuhan bernama MUHIYYUN
Adapun rupa DAGING itu pada hakikatnya ialah daging yang merah yang jerneh tempat tajallinya Sifat Tuhan bernama HALIM.
Adapun HATI itu TEMPAT ILMU yaitu saperti bulan cahayanya meliputi seisi alam.
Adapun JANTUNG itu TEMPAT HAYAT yaitu saperti matahari cahayanya meliputi seisi alam.
Adapun RABU itu TEMPAT TAUHID yaitu saperti langit cahayanya meneguhi seisi alam.
Adapun BUAH PINGGANG itu TEMPAT ISLAM yaitu saperti bintang yang cahayanya mengelilingi sekalian alam.
Tokoh Sufi
Tokoh Sufi
Syeikh Zarruq
Syeikh Zarruq Ulama Sufi yang Cemerlang dari Fes
Namanya
Abul Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Isa. Ia bernasab dengan
kabilah Baranis dari Fes, Marokko, yang kemudian dinasabkan dengan
Al-Burnusy. Panggilannya adalah Zarruq, dipanggil demikian karena
kakeknya bermata biru.
Syeikh Zarruq dilahirkan hari Kamis ketika
matahari terbit, 28 Muharram tahun 846 H, atau 1442 Masehi. Demikian
disebutkan oleh Ummul Banin, seorang perempuan ahli fiqih yang shalihah,
nenek dari Syeikh Zarruq. Setelah dua hari lahir, ia ditinggal wafat
oleh ibundanya, di hari sabtu, dimana usia ibundanya waktu itu 23 tahun.
Setelah itu ganti ayahandanya wafat, ketika usia jabang bayinya masih 5
hari. Usia ayahandanya 35 tahun.
Kata Syeikh Zarruq, ayahandanya
memberi nama Muhammad, lalu sepeninggal ayahandanya oleh neneknya
digannti dengan Ahmad. Hingga Allah memadukan dua nama mulia pada
dirinya. "Aku memilih nama Ahmad karena tiga alasan," Syeikh Zarruq:
Pertama,
saya senang dengan nama itu, disamping aku dibesarkan di pangkuan
nenekku. Nenek seorang yang penuh kasih sayang, seorang yang sangat alim
dan shalihah.
Kedua, nama itu begitu kuat, tidak berubah, bahkan tetap dengan nama itu sepanjang tahun.
Ketiga,
nama ahmad adalah nama yang dikabargembirakan oleh Allah kepada Nabi
Isa as, dan tidak pernah disebutkan sebelum Nabi dan Rasul sebelum Nabi
kita Muhammad saw.
Masa Kecil
Masa kecil Syeikh Zarruq sebagai
yatim piyatu, berada di pangkuan neneknya, seorang faqih yang shalihah,
tumbuh dengan pendidikan yang sangat bagus, penuh kecerdasan dan
perilaku budi luhur. Sejak kecil ditanamkan iman, dan kesalehan,
terutama dalam disiplin sholat. "Nenek mengajariku sholat, dan
memerintahkannya ketika usiaku masih 5 tahun. Sejak usia lima tahun aku
disiplinkan sholatku, dan aku belajar menulis di usia itu. Nenek juga
mengajariku tauhid dan tawakkal, keimanan dan keagamaan dengan cara yang
luar biasa."
Salah satu yang menakjubkan, yang diceritakan
beliau, "Ketika aku masuk di sebuah perpustakaan, seorang faqih menulis
surat Alamnasyroh di telapak tangan kananku, dengan tinta dari madu,
lalu aku menjilatinya. Pada saat itulah aku menjadi anak yang paling
bagus hafalannya…. Bahkan aku tidak tahu, kalau aku tak pernah sekalipun
menghafal wahyu sama sekali, kecuali hanya sehari atau dua hari saja…"
Masa
kecilku tidak pernah bermain-main di masjid, dan tidak pernah aku
berlari-lari di dalamnya, kecuali satu hari seumur hidupku. Lantas saat
itu jempolku bengkak, keluar ulat kecil dan bernanah. Aku baru tahu
kemudian, Sunnatullah berjalan, bahwa setiap aku berbuat salah, langsung
diganjar dengan akibatnya seketika. Aku sakit empat kali di Mesir ini.
Setiap kali sakitku sampai empat bulan baru sembuh, dan setiap aku sakit
tidak sembuh kecuali setelah makan buah Zaitun Hitam.."
Ketika
usia beliau genap 9 tahun, ia dikirim untuk belajar konveksi, tiga hari
selama seminggu, Kamis, Jum'at dan Senin. Ini dibelajarkan agar terpadu
antara pengetahuan industri dan agama.
Mendalami Agama
Syeikh
Zarruq bercerita, "Berada dalam didikan nenekku yang faqih, Ummul Banin,
hingga usiaku 10 tahun. Pada saat yang sama aku sudah hafal Al-Qur'an,
dan aku belajar jahit menjahit. Maka ketika usiaku 16 tahun, aku dikirim
untuk mendalami ilmu agama. Aku mengkaji kitab Ar-Risalah pada dua
Syeikh, As-Sitththy dan Abdullah al-Fakhkhar., dengan kajian yang dalam.
Kemudian mendalami soal macam-macam Qira’at pada Al-Qawry, az-Zarhuny,
orang yang sangat saleh. Juga pada Al-Majashy, dan Al-Ustadz Asy-Saghir
mengenai bacaan huruf ala Nafi'.
Kamudian aku dalami pengetahuan
Tasawuf dan Tauhid, antara lain Ar-Risalatul Qudsiyah dan Aqaid
ath-Thousy, pada Syeikh Abdurrahman Al-Majdulisy salah satu murid
al-Ubay. Juga sebagian kajian At-Tanwir (karya Ibnu Athaillah) pen.)
pada Al-Qowry, dari beliau pula saya belajar Al-Bukhary. Kemudian
belajar fiqih pada Abdul Haq ash-Shughra, dan Jami at-Tirmidzy. Tak
terhingga guru-guru fiqih maupun tasawufku."
Kelak Syeikh Zarruq
dikenal sebagai Mursyid Thariqah Syadziliyah, dan mensyarahi karya Ibnu
Athaillah as-Sakandary, Al-Hikam. Diantara keunikan Syarah Syeikh
Zarruq, ketika beliau mensyarahi Al-Hikam sampai terulang 17 kali.
Setiap kali khatam membuat syarah kitab Al-Hikam selalu hilang, atau
dicuri orang. Dan syarah yang masih utuh hingga sekarang adalah syarah
Al-Hikam yang ke 17.
Nasehat Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandy
1.
Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan
‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan
komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan
segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.
2.
Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke
jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke
akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari
Allah.
3. Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu
langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak
langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah
adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.
4.
Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran
(al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan
muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu
senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah
memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud
muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh,
menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.
5. Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
6. Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak
langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh,
berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai
Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
7.
Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri bisa
mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan
terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan
memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang
ikhlash dan yang benar.
Muhammad Ibnu Abbad
Sufi Pensyarah Al-Hikam
Ibnu
Abbad tidak dikelilingi oleh kisah-kisah legenda ajaib, seperti
kebanyakan sufi yang lainnya... Kita mendapati dalam diri Ibnu Abbad
sosok seorang sahabat yang
tenang tempat kita menaruh kepercayaan;
seorang yang tidak membuat kita silau dengan berbagai gagasan agung atau
membuat kita bingung dengan kecanggihan teosofis; seorang sahabat yang
tidak memaksakan pikiran-pikirannya pada diri kita, tetapi justru
menunggu sampai kita berangsur-angsur dapat memahami tanggung jawabnya
yang tinggi atas kesejahteraan spiritual pembacanya. (Annemarie
Schimmel)
Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh
sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka kelahiran Spanyol pada abad ke-14. Ia
lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol,
yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah. Pada usia
tujuh tahun ia sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari
fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, ia terpaksa hijrah ke Fez,
Maroko, akibat tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang
berhasil mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340 dan membuat
kehidupan kaum muslimin di Spanyol menjadi semakin sulit.
Di Fez,
Ibnu Abbad kembali belajar fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur
Ibnu Abbad di bidang fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani (w. 1369),
seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di bidang
teologi, ia belajar teologi Asy’ariyah kepada al-Abili (w. 1356), dengan
kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru
al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, ia juga mempelajari
himpunan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya
Malik bin Anas. Karya yang disebut terakhir ini dipelajari dari
al-Imrani, seorang faqih kenamaan yang disebut-sebut sangat tertarik
pada tasawuf. Ibnu Abbad sendiri mengenal tasawuf lewat guru-guru
fiqihnya yang juga mengajarkan tasawuf secara pribadi, dengan memakai
karya-karya klasik al-Maliki, al-Ghazali dan Suhrawardi.
Situasi
kota Fez yang sangat kacau akibat perebutan kekuasaan setelah
meninggalnya Sultan Abu Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk
kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di
tepi laut Atlantik. Di sana ia berguru kepada Ibnu Asyir (1300-1362),
seorang wali yang dikenal sebagai tokoh poros kebangkitan tasawuf di
luar tarekat. Ia kemudian menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di
bawah bimbingan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca
tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, sampai pada akhirnya
ia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.
Setelah Ibnu
Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana
ia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu dikenal, Abu Marwan
Abul Malik. Setelah tinggal untuk bebrapa waktu, ia kembali ke Fez, dan
di sana ia berkenalan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Abu Rabi
Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini ia menulis
At-Tanbih yang diselesaikannya antara 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad
kembali ke Sale dan tinggal di sana sampai sekitar 1375. Kemudian,
karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya,
Sultan Abu al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya sebagai imam dan khatib
Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan ilmu tertua yang paling
bergengsi di Afrika Utara.
Sebagai khatib, Ibnu Abbad dalam
menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih dan menyukai gaya didaktis
(pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Ia dengan setia
menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus
dan membimbing mereka menuju kepada – yang disebutnya -- pusat kehidupan
manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Ia juga suka
menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya
yang selaras dengan kehidupan sehari-hari.
Yang menarik, Ibnu
Abbad tidak memandang khutbah umum itu sebagai forum yang tepat untuk
menyampaikan masalah-masalah tasawuf. Sebaliknya, ia membahas masalah
tasawuf secara lebih mendalam melalui syarah kitab Al-Hikam karya Ibnu
Atha’ illah dan dua koleksi surat-suratnya (keseluruhannya ada 45 buah
surat) yang berhasil diedit oleh P. Nwya, seorang Jesuit asal Irak.
Melalui dua karyanya inilah dapat memahami gambaran jiwa Ibnu Abbad dan
metode bimbingan spiritualnya.
Al-Qusyairy
Nama
lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairy. Nasabnya, Abdul Karim bin
Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul
Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita
sebutkan:
1. An-Naisabury
Dihubungkan dengan Naisabur atau
Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara
Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di
mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota
ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di
kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairy hingga akhir
hayatnya.
2. Al-Qusyairy
Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al
Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul
Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang
menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab
disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah
bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin
Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy
ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong
ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka
wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para
pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah
Andalusia pada saat penyerangan di sana.
3. Al-Istiwaiy
Mereka
yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri
besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas
batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula
para Ulama pernah lahir.
4. Asy-Syafi'y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi'y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'y (150 204 H./767 820 M.).
5. GelarKehormatan
Ia
memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy
Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa'mi bainas Syariah wal haqiqat
(Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
Nama nama
(gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang
tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf
Nasab Ibundanya
Ustadz
asy Syeikh mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy.
Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah
Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan.
Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang
sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah
bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani
Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda
dengan kriterianya.
Kelahiran dan Wafatnya
Ketika ditanya
tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa
pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja' al Hadzaly
menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16
Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia
dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan
tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu
beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.
Kehidupan Al-Qusyairy
Masa Kecil
Kami
tidak mengenal masa kecil al Ustadz asy Syeikh al Qusyairy, kecuali
hanya sedikit. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya
telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya
diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat
keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para
penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al
Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu.
Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu
hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa
meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur
ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini
merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai
disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah
beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang
populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika
mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya.
Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu.
Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya,
al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai
pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
An-Nifary
Pengelana Sufi dari Iraq
Sufi
besar ini lahir di Iraq. Ketinggiannya ilmunya melampaui Rumi dan al
Hallaj. Ia adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar. Nama
mistikus an-Nifary mungkin agak asing ditelinga kita.Tidak seperti al
Bustami maupun al Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar. Padahal di
mata ahli tasawuf pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh.
Para sufi sesudahnya banyak yang mengikuti jejak pria kelahiran Iraq
ini.
Walau lirih, An-Nifary telah meninggalkan tapak-tapak yang tidak
kalah penting dibanding al Hallaj maupun al Bustami.Bahkan dalam
memaknai tasawuf an-Nifary dipandang lebih hati-hati dan tidak
kontroversial. Meskipun sosoknya bisa dibilang agak sulit, tetapi
dirinya menjadi tokoh panutan yang tiada banding.
Bernama lengkap
Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary, dikenal tidak hanya
sebagai seorang sufi saja. Dunia kesusastraan telah menempatkan dirinya
dalam pada puncak kemasyhuran. Kehidupan tokoh ini sulit terlacak. Di
duga ia dilahirkan di Basrah Iraq dengan tanggal dan tahun yang sulit
ditemukan. Minimnya data disebabkan oleh pribadi an-Nifary. Sang sufi
dikenal sebagai seorang yang suka menyendiri. Disamping itu
kesehariannya lebih dikenal sebagai sosok pengelana.
Kesohor
sebagai pengembara menjadikan pengamat sufisme Dr. Margareth Smith
menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan Mistik Sifat itu membikin
karya-karyanya jarang terlacak. Kalaupun sekarang ada, tak lebih dari
jasa orientalis Inggris, Arthur John Arberry. Pengamat Islam ini
berhasil menerjemahkan beberapa karyanya tahun 1934. Meski demikian
tidak banyak karya-karyanya yang terlacak. Pengembaraan menjadi salah
satu cirinya. Karya-karyanya juga penuh dengan perjalanan spiritual yang
mengagumkan. Tidak kalah jauhnya dengan pengembaraannya di dunia nyata.
Tahap demi tahap dilakukannya sampai pada puncak yang paling tinggi.
Itulah
salah satu kalimat dari beberapa karya an-Nifary. Tokoh ini terasa
unik. Berbeda dengan sufi lainnya, dalam diri an-Nifary ada dua
kelebihan. Di dunia sastra sufi, an-Nifary sama seperti ar Rumi maupun
maupun al Aththar. Dibanding dengan keduanya, karya an-Nifary lebih
mendalam. Pertama, ia seorang sastrawan sufis. Kedua, ia seorang
teoritikus mistik.
Pengalaman spiritual dibingkai dalam bahasa
sastra yang tinggi dan elok. Tidak dapat dipungkiri, nama an Niffrari
berderet diantara sufi-sufi agung dan sastrawan sepanjang zaman.
Bait-bait puisinya tidak pernah luput dari pemaknaan tentang Tuhan.
Seperti puisinya tentang penyerahan kepada Allah berikut ini:
Ilmu
adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan. Dan perbuatan
adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan. Dan keikhlasan
adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran. Dan kesabaran
adalah huruf yang tak terungkap oleh penyerahan
Karya-karya an-Nifary
Terlepas
dari itu semua, pemikiran tasawuf dengan sangat memukau. Tasawuf di
kaji secara mendalam dengan argumentasi yang cerdas. Sufisme menjadi
bahasa spiritual sekaligus ilmu pengetahuan. Melalui simbol-simbol
tampak sekali perjalanan dan konsepnya tentang tasawuf. Meski dengan
hati- hati, ia mampu menerjemahkannya dalam sebuah pola berfikir yang
jitu.
Ada sebuah karyanya yang penting dan dapat dinikmati sampai
sekarang. Kitab berjudul al Mawafiq wal Mukhthabat ( Posisi-Posisi dan
Percakapan-Percakapan). Diakui banyak pengamat, karyanya ini sarat
dengan simbol. Hasilnya bahasa-bahasa kiasan itu sering menimbulkan
kontroversi. Dimungkinkan kalau tidak hati-hati akan menimbulkan
pemaknaan yang salah.
Selanjutnya karya ini menjadi dua bagian
penting. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ada
sebuah cerita menarik tentang karyanya ini. Menurut pendapat
satu-satunya pemberi syarah karya an-Nifary, Afifuddin at-Tilmisani
bahwa ia tidak menulis sendiri karyanya. An-Nifary hanya mendiktekan ide
dan pengalaman spiritualnya pada sang anak. Atau ia hanya menulis dalam
potongan-potongan kertas dan kemudian disusun kembali oleh putranya
itu. Dimungkinkan kalau karyanya ditulis dan disusun sendiri akan lebih
sempurna dan indah.
Uwais Al-Qarani
Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahmandari dari Yaman
Nama
Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi.
“Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha
Pengasih, mengalir
kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW
tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh
bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang
hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa
pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini
dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan
oleh wali nabi yang misterius, Khidhir.
Uwais yang bernama
lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa
terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui kapan beliau dilahirkan. Ia
kilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah mengenyam
pendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk
membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala
dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih
banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di
sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang
disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para
penggembala.
Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang
dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan
berlapar-lapar ria. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan
tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia
merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup
dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah
mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah
Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan
Engaku menyiksaku karena ada yang kedinginan.”
Ketaatan dan
kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan
ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar
biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asik
bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari
berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang
bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian
kepada-Nya.
Sufi Agung Al-Hallaj
Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia
Abad
ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah
teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar
bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits
al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl
bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur
al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.
Di tengah
pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika
itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh
kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan
sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin
Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia
Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.
Nama
lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul
Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di
Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru
pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr
al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah
Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad
bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim
Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka
banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat.
Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah
seorang a’lim Rabbany.”
Pada akhir hayatnya yang dramatis,
Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang
Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.
Kelak
pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh
Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu
Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri
Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan
utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak
terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak
difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel
Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham
tentang pandangan Al-Hallaj.”
Pandangan Al-Hallaj banyak
dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan
haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj,
karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi.
Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”,
yang berarti, “Akulah Allah”.
Tentu, pandangan demikian menjadi
heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka,
atau bahkan tidak dipahami sama sekali.
Para teolog, khususnya
Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga
mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut
Wahdatul Wujud atau pantheisme.
Padahal dalam seluruh pandangan
Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud
(kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang
disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas
wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud
(Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya,
bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj,
menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat
hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.
Abdullah Al-Haddad
Penulis Ratib Haddad, Abdullah Al-Haddad Berguru Pada 100 Ulama
ABDULLAH
AL-HADDAD, penulis Ratib Alhaddad ini sudah akrab di telinga masyarakat
Islam Indonesia, Malaysia, India, Pakistan dan negara-negara Islam di
Timur Tengah. Karena Ratib-urutan (wirid, zikir)-nya yang ditulis
sekitar empat abad yang lalu, sudah diamalkan oleh masyarakat Islam,
baik pengikut paham Sunni maupun Syiah. Maklum, selain cerdas, dalam
ilmu keislamannya, ia ternyata juga memiliki garis keturunan sampai
kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.
Nama
lengkapknya adalah Al-Imam al-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhammad
al-Haddad dilahirkan di pinggiran kota Tarim, sebuah kota bagian dari
Hadramaut, Yaman Selatan, pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044H/1636
M.. Ia belajar pendidikan agama ke orang tuanya kemudian ke beberapa
guru dengan pelajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman lainnya.
Setelah ia hafal Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman tersebut ia
kemudian melanjutkan pelajaran kepada ilmu-ilmu keislaman yang lebih
tinggi dengan amat rajin, cerdas, dan berbakat.
Alhaddad
mengembara dari Hadramaut ke kota lainnya di Yaman dengan
berpindah-pindah tempat sampai ke Mekkah dan Madinah. Selain rajin
belajar, ia juga senang beribadah, setiap hari berkeliling kota Tarim
untuk bersembahyang dalam setiap masjid yang ditemuinya. Dalam menuntut
ilmu keislaman tersebut ia telah berguru ke lebih seratus ulama. Di
antaranya Sayid bin Abdurrahman bin Muhammad bin Akil al-Saqqaf, tokoh
sufi mazhab Malamatiyah, dan daripadanya Alhaddad mendapat
ijazah/khirqah kesucian. Gurunya yang lain adalah Sayid Abu Bakar bin
Abdurrahman bin Syihabuddin dan Sayid Umar bin Abdurrahman al-Attas,
tokoh yang terkenal dalam ilmu tarekat. Dari guru-gurunya itulah ia
banyak berpengaruh hingga menekuni tasawwuf sampai ia menyusun Ratib
Haddadiyah (wirid-wirid perisai diri, keluarga dan harta) yang terkenal
itu.
Dan dari guru-gurunya tersebut dengan kajiannnya yang
mendalam di berbagai ilmu keislaman sampai Al-Haddad benar-benar menjadi
orang yang alim; menguasai seluk-beluk syariat dan hakikat, memliki
spiritualitas yang tinggi dalam tasawuf hingga memperoleh tingkat
qutub/ghaust, yaitu seorang dai yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam
dengan sangat mengesankan dan sebagai seorang penulis yang produktif
yang karya-karyanya tetap dipelajari orang sampai sekarang ini.
Karya Tulis Alhaddad :
Sayid
Abdullah al-Haddad wafat dalam usia 88 tahun pada hari Selasa, 7
Dzulqa’dah 1132 H/1724 M di Tarim. Ia meninggalkan karya tulis antara
lain: Al-Nasaih al-Diniyah, Sabil al-Iddikar Wa al-‘I’tibar Bima Yamurru
Bi al-Insan Wa-yangkadhi lahu min al-A’mar, Al-Da’wat al-Ittihaf
al-Sail, Al-Fushul al-Ilmiyah Wa Ushul al-Hikmiyah, Risalat
al-Muzakarah, Risalat al-Mu’awanah Wa al-Muzaharah Wa al-Muwazarah Li
al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk al-Thariq al-Akhirah, Risalat
al-Murid, dan Kitab al-Majmu’
No comments:
Post a Comment