Ma'rifat Al-Iman Syaikh Siti jenar, Manunggaling Kawulo Gusti
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan:
- Yang dari Muhammad: (1) roh, (2) napas.
- Yang dari Malaikat : (3) budi, (4) iman.
- Yang dari Tuhan: (5) pendengaran, (6) penciuman, (7) pengucapan, (8) penglihatan.
- Yang dari Ibu : (9) kulit, (10) daging, (11) darah, (12) bulu.
- Yang dari Bapak : (13) tulang, (14) sungsum, (15) otot, (16) otak.
Inilah maksud dari lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya
semua itu akan rusak kecuali dzat Allah yang tidak rusak. (Sang
Indrajit, Wedha Mantra : 1979, Bab 203, hlm. 51).
Kitab Ma’rifat al-Iman adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi,
al-Samarqandi, yang menjadi salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu
syai-in halikun illa wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah,
kecuali wajah-Nya (penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash /
28:88]. Dari kalimat inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya,
bahwa badan wadag akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan
Ingsun Sejati (Jiwa) mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini
juga menjadi salah satu inti dan kunci dalam memahami teori
kemanunggalan Syekh Siti Jenar. Maka kata wajhahu di sini diberikan
makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar, antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan,
bukanlah unsur yang saling berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya
dipahami manusia. Nur Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun
Sejati. Ini berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala
sesuatu yang diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan
dan sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah,
maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal
dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui
orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian
dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa,
yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa
maka tidak pernah kehilangan apa-apa.” (Suluk Syekh Siti Jenar, I,
hlm. 292).
Hakikat Zuhud bukanlah meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia.
Zuhud adalah perasaan tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain,
sebab teologi kepemilikan itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki
segalanya ketika ia telah berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab
Gusti adalah Yang Maha Kuasa, otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga
dalam menjalani kehidupan di dunia ini, sikap yang realistis adalah
perasaan tidak memiliki, karena sebatas itu antara makhluk (manusia)
dengan makhluk lain (apa pun yang bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa
saling memiliki dan dimiliki. Karena semua itu merupakan aspek dari
ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’ akan makhluk lain, pasti
tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh jalan spiritual) yang akan
sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang Maha Tunggal, karena memang
ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud dalam pandangan Syekh Siti
Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju kemanunggalan dan menjadi
salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah,
janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang
diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka
keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam
al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali
tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat
tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi
pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan
yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu
sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly.
Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar
kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan
sekali terangnya. Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita
akan silau dan tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya
itu ke mata maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau
bisa melihat cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu.
Namun, engkau tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari
diri orang-orang yang terdekat denganmu.” (Suluk Syekh Siti Jenar, II,
hlm. 246-248).
Doktrin kewalian Syekh Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin
kewalian orang Islam pada umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang
menentukan seseorang itu wali atau bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy,
yaitu Allah. Sehingga seorang wali tidak akan pernah peduli dengan
berbagai tetek-bengek pandangan manusia dan makhluk lain terhadapnya.
Demikian pula terhadap orang yang memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan
kewalian hanya karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya.
Yang harus diingat adalah bahwa para auliya’ Allah adalah
pengejawantahan dari Allah al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari
wali tersebut, bukanlah perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu
adalah perbuatan Allah. Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar
tidak lain adalah manusia yang manunggal dengan al-Waliy dan itu
berlangsung terus-menerus. Hanya saja perlu diingat, setiap
tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali tersebut, namun tidak semua
sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai di sini, kita harus menyikapi dengan kritis
terhadap sebagian naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa
Syekh Siti Jenar pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada
Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di
sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan
dengan pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan
kisah yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya.
Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti bukanlah teologi Fir’aun yang
menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi Tuhan, sekaligus dengan
keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini. Jadi kita harus ekstra
hati-hati dalam memilah dan memilih naskah-naskah tersebut., sebab
banyak juga pernyataan yang disandarkan kepada Syekh Siti Jenar, namun
nyatanya itu bukan berasal dari Syekh Siti Jenar
Ajaran Makrifat Syaikh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan
konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat
berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan
manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang
disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari
kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat
dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi
tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan
oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran
Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam
yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat, dan haji. Baginya,
syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan pasca
kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam
dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan
oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh
sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam,
kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Selain itu, menurut Syekh Siti Jenar, pemahaman ketauhidan harus melewati empat tahap, yaitu:
- Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
- Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
- Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
- Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut,
maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa
dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami
ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama
mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada
masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada
tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh
memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu,
ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung
dengan label sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus
memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama
apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa,
hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda
dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena
itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk
mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa
Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali
kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa
di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai
dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
“ Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72 ”
Dengan demikian, roh manusia akan menyatu dengan roh Tuhan ketika
terjadi penyembahan terhadap Tuhan. Perbedaan penafsiran ayat Al-Quran
dari para murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa
di dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan.
Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia yang mengalami zadhab
atau kegilaan berlebihan terhadap Allah. Mereka belajar tentang
bagaimana Allah bekerja sehingga ketika keinginannya sudah lebur
terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah.
Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali hanya Allah yang
berkehendak.
Hal inilah yang berbahaya karena apabila tidak didampingi guru mursyid
yang berpedoman pada Al-Quran dan hadits, maka ia akan keluar dari
semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia karena ia akan
mudah dipengaruhi oleh setan. Semakin tinggi tingkat keimanannya,
semakin jauh pula setan menjerumuskannya.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin.
Seseorang dianggap muslim salah satunya apabila dia bisa memberikan
manfaat bagi lingkungannya, bukannya menciptakan kerusakan di muka bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh
Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah
para pejabat Kesultanan Demak. Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak
khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah
satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga,
adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan
mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan
Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan
kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan
suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke
Kesultanan Demak.
Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tidak cukup
untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk datang menghadap ke
Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para Walisongo sendirilah yang
akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar
berada.[rujukan?]
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja.
Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi
ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima
wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa
meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.[rujukan?]
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan
kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak
keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki
Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan cara
yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para
wali.[rujukan?]
Kisah pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar
disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan
cahaya memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri
selanjutnya dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat
lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama
lain.
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang
mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain
Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir
No comments:
Post a Comment