Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Pengetahuan tentang Tuhan
 
   
Sebuah hadits Nabi SAW yang terkenal berbunyi, "Dia yang mengenal dirinya, mengenal Allah." 
Artinya,
 dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya, manusia sampai pada 
sebagian pengetahuan tentang Tuhan. Tetapi karena banyak orang yang 
merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan, berarti bahwa tentulah ada
 cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut. 
Kenyataannya,
 ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini. Salah satu di 
antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna dengan 
kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode
 yang lain adalah sebagai berikut. Jika seorang manusia merenungkan 
dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana 
tertulis di dalam Alquran, "Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?" 
Selanjutnya,
 ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air yang tidak mengandung 
intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya. Dari sini 
jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya, ia tidak 
menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut 
sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru 
hanya berupa setetes air itu! Jika semua orang pandai dari seluruh dunia
 dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak 
terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun atas satu 
bagian saja dari jasad manusia. 
Misalnya, pada penyesuaian 
geligi depan dan samping pada pengunyahan makanan, serta pada lidah, 
kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk penelanannya, kita 
dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik lagi. 
Demikian
 pula seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang 
tidak sama panjang-empat di antaranya dengan tiga persendian dan jempol 
yang hanya mempunyai dua-serta dengan cara bagaimana ia bisa 
dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara terus 
terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa 
membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan aturan jari-jari 
tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang manusia 
lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, 
penginapan dan lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan 
dari gudang penciptaan. Ia pun menjadi sadar, bahwa rahmat Allah adalah 
sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya, sebagaimana Ia sendiri berfirman, "Rahmat-Ku lebih luas dari kutukan-Ku." 
Dan
 menurut hadits Nabi SAW, Allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri,
 manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan. Dari kerangka tubuhnya yang
 menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakan Allah. Dan lewat 
karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, ia 
mengetahui kecintaan Allah. Dengan cara ini pengetahuan tentang diri 
menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah.
 Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat 
Tuhan, tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu 
wawasan tentang bentuk kemaujudan Allah. Dengan demikian, bisa dikatakan
 bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu,
 serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas. 
Demikian
 pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula 
dihubungkan dengan keduanya. Orang mengalami kesulitan untuk membentuk 
suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas, jumlah, 
dan sebagainya. Padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan 
konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang
 atau cinta.
Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti 
oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah 
konsep-konsep indera. Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali warna, 
tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita 
membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati 
diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera 
tidak bisa ambil bagian.
Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah Pengatur
 jagat dan Ia--yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan 
kualitas--mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan. Begitu pulalah
 ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri 
tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu 
bagian khusus mana pun.
Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan 
di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi. Dari semuanya ini bisa kita 
lihat betapa benarnya hadits Nabi SAW, "Allah menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri."
Dan
 setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari 
sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka
 akan bisa kita pahami metode kerja, pengaturan dan pendelegasian 
kekuasaan Allah kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, 
yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur 
kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.
Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama
 Allah. Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru 
kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata "Allah" 
tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang 
saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya 
menggerakkan pena.
Dengan demikian nama "Allah" terguratkan di atas kertas tepat 
sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya. Demikian pula, jika 
Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran 
ruhaniah yang di dalam Alquran disebut sebagai "Singgasana" (Al-'Arsy).
Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah 
suatu dataran yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy), kemudian
 bentuknya tampil dalam al-lauh 'al-mahfuzh yang, dengan perantaraan 
kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai "malaikat-malaikat", mewujud dan 
tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, 
sebagai pencerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf
 yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan 
bentuk yang hadir di dalam otak sang penulis.
Tidak seorang pun 
bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja. Karena itu Tuhan telah 
menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah, seorang raja dalam 
miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari kerajaan-Nya 
yang telah disusutkan secara tidak terbatas.
Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril) oleh hati, kursy
 oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran. Jiwa--yang ia 
sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi--mengatur jasad 
sebagaimana Allah mengatur jagad. Pendeknya, kepada kita diamanatkan 
suatu kerajaan kecil, dan kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam 
mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah 
memelihara, ada banyak tingkatan pengetahuan. Ahli fisika biasa, seperti
 seekor semut yang merangkak di atas selembar kertas dan mengamati 
huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya, akan menunjukkan "sebab" 
hanya kepada pena saja. Seorang astronom, seperti seekor semut dengan 
pandangan agak lebih luas, bisa melihat jari-jari yang menggerakkan 
pena. Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di bawah 
kekuasaan malaikat-malaikat.
Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang, perdebatan 
mesti timbul dalam melacak sebab dari akibat. Orang-orang yang matanya 
tidak pernah melihat ke balik dunia-gejala, adalah seperti orang-orang 
yang salah menempatkan hamba-hamba dari tingkatan yang paling rendah ke 
tingkatan raja. Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak,
 tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba
 sebagai majikan adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih 
ada, perdebatan memang mesti perlu berlanjut. Bagaikan beberapa orang 
buta yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang ke kotanya, lantas 
pergi menyelidikinya. 
Pengetahuan yang bisa mereka peroleh 
hanyalah lewat indera perasaan, sehingga ketika seorang memegang kaki 
sang binatang, yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain 
telinganya, dan, sesuai dengan persepsi mereka masing-masing, mereka 
menyatakannya sebagai suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan suatu 
lapisan kapas, masing-masing mengambil sebagian untuk menyatakan 
keseluruhannya. 
Jadi, sang ahli fisika dan astronomi mengacaukan
 hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap hukum-hukum. 
Kesalahan yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam Alquran yang 
meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, 
bulan dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian 
menjadi sadar tentang Dia yang membuat segala sesuatu, Ibrahim pun 
berseru, "Saya tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam." (QS Al-An'aam: 76).
Kita
 memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada 
sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama, 
yaitu dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit. Misalnya, jika 
seseorang kehilangan rasa tertariknya apda urusan duniawi, memiliki rasa
 benci terhadap kesenangan-kesenangan umum, dan tampak tenggelam dalam 
depresi, dokter akan berkata, "Ini adalah kasus melankoli yang 
membutuhkan resep ini dan itu." 
Seorang ahli fisika akan 
berkata, "Ini adalah persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh 
cuaca panas dan tidak bisa disembuhkan sampai udara menjadi lembab 
kembali." 
Sang ahli astrologi akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu planet-planet. "Sejauh jangkauan kebijakan mereka,"
 kata Alquran. Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa yang sesungguhnya 
terjadi adalah seperti demikian: bahwa Yang Maha Kuasa berkehendak 
mengurus kesejahteraan orang itu, dan oleh karenanya telah memerintahkan
 hamba-hamba-Nya, yakni planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan
 keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa 
berpaling dari dunia ke arah Penciptanya. 
Pengetahuan tentang 
kenyataan ini merupakan suatu mutiara yang berkilauan dari lautan 
pengetahuan keilhaman, yang dibandingkan dengannya, semua bentuk 
pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.
Dokter,
 ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak lagi memang benar 
dalam cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak 
bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta 
yang digunakan oleh Allah untuk menarik para wali mendekat kepada 
diri-Nya. Tentang para wali ini Allah berfirman, "Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku."
Penyakit
 itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman yang 
menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah,
 sebagaimana Ia, lewat mulut Nabi-Nya, "Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan dikenakan atas pilihan-Ku."
 
   
kita 
memasuki lebih dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir 
orang-orang Mukmin: "Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, Allahu Akbar." 
Mengenai
 yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa 
Allah lebih besar dari penciptaan, karena penciptaan adalah 
pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari.
 
Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar
 dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah 
sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa 
membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan tidak sempurna tentang-Nya. 
Jika
 seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya 
kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa 
berkata bahwa hal itu adalah seperti kesenangan-kesenangan yang ia 
rasakan di dalam bermain-main dengan alat pemukul dan bola, meskipun 
pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu yang sama kecuali bahwa 
keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan. 
Jadi, seruan Allahu Akbar
 berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita. 
Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti 
itu—sebagaimana yang bisa kita peroleh—bukanlah sekadar suatu 
pengetahuan spekulatif belaka, tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan 
dan ibadah. 
Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya 
dengan Allah saja. Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, 
kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita
 rasakan kepadanya. Cinta adalah benih kebahagiaan, dan cinta kepada 
Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah. 
Ibadah dan 
dzikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat 
tertentu dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah. Hal ini
 tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan 
nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia 
akan musnah. Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada 
usaha pemuasannya. 
Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik 
dalam kasusnya sendiri, maka untuk menetapkan batasan-batasan apa yang 
harus dikenakan itu, sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada 
pembimbing-pembimbing ruhaniah. Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti 
itu adalah para nabi. Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar 
wahyu Tuhan menentukan batasan-batasan yang mesti ditaati dalam 
persoalan-persoalan ini. 
Orang yang melanggar batas-batas ini 
berarti "telah menganiaya dirinya sendiri", sebagaimana tertulis di 
dalam Alquran. Meskipun pernyataan Alquran ini telah jelas, masih ada 
juga orang-orang yang, karena kejahilannya tentang Allah, melanggar 
batas-batas tersebut.
 Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab. Pertama, ada orang 
yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan, lantas menyimpulkan bahwa 
Allah itu tidak ada dan bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini 
menciptakan dirinya sendiri atau ada dari keabadian. 
Mereka 
bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah 
kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada 
penulisnya, atau memang sudah selalu ada. 
Orang-orang dengan 
cara berpikir semacam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat 
dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya. Orang-orang seperti itu 
mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.
Kedua,
 sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang 
sebenarnya, menolak doktrin kehidupan akhirat, tempat manusia akan 
diminta pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum. 
Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada 
hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga,
 di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat,
 tapi hanya dengan iman yang lemah. Mereka berkata kepada diri mereka 
sendiri. "Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita; kita 
beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting 
bagi Dia." 
Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh 
dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata, "Yah, saya
 ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu." 
Tentunya 
hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut, tetapi pasien 
itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya. Sebagaimana 
pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian 
jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir 
dengan kepedihan di masa datang. Sesuai dengan kata-kata Alqur'an, "Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih."
Keempat,
 adalah orang-orang kafir yang berkata, "Syariah mengajarkan kepada kita
 untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan. Hal ini jelas tidak 
mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan dengan 
kualitas-kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya. Sama saja dengan 
kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih." 
Orang-orang
 jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bahwa syariah tidak 
mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini, melainkan untuk 
meletakkan mereka di dalam batas-batasnya. Sehingga, dengan menghindar 
dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan atas dosa-dosa kita 
yang lebih kecil. 
Bahkan, Nabi SAW berkata, "Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain." Dan di dalam Alquran tertulis, "Allah mencintai orang-orang yang menahan amarahnya." Bukan orang-orang yang tidak punya marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah 
seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya 
sendiri, "Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf." 
Mereka
 tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf, beribu-ribu 
manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit. Mereka 
mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, 
kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata, "Tuhan Maha 
Pemaaf," tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras. 
Meskipun al-Qur'an berkata, "Semua makhluk hidup rezkinya datang dari Allah," di sana tertulis pula, "Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha."
 Kenyataannya adalah, ajaran semacam itu berasal dari setan. Dan 
orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan 
hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah 
mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi 
memengaruhi mereka. Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang 
di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap 
anda selama bertahun-tahun. 
Dan jika salah seorang di antara 
mereka tidak mendapatkan sebutir makanan yang dia pikir merupakan 
haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika
 ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya, 
mereka tidak punya hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para 
nabi—jenis manusia yang tertinggi—terus-menerus mengakui dan meratapi 
dosa-dosa mereka. Beberapa di antara mereka mempunyai dosa yang 
sedemikian besar, sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal 
yang halal. 
Pernah diriwayatkan dari Nabi SAW, bahwa suatu hari 
ketika sebutir kurma dibawa kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya
 lantaran tidak yakin bahwa kurma tersebut diperoleh secara halal. 
Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk 
berliter-liter anggur dan mengklaim diri lebih unggul dari Nabi yang 
kesuciannya diancam oleh sebutir kurma, sementara mereka tidak 
terpengaruh oleh anggur sebanyak itu. 
Patutlah jika setan 
membenamkan mereka ke dalam kehancuran total. Orang-orang suci sejati 
mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai nafsu-nafsunya tidak 
pantas disebut sebagai seorang manusia. Dan bahwa seorang Muslim sejati 
adalah orang yang dengan senang hati mau mengakui batas-batas yang 
ditetapkan oleh syariah. 
Orang yang berupaya dengan dalih apa 
pun untuk mengabaikan kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam 
pengaruh setan dan harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, 
tapi dengan sebilah pedang.
Para penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpura-pura 
telah tenggelam di dalam lautan ketakjuban. Tetapi, jika anda bertanya 
kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan, mereka tidak tahu. 
Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang 
sama agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya, dan bahwa 
mereka adalah abdi-abdi-Nya.
 
 
No comments:
Post a Comment