أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Ma’âd di samping jasmani juga ruhani. Apa yang disebut dalam ma’âd jasmani adalah kembalinya bagian-bagian orisinil (ahsliyah) badan.
Bagian orisinil (ashliyah) adalah bagian-bagian yang disebutkan dalam sebagian riwayat sebagai thinat. Dengan definisi ini, tatkala seluruh manusia meninggal dunia dan binasa, sesuai dengan beberapa riwayat, yang tersisa adalah thinat dan bagian-bagian orisinilnya. Yang pergi ke akhirat adalah bagian-bagian orisinil manusia.
Karena itu, ma’ad
jasmani tidak memerlukan tanah lebih planet bumi sehingga harus
dipertanyakan apakah bumi mencukupi sebagai tempat berkumpulnya manusia
di padang masyhar?
Jawaban Detil
Di antara pembahasan penting tentang ma’âd adalah pembahasan tentang bagaimana proses terjadinya ma’âd dari sudut pandang jasmani dan ruhani dimana dalam hal ini terdapat tiga pendapat dari para filosof dan teolog Islam:
- Hanya ma’âd jasmani (dimana ruh juga termasuk sebagai jism lathif).
- Hanya ma’âd ruhani.
- Keyakinan terhadap keduanya; pada hari Kiamat di samping ruh yang akan dibangkitkan juga badan. Di samping pelbagai kelezatan dan penderitaan indrawi, pelbagai kelezatan dan penderitaan non-indrawi dan rasional juga akan terwujud.
Realisasi ma’âd ditetapkan dengan argumen-argumen rasional dan juga argumen-argumen yang terangkap dari akal (akal) dan nukilan (naql). Namun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait dengan apakah ma’âd
itu jasmani atau ruhani. Pada kesempatan ini kita tidak akan mengkaji
dan mengkritisi perbedaan pendapat yang masing-masing dilontarkan oleh
kedua belah pihak.
Kali ini, kita tidak ada pembahasan terkait dengan ma’âd ruhani. Pembahasan yang mengemuka adalah pada ma’âd jasmani dan bagaimana proses terealisirnya ma’âd jasmani. Ma’âd ruhani adalah tuntutan keadilan, hikmah dan rahmat Allah Swt.
Inti ma’âd
jasmani juga ditetapkan melalui beberapa cara. Misalnya dalam al-Qur’an
dan beberapa riwayat, sebagian dari pahala-pahala ukhrawi, partikular
dan indrawi dan hal ini menunjukan kembalinya pada benda duniawi.
Sekarang pertanyaan yang mengedepan apakah ma’âd jasmani adalah kembalinya benda (jism) duniawi persis dengan benda duniawi yang sebelumnya dengan segala ciri dan tipologinya atau berbeda?
Apa yang didukung oleh al-Qur’an adalah kembalinya benda (jism) duniawi
persis dengan benda duniawi yang sebelumnya dan ayat yang paling jelas
adalah permohonan Nabi Ibrahim As kepada Allah Swt terkait dengan
bagaimana proses menghidupkan orang mati. Pada kisah tersebut Allah Swt
menunjukkan kepada Nabi Ibrahim bagaimana badan yang telah hancur
dikumpulkan dan dihidupkan kembali. Kisah Nabi Uzair juga demikian
adanya. Begitu pula dengan penyerupaan menghidupkan orang mati dengan
menghidupkan bumi dan lain sebagainya kesemuanya menjelaskan tentang ma’âd jasmani.
Namun hal ini tidak dapat dipahami sehubungan dengan kembalinya fawâdhil
(bagian-bagian addisional dan tambahan manusia seperti rambut, kulit,
tulang dan lain sebagianya) dari ayat ini karena problematika yang lebih
asasi boleh jadi terlintas dalam benak seseorang bahwa bagaimana benda
material yang senantiasa berubah dan berganti, mengalami proses menjadi
dan mengalami kerusakan pergi ke sebuah alam yang telah disebutkan yang
tidak terdapat sama sekali perubahan dan kerusakan melainkan dalam terma
teknis filsafat aktualitas murni dan tidak terdapat satu pun potensi di
dalamnya?
Dengan asumsi ini, disebutkan bahwa kembalinya jasmani pada ma’âd jasmani tidak meniscayakan kembalinya fawâdhil
disertai dengan seluruh aksiden-aksiden material. Hal ini adalah
penyokong persoalan yang disebutkan di atas berdasarkan tiadanya
kemungkinan unsur-unsur hancur di alam kiamat sebagaimana yang telah
disinggung di atas; karena apabila kita berkata jasmani ini dengan
segala aksiden dan fawâdhil-nya maka hal itu akan meniscayakan
seluruh tingkatan alam keberadaan yang tertinggi kita batasi dengan
sebuah batasan sebagaimana yang terdapat pada tingkatan terendah alam
tabiat!
Karena itu, kita
saksikan bahwa tatkala Jibril yang merupakan substansi non-material
turun ke alam tabiat, ia turun dalam bentuk Duhiyyah al-Kalbi (dalam bentuk jasmani) karena setiap tingkatan dari alam eksistensi masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Nah dengan memperhatikan perbedaan dua alam ini tentu tidak dapat
seluruh kemestian material dunia menetapkan materi ukhrawi (dan
sebaliknya), sebagaimana air yang teredapat pada dunia flora berada pada
alam-alam luaran dan warna dan rasanya mengalami perubahan. Namun
sesuai dengan penegasan al-Qur’an bahwa air-air yang terdapat di surga
sama sekali tidak akan mengalami perubahan karena kondisinya yang lebih
tinggi dan lebih sempurna.[1]
Harus dikatakan bahwa pada ma’âd
jasmani yang akan dibangkitkan adalah jasmani namun model jasmani di
sana berbeda dengan jasmani di dunia dan bagian-bagian tambahan (fawadhli) yang telah sirna dan yang tersisa hanyalah bagian-bagian ashliyah (orisinil) yang ada.
Kebanyakan ulama dalam masalah ma’âd jasmani menegaskan pendapat ini bahwa keyakinan terhadap kembalinya bagian-bagian fawadhil (bagian-bagian tambahan) bukanlah termasuk perkara wajib dalam ideologi Islam.[2]
Khaja Nashiruddin Thusi dalam Tajrid berkata, “Apa yang menjadi hal pokok mazhab adalah penetapan ma’âd jasmani dalam agama Muhammad Saw dan tidak wajib meyakini kembalinya bagian-bagian tambahan (fawadhil) jasmani.”
Qausyaji, Muhaqqiq Ardabili, Allamah Hilli, dan Sayid Asyraf bin
Abdulhabib al-Husaini adalah orang-orang yang memberikan syarah (ulasan)
atas buku Tajrid juga menegaskan masalah ini dalam mengulas redaksi
kalimat di atas.
Dalam ungkapan-ungkapan ulama besar seperti Sayid Abdullah dalam Mashâbih al-Anwâr dan Allama Dawwani dalam Syarh ‘Aqâid al-‘Adhudiyyah demikian juga Mahdi Naraqi dalam Misykât al-‘Ulûm fî Bayân Mautsiqat ‘Ammâr al-Sâbâthi, memandang thinat yang tersisa yang juga disebut disebut sebagai bagian-bagian ashliyah dan sebagai hal yang mesti bahwa thinat[3] ini yang akan dibangkitkan pada hari Kiamat sebagai jasmani ukhrawi.
Di sini kita akan menyinggung riwayat Ammar Sabathi sehubungan dengan kembalinya thinat asli jasmani sebagai berikut:
Imam Maksum ditanya apakah jasad mayit akan rusak? Imam bersabda, “Iya
sedemikian (rusak) sehingga tidak akan ada daging dan tulang yang
tersisa selain thinat yang (pada permulaan) telah dicipta dan thinat
ini tidak akan rusak kecuali tertahan di kubur hingga (manusia) akan
diciptakan (dibangkitkan) kembali sebagaimana pertama kali mereka
diciptakan.”[4]
Boleh jadi dapat diasumsikan bahwa seluruh tipologi jasmani seorang manusia terletak pada thinat-nya
yang dapat disimpan dalam sebuah molekul yang dengan memanfaatkannya,
jasmani pada hari kiamat akan kembali merekonstruksi dirinya dan masalah
ini bukanlah suatu hal yang aneh karena kita tahu bahwa sekarang para
ilmuan telah menemukan bahwa kurang-lebih seluruh tipologi seorang
manusia terpendam pada genetik-genetik yang terdapat pada sel-sel
badannya dan proses kloning juga dilakukan dengan memanfaatkan memori
natural ini. Jelas bahwa Tuhan yang menciptakan manusia mampu menjaga
memori ini dalam bentuk yang paling cermat bahkan pada sebuah atom.
Dengan penjelasan ini, ma’âd yang akan terjadi adalah ma’ad jasmani juga ruhani. Dan pada jasmani hanya bagian-bagian ashliyah yang akan kembali bukan fadhliyah. Dari sini menjadi jelas bahwa adanya bumi tambahan tidak ada sangkut pautnya dengan ma’âd
jasmani sehingga kita harus berbicara tentang apakah bumi mencukupi
untuk menampung seluruh orang semenjak awal hingga akhir ketika kelak
mereka dikumpulkan. Karena yang mengemuka pada ma’âd jasmani adalah bagian-bagian ashliyah badan bukan bagian-bagian fadhliyah-nya.
[1]. Ali Rabbani Gulpaigani, Aqaid Istidlâli, jil. 2, hal. 246, Markaz Nasyr Hajir, 1387.
[2]. Al-Iskawi al-Hairi, al-Haj Mirza Musa, Ihqâq al-Haq, hal. 17 sampai 24, Mathba’at al-Nu’man al-Najaf al-Asyraf, Cetakan Kedua, 1358 H – 1965 M.
[3]. Dapat diartikan sebagai watak atau bawaan lahir.
[4]. Kulaini, al-Kâfi, jil. 3, hal. 251, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran.
“سُئِلَ
عَنِ الْمَيِّتِ يَبْلَى جَسَدُهُ قَالَ نَعَمْ حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُ
لَحْمٌ وَ لَا عَظْمٌ إِلَّا طِينَتُهُ الَّتِي خُلِقَ مِنْهَا فَإِنَّهَا
لَا تُبْلَى تَبْقَى فِي الْقَبْرِ مُسْتَدِيرَةً حَتَّى يُخْلَقَ مِنْهَا
كَمَا خُلِقَ أَوَّلَ مَرَّةٍ”
No comments:
Post a Comment