أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Hakekat Ma’rifat Menurut Walisongo Dan Syekh Siti jenar
Terjemahan Bebas Serat Centhini Jilid I, Pupuh 38 pada 14 dumugi 44. Yasandalemm KGPAA Amengkunagara III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) ing Surakarta. Kalatinaten Miturut Aslinipun dening : Kamajaya. Penerbit Yayasan Centhini, Yogyakarta 1986.
Dahulu Sunan Têmbayat, pernah memberikan cerita kepadaku, cerita tentang Eyang Buyut-mu (Sunan Têmbayat),
kala tengah berkumpul dengan para Wali semua, mewedarkan mutiara ilmu,
Sunan Giri mengingatkan Saat nanti telah berkumpul, jangan saling
berebut kebenaran sendiri-sendiri.
Dibuat sebagai pelajaran luhur, di Giri Gajah tempatnya, tempat
untuk bermusyawarah, oleh para Wali sembilan, di Argapura tepatnya,
letak keraton Sang Ratu Agama (Sunan Giri).
Sekuruh Wali diminta hadir, oleh Prabu Satmata (Sunan Giri), Sunan Benang diminta hadir pula, lantas Sunan Kalijaga, lantas Sunan Ngampeldhênta (Sunan Ampel), Sunan Kudus juga diminta hadir, juga Syeh Siti Jênar.
Syeh Bêntong ikut diminta hadir, juga Pangeran Palembang, Panêmbahan Madura juga, semua menghadap ke Giri Liman (Giri Gajah ~ Liman : Gajah. Keraton Sunan Giri), berkata Prabu Satmata (Sunan Giri), Syukurlah semua lengkap hadir, semua berkenan datang ke Giri Gajah.
Aku harapkan semua bersatu pendapat, jangan sampai berdebat
sendiri, satukan kehendak, saat mewedarkan mutiara ilmu, membuka
rahasia, jangan terlalu banyak memakai bahasa kias, jabarkan saja apa
adanya.
(Kanêng Sunan Benang berkata, mulai mewedarkan kelebihannya,
Sesungguhnya badanku ini, adalah Dzat Sifat Af’al Allah, sangat nyata
didalam Kesadaran hamba, Dzatullah-lah yang menguasai, dan berwenang
dalam badanku.
Kanjêng Adiluwih (Sunan Kalijaga) berkata, mulai
mewedarkan kelebihannya, Kesadaran-lah yang patut menjadi namaku, patut
menjadi nama Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Hyang Suksma Yang Luhur, (patut menjadi) nama dari Sang Hidup dan nama seluruh semesta.
(Kanjêng Suhunan Giri-wêsthi berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya badanku ini, terdiri dari Iman (Keyakinan~maksudnya adalah jasad halus) Urip (Hidup~maksudnya adalah Roh) dan Nugraha (Anugerah~maksudnya adalah jasad kasar), Sang Hidup tak lain adalah Allah itu sendiri, begitulah pemahamanku.
Kanjêng Suhunan Kudus berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Roh adalah pangkal keyakinanku, Roh bagaikan sebuah Cahaya yang memancar layaknya sinar surya, mengeluarkan perbawa yang luar biasa, menyelimuti jalannya semesta raya, menghidupi seluruh jagad.
Kanjêng Suhunan Kudus berkata, mulai mewedarkan kelebihannya, Roh adalah pangkal keyakinanku, Roh bagaikan sebuah Cahaya yang memancar layaknya sinar surya, mengeluarkan perbawa yang luar biasa, menyelimuti jalannya semesta raya, menghidupi seluruh jagad.
Panêmbahan Madura berkata, mewedarkan kelebihannya, Yang
dinamakan Anugerah Sejati, adalah Kundhi Allah, maksudnya Kundhi, tak
lain adalah Nabi Allah, menyatu dalam kesejatian dalam nama Allah.
Pangeran Palembang berkata, mewedarkan kelebihannya, Sesungguhnya
badanku ini, tak lain adalah Allah, Allah Yang Maha Berkuasa, Maha
Hidup dan Maha Luhur, Berwenang menguasai semesta raya.
Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, mewedarkan
kelebihannya, Tiada beda dengan Allah Kuasanya, yang mengetahui pertama
tiada lain kecuali Allah, yang kedua Nur dan Badan fisik, yang ketiga
Rasul, dan yang keempat Dzatullah.
Syeh Siti Jênar lantas berkata, mewedarkan kelebihannya, Dalam
menyembah Allah, yang sujud maupun yang rukuk adalah Allah, yang
menyembah maupun yang disembah adalah Allah, AKU-lah yang Berkuasa, Yang
Berwenang tak lain juga AKU.
Maka berkatalah seluruh Wali, Syeh Siti Jênar berpaham
Qadariyyah, semuanya adalah tunggal menurutnya, Siti Jênar menjawab,
Dikatakan berpisah-pun tiada tepat, dikatakan dekat-pun juga tidak
benar, itulah Allah.
Prabu Satmata (Sunan Giri) lantas berkata, Yang kamu
tunjuk sebagai Allah itu jasad-mu, Syeh Lêmah Bang menjawab, tiada
membicarakan Raga dan Jiwa (Badan halus), semua tempat Roh telah
ditinggalkan, semua tak lain hanya Allah, sekehendak-Nya Berwenang.
Maka seluruh Wali berkata, Dirimu salah wahai Siti Jênar,
mengatakan badan fisikmu Allah, dan Allah berwujud dalam badan Siti
Jênar, badan fisikmu tak kekal didunia ini, Siti Jênar jelas telah
salah, dia telah mengaku Hyang Suksma (Tuhan).
Dan tersebutlah pada pertemuan selanjutnya, (konon katanya)
semua mewedarkan mutiara ilmu, tiada memakai tirai rahasia lagi, semua
membuka penutup ilmu, agar tiada salah dalam memahami, disini agar jelas
mana yang pemahamannya sesat, akan tetapi pendapat Siti Jênar tetap
tiada goyah.
Maka Prabu Satmata berkata, Syeh Lêmah Bang terlalu berani,
daripada seluruh saudara-saudara semuanya disini, padahal maksudnya
tiadalah berbeda, tapi terlalu jelas apa yang diucapkannya, bisa membuat
salah paham, sehingga membuat orang menjadi menggampangkan agama.
Akan banyak manusia yang malah bingung, jika tidak mendapatan
pemahaman itu dari seorang guru, akan banyak manusia yang
menggampangkan, merasa telah mendapatkan kabar rahasia, merasa telah
mendapatkan hal yang sejati, tiada berkehendak untuk mencari guru lagi,
seolah enggan lagi untuk bertanya kepada seorang guru.
Syeh MaulanaMaghribi pun hadir, seluruh orang besar keturunan
dari Champa juga datang ke masjid agung, ditambah dengan tujuh wali
lainnya, semua kembali mewedarkan mutiara ilmu, tiada beda dengan
pertemuan yang terdahulu, Siti Jênar kembali diperingatkan.
Syeh Maulana Maghribi lantas berkata, Benarkah nama tuan Siti
Jênar? Siti Jênar lantas menjawab, Allah namaku, tiada lagi Allah lain,
yang mewujud dalam Siti Jênar, sirna Siti Jênar hanya Allah yang nyata.
Maulana Maghribi berkata, Siti Jênar telah kafir, seluruh
keturunan orang besar Champa berkata pelan, Siti Jênar telah kafir dalam
pandangan manusia, tetapi entah didepan Allah, nyata telah kafir dalam
pandangan manusia, dan orang seperti inilah patut disebut kafir.
Maulana Maghribi berkata, Wahai para Wali percuma kalian mengajar
jika demikian, seluruh masjid kalian akan kosong, sedikit yang akan
sembahyang disana, agama akan rusak, semua orang akan menggampangkan,
sepatutnya yang salah harus dihukum dengan pedang.
Syekh Siti Jênar lantas menjawab, Sudah menjadi niatan saya,
pintu surga telah terbuka lebar, Siti Jênar lantas diikat, oleh empat
orang santri, Syekh Siti Jênar telah diputuskan untuk mendapat hukuman,
dengan cara dipotong kepalanya.
Tiga orang muridnya, berkehendak membela guru mereka, meminta
dihukum dengan cara yang sama, ketiganya lantas, mengucapkan
Subhanallah, tersebutlah ada seorang anak gembala yang juga murid Siti
Jênar, melihat kejadian itu.
Siti Jênar mendapat hukuman mati, karena berani mengaku Allah,
anak gembala itu segera, berlari ke arah para Wali dengan sesumbar,
mendekat tepat dihadapan, (Para Wali berkata) Masih ada Allah yang
tertinggal, Allah yang menggembalakan kambing.
Prabu Satmata lantas memerintahkan, Bunuh juga anak gembala itu,
hukum-lah jangan lama-lama lagi, tempatkan disebelah Siti Jênar,
menjawab Siti Jênar, Tempatkan disisiku, akan aku bawa serta dia.
Anak gembala berkata pelan, Jangan-lah tuan yang meninggal cukup
hamba saja, menangis sedihlah dia melihat gurunya hendak dibunuh, (Siti Jênar berkata)
Ikutlah mati bersamaku, sudah terbuka pintu surga, maka semua yang
hendak dihukum lehernya telah dipedang, tersenyum anak gembala.
Kanjengng Sunan Ratu Giri, tiada menyangka bahwasanya, jasad Siti
Jênar masih utuh, selama tiga hari terlihat bercahaya, lantas terdengar
ucapan salam, Selamat tinggal wahai paduka, (Jasad) Siti Jênar lantas hilang.
Begitu juga ketiga muridnya, semua jasadnya menghilang, tak
ketinggalan jasad anak gembala, juga ikut musnah, semuanya sirna,
keheranan semua yang melihat, kepada Syekh Siti Jênar dan semua
muridnya.
Semua kisah yang sudah aku ceritakan, menunjukkan bahwasanya Syekh Lêmah Bang, (Syekh Siti jenar) sangat
yakin dan mantap, akan tetapi jarang bisa ditemui, orang seperti Syekh
Siti Jênar, kebanyakan hanya terhenti dimulut, jika mendapat ancaman
akan mundur ketakutan.
No comments:
Post a Comment