Kedua manuskrip tersebut berupa tulisan tangan pada lembar-lembar daun lontar dan diyakini sebagai hasil karya Sunan Bonang dengan beberapa alasan. Pertama, adanya kalimat “Tammat carita cinitra kang pakerti pangeraning Bonang”, yang menandakan bahwa teks primbon I itu ditulis oleh Sunan Bonang. Kedua, umur dari primbon tersebut tidak terpaut jauh dari masa kehidupan Sunan Bonang, yaitu disekitar tahun 1595 M. Naskah tersebut secara kebetulan ditemukan di Tuban oleh armada Belanda yang pertama kali berlayar sampai di kepulauan Nusantara dalam persinggahan yang agak lama di Sedayu pada tahun 1597 M. Naskah tersebut selanjutnya dibawa pulang ke negeri Belanda dan dipelihara dengan baik hingga akhirnya berada dibawah pemeliharaan Liedsche Universiteitsbibliotheek sejak oktober 1597 M., ditempatkan di bawah katalogus no. XVII kal. Octob. 1599 M. Adapun, Primbon II tidaklah disebutkan inisial pengarang di dalamnya, namun jika melihat umur, tempat ditemukan, serta bahasa yang dipergunakan dalam primbon tersebut tampak mirip dengan gaya bahasa primbon I. Yang jelas, primbon tersebut ditemukan dan diangkut oleh kapal yang sama sehingga dapat dianggap bahwa primbon tersebut adalah karya Sunan Bonang atau sekurang-kurangnya ajaran yang meluas pada jaman Sunan Bonang.
Meski hanya primbon karya Sunan Bonang yang dapat dianggap sebagai bukti paling autentik dari kitab-kitab karya Walisongo. Kita masih beruntung dan patut bersyukur sebab Sunan Bonang paling representatif mewakili ajaran walisongo yang lain karena secara resmi beliau memang yang paling berkompeten diantara para Wali untuk memberikan wejangan keilmuan dan keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah hidup beliau, dimana Sunan Bonang adalah Prabu Hanyakrawati yang menguasai Sesuluking ngelmi lan agami. Beliau adalah putra dan murid Sunan Ampel bersama adiknya, Sunan Drajat. Beliau juga teman satu almamater dengan Sunan Giri karena sama-sama berguru kepada Syekh Maulana Ishaq di Samudera Pasai. Beliau adalah guru pertama Sunan kalijaga. Disamping itu atas dasar bahwa Sunan Gunung Jati adalah murid dari Syekh Maulana Ishaq maka sedikit-banyak ajaran beliau memiliki kesamaan dengan ajaran Sunan Gunung Jati.
II. Isi Kitab Primbon Sunan Bonang
1.Sumber rujukan isi primbon
Dengan melihat isi dari ajaran dan wejangan Sunan Bonang yang tertulis dalam kitab primbon Het Boek Van Bonang, setidak-tidaknya ada sejumlah kitab Arab klasik yang diperkirakan telah menjadi sumber rujukan dari ajaran walisongo. Beberapa kitab tersebut, antara lain adalah :
1. Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Abu Hamid al-Ghozali
2. Tamhid (fi bayanit-Tawhid Wa Hidayati fi Kulli Mustarasyid Wa Rasyid) karya Abu Syakur bin Syu’aib Al-Kasi al Hanafi as-Salimi (hidup diakhir abad 5 H).
3. Talkhis al-Minhaj karya Imam Nawawi,
4. Quth al-Qulub karya Abu Thalib al-Makky
5. Risalah al-Makkiyah fi Thariq al-Sada al-Sufiyyah karya Afifuddin at-Tamimi,
6. Al-Anthaki. Mengenai al-Anthaki ini, ada dua kemungkinan, yaitu Abu Muhammad al-Anthaki seorang penyair dari Faulah Bani Fathimiyyah zaman al-Mu’iz Li Dinillah (341-365 H.) dan Zaman Al-Aziz Billah (365-386 H.) atau Daud al-Anthaki penulis kitab Tazyinul Asywaq bi Tafshil Asywaq Al Usysyaq atau Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Isfahani pengarang kitab Hilyatul Auliya’ yang bergelar Ahmad bin Ashim Al-Anthaki.
Disamping beberapa nama pengarang kitab tersebut diatas, ditemui pula nama para tokoh Tasyawwuf seperti Abu Jazid Al-Basthami, Muhyiddin ibn ‘Arabi, Syekh Ibrahim al-Iraqi, Syekh Abdul Qodir Jailani, Syekh Semangu Asarani (?), Syekh Ar-Rudaji, Syekh sabti (?), Pandita Sujadi Waquwatihi (?).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ajaran Walisongo, meliputi bidang ilmu fiqih (syariat), ilmu kalam -- termasuk didalamnya adalah ilmu tauhid dan ushuluddin, serta diajarkan pula ilmu tasyawwuf seperti suluk, tarikat dan mistik.
2.Beberapa wejangan Sunan Bonang
Isi dari ajaran dan wejangan yang terdapat dalam kitab primbon karya Sunan Bonang itu dapat diringkas sebagai berikut :
Pertama-tama, Sunan Bonang mengawali tulisannya dengan bacaan Basmalah dan puji syukur, kemudian menunjukkan maksud dan tujuan dari penulisan isi primbon, yaitu hendak menyampaikan ajaran tentang ilmu suluk. Ilmu suluk ini meliputi ilmu Ushuluddin, Tauhid, Tarekat dan Tasyawwuf yang berhaluan ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ajaran Ushul Suluk berpangkal pada penafsiran terhadap dua kalimat Syahadat yang diungkapkan dalam pembukaan kitab : “Asyhadu an La ilaha Illallah Wahdahu La Syarikalahu, Wa Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Selanjutnya beliau menguraikan ajaran-ajarannya dengan menitik beratkan pada ushul suluk menurut pemikiran al-Ghozali dan Abu Syakur as-Salimi. Ajaran ushul suluk merupakan perpaduan antara uraian ilmu ushuluddin dan Tasyawwuf atau tauhid mistik dalam batas-batas akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang materinya berkisar pada tiga polok masalah ditambah satu penegasan, yaitu :
1. Kajian tentang Allah, yang meliputi zat, sifat dan af’al-Nya,
2. Kajian tentang hubungan antara manusia dengan Allah,
3. Kajian tentang masalah Ru’yat (kemampuan melihat) Allah, dan
4. Tanbih, tambahan dari kitab yang diutarakan dengan maksud sebagai peringatan agar senantiasa berbuat sholeh, takwa, dan berpegang teguh serta menjaga batas syariat.
Pada bagian pertama dari isi Primbon, pembahasan Sunan Bonang tentang Allah meliputi pendirian mengenai berbagai paham dan ajaran tauhid serta ketuhanan yang benar dimana isi uraian beliau pada dasarnya hanya merupakan ikhtisar dan terjemahan bebas dari kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Tamhid. Disamping itu diungkapkan pula bagaimana ajaran dan faham yang sesat tentang tauhid dan Tuhan, yang menurut beliau, dapat mengakibatkan penganutnya menjadi kafir.
Pembahasan Sunan Bonang terhadap dua tema diatas meliputi uraian tentang ma’rifat Dzat Allah, Ma’rifat Sifat Allah dan ma’rifat Af’al Allah yang diungkapkan dengan metode dialog katekismus, yaitu berbentuk dialog tanya jawab antara guru dan murid dimana si murid bertanya yang kemudian dijawab oleh sang guru dengan uraian materi diatas.
Pada bagian tersebut, diungkapkan juga 12 macam pandangan tentang ajaran tauhid dan ketuhanan yang dianggap sesat dan layak dijuluki “wong sasar” menurut standar empat madzhab, yaitu :
1. Pandangan yang menyatakan bahwa :”i(ng)kang ana iku Allah, i(ng)kang ora ana iku Allah, den tegesake oraning Allah iku ora andade’aken. (yang ada ialah Allah, yang tiada ialah Allah, dengan arti tiadanya adalah tiada mejadikan).
2. Pandangan tentang Tuhan yang menyatakan : “iya namane iya kersane, iya namane iya dzate, iya dzat(e) iya kersane. Iku among ing paekan tan weruh ing panunggale”. (nama-Nya itu itulah juga kehendak-Nya, nama -Nya itulah juga dzat-Nya, Dzat-Nya itulah kehendak-Nya…).
Kedua ungkapan tersebut diatas dianggap sesat karena dapat mengacaukan pemahaman akan keesaan Tuhan.
3. Pandangan Kawabatiniyah (kebatinan) yang disifati oleh Sunan Bonang sebagai “atunggal sastra anging tan apatut “ atau congkak dalam kata namun tidak patut dan tidak sesuai dengan akal budi karena bertentangan dengan pokok ushul suluk yang terdapat dalam kitab Ihya’ dan Tamhid.
4. Suatu pandangan ganjil yang menyatakan : “ Kadi anggrupa’aken sifating pengeran, kadi akecap : sekatahing dumadi iku sifating Allah, kadi ngana’aken ing nora, kadi ama’duamen ing Allah. Pandangan ini adalah kufur.
5. Pandangan yang beranggapan bahwa dalam fana’ terjadi ittihad (perpaduan) antara kawula-Gusti (hamba - Tuhan) sebagaimana berpadunya sungai di muara dengan air laut. Hal ini menurut beliau merupakan penta’wilan yang menyeleweng dan sesat yang bertentangan dengan firman Allah swt.: “Marajal Bahraini Yal Taqiyani bainahuma Barzahun La yabgiyani”.
6. Paham karamiyah, sebuah paham yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk, didirikan oleh Abdullah Muhammad bin Karamiyah yang menandaskan bahwa Allah duduk di singgasana-Nya di arsy, dimana ia menjisimkan dzat Allah.
7. Paham yang menyatakan bahwa “sifat iku ana ing dzat, asma itu ana ing deweke”, yaitu suatu paham yang menyamaratakan antara sifat, dzat dan asma’ Allah.
8. Paham yang berpendapat bahwa “sifat sifat, dzat dzat” , yaitu menganggap bahwa keberadaan dzat dan sifat sebagai dua keadaan yang masing-masing berdiri sendiri.
Dimana menurut Sunan Bonang, rumusan yang benar dari kedua paham tentang sifat dan dzat tersebut semestinya adalah “paikan(ing) sasifatira tan liyaning ananira” atau sifat-sifat-Nya tak lain adalah wujud-Nya.
9. paham mu’tazilah yang dianggap sebagai paham yang mengingkari sifat qudrat dan iradat Allah atas diri manusia, “Allah Ta’ala ora amurba”.
10. Pandangan ibnu ‘Arabi, pengarang kitab Futuhatul Makkiyah yang terkenal dengan pahamnya Wahdatul Wujud (Panteisme), yaitu paham yang menganut isme emanasi yang berpendapat bahwa “Allah iku dzate qodim, sifat af’ale muhdats” (Dzat-Nya Allah itu dahulu, sifat dan perbuatan-Nya baru).
11. Paham yang berpendirian bahwa :”Kang angilo iku nora ningali wewayangan”, yaitu suatu paham yang mengingkari arti bercermin dari apa yang dapat digunakan sebagai wasilah untuk ma’rifat kepada Allah.
12. Paham yang menyatakan bahwa Tuhan itu “ ma’dum min nafsihi”.
Kedua belas macam ajaran inilah yang dianggap ajaran berbahaya dan dapat menjadikan kafir orang yang menganutnya.
Pada bagian yang kedua, Sunan Bonang telah merumuskan ajarannya tentang hubungan manusia dengan Allah dari dua sisi keilmuan, yaitu menurut ilmu kalam dan ilmu Tasyawwuf. Dalam menetapkan eksistensi dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, ilmu Kalam menetapkan keduanya dengan istilah makhluk dan Khaliq. Sedangkan ilmu Tasyawwuf memberi istilah antar keduanya sebagai Salik atau asyiq dan ma’syuq yang akan saling bertemu dalam maqam fana’.
Selanjutnya Sunan Bonang juga mengetengahkan rumusannya tentang “padudoning Kawula-Gusti” atau ke-bukan-an hamba-Tuhan yang merupakan antitesis daripada pandangan “Manunggaling Kawula-Gusti” nya Syech Siti Jenar. Beliau menyatakan : “Padudoning Kawula-Gusti; Sifating pengeran tan dadi sifating makhluk, sifating makhluk tan dadi sifating pengeran.” (sifat Tuhan [tetap] bukan sifat makhluk, sifat makhluk [tetap] bukan sifat Tuhan.
Dengan konsep “padudoning Kawula-Gusti” ini, Sunan Bonang menegaskan bahwa Allah dan manusia merupakan dua kenyataan atau wujud yang berbeda. Masing-masing berdiri sendiri sebagai pribadi yang tak mungkin lebur menjadi satu sebagaimana leburnya setetes air dalam lautan yang maha luas, walau bagaimanapun tingkat keakraban yang telah dicapai oleh keduanya, yakni taraf tertinggi dalam maqam fana’. Selanjutnya dengan merujuk pada ayat “Marajal bahraini Yaltaqiyani bainahuma Barzahun La Yabgiyani” Sunan Bonang lantas mengajarkan bagaimana cara memehami konsep fana’ yang sebenarnya dan seharusnya. Pengertian Barzahun dalam ayat tersebut adalah sekat yang berlaku sebagai rana atau dinding, sehingga menjadikan keduanya tidak bercampur. Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa ungkapan “Gharaghtu fi Bahril ‘adam” adalah merupakan rumusan yang takkan pernah terwujud dalam kenyataan dimana dua pribadi saling tenggelam dan merasuki. Karena bagaimanapun juga mesti tetap disadari adanya perbedaan sebagaimana wejangan beliau “Mapan(ing) karone langgeng apadudon tan panisih kang anjateni lan kang jinaten.”
Hal ini secara jelas menunjukkan bahwasanya walisongo, yang ajarannya terwakili dalam primbon tersebut, telah berupaya keras dan bersungguh-sungguh dalam memelihara dua pilar utama akidah Islam :
Pertama, Pengakuan akan Allah sebagai khaliq yang maha esa dan mandiri , sebagai dzat yang penuh kebebasan dan memiliki kekuasaan penuh dalam segala hal (asas Tawhid).
Kedua, Pengakuan tentang adanya hak kemerdekaan bagi manusia sebagai oknum yang mendiri dan sebagai pribadi yang utuh, yang disebut sebagai asas kemerdekaan pribadi manusia (al-Hurriyah al Syahsyiyyah al Insaniyyah).
Sebagai penutup uraian bab ini, Sunan Bonang mengakhirinya dengan wejangan : “E, Mitraningsun ! Karana sira iki apapasihana sama-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah”.
Ungkapan tersebut merupakan tanbih / peringatan agar sesama muslim hendaknya saling bantu membantu dalam suasana kasih, dan agar mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah.
Bagian ketiga, tentang Ru’yat Allah, Sunan Bonang mengawalinya dengan mengutip ucapan Syekh al-Bari : “Ru’yat Allah iku arus tan arus (ru’yat Allah itu melihat tetapi tidak melihat) Selanjutnya beliau memberikan pandangan sebagai berikut:“E, Rijal ! Tegese ru’yat Allah iku aningali ing pengeran ing akhirat kalawan mata kapala ing dunya kalawan mata ati.” (Wahai Rijal…! Arti ru’yat itu melihat Allah dengan mata kepala di akherat dan di dunia dengan mata hati).
Dengan demikian, menurut beliau, melihat Allah dengan mata kepala secara langsung baru dapat dilakukan di akherat karena di akherat-lah dicapai kesempurnaan penglihatan. Selanjutnya menurut primbon tersebut, kemampuan untuk melihat (ru’yat) Allah adalah sangat tergantung pada tingkat kesempurnaan martabat yang telah dicapai oleh manusia dalam usahanya menempuh suluk atau tarekat. Semakin tinggi derajat atau martabat yang dicapai, maka makin berkuranglah penghalang (hijab)-nya sampai akhirnya Allah menyempurnakan penglihatannya. Maka pandangan dan penglihatannya tidak ragu lagi akan dzat-sifat Allah, yang dilihat tampil tanpa kias perumpamaan, yang melihatnya pun tanpa melalui perantaraan, sebagaimana ungkapan dalam primbon :”Tegese iku ta kabehsening saya mundak martabate sinampurnakaken tingale dening pengeran dadi tan sak tingale ing dzat-sifat-af’al ira; mapan kang tiningalan bila tasybih, kang aningali pon bila tasybih.”
Selanjutnya Sunan Bonang menandaskan bahwa kemampuan melihat (ru’yat) Allah merupakan suatu hal yang relatif, dimana masing-masing individu tidaklah sama dalam hal kejelasan yang dicapai. Beliau memberi tamsil dengan mengisyaratkan hubungan antara semakin meningginya bilangan hari bulan, mulai dari penampakan bulan pada tanggal pertama hingga penampakannya pada bulan purnama penuh sebagaimana diungkapkan : “…Kadi ta angganing sasi tanggal sapisan, ana kang kadi tanggal p(ing) kalih, ana kang kadi tanggal p(ing) tiga –ing undake ta kadi purnamasada.”
Dasar yang dipakai Sunan Bonang dalam menguraikan masalah ru’yat tersebut adalah sabda Nabi : “Innakum satarawna rabbakum yaumal qiyamati kama tarawnal qamara fi lailatil badri.” ( “Sesungguhnya kamu sekalian akan melihat Tuhanmu pada hari kiamat seperti kalian melihat rembulan pada malam bulan purnama…”), yang kemudian ditafsirkan lagi maksudnya dengan “Amma dlamirul qamarillah munazzahun bila kaifiyyatin”. (“…adapun kata ganti perumpamaan “rembulan” bagi Allah adalah hal yang bebas dari persifatan dengan tanpa perlu ditanyakan kenapa dan bagaimana…)
Sebagai penutup isi primbon, Sunan Bonang mengakhirinya dengan sebuah tanbih (peringatan) :
“E, Mitraningsun ! Demi sami sira akecap becik-becik kalawan lampa nira dhahir batin anuta kang sarengat, andi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, asih pramuleha sira ing Rasulullah ‘alaihis salam marganira anampani sih nugraning Pangeran…//E, Mitraningsun! Iku tetinggalaningsun ing sira kang awet poma anak putu nira sami wekasen, sami anuta wirasaning pituturinsung iku kabih, karana manawa anut ing wuwus(ing) wong sasar …Anging sira den sama awedi ing Pengeran. Aja sira salah simpang, sami sra amriha kasidan”.
Dengan primbon tersebut, Sunan Bonang memperingatkan agar kita selalu berbuat baik. Disamping itu dalam melaksanakan segala amaliah lahir maupun batin hendaknya senantiasa berjalan diatas rel syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. Selama hidup kita dipesankan untuk mencintai dan meneladani kehidupan Rasulullah SAW sebagai jalan berterima kasih atas anugerah Allah SWT. Inilah peninggalan beliau untuk diamalkan bersama dan hendaknya disampaikan kepada anak cucu agar menuruti maksud nasehat tersebut, karena dikhawatirkan bila mereka salah jalan, maka akan menjadikan mereka termasuk golongan orang yang sesat. Beliau juga berpesan, agar kita takut kepada Allah. Jangan sampai salah jalan dan menyeleweng, agar tercapai, dan amal kitapun diterima oleh Allah SWT.
Akhirnya, setelah kata-kata peringatan sebagai tanbih, maka ditutuplah primbon wejangan Sunan Bonang ini dengan seuntai kata : “Tammat carita cinitra kang pakerti Pangeraning Bonang” yang maksudnya adalah selesai sudah cerita yang diceritakan oleh Sunan Bonang.
Isi primbon II juga banyak mengambil rujukan dari kitab Tamhid dan Ihya’ ‘Ulumuddin, yang dalam primbon tersebut dinyatakan dengan “Ahya Ngulumudin”. Demikian juga metode penyampaian yang dikemas dalam primbon II ini agak berlainan dengan primbon I. Mungkin maksud penulisan primbon II ini sengaja ditujukan bagi masyarakat awam karena ditilik dari cara penguraiannya yang populer, mudah dan gampang dicerna apalagi masalah yang dibahas banyak berkenaaan dengan hal aktual keseharian (ahwal-Al-Yaumiyyah), yang meliputi pelbagai segi kehidupan orang awam dan masyarakat pada umumnya. Nampak jelas perbedaannya jika dibandingkan dengan isi primbon I yang cenderung lebih filosofis dan mistis, yang hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh orang-orang tertentu yang telah memiliki pengetahuan dan pemahaman dasar tentang agama Islam yang memang telah dipersiapkan untuk mempelajari ilmu keagamaan tingkat lanjut.
Secara global, primbon II merupakan bunga rampai yang menghimpun saripati dari pelbagai karya arab dimana pembahasannya tidak diuraikan secara sistematis melalui bab dan pasal-pasal sehingga isinya bukan secara khusus menangani satu bidang masalah. Primbon tersebut berisikan berbagai ilmu keislaman dari fiqh, tawhid atau ilmu kalam, tasyawwuf serta akhlak. Pada bagian akhir, terdapat uraian-uraian ajaib sebagai kutipan dari imu ta’bir dan ramalan membuka-buka rahasia. Pegangan argumentasinya ialah hadits-hadits dari berbagai sumber, seperti kitab Ihya’ al-Ghozali, Talhisul Minhaj karya Imam Nawawi, Tamhid-nya Abu Syakur as-Salimi, dan karya-karya ulama’ lainnya seperti Kasalbis salji-nya al-Anthaki, kanzal Kafi atau Kanzal Latha’if dari Smarakandi.
01 Muharram 1422 H.
No comments:
Post a Comment