Peristiwa
Isra' Mikraj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik.
Dalam
tempo singkat, kurang dari semalam (minal lail) tetapi Nabi berhasil
menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke
puncak (Sidratil Muntaha).
Walaupun terjadi dalam sekejap,
tetapi memori Rasulullah SAW berhasil menyalin pengalaman spiritual yang
amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra' Mikraj (baik
sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk
menceritakannya.
Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke
Masjidil Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha).
Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan
sampai ke puncak Sidratil Muntaha.
Ada pertanyaan yang mengusik. Mengapa Allah SWT memperjalankan hamba-Nya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan)?
"Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya,
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Al-Isra': 1).
Dalam bahasa Arab kata lailah
mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari
siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan,
kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; serta ada makna anagogis
(spiritual) seperti kekhusyukan (khusyuk), kepasrahan (tawakkal),
kedekatan (taqarrub) kepada Allah.
Dalam syair-syair klasik Arab,
ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna
literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lailah thul, ya shubhi qif (wahai malam bertambah panjanglah, wahai Subuh berhentilah).
Kata
lailah di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan
kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang
menyesali pendeknya malam.
No comments:
Post a Comment