أشهد أن لا اله الا الله و أشهد أن محمدا رسول الله
Manusia sebagai
eksistensi yang bebas berkehendak, diciptakan dengan pilihan yang tepat
dan dihiasi oleh iman dan amal shaleh serta dijauhkan dari pelanggaran
terhadap perintah maupun larangan-Nya. Ia dapat meraih kedudukan “khalifatullah”
artinya ia akan memperoleh segala kesempurnaan sehingga terbebas dari
segala kekurangan dan keaiban duniawi serta memiliki otoritas alam (wilayah takwini) serta mengetahui hati manusia.[1]
Pilihan
tepat manusia berdasarkan atas ilmu dan kehendaknya yang kuat dalam
mengikuti akal, fitrah dan agama. Tatkala ilmu dan kehendaknya bertambah
tinggi maka ia akan lebih terjaga dari kesalahan. Tidak adanya
perhatian merupakan penyebab lupa sehingga jika manusia memperhatikan
dan senantiasa mengingat perintah maupun larangan Allah Swt,
maka ia tidak akan terjerumus kedalam dosa dan kesalahan karena lupa.
Inilah kedudukan yang disebut sebagai kemaksuman yang merupakan faktor
peningkatan manusia kearah kedudukan “wilâyah dan khilâfah Ilahiyah” secara bertahap.
Para
Nabi dan wasi mereka, hendaknya berada pada puncak kedudukan tersebut
mengingat mereka adalah para pengemban amanat wahyu Ilahi yang dikenal
sebagai para pemimpin dan suri tauladan kemanusiaan sehingga:
1. Pesan Ilahi secara sempurna dan benar sampai kepada manusia.
2. Orang-orang dapat mempercayai ucapan serta prilaku mereka.
3. Meneladani
kisah kehidupan, sepak terjang dan akhlak mereka agar mendapatkan
bimbingan melangkah menuju kesempurnaan dan kedudukan khalifatullah.
Jalan tersebut akan menyampaikan mereka kepada tujuan “berjumpa Allah”
sehingga dengan pertolongan Allah serta kehendak mereka, membuat mereka
terjaga dari segala jenis dosa, kesalahan dan penyimpangan sejak masa
kecil hingga akhir hayat mereka. Hal ini sebagai penyempurna bukti dan
menjadikan kepercayaan orang-orang semakin besar kepada mereka sehingga
dapat menarik perhatian orang-orang untuk mengikuti jalan mereka. Oleh
karena itu, setiap orang dapat mencapai kemaksukman dan kedudukan
khilafah.
Semakin
besar upaya untuk meraih kedudukan tersebut dan peningkatan ketaqwaan
dilakukan maka akan semakin banyak pula mendapatkan bantuan Ilahi. Sebab
Allah berjanji: "Bertakwalah kepada Allah; Allah akan mengajarkanmu." (Qs. Al-Baqarah [2]:282) dan berfirman: "Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Qs. Al-Taghabun [64]:11); "Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar
akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-Ankabut [29]:69); "Hai
orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia
akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang
batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. (Qs. Al-Anfal [8]:29); "Barang siapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan
pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. Al-Nahl [16]:97)
Dalam hadis Qudsi dikatakan: ”Jika
hambaku sibuk beribadah denganku, maka aku akan menganugerahinya
semangat dan keindahan mengingatku sehingga ia mencintaiku dan aku
mencintainya dan aku akan menyingkap tabir antara aku dan dia sehingga
di saat orang-orang lalai dia tidak lalai (dia tidak akan
berbuat dosa dan kesalahan). Jika ia berbicara, pembicaraannya seperti
ucapan para nabi dan mereka benar-benar sebagai orang-orang pilihan
sehingga tatkala aku ingin memberikan cobaan kepada penduduk bumi, aku
mengurungkan keinginanku karena mereka."[2]
Kemaksuman
merupakan suatu keharusan bagi para Nabi dan Imam As yang telah
ditetapkan dan dibuktikan dengan berbagai macam argumen teks dan logika.[3]
Kemaksuman
ini tidak dikhususkan bagi mereka saja dan barang siapa berusaha,
bertaqwa, berilmu dan berkehendak maka ia akan mendapatkan percikan
manfaatnya sehingga muncul tanda-tanda kemaksuman darinya. Selain
ciri-ciri kemaksuman yang terdapat pada para nabi dan washi mereka,
adanya teks dan pelantikan kenabian oleh Allah merupakan argumen dan
dalil terkuat kemaksuman.
Sebab
jika tidak demikian tujuan pengutusan para Nabi dan Imam sebagai
pembimbing manusia dan mubaligh, pelaksana serta pembela agama Allah Swt
tidak akan sesuai dengan ilmu dan hikmah Ilahi.[4] Adapun cara mengetahui kemaksuman selain para Nabi dan Imam as ialah bergantung pada ciri-ciri yang tampak dari mereka sebagai berikut:
1. Tidak
berbuat dosa dalam kondisi dan lingkungan dimana kebanyakan orang
tergelincir dalam kesalahan dan perbuatan dosa seperti berambisi untuk
mendapatkan kedudukan, popularitas dan harta yang banyak
2. Nampaknya
kekeramatan dan kejadian yang luar biasa dari mereka seperti mengetahui
niat dan pikiran orang serta menyembuhkan penyakit orang dan
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak dapat dilakukan oleh
orang-orang selain mereka.
3. Dikabulkannya doa dan kutukan mereka
4. Menguasai dan merubah hati orang-orang
5. Lapang dada, tenang dan tanggap terhadap problematika individu maupun sosial
6. Perantara curahan nikmat Ilahi atau penolak bencana.
Namun
perlu diperhatikan bahwa nabi dan wasinya memiliki kedudukan yang tidak
mungkin dapat dicapai oleh seorang pun. Di antara para nabi terdapat
tingkatan-tingkatan dimana Nabi Saw berada pada puncak tingkatan
tersebut, kemudian para Imam maksum As, setelah itu para nabi As dan
orang-orang lainnya. Kemaksuman dan kedudukan khalifatullah memiliki
tingkatan-tingkatan berupa vertikal dan horizontal yang berbeda-beda
dimana untuk mengetahuinya bergantung kepada ilmu Allah Swt.[5]
Daftar Pustaka untuk telaah lebih jauh:
1. Al Qur`an
2. Jawad Amuli “Tahrir Tamhidul Qawâ`id”
3. Jawad Amuli “Wilâyat dar Qur'ân
4. Jawad Amuli “ Hikmate Ibâdat”
5. Huseini Tehrani “Tauhidi Ilmi wa A`ini”
6. Sayid Muhammad Bagir Sadr “Khilâfate Insân wa Gawâhie Payâmbarân”
7. Kiya Syamseky “Wilâyat dar Irfân”
8. Mutahhari “Insân Kamil”
9. Mutahhari “Wilâhâ wa Wilâyathâ”
10. Jawad Maliki Tabrizi “Risâleye Liqâ`ullah”
[1]. Lihat indeks: Menjadi Kekasih Tuhan, Kebahagiaan dan Kesempurnaan Manusia, Kedekatan kepada Tuhan.
[2]. Muhammad Husain Husaini Tehrani, Tauhid Ilmi wa Aini, hal. 337.
[3]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Rah wa Rahnemai Syinasi, hal. 147-212
[4]. Ibid.
[5]. Silahkan lihat Indeks: Kemaksuman dan dosa para nabi dalam pada ayat-ayat lahir al-Qur'an.
No comments:
Post a Comment