أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Bukhari,
Muslim, Dzahabi, Imam Abu Ja’far Iskafi, Muttaqi Hindi dan yang lainnya
menukil bahwa Khalifah Kedua Umar bin Khattab mencemeti Abu Hurairah
karena menyandarkan beberapa riwayat yang tak berdasar kepada Rasulullah
Saw dan melarang keras Abu Hurairah untuk tidak meriwayatkan hadis
hingga akhir pemerintahannya.
Sebab-sebab kecurigaan Umar terhadap Abu Hurairah dapat ditelusuri melalui beberapa faktor berikut ini:
Pertama, pertemanannya dengan Ka’ab al-Ahbar Yahudi dan nukilan riwayat Abu Hurairah darinya.
Kedua,
menukil sebagian riwayat tanpa dasar yang umumnya senada dengan
hadis-hadis Israiliyyat bahkan tergolong hadis-hadis Israiliyyat.
Ketiga, menukil sebagian riwayat yang bertentangan dengan beberapa riwayat yang dinukil dari para sahabat
Keempat, penentangan para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib As dan Abu Bakar terhadap Abu Hurairah.
Jawaban Detil
Kita
tidak banyak memiliki literatur dan referensi terkait dengan kehidupan
Abu Hurairah sebelum Islam kecuali apa yang sendiri ia nukil. Dari
biografi tersebut disebutkan bahwa Abu Hurairah semenjak kecil bermain
dengan seekor kucing kecil. Abu Huraira adalah seorang anak yatim dan
miskin sehingga untuk menghindar dari kelaparan ia bekerja pada
masyarakat.
Dainawari dalam kitab “Al-Ma’ârif”
menyebutkan bahwa Abu Hurairah berasal dari suku Dus di Yaman, hidup
sebagai seorang yatim dan anak miskin yang berhijrah. Pada usia tiga
puluh tahun, ia datang ke Madinah dan lantaran kemiskinannya ia memilih
jalan ahli Suffah yang merupakan tempat kaum Muhajirin fakir berkumpul.[1]
Abu
Hurairah sendiri secara tegas mengungkapkan alasannya memeluk Islam dan
beriman kepada Rasulullah Saw adalah untuk mengenyangkan perutnya yang
kosong dan untuk lari dari kemiskinan bukan untuk keperluan lainnya.[2]
Ia
sendiri berkata bahwa saya senantiasa ingin mengisi perut saya
sedemikian sehingga sebagian sahabat lantaran karena makanan aku pergi
ke rumahnya mereka semuanya kabur dariku, tapi ada seseorang yang
bernama Ja’far bin Abi Thalib lantaran keramahannya dan sikapnya yang
memuliakan tamu ia adalah orang kedua paling ramah setelah Rasulullah
Saw dalam pandangan Abu Hurairah. Ia bercerita epik dan heroik tentang
Ja’far bin Abi Thalib.[3]
Tsa’labi dalam kitab Tsimâr al-Qulûb
berkata bahwa Abu Huraira menyantap makanan dengan Muawiyah dan
mengerjakan shalat di belakang Ali bin Abi Thalib. Abu Huraira sendiri
berkata terkait dengan perbuatannnya bahwa bubur Muawiyah lebih lezat
dan berlemak namun shalat di belakang Ali lebih utama.[4]
Adapun
terkait dengan bahwa apakah Khalifah Kedua mencambuk Abu Huraira karena
telah banyak merekayasa hadis dan karena itu ia melarang Abu Huraira
untuk tidak menukil hadis? Untuk menjawab pertanyaan ini harus dikatakan
bahwa persoalan ini merupakan konsensus (kesepakatan) bahwa Abu Huraira
meski hanya satu tahun sembilan bulan bersama Rasulullah Saw namun ia
melebih sahabat lainnya dalam menukil hadis.[5]
Ibnu
Hazm mencatat grafik hadis-hadis yang dinukil Abu Huraira dan menulis,
“Musnad Buqayy bin Mukhallid menukil 5374 hadis hanya dari Abu Huraira
dan Bukhari menukil 446 hadis.”[6]
Abu
Huraira sendiri sebagaimana yang dinukil Bukhari berkata, “Tidak satu
pun sahabat Rasulullah Saw yang seukuran aku dalam menukil hadis dari
Rasulullah kecuali Abdullah bin Umar yang menulis hadis-hadis namun aku
tidak menulisnya.”[7]
Banyaknya
hadis yang dinukil Abu Huraira telah membuat Umar bin Khattab takut
sehingga ia mencambuknya atas alasan ini dan berkata kepadanya, Wahai
Abu Huraira! Engkau banyak menukil riwayat. Aku takut engkau akan
menyandarkan dusta kepada Rasulullah Saw. Kemudian Umar mengancam Abu
Hurairah bahwa apabila ia tidak meninggalkan periwayatan dari Rasulullah
maka ia akan mengansingkannya ke negerinya.[8]
Atas dasar itu, riwayat yang dinukil Abu Hurairah kebanyakan pasca
wafatnya Umar bin Khattab lantaran tiada yang ditakutinya selain Umar.[9] Ia melanjutkan, “Aku menukil hadis-hadis untuk kalian yang apabila aku nukil pada masa Umar tentu ia akan mencambukku.”[10]
Zuhri
menukil dari Ibnu Salma yang mendengar Abu Hurairah yang berkata, “Aku
tidak dapat berkata Rasulullah Saw bersabda (menukil hadis dari
Rasulullah) demikian hingga Umar wafat. Apakah kami dapat menukil
hadis-hadis ini selagi Umar masih hidup? Demi Allah sekarang ini aku
takut atas janji-janji Umar yang ingin mencabuk bokongku.[11]
Untuk
menjustifikasi seluruh riwayat yang ia nukil dari Rasulullah Saw itu
tetap memiliki standar, Abu Hurairah membuat sebuah kaidah, “Sepanjang
sebuah riwayat tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal
maka tidak ada masalah menyandarkan riwayat tersebut kepada Rasulullah
Saw.” Dengan standar yang dibuatnya, hadis-hadis yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw itu diberi corak syar’i di antaranya sebuah hadis yang
dinukil Thabarani dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw: “Sepanjang
engkau tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dan
engkau telah sampai kepada kebenaran maka tidak ada masalah engkau
menyandarkan (sebuah riwayat) kepadaku.” Demikian juga disebutkan bahwa
dari Rasulullah Saw terdengar bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang
meriwayatkan sebuah hadis yang mengandung keridhaan Tuhan di dalamnya
maka sesungguhnya aku berkata demikian meski (sebenarnya) aku tidak
berkata demikian.”[12]
Padahal
apa yang pasti dari Rasulullah Saw adalah sabdanya, “Barang siapa yang
menukil hadis dariku yang aku tidak katakan maka tempatnya adalah neraka
jahannam.”[13]
Lantaran Umar melihat Abu Hurairah banyak menukil hadis, ia menandaskan untuk senantiasa memperdengarkan hadis ini kepadanya.”[14]
Abu Hurairah dan Tadlis
Tadlis
artinya Anda bertemu dengan seseorang dan menukil sebuah kisah yang
tidak Anda dengar darinya atau semasa dengannya Anda mengutip sebuah
persoalan yang tidak ia sebutkan dan dalam menukil persoalan tersebut
sedemikian Anda tunjukkan seolah Anda mendengar darinya dan ia seolah
mengatakan hal ini.[15] Jelas bahwa seluruh jenis tadlis adalah tercela dan haram serta dipandang sebagai saudara dengan dusta.[16]
Para ahli hadis berkata bahwa apabila telah ditetapkan seseorang menukil sebuah riwayat dengan tadlis maka tiada satu riwayat pun yang harus diterima dari orang tersebut meski kita tahu bahwa ia hanya sekali melakukan tadlis.[17]
Dainawari dan Ibnu Katsir menukil dari Ibnu Sa’ad yang berkata,
“Takutlah kepada Allah dan janganlah menukil hadis. Demi Allah! Aku
berada di samping Abu Hurairah yang menukil hadis dari Rasulullah Saw
dan riwayat dari Ka’ab Ahbar. Kemudian sebagian orang yang bersama
dengan kami berkata hadis Rasulullah Saw kami sandarkan kepada Ka’ab dan
hadis Ka’ab itu kami sandarkan kepada Rasulullah Saw.”[18]
Para
ahli hadis bersepakat bahwa Abu Hurairah, Ubaidillah, Mu’awiyah dan
Anas menukil riwayat dari Ka’ab al-Ahbar Yahudi. Ka’ab al-Ahbar yang
secara lahir menampakkan Islam untuk mengecoh kaum Muslimin akan tetapi
batinnya adalah Yahudi. Dan di antara mereka keempat orang tersebut, Abu
Hurairah adalah orang yang paling banyak menukil hadis dari Ka’ab
al-Ahbar dan mempercayainya melebihi yang lain.[19]
Tindakan licik Ka’ab atas Abu Hurairah dilakukan sehingga ia dapat
memasukkan khurafat dan takhayul apa pun ke dalam agama Islam. Dari
sela-sela ucapan yang disampaikan ihwal Ka’ab menjadi jelas bahwa Ka’ab
memiliki cara khusus, Dzahabi dalam Thabaqât al-Huffâzh menulis
ihwal Abu Hurairah: “Ka’ab berkata tentang Abu Hurairah, aku tidak
melihat seorang pun yang tidak membaca Taurat lebih alim dari Abu
Hurairah.”[20]
Coba Anda perhatikan pendeta ini menipu Abu Hurairah, bagaimana Abu
Hurairah dapat memahami apa yang terdapat dalam Taurat padahal ia tidak
mengenal Taurat. Apabila ia mengenalnya maka ia tidak akan mampu
membacanya karena Taurat ditulis dalam bahasa Ibrani dan Abu Hurairah
bahkan tidak mengenal bahasa Arab (dengan baik) karena ia bukanlah
seorang terpelajar.[21]
Bukhari
menukil dari Abu Hurairah bahwa Ahli Kitab membaca Taurat dalam bahasa
Ibrani dan menafsirkannya untuk kaum Muslimin dalam bahasa Arab. Dan
apabila saya mengetahui bahasa Ibrani maka aku pun akan menjadi
penafsirnya.[22]
Dainawari
menulis tentang Abu Hurairah: “Karena Abu Hurairah menukil banyak
riwayat yang tidak satu pun dinukil dari orang-orang dekatnya atau para
pembesar dari kalangan sahabat mereka menudingnya dan mengingkari
riwayat-riwayat yang dinukilnya dan berkata bagaimana mungkin hanya ia
yang mendengar hadis-hadis ini dari Rasulullah Saw sementara ia
sekali-kali tidak pernah berdua-duaan dengan Rasulullah Saw.”[23]
Dainawari berkata, “Aisyah mengingkarinya dengan sengit[24] dan termasuk orang yang menuding Abu Hurairah sebagai pendusta demikian juga Umar, Utsman, Ali dan selain mereka.
Abu
Hurairah menukil dari Rasulullah Saw, “Meramal buruk dibenarkan pada
wanita, hewan dan rumah.” Tatkala hadis ini dinukil untuk Aisyah, ia
berkata, “Demi Yang menurunkan al-Qur’an kepada Abul Qasim! Siapa pun
yang menyandarkan hadis ini kepada Rasulullah Saw maka sesungguhnya ia
telah berkata dusta; sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Orang-orang
jahil berkata, ramalan buruk terdapat pada hewan, wanita dan rumah.”
Ali
As bersabda, “Abu Hurairah adalah orang paling pendusta.” Dan di tempat
lain berkata, “Orang yang paling pendusta atas Rasulullah Saw adalah
Abu Hurairah.” Suatu hari Abu Hurairah berkata, “Haddatsani khalili (kekasihku berkata kepadaku).” Baginda Ali segera menimpali dalam menjawab ucapannya: “Mata kana al-Nabi Khaliluk.” (Sejak kapan Nabi menjadi kekasihmu).”[25]
Abu Ja’far Iskafi menukil, “Muawiyah
memprovokasi sebagian sahabat dan thabi’in sehingga mereka merekayasa
hadis-hadis keji melawan Ali As. Sebagian sahabat ini adalah Abu
Hurairah, Amru bin Ash, Mughairah bin Syu’bah dan dari kalangan Thabi’in
Urwah bin Zubair.”[26] [IQuest]
Dalam hal ini terdapat dua buku yang secara khusus ditulis berkenaan dengan Abu Hurairah:
1. Abu
Hurairah, karya Sayid Syarafuddin ‘Amili, yang dapat dijadikan rujukan
terkait dengan pertanyaan di atas pada halaman 136, 160, 186.
2. Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, karya Mahmud Abu Ruyya Mesri.
[1]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, hal. 103. Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 195. Sayid Syarafuddin Musawi ‘Amili, Abu Hurairah, hal. 136.
[2]. Ibid.
[3]. Fath al-Bâri, jil. 7, hal. 62.
[4]. Tsa’labi, Tsimâr al-Qulûb fi al-Mudhâf wa al-Mansûb, hal. 76-87.
[5]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Adhwa ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 200.
[6]. Al-Syaikh Mahmud Abu Ruyyah, Syaikh al-Mudhirah Abu Hurairah, hal. 120.
[7]. Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, jil. 2, hal. 167. Ia berkata telah terbukti bahwa Abu Hurairah tidak menulis hadis juga tidak menghafal al-Qur’an.
[8]. Shahih Bukhâri, jil. 2, Kitab Badâ’ al-Khalq, hal. 171. Muslim bin Hajjaj Naisyaburi, Shahih Muslim, jil. 1, hal. 34. Ibnu Abil Hadid Mu’tazili, Syarh Nahj al-Balâghah, hal. 360. Dzahabi, Siyar I’lâm al-Nublâ, jil. 2, hal. 433 & 434. Muttaqi Hindi, Kanz al-‘Ummâl, jil. 5, hal. 239 Hadis 4857. Imam Abu Ja’far Iskafi, sesuai dengan nukilan dari Syarh Nahj al-Hamidî jil. 1, hal. 360.
[9]. Ibid.
[10]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 201.
[11]. Ibid.
[12]. Syathibi, Al-Muwâfaqât, jil.2, hal. 23.
[13]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 202.
[14]. Sayid Syarafuddin Musawi al-‘Amili, Abu Hurairah, hal. 140.
[15]. Syaikh Ahmad Syakir, Syarh Alfiyah al-Suyuthi, hal. 35.
[16]. Ibid.
[17]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 202-203.
[18]. Ibnu Katsir, al-Bidâyah al-Nihâyah, jil. 8, hal. 109. Ibnu Qutaibah Dainawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits, hal. 48-50.
[19]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[20]. Dzahabi, Thabaqât al-Huffâzh, sesuai nukilan dari Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[21]. Mahmud Abu Ruyyah, Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 207.
[22]. Ibid.
[23]. Dainawari, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits.
[24]. Ibid, hal. 48.
[25]. Adhwâ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 204.
[26]. Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 1, hal. 358.
No comments:
Post a Comment